Anda di halaman 1dari 3

Hal 46-69

Kiprah dari Sunan Kudus antara lain: Sunan Kudus merupakan pemimpin militer
yang disegani, Sunan kudus tidak suka melakukan pembunuhan, Sunan Kudus dikenal
sebagai ulama yang konsekuen menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa memandang bulu,
Sunan kudus dikenal sebagai seorang yang fundamental dan ortodoks dibandingkan sunan-
sunan lainnya, Sunan kudus dikenal sebagai orang yang alim dan bijaksana, Sunan kudus
dipandang sebagai waliyul Ilmi (guru besar dalam agama islam), Sunan kudus merupakan
mubalig atau penyiar agama islam yang penuh oleransi dan simpati.

Cara dakwah atau tablig sunan kudus yang penuh simpati dan toleransi dapat dilihat antara
lain:

a. Sunan kudus melarang masyarakat kudus menyembelih sapi untuk menghormati


para pemeluk agama hindu.
b. Sunan kudus mengubah syair tembang yang berisi ajaran agama islam dan filsafat
kehidupan.

Kudus adalah sebuah kota yang terletah di bagian utara jawa tengah. Daerah tersebut
mempunyai status kabupaten. Kudus awalnya bernama Loram lalu diganti oleh Sunan Kudus
menjadi Kudus. Kudus berasal dari kata Al-Quds yang berarti kesucian. Kata Quds dalam
ejaan jawa kemudian berubah menjadi Kudus. Nama tersebut tertera pada prasasti bahasa
arab yang ada di atas mihrab masjid Menara Kudus. Pembangunan masjid menara kudus
mendasari pembangunan kota Kudus sesuai dengan tradisi dalam sejarah Islam. Sebelum
adanya islam kota Kudus merupakan pusat agama Hindu dan Budha.

Sejarah kota Kudus hanya bisa ditemui dalam data arkeologis dan babad yang
menceritakan tentang sunan kudus dan peristiwa sosial politik. Babad Demak dan babad
tanah Jawi menceritakan tentang kudus pada abad XV sampai abad XVII. Selain itu masih
banyak babad daerah lain yang berada di pesisir utara jawa timur sampai Madura yang
menyebutkan bahwa Kudus merupakan salah satu pusat kekuasaan politik dan keagamaan.

Nama-nama daerah di Kudus memiliki makna dan sejarah panjang antara lain: Desa
Kauman Menara, Desa Kajeksan, Desa Langgar Dalem, Desa Janggalan, Desa Sunggingan
dan Desa Demangan.

Pendiri kota kudus adalah Ja’far Shodiq yang dikenal dengan Sunan Kudus. Kudus
mulai dikenal pada abad XV M. Kelahiran kota Kudus dapat dilihat melalui dua sumber yaitu
pertama simbol Candra sengkala yang ada pada masjid Langgar Dalem Desa Langgar dalem
Kecamatan Kota. Simbol tersebut berupa trisula yang dililit naga (trisula pinulet naga) yang
menunjukkan tahun 863 H bertepatan dengan 1458 M. Kedua inskrip Masjid Menara (Al-
Aqsha) berupa candra sangkala lamba yang menyebutkan tahun 956 H atau Senin Pahing
tanggal 3 Oktober 1549 M. Inskrip tersebut memuat nama pendiri masjid, tahun berdirinya
masjid, nama Kota Kudus, nama masjid Kudus, dan nama menara kudus.

2.1.3. Profil Kyai Telingsing

Makam Kyai Telingsing terletak di desa Sunggingan Kecamatan Kota Kudus.


Berukuran panjang 1.296 cm, lebar 12 cm dan tinggi 48 cm. Makam Kyai telingsing
dibangun pada tahun 1997. Banyak peziarah yang datang ke makam Kyai Telingsing untuk
menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Kyai Telingsir tidak menyukai kekayaan dan
kekuasaan. Kyai Telingsing menyebarkan syiar Islam di Sunggingan dan sekitarnya.

Desa Sunggingan berasl dari kata sungging yang berarti otang yang ahli mengukir.
Desa ini terletak di Langgar Bubrah. Kyai Telingsing merupakan pemahat atau sungging dari
Cina. Nama asli Kyai Telingsing adalah Tee Ling Sing. Kyai Telingsing datang ke Kudus
secara diam-diam karena banyak penganut hindu di Kudus. Ia bersama Sunan Kudus
melakukan aktivitas penyebaran agama Islam. Ia mendirikan masjid dan pesantren di daerah
Nganguk. Nama kampung Nganguk berasal dari kata lingak-linguk (melihat ke kanan dan
kekiri berulang-ulang).

Kyai Telingsing merupakan individu yang sudah pada tataran makrifat karena
mengetahui sebelum orang lain mengetahui. Ia merupakan guru Sunan Kudus dalam hal ilmu
kanuragan atau kasekten. Kyai telingsing merupakan penasehat dari Sunan Kudus. Dalam
melakukan syiar Islam kyai Telingsing bekerja sama dengan Sunan Kudus. Keduanya saling
menghargai.

2.1.4 Profil Mbah Dudha atau Kyai Dhudha

Kyai Dhudha atau Mbah Dhuda merupakan tokoh agama islam di kudus. Dari
peristiwa yang dialami Mbah Dhuda melahirkan kepercayaan masyarakat yaitu untuk
melakukan ritual setiap tanggan 7 Syawal dengan membawa kemenyan, bunga telon, ketupat,
serta lepet di kolam yang terdapat banyak bulusnya. Bulus itu dipercaya sebagai murid Mbah
Dhudha. Mbah Dudha merupakan ahli nujum dari Syeh Subakir. Setelah Syeh Subakir wafat ,
Mbah Dudha menjadi ahli nujum dari Sutowijoyo dan Sultan Agung. Dia mempunyai 2
murid bernama Umaro dan Umari. Pad suatu hari yaitu tanggal 17 Rhomadhon. Setelah
sholat tarawih, kedua muridnya diperintahkan untuk menyiapkan bibit padi yang akan
ditanam (ndaut). Kebetulan ketika itu rombongan wali songo datang berkunjung ke tempat
Mbah Dudha.

Saat rombongan tiba terdengar suara grubyuk-grubyuk. Sehingga sunan ampel


bertanya suara apa itu. Lalu Mbah dudha menjawab bahwa itu suara orang ndaut. Sunan
Ampel mengatakan bahwa suara itu seperti bulus. Akibat kata-kata sunan Ampel tersebut
murid Mbah Dudha menjadi bulus. Rombongan sunan mengetahui kejadian itu dan
menganggap bahwa itu adalah takdir. Saat pulang sunan Ampel menancapkan tongkat dan
menyuruh sunan Muria mencabutnya. Dari bekas cabutan itu muncul sumber air. Sehingga
tempat itu dinamakan dukuh Sumber. Dua bulus tadi ditempatkan di situ. Sunan Ampel
mengatakan bahwa akan ada orang yang datang membawakan makanan untuk bulus tersebut.
Sumber lain mengatakan bahwa bulus tersebut merupakan Mbah Dudha yang sedang ndaut di
sawah.

Saat Iedul Fitri banyak warga yang datang membawa kupat lepet. selain itu setiap
warga yang mempunyai hajat baik melahirkan, mantu atau aktivitas yang lain tidak lupa
membawa berkat pada bulus sebagai tanda minta ijin.

Sungai yang menjadi tempat bermukim bulus mempunyai ukuran 4 meter, di tempat
itu terdapat beberapa bulus dengan ukuran kecil. Sungai tersebut warnanya agak keruh
kehitaman dan sangat kotor. Sungainya juga dangkal dengan sedikit air, namun pada saat
kemarau tidak pernah kekeringan.

2.1.5. Profil Eyang Buyut Sakri Rahtawu

Eyang buyut Sakari atau Eyang Sakri dipandang oleh para pengikutnya sebagai cikal
bakal keberadaan tanah jawa. Secara geneologis dapat di jelaskan dengan bagan alir sebagai
berikut:

Eyang Sakri merupakan tokoh yang sangat dipuja oleh pada pengikutnya. Pertapaanya
menjadi tempet para penduduk yang ingin ngalap berkah, ingin pengay

Anda mungkin juga menyukai