Anda di halaman 1dari 8

UJIAN TENGAH SEMESTER

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Nama : Naushad Sangkar Hazmi


NPM : 1606903236
Kelas : PSDA Pagi
Dosen : Dimas Haryo Pradana S.Si., M.Si.

Petunjuk pengerjaan soal ujian:


Jawaban ditulis dalam bentuk file .doc atau .docx dan dikirim ke:
d.h.pradana@ui.ac.id paling lambat tanggal 10 April 2019 pukul 23.59!
Tulis acuan-acuan yang digunakan dalam menjawab soal!

1. Lengkapi status konservasi dan distribusi global pada tabel berikut!

Tabel 1. Daftar flora dan fauna di suatu kawasan hutan Kalimantan


No. Nama spesies Lokasi pengambilan Endemik
Status konservasi
data ****
1 2 3 4 5 6 7 IUCN CITES Peraturan
* ** Republik
Indonesia***
1 Shorea ✓ ✓ ✓ CR - Tidak Ya
smithiana dilindungi
2 Gastromyzon ✓ ✓ ✓ NE - Tidak Ya
borneensis dilindungi
3 Ciconia ✓ ✓ ✓ ✓ EN - Dilindungi Tidak
stormi
4 Eutropis ✓ ✓ ✓ NE - Tidak Tidak
multifasciata dilindungi
5 Nasalis ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ EN I Dilindungi Ya
larvatus
*diisi dengan CR, EN, VU, NT, LC, DD, atau NE sesuai data pada situs IUCN Redlist
**diisi dengan Appendix I, II, atau III sesuai data CITES
***diisi dengan dilindungi atau tidak dilindungi sesuai Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan No P 106 Tahun 2019
****diisi dengan ya atau tidak

2. a. Hutan tersebut akan dibuka untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Terkait
rencana pembukaan lahan tersebut, perusahaan perlu melakukan AMDAL. Buatlah
kajian AMDAL untuk spesies yang terancam punah dan/atau endemik dengan
melengkapi titik-titik berikut:
Shorea smithiana (merembung)
Ekologi spesies:
Shorea smithiana merupakan tumbuhan endemik yang berada di Hutan Kalimantan.
tumbuhan ini memiliki habitus pohon dengan rata – rata tinggi maksimum 3 – 5 meter.
Shorea smithiana atau pohon meranti (merembung) secara ekologi berperan dalam
menjaga keseimbangan ekosistem dan rantai makanan, pengawetan tanah, dan secara
ekonomis mampu menghasilkan devisa yang cukup besar bagi perekonomian nasional
melalui produk hasil hutannya, baik dalam bentuk kayu maupun non-kayu (Sari &
Karmilasanti 2015: 1).

Dampak langsung:
Dampak langsung pembukaan lahan kebun kelapa sawit terhadap Shorea
smithiana adalah populasi pohon meranti (merembung) akan berkurang jika tidak
dilakukan pemindahan habitat terhadap pohon tersebut. Populasi pohon meranti
(merembung) yang sedikit akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyerbukan secara
alami dan pohon meranti akan sulit untuk melakukan reproduksi yang akan berujung
pada kepunahan (Gunawan 2011: 94 – 96).

Dampak tidak langsung:


Dampak tidak langsung pembukaan lahan kebun kelapa sawit bagi Shorea
smithiana adalah yaitu terganggunya ekosistem yang sudah terbentuk akibatnya hewan
yang memiliki sumber makanan pada pohon tersebut harus melakukan migrasi dan
adaptasi kembali untuk mencari sumber makanan yang baru (Gunawan 2011: 94 – 96).

Rekomendasi pengelolaan:
Pengelolaan yang dapat dilakukan untuk menjaga populasi Shorea smithiana dari
pembangunan kebun kelapa sawit adalah melakukan pengalokasian habitat Shorea
smithiana pada lokasi hutan yang berbeda, restorasi habitat, pengembangbiakan
tumbuhan secara in-situ dan ex-situ, serta menggunakan prosedur yang mematuhi
regulasi hukum yang berlaku kaitannya dengan menghindari kegiatan yang mengganggu
atau berpengaruh negatif terhadap spesies yang dilindungi menurut UU No. 7 Tahun 1999
(Gunarso 2009: 144).

Gastromyzon borneensis
Ekologi spesies:
Gastromyzon merupakan Genus ikan yang kita kenal dengan ikan sapu-sapu yang
berperan dalam proteksi alam, penjagaan kualitas lingkungan, dan penyedia sumber
makanan (Irmawati 2016: 24).

Dampak langsung:
Dampak langsung pembukaan lahan kebun kelapa sawit terhadap Gastromyzon
borneensis adalah berkurangnya luas habitat akibat pembukaan lahan kebun kelapa sawit
yang berujung pada pengurangan populasi habitat karena kondisi habitat yang kecil dan
keterbatasan sumber makanan dalam habitat (Gunawan 2011: 94 – 96).

Dampak tidak langsung:


Dampak tidak langsung pembukaan lahan kebun kelapa sawit terhadap
Gastromyzon borneensis adalah berkurangnya keanekaragaman dalam ekosistem dimana
Gastromyzon borneensis berada serta terganggunya rantai makanan yang melibatkan
Gastromyzon borneensi (Gunawan 2011: 94 – 96).

Rekomendasi pengelolaan:
Pengelolaan yang dapat dilakukan adalah mengelola aliran sungai secara lebih
berhati-hati dan menjamin ketersediaan air bersih di sungai, sehingga pembangunan atau
pembukaan lahan tidak akan berpengaruh buruk bagi kelangsungan hidup spesies ini
maupun spesies lainnya yang habitatnya di sungai (Gunarso 2009: 154).

Ciconia stormi
Ekologi spesies:
Ciconia stormi merupakan kelompok burung bangau yang memiliki aktivitas
lebih banyak di air. Burung pada umumnya memiliki peran sebagai penyeimbang rantai
makanan dalam ekosistem, membantu penyerbukan tanaman, dan predator hama (Urfi
2011: 3 – 9).

Dampak langsung:
Dampak langsung pembukaan lahan kebun kelapa sawit terhadap Ciconia stormi
adalah hilangnya ruang untuk berkembang biak dan sumber pakan serta populasi burung
tersebut akan berkurang. Fauna dapat terganggu oleh kebisingan dan cahaya silau dari
aktivitas pembukaan lahan (Gunawan 2011: 94 – 96).

Dampak tidak langsung:


Dampak tidak langsung pembukaan lahan kebun kelapa sawit terhadap Ciconia
stormi adalah berkurangnya kesinambungan habitat dalam lanskap (relung) yang dapat
menganggu hubungan antara habitat-habitat yang berbeda dan meningkatkan kematian
dari Ciconia stormi seperti tertabrak kendaraan proyek saat pembukaan lahan kebun
(Gunawan 2011: 94 – 96).

Rekomendasi pengelolaan:
Pengelolaan yang dapat dilakukan untuk menstabilkan populasi Ciconia stormi
setelah pembukaan lahan kebun kelapa sawit adalah rehabilitasi hutan guna menjaga
keberlangsungan hidup bangau karena bangau merupakan burung air dimana aktivitasnya
akan lebih sering di daerah air, namun burung ini juga memerlukan pohon sebagai tempat
membuat sarang dan meninggalkan kayu di lantai kebun kelapa sawit baik bagi habitat
burung yang bersarang pada lubang kayu (Gunarso 2009: 146).

Eutropis multifasciata
Ekologi spesies:
Kadal (Eutropis multifasciata) merupakan salah satu hewan vertebrata yang
berkulit kering, menanduk, dan biasanya tertutup oleh sisik-sisik atau papan-papan
epidermal yang tersusun seperti susunan genting, sehingga memudahkan hidup pada
lingkungan yang kasar. Kulit yang tidak dapat ditembus oleh air membantu memperkecil
kehilangan air karena penguapan pada permukaan kulit. Habitat kadal pada umumnya
berada di tempat-tempat yang lembap seperti persawahan, kubangan air, sekitar kolam,
pinggir sungai, dan disekitar rawa-rawa (Miralles dkk. 2009: 47 – 68). Spesies tersebut
juga bersembunyi di bawah pohon untuk menghindari intensitas cahaya. Walaupun
begitu, kadal tersebut tetap membutuhkan intensitas cahaya untuk menghangatkan
tubuhnya. Sumber makanan dari spesies tersebut adalah aneka serangga (Ibrahim dkk.
2012: 368 – 381).

Dampak langsung:
Dampak langsung pembukaan lahan kebun kelapa sawit terhadap Eutropis
multifasciata adalah hilangnya ruang untuk berkembang biak dan sumber pakan serta
populasi kadal tersebut akan berkurang. Fauna dapat terganggu oleh kebisingan dan
cahaya silau dari aktivitas pembukaan lahan (Gunawan 2011: 94 – 96).

Dampak tidak langsung:


Dampak tidak langsung pembukaan lahan kebun kelapa sawit terhadap Eutropis
multifasciata adalah mengganggu populasi kadal karena pegerjaan proyek pembukaan
lahan kebun kelapa sawit dan mengganggu rantai makanan kadal karena beralih
fungsinya sumber pakan kadal menjadi kebun kelapa sawit serta aktivitas pembukaan
lahan menyebabkan intensitas cahaya menjadi meningkat yang dapat mengakibatkan
kadal harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru dalam jangka waktu yang lama
(Moment 1967).

Rekomendasi pengelolaan:
Cara pengelolaan terbaik untuk menangani permasalahan ini adalah menyediakan
kawasan yang luas untuk melindungi spesies Eutropis multifasciata disertai dengan
pengawasan yang ketat. Jika tidak memungkinkan untuk berada di perkebunan kelapa
sawit diperlukan konservasi secara ex-situ maupun in-situ agar populasinya tidak
menurun (Gunarso 2009: 144 – 146).

Nasalis larvatus
Ekologi spesies:
Nasalis larvatus merupakan primata endemik Kalimantan dengan ciri unik yaitu
hidungnya yang panjang. Nasalis larvatus merupakan hewan penyebar biji yang memiliki
kepentingan dari segi ekonomi dan ekologi. Nasalis larvatus akan memakan buah berbiji
dan dikeluarkan kembali dalam bentuk feses, biji tersebut akan tumbuh menjadi individu
baru (Bismark 2009: 1 – 11).

Dampak langsung:
Dampak langsung pembukaan lahan kebun kelapa sawit terhadap Nasalis
larvatus adalah kehilangan habitat akibat pembukaan lahan kebun kelapa sawit dan
kehilangan sumber makanan yang apabila terjadi dapat menyebabkan penurunan populasi
Nasalis larvatus (Gunawan 2011: 94 – 96).

Dampak tidak langsung:


Dampak tidak langsung pembukaan lahan kebun kelapa sawit terhadap Nasalis
larvatus adalah berkurangnya populasi tumbuhan yang dimakan Nasalis larvatus serta
terputusnya rantai makanan dan penurunan populasi tumbuhan tersebut akan terjadi
apabila Nasalis larvatus tidak berada pada hutan tersebut dalam beberapa waktu yang
lama (Gunawan 2011: 94 – 96).

Rekomendasi pengelolaan:
Cara pengelolaan terbaik untuk menangani permasalahan ini adalah menyediakan
kawasan yang luas memungkinkan untuk melakukan perlindungan terhadap Nasalis
larvatus disertai dengan pengawasan yang ketat. Jika tidak memungkinkan untuk berada
di perkebunan kelapa sawit diperlukan konservasi secara ex-situ maupun in-situ agar
populasinya tidak menurun (Gunarso 2009: 144 – 146).

b. Perusahaan tersebut juga akan melakukan High Conservation Value Forest assessment
untuk sertifikasi pengelolaan kebun kelapa sawit dari Roundtable on Sustainable Palm
Oil. Lokasi mana saja yang merupakan hutan High Conservation Value? Berikan
rekomendasi pengelolaan terhadap hutan tersebut!
Lokasi yang merupakan hutan High Conservation Value adalah lokasi 1, 2, 3, 4, 5,
6 dan 7. Hutan High Conservation Value (HCV) adalah hutan yang dikelola karena
memiliki satu atau lebih nilai konservasi tinggi (NKT). NKT dibagi menjadi enam
kategori, namun lokasi pengambilan data termasuk ke dalam dua kategori dengan empat
sub-kategori. Kategori NKT pertama adalah kawasan yang mempunyai tingkat
keanekaragaman hayati yang penting, dengan sub-kategori NKT 1.2, yaitu kawasan
dengan spesies hampir punah serta NKT 1.3, yaitu kawasan yang merupakan habitat bagi
populasi spesies yang terancam penyebaran terbatas atau dilindungi yang mampu
bertahan hidup. NKT kedua yaitu kawasan bentang alam yang penting bagi dinamika
ekologi secara alami dengan sub kategori NKT 2.3 yaitu kawasan yang mengandung
populasi dari perwakilan spesies alami. Lokasi 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 termasuk kedalam
kawasan NKT 1.2; 1.3; 2.3 sebab terdapat spesies dengan status IUCN Endangered dan
spesies endemik. Lokasi 3 juga termasuk kedalam kategori NKT 5, yaitu kawasan yang
mempunyai fungsi penting untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokasl. Hal
tersebut dikarenakan nilai ekonomis Shorea smithiana sebagai perabotan rumah tangga
(Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia 2008: 6 – 9).
Sebelum melakukan melakukan pengelolaan terdapat hal yang perlu diperhatikan
yaitu identifikasi ancaman-ancaman terhadap area prioritas, mencatat temuan satwa untuk
mengetahui presence/absence, dan populasi serta penggunaan habitat seiring dengan
perubahan waktu. Pengelolaan dapat dilakukan dengan melindungi habitat masing-
masing spesies untuk menjaga keberlangsungan hidup tiap spesies, serta melakukan
konservasi secara in-situ maupun penangkaran. Penangkaran hanya diadakan apabila
kelimpahan spesies pada habitat aslinya sangat rendah. Pengelolaan lokasi 3 harus
dilakukan dalam jangka panjang karena kayu Shorea smithiana digunakan sebagai
perabotan, sehingga lahan hutan perlu dijaga kualitas dan kuantitasnya, serta diberikan
perlindungan dari eksploitasi (Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia 2008: 10).

DAFTAR ACUAN
Bismark, M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam. Kampus Balitbang Kehutanan, Bogor: ix + 147
hlm.
Gunarso P., dkk. 2009. Pengelolaan sumberdaya hutan di era desentralisasi: pelajaran
yang dipetik dari hutan penelitian Malinau, Kalimantan Timur. Bogor: 194 hlm.
Gunawan, H. 2011. Mengintegrasikan keanekaragaman hayati dalam amdal sebagai
mitigasi dampak kepunahan spesies. Bogor. Prosiding seminar nasional: 88 –
100.
Ibrahim, J., Anuar, S., Norhayati, A., Shukor, Shahriza, Ain, N., & Rayan, M. 2012. An
Annotated Checklist of Herpetofauna of Langkawi Island, Malaysia. Malayan
Nature Journal, 57(4): 368 – 381.
Irmawati. 2016. Genetika populasi ikan. CV Andi, Yogyakarta: xx + 244 hlm.
Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia. 2008. Panduan identifikasi kawasan
bernilai konservasi tinggi di Indonesia. Tim HCV Toolkit Indonesia, Jakarta;
127 hlm.
Miralles, A., Chaparro, J., & Harvey, M. 2009. Aurilien Three Rare Enigmatic South
American Skins. Zootaxa, 20(12): 47 – 68.
Moment, B.G. 1967. General Zoology. Boston: Houghton Mifflin Company.
Sari, N., & Karmilasanti. 2015. Kajian tempat tumbuh jenis Shorea Smithiana, S.
Johorensis dan S. Leprosula di PT. Itchi hutan manunggal, Kalimantan Timur.
Kalimantan: Jurnal penelitian ekosistem Dipterokarpa Vol.1 (1): 15 – 28.
Urfi, J. A. 2011. The painted stork: ecology and conservation. Springer, London: 159
hlm.

Anda mungkin juga menyukai