Anda di halaman 1dari 17

“METODE SUPERVISI OLEH KEPALA RUANGAN UNTUK

MENINGKATKAN KEPATUHAN 6 SASARAN KESELAMATAN PASIEN


(PENGURANGAN RISIKO INFEKSI) DI RUANG RAWAT INAP
ANYELIR RSUD SOREANG KABUPATEN BANDUNG”

PROPOSAL

ADITYA RISETA HARRIS 318036


CICI LUKITA 318041
DITA MERDEKAWATI 318045
HONSA SRI WAHYUNI 318049
NENDAH YUNIAR 318053
NOVI RUSLIANTI 318057
RESTI DWI YULIANTI 318061
STI RODIAH 318064

PROGRAM PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN PPNI JAWA BARAT

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Keselamatan pasien menjadi isu global yang paling penting saat ini dimana
sekarang banyak dilaporkan tuntutan pasien atas medical error yang terjadi pada pasien.
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman yang meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan ressiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar
dariinsiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya
resiko dan mencegah terjaddinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melakukan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
WHO menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang berhubungan dengan
keselamatan pasien, yaitu: organisational/managerial (budaya keselamatan,
kepemimpinan, dan komunikasi), work group atau tim (struktur atau proses kerja tim,
pengawas), individual worker (kesadaran situasi, pengambilan keputusan, stress,
kelelahan), work and vironment (lingkungan kerja yang berbahaya) (Green, Laurens W,
2000). Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah menegaskan pentingnya keselamatan
dalam pelayanan kepada pasien sehubungan dengan data KTD di rumah sakit deberbagai
negara mennjukan angka yang tidak kecil berkisar antara 3-16%. Gerakan keselamatan
pasien dalam koteks pelayanan kesehatan saat ini diterimaa secara luas diseluruh dunia.
WHO kemudian meluncurkan program work alliance for patient safety pada tahun
2004. Di dalam program itu dikatakan bahwa keselamatan pasien adalah prinsip
fundamental pelayanan pasien sekaligus komponen kritis dalam manajemen mutu.
Indonesia memiliki perhimpunan rumah sakit seluruh Indonesia (PERSI) telah membentuk
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) pada tanggal 1 juni 2005 dan telah
menurbitkan panduan 7 langkah menuju keselamatan pasien. Paduan ini dibuat sebagai
dasar implementasi keselamatan pasien di rumah sakit.
National Patient Safety Agency 2017 melaporkan dalam rentang waktu Januari-
Desember 2016 angka kejadian keselamatan pasien yang dilaporan dari Negara Inggris
adalah sebanyak 1.879.822 kejadian.. Ministry of Health Malaysia melaporkan angka
insiden keselamatan pasien dalam rentang waktu Januari-Desember 2013 sebanyak 2.769
kejadian. Dan untuk Negara Indonesia dalam rentang waktu 2006-2011 Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melaporkan terdapat 877 KTD (National
Patient Safety Agency, 2017)
Berdasarkan hasil observasi Sasaran Keselamatan Pasien tentang sasaran 5 yaitu
risiko tinggi infeksi di RSUD Soreang pada tanggal 27-30 Maret 2019 bahwa terdapat
minimnya perawat akan kepatuhan menggunakan APD saat melakukan tindakan, 8 dari
14 perawat yang mengguanakan handscoon saat akan memberikan intervensi yang
berhubungan dengan cairan tubuh pasien, kemudian kurangnya kepatuhan perawat dalam
melaksanakan five moment untuk cuci tangan. Dimana 7 dari 14 perawat tidak melakukan
cuci tangan sebelum kontak dengan pasien, 5 dari 14 tidak melakukan cuci tangan sebelum
melakukan tindakan aseptik, 100% perawat mencuci tangan setelah terkena cairan tubuh
pasien, 7 dari 7 perawat mencuci tangan setelah kontak dengan pasien, dan 8 dari 14
perawat tidak melakukan cuci tangan setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien

B. Tujuan

1. Tujuan umum
Kepala ruangan mengetahui metode supervisi
2. Tuhuan khusus
a. Mensosialisasikan metode supervisi kepada kepala ruangan dan seluruh perawat
ruangan tentang sasaran keselamatan pasien nomor 5 yaitu risiko tinggi infeksi

C. Bentuk Kegiatan

Bentuk kegiatan yang akan dilakukan demi tercapainya tujuan adalah:


1. Mahasiswa/I melakukan sosialisasi kepada kepala ruangan tentang sasaran
keselamatan pasien nomor 5 yaitu risiko tinggi infeksi.
2. Menjelaskan dampak dari perawat yang tidak melakukan pencegahan risiko tinggi
infeksi sebelum dan setelah melakukan tindakan
Poko dari elminasi infeksi adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand
hygiene yang berlaku secara internasional bisa diperoleh dari WHO, rumah sakit
mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur
yang menyesuaikan atau mengadopsi pedoman hand hygiene yang diterima secara
umum untuk implementasi pedoman di rumah sakit.
Berdasarkan telaah dokumen, RSUD Soreang telah mempunyai pedoman hand hygiene
sesuai dengan standar WHO. Hal ini merupakan upaya untuk menurunkan angka
infeksi terkait pelayanan kesehatan. Namun upaya tersebut belum sepenuhnya berjalan
optimal. Dari hasil observasi tanggal 27-31 Maret 2019, masih ada perawat yang belum
melaksanakan cuci tangan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan (5 moment, 6
langkah), termasuk mengedukasi setiap pasien dan keluarga pasien yang di rawat di
ruangan Anyelir.
3. Kepala ruangan melakukan supervisi kepada seluruh perawat diruang anyelir dalam
melakukan tindakan pencegahan risiko infeksi : cuci tangan 6 langkah, 5 moment.

D. Waktu dan Tempat

Hari/ tanggal: Rabu 10 April 2019


Waktu jam 08.00 WIB sd selesai
Tempat: Ruang Anyelir
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Supervisi

1. Pengertian
Supervisi berasal dari kata super (Bahasa latin yang berarti diatas) dan
videre (Bahasa latin yang berarti melihat). Bila dilihat dari asal katanya, supervise
berrti melihat dari atas. Pengertian suvervisi merupakan pengamatan secara
langsung dan berkala oleh atasa terhadap pekerjaan yang dilakukan bawahan
untuk kemudian bila ditemukan masalah, segera diberikan bantuan yang bersifat
langsung guna mengatasinya.
Supervise adalah segala bantuan dari pemimpin atau penanggung jawab
kepada perawat yang ditujukan untuk perkembangan para perawat dan staf
lainnya dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan. Kegiatan supervise semacam
ini merupakan dorongan, bimbingan dan kesempatan bagi pertumbuhan dan
perkrmbangan keahlian dan kecakapan para perawat.
Supervise merupakan salah satu faktor penguat dan faktor organisasi juga
dapat mempengaruhi kepatuhan perawat dalam pelaksanaan patient safety.
(pancaningrum, 2011)
2. Manfaat
Manfaat supervise menurut Suarly dan Bachtiar, yaitu :
a. Supervise dapat meningkatkan efektivitas kerja. Produktifitas kerja erat
hubungannya dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan bawahan,
serta makin bergunanya hubungan dan suasana yang lebih harmonis antara
atasan dan bawahan.
b. Supervise dapat lebih meningkatkan efisiensi kerja. Peningkatan efisiensi
kerja erat kaitannya dengan makin berkurangnya kesalahan yang dilakukan
bawahan, sehingga pemakaian sumber daya (tenaga, harta, dan sarana) yang
sia-sia akan dapat dicegah

3. Prinsip supervise (Suyanto, 2009)


Agar supervise dapat berjalan dengan baik, maka seorang supervisor harus
memahami prinsip-prinsip supervise dalam keperawatan sebagai berikut :
a. Supervise dilakukan sesuai dengan struktur organisasi
b. Didasarkan atas hubungan professional dan bukan pribadi
c. Kegiatan direncanakan secara matang
d. Bersifat edukatif, supporting, dan informal
e. Memberikan perasaan aman, pada staff dan pelaksana keperawatan.
f. Membentuk hubungan kerjasama yang demokratis antara supervisor dan staff
g. Harus objektif dan sanggup mengadakan “self evalution”
h. Harus progresif, inovatif, fleksible, dan dapat mengembangkan kelebihan
masing-masing perawat yang disupervisi
i. Konstruktif dan kreatif dalam mengembangkan diri disesuaikan dengan
kebutuhan
j. Dapat meningkatkan kinerja bawahan dalam upaya meningkatkan kualitas
asuhan keperawatan
k. Supervise dilakukan secara teratur dan berkala
l. Supervise dilaksanakan secara fleksible dan selalu disesuaikan dengan
perkembangan

B. Kepatuhan

1. Definisi
Kepatuhan (Adherence) adalah suatu perilaku yang timbul akibat adanya interaksi
antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti rencana dengan segala
konsekuensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes
RI, 2011). Patuh adalah sikap positif individu yang ditunjukkan dengan adanya
perubahan secara berarti sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Ketidak patuhan
adalah suatu kondisi pada perawat yang sebenarnya mau melakukannya, akan tetapi
ada faktor faktor yang menghalangi ketaatan untuk melakukan tindakan. Kepatuhan
perawat adalah perilaku perawat terhadap suatu tindakan, prosedur atau peraturan yang
harus dilakukan atau ditaati (Notoatmodjo, 2007).

2. Faktor yang memengaruhi kepatuhan perawat


Perubahan sikap dan perilaku dimulai dari kepatuhan, identifikasi, kemudian
internalisasi. Menurut Gibson ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi
perilaku kerja dan kinerja seseorang yaitu: Faktor individu, faktor organisasi dan faktor
psikologi (Gibson, 2003).
3. Cara mengukur kepatuhan
Pengukuran kepatuhan komunikasi yang efektif dan keamanan obat-obatan yang perlu
diwaspadai dengan cara melakukan observasi atau pengamatan langsung pada perawat
sebelum dan setelah melakukan tindakan kepada pasien. Hal yang akan di observasi
adalah kepatuhan perawat terhadap komunikasi yang efektif dan keamanan obat-
obatan yang perlu diwaspadai

C. Patient Safety/keselamatan pasien

Keselamatan pasien adalah suatu sistem yang dilaksanakan di rumah sakit unntuk
membuat asuhan pasien lebih aman (PERMENKES No.1961/2011). Keselamatan pasien
menjadi salah satu dimensi dalam mutu pelayanan kesehatan sebagaimana yang dipaparkan
oleh Institut of Medicine (IOM, 2004), sehingga keselamatan pasien perlu dikelola dengan
baik agar rumah sakit dapat memberikan pelayanan yang berkualitas. Selain itu menurut
WHO (2005) keselamatan pasien merupakan prinsip dasar dalam pemberian pelayanan dan
merupakan komponen yang kritikal dalam manajemen.
Setiap Rumah Sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan pasien. Hal
ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 11 tahun 2017.
Penyusunan sasaran ini mengacu pada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari
World Health Organization (WHO), yang juga digunakan oleh Komite Keselamatan
Rumah Sakit (KKP-RS) dan Joint Commisions International (JCI). Sasaran keselamatan
pasien meliputi tercapainya ha-hal sebagai berikut : 1) ketepatan identifikasi pasien, 2)
peningkatan komunikasi yang efektif, 3) peningkatan keamanan obat-obatan yang harus
diwaspadai, 4) kepastian tepat lokasi pembedahan, prosedur yang benar dan pembedahan
pada pasien, 5) pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, 6) pengurangan
risiko cedera pasien akibat jatuh.
Dari 6 sasaran keselamatan pasien, hal yang difokuskan pada diskusi/sosialisasi dengan
kepala ruangan untuk dijadikan metode supervisi di Ruang Anyelir adalah tentang
peningkatan komunikasi yang efektif dan peningkatan keamanan obat-obatan yang harus
diwaspadai.
1. Sasaran keselamatan pasien (5) : Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan
kesehatan
Pencegahan dan pengendalian infeksi nosocomial di rumah sakit sangat penting
dilakukan karena kejadian infeksi nosocomial menggambarkan mutu pelayanan
rumah sakit. Risiko terjadinya infeksi di rumah sakit dapat diminimalkan dengan
kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan,
monitoring dan evaluasi (Depkes, RI 2008).
Tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi bisa dilakukan dengan memutus
mata rantai penularan. Komponen rantai penularan ifeksi yaitu mulai dari agen
infeksi, reservoir, pintu keluar, cara penularan, pintu masuk dan penjamu. Perawat
termasuk dalam komponen rantai penularan infeksi dan dapat dimasukkan dalam
pejamu rentan dan tempat tumbuhnya agen penyebab infeksi. Seorang perawat
dalam keadaan daya tahan tubuh menurun akan berpotensi terkena infeksi saat
bekerja, sehingga perawat perlu menggunakan alat pelindung diri (APD) saat
melakukan tindakan kepada pasien. Salah satu dampak dari tidak menggunakan alat
pelindung diri (sarung tangan dan masker) saat bekerja yaitu terkena infeksi
nosokomial.
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan
pelayana kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi
pasien maupun para professional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai
dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi
pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (seringkali dihubungkan
dengan ventilasi mekanis).
Infeksi nosokomial diperoleh pasien saat dilakukan perawatan di rumah sakit, tanpa
adanya tanda tanda infeksi sebelumnya, biasanya terjadi dalam waktu 3x24 jam
sesudah masuk kuman. Jenis infeksi yang sering diderita oleh pasien adalah Infeksi
Luka Operasi, Infeksi Saluran Kemih, dan infeksi Saluran pernapasan bawah
(pneumonia).
Cara penularan infeksi nosokomial bisa ditularkan melalui kontak langsung
(menyentuh klien) dan tidak langsung (benda terkontaminasi), droplet (batuk,
bersin dan bicara), airbone (udara), food (makanan), dan Blood borne (darah).
Terdapat beberapa tindakan pencegahan infeksi nosokomial yaitu melakukan cuci
tangan untuk menghindari infeksi silang; memakai sarung tangan bila kontak
dengan cairan, darah dan bahan terkontaminasi; menggunakan alat pelindung diri
seperti memakai apron, masker, pelindung mata; manajemen benda tajam secara
benar; dan menjaga sanitasi lingkungan.

D. Pengurangan risiko infeksi

1. Definisi
Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapatkan penderita saat sedang
dirawat di rumah sakit dengan ditemukan tanda-tanda klinis dan tidak sedang dalam
masa inkubasi penyakit, tanda-tanda klinis infeksi yang timbul setidaknya 3x24 jam
sejak dirawat dirumah sakit dengan masa perawatan pasien lebih lama (Depkes,
2002). Infeksi merupakan keadaan dimana organisme parasit masuk dan bertahan
hidup pada penjamu (host) dan menimbulkan respon inflamasi (Kemenkes RI,
2011). Nosocomial infection atau yang biasa disebut hospital acquired infection
adalah infeksi yang didapat saat klien dirawat di rumah sakit (Pancaningrum, 2011).
2. Rantai penularan
Rantai penularan infeksi perlu diketahui untuk mengetahui dan melakukan
tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi. Apabila mata rantai dirusak atau
dihilangkan maka infeksi dapat dicegah. Komponen yang bisa menyebabkan
infeksi nosokomial yaitu:
a. Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat
menyebabkan infeksi. Pada manusia mikroorganisme dapat disebabkan berupa
bakteri, virus, jamur, ricketsia dan parasit.
b. Reservoir adalah tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh dan
berkembang biak dan siap ditularkan pada orang. Reservoir yang paling umum
adalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan
organik lainnya serta dapat ditularkan melalui makanan atau air yang tercemar.
c. Pintu Keluar (portal of exit) adalah jalan darimana infeksi meninggalkan
reservoir. Pintu keluar meliputi saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih
dan kelamin, kulit dan membrane mukosa, transplasenta dan darah serta cairan
tubuh lain. Setelah mikroorganisme meninggalkan reservoir harus ada
lingkungan yang cocok untuk dapat hidup sampai menginfeksi orang lain.
d. Cara Penularan (Transmisi) adalah cara penularan mikroorganisme dari
reservoir ke penjamu (Host). kontak transmisi yang paling sering terjadi pada
infeksi nosokomial. Ada beberapa cara penularan yaitu:
1) transmisi langsung yaitu penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu
masuk yang sesuai dari pejamu, seperti memandikan pasien, membalikkan
pasien saat memberikan posisi dan menyentuh permukaan tubuh pasien.
2) Transmisi tidak langsung yaitu penularan mikroba patogen yang
memerlukan adanya “ media perantara “ seperti jarum, peralatan instrument
yang terkontaminasi, tangan terkontaminasi tidak cuci tangan, dan
pemakaian sarung tangan yang tidak diganti diantara pasien.
3) Percikan (droplet transmission) yaitu penularan mikroorganismen melalui
batuk, bersin, berbicara dan saat melakukan tindakan khusus.
4) Airbone Transmisi (melalui udara), transmisi terjadi ketika menghirup
udara yang mengandung mikroorganisme patogen. Mikroorganisme yang
ditransmisikan melaui udara seperti mycobacterium tuberculosis, rubella
dan varicella virus.
5) Food Borne (makanan), transmisi mikroorganisme yang ditularkan melalui
makanan alat kesehatan dan peralatan yang terkontaminasi mikroorganisme
patogen.
6) Blood Borne (melalui darah) infeksi dapat berasal dari HIV, hepatitis B dan
C, melalui jarum suntik yang terkontaminasi.
e. Pintu Masuk adalah tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu bisa melalui
saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih dan kelamin, selaput lender
serta kulit yang tidak utuh (luka)
f. Pejamu (host) adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang cukup
untuk melawan agen infeksi serta mencegah terjadinya infeksi atau penyakit.
3. Jenis-jenis infeksi nosokomial
Infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien berpedoman dengan
menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh CDC Atlanta (Pancaningrum, 2011).
a. Infeksi Luka Operasi (ILO)
Infeksi yang terjadi pada daerah luka operasi, terdiri dari 2 jenis infeksi yaitu
infeksi insisi superfisial yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari
pasca bedah meliputi kulit, subkutan dan jaringan lain diatas fascia,dan infeksi
insisi profunda yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari sampai
dengan satu tahun pasca pembedahan meliputi jaringan lunak yang dalam dari
insisi.
Proses fisiologis penyembuhan luka harus bisa dipahami oleh perawat dalam
melakukan pengkajian luka bersadarkan pengetahuan integritas kulit dan
pencegahan infeksi. Terjadinya infeksi luka operasi merupakan bentuk kelalaian
klinik yang disebabkan oleh mikroba yang menyerang penderita yang didapat
selama dirawat di rumah sakit.35 Pencegahan infeksi pada pasien bedah sangat
diperlukan. Salah satu upaya pencegahannya adalah pemutusan
transmisi/penularan yang merupakan cara paling mudah untuk mencegah
penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya tergantung dari kepetuhan petugas
dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan.
Faktor ketidakpatuhan perawat dalam melakukan perawatan luka post operasi
bisa ditunjukkan dengan belum menggunakan prosedur dengan benar dalam
melakukan perawatan luka seperti: melakukan perawatan luka dengan satu set
medikasi yang digunakan bersama-sama untuk beberapa pasien dimulai dari
perawatan luka yang steril, bersih sampai dengan luka yang kotor. Perawat tidak
melakukan cuci tangan sebelum melakukan tindakan medikasi, dan perwat tidak
memperhatikan tehnik steril seperti tidak memakai hanscun dalam perawatan
luka.
b. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi yang didapat sewaktu pasien dirawat atau sesudah pasien dirawat. Saat
masuk rumah sakit pasien belum mengalami infeksi atau tidak dalam masa
inkubasi.
c. Infeksi Saluran Pernapasan/Pneumonia (VAP)
Infeksi saluran napas bagian bawah yang didapat penderita selama dirawat di
rumah sakit. Tindakan medis yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial yaitu
pemberian enteral feeding, prosedur suction dan penggunaan alat-alat ventilator.
d. Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) / Phlebitis
Infeksi yang terjadi selama pasien dilakukan pemasangan infus saat pasien
dirawat di rumah sakit.

E. Tindakan Pencegahan Infeksi

Beberapa tindakan pencegahan infeksi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
(Hidayat, 2014):
1. Aseptik yaitu tindakan yang dilakukan untuk mencegah masuknya mikroorganisme
kedalam tubuh yang kemungkinan besar akan mengakibatkan infeksi. Tujuannya
untuk mengurangi atau menghilangkan sejumlah mikroorganisme, baik pada
permukaan benda hidup maupun benda mati agar alat-alat kesehatan dapat dengan
aman digunakan.
2. Antiseptik yaitu upaya pencegahan infeksi dengan cara membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh lainnya.
3. Dekontaminasi yaitu tindakan yang dilakukan agar benda mati dapat ditangani oleh
petugas kesehatan secara aman, terutama petugas pembersihan medis sebelum
pencucian dilakukan. Dekontaminasi merupakan langkah awal dan sangat penting
dalam penanganan peralatan, perlengkapan, sarung tangan, dan semua benda yang
terkontaminasi. Contohnya adalah meja pemeriksaan, alat-alat kesehatan, dan
sarung tangan yang terkontaminasi oleh darah atau cairan tubuh disaat prosedur
bedah/tindakan pembedahan.
Tujuan dekontaminasi yaitu membuat benda-benda lebih aman saat ditangani oleh
petugas pada saaat dilakukan pembersihan. Benda yang sudah terkontaminasi harus
segera dilakukan dekontaminasi. Pelaksanaan dekontaminasi bisa dilakukan
dengan cara sesegera mungkin merendam peralatan yang terkontaminasi ke dalam
larutan klorin 0.5% selama kurang lebih 10 menit. Petugas kesehatan harus
menggunakan alat pelindung diri yang memadai (sarung tangan tebal) untuk
meminimalkan resiko pajanan terhadap lapisan mukosa dan kontak parentral
melalui bahan yang terkontaminasi (Direktorat Jenderal P2MPL, 2010)
4. Pencucian yaitu tindakan menghilangkan semua kotoran yang kasat mata seperti
darah, cairan tubuh, atau setiap benda asing seperti debu dengan sabun atau diterjen,
air dan sikat. Tujuan dari pencucian untuk mambantu menurunkan mikroorganisme
dari permukaan benda dan mempersiapkan permukaan benda untuk kontak dengan
desinfektan atau bahan sterilisasi sehingga proses disinfeksi dan sterilisasi menjadi
lebih efektif.
5. Sterilisasi yaitu tindakan menghilangkan semua mikroorganisme (bakteri, jamur,
parasit, dan virus) termasuk bakteri endospora dari benda mati.
6. Desinfeksi yaitu tindakan menghilangkan sebagian besar mikroorganisme
penyebab penyakit dari benda mati. Desinfeksi tingkat tinggi dilakukan dengan
merebus atau menggunakan larutan kimia.

F. Hambatan dalam Pelaksanaan Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi


Nosokomial
1. Ketidak patuhan petugas rumah sakit terhdap kebijakan dan standar operasional
prosedur tentang pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial
2. Tidak cukup dana untuk menjamin ketersediaan sarana prasara untuk pelaksanaan
pencegahan dan pengendalian infeksi
3. Tidak didukung oleh sumber daya manusia yang memenuhi kriteri yang telah
ditetapkan
4. Kurang komitmen dari pimpinan dan seluruh anggota (Molina, 2012)

G. Alat Pelindung Diri (APD) Perawat


1. Pengertian Alat Pelindung Diri (APD)
Alat Pelindung Diri (APD) adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk
melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari
potensi bahaya di tempat kerja (Permen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2010). Alat
pelindung diri merupakan salah satu peralatan yang digunakan oleh tenaga kesehatan
untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Melindungi penderita dari
kemungkinan terjadinya infeksi dimulai dari pasien masuk, mendapatkan asuhan
keperawatan dan tindakan medis sampai pasien pulang dari rumah sakit. Pemakaian
alat pelindung diri dalam kegiatan sehari hari lebih banyak berfungsi untuk pelindung
pasien dibanding untuk pelindung perawat (Depkes, 2008).
2. Tujuan penggunaan alat pelindung diri
Melindungi kulit dan selaput lendir perawat dari pajanan semua cairan tubuh dari
kontak langsung dengan pasien. Alat Pelindung diri meliputi sarung tangan, masker
dan pelindung mata, topi, gaun dan apron. Salah satu alat pelindung diri yang
digunakan untuk mencegah kontaminasi antara perawat dengan pasien saat melakukan
tindakan adalah pemakaian sarung tangan dan masker (Depkes RI, 2008).
3. Permasalahan Pemakaian Alat Pelindung Diri
Masalah yang sering dihadapi bagi pekerja yang menggunakan APD (Suardi,
2005):
a. Sering kali perawat tidak mengerti/sadar resiko yang akan terjadi jika tidak
menggunakan APD
b. Perawat merasa panas jika menggunakan APD
c. Perawat menggunakan APD yang tidak sesuai dengan ukurannya sehingga merasa
sesak menjadikan tidak memakainya
d. Merasa tidak nyaman atau tidak enak dipandang apabila memakai baju APD
dengan ukuran yang besar yang tidak sesuai dengan ukuran baju
e. Bahan APD yang dipakai terlalu berat sehingga perawat tidak memakainya
f. Ketidak biasaan pemakaian APD seperti sarung tangan, masker dapat mengganggu
pekerjaan
g. Perawat yang tidak menggunakan APD tidak ada sanksi dari pimpinan yang
berpengaruh pada ketidakpatuhan perawat dalam menggunakan APD
h. Tidak adanya contoh dari atasan yang membuat perawat mengikuti untuk tidak
menggunakan APD.

H. Pedoman Umum Alat Pelindung Diri


1. Selalu menjaga kebersihan tangan meskipun menggunakan APD
2. Segera melepas dan mengganti APD yang tidak dapat digunakan kembali setelah
mengetahui APD tidak berfungsi secara optimal seperti sobek atau rusak
3. Sesegera mungkin melepaskan APD setelah selesai memberikan pelayanan kepada
pasien dan hindari kontaminasi lingkungan diluar isolasi, para pasien atau pekerja lain,
dan diri anda sendiri
4. Membuang semua perlengkapan APD dengan hati-hati dan segera melakukan cuci
tangan
(Depkes RI, 2009).

I. Faktor-faktor penting yang harus diperhatikan dalam penggunaan APD


1. Menggunakan APD sebelum kontak dengan pasien
2. Mengguanakan dengan hati-hati jangan menyebarkan kontaminasi
3. Melepas dan membuang APD secara hati-hati ke tempat limbah infeksius yang telah
tersedia
4. Segera membersihkan tangan sesuai dengan langkah-langkah pada pedoman
membersihkan tangan (Depkes RI, 2009)
BAB III

PROSEDUR KEGIATAN

A. Langkah/Tahapan Implementasi
1. Mahasiswa/Mahasiswi melakukan sosialisasi supervise kepada kepala ruangan
2. Kepala ruangan dan perawat melakukan pelaksanaan pencegahan risiko infeksi
(penggunaan APD, cuci tangan 6 langkah, 5 moment)

B. Media Implementasi
1. Buku rekam medis pasien
2. Handscrub/handsainitizer
3. APD

C. Evaluasi
Setelah pelaksanaan supervisi, diharapkan terjadi peningkatan kepatuhan dalam
pencegahan risiko infeksi berupa penggunaan APD, pelaksanaan kepatuhan cuci
tangan 6 langkah, 5 moment di Ruang Anyelir RSUD Soreang Kabupaten Bandung
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). Jakarta :

Depkes RI

Depkes, RI. 2008. Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit

dan Fasilitas Kesehatan Latin. Depkes RI.

Direktorat Jenderal P2MPL. Pedoman Pelaksanaan Universal di Pelayanan Kesehatan. Depkes RI

: Jakarta

Kemenkes, RI. 2011. Standar Asuhan Akreditasi Rumah Sakit ed.1. Jakarta

Molina, Vera Fitria. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1691/Menkes/Per/VIII/2011. Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta

Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta

Pancaningrum, D. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat

Inap dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di RS Haji Jakarta. Depok : FK UI

Permen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.08/MEN/VII/2010

Tentang Alat Pelindung Diri. 2010

Rudi Suardi. 2005. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta. PPM

WHO. Practical Guidelines for Infection Control in Health Care Facility India. WHO Regional

Office South East Asia. 2004.

Anda mungkin juga menyukai