Anda di halaman 1dari 28

TUGAS PENYELIDIKAN TANAH

PENGUJIAN PENYELIDIKAN TANAH

NAFISAH

1507122847

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK SIPIL

UNIVERSITAS RIAU

2018
1. CSL Test (Crosshole Sonic Logging)

Crosshole Sonic Loging (CSL) adalah teknik konstruksi yang digunakan untuk mengetahui
nilai integritas pada pondasi bangunan yang terbuat dari beton. Pada umumnya, metode CSL test
ini dipakai untuk menentukan kualitas tempat yang nantinya akan dijadikan pusat
pengeboran (drilled shafts). Crosshole Sonicc Logging test berfungsi untuk menentukan apakah
kondisi pada beton pondasi mengalami masalah atau tidak.

Dengan metode CSL maka bisa dideteksi lokasi lateral yang mengalami cacat atau tidak
cocok untuk pondasi, sifat, luas dan kedalaman. Crosshole Sonic Logging ini tentunya melibatkan
instrument berupa pipa, sensor, dan data logger untuk membaca hasil analisa. Crosshole Sonic
Logging dilakukan menggunakan tabung sebagai akses (tabung pvc atau baja) dengan panjang 1,5
inc. Kemudian, tabung tersebut dipasang dengan cara diikat pada rebar gage, lalu dimasukkan ke
dalam shaft pada saat konstruksi sedang berlangsung. Sebagai perantaranya menggunakan media
air yang dimasukkan ke dalam tabung, setelah itu sensor transmitter dan receiver mulai diturunkan.
Supaya hasil pengukuran akurat maka tinggi kedua sensor ini harus sama rata.

Prinsip kerja pada CSL Test adalah dengan memanfaatkan gelombang sonic melalui
komponen transmitter dan komponen receiver yang ditarik secara bersamaan pada jarak yang
sama. Namun, ada satu hal yang harus diperhatikan yaitu lubang untuk jalur masuk transmitter dan
receiver harus diflushing dengan cara yang benar agar tidak terjadi penyumbatan ketika proses
pengukuran berlangsung. Semua data yang diterima oleh transmitter dan receiver dikirim ke data
logger (perangkat komputer).

Semua prosedur pengukuran di atas terus dilakukan berulang kali secara bertahap, lalu hasil
pengukuran yang diterima dipetakan. Hasil yang diperoleh dari tabung akses melalui kedua sensor
yang dimasukkan masih berupa data grafik sehingga harus dianalisa terlebih dahulu untuk
mengetahui struktur dan kondisi beton pondasi. Dalam melakukan CSL Test ini tentunya harus
memiliki instrument yang dibutuhkan dan tenaga ahli dalam bidang sipil. Jadi, bisa dibilang
memang membutuhkan keahlian khusus untuk melakukan metode ini.

Contoh Pengujian Crosshole Sonic Logging Test di Jembatan Pulau Balang II

Gambar diatas merupakan pemasangan sensor kedalam lubang pondasi bore pile

Bore pile dengan diameter sekitar 2 meter akan dimasukan sensor Transmitter dan Receiver
ke masing-masing lubang yang telah dibuat sebelumnya. Pengujian dilakukan setelah beton
seluruhnya kering dengan persentasi 80 % atau 2 minggu setelah pengecoran bore pile.

Enggineer PT Testindo sedang melakukan pengujian CSL

Pemasangan Croshole Sonic Logging adalah sensor Transmitter dan Receiver


dihubungkan dengan menggunakan komputer CHUM dan data pengujian akan dapat ditampilkan
pada layar tersebut.
Enggineer PT Testindo sedang melakukan pengujian CSL

Cara kerja Crosshole Sonic Logging adalah sensor Transmitter dan Receiver di masukan
ke masing-masing lubang pipa bore pile yang telah dibuat. Sensor Transmitter adalah akan
mengirimkan gelombang yang akan melewati beton dan akan diterima oleh Sensor Receiver.

Gambar diatas merupakan hasil dari pengujian Crosshole Sonic Logging, (garis merah)
merupakan kecepatan waktu dan (garis biru) merupakan gelomban dari pengujian CSL.

Setelah dilakukan pengujian maka akan mendapatkan gelombang yang bisa langsung
dianalisa dan dihitung untuk mengetahaui ketahanan beton dan nilai rambatannya. Pengujian
dengan metode ini dapat dilaksanakan berulang kali untuk mendapatkan nilai yang akurat.
2. Pressuremetter test

A. Pengertian Pressuremeter test


Uji pressuremeter (PMT) adalah uji lapangan yang terdiri atas probe silinder panjang yang
dikembangkan secara radial di dalam tanah sekelilingnya, dengan menggunakan sejumlah cairan
bertekanan pada waktu pemompaan probe. Alat pressuremeter diperkenalkan oleh seorang ahli
Perancis Louis Menard pada tahun 1955. Pengujian dapat dilakukan dalam zona massa tanah yang
lebih luas daripada uji lapangan lainnya.

B. Elemen Dari Alat Pressuremeter Test


Alat pressuremeter memiliki 3 (tiga) elemen utama, yaitu:
1. Probe
Terdiri dari 3 sel (lubang), yaitu 1 measuring cell (pengukur) dan 2guard cell (penjaga).

2. Control panel (monitoring unit)


Monitoring unit mengontrol keseluruhan sistem pengukuran. Alat initerdiri dari semua
meteran untuk measuring cell dan guard cell, reservoir,stopwatch, volumeter, tombol control
(regulator), dan tombol lainnya.Silinder gas CO2 dan N2 diperlukan untuk menjalankan
pengukuran.
Volumeter untuk mengukur pergantian volume dan pengukur tekanan untuk mengukur
tekanan air di measuring cell dan tekanan gas di guardcell. Perbedaan tekanan akan dipertahankan
antara measuring cell danguard celluntuk menjaga measuring cell.Pada lapisan kerikil, koral
maupun batu besar, pengukuran tidak dapat dilakukan karena measuringcell dan guard cell akan
mengalami kebocoran.

3. Co-axialtube
Co-axial tube memiliki sebuah connector dengan 2 inlet, yaitu untuk air dan untuk gas.
Connector ini terhubung ke control panel.Pipa itu memiliki sebuah tabung sebelah dalam yang
membawa air, dan sebuah tabung sebelah luar yang membawa gas.

C. Prinsip Kerja Pressuremeter Test


Prinsip dasar dari pengukuran ini adalah untuk menghasilkan tekanan radial terhadap sisi
lubang dengan menggunakan tekanan di measuring cell pada probe dan pembacaan volume
terekam di volumeter. Membran (selaput) dikembangkan berlawanan dengan tanah dengan air dan
gas minyak dibawah tekanan. Maksud dari pengujian ini adalah untuk mendapatkan hubungan
antara tekanan yang digunakan dengan deformasi tanah. Deformasi tanah dapat diperoleh dari
pencatatan volume fluida yang dimasukkan ke tengah pressuremeter.Tekanan dan perpindahan
volume akan dipertahankan selama pengukuran.Data-data itu akan digunakan untuk menghasilkan
kurva tekanan terhadap pergantian volume. Parameter yang dihasilkan dari pengukuran ini adalah
limit pressure dan modulus elastisitas dari tanah.
D. Kegunaan dan Hasil yang Diperoleh dari Pressuremeter test

 Digunakan dalam pendesainan pondasi


 Kontrol Pemadatan
 Desain perkerasan

Hasil akhirnya berupa Limit pressure, kekuatan tanah, tegangan horizontal, modulus elastisitas,
dan lainnya

E. Kelebihan dan Kekurangan Pressuremeter Test

Kelebihan
 Dapat diaplikasikan pada berbagai tipe tanah dan batuan lunak
 Dapat diinterpretasi sebagai kurva hubungan tegangan-regangan kekuatan secara lengkap.
 Keakuratan pengujian dapat dikontrol dari bentuk kurva
 Dari segi teknis percobaan ini dapat mengukur kekuatan dan deformasi karakteristik.

Kekurangan
 Pengeborannya membutuhkan ketelian dan kehati-hatian yang tinggi
 Tidak cocok digunakan pada gravel (kerikil).
 Kelangkaan alat sehingga alat ini jarang digunakan
 Hasil pengujian sangat berpengaruh terhadap gangguan tanah yang akan diukur.
 Untuk keperluan pengecekan parameter yang didapat dari PMT maka sebaiknya tetap diikuti test
labobatorium ,uji sondir, dan uji SPT

F. Gambar Alat Pressuremeter Test


3. Pengujian Beban Lapangan (Plate Bearing Test)

Pengujian beban lapangan dengan menggunakan metode plate bearing test ini merupakan
metode yang paling handal untuk mendapatkan daya dukung puncak pada suatu lapisan tanah.
Metode akan memberikan langsung kalau uji pembebanan tersebut dilakukan dengan sekala
penuh. Akan tetapi hal ini tidak biasa dilakukan karena harus menerapkan beban yang sangat besar.
Pengujian dengan metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan pelat baja dengan ukuran
12 X 12 inchi atau 24 X 24 inchi. Ukuran ini terlalu kecil jika diektrapolasi ke skala penuh yang
mungkin mempunyai ukuran antara 1,5 – 5 m. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan hasil
ekstrapolasi ini menyangsikan, antara lain :
· A.Kedalaman yang berpengaruh sebesar 4B jauh berbeda untuk model dibandingkan dengan
prototype.
· B. Semakin dalam lapisan yang diuji dari permukaan tanah mempunyai efek yang semakin kaku,
sehingga hal ini akan mempengaruhi reaksi
· penurunan beban.
Prosedur ini telah dibakukan sebagai ASTM D 1194.
Alat yang digunakan :
1. Pelat daya dukung terbuat dari baja dengan ukuran 12 X12 inchi
2. Beban ( Beban menyesuikan uji beban,biasanya mengguakan alat berat )
3. Dongkrak hidrolis
4. Arloji pengukur tekanan
5. Arloji pengukur penurunan

Kesehatan dan Keselamatan Kerja


1. Gunakan pelindung kepala (helmet)
2. Pakain kerja yang memenuhi syarat

Langkah Kerja

 Galilah sumur sampai kedalaman pengujian atau kedalam pondasi, yang lebarnya minimal
4 X lebar pelat (4 X 12 inchi)
 Pasang pelat baja daya dukung dan di atasnya pasang arloji pengukuran penurunan.
 Pasang dongkrak yang dilengkapi denga arloji pengukuran tekanan
 Pasang beban sesuai dengan rencana uji beban di atas dongkrak, dan keseimbangan beban
harus dijaga dengan memasang tumpuan pada ujung dan agar tidak terjadi keruntuhan
akibat tidak stabil.
 Tambahlah tekanan pada dongkrak sehingga beban benar-benar hanya menimpa pada
dongkrak penguji, dan bacalah arloji pengukuran tekanan.
 Catatlah besarnya penurunan tanah yang terjadi, dan tambahlah beban seperti langkah 4
dan 5 dengan waktu selang tidak boleh lebih dari 1 jam.
 Pengujian ini dilakukan sampai penurunan total mencapai 25 mm atau sampai kemampuan
alat penguji tersebut dicapai.
 Setelah beban dilepaskan, catatlah pengembangan tanah akibat pelepasan beban dengan
waktu sama dengan pada waktu pelaksanaan pembebanan.

Dari gambar dapat dilihat hasil pengujian yang diperoleh adalah nilai CBR dan nilai Daya
dukung tanah. Contoh hasil pengujian plate bearing adalah sebagai berikut.
Metode pengujian dilakukan dengan mempersiapkan lokasi yang akan digunakan dengan
meratakan permukaan tanah sehingga plat yang digunakan sebagai tumpuan benar benar
horizontal. Dengan menggunakan alat hidrolic jack yang bertumpu pada plat diameter 300
mm, 457 mm, 600 mm dan 750 mm dan dibebani dengan alat berat minimal 15 ton. Kemudian
mengatur alat dial indicator yang dipasang pada plat untuk mengukur penurunan (mm) setiap
perlakuan beban dari alat hidrolic jack. Penurunan dibaca setiap interval 5 menit.

Pengujian dilakukan dengan menggunakan Excavator PC 200


4. Flat Dilatometer Test (DMT)
A. Pengertian Dilatometer Test (DMT)
Flat Dilatometer Test (DMT) adalah salah satu pengujian di lapangan yang ditemukan 30
tahun yang lalu. DMT biasa digunakan untuk semua kota-kota industry. Standar yang digunakan
antara lain adalah ASTM dan Eurocode. DMT sudah menjadi objek monograf yang rinci oleh
ISSMGE Technical Commite TC16.
Beberapa fitur utama dari DMT antara lain:
 DMT merupakan pengujian penetrasi yang memiliki keuntungan karena tidak memerlukannya
lubang bor.
 DMT merupakan pengujian load-displacement yang memberikan informasi mengenai kekakuan
tanah.
 DMT merupakan alat yang kuat, mudah digunakan.
 DMT menyediakan informasi mengenai sejarah tekanan (Stress History) yang pengetahuannya
merupakan kepentingan utama. Karena sejarah tekanan memiliki pengaruh yang dominan terhadap
perilaku tanah.

Telah banyak penelitian dilakukan dengan uji DMT oleh para ahli geoteknik, namun
sebagian besar dilakukan pada tanah sedimen, yang menghasilkan banyak persamaan korelasi
empiric. Pengujian Flat Dilalometer dilapangan pada tanah residual tropis vulkanik dengan tujuan
untuk mempelajari manfaat yang diperoleh dari uji DMT dilakukan oleh Hadi U Moeno. Penelitian
ini dilakukan pada tanah residul tropis jenis volkanik yang banyak dijumpai di Indonesia dan
banyak digunakan sebagai tanah pondasi maupun tanah bahan urugan. Pengujian lapangan
dilakukan di beberapa lokasi, dimana terdapat tanah residual volkanik tropis warna merah. Lokasi
penelitian di fokuskan pada lokasi Resor Dago Pakar sebagai lokasi primer, daerah Bandung Utara,
yang mempunyai endapan tanah residual cukup tebal dengan luas daerah kurang lebih 450 Ha.

B. Flat Dilatometer
Flat Plate Dilatometer atau Marchetti Dilatometer dan selanjutnya disingkat DMT, adalah
salah satu alat uji penetrasi in-situ yang masih baru digunakan dalam bidang penyelidikan
geoteknik dewasa ini. Uji DMT, merupakan uji penetrasi in-situ yang sederhana untuk mengukur
modulus tanah. Alat ini berupa sebuah pisau (blade) yang datar dan di tengahnya terdapat suatu
pelat bundar (membran) yang dapat bergerak ke luar secara horisontal jika dikembangkan dengan
tekanan. DMT adalah suatu metode uji yang menggunakan alat baca tekanan melalui pelat daun
runcing yang didorong masuk ke dalam tanah, untuk membantu memperkirakan stratigrafi tanah
dan tegangan lateral dalam keadaan diam (at rest lateral stresses), modulus elastisitas dan kuat
geser pasir, lanau dan lempung.
Gambar 1. Alat Dilatometer Test (DMT)

Flat Dilatometer Test (DMT) dibuat dan dikembangkan di Italia oleh Silvano Marchetti
pada tahun 1975. Pada awalnya diperkenalkan di Amerika Utara dan Eropa pada tahun 1980 dan
saat ini telah digunakan di lebih dari 40 negara sebagai alat uji penetrasi in-situ dalam bidang
investigasi geoteknik. Peralatan DMT, metode pengujian dan korelasi awal disajikan dan
digambarkan oleh Marchetti pada tahun 1980 dalam In-situ Test by Flat Dilatometer, dan
selanjutnya DMT telah secara luas digunakan dan di kalibrasi terhadap endapan tanah yang diuji
di seluruh dunia. Telah banyak penelitian dilakukan dengan uji DMT oleh para ahli geoteknik,
namun sebagian besar dilakukan pada tanah sedimen, yang menghasilkan banyak persamaan
korelasi empiris. Keuntungan yang dapat diperoleh dari pengujian DMT sangat anyak, antara lain
mendapatkan parameter geoteknik sepanjang kedalaman pengujian dalam keadaan asli,
mengurangi pengaruh disturbansi pada tanah yang diuji di laboratorium.

Gambar 2. Flat Dilatometer- Tampak depan dan samping

Peralatan uji ini terdiri atas mata pisau nirbaja yang meruncing dengan baji bersudut 180,
yang didorong masuk secara vertikal ke dalam tanah pada interval kedalaman 200 mm (atau
interval alternatif 300 mm) dengan kecepatan 20 mm/det. Mata pisau (panjang 240 mm, lebar 95
mm dan tebal 15 mm) dihubungkan ke alat ukur tekanan di permukaan tanah melalui pipa kawat
khusus melewati batang bor (drill rod) atau batang konus (cone rod). Suatu membran baja fleksibel
berdiameter 60 mm yang dipasang pada salah satu sisi dari mata pisau yang dipompa secara
pneumatik, digunakan untuk menghasilkan dua jenis tekanan.
Komponen DMT
Peralatan dasar dari pengujian DMT bias dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 3. Layout dari pengujian dilatometer

 Dilatometer Blade
Pisau (Blade) memiliki lebar 95 mm dan tebal 15 mm. Pisau ini memiliki ujung tombak
yang berfungsi untuk menembus tanah. Sudut tepi puncak adalah 240-320. Panjang dari bagian
runcing ke ujung bawah tombak adalah sebesar 50 mm. Pisau dapat dengan aman menahan gaya
dorong hingga 250 kN. Pelat bundar (Membran) berasal dari baja dengan diameter 60 mm.
Ketebalan dari pelat bundar tersebut adala 0,2 mm.

Gambar 4. Pisau DMT

Push Rods (Batang Pendorong)


Merupakan batang yang akan mendoron dilatometer blade untuk semakin masuk kedalam
tanah serta berfungsi juga untuk meneruskan sinyal sintal listrik yang berasal dari puncak pisau
tersebut.
 Control Unit
Unit control berada pada permukaan tanah dan digunakan untuk mengukur tekanan pada
setiap kedalaman. Unit konntrol biasanya meliputi dua pengukur tekanan (pressure gages),
pressure source quick connect, pneumatic-electrical cable,galvanometer dan sinyal audio buzzer
(diaktifkan oleh listrik yang berasal dari pisau) yang cepat saat membaca berbagai macam tekanan
tiap kedalamannya, serta ada pula katup untuk mengontrol aliran gas dan system ventilasi.

Gambar 5. Control Unit

 Pneumatic-Electrical Cable
Kabel listrik menyediakan pneumatic dan listrik secara continue diantara unit control dan
pisau dilatometer. Kabel ini terdiri dari kawat stainless yang tertutup oleh nilon tabung dengan
konektor logam khusus di kedua ujungnya. Jenis kabel yang biasa digunakan ada dua tipe yaitu
kabel non-diperpanjang (Non-extandable cable) dan kabel diperpanjang (Extandable cable).

Gambar 6.Tipe dari Pneumatic-electrical cables

 Gas Pressure Source


Pressure source dilengkapi dengan pengatur tekanan, katup dan tabung pneumatic untuk
menghubungkan ke unit control. Pengatur tekanan (cocok untuk tipe gas) harus dapat memasok
output setidaknya 7-8 MPa.

 Electrical Ground Cable


Kabel di bawah (Ground Cable) memberikan kekontinuean penyaluran listrik antara batang
pendorong (push rods) dan unit control. Listrik tersebut dikembalikan ke unit control sederhana
oleh kabel pneumatic listrik untuk pengaturan on/off listrik tersebut.
Detail Kerja Alat Dilatometer Test

Gambar 7. Susunan dan Prosedur Alat Uji Dilatometer

Gambar 8. Alat Uji Dilatometer

Pengujian aini terdiria dari penyisipan penjajal (probe) dilalometer dari Gambar 8 sampai
kedalaman yang diminati z dengan cara mendorong atau memukul. Peralatan dorong CPT dapat
dipakai untuk menyisipkan alat ini dank e dalam tanah dimana N SPT lebih besar dari 35 sampai
40 alat tersebut dapat didorong atau dipukul dari dasar lubang bor yang sudah dibuat sebelumnya
dengan memakai peralatan bor dan pengujian SPT.
Pembuatan DMT pada titik yang dimintai memakai langkah-langkah sebagai berikut:
1. Lakukan pembacaan tekanan pada membrane dalam dilatometer tepat rata dengan pelat
(dinamakan pada tempat “angkat-lepas” (liff-off) dan buatlah koreksi nol yang tepat dan
namakanlah tekanan ini p0.Operator mendapat isyarat pada waktu angkat-lepas.
2. Naikkanlah tekanan penjajal sampai membrane memuai Δd = 1,1 mm ke dalam tanah yang
berbatasan dan koreksilah tekanan ini sebagai p1. Operator mendapat isyarat lagi sehingga
pembacaan tekanan dapat dilakukan.
3. Kurangi tekanan dan lakukan pembacaan seperti pada p1. Operator menerima isyarat lagi
sehingga pembacaan tekanan dapat dilakukan.

Penjajal (Probe) itu kemudian didorong ke posisi kedalaman berikutnya yang terletak 150 sampai
200 mm (atau lebih) lebih kebawah dan lakukanlah seperangkat pembacaan lagi. Satu daur dapat
memakan waktu sekitar 2 menit, sehingga suatu kedalaman 10 m dapat dijajal dalam sekitar 30
menit termasuk waktu persiapannya.

Hasil Uji Flat Dilalometer

Gambar 9. Hasil Uji Dilatometer pada tanah lempung di Bangkok (Shibuya dan Hanh,
2001)
Tabel 1. Formula Dasar dari Reduksi Data DMT
5. METODE SEISMIK

A. Waktu dan Tempat

Praktikum metode seismik ini untuk seismik reflaksi digunakan data sekunder dari asisten
sedangkan untuk sesimik refreksi dilaksanakan di belakang masjid Universitas brawijaya yang
belum jadi pada bulan Desember 2014 dan untuk prosesing data dilaksanakan 3 kali pertemuan.

B. Peralatan

Pada praktikum seismik refraksi digunakan beberapa peralatan sebagai berikut:

1. OYO McSeis 3 model 1817 : 1 unit

2. Geophone : 3 buah

3. GPS : 1 unit

4. Battery size AA : 4 buah

5. Kamera digital : 2 unit

6. Palu pemicu getaran : 1 buah

7. Lempeng besi : 1 buah

8. Peta geologi daerah riset : 1 lembar

9. Meteran : 1 buah

10. Peralatan menulis : 1 set

C. Akuisisi Data

1. Seismik Refraksi
Akuisisi seismik refraksi ini digunakan 3 geophone dengan jarak antar geophone yaitu 2
meter. Prngukuran dilakukan dengan bentang garis yaitu segaris antara sumber seismik dengan 3
geophonnya. Pengukuran juga dilakukan dengan dua konfigurasi yaitu forward dan reverse. Untuk
forward, sumber seismik berada di depan geophone (off end spread) sedangkan reverse, sumber
seismik berada di belakang geophone (end on spread).

Sumber seismik yang digunakan yaitu dengan dentuman palu godam yang sudah disiapkan
beserta lempengan besi. Parameter yang diukur dan dicatat adalah waktu tiba pertama gelombang
seismik atau first break time yang terekam pada alat OYO McSeis 3.

Gambar 3.1: Alat OYO McSeis 3 beserta geophone

Gambar 3.2: rangkaian alat saat pengambilan data seismik refraksi


2. Seismik Refleksi
Dikarenakan keterbatasan peralatan, waktu dan lain sebagainya, maka untuk praktikum
seismik refleksi digunakan data sekunder. Oleh karena itu disisni penulis tidak menjelaskan
akuisisi untuk seismik refleksi

D. Pengolahan Data

1. Seismik Refraksi
Raw data pada akuisisi refraksi adalah berupa waktu tiba gelombang yang dibaca sebanyak
tiga kali. Pengolahan data dilakukan menggunakan bantuan Ms Excel dengan cara merata-ratakan
nilai pembacaan waktu tiba gelombang. Kemudian dibuat grafik hubungan antara waktu tiba
gelombang dengan jarak geophone dari sumber. Dari grafik tesebut ditentuikan gradient-nya.
Besarnya gradient sama dengan 1/V, sehingga kecepatan gelombang dapatcara, yaitu dengan
menggunakan waktu penggal dan jarak kritis, namun pada laporan ini digunakan cara dengan jarak
kritis.

Setelah diketahui nilai kecepatan dan kedalaman tiap lapisan, selanjutnya dibuat model
2D-nya secara sederhana pada program paint untuk melihat bentuk perlapisan bawah permukaan.

2. Seismik Refleksi
Umumnya pengolahan data seismik refleksi dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Pre-processing
Proses yang dilakukan pada tahapan pre-processing adalah meliputi:

a) True Amplitude Recovery

Tahapan ini diperlukan untuk memulihkan kembali besaran-besaran amplitudo


karena kehilangan energi yang disebabkan oleh hal-hal tersebut di atas agar seolah-olah
energi adalah sama pada setiap titik. Adapun proses pemulihan amplitudo ini adalah
dengan cara mengaplikasikan nilai koreksi amplitudo konstan dengan nilai koreksi sebesar
1,6 dB/sec.
b) Edit Trace

Prinsip dari proses editing ini adalah membuang atau menghapus sinyal-sinyal
yang tidak diinginkan (noise) dalam processing data seismik. Pada tahapan ini, ada dua
buah proses editing yang dilakukan, yaitu proses killing trace, dimana pada proses ini
dilakukan penghapusan trace-trace yang mengandung noise dalam bentuk 1 dimensi saja
(dimensi waktu).

Proses yang kedua adalah muting, dimana pada proses ini dilakukan pembuangan
sinyal-sinyal noise yang tidak diinginkan dalam bentuk 2 dimensi. Muting ini biasanya
membuang sinyal-sinyal noise yang muncul sebelum first break time. Adapun jenis mute
yang dipakai pada proyek ini adalah top mute. Selain itu, proses muting ini juga dilakukan
sebagai salah satu cara untuk mengecek (QC) hasil dari geometry assignment yang telah
dilakukan sebelumnya. Apabila terjadi kesalahan dalam proses geometry assignment,
maka hasil plotting dari nilai-nilai mute yang kita berikan akan tidak cocok dengan data.
Hal ini terjadi dikarenakan bentangan yang terjadi di lapangan berbeda dengan pattern yang
telah kita set sebelumnya pada geometry assignment. Jika terjadi kesalahan semacam ini,
maka perlu dilakukan perbaikan ulang pada proses geometri assignment dengan nilai-nilai
pattern yang benar.

c) Filtering

Pada prinsipnya, frekuensi sinyal seismik di lapangan mempunyai bandwith yang


cukup lebar. Pada projek A5.43 ini bandwith frekuensi yang dihasilkan mempunyai range
frekuensi 1 – 250 Hz. Oleh karena itu, dari sekian range bandwith frekuensi yang
dihasilkan tersebut, tidak semuanya merupakan data-data sinyal seismik, sebagian
merupakan sinyal-sinyal noise. Untuk itu diperlukan suatu proses yang dapat memisahkan
range frekuensi antara sinyal sesimik dengan sinyal noise yang biasa dikenal dengan proses
Filtering. Band-pass filter adalah metoda yang mudah untuk menekan noise yang ada di
luar spektrum frekuensi dari sinyal yang diinginkan.

Adapun filter digital yang dipakai pada projek ini merupakan filter digital bandpas
filter dengan range nilai frekuensi 8 – 10 – 40 – 50 (Hz). Nilai parameter ini didapat dari
hasil try & error tes parameter di awal pengerjaan.
d) Dekonvolusi

Dekonvolusi dilakukan sepanjang sumbu waktu (time axis) yang bertujuan untuk
meningkatkan resolusi temporal dengan mengkompresi wavelet seismik asal sampai
mendekati bentuk spike dan meminimalkan reverberasi gelombang. Untuk itulah, maka
pada awal pengerjaan dekonvolusi diperlukan suatu time gate dimana di dalam gate
tersebut diusahakan tercakup nilai-nalai sinyal to noise rasio yang cukup baik agar
dihasilkan operator dekonvolusi yang tepat. Biasanya nilai signal to noise rasio yang masih
cukup baik terdapat antara first break time sampai beberapa milisecond di bawahnya,
dimana amplitudo sinyal masih dapat terlihat cukup kuat. Adapun jenis dekonvolusi yang
dipakai pada pengolahan data kali ini adalah tipe spike / predictive dekonvolusi, dimana
konsep dari metode ini yaitu dengan menggunakan teori filter Wiener yang merupakan
sebuah operasi matematik yang menganut azas kuadrat terkecil dalam menjalankan
operasinya.

e) Koreksi Statik

Tujuan dari koreksi statik ini adalah untuk menghilangkan pengaruh topografi
terhadap sinyal-sinyal seismik yang berasal dari reflektor. Pada flow ini dilakukan
perhitungan koreksi statik berdasarkan metode refraksi statik. Sebelum menjalankan
refraksi statik, user harus menjalankan subflow apply elevation statics terlebih dahulu
untuk menghasilkan harga koreksi statik source dan receiver. Koreksi statik yang telah
telah dihasilkan tersebut akan disimpan di dalam database source dan receiver sebagai
koreksi statik ketinggian (elevation statics), yang diperlukan untuk perhitungan koreksi
refraksi statik sisa (residual refraction statics).

2. Processing

Pemrosesan data seismik adalah untuk mengolah data hasil perekaman yang
merupakan proses awal yang hanya membaca data produksi yang berada di dalam tape dari
Labo. Data dari Labo tersebut kemudian diolah menggunakan data koordinat topografi,
sehingga menghasilkan data berupa penampang melintang stack yang selanjutnya data ini
akan diproses.
Data yang disimpan dalam disket berupa XPS (informasi nomor record, Shot Point,
dan active channel), SEG (koordinat trace), SPS (informasi data mengenai uphole, waktu
tembak, dan SP), RPS (informasi nomor trace dan koordinat), OBS (data seperti laporan),
dan RAW (informasi mengenai kegiatan Labo). Tahapan awal dalam pemrosesan data
adalah pengecekan terhadap data yang terekam dalam cartridge, disket, dan observer
report. Setelah itu dilakukan proses geometri yaitu pemberian titik koordinat pada data
tersebut. Kemudian dilakukan pengecekan terhadap posisi penembakan.

Setelah data mengalami pengecekan dan sesuai dengan kondisi semestinya,


dilakukan tahap preprocessing yaitu proses penyempurnaan data dengan cara true
amplitudo recovery dan deconvolution. Tahapan selanjutnya dengan melakukan velocity
analysis, NMO, dan terakhir proses brute satck. Penampang brute stack ini menampilkan
model struktur lapisan bumi berdasarkan domain waktu. Ada beberapa contoh peranan
topografi terhadap pengolahan data seismik antara lain:

a) Kontrol Geometri

Sebagai contoh pemrosesan data memerlukan koordinat berformat SEG untuk


penentuan quality control geometri yang akan berpengaruh pada hasil stack (penjumlahan
record dari tiap trace yang berada pada CDP yang sama).

b) Koreksi statik

Koreksi statik ini menggunakan elevasi yang diukur oleh topografi. Koreksi ini
dilakukan untuk menyamakan datum dari receiver sehingga diperoleh arrival time yang
terletak pada satu bidang horizontal yang sama.

c) Plotting Final Stack

Pada plotting final stack dibutuhkan data crossing line yang berfungsi untuk
mengikat antara 2 line yang saling berpotongan. Lebih jauh lagi data crossing line ini
dibutuhkan interpreter untuk menginterpretasi awal supaya interpreter dapat melihat
penampang seismik baik itu secara inline maupun crossline secara tepat.
Hasil akhir dari pemrosesan data adalah berupa hasil stack yang merupakan gambaran
yang berada di bawah permukaan yang terekam oleh receiver dimana noise-noise yang ada
sudah difilter, sehingga hasil final stack ini dapat diinterpretasi lebih lanjut oleh interpreter.

3. Post-processing
a) Koreksi Residual Statik
Dalam flow ini akan dilakukan koreksi statik sisa, yang disebut residual statics
correction. Input dari flow ini pada dasarnya adalah koreksi statik ketinggian dari source
dan receiver yang telah dihasilkan sebelumnya dari subflow apply elevation statics di
dalam flow refraction statics. Sebelum masuk ke residual statics, flow pengolahan data
seismik masuk dulu ke trace display, agar dapat dilakukan static horizon picking yang
nantinya akan digunakan sebagai time gate pada pengaplikasian koreksi statik sisa tersebut.
Static horizon picking dilakukan dengan membuat picks untuk satu ensemble traces pada
suatu time, dimana pada time tersebut diperkirakan akan terdapat event seismik yang
utama/dominan.

Setelah dilakukan picking autostatic horizon, kemudian hasil dari koreksi residual
static ini diaplikasikan kembali ke data preprocessing untuk di hitung ulang nilai
kecepatannya melalui analisa kecepatan tahap 2. Sehingga, setelah melalui tahapan proses
ini diharapkan data-data yang dihasilkan benar-benar sudah terkoreksi secara benar dan
menghasilkan penampang seismik yang benar-benar merepresentasikan keadaan bawah
permukaan bumi dengan tepat. Adapun tampilan dari hasil residual static serta analisa
kecepatan ke-2 ini dapat ditampilkan / di-display ke dalam display Final Stack.

b) Migrasi

Untuk mengkoreksi letak titik refleksi pada posisi sebenarnya maka digunakanlah
metode migrasi. Dalam flow ini akan dilakukan serangkaian tahap untuk mengaplikasikan
proses migrasi pada data, sehingga akan dihasilkan dataset terakhir dari pengolahan data
seismik ini berupa data yang telah dimigrasi (migrated data). Algoritma migrasi yang akan
diaplikasikan dapat dipilih sendiri oleh user, disesuaikan dengan kebutuhan dan treatment
dari data yang bersangkutan. Dalam panduan ini, metode yang akan digunakan untuk
migrasi adalah dengan menerapkan postack time migration menggunakan finite difference
time migration dengan max dip 70 derajat. Pemilihan ini didasarkan pada hasil pemilihan
atau try & error pemilihan parameter.

Sampai dengan tahap ini telah selesai dilakukan serangkaian tahap dalam
melakukan pengolahan data seismik postack time migration untuk tahap dasar, yaitu dari
pembacaan raw data seismik sampai dengan dihasilkannya data postack yang telah di
migrasi. Pada penampang postack hasil migrasi tersebut diatas, sangat terlihat adanya efek
smile atau swing. Efek tersebut dapat disebabkan oleh adanya noise dominan yang belum
dibersihkan secara optimal pada saat proses trace editing. Adanya hal tersebut sekaligus
untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa kurang optimalnya (atau bahkan kesalahan)
dalam pengolahan data seismik di suatu tahap (atau flow) akan sangat mempengaruhi hasil
pengolahan dari tahap lainnya, hingga pada akhirnya kesalahan-kesalahan itu akan
terakumulasi pada hasil akhir pengolahan data seismik, yang dalam konteks ini adalah
penampang postack hasil migrasi. Sebagai tahapan akhir dari field processing, dilakukan
suatu tahapan akhir berupa plotting, dimana plotting ini dilakukan sebagai alat untuk
menampilkan hasil akhir data berupa penampang seismik dalam bentuk wiggle lengkap
dengan attribut-atribut keterangan yang menyertainya.

E. Seismik Refraksi
Dari grafik yang telah di plot dari percobaan forward dan reverse didapatkan 3 perlapisan
dengan kecepatan rambat yang berbeda. Kecepatan gelombang merupakan nilai kebalikan dari
gradient (gradient = 1/V), sementara ketebalan lapisan dapat diperoleh dari perhitungan
menggunakan jarak kritis, dengan persamaan sebagai berikut:

Dengan analisa kecepatan dari gradient grafik dan penentuan ketebalan menggunakan
persamaan di atas, maka diperoleh nilai kecepatan dan kedalaman tiap lapisan seperti pada table
berikut:

Tabel hasil perhitungan kecepatan dan ketebalan

Lapisan Forward Reverse

Kecepatan (m/s) Ketebalan (m) Kecepatan (m/s) Ketebalan (m)

1 6000 2,47 13330 2,2

2 1140 0,68 3000 1719,16

3 3330 - 8000 -
Dari perhitungan diatas, dibuatlah perlapisan 2D sebagai berikut:

Dari hasil perhitungan diatas terdapat ketimpangan dengan dasar teori. Bisa dilihat dari
pemodelan diatas kecepatan nya semakin dalam lapisan semakin turun kecepatan rambatnya.

Sedangkan dari pemodelan diatas terjadi ketimpangan akan kedalamannya yang sampai
1719,16 m. Padahal untuk seismik refraksi hanya untuk eksplorasi 40-50 meter saja. Keanehan
yang terakhir adalah nilai kecepatan rambat gelombang yang sangat besar mencapai 8000 m/s.
Jika dibandingkan dengan table kecepatan rambat gelombang, nilai kecepatan gelombang pada
lapisan sedimen atau lapisan lapuk berkisar antara 1400-1800 m/s, seperti yang ditunjukkan pada
table di bawah.

Tabel Massa jenis dan kecepatan gelombang di lapisan sedimen


Beberapa hal yang mungkin mempengaruhi hasil interpretasi seismik refraksi ini sehingga
mengakibatkan ketimpangan adalah proses dan lokasi akuisisi yang tidak memungkinkan
sehingga akuisisi data dilakukan seadanya. Hal ini mungkin menjadi salah satu faktor mengingat
lokasi akuisisi yang curam dan dengan panjang line yang hanya 8 meter. Selain itu, proses
pengolahan data juga memberikan andil dalam kesalahan interpretasi ini, seperti kurang tepatnya
parameter yang digunakan untuk menentukan gradient data pada grafik dan kurang sesuainya
rumus perhitungan yang digunakan untuk menentukan ketebalanan lapisan.

Anda mungkin juga menyukai