Anda di halaman 1dari 50

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Klasifikasi Material


Pada dasarnya, disiplin ilmu “Teknik Material” mempelajari hubungan
antara struktur, sifat, pemprosesan, dan kinerja material, serta mengeksploitasi
hubungan tersebut sehingga dapat menghasilkan suatu produk yang memiliki sifat
yang sesuai dengan desain. Dengan mempelajari hal tersebut, kita dapat memilih
dan mendesain material yang paling tepat untuk setiap aplikasi, serta dapat
menentukan teknik pemrosesan yang paling tepat.
Secara singkat, “stuktur“ dari sebuah material umumnya berhubungan
dengan susunan dari komponen-komponen dari suatu material. Struktur dari suatu
material-material dalam skala atom terdiri atas atom, elektron, molekul. Struktur
ini sering disebut sebagai struktur nano (nano struktures). Struktur nano
mengalami perkembangan sangat pesat pada dekade terakhir ini, dimana
dipercaya akan dapat menjadi pemegang kunci perkembangan teknologi pada
tahun 2015. Dalam skala yang lebih besar, struktur material terdiri atas gabungan
kelompok-kelompok atom, umumnya disebut sebagai struktur microskopik
(microscopic struktures), yang berarti dapat dilihat dengan bantuan microskop.
Terakhir, struktur mikroskopik akan bergabung menjadi sesuatu yang dapat dilihat
oleh mata telanjang, yang disebut sebagai stuktur makroskopik (macroscopic
struktures).
Terminologi “sifat” akan menjelaskan dalam pemakaian semua material
yang akan terekspos pada faktor eksternal yang menyebabkan material
memberikan respons. Sebagai contoh, sebatang kawat tembaga akan bengkok
ketika kita memberikan beban, rambu-rambu lalu lintas akan bercahaya ketika
terkena sinar lampu mobil, atau sebuah gelas kaca akan pecah ketika terjatuh.
Respons material terhadap stimulus yang diberikan itu disebut sebagai “sifat”
material. Jadi kawat tembaga disebut bersifat plastis, stiker atau cat huruf pada
rambu lalu lintas disebut dinyatakan dalam suatu satuan yang tidak tidak
bergantung pada bentuk dan ukuran.

5
6

Jadi, teknik ini meliputi bagaimana proses penambangan dilakukan,


bagaimana proses pengolahan biji logam, dan kemudian bagaimana mengestrak
logam dari bijihnya sehingga bahan logam setengah jadi dapat diperoleh. Ilustrasi
mengenai teknik metalurgi hanya mencakup ketika bahan setengah jadi diproses
lebih lanjut, maka bidang ini sudah masuk ke area teknik material. Dengan
demikian, anda dapat melihat bahwa pada bidang ini anda akan mempelajari
pengolahan logam mulai dari biji logam hingga logam tersebut dipakai sebagai
stuktur atau produk, bahkan sampai produk tersebut rusak atau berkarat. Jadi jika
anda menguasai bidang ini, anda dapat berkiprah diseluruh cabang ilmu teknik
karena semuanya memerlukan material.
Secara konversional, material dapat dibedakan menjadi tiga (kelompok),
antara lain sebagai berikut.
1. Logam
2. Polimer
3. Keramik
Pengelompokan atau pengatagorian ini terutama didasarkan pada susunan
atom dan kimiawi. selain ketika jenis material tersebut, terdapat juga jenis
material, seperti komposit, semikonduktor, dan bio material. Bagian berikut akan
menjelaskan masing-masing material tersebut.
1. Logam
Material logam tersusun dari atom-atom logam yang merupakan unsur
terbanyak didalam tabel periodik. Atom-atom logam saling berikatan
dalam bentuk ikatan logam, dimana valensi elektronnya bebas.
Bergerak sehingga material ini memiliki konduktifitas listrik dan
terminal yang baik, serta tidak tembus cahaya. Logam memliki
kekuatan yang cukup tinggi, namun cukup ulet. (dapat
dideformasi/diubah bentuk). Contoh logam adalah besi, baja,
aluminium, tembaga, emas, perak, dan emas.
2. Polimer
Material yang termasuk polimer adalah plastik dan karet. Umumnya
polimer merupakan senyawa organik dengan unsur dasar berupa
7

karbon, oksigen dan hidrogen. Unsur-unsur tersebut tersusun dalam


bentuk rantai hingga memliki ukuran molekul yang besar. Atom-atom
dalam suatu rantai polimer saling berkaitan secara konvalen, sementara
ikatan antar rantai adalah ikatan van der waals, polimer umumnya
ringan (memiliki massa jenis yang rendah) dan sangat fleksibel (mudah
diubah bentuk).
3. Keramik
Keramik merupakan senyawa antara unsur logam dan non logam, yang
memiliki ikatan kovalen atau ionik. Umumnya, senyawa material

keramik berada dalam bentuk senyawa oksida (Al203, ZnO2, MgO,

dan lain-lain). Nitrida (A1N, TiN, dan lain-lain), karbida (SiC, WC,
dan lain-lain). Beberapa material yang termasuk dalam klasifikasi
keramik gelas atau kaca, semen, dan keramik yang terbuat dari
lempung. Material keramik umumnya isolator panas dan listrik, tahan
terhadap suhu tinggi, serta keras, namun getas.
4. Komposit
Materil komposit merupakan gabungan lebih dari satu macam material.
Contoh yang paling umum adalah fiberglass, yang terdiri atas serat
gelas (keramik) sebagai penguat didalam material polimer. Komposit
didesain untuk memperoleh efek sinergis dari sifat-sifat material
penyusunannya. Pada fiberglass, misalnya, material didesain agar
memiliki kekuatan yang cukup tinggi (kontribusi dari material gelas),
tetapi memiliki fleksibelitas yang cukup baik (kontribusi dari material
polimer).
5. Semi konduktor
Semi konduktor memiliki sifat penghantar listrik diantara konduktor
dan isolator. Selain itu, penghantar listriknya sangat sensitif terhadap
kehadiran atom pengotor, walau hadir dalam jumlah kecil sekalipun.
Kehadiran atom pengotor ini harus dikontrol dalam daerah yang sangat
kecil. Material semi konduktor memberikan terobosan yang besar pada
rangkaian terintegrasi (interegented cicuite-IC) yang menghadirkan
8

perubahan revolusioner pada berbagai perangkat elektronik dan


komputer pada dua dekade terakhir ini. Sebagai contoh, kini ukuran
telepon seluler semakin ramping dengan kakabilitas yang semakin
canggih.
6. Biomaterial
Biomaterial mencakup material yang dicangkokkan atau ditanamkan
(implant) kedalam tubuh manusia sebagai pengganti bagian tubuh yang
rusak atau sakit. Material ini tidak boleh menghasilkan unsur yang
beracun ketika bereaksi dengan cairan tubuh dan harus konpatibel
dengan jaringan tubuh. Dengan kata lain, reaksi biologis yang buruk
tidak boleh terjadi pada penggunaan biomaterial. Semua material
sebelumnya logam, polimer, keramik, komposit, atau semikonduktor
dapat dipakai sebagai biomaterial. Baja tahan karat yang lapis dengan
titanium merupakan salah contoh biomaterial yang dimanfaatkan
sebagai bahan tulang punggung buatan.

2.2 Karakteristik Material


Karakteristik logam ini dipelajari dari struktur elektronnya atau dengan
kata lain dari pemahaman struktur atom-atom yang membentuknya. Berikut ini
karakteristik dari struktur logam murni. Ion logam berukuran relatif kecil, dengan
diameter sekitar 0,25 nm. Ion-ion sejenis di dalam logam padat murni tertumpuk
bersama secara teratur, dan sebagian besar logam tertumpuk secara kolektif ion-
ion menempati volume minimum. Logam umumnya berbentuk kristal dan
penumpukan ionnya tertutup atau terbuka. Susunan atomnya dapat ditentukan dan
dinyatakan berdasarkan bentuk struktur selnya. Selain itu, karena ikatan metalik
tidak bergantung pada arah. Contoh, baja yang memiliki butiran yang kasar
cenderung kurang tangguh dibandingkan dengan baja yang memiliki butiran
yang halus. Besar butir ini dapat dikendalikan melalui komposisi pada waktu
proses pembuatan, akan tetapi setelah menjadi baja, pengendalian dilakukan
dengan proses perlakuan panas. Tidak semua baja mengalami pertumbuhan butir
yang berarti setelah pemanasan diatas daerah kritis, beberapa jenis baja dapat
9

dipanaskan pada suhu yang lebih tinggi tanpa mengalami perubahan ukuran
butirnya. Hal ini merupakan karakteristik baja karbon sedang, suhu
pengkasarannya tidak tetap dan dapat berubah-ubah, tergantung pada pengerjaan
panas atau dingin sebelumnya.
Bahan logam memiliki beberapa karakteristik. Adapun karakteristik
tersebut digolongkan menjadi empat sifat, yaitu :
1. Sifat mekanis
Sifat mekanis suatu logam adalah kemampuan atau kelakuan logam
untuk menahan beban yang diberikan, baik beban statis maupun dinamis
pada suhu biasa, suhu tinggi, ataupun suhu di bawah 0ºC. Beban statis
adalah beban yang tetap, baik besar maupun arahnya pada setiap saat,
sedangkan beban dinamis adalah beban yang besar dan arahnya berubah
menurut waktu.
Beban statis dapat berupa beban tarik, tekan lentur, puntir, geser, dan
kombinasi dari beban tersebut. Sementara itu, beban dinamis dapat berupa
beban tiba-tiba, berubah-ubah, dan beban jalar. Sifat mekanis logam
meliputi kekuatan kekenyalan, keliatan, kekerasan, kegetasan, keuletan,
tahan aus, batas penjalaran, dan kekuatan stress rupture. Berikut ini
merupakan pembagian dari sifat mekanis, yaitu [2] :
a. Sifat logam pada pembeban tarik
Bila suatu logam dibebani beban tarik, maka akan mengalami
deformasi, yaitu perubahan ukuran atau bentuk karena pengaruh beban
yang dikenakan padanya. Deformasi ini dapat terjadi secara elastis dan
plastis. Deformasi elastis yaitu suatu perubahan yang segera hilang
kembali apabila beban ditiadakan. Sedangkan deformasi plastis yaitu
suatu perubahan bentuk yang tetap ada meskipun beban yang
menyebabkan deformasi ditiadakan.
b. Sifat logam pada pembeban dinamis
Bahan yang dibebani secara dinamis akan lelah dan patah meskipun
dibebani di bawah kekuatan statis. Kelelahan adalah gejala patah dari
bahan disebabkan oleh beban yang berubah-ubah. Kekuatan kelelahan
10

suatu logam adalah tegangan bolak-balik tertentu yang dapat ditahan


oleh logam itu sampai banyak balikan tertentu. Sementara itu, batas
kelelahan adalah tegangan bolak-balik tertinggi yang dapat ditahan
oleh logam itu sampai banyak balikan tak terhingga.
c. Penjalaran
Penjalaran adalah pertambahan panjang yang terus-menerus pada
beban yang konstan. Bila suatu bahan mengalami pembebanan tarik
tertentu dan tetap, maka pertambahan panjangnya mungkin tidak
berhenti sampai ia patah atau mungkin berhenti bergantung pada
besarnya beban tarik tersebut.
d. Sifat logam terhadap beban tiba-tiba
Bila deformasi mempunyai kecepatan regangan yang tinggi, maka
bahan umumnya akan mengalami patah getas, akibat bahan dikenai
beban tiba-tiba. Untuk melihat sifat tersebut dilakukan percobaan
pukul, yang dilakukan pada batang uji dan diberi tarikan menurut
standar yang telah ditentukan.
e. Sifat kekerasan logam
Kekerasan adalah ketahanan bahan terhadap deformasi plastis karena
pembebanan setempat pada permukaan berupa goresan atau
penekanan. Sifat ini banyak hubungannya dengan sifat kekuatan, daya
tahan aus, dan kemampuan dikerjakan dengan mesin (mampu mesin).
Cara pengujian kekerasan terdiri dari tiga macam, yaitu goresan,
menjatuhkan bola baja, dan penekanan.
f. Sifat penekanan
Sifat ini hampir sama dengan sifat tarikan. Untuk bahan getas, besaran
sifat tekanannya cenderung lebih tinggi daripada sifat tariknya.
Sebagai contoh, besi cor kelabu, yang sifat tekanannya kira-kira empat
kali lebih besar daripada sifat tariknya.
g. Sifat logam terhadap geser dan puntir
Pengujian geser suatu bahan akan sulit dilakukan dengan cara memberi
beban berlawanan pada titik yang berlainan (tidak terletak pada suatu
11

garis lurus dan salah satu arah beban), karena akan terjadi
pembengkokan. Yang lebih praktis adalah memberikan beban puntir
pada sumbu suatu bahan yang berbentuk tabung. Pada pengujian ini,
besarnya tegangan geser tidak sama dari permukaan ke pusat, tegangan
geser di permukaan maksimum dan di sumbu nol.
h. Sifat redaman logam
Apabila suatu logam ditarik atau ditekan sehingga terjadi deformasi
elastis kemudian beban tersebut dihilangkan. Dengan demikian, energi
yang dibutuhkan untuk mengubah bentuk asal selalu lebih rendah
daripada energi untuk deformasi elastis, karena penekanan atau tarikan
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya tahanan dalam. Tahanan dalam
adalah kemampuan logam untuk meredam beban atau getaran tiba-tiba.
Sebagai contoh, besi cor kelabu walaupun memiliki kekuatan dan
tahanan kejut yang rendah, tetapi mempunyai tahanan redam yang
tinggi sehingga untuk memegang perkakas, mesin besi cor kelabu
tersebut akan memperoleh hasil yang lebih baik karena dapat meredam
getaran.
i. Sifat plastis
Sifat plastis adalah kemampuan suatu logam atau bahan dalam keadaan
padat untuk dapat diubah bentuk yang tetap tanpa pecah. Sifat itu
penting untuk dipertimbangkan dalam pengolahan bentuk suatu logam.
Kebanyakan logam pada suhu tinggi mempunyai sifat plastis yang baik
dan cenderung bertambah dengan kenaikan suhu. Logam yang tidak
plastis pada suhu tinggi disebut getas panas, yaitu mudah retak karena
deformasi disebabkan adanya suatu beban pada suhu tersebut. Bila
gejala ini terjadi pada suhu kamar biasa disebut getas dingin.
2. Sifat fisik
Sifat fisik adalah sifat bahan karena mengalami peristiwa fisika seperti
adanya pengaruh panas dan listrik.
a. Sifat karena pengaruh panas antara lain mencair, perubahan
ukuran, dan struktur karena proses pemanasan.
12

b. Sifat listrik yang terkenal adalah tahanan dari suatu bahan terhadap
aliran listrik atau sebaliknya sebagai daya hantar listrik.
3. Sifat pengerjaan atau teknologis
Sifat pengerjaan logam adalah sifat suatu bahan yang timbul dalam
proses pengolahannya. Sifat itu harus diketahui lebih dahulu sebelum
pengolahan bahan dilakukan. Pengujian yang dilakukan antara lain
pengujian mampu las, mampu mesin, mampu cor, dan mampu keras[2].
4. Sifat kimia
Sifat kimia dari suatu bahan mencakup kelarutan bahan tersebut pada
larutan basa atau garam, dan pengoksidasian bahan tersebut. Hampir
semua sifat kimia erat hubungannya dengan kerusakan (deterisasi) secara
kimia. Kerusakan tersebut berupa gejala korosi dan ketahanan bahan
terhadap serangan korosi. Hal ini sangat penting dalam praktik[2].

2.3 Diagram Fasa


Diagram fasa adalah representasi grafik hubungan antara batasan
lingkungan (misal: temperatur dan tekanan) komposisi daerah stabilitas fasa.
Diagram fasa memetakan rentang komposisi, biasanya dalam berat tiap unsur
paduan, misal 70% tembaga- 30% nikel dan temperatur melebihi fasa tertentu
yang stabil untuk suatu sistem bahan-bahan yang dihimpun pada data campuran
yang terbeda.

Gambar 2.1 Diagram Fasa


13

Diagram fasa terdiri dari berbagai jenis, yaitu diagram fasa untuk suatu
sistem paduan yang terdiri dari 2 komponen (briner), diagram fasa untuk suatu
sistem paduan yang terdiri dari 3 komponen (terner) dan lain sebagainya.
Dari suatu diagram fasa dapat diketahui beberapa hal, antara lain :
1. Fasa yang terjadi pada komposisi dan temperatur yang berbeda dengan
kondisi pendinginan lambat.
2. Temperatur pembekuan dan derah pembekuan paduan Fe-C bila
dilakukan pendinginan lambat.
3. Temperatur cair dari masing-masing paduan.
4. Batas-batas kelarutan atau kesetimbangan dari unsur karbon pada fasa
tertentu.
5. Reaksi metalurgi yang terjadi yaitu reaksi eutektik, peritektik dan
eutektoid.
Batasan temperatur pada diagram Fe-Fe3C yaitu :
1. A1 adalah temperatur reaksi eutektoid yaitu perubahan fasa autenite
menjadi a+Fe3C (perlit) untuk baja hypo eutektoid.
2. A2 adalah titik currie (pada temperatur 769ºc) dimana sifat magnetik
besi berubah dari ferromagnetic menjadi paramagnetic
3. A3 adalah temperatur tranformasi dari fasa autenite menjadi (ferit)
yang ditandai pula dengan naiknya batas kelarutan karbon seiring
dengan turunnya temperatur.
4. Acm adalah temperatur tranformasi dari fasa autenite menjadi Fe3C
(cementite) yang ditandai pula dengan penurunan batas kelarutan
karbon seiring dengan turunnya temperatur.
Istilah-istilah yang terdapat di diagram fasa, yaitu:
1. Autenit : Larutan pada karbon didalam Fe autenit dengan pelarutan
maksimal 2.41% C pada suhu 1,147𝑜 C
2. Ferit : Larutan padat karbon didalam besi a (FCC) dengan
kelarutan maksimal 0.02% pada suhu 727 ºC
3. Delta : Larutan padat karbon didalam besi dengan kelarutan
maksimal 0,1% pada suhu 1499 ºC
14

4. Pearlit : Campuran mekanis yang homogen antara kristal halus


ferit (a) dengan kadar 0.02% dan kristal halus sementite(Fe3C) dengan
kadar 6,687% yang rapat terletak bersebelahan, serta terjadi pada suhu
727ºC (suhu eutektoid) hal ini terjadi bukan dari larutan cair tetapi dari
larutan pada austenit.
5. Sementit : Ikatan kimia besi karbon (Fe3C) yang terbentuk pada
konsentrasi 6,687% melalui reaksi 3Fe+C ─> Fe3C yang disebut
sebagai karbid besi berwarna terang atau keputih-putihan.
6. Ledeburit : Campuran mekanis yang homogen antara kristal halus
austenit dengan kadar 2,14% dan kristal halus sementit dengan kadar
6,687% yang rapat terletak bersebelahan serta terjadi pada suhu tetap
1.147ºC.

2.4 Pengujian Material


2.4.1 Uji Ketangguhan
Uji ketangguhan digunakan untuk mengetahui kegetasan atau keuletan
suatu bahan (specimen) yang akan diuji dengan cara pembebanan secara tiba-tiba
terhadap benda yang akan diuji secara statik. Benda uji dibuat takikan terlebih
dahulu sesuai dengan standar dan hasil pengujian benda tersebut akan
mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk seperti bengkokan atau patahan
sesuai dengan keuletan atau kegetasan terhadap benda uji tersebut [5].

2.4.1.1 Dasar Pengujian


Pada pengujian ini adalah suatu bahan uji yang ditakik, dipukul oleh
pendulum (godam) yang mengayun. Dengan pengujian ini dapat diketahui sifat
kegetasan suatu bahan. Cara ini dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu charpy
atau cara izod [5].

2.4.1.2 Pengujian Impact Charpy dan Izod


Pada pengujian kegetasan bahan dengan cara impact charpy, pendulum
diayunkan atau diarahkan pada bagian belakang takikan dari batang uji.
15

Sedangkan pada pengujian impact cara izod adalah pukulan pendulum diarahkan
pada jarak 22 mm dari penjepit dan takikannya menghadap pada pendulum [5].
Pengerjaan benda uji pada impact charpy dan izod dikerjakan habis pada
semua permukaan. Takikan dibuat dengan mesin fris atau alat notch khusus takik.
Semua dikerjakan menurut standar yang ditetapkan yaitu ASTM E23 [5].

Gambar 2.2 Sistem Uji Impact Charpy Dan Izod

2.4.1.3 Mesin Uji Impact Charpy dan Izod


Mesin uji impact adalah mesin uji untuk mengetahui harga impak suatu
beban yang diakibatkan oleh gaya kejut pada bahan uji tersebut. tipe dan bentuk
konstruksi mesin uji bentur beraneka ragam, yaitu mulai dari jenis konvensional
sampai dengan sistem digital yang lebih maju [5].
Dalam pembebanan statis dapat juga terjadi laju deformasi yang tinggi
kalau bahan diberi takikan. Semakin tajam takikan, maka akan semakin besar
deformasi yang terkonsentrasikan pada takikan, yang memungkinkan peningkatan
laju regangan beberapa kali lipat [5].

Gambar 2.3 Mesin Uji Impact (a) Izod.(b) Charpy.


16

2.4.1.4 Specimen Uji Impact


Pada pengujian impact dalam proses pengujiaanya menggunakan
specimen sebagai sampel dari material logam yang akan di uji. Material logam
yang akan di uji harus dipotong sesuai ukuran standar specimen yang berlaku.
untuk ukuran specimen sendiri harus mengikuti standar yang berlaku, untuk
pengujian impact yang mengacu pada standar ASTM E23 yang mengatur
bagaimana standar ukuran specimen yang digunakan pada pengujian impact,
dengan ukuran 55 × 10 × 10 mm, dengan takikan ( Notch ) sebesar 45º dan
kedalaman 2 mm.

Gambar 2.4 Specimen Uji Impact

2.4.1.5 Prinsip Dasar Mesin Uji Impact


Apabila pendulum dengan berat G dan pada kedudukan h1 dilepaskan,
maka akan mengayun sampai kedudukan posisi akhir 4 pada ketinggian h 2 yang
juga hampir sama dengan tinggi semula (h1), dimana pendulum mengayun bebas.
Pada mesin uji yang baik, skala akan menunjukkan usaha lebih dari 0,05 kilogram
meter (kgm) pada saat pendulum mencapai kedudukan 4 [5].
Apabila batang uji dipasang pada kedudukannya dan pendulum
dilepaskan, maka pendulum akan memukul batang uji dan selanjutnya pendulum
akan mengayun sampai kedudukan 3 pada ketinggian h2. Usaha yang dilakukan
pendulum waktu memukul benda uji atau usaha yang diserap benda uji sampai
patah dapat diketahui melalui rumus sebagai berikut :
W1 = G × h1 (kg m)

Atau dapat juga diselesaikan dengan menggunakan rumus berikut ini :


W1 = G × λ(1 - cos α ) x g (m/s2)
17

dimana :
W1 = usaha yang dilakukan (kg m)
G = berat pendulum (kg)
h1 = jarak awal antara pendulum dengan benda uji (m)
λ = jarak lengan pengayun (m)
cos λ = sudut posisi awal pendulum
g = percepatan Gravitasi (m/s2)
Sedangkan sisa usaha setelah mematahkan benda uji dapat diketahui
melalui rumus sebagai berikut :

W2 = G × h2 (kg m)

Sehingga dapat diperoleh persamaan sebagai berikut :

W2 = G × λ(1 - cos β) x g (m/s2)

dimana :
W2 = Sisa usaha setelah mematahkan benda uji (kg m).
G = Berat pendulum (kg).
h2 = Jarak akhir antara pendulum dengan benda uji (m).
λ = Jarak lengan pengayun (m).
cos β = Sudut posisi akhir pendulum.
g = Percepatan Gravitasi (m/s2).
Besarnya usaha yang diperlukan untuk memukul patah benda uji dapat
diketahui melalui rumus sebagai berikut :

W = W1 - W2 (joule)

Sehingga persamaan yang diperoleh dari rumus di atas adalah sebagai berikut :

W = G × λ(cos β - cos λ) x g (𝑚/𝑠 2 )

dimana :
W = Usaha untuk mematahkan benda uji (joule)
W1 = Usaha yang dilakukan (joule)
W2 = Sisa usaha setelah mematahkan benda uji (joule)
18

G = berat pendulum (kg)


λ = jarak lengan pengayun (m)
cos λ = sudut posisi awal pendulum
cos β = sudut posisi akhir pendulum
g = percepatan Gravitasi (m/s2)
Dan besarnya harga impact dapat diketahui dari rumus berikut ini :

W
K=
Ao

dimana :
K = nilai impact (kg m/mm2)
W = usaha yang diperlukan untuk mematahkan benda uji (joule)
Ao = luas penampang di bawah takikan (mm2)

Gambar 2.5 Prinsip Dasar Mesin Uji Impact


Besar energi (W1) pada setiap sudut ayun dapat diketahui dari data pada
tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Besar Energi (W1) Pada Setiap Ayun
Energi ( W1 ) Energi ( W1 )
Besar Sudut ( α )
(Kg m) (Joule)
10° 0,0768 0,768

20° 0,292 2,92

30° 0,6432 6,432

40° 1,1232 11,232


19

50° 1,7184 17,184

60° 2,4 24

70° 3,1584 31,584

80° 3,9667 39,667

90° 4,8 48

100° 5,6332 56,332

110° 6,4416 64,416

120° 7,2 72

130° 7,8816 78,816

140° 8,4768 84,768

Sedangkan sisa usaha (W2) pada setiap sudut ayun dapat diketahui dari
data pada tabel berikut ini.
Tabel 2.2 Sisa Usaha (W2) Pada Setiap Ayun
Sisa Usaha ( W2 ) Sisa Usaha ( W2 )
Besar Sudut ( β )
(Kg m) (Joule)

10° 0,0768 0,768

15° 0,168 1,68

20° 0,292 2,92

25° 0,4512 4,512

30° 0,6432 6,432

35° 0,8688 8,688

40° 1,1232 11,232

45° 1,4064 14,064

50° 1,7184 17,184

55° 2,0496 17,184

60° 2,4 24
20

65° 2,7744 27,744

70° 3,1584 31,584

75° 3,5616 35,616

80° 3,9667 39,667

85° 4,3824 43,824

90° 4,8 48

95° 5,2176 52,176

100° 5,6332 56,332

105° 6,0384 60,384

110° 6,4416 64,416

115° 6,8256 68,256

120° 7,2 72

125° 7,5504 75,504

130° 7,8816 78,816

135° 8,1936 81,936

137° 8,3088 83,088

2.4.1.6 Alat Uji Impact Charpy Kapasitas 85 Joule


Dalam praktikum mengenai uji impact pada Laboratorium Teknik Mesin
Lanjut Universitas Gunadarma, menggunakan alat uji impact metode charpy yang
berkapasitas 85 Joule berikut ini merupakan spesifikasi dari alat uji yang
digunakan dalam proses praktikum.

2.4.1.7 Spesifikasi dan Bagian Utama Alat Uji Impact Charpy


Adapun spesifikasi alat uji impact tipe charpy adalah sebagai berikut [5] :
Tipe alat uji : charpy
Kapasitas : 85 Joule
21

Berat pendulum (godam) : 16 kg


Jarak titik ayun dengan titik pukul : 1,2 mm
Posisi awal pemukulan : 80º
Sudut pisau pemukul : 65º
Dimensi alat uji : 750 mm × 400 mm × 1000 mm
Standar bahan uji : Alumunium

2.4.1.8 Komponen dan Bagian Utama Alat Uji Impact Charpy

Gambar 2.6 Bagian-Bagian Utama Alat Uji Impact Tipe Charpy

Sedangkan bagian-bagian utama dari alat uji impact tipe charpy terdiri atas [ 5] :
1. Badan alat uji impact
Badan alat uji impact terbuat dari baja profil dengan tebal baja 5 mm.
Sedangkan dimensi dari badan alat uji impact ini adalah 750 mm ×
400 mm × 1000 mm. Proses pengerjaan yang dilakukan dalam
pembuatan badan alat uji impact ini adalah proses penyambungan
atau proses pengelasan. Badan alat uji impact berfungsi sebagai
tempat dudukan dari bearing dan tempat benda uji. Berikut ini
merupakan gambar alat uji impact tipe Charpy.

Gambar 2.7 Badan Alat Uji Impact Tipe Charpy


22

2. Dasar
Dasar alat uji impact ini memiliki fungsi sebagai dasar dudukan dari
alat uji dan sebagai peredam dan penahan dari efek tumbukan yang
terjadi selama proses pengujian , memiliki massa 10 kg .

Gambar 2.8 Dasar Alat Uji Impact Tipe Charpy


3. Pendulum
Pendulum berfungsi sebagai beban yang akan diayunkan ke benda
uji dan juga terdapat pisau pemukul untuk mematahkan benda uji.
Pendulum terbuat dari baja pelat silinder Ø 230 × 30 mm dengan
berat 8 kg. Pada bagian atas pendulum dihubungkan ke bagian
lengan pengayun dengan cara dilas.

Gambar 2.9 Pendulum Alat Uji Impact Tipe Charpy


4. Lengan pengayun
Lengan pengayun berfungsi untuk menentukan gerakan ayunan dari
poros ke pendulum. Lengan pengayun ini terbuat dari baja silinder Ø
30 × 697 mm dan pada bagian atasnya dihubungkan ke poros dengan
di baut, serta pada bagian bawahnya dihubungkan ke pendulum
dengan cara dilas.

Gambar 2.10 Lengan Pengayun Alat Uji Impact Tipe Charpy


23

5. Poros pengayun
Poros pengayun berfungsi sebagai penerus ayunan dari bearing ke
lengan pengayun dan pendulum. Poros pengayun terbuat dari baja
silinder Ø 30 × 120 mm. Pada bagian ujung kanan dan kirinya
dihubungkan ke bearing dan pada bagian bawah pada bagian
tengahnya dihubungkan dengan lengan pengayun.
6. Bearing
Bearing berfungsi sebagai pengayun poros dan bearing yang
digunakan adalah bearing dengan ukuran diameter dalam atau
diameter poros 30 mm. Bearing ditempatkan pada bagian kanan atas
dan kiri atas pada badan alat uji impact dengan cara dibaut.

Gambar 2.11 Bearing Alat Uji Impact Tipe Charpy


7. Tempat benda uji
Tempat benda uji berfungsi sebagai tempat diletakkannya benda uji
yang akan dilakukan pengujian. Tempat benda uji ini terbuat dari
baja profil U 70 × 40 mm dengan tebal 5 mm. Tempat benda uji dilas
menyatu dengan badan alat uji impact.

Gambar 2.12 Tempat Benda Uji Impact Tipe Charpy


24

8. Busur derajat dan jarum penunjuk


Busur derajat berfungsi sebagai alat pengukur atau alat baca dari
hasil pengujian. Jarum penunjuk berfungsi untuk menunjukkan
angka pada busur derajat yang merupakan hasil dari pengujian.
Jarum penunjuk dihubungkan ke poros pengayun dengan dibaut
sehingga arah ayunannya sesuai dengan arah ayunan poros
pengayun.

Gambar 2.13 Busur Derajat Dan Jarum Penunjuk


9. Pisau pemukul
Pisau pemukul berfungsi untuk memukul benda uji yang telah dibuat
takikan. Posisi pisau pada saat akan memukul adalah di belakang
takikan benda uji. Bahan pisau pemukul ini harus lebih keras dari
benda yang akan diuji dan sudut pisau pemukul adalah 45º

Gambar 2.14 Pisau Pemukul Alat Uji Impact Tipe Charpy


10. Lengan Penahan Pendulum
Lengan penahan pendulum berfungsi sebagai penahan sesaat
pendulum akan menumbuk benda uji , penahan tersebut
menggunakan mekanisme engsel slot sebagai penahanya.
25

Gambar 2.15 Lengan Penahan Pendulum Alat Uji Impact Tipe Charpy
11. Sistem Pengereman
Sistem pengereman digunakan dalam memberhentikan laju atau
pergerakan dari pendulum yang bergerak setelah proses tumbukan
atau pengujian. Sistem pengereman terdiri dari berbagai komponen
mulai dari handle rem, cakram dan caliper.

Gambar 2.16 Komponen Sistem Pengereman Alat Uji Impact Tipe Charpy
12. Steer Pengayun
Steer pengayun berfungsi sebagai alat kendali sebagai penggerak untuk
lengan pengayun , diteruskan daya nya dengan menggunakan sistem
gearset.

Gambar 2.17 Lengan Penahan Pendulum Alat Uji Impact Tipe Charpy
26

13. Gearset.
Gear set digunakan sebagai sistem penerus daya untuk menggerakan
posisi ketinggian derajat dari posisi pendulum , mengguakan jenis roda
gigi lurus ( spur ) denga type rack dan pinion

Gambar 2.18 Gearset Pada Alat Uji Impact Tipe Charpy


Berikut ini merupakan dimensi dari alat uji impact yang ditunjukkan dari
berbagai tampak.

Tampak Depan Tampak Samping


Gambar 2.19 Dimensi Alat Uji Impact

2.4.1.9 Pengoperasian Alat Uji Impact Charpy


Pada umumnya pengoperasian setiap alat uji impact dengan metode
charpy satu dengan alat lainya relatif sama akan tetapi setiap alat uji mungkin
memiliki fungsi dan cara pengoperasian yang berbeda. Pada praktikum pengujian
impact yang menggunakan alat uji impact metode charpy kapasitas 215 Joule
terdiri dari bagian dan komponen yang memiliki fungsi yang berbeda dalam
27

pengoperasiannya. Berikut ini merupakan langkah-langkah pengujian


menggunakan alat uji impact metode charpy kapasitas 215 Joule :
1. Meletakkan benda uji pada dudukan specimen. Dudukan specimen pada
bagian tengah dari alat uji. Penempatan benda uji harus benar-benar berada
pada posisi tengah dimana pisau pada pendulum berada sejajar dengan
takikan benda tersebut.

Gambar 2.20 Cara Menempatkan Benda Uji


2. Mengatur posisi jarum penunjuk pada papan indikator, terdapat 2 bauah
jarum penunjuk pada papan indikator jarum yang panjang adalah jarum
penunjuk sudut pendulum sebelum proses tumbukan atau sudut
pengangkatan pendulum ( Cos α ) dan jarum yang pendek adalah jarum
penunjuk sudut sesudah proses tumbukan ( Cos β ), aturlah kedua jarum
tersebut pada sudut 0º.
3. Mengangkat pendulum sejauh 140º, pengangkatan pendulum hingga
mencapai sudut 140º dengan cara memutar steer kendali pengakat
pendulum searah jarum jam secara perlahan, hingga pada posisi jarum
menunjukan sudut 140º
4. Melepas pendulum, melepaskan pendulum dengan cara melepas pendulum
dari lengan penahan pendulum dengan cara menarik slot pada lengan
penahan pendulum, setelah itu pendulum akan mengayun dan menghantam
specimen uji.
5. Menghentikan pergerakan pendulum, setelah terjadi proses hantaman
pendulum akan tetap mengayun untuk menghentikan ayunan dan
pergerakan dari pendulum dilakukan dengan cara pengereman dengan
28

menekan handle rem pada bagian atas alat uji. Setelah itu setelah
pendulum berhenti.
6. Pengamatan sudut pada papan indikator, mengamati sudut akhir setelah
proses pengujian yaitu sudut ketika pendulum dingkat ( Cos α) dan sudut
sesudah proses tumbukan ( Cos β ).

2.4.2 Uji Lendutan Batang


Mekanika merupakan ilmu fisika yang berhubungan dengan benda diam
atau bergerak dalam pengaruh gaya – gaya yang bergerak padanya. Mekanika
dapat dibagi tiga, yaitu mekanika benda tegar, mekanika benda terdeformasi, dan
mekanika fluida. Statika dan dinamika merupakan bagian dari mekanika benda
tegar. Bila statika membahas benda – benda dalam keadaan keseimbangan baik
pada keadaan diam atau bergerak dengan kecepatan konstan, dinamika merupakan
bagian mekanika yang berhubungan dengan gerak benda dengan percepatan.
Tiga hukum Newton untuk benda bergerak berlaku untuk mekanika benda
tegar, yaitu:
1. Hukum I Newton
Sebuah partikel tetap dalam keadaan diam atau terus bergerak dalam
sebuah garis lurus pada kecepatan tetap bila ada gaya seimbang yang
bekerja padanya.
2. Hukum II Newton
Percepatan sebuah partikel sebanding dengan penjumlahan vektor gaya
yang bekerja padanya dan searah pada penjumlahan vektor tersebut.
F = m.a

Dimana :
F = Gaya (N)
m = Massa partikel (kg)
a = Percepatan (m/𝑠 −2 )
3. Hukum III Newton
Gaya aksi dan reaksi antara 2 partikel yang berinteraksi sama besar.
Berlawanan arah dan segaris. Disamping itu, hukum Newton untuk
29

menentukan gaya tarik menarik gravitasi antara 2 partikel yang dinyatakan


sebagai berikut:
F = G.m1.m2/r2

Dimana :
F = Gaya tarik menarik antara partikel – partikel ( N )
G = Konstanta universalsebesar 66,73 x 10-12 (m3/kg.s2)
m1 & m2 = Masing – masing adalah massa dari partikel 1 dan 2
( kg )
r = Jarak antara partikel – partikel ( m )
Persamaan tersebut dikembangkan untuk menentukan berat sebuah
partikel W, yaitu:
W = m.g

Dimana :
W = Berat sebuah partikel (N)
m = Massa partikel (kg)
g = Percepatan gravitasi sebesar 9,8 m/s2
Sebuah partikel dikatakan dalam keadaan keseimbangan bila partikel
tersebut dalam keadaan diam atau bergerak dengan kecepatan konstan.
Kondisi tersebut tercapai, bila resultan seluruh gaya dan momen sama
dengan nol. Persamaan keseimbangan dinyatakan sebagai berikut :

R= ∑F=0, M= ∑M=0

2.4.2.1 Prinsip Kerja Alat Uji Lendutan Batang


Adapun prinsip kerja alat pada pengujian lendutan batang pada percobaan
ini diantaranya adalah:
1. Batang Kantilever dengan 1 tumpuan ujung
Sebuah batang kantilever dengan ujung satu terikat dan satu ujung
bebas ditunjukkan pada gambar dibawah ini batang mempunyai
panjang batang sebesar l dan diberi beban W pada ujung bebasnya.
30

Akibat pembeban tersebut, maka ujung batang bebas terdefleksi


sebesar y. Ujung terikat mempunyai gaya normal RA dan momen MA
yang berlawanan arah dengan arah gerak jarum jam.
Sumbu-Y

MA
X
Sumbu-x
Ujung terikat Y
RA Ujung bebas

W = m.g

Gambar 2.21 Batang Kantilever 1 Tumpuan.


Berdasarkan syarat keseimbangan, yaitu resultan semua gaya dan
semua momen sama dengan nol.

Resultan semua gaya pada sumbu y adalah :

∑Fy = RA- W = 0

dan

RA = W

Karena itu, gaya normal pada ujung terikat sama dengan beban pada
ujung batang bebas.
Resultan semua momen ujung terikat adalah :

∑M = MA – W. l = 0
31

dan

MA = W.l
Harga momen MA sebesar momen yang dihasilkan akibat beban pada
ujung bebas.
Momen gaya pada titik x sepanjang batang l dapat dinyatakan sebagai :

MA = W.(x.l)

Akibat beban pada ujung bebas, maka batang akan terdfleksi sebagai
berikut :

δ = W.x2 (x-3l)/6El

Dimana :
E = Modulus elastisitas atau modulus Young (Pa)
I = Momen Inersia luas penampang lintang batang (m4)
Defleksi maksimum dari batang kantilever adalah :
δmaks = Wl3/3EI

2. Batang Kantilever dengan 2 Tumpuan ujung


Sebuah batang dengan panjang l ditumpu dengan 2 tumpuan bebas
pada ujung A dan B, seperti ditunjukkan pada gambar 2.3. Di tengah
batang diberi beban sebesar W. Kedua tumpuan tersebut akan
membentuk gaya normal masing – masing RA dan RB.

Sumbu-y x 1

Tumpuan A Tumpuan B Sumbu-x

W= m.g

Gambar 2.22 Batang kantilever 2 Tumpuan.


32

Batang dalam keseimbangan apabila resultan semua gaya dan momen


sama dengan nol.
Resultan semua gaya pada sumbu - y adalah:

∑R = RA + RB – W = 0

Resultan semua momen pada titik A memberikan:

∑MA = RB.l – W.1/2.1

dan

Ra = ½. W

Resultan semua momen pada titik B memberikan :

RA = ½. W

Bagian tengah batang akan terdefleksi sebesar:

δ = Wl4/48.E.I

Dimana :
E = Modulus Elastisitas / Modulus Young (Pa).
I = Momen Inersia luas penampang lintang batang (m4).
Defleksi batang tergantung pada beban yang diberikan W. panjang
batang l, modulus elastisitas E dan momen inersia luas penampang
lintang batang. Modulus elastisitas menunjukkan kekakuan bahan
tergantung jenis bahannya.

2.4.2.2 Prosedur Percobaan Lendutan Batang Dan Rangka


1. Tujuan Percobaan
Berikut ini adalah tujuan percobaan uji lendutan batang diantaranya:
a. Untuk mengukur defleksi dan regangan batang kantilever secara
sederhana.
b. Membandingkan harga analitik dan percobaan dari regangan
batang.
33

c. Mengukur defleksi dan teori untuk menentukan modulus young


dari bahan.
d. Mencatat kesalahan yang mungkin terjadi dalam percobaan batang
kantilever.
2. Peralatan percobaan
Berikut ini adalah peralatan percobaan yang digunakan pada uji
lendutan batang dengan ujung satu tumpuan diantaranya:
a. Peralatan defleksi batang
b. 1 batang silinder baja 1045 dengan panjang 100cm berdiamter
8mm
c. 1 rangka batang atap berbahan baja
d. 1 buah dial indicator dengan probe 10mm
e. 1 buah magnetic stand
f. 20 pemberat
g. 1 buah kunci pas 12

2.4.2.3 Prosedur Percobaan Batang Kantilever Dengan Ujung Satu Tumpuan

Dial Indicator

Ujung bebas
Ujung terikat
Gantungan

Beban

Gambar 2.23 Rangkaian Batang Kantilever Ujung 1 Tumpuan

Prosedur percobaan batang kantilever:


a. Merangkai batang kantilever dengan ujung kiri terikat dan ujung kanan
bebas dengan panjang 50cm, seperti gambar 2.4.
b. Meletakkan tempat beban pada ujung batang bebas dan dial indicator
diatasnya. (mengamati posisi awal dial dan mencatatnya).
34

c. Meletakkan pemberat pertama m1 dan mencatat penurunan posisi pada


dial.
d. Meletakkan pemberat m2 berikutnya dan mencatat penurunan posisi
pada dial.
e. Melakukan prosedur kembali hingga penambahan pemberat ke 10.
f. Menentukan defleksi antara pemberat yang satu dengan pemberat
berikutnya.
g. Membuat grafik antara pemberat (W) dan defleksi (δ) dan menghitung
harga modulus elastisitas (modulus young) E melalui persamaan:
E = W.I3/6δ I (Pa atau N/mm2)

Dimana :
l = Jarak antara ujung jepit dan bebas.
I = Momen Inersia untuk penampang lintang lingkaran
(batang berbentuk silinder).

l Lingkaran = ¼.πr4 , r = jari – jari lingkaran


i. Menghitung tegangan tekuk σb antara pemberat berbeda menggunakan
hubungan :

b = M δ/ I (MPa atau N/mm2) .

dan

M ( Momen Tekuk ) = Wl/4 ( Nmm3 )

2.4.2.4 Prosedur Percobaan Batang Kantilever Dengan Ujung Dua Tumpuan

Dial Indicator

Ujung bebas Ujung bebas


Gantungan

Beban
Gambar 2.24 Rangkaian Batang Dengan Ujung 2 Tumpuan
35

Prosedur percobaan :
a. Merangkai 2 tumpuan pada rangka statik dengan jarak 93cm seperti
ditunjukkan pada gambar 2.5.
b. Memposisikan batang baja karbon 1045 ( S45C ) secara simetris pada
kedua tumpuan tersebut.
c. Meletakkan tempat beban ditengah – tengah batang dan dial indicator
diatasnya ( mengamati posisi awal pada dial dan mencatatnya ).
d. Meletakkan pemberat pertama dan mencatat perubahan posisi dial.
e. Meletakan pemberat berikutnya dan mencatat penurunan posisi pada
dial.
f. Melakukan prosedur tadi hingga penambahan pemberat ke 10.
g. Menentukan defleksi antara pemberat yang satu dengan pemberat
berikutnya.
h. Membuat grafik antara pemberat ( W ) dan defleksi ( δ ), dan
menghitung harga modulus elastisitas ( Young ) E melalui persamaan :

E = WI3/48.δ.I (MPa atau N/mm2)

Dimana :
l = Jarak antara 2 tumpuan ujung
I = Momen inersia untuk penampang lintang lingkaran

l Lingkaran = ¼.πr4 , r = Jari – jari lingkaran

i. Menghitung tegangan tekuk σb antara pemberat berbeda menggunakan


hubungan :
σb= My / I (MPa atau N/mm2)

M ( Momen tekuk ) = Wl/4 ( Nmm3 )

2.4.3 Uji Kekerasan Rockwell

Metode Rockwell merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam


industri karena sangat sederhana dan tidak memerlukan keahlian khusus untuk
36

melakukannya. Peralatan pengujian Rockwell sudah terautomasi sehingga tidak


perlu dilakukan pengukuran jejak. Nilai kekerasan langung ditampilkan dimesin
ketika penjejakan telah selesai dilakukan. Pengujian kekerasan dengan metode
Rockwell ini diatur berdasarkan standar DIN 50103. Adapun standar kekerasan
metode pengujian Rockwell ditunjukkan pada tabel sebagai berikut :

Tabel 2.3 Skala Kekerasan Metode Pengujian Rockwell


Beban Skala Warna
Skala Penekanan
Awal Utama Jumlah Kekerasan Angka
A Kerucut Intan 120° 10 50 60 100 Hitam
Bola Baja 1,558
B 10 90 100 130 Merah
mm (1/16”)
C Kerucut Intan 120° 10 140 150 100 Hitam
D Kerucut Intan 120° 10 90 100 100 Hitam
Bola Baja 3,175
E 10 90 100 130 Merah
mm (1/8”)
Bola Baja 1,558
F 10 50 60 130 Merah
mm
Bola Baja 1,558
G 10 140 150 130 Merah
mm
Bola Baja 3,175
H 10 50 60 130 Merah
mm
Bola Baja 3,175
K 10 140 150 130 Merah
mm
Bola Baja 6,35 mm
L 10 50 60 130 Merah
(1/4”)
M Bola Baja 6,35 mm 10 90 100 130 Merah
P Bola Baja 6,35 mm 10 140 150 130 Merah
Bola Baja 12,7 mm
R 10 50 60 130 Merah
(1/2”)

S Bola Baja 12.7 mm 10 90 100 130 Merah

V Bola Baja 12,7 mm 10 140 150 130 Merah

Tingkatan skala kekerasan menurut metode Rockwell dapat


dikelompokkan menurut jenis indentor yang digunakan pada masing-masing
37

skala. Dalam metode Rockwell ini terdapat dua macam indentor yang ukurannya
bervariasi, yaitu :

1. Kerucut intan dengan besar sudut 120º dan disebut sebagai Rockwell
Cone.
2. Bola baja dengan berbagai ukuran dan disebut sebagai Rockwell Ball.
Untuk cara pemakaian skala ini, kita terlebih dahulu menentukan dan
memilih ketentuan angka kekerasan maksimum yang boleh digunakan oleh skala
tertentu. Jika pada skala tertentu tidak tercapai angka kekerasan yang akurat, maka
kita dapat menentukan skala lain yang dapat menunjukkan angka kekerasan yang
jelas. Berdasarkan rumus tertentu, skala ini memiliki standar atau acuan, dimana
acuan dalam menentukan dan memilih skala kekerasan dapat diketahui melalui
tabel sebagai berikut :

Tabel 2.4 Skala Kekerasan Dan Pemakaiannya

Skala Pemakaiannya
Untuk carbide cementite, baju tipis, dan baja dengan lapisan keras yang
A
tipis.
B Untuk paduan tembaga, baja lunak, paduan alumunium, dan besi tempa.
Untuk baja, besi tuang keras, besi tempa peritik, titanium, baja dengan
C lapisan keras yang dalam, dan bahan bahan lain yang lebih keras
daripada skala B-100.
Untuk baja tipis, baja dengan lapisan keras yang sedang, dan besi tempa
D
peritik.
Untuk besi tuang, paduan alumunium, magnesium, dan logam-logam
E
bantalan.
F Untuk paduan tembaga yang dilunakkan dan pelat lunak yang tipis.

G Untuk besi tempa, paduan tembaga, nikel-seng, dan tembaga-nikel.

H Untuk alumunium, seng, dan timbal.


Untuk logam bantalan, dan logam yang sangat lunak lainnya, atau
K
bahan-bahan tipis.
38

Untuk logam bantalan, dan logam yang sangat lunak lainnya, atau
L
bahan-bahan tipis.
Untuk logam bantalan, dan logam yang sangat lunak lainnya, atau
M
bahan-bahan tipis.
Untuk logam bantalan, dan logam yang sangat lunak lainnya, atau
P
bahan-bahan tipis.
Untuk logam bantalan, dan logam yang sangat lunak lainnya, atau
R
bahan-bahan tipis.
Untuk logam bantalan, dan logam yang sangat lunak lainnya, atau
S
bahan-bahan tipis.
Untuk logam bantalan, dan logam yang sangat lunak lainnya, atau
V
bahan-bahan tipis.

Pembebanan dalam proses pengujian kekerasan metode Rockwell


diberikan dalam dua tahap. Tahap pertama disebut beban minor dan tahap kedua
(beban utama) disebut beban mayor. Beban minor besarnya maksimal 10 kg
sedangkan beban mayor bergantung pada skala kekerasan yang digunakan.

Berikut ini merupakan cara pengujian dan penggunaan dengan menggunakan


metode pengujian Rockwell, yaitu :

1. Cara pengujian kekerasan Rockwell


Cara Rockwell ini berdasarkan pada penekanan sebuah indentor dengan
suatu gaya tekan tertentu ke permukaan yang rata dan bersih dari suatu logam
yang diuji kekerasannya. Setelah gaya tekan dikembalikan ke gaya minor, maka
yang akan dijadikan dasar perhitungan untuk nilai kekerasan Rockwell bukanlah
hasil pengukuran diameter atau diagonal bekas lekukan, tetapi justru dalamnya
bekas lekukan yang terjadi itu. Inilah perbedaan metode Rockwell dibandingkan
dengan metode pengujian kekerasan lainnya. Pengujian Rockwell yang umumnya
dipakai ada tiga jenis, yaitu HRA, HRB, dan HRC. HR itu sendiri merupakan suatu
singkatan kekerasan Rockwell atau Rockwell Hardness Number dan kadang-
kadang disingkat dengan huruf R saja [4].
39

2. Cara penggunaan mesin uji kekerasan Rockwell


Sebelum pengujian dimulai, penguji harus memasang indentor terlebih
dahulu sesuai dengan jenis pengujian yang diperlukan, yaitu indentor bola baja
atau kerucut intan. Setelah indentor terpasang, penguji meletakkan specimen yang
akan diuji kekerasannya di tempat yang tersedia dan menyetel beban yang akan
digunakan untuk proses penekanan. Untuk mengetahui nilai kekerasannya,
penguji dapat melihat pada jarum yang terpasang pada alat ukur berupa dial
indicator pointer. Kesalahan pada pengujian Rockwell dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain :

1. Benda uji.
2. Operator.
3. Mesin uji Rockwell.
Kelebihan dari pengujian logam dengan metode Rockwell, yaitu :

1. Dapat digunakan untuk bahan yang sangat keras.


2. Dapat dipakai untuk batu gerinda sampai plastik.
3. Cocok untuk semua material yang keras dan lunak.
Kekurangan dari pengujian logam dengan metode Rockwell, yaitu :

1. Tingkat ketelitian rendah.


2. Tidak stabil apabila terkena goncangan.
3. Penekanan bebannya tidak praktis.

2.4.3.1 Metode Pengujian Brinell

Pengujian brinell adalah dengan memberikan beban konstan, umumnya


antara 500 dan 3.000 kgf. Dengan indentor baja yang dikeraskan berdiameter 5
atau 10 mm,pada permukaan specimen yang rata. Jejak diukur dengan
menggunakan mikroskop dan dikonversikan. Cara pengujian Brinell dilakukan
dengan penekanan sebuah bola baja yang terbuat dari baja krom yang telah
dikeraskan dengan diameter tertentu oleh suatu gaya tekan secara statis ke dalam
permukaan logam yang diuji tanpa sentakan. Permukaan logam yang diuji harus
40

rata dan bersih. Setelah gaya tekan ditiadakan dan bola baja dikeluarkan dari
bekas lekukan, maka diameter paling atas dari lekukan tersebut diukur secara
teliti, yang kemudian dipakai untuk menentukan kekerasan logam yang diuji
dengan menggunakan rumus:

2F
BHN 
πD[D  D 2
 d 2 ]

dimana :

F = beban yang diberikan (KP atau Kgf)

D = diameter indentor yang digunakan

d = diameter bekas lekukan

Kekerasan ini disebut kekerasan Brinell, yang biasa disingkat dengan HB


atau BHN (Brinell Hardness Number). Semakin keras logam yang diuji, maka
semakin tinggi nilai HB. Bahan-bahan atau perlengkapan yang digunakan untuk
uji kekerasan Brinell adalah sebagai berikut [4]:

1. Mesin uji kekerasan Brinell.


2. Bola baja untuk Brinell (Brinell Ball).
3. Mikroskop pengukur.
4. Stopwatch.
5. Mesin gerinda.
6. Ampelas kasar dan halus.
7. Benda uji (test specimen)
Apabila kita memakai bola baja untuk uji Brinell, biasanya yang terbuat
dari baja krom yang telah disepuh atau cermentite carbide. Bola Brinell ini tidak
boleh berdeformasi sama sekali di saat proses penekanan ke permukaan logam uji.
Standar dari bola Brinell yaitu mempunyai Ø 10 mm atau 0,3937 in, dengan
penyimpangan maksimal 0,005 mm atau 0,0002 in. Selain yang telah distandarkan
di atas, terdapat juga bola-bola Brinell dengan diameter lebih kecil (Ø 5 mm, Ø
41

2,5 mm, Ø 2 mm, Ø 1,25 mm, Ø 1 mm, Ø 0,65 mm) yang juga mempunyai
toleransi-toleransi tersendiri. Misalnya, untuk diameter 1 sampai dengan 3 mm
adalah lebih kurang 0,0035 mm, antara 3 sampai dengan 6 mm adalah 0,004 mm,
dan antara 6 sampai dengan 10 mm adalah 0,005 mm. Penggunaannya bergantung
pada gaya tekan P dan jenis logam yang diuji, maka penguji harus dapat memilih
diameter bola yang paling sesuai [4]. Berikut ini merupakan langkah-langkah yang
dilakukan untuk menguji kekerasan logam dengan metode Brinell, yaitu :

1. Memeriksa dan mempersiapkan specimen sehingga siap untuk diuji.

2. Memeriksa dan mempersiapkan mesin yang akan dipakai untuk


menguji.

3. Melakukan pemeriksaan pada pembebanan, diameter bola baja yang


digunakan, dan alat pengukur waktu.

4. Membebaskan beban tekan dan mengeluarkan bola dari lekukan lalu


memasang alat optis untuk melihat bekas yang kemudian mengukur
diameter bekas sebelumnya secara teliti dengan mikrometer pada
mikroskop. Pangukuran diameter ini untuk sebuah lekuk dilakukan
dua kali secara bersilang tegak lurus dan baru dari dua nilai diameter
yang diperoleh, diambil rata-ratanya. Kemudian dimasukkan ke dalam
rumus Brinell untuk memperoleh hasil kekerasan Brinell-nya (HB).

5. Melakukan proses pengujian sebanyak lima kali sehingga diperoleh


nilai rata-rata dari uji kekerasan Brinell tersebut.

6. Yang perlu diperhatikan adalah jarak dari titik pusat lekukan baik dari
tepi specimen maupun dari tepi lekukan lainnya minimal 2 dari 3/2
diameter lekukannya.

2.4.3.3 Metode Pengujian Vickers

Metode Vickers ini berdasarkan pada penekanan oleh suatu gaya tekan
tertentu oleh sebuah indentor berupa pyramid diamond terbalik dengan sudut
42

puncak 136º ke permukaan logam yang akan diuji kekerasannya, dimana


permukaan logam yang diuji ini harus rata dan bersih [4].
Metode uji kekerasan vickers harus digunakan untuk material dengan
kekerasan tinggi yang tidak dapat diukur dengan metode brinell ( maks. 450 HRB
[48 HRB] ). Indentornya adalah piramid intan yang memiliki dasar berbentuk
kotak dengan beban 1-120 kgf. Pembebanan diberikan selama 10-15 detik dan
jejak berbentuk intan yang diukur kedua diameternya dalam mm.
Setelah gaya tekan secara statis ini kemudian ditiadakan dan pyramid
diamond dikeluarkan dari bekas yang terjad, maka diagonal segi empat bekas
teratas diukur secara teliti, yang digunakan sebagai kekerasan logam yang akan
diuji. Permukaan bekas merupakan segi empat karena pyramid merupakan
piramida sama sisi. Nilai kekerasan yang diperoleh disebut sebagai kekerasan
Vickers, yang biasa disingkat dengan Hv atau HVN (Vickers Hardness Number).
Untuk memperoleh nilai kekerasan Vickers, maka hasil penekanan yang diperoleh
dimasukkan ke dalam rumus berikut ini :
2 F sin θ 2 1,8554 F
Hv  
D2 D2
Bahan-bahan atau perlengkapan yang biasa digunakan untuk uji kekerasan
Vickers adalah sebagai berikut :
1. Mesin percobaan kekerasan Vickers.
2. Mesin gerinda.
3. Indentor pyramid diamond.
4. Ampelas kasar dan halus.
5. Mikroskop pengukur diagonal bekas.
6. Benda uji (test specimen).
7. Stopwatch.
Hal terpenting yang harus dipelajari dalam pengujian Vickers adalah
bagaimana menggunakan alat uji kekerasan Vickers dalam hal memasang indentor
pyramid diamond, meletakkan specimen di tempatnya, menyetel beban yang akan
dipakai, melihat dan mengukur diagonal persegi empat teratas dari bekas yang
terjadi seteliti mungkin [4].
43

2.4.3.3 Spesifikasi Alat Uji Kekerasan (Rockwell Hardness Tester)


Berikut ini merupakan spesifikasi alat uji kekerasan yang dimiliki oleh
Laboratorium Material Teknik & Pengecoran Logam, Jurusan Teknik Mesin,
Universitas Gunadarma, yaitu:

Nama alat : Rockwell Hardness Testing Machine


Merk : MITUTOYO HR-400
Loading : Maximum 150 KP
Minimum 60 KP

Spesifikasi :
1. HRC Load : 150 KP 4. HRD Load : 100 KP
Indentor : Kerucut intan 120º Indentor : Kerucut intan 120º
2. HRB Load : 100 KP 5. HRF Load : 60 KP
Indentor : Steel Ball Ø 1/16” Indentor : Steel Ball Ø 1/16”
3. HRA Load : 60 KP 6. HRG Load : 150 KP
Indentor : Kerucut intan 120º Indentor : Steel Ball Ø 1/16”

Berikut ini merupakan gambar dari alat uji kekerasan Rockwell.

Gambar 2.6 Alat Uji Rockwell


2.4.4 Uji Metalography
Ilmu logam dibagi menjadi dua bagian khusus, yaitu metalurgi dan
metalografi. Metalurgi adalah ilmu yang menguraikan tentang cara pemisahan
logam dari ikatan unsur-unsur lain. Metalurgi dapat dikatakan pula sebagai cara
pengolahan logam secara teknis untuk memperoleh jenis logam atau logam
paduan yang memenuhi kebutuhan tertentu. Sedangkan metalografi adalah ilmu
yang mempelajari tentang cara pemeriksaan logam untuk mengetahui sifat,
struktur, temperatur, dan persentase campuran logam tersebut [3].
Dalam proses pengujian metalografi, pengujian logam dibagi lagi menjadi
dua jenis, yaitu[3] :
1. Pengujian makro (Macroscope Test)
Pengujian makro ialah proses pengujian bahan yang menggunakan
mata terbuka dengan tujuan dapat memeriksa celah dan lubang
dalam permukaan bahan. Angka kevalidan pengujian makro berkisar
antara 0,5 hingga 50 kali.

2. Pengujian mikro (Microscope Test)


Pengujian mikro ialah proses pengujian terhadap bahan logam yang
bentuk kristal logamnya tergolong sangat halus. Sedemikian
halusnya sehingga pengujiannya memerlukan kaca pembesar lensa
mikroskop yang memiliki kualitas perbesaran antara 50 hingga 3000
kali.

2.4.4.2 Langkah-Langkah Pengujian Metalografi


Berikut ini merupakan langkah-langkah untuk melakukan pengujian
metalografi. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai
berikut :

1. Pemotongan

Pemotongan specimen cukup dalam dimensi yang tidak terlalu besar (<
10 × 10 × 10) mm dan tidak boleh menjadi panas berlebihan dalam
proses pemotongan untuk menghindari rusaknya struktur specimen
tersebut akibat panas.
45

2. Penyalutan (Mounting)
Benda kerja yang kecil sukar dipegang pada proses penggerindaan dan
pemolesan, maka perlu disalut terlebih dahulu. Bahan penyalutan yang
digunakan adalah termoplastik seperti resin, yang mencair pada
temperatur 150º C. Berikut ini merupakan bahan-bahan yang
digunakan pada proses penyalutan, yaitu :
Tabel 2.5 Bahan-Bahan Mounting
NO Plastik Tipe Catatan

1 Phenolic (contohnya Thermosetting Memerlukan pengontrolan panas


bakelit) dan tekanan dengan secukupnya
memberikan bahan pelarut secara
perlahan-lahan.

2 Diall phthalete Thermosetting Memerlukan pengontrolan suhu


(prepolimer) panas antara 130º C - 140º C
tekanan, penyusutan rendah, dan
karakteristik polishing yang baik.

3 Phenolic varnish Thermosetting Untuk pengisian vakum oxide


film

4 Epoxy resin Liquid various Araltide grade ialah suatu cairan


(contohnya Araldite) tuangan resin yang memberikan
penyalutan yang baik tanpa
panas dan tekanan, perlahan-
lahan waktu proses mounting.

5 Plyvinyl chloride Thermosetting Penyusutan rendah, lamban biasa


pelarut, tetapi penyelesaian
dengan glacialacetic acai.

3. Penggerindaan atau pengampelasan


Proses ini menggunakan kertas ampelas yang berjenjang dimulai dari
ampelas yang kasar sampai dengan yang halus. Tingkat kehalusan
kertas ampelas ini ditentukan oleh ukuran serbuk silikon karbida yang
46

menempel pada kertas tersebut. Misalnya, terdapat ampelas yang


memiliki tingkat kehalusan hingga 220, angka 220 menunjukkan
bahwa serbuk silikon karbida pada kertas ampelas itu bisa lolos dari
ayakan hingga mencapai 220 lubang pada luas 1 inchi2 (625 mm2).
4. Pemolesan (polishing)
Benda uji yang sudah melewati proses penggerindaan, dieteruskan ke
proses pemolesan. Mesin yang digunakan adalah mesin poles
metalografi. Mesin ini terdiri dari piringan yang berputar dengan kain
beludru (selvyt). Cara pemolesannya, benda uji diletakkan di atas
piringan yang berputar, kain poles diberi sedikit pasta oles. Pasta oles
yang biasa digunakan adalah alumina (Al2O3). Dalam istilah
perdagangan diberi nama autosol atau gama alumina. Bila garis-garis
bekas pengampelasan masih terlihat, pemolesan diteruskan. Apabila
terlihat sudah rata, maka specimen dibersihkan dan dilanjutkan dengan
pengetsaan.
5. Pengetsaan
Hasil pemolesan yang terakhir akan menghasilkan suatu lapisan yang
menutupi permukaan struktur logam. Struktur mikro dapat terlihat
dengan jelas di bawah mikroskop dengan menghilangkan lapisan
tersebut dengan cara mengetsa. Mengetsa dalam kamus, dapat
diartikan sebagai proses pembuatan gambar atau ukuran pada pelat
tembaga, yang dilapisi lilin dengan benda tajam kemudian membiarkan
garis-garis yang diperoleh itu terkena korosi cairan asam. Hasil proses
itu ialah etsa, yaitu berupa gambar atau ukiran. Berikut ini merupakan
penjelasan beberapa larutan etsa untuk pengujian makro dan mikro
yang biasa dipakai dalam metalografi.
a. Adapun bahan larutan-larutan pada etsa makroini adalah sebagai
berikut :
1. Hydrochloric, yang memiliki komposisi 50% asam
hydrochloric dalam air dengan suhu antara 70º C - 80º C dan
waktu yang dibutuhkan 1 jam, serta digunakan untuk bahan
baja dan besi.
47

2. Sulphuric, yang memiliki komposisi 20% asam sulphuric


dalam air dengan suhu 80º C dan waktu yang diperlukan antara
10 sampai 20 detik, serta digunakan untuk bahan besi dan baja.
3. Nitric, yang memiliki komposisi 20% asam nitric dalam air dan
boleh dalam keadaan dingin jika cocok, serta digunakan untuk
bahan besi dan baja.
4. Alcoholic ferric chloride, yang memiliki komposisi 96 cm3
ethyl alcohol, 59 gram ferric chloride, dan 2 cm3 asam
hydrochloric.
5. Bahan etsa, yang memiliki komposisi copper ammonium
chloride 9 gram dan air 91 ml specimen untuk baja. Waktu etsa
lebih lama daripada etsa mikro struktur.
6. Untuk mengetsa baja agar didapat hasil etsa yang dalam dan
tebal lapisannya, digunakan bahan etsa yang baik, yaitu
hydrochloric acil (HCl) 140 ml, sulphuric acid (H2SO4) 3 ml
dan air 50 ml dengan waktu etsa antara 15 sampai 30 menit.
7. Specimen alumunium atau campuran alumunium bahan etsa
ialah hydrofloride acid (HF) 10 ml, nitrid acid (HNO3) 1 ml,
dan air 200 ml. Waktu pengetsaannya sangat singkat dan
karena itu, jika terjadi lapisan hitam yang tebal dapat
dihilangkan dengan cara merendam pada asam nitrat (HNO3).
Waktu pengetsaan itu lebih l daripada etsa untuk mikro
struktur.

Setelah kita mengetsa, kita langsung dapat melihat bagian mana yang
bengkok atau mengambang dari serat (alur) benda kerja tersebut. Macro test ini
biasanya dilakukan pada benda yang pembuatannya ditempa, dituang, dan hasil
pengerolan.

b. Adapun bahan-bahan larutan pada etsa mikro adalah sebagai


berikut :
1. Asam nitrat, yang memiliki komposisi asam nitrat 2 ml dan
alkohol 95% atau 98 ml. Pemakaiannya untuk bahan karbon,
48

baja paduan rendah, dan baja paduan sedang. Waktu yang


diperlukan beberapa detik sampai 1 menit.
2. Asam pikrat, yang memiliki komposisi 4 gram asam pikrat,
alkohol 95% atau 98 ml. Pemakaiannya untuk baja karbon
dalam keadaan normal, dilunakkan, dikeraskan (hardening) dan
ditemper (tempering). Waktu pengetsannya beberapa detik
sampai 1 menit.
3. NH4OH.H2O2, yang memiliki komposisi NH4OH sebagai dasar
dan H2O2 beberapa tetes. Pemakaiannya untuk bahan tembaga
dan paduannya dengan waktu pengetsaan sampai bahan uji
berwarna biru.
4. Bahan etsa adalah nital 2%, yaitu 2 ml asam nitrat (HNO3) dan
98 ml methyl alcohol dalam waktu 10 sampai 30 detik.
5. Bahan etsa menggunakan asam yang terdiri dari 10%
ammonium ferri sulfat, 2,5% ammonium acrocide NH4(OH),
dan 65% larutan asam krom dalam waktu 10 sampai 30 detik,
yang digunakan untuk tembaga dan campurannya.

c. Cara mengetsa
Setelah bahan uji melalui beberapa tahapan, maka benda uji dapat
langsung dietsa. Pengetsaan dilakukan dengan cara menempatkan
asam yang akan digunakan pada sebuah cawan kemudian
mencelupkan permukaan benda uji pada asam tersebut sesuai
dengan waktu yang telah ditetapkan. Setelah itu, benda dicuci
dengan air hangat atau alcohol untuk menghentikan reaksi dan
mengeringkan dengan udara dari mesin kompresor [3].
d. Pengaruh etsa
Etsa larutan kimia sangat mempengaruhi bentuk permukaan benda
uji. Dengan kata lain, baik atau tidaknya hasil pengetsaan dapat
dipengaruhi oleh larutan kimia yang digunakan untuk mengetsa [3].
Setelah bahan uji dietsa, di atas seluruh permukaan benda uji akan
tampak garis-garis yang tidak teratur. Garis-garis yang tampak itu
menunjukkan adanya batas antar butir kristal logam tersebut.
49

Untuk memperjelas bentuk dan corak butir-butir kristal yang


berbeda jenisnya itu, dapat diamati pada mikroskop. Dengan
mikroskop, kita dapat menunjukkan adanya perbedaan beberapa
elemen yang terkandung dalam bahan uji tersebut. Meskipun
demikian, tidak semua proses pengetsaan menghasilkan hasil etsa
yang memuaskan. Dengan kata lain, dalam satu proses pengetsaan
terkadang kita tidak berhasil mengetsa benda yang diuji. Berikut
ini merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya kegagalan dalam
mengetsa, yaitu :
1. Benda kerja terlalu kotor karena terlalu lunak atau berminyak.
2. Benda kerja tidak bersih pada waktu dicuci.
3. Kurangnya waktu pengetsaan.
4. Terlalu lama waktu yang digunakan dalam pengetsaan.
5. Salah memilih dan menggunakan cairan etsa (etching reagent).
6. Mikroskop
Pada dasarnya, mikroskop terdiri dari dua buah lensa positif, yaitu
lensa yang menerima sinar langsung dari bendanya atau lensa dekat
dengan benda yang akan dilihat, yang disebut lensa obyektif,
sedangkan lensa yang berada dekat dengan mata disebut lensa okuler
[3]
. Perbesaran total oleh mikroskop ini didefinisikan dengan
perbandingan antara tangen sudut buka baying akhir dengan sudut
buka tanpa menggunakan alat. Perbesaran sebuah mikroskop biasanya
berkisar 50, 100, 200, 400, dan 1000 kali lebih besar dari benda uji.
Perbesaran struktur mikro dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
LOK × LOB × FK × UKURAN FOTO

Dimana :
LOK = Lensa Okuler (nilai 2,5)
LOB = Lensa Obyektif/Lensa yang Dipakai pada Mikroskop
FK = Faktor Kamera (nilai 1) Ukuran Foto 3R nilai 4 [3].
50

2.4.4.2 Spesifikasi Alat Uji Metalografi


Berikut ini merupakan spesifikasi alat uji metalografi (Mettalurgical
Microscope) yang dimiliki oleh Laboratorium Material Teknik & Pengecoran
Logam, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Gunadarma, yaitu :
Tyepiece : NWF 10 X
Objective : MSFX, MF 10 X, MF 20 X, MF 40 X
Viewing head : Binocular body complete with interpupillary distance
Illuminator : Koehler-type illuminator complete with aperture and field
diaphragms, filter slots, and bulb cord. Uses EL-38 (8 V,
15 W) tungsten filamen bulb.
Mechanical stage : Graduated 150 × 160 mm in size 30 × 30 mm
crossmotion, reading to 0,1 mm by vernier. Provided with
low position stage controls.
Focusing control
Photo mechanic : Optical path selector for visual observation and
photography, built in reflecting mirror and camera port.
Polarizing filters : Built-in slideway, complete with analyzer, rotatable
through 0-9º, and polarizer filter.
Microscope stand : Inverted stand, complete with built-in plane glass
reflector, built in power supply transformer, variable
light intensity control, out put sockets.
Color filters : Green filter for visual observation and monochromatic
film photography, and blue filter for color photography [4]
Berikut ini merupakan gambar dari mikroskop untuk mengetahui struktur
dari benda uji.

Gambar 2.7 Mettalurgical Microscope


51

2.5 Perlakuan Panas


Perlakuan panas adalah suatu proses pemanasan dan pendinginan dengan
kecepatan dan temperature tertentu yang dilakukan terhadap logam atau paduan
dalam keadaan padat, sebagai suatu upaya untuk memperoleh sifa-sifat tertentu.
Proses perlakuan panas (heat treatment) memiliki beberapa tahapan, antara lain :
1. Pemanasan sampai ke temperature tertentu.
2. Penahanan selama beberapa saat (holding time).
3. Pendinginan dengan kecepatan tertentu.
Proses perlakuan panas (heat treatment) terdiri dari 2 pendekatan, yaitu:
1. Near Equilibrium (Mendekati Kesetimbangan).
Tujuan dari perlakuan panas near equilibrium adalah:
a. Melunakan struktur kristal
b. Menghaluskan butir
c. Menghilangkan tegangan dalam
d. Memperbaiki machineability (mampu mesin)
Jenis-jenis dari perlakuan panas near equilibrium adalah:
a. Annealing
b. Normalizing
c. Homogenizing
2. Non equilibrium (Tidak Setimbang).
Tujuan dari perlakuan panas non equilibrium adalah:
a. Menaikan nilai kekerasan
b. Menaikan nilai kekuatan
Jenis-jenis perlakuan panas non equilibrium adalah:
a. Hardening
b. Tempering
c. Surface hardening (carburizing, nitriding, flame hardening, dll).

2.5.1 Annealing
Merupakan proses pemanasan materal sampai pada suhu austensite lalu
ditahan beberapa waktu kemudian pendinginannya dilakukan perlahan-lahan di
dalam tungku, tujuan dari annealing adalah:
52

1. Mengurangi kekerasan
2. Menghilangkan tegangan sisa
3. Memperbaiki ductiliyy.
4. Menghaluskan ukuran butir.
Macam-macam proses annealing adalah sebagai berikut:
1. Full annealing
2. Recrystalisation annealing
3. Stress relief annealing

2.5.2 Normalizing
Merupakan proses perlakuan panas dimana proses pemanasan mencapai
temperature asutenisasi (eutectoid) dan kemudian didinginkan perlahan pada
udara (still air). Pada umumnya,proses normalizing dilakukan pada temperature
55°C diatas upper critical line pada diagram fasa Fe – Fe3C. Tujuan dari
normalizing adalah:
1. Menghaluskan butir.
2. Homogenisasi struktur kristal.
3. Menghilangkan tegangan dalam.

2.5.3 Hardening
Merupakan proses perlakuan panas yang bertujuan untuk meningkatkan
sifat material terutama pada nilai kekerasan, denga cara celup cepat (quenching)
material yang sudah dipanaska kedalam suatu media pendingin yang dapat berupa
air, air garam maupun oli.
Kekerasan yang dicapai pada kecepatan pendinginan kritis (martensite)
ini diiringi dengan kerapuhan yang besar dan tegangan pengejutan, karena itu
pada umumnya dilakukan pemanasan kembali menuju suhu tertentu dengan
pendinginan lambat. Dengan pendinginan yang cepat, maka tidak ada waktu yang
cukup bagi austenite untuk merubah fasa menjadi pearlite dan ferrite atau pearlite
dan cementite. Tujuan dari proses hardening adalah untuk merubah struktur
sedemikian rupa sehingga diperoleh struktur martensite yang keras, sehingga
menghasilkan kekerasan yang baik dan nilai kekenyalan (ductility) yang rendah.
53

2.5.4 Tempering
Tempering adalah memanaskan kembali baja yang telah dikeraskan untuk
menghilangkan tegangan dalam dan mengurangi nilai kekerasan. Memanaskan
kembali berkiar pada suhu 150°C - 650°C dan didinginkan secara perlahan-lahan
tergantung sifat akhir baja tersebut.
a. Tempering pada suhu rendah (150°C - 300°C)
Tujuannya untuk mengurangi tegangan kerut dan kerapuhan dari baja.
Proses ini digunakan untuk alat-alat kerja yang tak mengalami beban
yang berat, missal : mata bor.
b. Tempering pada suhu menengah (300°C - 500°C)
Tujuannya untuk menambah keuletan dan kekerasannya menjadi
sedikit berkurang. Proses ini digunakan pada alat-alat kerja yang
mengalami beban cukup berat, missal : pegas.
c. Tempering pada suhu tinggi (500°C - 650°C)
Tujuannya untuk memeberikan daya keuletan yang besar dan
sekaligus kekrasan menjadi lebih rendah. Proses ini digunakan pada,
roda gigi, poros, batang penggerak dan sebagainya.

2.5.5 Surface Hardening


Seringkali material-material baja diinginkan hanya keras pada
permukaannya sedangkan inti atau porosnya tetap lunak, hal ini memberikan
kombinasi yang serasi antara permukaan yang tahan pakai dan inti atau poros
yang ulet. Tujuan dari surface hardening adalah untuk menghasilkan permukaan
yang keras pada baja yang dianggap lunak dan ulet. Berikut adalah jenis-jenis
surface hardening, yaitu:
1. Carburizing
Carburizing didasarkan atas kemampuan baja yang dapat menyerap
carbon pada temperature 900°C - 950°C. Carburizing adalah salah satu
metoda yang digunakan untuk menghasilkan permukaan keras pada
baja berkadar karbon rendah (<0,3%) dan kulitnya mempunyai
kandungan karbon 0,83% (Komposisi Eutectoid). Proses carburizing
menggunakan arang kayu atau batu bara dan barium karbonat.
54

2. Nitriding
Baja yang mendapatkan perlakuan nitriding adalah baja paduan rendah
yang mengandung chromium dan molibdenium dan kadang-kadang
disertai kandungan nikel dan vanadium. Beberapa baja nitriding
mengandung sekitar 1% aluminium. Baja tersebut terus dipanaskan
pada 500°C, selama 40 – 90 jam didalam kotak gas yang diisi sirkulasi
gas ammonia. Permukaan baja akan menjadi sangat keras karena
terbentuknya nitride, sedangkan inti bahan tidak berpengaruh.
3. Flame Hardening
Proses ini sangat cepat untuk menghasilkan permukaan yang keras dari
baja yang kandungan karbonnya >0,4%. Permukaan baja dipanaskan
dengan cepat hingga suhu kritisnya dengan perantara semburan api.
Flame atau dengan induction coil frekuensi tinggi, kemudia segera
diberi perlakuan quenching untuk mendapatkan struktur martensite.
Setelah quenching, perambatan panas dari inti ke permukaan baja
sudah cukup untuk tempering lapisan permukaannya. Proses ini
banyak dilakukan terutama pada perkakas poros-poros pendukung.

Anda mungkin juga menyukai