Anda di halaman 1dari 2

Nama : Gian Artha Ramadhan

Kelas : 18REG73053
Mata Kuliah : Business & Management

Teori Dimensi Kultural (Geert Hofstede) dan Kaitannya dengan Kebijakan Dalam Membangun
Sebuah Bisnis di suatu Negara

Ketika suatu perusahaan memutuskan untuk membangun sebuah bisnis di negara lain, tentu
akan menemui beberapa hambatan perdagangan internasional. Setiap perusahaan yang ingin melakukan
bisnis berskala internasional haruslah melakukan penelitian terlebih dahulu mengenai kondisi ekonomi,
hukum, politik, sosial, budaya dan latar belakang teknologi dari negara yang menjadi lokasi atau tempat
bisnis tersebut akan dibangun. Beberapa penelitian tersebut akan membantu perusahaan dalam
menentukan kebijakan serta strategi yang sesuai untuk dijalankan perusahaan.
Salah satu hambatan yang sering muncul dan yang akan saya bahas pada artikel ini adalah
mengenai hambatan sosial budaya di suatu negara. Hambatan sosial budaya disini bukan hanya sebatas
perbedaan bahasa dan gestur semata, melainkan perbedaan pandangan, kecenderungan sikap serta nilai-
nilai yang dianut dan membudaya di masyarakat. Seorang sosiolog bernama Geert Hofstede, melakukan
penelitian ke berbagai negara dengan menganalisis budaya dari beberapa bangsa dan
mengelompokkannya ke dalam enam dimensi, yakni Power Distance, Uncertainty Avoidance,
Individualism vs Collectivism, Masculinity vs Feminimity, Long Term vs Short Term Orientation, dan
Indulgence vs Restrain. Pada artikel ini saya akan membahas tiga dari keenam dimensi yang telah
disebutkan dan mencoba memberikan gambaran representatif dari dimensi budaya tersebut yang
dimiliki atau dianut oleh bangsa Indonesia.
Dimensi yang pertama adalah Power Distance, atau jarak kekuasaan, yang menggambarkan
seberapa besar tingkat kekuasaan jabatan dapat mempengaruhi jabatan lainnya. Menurut saya tingkat
Power Distance di Indonesia cenderung tinggi, hal ini dapat dilihat dari sikap masyarakat yang sangat
menghormati orang dengan kedudukan yang lebih tinggi seperti bawahan tunduk kepada atasan, junior
tunduk kepada senior, pemuda yang hormat kepada orang yang lebih tua dsb. Dalam lingkup perusahaan
menurut saya hal ini baik, karena dapat mempercepat proses pencapaian tujuan-tujuan perusahaan,
namun di sisi lain perlu adanya pengendalian berupa peraturan yang mengatur hak dan wewenang tiap-
tiap jabatan, untuk menghindari terjadinya konflik dan penyalahgunaan.
Lalu dimensi Individualism vs Collectivism, yakni sejauh mana individu diintegrasikan ke
dalam organisasi. Di Indonesia sendiri menurut saya lebih menganut paham Collectivism, dimana
seorang individu merasa menjadi bagian yang dilibatkan dari suatu kelompok dan loyal dengan
kelompok tersebut. Hal ini dapat juga dilihat dari proses pengambilan keputusan serta pemecahan
masalah yang cenderung dilakukan dengan cara diskusi dan musyawarah. Kegiatan ini, menurut saya
juga harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang berada di Indonesia, dimana dalam menentukan
suatu kebijakan, sebaiknya melibatkan seluruh pemangku kepentingan perusahaan, agar seluruh
stakeholder memiliki persamaan pandangan dan dapat merasakan menjadi bagian dari keputusan yang
diambil serta memiliki komitmen bersama untuk menjalankannya.
Dimensi yang ketiga adalah Uncertainty Avoidence¸atau cara masyarakat menghadapi
ketidakpastian di masa yang akan datang. Menurut saya tingkat uncertainty avoidance di Indonesia
cenderung rendah, hal ini tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat yang mempercayai adanya sesuatu
di luar kendali manusia yang dapat mempegaruhi kejadian-kejadian di masa yang akan datang. Untuk
mensiasatinya, perusahaan dalam hal ini harus memiliki perencanaan serta strategi yang matang
mengenai proses pencapaian tujuan perusahaan dan melakukan antisipasi tindakan terhadap kondisi-
kondisi tertentu.
Referensi

Ferrell, Hirt, and Ferrell, Business Foundations: A Changing World (U.S: McGray-Hill
Education, 2018) hal. 77

https://budayaindonesia2016blog.wordpress.com/2016/03/19/dimensi-budaya-geert-hofstede/
(Diakses pada tanggal 30 Agustus 2018)

Anda mungkin juga menyukai