Anda di halaman 1dari 14

Mengangkat Derajat di Sisi Allah

dengan Tawadhu’
Posted on 24 April 2012 | Komentar Dinonaktifkan pada Mengangkat Derajat di Sisi Allah
dengan Tawadhu’

Oleh: Abu Umar Al Bankawy

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,

َ ْ‫صت‬
‫ما‬ َ ‫ق‬ َ ‫ص َد‬
َ َ‫قةْ ن‬ َ ْ‫من‬ ِ ‫مال‬َ ، ‫ما‬
َ ‫د َو‬ ْ‫ه‬
َْ ‫للا َزا‬ ْ‫عبدا‬ َ ِ‫ل ا ب‬
َ ْ‫عفو‬ ْ ِ‫ع ّزاْ إ‬
ِ ،
‫ما‬ َْ ‫ض‬
َ ‫ع َو‬ َ ‫ل ا هلل أ‬
َ ‫حدْ تَوا‬ ْ ِ‫ه إ‬ ْ‫ع ه‬ َ ‫للا َر‬
َ ‫ف‬ ْ‫ه‬ – ‫– وجل عز‬
“Tidaklah shadaqah itu mengurangi banyaknya harta. Tidaklah Allah itu menambahkan
pada diri seseorang sifat pemaaf, melainkan ia akan bertambah pula kemuliaannya. Juga
tidaklah seorang itu merendahkan diri karena Allah, melainkan ia akan diangkat pula
derajatnya oleh Allah ‘azza wajalla.” (HR. Muslim)

Tawadhu’ adalah lawan dari sombong, mengangkat-angkat diri sendiri. Seorang disebut
Tawadhu’ apabila dia tidak mengangkat dirinya di atas orang lain karena ilmu, nasab
keturunan, harta, kedudukan, atau kepemimpinan yang dia miliki.

Tawadhu’, bersikap rendah hati adalah sifat yang diperintahkan di dalam Islam. Di dalam Al
Qur’an Allah berfirman,

ْ‫ض‬ ْ ‫كو‬
ْ ‫َاخ ِف‬ َْ ‫ح‬
َ ‫جنَا‬
َ ‫َن‬
ِْ ‫ك لِم‬ ُ ‫ْال‬
َْ ‫م ْؤ ِم ِنينَْ ِمنَْ ات َّ َب َع‬

“Dan rendahkanlah dirimu kepada kaum mu’minin yang mengikutimu.” (Al Hijr: 88)

Allah juga telah menjanjikan balasan surga bagi orang yang senantiasa menjauhi sifat
sombong dan selalu merendahkan diri mereka. Allah berfirman,

‫ة ا‬
َ ‫الدا هْر تِل‬
ْ‫ك‬ ْ‫خ َر ه‬
ِ َ ‫عله َها اْل‬
َ ‫ين نَج‬ ِ ‫ل لِلا‬
َْ ‫ذ‬ َْ ‫ون‬ ‫ر ه‬
َْ ‫يد‬ ًّ ‫عله‬
ِ ‫وا هي‬ ‫ض فِي ه‬ ِْ ‫اْلَر‬
َْ ‫سادا َو‬
‫ل‬ َ ‫ف‬َ
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan bagi orang-orang yang tidak berambisi untuk
menyombongkan diri di atas muka bumi dan menebarkan kerusakan.” (Al Qashash: 83)

Dan dari sahabat ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi
wasallam bersabda,

‫حى للا ا‬
ْ‫إن‬ َ ‫ي أو‬ ‫ض ه‬
ْ‫عوا أنْ إِلَ ا‬ َ َ‫ح اتى ت‬
َ ‫وا‬ َ َ‫ل‬ َ ‫حدْ يَف‬
َْ ‫خ‬
ْ ‫ر‬ َ ‫علَى أ‬
َ ْ‫حد‬ َ ‫أ‬
، َ‫ل‬ْ ‫غي َو‬ َ ‫علَى أ‬
ِ ‫حدْ يَب‬ َ ْ‫حد‬
َ ‫أ‬
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, hendaklah kalian itu bersikap tawadhu’,
sehingga tidak ada seorang yang membanggakan dirinya di atas orang lain dan tidak pula
seorang itu menganiaya orang lain.” (HR. Muslim)

Hakikat Tawadhu’

Tawadhu’ sebagai lawan dari sikap sombong, pada hakikatnya adalah sikap menerima
kebenaran dan tidak meremehkan orang lain. Hal ini tergambarkan dari sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

ْ‫قِ بَطَ ه‬
ْ‫ر الكِْب هر‬ َ ‫طه ال‬
ّْ ‫ح‬ َ ‫اس َو‬
ْ ‫غم‬ ِْ ‫ا‬
‫الن‬
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)

Demikian juga para salaf ketika menjelaskan makna tawadhu’ tidaklah mereka keluar dari
apa yang didefinisikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah ketika ditanya tentang makna tawadhu’ beliau
menjawab, “Merendahkan diri terhadap kebenaran, tunduk kepadanya, dan menerimanya dari
orang yang menyampaikannya.”

Dan dikatakan pula,

“Tawadhu’ adalah engkau tidak melihat bahwa dirimu ini memiliki harga. Barangsiapa yang
melihat bahwa dirinya memiliki harga maka dia tidaklah memiliki sifat tawadhu’.”

Al Junaid bin Muhammad rahimahullah berkata, “Tawadhu’ adalah merendahkan diri,


bersikap lembut dan ramah.”

Abu Yazid Al Busthami rahimahullah mengatakan, “Tawadhu’ adalah seseorang tidak


memandang bahwa dirinya memiliki kedudukan dan tidak melihat bahwa ada orang lain yang
lebih jelek daripada dirinya.”

Ibnu Atha’ rahimahullah berkata, “Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dari siapapun.
Kemuliaan itu ada di dalam tawadhu’, barangsiapa yang mencari kemuliaan di dalam
kesombongan maka seolah-olah dia mencari air di dalam api.”

Ibrahim bin Syaiban rahimahullah berkata, “Kemuliaan itu ada di dalam tawadhu’,
kehormatan itu ada di dalam ketaqwaan, dan kebebasan itu ada di dalam qana’ah (sikap
menerima).”

Ketawadhu’an Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Meski beliau adalah utusan Allah yang memiliki keutamaan yang besar, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersikap tawadhu’ dan tinggi hati. Hal ini tergambar dalam tutur
perilaku beliau.

‘Umar bin Al-Khattab bercerita tentang hadits ila’ (sumpah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam terhadap istri beliau dengan tidak mendatangi mereka selama sebulan. Beliau
menjauhi istrinya di sebuah ruangan. Tatkala ‘Umar masuk kepada beliau di ruangan tersebut
dan tidak didapatkan selain sebungkus makanan dari daun dan kulit serta gandum, beliau
berbaring di atas tikar yang jalinannya membekas pada tubuh beliau sehingga Umar
menangis. Maka beliau berkata, “Ada apa kamu?” ‘Umar mengatakan, “Wahai Rasulullah,
engkau pilihan Allah dari makhluk-Nya, sedangkan pembesar Romawi dan Persia dalam
kondisi yang mewah”. Maka beliau duduk dan memerah wajahnya dan bersabda, “Apakah
engkau ragu wahai ‘Umar?” Kemudian beliau bersabda, “Mereka adalah kaum yang
disegerakan bagi mereka kemewahan-kemewahan di dunia.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dari Al-Aswad bin Yazid An-Nakha’i rahimahullah berkata bahwa ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha ditanya tentang keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apa yang beliau
perbuat di rumahnya. Maka beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

َ ‫ك‬
ْ‫ان‬ ‫ة في يَ ه‬
َ ‫كون‬ ِْ ‫مه َن‬
ِ ‫ه‬ ِْ ِ‫ يعني – أهل‬: ‫مة‬ َ ‫خد‬ ِ ‫فإذا – أهلِه‬
ِْ ‫ض َر‬
‫ت‬ َ ‫ح‬ ْ‫الصال َ ه‬
َ ‫ة‬ ‫ا‬ َ ‫ة إِلَى‬
َْ ‫خ َر‬
،‫ج‬ ‫ا‬
ِْ َ ‫الصال‬
“Beliau membantu kebutuhan-kebutuhan keluarganya dan jika datang waktu shalat, beliau
berwudhu dan keluar menegakkan shalat.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu beliau berkisah,

‫ت إن‬ َ ‫ة‬
ِْ َ‫كان‬ َ َ‫منْ اْل‬
ْ‫م ه‬ َ ‫ةإ‬
ِ ‫ما ِْء‬ ِْ ‫مدي َن‬ ْ‫خ ه‬
َ ‫ذ ال‬ ‫د لَ َتأ ه‬
ِْ َ‫يِ بِي‬ ‫صلى – ا‬
ّْ ‫النب‬
‫ – وسلم عليه للا‬، ‫ق‬ ْ‫ف َتنطَلِ ه‬ َ ‫ه‬ ْ‫حي ه‬
ِْ ِ‫ث ب‬ َ ْ‫شاءت‬
َ
“Bahwasanya ada seorang hamba sahaya wanita dari golongan hamba sahaya wanita yang
ada di Madinah mengambil tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu wanita itu
berangkat dengan beliau ke mana saja yang dikehendaki oleh wanita itu.” (HR. Al Bukhari)

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu pula,

‫ر أنا ه‬
ْ‫ه‬ َ ‫علَى‬
ْ‫م ا‬ َْ ‫سلا‬
َ ْ‫ صبيَان‬، ‫م‬ َ ْ‫هم‬
َ ‫ف‬ ِ ‫علَي‬ َْ ‫ك‬
َ ، ‫ وقال‬: ‫ان‬ َ ْ‫– النبي‬
‫يفعله – وسلم عليه للا صلى‬
Bahwasanya beliau berjalan melalui anak-anak, kemudian ia memberikan salam kepada
mereka ini dan berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga melakukan sedemikian.”
(Muttafaq ‘alaih)

Wallahu ta’ala a’lam bisshawab.


Mari Kita Bertawadhu' Lagi
Rabu, 14 Desember 2011 16:44 Khutbah

Bagikan

‫ووقاه حفظه اليه لجأ ومن وهداه وفقه رجاءه بحبل اعتصم من الذى هلل الحمد‬, ‫وحماه رفعه له تواضع ومن‬. ‫سبحانه أحمده‬
‫وأواله اإلنعام من اعطى ما على‬. ‫واسداه بفضله ماحوله على واشكره‬. ‫من شهادة له الشريك وحده االهللا الاله أن وأشهد‬
‫سواه أحدا يعامل ولم بصفاته هللا عرف‬. ‫بتقواه وأوصاهم بتوحيده خلقه الى المبعوث ورسوله عبده محمدا أن وأشهد‬. ‫اللهم‬
‫بعد أما _بهداه تمسكون الذين وصحبه اله وعلى محمد سيدنا األمي النبي ورسولك عبدك على وبارك وسلم صل‬

Para hadirin jama’ah jum’ah Rahimakumullah


Marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt. Semakin sering kita mengevaluasi
diri kita semakin baik. Karena dengan demikian kita akan merasa selalu bersalah dan selalu
berusaha memperbaikinya. amin
Alhamdulillah di hari yang bahagia ini kita masih diberikan kesempatan oleh Allah yang
maha kuasa untuk berkumpul bersama saling bertaushiyah sesama. Semoga pertemuan kita
diberkati oleh Allah seperti majlis jum’ah yang berkah ini.

Ayyuhal Hadirun Rahimakumullah


Diantara beberapa hal yang sering kita abaikan adalah pemahaman kita seputar etika
bermasyarakat. Seringkali kita lupa akan ke-diri-an kita, warna dan identitas sebagai muslim
Indonesia yang hidup di tengah berbagai ragam suku, ras, agama dan bahasa kedaerahan.
Meskipun ada perbedaan epistimologis dalam kata etika, moral, budi-pekerti dan akhlaq,
namun dalam kesempatan ini semua kata itu dimaknai oleh khatib sebagai suatu nilai luhur
yang terkandung dalam berperilaku dan berinteraksi dengan sesama. Ada banyak macam
perilaku yang dapat dikategorikan dalam nilai-nili ini seperti gotong royong, saling
menghormati, empati (teposeliro), dan juga tawadhu’.<>Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Sudah jarang sekali telinga kita mendengarsemua kata-kata indah itu. Kata gotong-royong,
saling menghormati dan teposeliro juga tawadhu’, seolah lenyap dari perbendaharaan bahasa
Indonesia. Malahan kata-kata itu tergantikan dengan istilah dikordinasikan, dikomunisikan
dan lain sebagainya. Ini berarti telah terjadi pergeseran nilai di tengah masyarakat kita. Nilai-
nilai luhur yang lahir dan dibesarkan oleh tradisi Nusantara telah kalah saing dengan nilai-
nilai kesementaraan yang mengabdi pada modernism dan individualism. Hal seperti inilah
yang sedikit demi sedikit merubah rona wajah bangsa kita. Hal ini diperparah dengan sistem
teknologi pertelevisian yang menuruti keterbukaan dalam menggunjing sesame dan
membicarakan kesalahan sesame dengan alasan membudayakan kritik. Lihatlah beberapa tolk
show baik yang sekedar intertaintment ataupun yang berwawasan politk seolah semuanya
tidak lagi mengindahkan kaedah-kaedah etika. Naudzubillah min dzalik.

Jama’ah Jum’ah yang berbahagia


Cobalah kita bersama-sama membuka hati dan melapangkan dada. Apa sesungguhnya yang
melatar belakangi perubahan rona wajah bangsa kita. Yang dulu sangat pemalu dan
penghormat. Kini menjadi penipu dan penghujat. Nampaknya percaya diri dan menganggap
benar sendiri dengan menuduh orang lain tak becus dan salah dalam melangkah, menjadi
penyakit akut yang terus menyandera bangsa kita.
Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya selaku khotib tidak berhak mengajari, tapi
sekedar mengingatkan kembali bahwa kemungkinan penyebab ini semua adalah kelalaian
kita terhadap ajaran tawadhu’ dari rasulullah saw. Tawadhu’ biasa diartikan dengan rendah
diri dan tidak somobong. Tawadhu’ adalah konsep etika yang sangat sederhana. Rasulullah
saw sendiri mengajarkan cara bertawadhu’ dengan memulai salam bila berjumpa sesama
teman, dalam sebuah hadist disebutkan

‫بالسالم لقيه من ويبدأ‬

Rasulullah saw selalu menyambut orang yang menemui beliau dengan salam.

Di sini mengucap salam menjadi kata kunci untuk melatih diri melakukan tawadhu. Bukan
sekedar doa yang terkandung dalam ucapan salam, akan tetapi bagaimana seseorang memulai
berkomunikasi dengan yang lain dan saling bertegur sapa, itulah yang terpenting. Apalagi
kehidupan di kota seperti Jakarta. Saling bersapa menjadi barang yang sangat mahal. Apalagi
berbincang.

Kalau boleh bercerita, Teman saya yang baru datang di Jakarta merasa bingung. Bagaimana
orang bisa duduk berjejer ataupun berdiri saling hadapan dalam satu angkutan kota tanpa
bertegur sapa? Ini adalah hal yang mustahil di daerah dan didesa-desa. Jangankan dengan
sesama teman, dengan orang yang belum dikenalpun akan disapa dengan berbagai ragam
pertanyaan, mau kemana pak? Turun di mana? Cari rumah siapa? Dan lain sebagainya.

Para Jama’ah yang dirohmati Allah


Ternyata bertegur sapa, baik dengan mengucap salam maupun berbasa-basi sekedarnya
seperti ajaran Rasulullah saw dapat melatih orang bersikap tawadhu’. Karena mereka yang
bertegur sapa biasanya bukan tipe manusia sombong. Sebuah hadits menerangkan

‫الكبار من بارئ بالسالم البادئ‬

Siapa yang memulai menegur dengan salam, bebas dari sifat sombong atau takabbur.

Bahkan begitu tawadhu’nya Rasulullah saw higga pernah suatu ketika beliau menolak
bantuan orang yang hendak membawakan bungkusan beliau. Dengan alasan pemilik barang
lebih berhak membawa barang masing-masing.
Penolakan tersebut bukanlah cerminan kesombongan, tetapi merupakan kerendahan hati
beliau saw. meskipun beliau seorang Nabi, tetapi lebih senang membawa diri sendiri. Apakah
demikian dengan pemimpin-pemipin bangsa kita? Pastilah tidak karena mereka sudah tidak
lagi mengenal tawadhu’. Janganka membawa bungkusan kepalapun kalau bisa dibawakan
oleh ajudan.
Oleh karena itu, nabi membuat kriteria sendiri sebagai cirri-ciri tawadhu diantaranya duduk
bersama fakir miskin. Seperti sebuah hadits yang berbunyi:

‫التواضع من الفقراء مع الجلوس‬

Duduk bersama orang fakir miskin, termasuk ciri khas orang yang rendah hati (tawadhu)
(HR. Ad-Dailami).

Senada dengan hadits Nabi adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ja’far:

“Sesungguhnya puncak keteguhan adalah tawadhu’.” Kemudian Salah seorang bertanya


kepada nya, “Apakah tanda-tanda tawadhu’ itu?” Beliau menjawab, “Hendaknya kau senang
pada majlis yang tidak memuliakanmu, memberi salam kepada orang yang kau jumpai, dan
meninggalkan perdebatan sekalipun engkau di atas kebenaran.”

Tidak hanya menghindar dari penghormatan orang, tetapi juga menghindar dari perdebatan
walaupun kita dalam posisi yang benar.
Bagaimanakah dengan tolkshow yang ada di televisi?. Dengan bangganya di bawah siraman
cahaya kamera para aktifis dan intelektual itu berbicara bertakik-takik seolah membicarakan
hal yang dianggapnya benar sambil sesekali menghina dan menyalahkan orang lain. Berdebat
kusir menjadi keahlian tersendiri. Mereka yang menguasai retorika dan aksentuasi yang enak
menjadi pemenangnya. Bahkan sering kali setelah acara usai mereka bertanya pada kroni-
sejawat dan teman-temannya? Bagaimana tadi penampilanku? Bagus gak? Dan berbagai
pertanyaan lain yang menunjukkan kesombongannya. Inilah potret bangsa kita. Bagaimana
bisa Indonesia berjalan maju ke depan bila yang terjadi saling menyalahkan. Berebut di depan
bukan dalam perang, tetapi dalam pamer segala kemampuan, biar dilihat sebagai orang yang
mempunyai kemampuan dan kwalitas. Bukan seperti pendiam yang tak faham.

Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah


Marilah kita sadari bersama bahwa sesungguhnya tawadhu dan kerendah-hatian itu tidak
akan membuat seseorang menjadi hina. Bahkan sebaliknya. Kekhawatiran itu hanya muncul
bagi mereka yang sebenarnya berkwalitas rendah tetapi ingin dianggap seorang yang
berharga. Dalam sebuah hadits diterangkan:

...‫التواضع ال يزيد العبد االرفعة فتواضعوا يرفعكم هللا تعالى‬

Tawadhu’ itu tidak akan menambah seseuatu bagi seseorang kecuali nilai tinggi, maka
bertawadhulah kalian semua maka Allah akan meninggikanmu…

Jama’ah Jum’ah yang Rahimakumullah


Akhirnya, khutbah ini menyimpulkan bahwa tawadhu itu tidak hanya diejawantahkan dalam
perkataan tetapi juga dalam tingkah laku keseharian. Dalam bergaul, dalam berinteraksi
social dan dalam menanggapi persoalan yang muncul.

‫ وإذ أخذنا ميثاق بني إسرائيل ال تعبدون إال هللا‬.‫ أعوذ باهلل من الشيطان الرجيم‬.‫ وأدخلناواياكم فى عباده الصالحين‬,‫جعلنا هللا واياكم من الفائزين االمنين‬
.‫وبالوالدين إحسانا وذي القربى واليتامى والمساكين وقولوا للناس حسنا وأقيموا الصالة وآتوا الزكاة ثم توليتم إال قليال منكم وأنتم معرضون‬
‫ َوأَقُ ْو ُل قَ ْولى َهذَا فَا ْست َ ْغف ُِر‬,‫ َونَفَعَنِى َوإِيَّا ُك ْم بِ َمافِ ْي ِه مِ ْن آيَ ِة َوذْ ُك َر ْال َحكِ ي َْم َوتَقَبَّ َل هللاُ مِ نَّا َومِ ْن ُك ْم تِالَ َوتَهُ َواِنَّهُ ه َُوالسَّمِ ْي ُع العَ ِل ْي ُم‬,‫آن اْلعَظِ ي ِْم‬
ِ ‫اركَ هللا لِى َولَ ُك ْم فِى اْلقُ ْر‬
َ َ‫ب‬
َّ ‫هللاَ العَظِ ي َْم إِنَّهُ ه َُو الغَفُ ْو ُر‬
‫الرحِ يْم‬

‫ووقاه حفظه اليه لجأ ومن وهداه وفقه رجاءه بحبل اعتصم من الذى هلل الحمد‬, ‫وحماه رفعه له تواضع ومن‬. ‫سبحانه أحمده‬
‫وأواله اإلنعام من اعطى ما على‬. ‫واسداه بفضله ماحوله على واشكره‬. ‫من شهادة له الشريك وحده االهللا الاله أن وأشهد‬
‫سواه أحدا يعامل ولم بصفاته هللا عرف‬. ‫بتقواه وأوصاهم بتوحيده خلقه الى المبعوث ورسوله عبده محمدا أن وأشهد‬. ‫اللهم‬
‫بعد أما _بهداه تمسكون الذين وصحبه اله وعلى محمد سيدنا األمي النبي ورسولك عبدك على وبارك وسلم صل‬

Para hadirin jama’ah jum’ah Rahimakumullah


Marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt. Semakin sering kita mengevaluasi
diri kita semakin baik. Karena dengan demikian kita akan merasa selalu bersalah dan selalu
berusaha memperbaikinya. amin
Alhamdulillah di hari yang bahagia ini kita masih diberikan kesempatan oleh Allah yang
maha kuasa untuk berkumpul bersama saling bertaushiyah sesama. Semoga pertemuan kita
diberkati oleh Allah seperti majlis jum’ah yang berkah ini.

Ayyuhal Hadirun Rahimakumullah


Diantara beberapa hal yang sering kita abaikan adalah pemahaman kita seputar etika
bermasyarakat. Seringkali kita lupa akan ke-diri-an kita, warna dan identitas sebagai muslim
Indonesia yang hidup di tengah berbagai ragam suku, ras, agama dan bahasa kedaerahan.
Meskipun ada perbedaan epistimologis dalam kata etika, moral, budi-pekerti dan akhlaq,
namun dalam kesempatan ini semua kata itu dimaknai oleh khatib sebagai suatu nilai luhur
yang terkandung dalam berperilaku dan berinteraksi dengan sesama. Ada banyak macam
perilaku yang dapat dikategorikan dalam nilai-nili ini seperti gotong royong, saling
menghormati, empati (teposeliro), dan juga tawadhu’.<>Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Sudah jarang sekali telinga kita mendengarsemua kata-kata indah itu. Kata gotong-royong,
saling menghormati dan teposeliro juga tawadhu’, seolah lenyap dari perbendaharaan bahasa
Indonesia. Malahan kata-kata itu tergantikan dengan istilah dikordinasikan, dikomunisikan
dan lain sebagainya. Ini berarti telah terjadi pergeseran nilai di tengah masyarakat kita. Nilai-
nilai luhur yang lahir dan dibesarkan oleh tradisi Nusantara telah kalah saing dengan nilai-
nilai kesementaraan yang mengabdi pada modernism dan individualism. Hal seperti inilah
yang sedikit demi sedikit merubah rona wajah bangsa kita. Hal ini diperparah dengan sistem
teknologi pertelevisian yang menuruti keterbukaan dalam menggunjing sesame dan
membicarakan kesalahan sesame dengan alasan membudayakan kritik. Lihatlah beberapa tolk
show baik yang sekedar intertaintment ataupun yang berwawasan politk seolah semuanya
tidak lagi mengindahkan kaedah-kaedah etika. Naudzubillah min dzalik.

Jama’ah Jum’ah yang berbahagia


Cobalah kita bersama-sama membuka hati dan melapangkan dada. Apa sesungguhnya yang
melatar belakangi perubahan rona wajah bangsa kita. Yang dulu sangat pemalu dan
penghormat. Kini menjadi penipu dan penghujat. Nampaknya percaya diri dan menganggap
benar sendiri dengan menuduh orang lain tak becus dan salah dalam melangkah, menjadi
penyakit akut yang terus menyandera bangsa kita.
Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya selaku khotib tidak berhak mengajari, tapi
sekedar mengingatkan kembali bahwa kemungkinan penyebab ini semua adalah kelalaian
kita terhadap ajaran tawadhu’ dari rasulullah saw. Tawadhu’ biasa diartikan dengan rendah
diri dan tidak somobong. Tawadhu’ adalah konsep etika yang sangat sederhana. Rasulullah
saw sendiri mengajarkan cara bertawadhu’ dengan memulai salam bila berjumpa sesama
teman, dalam sebuah hadist disebutkan
‫بالسالم لقيه من ويبدأ‬

Rasulullah saw selalu menyambut orang yang menemui beliau dengan salam.

Di sini mengucap salam menjadi kata kunci untuk melatih diri melakukan tawadhu. Bukan
sekedar doa yang terkandung dalam ucapan salam, akan tetapi bagaimana seseorang memulai
berkomunikasi dengan yang lain dan saling bertegur sapa, itulah yang terpenting. Apalagi
kehidupan di kota seperti Jakarta. Saling bersapa menjadi barang yang sangat mahal. Apalagi
berbincang.

Kalau boleh bercerita, Teman saya yang baru datang di Jakarta merasa bingung. Bagaimana
orang bisa duduk berjejer ataupun berdiri saling hadapan dalam satu angkutan kota tanpa
bertegur sapa? Ini adalah hal yang mustahil di daerah dan didesa-desa. Jangankan dengan
sesama teman, dengan orang yang belum dikenalpun akan disapa dengan berbagai ragam
pertanyaan, mau kemana pak? Turun di mana? Cari rumah siapa? Dan lain sebagainya.

Para Jama’ah yang dirohmati Allah


Ternyata bertegur sapa, baik dengan mengucap salam maupun berbasa-basi sekedarnya
seperti ajaran Rasulullah saw dapat melatih orang bersikap tawadhu’. Karena mereka yang
bertegur sapa biasanya bukan tipe manusia sombong. Sebuah hadits menerangkan

‫الكبار من بارئ بالسالم البادئ‬

Siapa yang memulai menegur dengan salam, bebas dari sifat sombong atau takabbur.

Bahkan begitu tawadhu’nya Rasulullah saw higga pernah suatu ketika beliau menolak
bantuan orang yang hendak membawakan bungkusan beliau. Dengan alasan pemilik barang
lebih berhak membawa barang masing-masing.
Penolakan tersebut bukanlah cerminan kesombongan, tetapi merupakan kerendahan hati
beliau saw. meskipun beliau seorang Nabi, tetapi lebih senang membawa diri sendiri. Apakah
demikian dengan pemimpin-pemipin bangsa kita? Pastilah tidak karena mereka sudah tidak
lagi mengenal tawadhu’. Janganka membawa bungkusan kepalapun kalau bisa dibawakan
oleh ajudan.
Oleh karena itu, nabi membuat kriteria sendiri sebagai cirri-ciri tawadhu diantaranya duduk
bersama fakir miskin. Seperti sebuah hadits yang berbunyi:

‫التواضع من الفقراء مع الجلوس‬

Duduk bersama orang fakir miskin, termasuk ciri khas orang yang rendah hati (tawadhu)
(HR. Ad-Dailami).

Senada dengan hadits Nabi adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ja’far:

“Sesungguhnya puncak keteguhan adalah tawadhu’.” Kemudian Salah seorang bertanya


kepada nya, “Apakah tanda-tanda tawadhu’ itu?” Beliau menjawab, “Hendaknya kau senang
pada majlis yang tidak memuliakanmu, memberi salam kepada orang yang kau jumpai, dan
meninggalkan perdebatan sekalipun engkau di atas kebenaran.”
Tidak hanya menghindar dari penghormatan orang, tetapi juga menghindar dari perdebatan
walaupun kita dalam posisi yang benar.
Bagaimanakah dengan tolkshow yang ada di televisi?. Dengan bangganya di bawah siraman
cahaya kamera para aktifis dan intelektual itu berbicara bertakik-takik seolah membicarakan
hal yang dianggapnya benar sambil sesekali menghina dan menyalahkan orang lain. Berdebat
kusir menjadi keahlian tersendiri. Mereka yang menguasai retorika dan aksentuasi yang enak
menjadi pemenangnya. Bahkan sering kali setelah acara usai mereka bertanya pada kroni-
sejawat dan teman-temannya? Bagaimana tadi penampilanku? Bagus gak? Dan berbagai
pertanyaan lain yang menunjukkan kesombongannya. Inilah potret bangsa kita. Bagaimana
bisa Indonesia berjalan maju ke depan bila yang terjadi saling menyalahkan. Berebut di depan
bukan dalam perang, tetapi dalam pamer segala kemampuan, biar dilihat sebagai orang yang
mempunyai kemampuan dan kwalitas. Bukan seperti pendiam yang tak faham.

Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah


Marilah kita sadari bersama bahwa sesungguhnya tawadhu dan kerendah-hatian itu tidak
akan membuat seseorang menjadi hina. Bahkan sebaliknya. Kekhawatiran itu hanya muncul
bagi mereka yang sebenarnya berkwalitas rendah tetapi ingin dianggap seorang yang
berharga. Dalam sebuah hadits diterangkan:

...‫التواضع ال يزيد العبد االرفعة فتواضعوا يرفعكم هللا تعالى‬

Tawadhu’ itu tidak akan menambah seseuatu bagi seseorang kecuali nilai tinggi, maka
bertawadhulah kalian semua maka Allah akan meninggikanmu…

Jama’ah Jum’ah yang Rahimakumullah


Akhirnya, khutbah ini menyimpulkan bahwa tawadhu itu tidak hanya diejawantahkan dalam
perkataan tetapi juga dalam tingkah laku keseharian. Dalam bergaul, dalam berinteraksi
social dan dalam menanggapi persoalan yang muncul.

‫ وإذ أخذنا ميثاق بني إسرائيل ال تعبدون إال هللا‬.‫ أعوذ باهلل من الشيطان الرجيم‬.‫ وأدخلناواياكم فى عباده الصالحين‬,‫جعلنا هللا واياكم من الفائزين االمنين‬
.‫وبالوالدين إحسانا وذي القربى واليتامى والمساكين وقولوا للناس حسنا وأقيموا الصالة وآتوا الزكاة ثم توليتم إال قليال منكم وأنتم معرضون‬
‫ َوأَقُ ْو ُل قَ ْولى َهذَا فَا ْست َ ْغف ُِر‬,‫ َونَفَعَنِى َوإِيَّا ُك ْم بِ َمافِ ْي ِه مِ ْن آيَ ِة َوذْ ُك َر ْال َحكِ ي َْم َوتَقَبَّ َل هللاُ مِ نَّا َومِ ْن ُك ْم تِالَ َوتَهُ َواِنَّهُ ه َُوالسَّمِ ْي ُع العَ ِل ْي ُم‬,‫آن اْلعَظِ ي ِْم‬ِ ‫اركَ هللا لِى َولَ ُك ْم فِى اْلقُ ْر‬ َ َ‫ب‬
َّ ‫هللاَ العَظِ ي َْم إِنَّهُ ه َُو الغَفُ ْو ُر‬
‫الرحِ يْم‬
Sesungguhnya kesombongan akan menimpa mereka yang tidak memiliki ketawadhuan.
Padahal sejatinya kesombongan itu hanya khusus untuk-Nya.

<>

Dan Dia Yang Maha Perkasa tanpa peduli akan melemparkan siapapun yang sombong ke
dalam api neraka.

. ,‫ أشكره على قسمه المدرار‬,‫الحمد هلل أحمده وسبحانه وتعالى على نعمه الغزار‬
‫ واشهد ان سيدنا محمدا عبده و رسوله‬.‫أشهد ان ال اله اال هللا وحده ال شريك له‬
‫ اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله األطهار وأصحابه األخيار‬.‫النبي المختار‬
‫ أما بعد فياأيها الناس اتقوهللا حق تقاته والتموتن اال وأنتم‬.‫وسلم تسليما كثيرا‬
ِ ‫علَى ْاأل َ ْر‬
‫ض َه ْونًا َو ِإذَا‬ َ ‫الر ْح َم ِن الَّذ‬
َ ‫ِين يَ ْمش‬
َ ‫ُون‬ َّ ‫ َو ِعبَا ُد‬: ‫ وقال هللا تعالى‬.‫مسلمون‬
َ ‫ون قَالُوا‬
‫س ََل ًما‬ َ ُ‫َخا َط َب ُه ُم ا ْل َجا ِهل‬
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah

Marilah kita bersama-sama meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt. sungguh hanya
dengan taqwalah kita dapat mengisi kehidupan ini dengan segala sifat-sifat kebaikan dan
menghindar dari sifat tercela. Diantara sifat baik yang dulu menjadi karakter bangsa ini dan
kini semakin menipis karena terkena erosi kehidupan materialistic adalah tawadhu'. Dan hal
ini secara otomatis menyuburkan sifat tercela yang menjadi kebalikannya yaitu takabbur atau
sombong.

Dalam kesempatan ini, khatib hendak menengok kembali kedua sifat yang saling
bertentangan ini. sekedar sebagai pengingat bagi kita semua agar tidak semakin terjerumus
dalam kesombongan-kesombongan yang menyebabkan Allah swt membenci kita.

Hadirin Jama'ah Jum'ah yang Berbahagia

Tawadhu' termasuk salah satu sifat terpuji yang harus dimilki oleh seorang muslim. Tawadhu'
secara bahasa dapat dimaknai dengan 'merendahkan diri'. Artinya sengaja memposisikan diri
lebih rendah dari posisi sebenarnya. Pada dasarnya tawadhu' hanya ditujukan kepada Allah
Yang Maha Agung. Yakni merasa lemah dan tidak berdaya dibanding dengan kekuasaan
Allah swt. apalah kuasa manusia sampai berani mengharap surganya Allah? apakah Allah
rela memberikan surga kepada seorang hamba, jika hamba tersebut merasa tidak memerlukan
surga? Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa tujuan tawadhu sebenarnya adalah
mengharapkan surga (ridha-Nya) Allah swt dan menghindarkan diri dari api neraka
(thoma'an li jannatihi ta'ala wa rahban min narihi ta'ala).

Meskipun tawadhu' ditujukan kepada Allah swt sebagai bukti adanya hubungan fertikal,
tetepi harus dibuktikan dalam praktek keseharian ketika bermuamalah dengan seksama yang
mengandaikan hubungan horizontal. Sebagaimana di terangkan dalam surat al-Furqan ayat 63

‫ون قَالُوا‬ ِ ‫علَى ْاأل َ ْر‬


َ ُ‫ض َه ْونًا َو ِإذَا َخا َط َب ُه ُم ا ْل َجا ِهل‬ َ ‫ُون‬ َ ‫الر ْح َم ِن الَّذ‬
َ ‫ِين َي ْمش‬ َّ ‫َو ِع َبا ُد‬
‫س ََل ًما‬
َ
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di
atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.

Artinya bahwa diantara tanda-tanda orang yang memiliki sifat tawadhu' selalu berjalan
dengan menundukkan kepala. Seolah-olah tidak pernah melihat langit. Berjalan dengan santai
tanpa membusungkan dada. Meskipun ia memiliki kuasa sebagai gubernur, jendral ataupun
ulama misalnya. Hal ini berbeda dengan orang-orang yang sombong yang berjalan dengan
mendongak ke atas tidak pernah melihat bumi. Bahkan ketika mereka disapa dan
dikomentari, mereka hanya menjawab 'salama', yang artinya keselamatan atas kita semua,
diantara kita tidak ada yang lebih baik, aku juga tidak lebih baik dari kamu begitu juga
sebaliknya.

Begitu spesialnya sifat tawadhu, sehingga Allah mengistimewakan mereka yang memiliki
sifat tawadhu' dengan menyebut 'ibadurrahman' hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang.
Hal ini sejalan dengan janji Allah sebagaimana disampaikan kepada Rasulullah saw dalam
haditsnya

‫من توضع رفعه هللا ومن تكبر وضعه هللا‬


Allah akan mengangkat derajat mereka yang memiliki sifat tawadhu', dan akan
membenamkan mereka yang bersifat sombong.

Jama'ah Rahimakumullah

Lalu apakah sebenarnya pentingnya tawadhu'? selain mengharapkan derajat dari Allah swt,
tawadhu juga menghindarkan diri kita dari sifat yang paling dibenci Allah Yang Maha Kuasa
yaitu sombong. Karena kesombongan akan menimpa mereka yang tidak memiliki
ketawadhuan. Padahal sejatinya kesombongan itu hanya pantas dimiliki-Nya. Oleh karena itu
Allah sangat membenci orang yang sombong. Hal ini terbersit dari hadits qudsi yang
disampaikan oleh Rasulullah saw

‫ ( قال هللا عز وجل‬: - ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ قال رسول هللا‬: ‫عن أبي هريرة قال‬
) ‫ فمن نازعني واحدا ً منهما قذفته في النار‬، ‫ والعظمة إزاري‬، ‫ الكبرياء ردائي‬:
)‫وفى رواية (وال أبالى‬
Sifat sombong itu selendang-Ku, keagungan adalah busana-Ku. Barang siapa yang merebut
salah satu dari-Ku, akan Ku lempar ia ke neraka. Dan Aku tidak peduli.

Artinya, kesombongan dan keagungan itu hanya khusus milik Allah. Allah sungguh tidak
terima bila ada hamba yang memilki sifat keduanya. Begitu tersinggungnya Allah hingga Ia
akan melempar siapapun yang 'menggunakan' kedua sifat itu, ke Neraka tanpa peduli. Tanpa
peduli apakah dia seorang sufi, seorang wali, seorang nabi, seorang preiden atau juga seorang
raja.

Oleh karena itu guna mempermudah diri melatih menuju ketawadhuan kepada Allah
hendaknya seorang hamba harus mengakui dan memiliki beberapa perasaan. Pertama,
merasa hina (dzlil) dan meyakini bahwa yang mulia adalah Allah. seorang hamba harus
segera sadar bahwa ia seorang yang hina. Ia hanyalah berasal dari setetes air mani, yang
jikalau Allah swt menghendaki bisa saja mani itu tumpah dan menjadi konsumsi semut dan
lalat.

Kedua, merasa faqir selalu membutuhkan dan Allahlah yang Maha Kaya Raya. Sekarang para
hartawan dan miliyuner akan merasa bangga atas kejayaan dan mengandalkan segala macam
harta yang dimilikinya padahal kata Allah:

‫المال مالي والفقراء عيالي واألغنياء وكَلئي فإن بخل وكَلئي على عيالي‬
... ‫أذقتهم وبالي وال أبالي‬
Sesungguhnya semua harta itu adalah hartaKu, orang-orang faqir itu keluargaKu, dan para
hartawan adalah wakilku. Barang siapa yang berlaku pelit terhadap keluargaKu. Aku akan
menyiksanya tanpa peduli.

Ketiga, merasa bahwa dirinya adalah orang yang bodoh dan Allah yang Yang Maha
Mengetahui. Seringkali para hamba yang dianugerahi ilmu oleh Allah swt. melupakan
bahwasannya ilmu itu hanya sekedar titipan Allah swt yang dapat diambil kapanpun. Lihatlah
ketika seorag professor, doctor, cendekia tetapi terkena struk apa yang dapat ia lakukan?

Keempat, merasa lemah dan hanya Allah Yang Maha Kuat. Sebagai pelajaran betapa banyak
legenda tentang kejayaan para raja yang berkuasa begitu hebatnya, tetapi sekarang hanya
tinggal dalam kenangan dan catatan sejarah saja. Bukankah kekuatan negara adidaya di dunia
juga selalu silih berganti?

Jama'ah Jum'ah yang Dimuliakan Allah

Adapun gambaran praktek tawadhu kepada sesama dalam kehidupan sehari sangatlah bagus
berpegang pada pesan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kepada muridnya bahwa

‫اذا لقيت أحدا من الناس رأيت الفضل له عليك وتقول عسى أن يكون عند هللا‬
‫ فإن كان صغيرا قلت هذا لم يعص هللا وأنا قد عصيته فَل‬,‫خيرا منى وأرفع درجة‬
‫ وإن كان عالما قلت‬,‫ وإن كان كبيرا قلت هذا قد عبد هللا قبلى‬,‫شك إنه خير منى‬
‫ وإن كان‬,‫هذا أعطي مالم أبلغ ونال مالم أنال وعلم ما جهلت وهو يعمل بعلمه‬
‫جاهَل هذا أعصى هللا بالجهل وأنا عصيته بالعلم وال أدرى بما يحتمل لى وال‬
‫يحتمل له‬
Jikalau kamu berjumpa dengan seseorang maka hendaklah engkau melihat keunggulannya
dibanding denganmu. Dan katkanlah (dalam hati) bahwa "orang itu lebih baik dari pada aku
di mata Allah swt". Maka apabila (kamu berjumpa) dengan anak kecil, hendaklah berkata
(dalam hati) dia ini belum terlalu banyak maksyiyat (karena umurnya lebih muda) dan
otomatis dia lebih baik dari pada aku. Dan apabila (kamu berjumpa) dengan orang tua,
hendaklah berkata orang ini telah lama beribadah kepada Allah sebelum aku (karena umurnya
lebih tua, maka dia lebih baik dia dari pada aku). Apabila (kamu berjumpa) dengan seorang
yang 'alim, hendaklah berkata (dalam hati) dia telah diberi sesuatu (pengetahuan) yang aku
belum memilikinya dan dia telah memperoleh sesuatu yang aku belum peroleh dan dia juga
‫‪telah mengerti apa yang aku tidak mengerti. Dia beamal dengan ilmunya (pastilah lebih‬‬
‫‪diterima amalnya dari padaku). Apabila (kamu berjumpa) dengan seorang yang bodoh,‬‬
‫‪hendaklah berkata dia maksyiat karena kebodohannya, sedangkan aku melakukan maksyiat‬‬
‫?‪dengan ilmuku. Sungguh aku tidak tahu apakah aku lebih baik dari pada dia‬‬

‫‪Demikianlah khutbah sigkat kali ini, semoga bermanfaat bagi kita semua. Ya Allah‬‬
‫‪tunjukkanlah jalan kepada hambamu yang sombong ini jalan menuju ketawadhu'an yang‬‬
‫‪engkau ridhai. Karena sesungguhnya hanya engkaulah yang mampu menjadikan kami orang‬‬
‫‪yang bertawadhu.‬‬

‫آن اْل َع ِظي ِْم َونَفَ َعنِي َوإيَّا ُك ْم ِب َما ِف ْي ِه ِمنَ اْآليا َ ِ‬
‫ت‬ ‫ار َك هللاُ ِل ْي َولَ ُك ْم فِ ْي اْلقُ ْر ِ‬ ‫َب َ‬
‫َوالذ ْكر ِْال َح ِكي ِْم َوتَقَبَّ َل ِم ِنِّي َو ِم ْن ُك ْم ِتالَ َوتَهُ إنَّهُ هُ َو ال َّ‬
‫س ِم ْي ُع اْل َع ِل ْي ُم‬
‫‪Khutbah II‬‬

‫حم هدْ‬ ‫هلل اَل َ‬


‫لى ِْ‬ ‫ع َْ‬ ‫ه َ‬ ‫ر اِح َ‬
‫سانِ ِْ‬ ‫ه َوالشك هْ‬ ‫لى لَ هْ‬
‫ع َْ‬ ‫ه َ‬
‫تَوفِي ِق ِْ‬
‫د ‪َ .‬واِمتِ َنانِ ِْ‬
‫ه‬ ‫ل َ اَنْ َواَش َه هْ‬ ‫ه ْ‬ ‫ل ا اِلَ َْ‬‫للا اِ ْ‬ ‫هْ‬ ‫ه َو هْ‬
‫للا‬ ‫د هْ‬
‫ل َ َوح َْ‬‫ك ْ‬ ‫ري َْ‬ ‫ش ِ‬‫ه َ‬‫لَ هْ‬
‫ن َواَش َه هْ‬
‫د‬ ‫دنَا اَ اْ‬ ‫س ِي ّ َ‬ ‫مدا َ‬ ‫ح ا‬
‫م َ‬ ‫ه ه‬ ‫عب هد هْ‬ ‫ه َ‬ ‫سوله هْ‬ ‫عى َو َر ه‬ ‫لى ا‬
‫الدا ِ‬ ‫اِ َْ‬
‫وانِ ِْ‬
‫ه‬ ‫م ‪ِ .‬رض َ‬ ‫الله اْ‬
‫ه‬ ‫ص ِّْ‬
‫ل‬ ‫علَى َ‬ ‫دنَا َ‬ ‫سيِ ّ ِ‬ ‫مدْ َ‬ ‫ح ا‬‫م َ‬ ‫علَى ه‬ ‫و َ‬‫ه ِ‬‫ه اَلِ ِْ‬ ‫َواَص َ‬
‫حابِ ِْ‬
‫سلِّمْ‬ ‫ما كِثيرا تَسلِيما َو َ‬ ‫د اَ ا‬‫بَع هْ‬
‫ع َّما نَ َهى َوا ْعلَ ُم ْوا ا َ َّن هللاّ ا َ َم َر ُك ْم ِبا َ ْم ٍر بَدَأ َ‬ ‫اس اِتَّقُوهللاَ فِ ْي َما ا َ َم َر َوا ْنت َ ُه ْوا َ‬ ‫فَيا َ اَيُّ َها النَّ ُ‬
‫صلُّ ْو َن ع َ‬
‫َلى‬ ‫س ِه َوقَا َل تَعاَلَى ا َِّن هللاَ َو َمآل ئِ َكتَهُ يُ َ‬ ‫س ِه َوثَـنَى ِب َمآل ئِ َكتِ ِه بِقُ ْد ِ‬ ‫فِ ْي ِه ِبنَ ْف ِ‬
‫س ِيّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬ ‫علَى َ‬ ‫ص ِ ّل َ‬ ‫س ِلّ ُم ْوا ت َ ْ‬
‫س ِل ْي ًما‪ .‬الل ُه َّم َ‬ ‫علَ ْي ِه َو َ‬ ‫صلُّ ْوا َ‬ ‫النَّ ِبى يآ اَيُّ َها الَّ ِذ ْي َن آ َمنُ ْوا َ‬
‫س ِلكَ َو َمآل ِئ َك ِة‬ ‫علَى ا َ ْن ِبيآ ِئكَ َو ُر ُ‬ ‫س ِيّدِنا َ ُم َح َّم ٍد َو َ‬ ‫علَى آ ِل َ‬ ‫س ِلّ ْم َو َ‬
‫علَ ْي ِه َو َ‬
‫صلَّى هللاُ َ‬ ‫َ‬
‫ع ِلى َوع َْن‬ ‫عثْ َمان َو َ‬ ‫رو ُ‬
‫ع َم َ‬ ‫ش ِد ْي َن اَبِى بَك ٍْر َو ُ‬ ‫ض اللّ ُه َّم ع َِن اْل ُخلَفَا ِء َّ‬
‫الرا ِ‬ ‫ار َ‬ ‫اْل ُمقَ َّربِ ْي َن َو ْ‬
‫عنَّا‬
‫ض َ‬ ‫ار َ‬ ‫ان اِلَىيَ ْو ِم ال ِ ّد ْي ِن َو ْ‬ ‫س ٍ‬ ‫ص َحابَ ِة َوالتَّابِ ِع ْي َن َوتَابِ ِعي التَّابِ ِع ْي َن لَ ُه ْم بِا ِْح َ‬ ‫بَ ِقيَّ ِة ال َّ‬
‫اح ِم ْي َن‬ ‫َمعَ ُه ْم ِب َر ْح َمتِكَ يَا ا َ ْر َح َم َّ‬
‫الر ِ‬
‫ت اَالَ ْحيآ ُء ِم ْن ُه ْم َواْالَ ْم َوا ِ‬
‫ت‬ ‫س ِل َما ِ‬ ‫س ِل ِم ْي َن َواْل ُم ْ‬
‫ت َواْل ُم ْ‬ ‫اَلل ُه َّم ا ْغ ِف ْر ِل ْل ُم ْؤ ِمنِ ْي َن َواْل ُم ْؤ ِمنَا ِ‬
‫ص ْر ِعبَادَكَ اْل ُم َو ِ ّح ِديَّةَ‬ ‫ش ّْركَ َواْل ُمش ِْر ِك ْي َن َوا ْن ُ‬ ‫س ِل ِم ْي َن َوأ َ ِذ َّل ال ِ‬
‫سَلَ َم َواْل ُم ْ‬ ‫الل ُه َّم ا َ ِع َّز اْ ِال ْ‬
‫اخذُ ْل َم ْن َخذَ َل اْل ُم ْ‬
‫س ِل ِم ْي َن َو د ِ َّم ْر ا َ ْعدَا َءال ِ ّد ْي ِن َوا ْع ِل‬ ‫ص َر ال ِ ّد ْي َن َو ْ‬ ‫ص ْر َم ْن نَ َ‬ ‫َوا ْن ُ‬
‫س ْو َء‬ ‫لم َح َن َو ُ‬ ‫الزالَ ِز َل َواْ ِ‬ ‫لوبَا َء َو َّ‬ ‫عنَّا اْلبََلَ َء َواْ َ‬ ‫َك ِل َماتِكَ اِلَى يَ ْو َم ال ِ ّد ْي ِن‪ .‬الل ُه َّم ا ْدفَ ْع َ‬
‫سائِ ِر اْلبُ ْلد ِ‬
‫َان‬ ‫صةً َو َ‬ ‫سيَّا خآ َّ‬ ‫ع ْن بَلَ ِدنَا اِ ْندُونِ ْي ِ‬ ‫ظ َه َر ِم ْن َها َو َما بَ َط َن َ‬ ‫لم َح َن َما َ‬ ‫اْل ِفتْنَ ِة َواْ ِ‬
‫سنَةً‬ ‫آلخ َر ِة َح َ‬‫سنَةً َو ِفى اْ ِ‬ ‫ب اْل َعالَ ِم ْي َن‪َ .‬ربَّنَا آتِنا َ ِفى ال ُّد ْن َيا َح َ‬ ‫س ِل ِم ْي َن عآ َّمةً َيا َر َّ‬ ‫اْل ُم ْ‬
‫اوا ِْن لَ ْم ت َ ْغ ِف ْر لَنَا َوت َ ْر َح ْمنَا لَنَك ُْونَ َّن ِم َن‬‫سنَ َ‬‫اب النَّ ِار‪َ .‬ربَّنَا َظلَ ْمنَا ا َ ْنفُ َ‬ ‫عذَ َ‬ ‫َوقِنَا َ‬
‫بى َويَ ْن َهى‬ ‫تآء ذِى اْلقُ ْر َ‬ ‫ان َوإِ ْي ِ‬ ‫س ِ‬‫س ِر ْي َن‪ِ .‬عبَا َدهللاِ ! ا َِّن هللاَ يَأ ْ ُم ُرنَا ِباْلعَ ْد ِل َواْ ِال ْح َ‬ ‫اْل َخا ِ‬
‫ظ ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَذَك َُّر ْو َن َوا ْذك ُُروهللاَ اْلعَ ِظ ْي َم يَ ْذك ُْر ُك ْم‬
‫شآء َواْل ُم ْنك َِر َواْلبَ ْغي يَ ِع ُ‬‫ع َِن اْلفَ ْح ِ‬
‫َلى نِعَ ِم ِه يَ ِز ْد ُك ْم َولَ ِذك ُْر هللاِ ا َ ْكبَ ْر‬ ‫َوا ْ‬
‫شك ُُر ْوهُ ع َ‬

Anda mungkin juga menyukai