Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HADIST DAKWAH

HADITS: NIAT UNTUK BERBUAT BAIK MENDAPAT PAHALA


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Dosen pengampu : H. Agus Syamsul Huda, Lc., MA

Disusun oleh :

Zakiyatul Fikriyah (2001036026)

MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Niat adalah salah satu unsur terpenting dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh
manusia. Bahkan dalam setiap perbuatan yang baik dan benar (ibadah) menghadirkan niat
hukumnya fardhu bagi setiap pelaksananya. Banyak hadis yang mencantumkan seberapa penting
arti menghadirkan niat dalam setiap perbuatan. Niat juga mengan dung makna keikhlasan
terhadap apa yang akan kita kerjakan. Umar bin al-Khatthab yang diriwayatkan oleh al-Bukhari
dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat dan
sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang dia niatkan.” Jadi pada intinya setiap
niat yang baik pasti menghasilkan perbuatan yang baik pula dan sebaliknya, setiap niat yang
buruk akan menghasilkan perbuatan yang buruk pula. Tetapi pada salah satu ibadah fardhu, yaitu
salat. Masalah menghadirkan niat menjadi suatu objek pertentangan di antara beberapa mahzab.
Hal yang menjadi titik pusat permasalahan bukanlah harus atau tidaknya niat itu dihadirkan.
Karena memang niat itu harus dihadirkan pada setiap perbuata. Tapi masalahnya terletak pada
cara menghadirkan niat dalam salat. Apakah cukup dalam hati saja? Atau harus diucapkan? Dan
masih banyak masalah lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Hadist dan Terjemahnya
2. Asbabul Wurud
3. Syarah Hadist
4. Kaitannya
BAB II

PEMBAHASAN

A) Hadist dan Terjemahnya

‫ك‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِ ْي َمـا يَرْ ِو ْي ِه ع َْن َربِّ ِه تَب‬
َ ‫ار‬ َ ِ‫ ع َْن َرسُوْ ِل هللا‬، ‫ي هللاُ َع ْنهُ َمـا‬
‫ض َـ‬ ٍ ‫حفظه هللا َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
ِ ‫س َر‬

ُ‫ َكتَبَهَا هللاُ ِع ْن َده‬، ‫ فَ َم ْن هَ َّم بِ َح َسنَ ٍة فَلَ ْم يَ ْع َم ْلهَا‬، ‫ك‬


َ ِ‫ ثُ َّم بَيَّنَ َذل‬، ‫ت‬
ِ ‫ت َوال َّسيِّـئَا‬ َ ‫َب ْال‬
ِ ‫ـح َسنَا‬ َ ‫ «إِ َّن هللاَ َكت‬: ‫ قَا َل‬، ‫َوتَ َعالَى‬

ٍ ‫ْف إِلَى أَضْ َع‬


‫اف‬ ٍ ‫ َوإِ ْن هَ َّم بِـهَا فَ َع ِملَهَا َكتَبَهُ اللّـهُ َع َّز َو َج َّل ِع ْن َدهُ َع ْش َر َح َسنَا‬، ً‫َح َسنَةً َكا ِملَة‬
ِ ‫ت إِلَى َسب ِْع ِمائَ ِة‬
ٍ ‫ضع‬

ِ ‫ َكتَبَهَا هللاُ َسيِّئَةً َو‬، ‫ َوإِ ْن هَ َّم بِهَـا فَ َع ِملَهَا‬، ً‫ َوإِ ْن هَ َّم بِ َسيِّـئَ ٍة فَلَ ْم يَ ْع َم ْلهَا ؛ َكتَبَهَا هللاُ ِع ْن َدهُ َح َسنَةً َكا ِملَة‬، ‫َكثِ ْي َر ٍة‬
.» ً‫اح َدة‬

ِ ْ‫ص ِح ْي َح ْي ِه َمـا بِهَ ِذ ْالـ ُحرُو‬


‫ف‬ ِ ‫َر َواهُ ْالـبُخ‬
ْ ِ‫َاريُّ َو ُم ْسلِ ٌـم ف‬
َ ‫ـي‬

“Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Allâh menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian
menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak (jadi) melakukannya,
Allâh tetap menuliskanya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat
kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh
kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat
buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai satu
kebaikan yang sempurna. Dan  barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian
mengerjakannya, maka Allâh menuliskannya sebagai satu kesalahan.” [HR. al-Bukhâri dan
Muslim dalam kitab Shahiih mereka]

B) Syarah Hadist
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Wahai saudaraku –semoga Allâh memberikan
petunjuk kepada kita semua-, lihatlah betapa sempurna kelemahlembutan Allâh Azza wa Jalla !
Renungilah untaian kalimat-kalimat ini. Sabda beliau : ُ‫( ِع ْن ـ َده‬di sisi-Nya) mengisyaratkan

perhatian Allâh terhadap amalan hamba. Kata : ً‫( َكا ِملَة‬sempurna) berfungsi sebagai penegas dan
menunjukkan perhatian Allâh yang besar terhadapnya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda tentang keburukan yang diniatkan oleh seorang hamba namun ditinggalkannya :
ً‫( َكتَبَهَــا هللاُ ِع ْنــ َدهُ َح َس ـنَةً َكا ِملَ ـة‬Maka Allâh Azza wa Jalla mencatatnya sebagai satu kebaikan
sempurna). Beliau menguatnya dengan kata “Kamilah” (sempurna). Sedangkan jika ia tetap
melakukan keburukan itu, maka Allâh mencatatnya sebagai satu keburukan. Di sini, kecilnya
balasan dikuatkan dengan kata “wahidah” (satu) bukan dengan kata “kaamilah”..”

Hadits-hadits di atas menjelaskan tentang penulisan kebaikan dan kesalahan, serta


penulisan terhadap keinginan mengerjakan kebaikan dan kesalahan. Jadi, di sini ada empat :

 Mengerjakan kebaikan Balasan kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali hingga tujuh


ratus kali kebaikan bahkan sampai tak terhingga.

Pelipatgandaan satu kebaikan menjadi sepuluh, berlaku bagi seluruh kebaikan. Ini
ditunjukkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Barangsiapa berbuat kebaikan,
maka dia mendapatkan balasan sepuluh kali lipat amalnya.” [al-An’âm/6:160] Adapun balasan
yang lebih dari sepuluh kali lipat diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki Allâh Azza wa
Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di
jalan Allâh seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai ada
seratus biji. Allâh melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Maha luas, Maha
Mengetahui.” [al-Baqarah/2:261] Ayat ini menunjukkan bahwa infak di jalan Allâh
dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali lipat.

Diriwayatkan dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu , ia mengatakan, “Ada seseorang


datang dengan membawa untanya yang sudah diberi tali kendali, kemudian orang itu
mengatakan, ‘Wahai Rasulullah! Unta ini untuk berjuang di jalan Allâh.’ Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Pada hari Kiamat, engkau berhak mendapat unta sebanyak tujuh
ratus ekor. Semuanya sudah diberi tali kendali (memiliki cap (tanda).’” Sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang firman Allâh dalam
hadits Qudsi, “Kecuali puasa, karena ia milik-Ku dan Aku yang membalasnya,” menunjukkan
bahwa pelipatgandaan pahala puasa tidak diketahui kecuali oleh Allâh Azza wa Jalla , karena
puasa adalah sabar yang paling baik. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “…
Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” [az-
Zumar/39:10] Pelipatgandaan balasan kebaikan menjadi lebih dari sepuluh itu sesuai dengan
kwalitas keislaman seseorang. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu dan lain-lain. Balasan itu juga sesuai dengan keikhlasan, keunggulan suatu
amalan dan kebutuhan.

 Mengerjakan kejahatan atau keburukan Satu keburukan ditulis satu keburukan tanpa
dilipatgandakan,

Seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, “…Dan barangsiapa berbuat
kejahatan, maka dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan
(dizhalimi).” [al-An’âm/6:160] Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, ”Maka
ditulis untuknya satu kesalahan,” menunjukkan bahwa kesalahan tidak dilipatgandakan. Namun
terkadang sebuah kesalahan bisa menjadi besar disebabkan kehormatan waktu dan tempat
perbuatan buruk itu dilakukan, Seperti difirmankan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya,
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allâh ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam
ketetapan Allâh pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan
haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam
(bulan yang empat) itu…” [at-Taubah/9:36] Tentang ayat di atas, Qatâdah t menjelaskan,
”Ketahuilah ! Kezhaliman di bulan-bulan haram itu lebih besar dosanya daripada di bulan-bulan
lainnya, kendati kezhaliman di setiap kondisi itu tetap besar, namun Allâh Subhanahu wa Ta’ala
menganggap besar apa yang dikehendaki-Nya.”Allâh Azza wa Jalla berfirman :

ِّ‫َال فِي ْال َحج‬ َ َ‫ض فِي ِه َّن ْال َح َّج فَاَل َرف‬
َ ‫ث َواَل فُسُو‬
َ ‫ق َواَل ِجد‬ ٌ ‫ْال َحجُّ أَ ْشهُ ٌر َم ْعلُو َم‬
َ ‫ات ۚ فَ َم ْن فَ َر‬

Segeralah Bertaubat Kepada Allah Azza Wa Jalla Dan Perbanyaklah Istighfar (Musim) haji itu
(pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-
bulan) itu, maka janganlah ia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat (fusuq) dan bertengkar
(dalam melakukan ibadah) haji…” [al-Baqarah/2:197] Ibnu ’Umar Radhiyallahu anhuma
berkata, ”Fusuq pada ayat di atas maksudnya melakukan perbuatan maksiat; baik dengan berburu
atau lainnya (di tanah haram-red).”

Dalam kesempatan lain, Ibnu ’Umar c juga menjelaskan, ”Fusuq maksudnya melakukan
perbuatan maksiat di tanah haram (Makkah).”Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang
artinya, “…Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya
(masjidil Haram-red), niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih.” [al-Hajj/22:25]
Banyak shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berusaha tidak tinggal di tanah haram
(Makkah) karena khawatir berbuat dosa di sana, misalnya, Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dan
‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu. Hal yang sama dilakukan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
Radhiyallahu anhu. Sebuah kesalahan terkadang dilipatgandakan balasannya disebabkan
pelakunya orang terpandang, banyak tahu tentang Allâh dan dekat kepada-Nya.

Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengancam akan melipatgandakan balasan
kemaksiatan jika dilakukan oleh para hamba pilihan-Nya, padahal Allâh Azza wa Jalla telah
menjaga mereka dari kemaksiatan tersebut. Pemberian ancaman ini bertujuan untuk
menampakkan betapa agung nikmat Allah Azza wa Jalla kepada mereka yang telah menjaga
mereka dari berbagai berbuatan maksiat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan
sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)mu, niscya engkau hampir saja condong kepada
mereka, jika demikian, tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini
dan berlipat ganda setelah mati, dan engkau (Muhammad) tidak akan mendapat seorang
penolong pun terhadap Kami.” [al-Isrâ’/17:74-75]

 Berniat mengamalkan kebaikan Niat ini ditulis sebagai satu kebaikan sempurna,
walaupun pelakunya tidak mengerjakannya,

Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dan lain-lain.
Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , riwayatkan Muslim disebutkan :

ْ‫ث َع ْب ِديْ بِأ َ ْن يَ ْع َم َل َح َسنَةً ؛ فَأَنَا أَ ْكتُبُهَا لَهُ َح َسنَةً َما لَـ ْم يَ ْع َمل‬
َ ‫إِ َذا تَـ َح َّد‬

Jika hamba-Ku berniat ingin mengerjakan kebaikan, maka Aku menulis satu kebaikan baginya.
Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tahadduts yaitu haditsunnafsi (niat)
kuat yang disertai ambisi untuk beramal. Jadi, tidak hanya sekedar bisikan hati yang kemudian
hilang tanpa semangat dan tekad untuk beramal.

Jika niat sudah disertai perkataan dan usaha, maka balasan sudah pasti diraih dan orang
itu sama seperti orang yang melakukan, seperti diriwayatkan dari Abu Kabsyah Radhiyallahu
anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

، ‫ص ُل فِ ْي ِه َر ِحـ َمهُ َويَ ْعلَ ُم هلِل ِ فِيْـ ِه َحقًّا‬


ِ َ‫ َع ْب ٍد َرزَ قَهُ هللاُ َمااًل َو ِع ْل ًمـا فَهُ َـو يَـتَّـقِ ْي فِ ْي ِه َربَّـهُ َوي‬: ‫إِنَّ َمـا ال ُّد ْنيَا أِل َرْ بَ َع ِة نَفَ ٍر‬
ُ ‫ـي َمااًل لَ َع ِم ْل‬
‫ت‬ ْ ِ‫ لَوْ أَ َّن ل‬: ‫ق النِـّـيَّـ ِة يَقُوْ ُل‬ُ ‫صا ِد‬ َ ‫و َع ْب ٍد َرزَ قَهُ هللاُ ِع ْل ًمـا َولَـ ْم يَرْ ُز ْقهُ َمااًل فَه َـُو‬. ِ ‫ض ِل ْالـ َمن‬
َ ‫َاز ِل‬ َ ‫فَهَ َذا بِأ َ ْف‬
‫ـخبِطُ فِـي َمالِـ ِه بِ َغي ِْر‬ ْ َ‫ َو َع ْب ٍد َر َزقَهُ هللاُ َمااًل َولَـ ْم يَرْ ُز ْقهُ ِع ْل ًمـا فَه َُو ي‬, ‫ فَهُ َو بِنِـيَّـتِـ ِه فَأَجْ ُرهُـ َمـاـ َس َوا ٌء‬، ‫بِ َع َم ِل فُاَل ٍن‬

ِ ‫ث ْالـ َمن‬
ُ‫ َو َع ْب ٍد لَـ ْم يَرْ ُز ْقـهُ هللا‬, ‫َاز ِل‬ ِ َ‫ص ُل فِـيْـ ِه َر ِحـ َمهُ َواَل يَ ْعلَ ُم هللِ فِـيْـ ِه َحقًّا فَهَ َذا بِأ َ ْخب‬
ِ َ‫ِع ْل ٍم اَل يَتَّقِي فِ ْي ِه َربَّهُ َواَل ي‬
ُ ‫ـي َمااًل لَ َع ِم ْل‬
‫ فَه َُو بِنِيَّتِ ِه فَ ِو ْز ُرهُـ َمـا َس َوا ٌء‬، ‫ت فِيْـ ِه بِ َع َم ِل فُاَل ٍن‬ ْ ِ‫ لَوْ أَ َّن ل‬: ‫َمااًل َواَل ِع ْل ًمـا فَه َُو يَقُو ُل‬

Sesungguhnya dunia hanyalah diberikan untuk empat orang : (pertama) hamba yang
Allâh berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertakwa kepada Allâh dalam hartanya, dengannya
ia menyambung silaturahmi, dan ia menyadari bahwa dalam harta itu ada hak Allâh. Inilah
kedudukan paling baik (di sisi Allâh). (kedua) hamba yang Allâh berikan ilmu namun tidak
diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti
mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Maka dengan niatnya itu, pahala keduanya
sama. (ketiga) hamba yang Allâh berikan harta namun tidak diberikan ilmu, lalu ia menggunakan
hartanya sewenang-wenang tanpa ilmu, tidak bertakwa kepada Allâh dalam hartanya, tidak
menyambung silaturahmi dan tidak mengetahui bahwa dalam harta itu ada hak Allâh. Ini adalah
kedudukan paling jelek (di sisi Allâh). Dan (keempat) hamba yang tidak Allâh berikan harta
tidak juga ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa
yang dikerjakan si fulan.’ Maka dengan niatnya itu, keduanya mendapatkan dosa yang sama.”

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ”Maka pahala keduanya sama,” maksudnya
sama dalam hal ganjaran pokok (balasan niat-red) dan tidak sama dalam pelipatgandaan
ganjaran. Karena pelipatgandaan balasan kebaikan hanya khusus diberikan bagi orang yang
sudah mengerjakannya, bukan yang sekedar meniatkannya. Jika keduanya disamakan dalam
segala hal, maka ini tidak sesuai dengan hadits-hadits yang ada. Ini juga ditunjukkan dalam
firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk
(yang tidak ikut berperang) tanpa mempunyai udzur (halangan) dengan orang yang berjihad di
jalan Allâh dengan harta dan jiwanya. Allâh melebihkan derajat orang-orang yang berjihad
dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan).
Kepada masing-masing, Allâh menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allâh melebihkan
orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa
derajat daripadanya, serta ampunan dan rahmat. Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
[an-Nisâ’/4:95-96]
Barangsiapa berniat dan mengerahkan kemampuannya untuk mengerjakan kemaksiatan
kemudian tidak mampu mengerjakannya, maka ia termasuk orang yang telah mengerjakannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫ فَ َمـــا بَــا ُل‬، ‫ يَــا َر ُسـوْ َل هللاِ ! هَـ َذا ْالقَاتِـ ُل‬: ‫ت‬
ُ ‫ فَقُ ْل‬.‫ار‬
ِ َّ‫ فَ ْالقَاتِـ ُل َو ْالــ َم ْقتُوْ ُل فِـــي الن‬، ‫إِ َذا ْالتَقَى ْالـ ُم ْسلِ َمـــا ِن بِ َس ْيفَ ْي ِه َمـــا‬
َ َ‫ْالـ َم ْقتُوْ ُل ؟ ق‬
َ ‫ إِنَّهُ َكانَ َح ِر ْيصًا َعلَى قَ ْت ِل‬: ‫ال‬
‫صا ِحبِ ِه‬

Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing, maka pembunuh dan yang
terbunuh tempatnya di neraka.” Aku (Abu Bakrah) berkata, “Wahai Rasulullah ! Ini (berlaku)
bagi pembunuh, bagaimana dengan orang yang dibunuh ?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya ia
ingin sekali membunuh sahabatnya tersebut.”Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang
artinya, “Selagi mereka tidak mengatakannya atau mengerjakannya,” menunjukkan bahwa orang
yang berniat melakukan maksiat, jika ia sudah mengutarakan keinginnnya itu dengan lisan,
berarti ia berdosa karena ia telah berlaku maksiat dengan salah satu organ tubuhnya, yaitu
lidahnya. Ini juga diperkuat dengan hadits yang menjelaskan tentang orang yang berkata,
“Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti mengerjakan apa yang dikerjakan si fulan (yang
bermaksiat kepada Allâh dengan hartanya),” kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Kedua-duanya sama dalam dosa” Ada sebagian orang berpendapat bahwa dia tidak
berdosa dengan sebab mengutarakan keinginan buruknya, selama maksiat yang diinginkan itu
tidak berbentuk ucapan haram seperti ghibah, dusta dan lain sebagainya. Mereka berdalil dengan
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ْ‫ث َع ْب ِديْ بِأ َ ْن يَ ْع َم َل َسيِّئَةً ؛ فَأَنَا أَ ْغفِ ُرهَا لَهُ َما لَـ ْم يَ ْع َمل‬ َ ‫إِ َذا ت‬
َ ‫َـح َّد‬
Jika hamba-Ku berniat mengerjakan keburukan, maka Aku ampuni dia selama ia belum
mengerjakannya Pendapat ini tidak kuat, karena kalimat tahaddatsa dalam hadits itu maksudnya
bisikan hati, bukan ucapan lidah. Ini untuk menggabungkan pengertian hadits ini dengan hadits,
“Selagi ia tidak mengatakannya atau mengerjakannya.” Hadits Abu Kabsyah di atas juga
menegaskan hal ini

C) Takhrij Hadist
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 6491), Muslim no. 131 dan Ahmad
(I/310, 361). Dalam riwayat Muslim (no. 131 ), dibagian akhir hadits ini ada tambahan :

ٌ ِ‫ك َعلَـى هللا إِاَّل هَال‬


‫ك‬ ُ ِ‫ َواَل يَـ ْهل‬، ُ‫َو َم َحاهَا هللا‬
Dan Allâh Azza wa Jalla menghapusnya dan tidak ada yang binasa kecuali orang yang binasa.
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas banyak sekali.

Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allâh Azza wa Jalla berfirman
kepada para malaikat :

‫ َوإِ ْن ت ََر َكهَا ِم ْن‬، ‫ فَإِ َذا َع ِملَهَا فَا ْكتُبُوْ هَا بِ ِم ْثلِهَا‬، ‫إِ َذا أَ َرا َد َع ْب ِديْ أَ ْن يَ ْع َم َل َسيِّئَةً ؛ فَاَل تَ ْكتُبُوْ هَاـ َعلَ ْي ِه َحتَّى يَ ْع َملَهَـا‬
ُ‫ َوإِ َذا أَ َرا َد أَ ْن يَ ْع َم َل َح َسنَةً فَلَ ْم يَ ْع َم ْلهَا فَا ْكتُبُوْ هَاـ لَهُ َح َسنَةً ؛ فَإِ َذا َع ِملَهَا فَا ْكتُبُوْ هَاـ لَه‬، ً‫ـي فَا ْكتُبُوْ هَا لَهُ َح َسنَة‬
ْ ِ‫أَجْ ل‬
‫بِ َع ْش ِر أَ ْمثَالِـهَا إِلَى َسب ِْع ِمائَ ٍة‬

Jika hamba-Ku berniat melakukan kesalahan, maka janganlah kalian menulis kesalahan itu
sampai ia (benar-benar) mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, maka tulislah sesuai
dengan perbuatannya. Jika ia meninggalkan kesalahan tersebut karena Aku, maka tulislah
untuknya satu kebaikan. Jika ia ingin mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya,
tulislah sebagai kebaikan untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, tulislah baginya
sepuluh kali kebaikannya itu hingga tujuh ratus (kebaikan).’” Dalam riwayat Muslim,
disebutkan:

‫ فَإِ َذا َع ِملَهَا فَأَنَا‬، ْ‫ث َع ْب ِديْ ِبأ َ ْن يَ ْع َم َل َح َسنَةً ؛ فَأَنَا أَ ْكتُبُهَا لَهُ َح َسنَةً َما لَـ ْم يَ ْع َمل‬ َ ‫ إِ َذا ت‬: ‫ال هللاُ َع َّز َو َج َّل‬
َ ‫َـح َّد‬ َ َ‫ق‬
‫ فَإِ َذا َع ِملَهَا فَأَنَا‬، ‫ فَأَنَا أَ ْغفِ ُرهَا لَهُ َما لَـ ْم يَ ْع َم ْلهَا‬، ً‫ث بِأ َ ْن يَ ْع َم َل َسيِّـئَة‬ َ ‫ َوإِ َذا ت‬، ‫أَ ْكتُبُهَا بِ َع ْش ِر أَ ْمثَالِـهَا‬
َ ‫َـح َّد‬
‫ َذاكَ َع ْب ُدكَ ي ُِر ْي ُد أَ ْن‬، ِّ‫ َرب‬: ُ‫ت ْالـ َماَل ئِ َكة‬ ِ َ‫ قَال‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬َ َ‫ َوق‬.‫أَ ْكتُبُهَا لَهُ بِ ِم ْثلِهَا‬
ُ‫ َوإِ ْن ت ََر َكهَا فَا ْكتُبُوْ هَا لَه‬، ‫ فَإِ ْن َع ِملَهَا فَا ْكتُبُوْ هَا لَهُ بِ ِم ْثلِهَا‬، ُ‫ اُرْ قُبُوْ ه‬: ‫ال‬ َ ‫(وهُ َو أَب‬
َ َ‫ْص ُر بِ ِه) فق‬ َ ً‫َي ْع َم َل َسيِّئَة‬
ُّ‫ إِ َذا أَحْ َسنَ أَ َح ُد ُك ْم إِ ْساَل َمهُ فَ ُكل‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬َ َ‫ َوق‬.‫َّاي‬َ ‫ إِنَّ َمـا ت ََر َكهَا ِم ْن َجر‬، ً‫َح َسنَة‬
َ‫ َو ُكلُّ َسيِّـئَ ٍة َي ْع َملُهَا تُ ْكتَبُ بِ ِم ْثلِهَا َحتَّى َي ْلقَى هللا‬، ‫ْف‬ ٍ ‫ضع‬ ِ ‫ح َسنَ ٍة َي ْع َملُهَا تُ ْكتَبُ بِ َع ْش ِر أَ ْمثَالِـهَا إِلَـى َسب ِْع ِمائَ ِة‬.
َ

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ’Jika hamba-Ku berniat mengerjakan kebaikan, maka
Aku menuliskan baginya satu kebaikan selagi ia tidak mengerjakannya. Jika ia sudah
mengerjakannya, Aku menuliskan baginya sepuluh kali kebaikannya itu. Jika ia berniat
mengerjakan kesalahan, maka Aku mengampuninya selagi ia tidak mengerjakannya. Jika ia
sudah mengerjakan kesalahan tersebut, maka Aku menulisnya sebagai satu kesalahan yang
sama.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Para malaikat berkata, ’Wahai Rabb-
ku, itu hamba-Mu ingin mengerjakan kesalahan –Dia lebih tahu tentang hamba-Nya-.’ Allâh
berfirman, ’Pantaulah dia. Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut, tulislah sebagai satu
kesalahan yang sama untuknya. Jika ia meninggalkan kesalahan tersebut, tulislah sebagai
kebaikan untuknya, karena ia meninggalkan kesalahan tersebut karena takut kepada-Ku.’”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian memperbaiki
keislamannya, maka setiap kebaikan yang dikerjakannya ditulis dengan sepuluh kebaikan yang
sama hingga tujuh ratus kali lipat dan setiap kesalahan yang dikerjakannya ditulis dengan satu
kesalahan yang sama hingga ia bertemu Allâh.”

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :

َّ ‫ إِاَّل ال‬: ‫ قَا َل هللاُ َع َّز َو َج َّل‬.‫ْف‬


ُ‫ فَإِنَّه‬، ‫صوْ َم‬ ِ ‫ اَ ْلـ َح َسنَةُ َع ْش ُر أَ ْمثَالِـهَا إِلَـى َسب ِْع ِمئَ ِة‬: ُ‫ضا َعف‬
ٍ ‫ضع‬ َ ُ‫ُكلُّ َع َم ِل ا ْب ِن آ َد َم ي‬
ْ ِ‫ط َعا َمهُ ِم ْن أَجْ ل‬
‫ـي‬ َ ‫ع َش ْه َوتَهُ َو‬ ُ ‫ يَ َد‬، ‫ـي َوأَنَا أَجْ ِزيْ بِ ِه‬ ْ ِ‫…ل‬

Setiap perbuatan anak Adam dilipatgandakan; satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan yang
sama hingga tujuh ratus kali lipat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Kecuali puasa, karena ia
milik-Ku dan Aku yang membalasnya. Ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwat dan
makanannya karena Aku …’”

Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :

‫ أَوْ أَ ْغفِ ُر‬، ‫ فَ َجزَا ُؤهُ َسيِّئَةٌ ِم ْثلُهَا‬، ‫ َو َم ْن َجا َء بِال َّسيِّئَ ِة‬، ‫ فَلَهُ َع ْش ُر أَ ْمثَالِـهَا َو أَ ِز ْي ُد‬، ‫ َم ْن َجا َء بِ ْالـ َح َسنَ ِة‬: ُ‫يَقُوْ ُل هللا‬.

Allâh berfirman, ‘Barangsiapa mengerjakan kebaikan, ia berhak atas sepuluh kebaikan yang
sama dan Aku tambahkan (kebaikan kepadanya). Dan barangsiapa mengerjakan kesalahan,
balasannya ialah kesalahan yang sama atau Aku mengampuninya.’”

Dan dari Anas Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

ْ‫ لَـ ْم تُ ْكتَب‬، ‫ َو َم ْن هَ َّم بِ َسيِّـئَ ٍة فَلَ ْم يَ ْع َم ْلهَا‬، ‫ت لَهُ َع ْشرًا‬ ْ َ‫ ُكتِب‬، ‫َم ْن هَ َّم بِ َح َسنَ ٍة فَلَ ْم يَ ْع َم ْلهَا‬
ْ َ‫ فَإِ ْن َع ِملَهَا ُكتِب‬، ً‫ت لَهُ َح َسنَة‬
ً‫ت َسيِّـئَةً َوا ِح َدة‬
ْ َ‫ ُكتِب‬، ‫ َش ْيئًا فَإِ ْن َع ِملَهَا‬.

Barangsiapa menginginkan kebaikan kemudian tidak mengerjakannya, maka satu kebaikan


ditulis untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, maka sepuluh kebaikan ditulis baginya.
Dan barangsiapa menginginkan kesalahan kemudian tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis
apa-apa baginya. Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut, maka ditulis satu kesalahan baginya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesempurnaan ilmu Allâh Azza wa Jalla . Tidak ada sedikit pun di langit maupun di bumi atau
yang lebih dari itu yang lepas dari jangkauan ilmu-Nya, dan tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-
Nya. Allâh mengetahui apa yang ada dalam hati manusia. Di antara tugas malaikat adalah mencatat
kebaikan dan keburukan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menugaskan malaikat yang mulia kepada
setiap orang, mereka mengetahui dan mencatat apa yang dikerjakannya, Allâh Azza wa Jalla
menghitungnya sedang mereka melupakannya. Betapa rahmat Allâh itu sangat luas dan karunia-Nya
sangat agung. Allâh Azza wa Jalla tidak melipatgandakan balasan bagi perbuatan buruk seorang hamba
serta memaafkan keinginan berbuat jahat (selagi tidak dilaksanakan). Penjelasan tentang karunia Allâh
Azza wa Jalla terhadap ummat ini. Karena kalau bukan karena karunianya, maka tidak akan ada yang
masuk Surga, sebab perbuatan dosanya lebih banyak daripada kebaikannya.
Memberikan semangat dan juga memberian ancaman merupakan metode mendidik terbaik.
Kebaikan dan keburukan yang telah terjadi, urusannya telah selesai, telah ditulis dan telah ditetapkan.
Menetapkan perbuatan Allâh Azza wa Jalla . Karena karunia dan keadilan Allâh Azza wa Jalla , pahala
kebaikan dijadikan berlipat ganda , sedangkan kejelekan dosa tidak dilipatgandakan. Memikirkan
berbagai kebaikan menjadi sebab yang bisa mengantar seseorang mengerjakannya. Mengingatkan dan
menyadarkan diri sebelum berbuat keburukan dapat mencegah diri darinya. Pengaruh niat dalam
perbuatan dan akibatnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005


Zakiyah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006
Al-Bugha, Mustafa Dieb  dan Muhyidin. Al wafi fi Syarah Arba’in Nawawi. Beirut: Muassasah
Ulumil Qur’an, t.th
Al-jazairi, Abu Bakr. Minhajjul Muslim. Beirut: Darul Fikr, t.th
Ash Shiddiqey, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Al-Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Dahlan, Ali Usman. Hadits Qudsy Pola Pembinaan Akhlak Muslim. Bandung: CV. Diponegoro.
Ghazali, Imam. 1990. Mukasyafatul Qulub, Terj. Fatihuddin Abul Yasin.Surabaya: Terbit
Terang.
Juwariyah. 2010. Hadis Tarbawi. Yogyakarta: Sukses Offset.

Anda mungkin juga menyukai