Anda di halaman 1dari 3

kedudukan pernikahan dalam perspektif masyarakat kontemporer?

pernikahan memiliki tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sehingga baik
suami maupun istri harus saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spriritual dan material.
Dalam Islam perkawinan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang
secara halal serta untuk melangsungkan keturunannya dalam suasana saling mencintai
(mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami istri. Salah satu fenomena hukum
yang menarik untuk dikaji bersama di masa modern dan kontemporer ini adalah
persoalan pengaturan hukum keluarga di negara-negara muslim, di Indonesia misalkan
terjadi kontroversi yang cukup fenomenal atas sah atau tidaknya pernikahan beda agama
dilihat dari sudut pandang perundang-undangan di Indonesia. Dalam tulisan ini penulis
mencoba mencermati salah satu bentuk kontroversi dalam menafsirkan sah atau tidaknya
pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang perundang-undangan di Indonesia.

Adanya Nikah Misyār


Nikah misyār adalah istilah baru yang dalam pengertiannya terjadi perbedaan pendapat.
Menurut Yusuf al-Qardhawi (l. 1926), nikah misyār merupakan pernikahan syar‟i yang
prakteknya tidak sama dengan praktek nikah pada umumnya. Dalam nikah misyār pihak
istri menggugurkan sebagian hak-haknya yang seharusnya diterima dari suami. Misalnya,
istri tidak menuntut hak nafkah dan atau hak mabīt (hak mendapatkan giliran bermalam,
dan biasanya posisi istri sebagai istri kedua atau ketiga). Pada umumnya, nikah misyār ini
merupakan pernikahan yang kedua atau ketiga bagi suami. Sehingga bisa dikatakan
bahwa nikah misyār adalah bagian dari praktek poligami. Namun yang jelas, bahwa pihak
istri menggugurkan sebagian haknya dengan kehendaknya sendiri dan didasari kerelaan
(al-Qardhawi, 2006; 6).

Adanya Kawin Sirih


Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak boleh dilakukan secara diam-diam, tanpa saksi-
saksi, bahkan seharusnya atau paling tidak dengan restu wali. Islam menganjurkan agar
dilakukan pesta , walau sederhana, dan dirayakan dengan bunyi-bunyian (musik). Karena
itu pula, siapa yang diundang ke walimah (pesta pernikahan), maka dia sangat dianjurkan
untuk menghadirinya. Jika dia tidak berpuasa, maka hendaklah dia makan, tapi bila
berpusa cukup menghadirinya saja. Ini bukan saja untuk menampakkan kegembiraan
dengan terjalinnya pernikahan itu, tetapi juga sebagai kesaksian, sehingga dapat
menampik sekian banyak isu negatif yang boleh jadi muncul atau penganiayaan yang
dapat terjadi atas salah satu pasangan.

Nikah Mut’ah
Pernikahan dalam Islam adalah transaksi dan perjanjian yang kuat dan kokoh. Dibangun
diatas niat pergaulan abadi dari kedua belah pihak, untuk merealisasikan buah
psikologisnya,
nikah mut’ah. Ia adalah ikatan nikah antara seseorang laki-laki dan perempuan, untuk
suatu masa yang mereka sepakati bersama, dengan upah tertentu. Dalam pernikahan
macam ini, tidak terealisasi makna yang disebut sebelumnya. Ia memang pernah
diperbolehkan oleh Nabi saw, sebelum syariat Islam ini mapan. Namun,
diperbolehkannya pun hanya dalam perjalanan dan peperangan, kemudian dilarang dan
diharamkan untuk selama-lamanya.

Dapat disimpulkan kedudukan pernikahan dalam perspektif masyarakat kontemporer


adalah banyak yang menjadi masalah dan disalah artikan. Pernikahan adalah ikatan lahir
dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam
bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd nikah. Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu
memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat: Cinta (mawaddah), Rahmah (kondisi
psikologis yang muncul di dalam hati untuk melakukan pemberdayaan), & Amanah
(ketenteraman) (Oleh Dr Quraish shihab)

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 56

Dr. Kutbuddin Aibak, M. H. (n.d.). Kajian Fiqh Kontemporer. Edisi Revisi: Kalimedia.

Anda mungkin juga menyukai