Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

EPILEPSI ORGANIK
PALSI SEREBRAL
LESI LOWER MOTOR NEURON TIPE SPASTIK

Disusun Sebagai Tugas Presentasi Kasus


Program Dokter Internship Indonesia

Disusun oleh
dr. Dionisius

Pembimbing:
dr. I Ketut Rutin Pastadita, M.Sc, SpA
dr. Syahperlan Wendi, M.Sc, SpA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MALINAU


KABUPATEN MALINAU, KALIMANTAN UTARA
PERIODE DOKTER INTERSHIP SEPTEMBER 2018 - 2019
PORTOFOLIO ANAK

Topik : Susp Epilepsi Organik + Palsi Serebral + LMN tipe Spastik

Tanggal kasus : 01/04/2019 Presenter : dr. Dionisius

Tanggal presentasi : 24/04/2019 Pendamping : dr. I Ketut Rutin Pastadita,


M.Sc, SpA

Tempat presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Kabupaten Malinau

Objektif kasus :

 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan pustaka

 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil

 Deskripsi : By. Laki-laki usia 7 bulan datang ke IGD RSUD Kab. Malinau dengan riwayat kejang 1x
saat 1 jam SMRS. Ini merupakan serangan kejang kali kedua.

 Tujuan : Mengetahui penyebab dan terapi yang tepat sesuai dengan deskripsi kasus.

Bahan bahasan :  Tinjauan  Riset  Kasus  Audit


pustaka

Cara membahas:  Diskusi Presentasi  Email  Pos


& diskusi
Data pasien : Nama : By. NF No RM : 88.95.12

Nama Rumah Sakit : RSUD Kabupaten Malinau Terdaftar


: 21-3-2019
sejak
DATA UTAMA
1. Diagnosis/Gambaran Klinis
-21 Maret 2019 pkl. 13.35 WITA, IGD (dr. Colin Bid)
S : OS datang di antar oleh keluarga ke IGD RSUD Kab. Malinau dengan keluhan demam sejak 2 hari
SMRS, berlangsung terus-menerus sepanjang hari, ketika diberikan paracetamol drop, panas turun
namun beberapa jam kemudian panas naik kembali. Demam disertai kejang 2 jam SMRS, tiba-
tiba, berlangsung selama 10 menit, KP mengatakan saat kejang mata OS mendelik ke atas dan
seluruh badan kaku, tidak merespon dengan rangsangan, sesaat setelah kejang terhenti OS
menangis. Selang waktu 1 jam, OS kejang kali kedua, berlangsung selama 15 menit dengan
deskripsi kejang yang sama dengan serangan pertama. Diantara kejang OS sadar. Riwayat kejang
sebelumnya (-). OS memiliki riwayat batuk sejak 1 minggu tidak disertai pilek, berdahak namun
tidak bisa keluar, hanya bunyi “ngrok-ngrok” ketika batuk, sesak (-), bunyi “mengi” (-), bertambah
parah 2 hari SMRS. Riwayat batuk lama (-), penurunan berat badan (-), batuk bertambah parah
malam hari disertai keringat malam (-), bengkak di daerah leher (-), riwayat alergi OS dan keluarga
(-). OS merupakan pasien rujukan dari KTT dengan diagnosa kejang demam kompleks dan diare cair
akut tanpa dehidrasi.

O : KU Sedang, Kesadaran tidak dinilai, BB 6.6kg


Tanda Vital : N 160x/m, P 45x/m, S tidak dicantumkan, SpO2 98%
Mata : CA ?, SI ?, Cowong ?/?
Toraks : Simetris saat statis dan dinamis ?, retraksi ?
Paru : SNV +/+, WH -/-, RH +/+
Abdomen : Supel, BU (+), turgor kulit ?
Ekstrimitas : Akral hangat, CRT 2 detik, denyut Arteri Dorsalis Pedis tidak kuat angkat dan cepat
Pemeriksaan Fisik Neuorologis : Tidak dilakukan
Laboratorium
Hb,Ht,L,Tr : 10.7g/dl, 30%, 12.600/mm3, 307.000/mm3
Hitung Jenis : Basofil 0%, Eosinofil 3%, Neutrofil 36%, Limfosit 50%, Monosit 11%
Glukosa darah sewaktu : 102 mg/dl

A : Kejang demam kompleks + Febris H-3 + Diare cair akut tanpa dehidrasi + Pneumonia

P:
 O2 2lpm via Nasal Kanul
 Nebulisasi Ventolin + Pulmicort /8jam
 Loading Asering 10cc/KgBB = 66cc, dilanjutkan IVFD Asering 28tpm Mikro
 Plan A
 Loading Cibital 20mg/KgBB = 132mg/KgBB lalu rumatan 13.2mg/12jam
 Inj. Ampicillin + Sulbactam 200mg/KgBB/hari = 1320mg/hari I.V
Lapor dr. Syahperlan, Sp.A. Advis :
 O2 1-2lpm via NK
 Nebulisasi Ventolin/8jam KP
 Pasang NGT
 IVFD Asering 28tpm Mikro
 Oralith 100cc/mencret
 DRIP PCT 15mg/KgBB/4jam = 99mg/4jam I.V
 Inj. Ampicillin 50mg/KgBB/6jam = 330mg/6jam I.V
 Inj. Sibital 2.5mg/KgBB/12jam diencerkan dalam NaCl 0.9% 5cc (bolus pelan)
 Bila kejang Inj. Sibital 10mg/KgBB = 66mg I.V
 Inj. Dexamethasone 0.1mg/KgBB/8jam = 0.7mg/8jam I.V
 Rawat inap di ICU dengan diagnosa Meningitis, Diare cair akut tanpa dehidrasi dan Pneumonia.

-22 Maret 2019 pkl. 08.00 WITA, ICU (dr. Rezza Mahandika)
S : Demam disertai penurunan kesadaran. Sesekali OS membuka mata. Gerak tidak aktif. Riwayat
kejang tonik-klonik sebanyak 2x. kesadaran antar kejang dan durasi kejang dipertanyakan.

O : KU Sakit Berat, Kesadaran Sopor


Tanda Vital : N 146x/m, P 28x/m, S 37.5c, SpO2 100%
Paru : SNV +/+, RH +/+, WH -/-
Ekstrimitas : Akral hangat, CRT <2 detik, denyut Arteri Dorsalis Pedis teraba kuat angkat
Neurologis : Kaku kuduk +

Laboratorium
Na/K/Cl : 138/3.8/111 mEq/L

A : Meningitis, Diare cair akut tanpa dehidrasi dan Pneumonia

P : Perubahan terapi
 IVFD Asering 28cc/jam  12cc/jam
 Inj. Dexamethasone 0.1mg/KgBB/8jam  0.2mg/KgBB/jam I.V
 ASI perah 50cc/3jam via NGT

-23 Maret 2019 pkl. 08.00 WITA, ICU (dr. Rezza Mahandika)
S : Kesadaran membaik, sempat menangis, gerak lebih aktif dibandingkan kemarin, Demam (-),
Batuk (+).

O : KU Sakit Berat, Kesadaran Somnolen-Sopor


Tanda Vital : N 120x/m, P 17x/m, S 36.7c, SpO2 99%
Paru : SNV +/+, RH +/+, WH -/-
Ekstrimitas : Akral hangat, CRT <2 detik, Nadi Arteri Dorsalis Pedis teraba kuat angkat
Neurologis : Kaku kuduk -

A : Meningitis, Diare cair akut tanpa dehidrasi dan Pneumonia

P : Perubahan terapi
 Inj. Sibital 2.5mg/KgBB/12jam  2mg/KgBB/12jam diencerkan dalam NaCl 0.9% 5cc (bolus
pelan) I.V

-24 Maret 2019 pkl. 06.50 WITA, ICU (dr. Felicia Sesi Herdian)
S : Kesadaran membaik, respon (-), sesekali buka mata, gerak aktif, Batuk (+), Dahak (-), Demam (-
), Mencret (-).

O : KU sedang, Kesadaran tidak dinilai


Tanda Vital : N 144x/m, P 22x/m, SpO2 95%
Paru : SNV +/+, RH +/+, WH -/-
Ekstrimitas : Akral hangat, CRT <2 detik, Nadi Arteri Dorsalis Pedis teraba kuat angkat, klonus -,
spastis -
Neurologis : Kaku kuduk -

A : Meningitis, Diare cair akut tanpa dehidrasi dengan perbaikan dan Pneumonia

P : Perubahan terapi
 Drip PCT 9.9mg/KgBB/4jam (K/P)

-25 Maret 2019 pkl. 06.00 WITA, ICU (dr. Felicia Sesi Herdian)
S : Kesadaran membaik, mata terbuka, menangis kuat, gerak lebih aktif. Mencret (-).

O : KU Sedang, Kesadaran Somnolen


Tanda Vital : N 129x/m, P 18x/m, S 36.8c, SpO2 99%
Paru : SNV +/+, RH +/+, WH +/+
Ekstrimitas : Akral hangat, CRT <2 detik, Nadi Arteri Dorsalis Pedis teraba kuat angkat, klonus -,
spastis -
Neurologis : Kaku kuduk -

A : Meningitis, Diare cair akut tanpa dehidrasi dengan perbaikan, Pneumonia dan Ulkus dekubitus
grade 1 r. servikalis.

P : Perubahan terapi
 IVFD Asering  AFF
 Inj. Dexamethasone  STOP
 Inj. Sibital bolus lambat/12jam  STOP
 Edukasi menetek ASI ad libitum
 Bioplacenton 3x1 oles
 Mika-Miki /2jam

-26 Maret 2019 pkl. 06.00 WITA, ICU (dr. Felicia Sesi Herdian)
S : Kesadaran membaik, menetek kuat, menangis kuat, kemarin malam demam, bebas kejang hari
ke-6. Mencret (-).

O : KU sedang, Kesadaran somnolen


Tanda Vital : N 156x/m, P 21x/m, S 37.7c, SpO2 100%
Paru : SNV +/+, RH +/+ (berkurang intensitasnya), WH -/-
Ekstrimitas : Akral hangat, CRT <2 detik, Nadi Arteri Dorsalis Pedis teraba kuat angkat, klonus -,
spastis -
Neurologis : Kaku kuduk -

Laboratorium
Hb,Ht,L,Tr : 11.2g/dl, 34%, 8.900/mm3, 485.000/mm3
Hitung Jenis : Basofil 0%, Eosinofil 3%, Neutrofil 38%, Limfosit 50%, Monosit 9%

A : Meningitis, Diare cair akut tanpa dehidrasi (teratasi), Pneumonia dan Ulkus dekubitus grade 1
r. servikalis.

P : Perubahan terapi
 Cek darah rutin dan hitung jenis
 Pindah bangsal

-27 Maret 2019 pkl. 06.00 WITA, Mawar (dr. Landong)


S : Sudah BAB, Keluhan –

O : KU Sedang, PF DBN

A : Meningitis, Diare cair akut tanpa dehidrasi (teratasi), Pneumonia dan Ulkus dekubitus grade 1
r. servikalis.

P:
 O2 1lpm via NK
 Nebulisasi Ventolin /8jam KP
 Inj. Ampicillin + Sulbactam 4x330mg I.V (H-6)
 Drip PCT 99mg/4jam KP
 Jika kejang Inj. Sibital 10mg/KgBB  66mg I.V
 Oralith 100cc/mencret
 ASI perah 50cc/3jam dan menetek ASI ad libitium
 Bioplacenton 2 oles/hari
 Mika-Miki /2jam

-28 Maret 2019 pkl. 06.00 WITA, Mawar (dr. Landong)


S : Keluhan berkurang

O : KU Sedang, PF DBN

A : Meningitis, Diare cair akut tanpa dehidrasi (teratasi), Pneumonia dan Ulkus dekubitus grade 1
r. servikalis.

P : Tidak ada perubahan terapi

-29 Maret 2019 pkl. 06.00 WITA, Mawar (dr. Landong)


S : Keluhan berkurang

O : KU Sedang, PF DBN

A : Meningitis, Diare cair akut tanpa dehidrasi (teratasi) dan Pneumonia

P:
 Boleh pulang dan kontrol ke Poliklinik Anak 3 hari lagi (01/04/2019)
 Obat yang diteruskan di rumah : Zinc syrp 1x cth 1

-1 April 2019 pkl. 23.08 WITA, IGD (dr. Dionisius)


S : OS datang diantar keluarga dengan keluhan kejang 30 menit SMRS, tiba-tiba, berlangsung
selama 8 menit, KP mengatakan saat kejang mata OS mendelik ke atas dan seluruh badan kaku,
tidak merespon dengan rangsangan, sesaat setelah kejang terhenti (paska diberikan Stesolid
Suppositoria 5mg) OS menangis kuat. Kejang tidak didahului demam. Saat di IGD demam (-). Ini
merupakan kejang ketiga. Di antara bangkitan kejang, OS sadar, mata membuka, kadang menangis
kuat dan gerak aktif. Didapati kaku pada tangan dan kaki kanan. Riwayat trauma (-).
2. Riwayat pengobatan
15 jam SMRS : Pasien datang ke poliklinik anak untuk kontrol sesuai yang di jadwalkan saat
pulang rawat inap. Keluarga mengatakan OS sudah tidak ada keluhan dan tidak ada obat
tambahan yang diberikan. OS diperbolehkan pulang.
3. Riwayat penyakit dahulu
OS memiliki riwayat demam, batuk, mencret, kejang serupa dan penurunan kesadaran pada
bulan Maret 2019 yang mengharuskan OS masuk IGD RSUD Kab. Malinau dan mengharuskanya
dirawat inap di ICU dan bangsal Mawar. Deskripsi lengkap tertera pada “Gambaran klinis” di
poin nomor 1 pada makalah ini.
4. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada riwayat kejang serupa pada keluarga OS.
5. Riwayat sosioekonomi
Ayah OS bekerja sebagai wiraswasta, ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga. OS dan keluarga
tinggal di sebuah rumah kayu di pemukiman yang tidak padat penduduk. Rumah tersebut
memiliki 4 jendela yang selalu dibuka pagi, siang dan sore hari sehingga rumah cukup ventilasi
dan sinar matahari. Keluarga rutin membersihkan rumahnya, sekurang-kurangnya 1x dalam
sebulan.
6. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada tanggal 01 April 2019 pukul 23.10 di Ruang IGD, RSUD Kab. Malinau
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : GCS Mata membuka spontan skor 4, Verbal suara tidak jelas skor 3
Motorik Melokalisasi sumber nyeri skor 4. Total skor 11 = CM
Tanda Vital : N 138x/m, P 37x/m, S 36.3c, SpO2 99%
Berat badan : 6.6 kg
Panjang badan : 65 cm
Kepala : normosefali
Muka : simetris, dismorfik (-)
Mata : konjungtiva pucat -/-, oedema palpebral -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : normotia, sekret -/-
Hidung : deformitas (-), napas cuping hidung (-), sekret -/-
Mulut : bibir kering (-), mukosa bibir lembab (+), sianosis (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar
Toraks : simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak dapat dinilai
Palpasi : ictus cordis tidak dapat dinilai
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : tidak ada benjolan (-)
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : supel, turgor kulit <2 detik, hepar tidak teraba, lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, denyut Arteri Dorsalis Pedis teraba kuat
Kulit : pucat (-), sianosis (-)
Status Gizi : kesan gizi baik
Laki-laki, 7 bulan, BB: 6.6 kg, TB: 65 cm, BB/TB : -2 SD sampai +2 SD

Pemeriksaan Fisik Neurologis


Saraf Kranial Strategi Penilaian
I Olfaktorius Sulit untuk diuji Tidak dilakukan
II Visual Buat bayi memperhatikan wajah Dalam batas normal
pemeriksa, lalu perhatikan respons
pada wajahnya dan pergerakanya
II, III Respons Dilakukan dalam ruang yang agak Tidak bisa dilakukan
terhadap cahaya gelap, posisikan bayi seperti duduk
dan membuka mata
Tes reflex cahaya, berikan cahaya Dalam batas normal
dan perhatikan reflex mengedip
III,IV,VI Gerakan bola Perhatikan pergerakan bola mata Dalam batas normal
mata ketika bayi memperhatikan wajah
kita, gunakan cahaya apabila
diperlukan
V Motor Tes reflex rooting dan sucking Dalam batas normal
VII Fasial Perhatikan ketika bayi tersenyum Dalam batas normal
dan menangis, perhatikan adanya
simetrisitas pada wajah dan dahi
VIII Akustik Tes reflex suara, yaitu kedua mata Dalam batas normal
mengedip akibat respons terhadap
suara yang keras
Apakah adanya pergerakan untuk Dalam batas normal
mencari sumber suara
IX,X Menelan Perhatikan koordinasi saat menelan Dalam batas normal
XI Assesorius Perhatikan simetrisitas kedua bahu Dalam batas normal
XII Hipoglosus Perhatikan koordinasi menelan, Dalam batas normal
menyedot, dan mengeluarkan lidah
Pencet kedua lubang hidung, Dalam batas normal
perhatikan reflex membuka mulut,
dan perhatikan simetrisitas dari
lidah

Pemeriksaan fungsi motorik


Postur tubuh : Berbaring dengan posisi lengan dan tungkai dalam keadaan fleksi
Tonus :
-Tonus fasik : Tonus ekstrimitas kanan meningkat dimana ketika dicoba meluruskan tangan dan
kaki terdapat tahanan kuat dan setelah dilepaskan kembali dalam posisi fleksi (posisi awal
fleksi).
-Tonus postural : Tidak dinilai.
Kekuatan otot : OS bangun setelah digoyangkan badanya secara halus (saat tidur) lalu keempat
ekstrimitas bergerak secara bergantian, dalam artian kekuatan otot dalam batas normal.
Refleks tendon dalam :
-Triseps : Negatif (diragukan)
-Biseps : Negatif (diragukan)
-Patella : Negatif (diragukan)
-Achilles : Negatif (diragukan)
Refleks patologis :
-Babinski : Negatif
-Oppenheim : Tidak dilakukan
-Hoffman : Negatif
-Klonus : Negatif
Tanda rangsang meningeal :
-Kaku kuduk : Negatif
-Brudzinski : Tidak dilakukan
-Kernig : Tidak dilakukan
7. Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin : Hb 11.5 g/dl, Ht 34%, L 10.900/mm3, Tr 1.328.000/mm3
Hitung jenis : Basofil 0%, Eosinofil 2%, Neutrofil 41%, Limfosit 52%, Monosit 5%
Glukosa darah sewaktu : 96 mg/dl
Elektrolit darah : Natrium 135 mEq/L, Kalium 4.5 mEq/L, Klorida 109 mEq/L
Radiologi : Tidak dilakukan
EEG : Terencana namun belum dilakukan
8. Diagnosis
Susp Epilepsi Organik, Palsi Serebral dan lesi Lower Motor Neuron tipe Spastik
9. Tatalaksana
1. Stesolid suppositoria 5mg 1x Extra
2. Pasang venflon
Konsul dr. Ketut, Sp. A. Advis :
3. Asam Valproat 15mg/KgBB dibagi 2 dosis/12jam  100mg  50mg/12jam I.V lalu besok naikan
dosis Asam Valproat 20mg/KgBB  66mg/12jam I.V jika masih kejang
4. Jika kejang kembali loading Sibital 20mg/KgBB diencerkan dalam NaCl 0.9% 20cc I.V selama 10
menit
5. Jika kejang kembali loading Sibital 10mg/KgBB diencerkan dalam NaCl 0.9% 10cc I.V selama 10
menit
6. Rumatan cairan 4cc/KgBB/jam = 26.4 cc/jam dengan distribusi 1/3 kebutuhan = 8.8cc/jam via
IVFD D5 1/2NS dan 2/3 kebutuhan = 17.6cc/jam ASI via NGT
7. Rawat inap r. Mawar

Follow UP 2 April 2019 – 5 April 2019

Tanggal 2 April 2019 3 April 2019 4 April 2019 5 April 2019


Subject Kejang (-) Kejang (-) Kejang (-) Kejang (-)
Object -Ku Sedang, CM -Ku Sedang, CM -Ku Sedang, CM -Ku Sedang,
-Head to Toe DBN -Head to Toe DBN -Head to Toe DBN CM
P.Neurologis : P.Neurologis : P.Neurologis : -Head to Toe
-Nervus kranialis -Nervus kranialis -Nervus kranialis DBN
stationer stationer stationer P.Neurologis:
-Postur tubuh dalam -Postur tubuh dalam -Postur tubuh dalam -Nervus
batas normal batas normal batas normal kranialis
-Tonus fasik -Tonus fasik -Tonus fasik stationer
ekstrimitas kanan ekstrimitas kanan ekstrimitas kanan -Postur
meningkat meningkat meningkat tubuh dalam
-Kekuatan otot dalam -Kekuatan otot dalam -Kekuatan otot dalam batas normal
batas normal batas normal batas normal -Tonus fasik
-Refleks biseps positif -Refleks fisiologis -Refleks fisiologis ekstrimitas
normal negatif negatif kanan
-Refleks patologis -Refleks patologis -Refleks patologis meningkat
negatif negatif negatif -Kekuatan
-Tanda rangsang -Tanda rangsang -Tanda rangsang otot dalam
meningeal negatif meningeal negatif meningeal negatif batas normal
-Refleks
fisiologis
Biseps dan
Triseps
dalam batas
normal
-Refleks
patologis
negatif
-Tanda
rangsang
meningeal
negatif
Assessment 1. Susp Epilepsi 1. Susp Epilepsi 1. Susp Epilepsi 1. Susp
Organik Organik Organik Epilepsi
2. Palsi Serebral 2. Palsi Serebral 2. Palsi Serebral Organik
3. Lesi LMN tipe 3. Lesi LMN tipe 3. Lesi LMN tipe 2. Palsi
Spastik Spastik Spastik Serebral
3. Lesi LMN
tipe Spastik
Plan -IVFD KAEN 3A -IVFD KAEN 3A -IVFD KAEN 3A AFF -Venflon
8.8cc/jam 8.8cc/jam -NGT AFF -Asam
-17.6cc/jam ASI via -17.6cc/jam ASI via -Asam valproate valproate
NGT NGT 50mg/12jam 50mg/12jam
-Asam valproate -Asam valproate -Bolus sibital -Bolus sibital
50mg/12jam 50mg/12jam 20mg/KgBB bila 20mg/KgBB
-Bolus sibital -Bolus sibital kejang bila kejang
20mg/KgBB bila 20mg/KgBB bila -Inj. Piracetam -Piracetam
kejang kejang 120mg/KgBB/x/24jam pulv
-Inj. Piracetam -Inj. Piracetam I.V diganti P.O 1x790mg
120mg/KgBB/x/24jam 120mg/KgBB/x/24jam -Pro EEG -Pro EEG
I.V I.V -Fisioterapi -Fisioterapi
-Pro EEG -Pro EEG
-Fisioterapi -Fisioterapi

HASIL PEMBELAJARAN
Anamnesa :
Dari anamnesis yang didapat terkait riwayat penyakit dahulu, pada tanggal 21 Maret 2019 – 29
Maret 2019, didapatkan sejumlah informasi penting yang dapat mengarahkan kepada diagnosa
yang telah ditetapkan. Berikut penjelasan lengkap terkait informasi yang didapat dari
anamnesa:

 Keluhan utama yang membawa OS datang ke IGD (diantar keluarga) adalah kejang. Terdapat
dua hal yang mendasar harus diperhatikan dalam anamnesa kejang adalah dengan
membedakan apakah kejang berkaitan dengan demam atau tidak dan mencari informasi terkait
kelainan primer di otak atau di luar otak. Pada kasus didapati kejang yang didahului oleh
demam. Anamnesa selanjutnya terfokus untuk mencari ada atau tidaknya kelainan primer di
otak dan atau di luar otak. Kelainan primer di otak dapat diarahkan dengan menggali informasi,
ada atau tidaknya gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan saraf kranial dan atau
perifer lalu serangan berulang termasuk riwayat epilepsi sebelumnya dan riwayat keluarga
dengan epilepsi. Pada kasus ini didapatkan informasi OS mengalami penurunan kesadaran saat
bangkitan kejang terjadi namun segera setelah kejang terhenti kesadaran pulih kembali. Tidak
didapatkan informasi terkait kelainan saraf. Kurangnya informasi ini menyebabkan sulit untuk
menentukan ada tidaknya kelainan primer di otak. Kelainan primer di luar otak didapatkan
dengan menggali informasi, terpenuhi atau tidaknya kriteria “Livingstone” untuk kasus kejang
demam sederhana atau kompleks, tinggal di daerah endemis DBD dan atau Malaria, demam
tinggi dan gangguan kesadaran. Pada kasus ini informasi mengarah kepada kriteria Livingstone
untuk Kejang Demam Kompleks atau KDK. Untuk mendiagnosa KDK, perlu satu atau lebih dari
empat poin sebagai berikut, 1. Kejang fokal Tonik, 2. Durasi kejang lebih dari 15 menit, 3.
Serangan ulangan kejang terjadi dalam 24 jam pertama terhitung sejak bangkitan kejang
pertama, 4. Abnormalitas neurologis paska kejang. Pada anamnesa didapatkan bahwa poin 1
dan 2 telah terpenuhi sehingga sesuai dengan diagnosa kejang demam kompleks.
 Keluhan kejang disertai batuk. Batuk dapat menjadi indikator untuk masalah di sistem
respiratori maupun sistemik. Oleh karena itu harus digali informasi apakah batuk disertai
demam atau tidak, gejala respiratori seperti pilek, sesak napas serta bunyi napas abnormal,
gejala sistemik seperti mata-bibir-merah kemerahan/hiperemis, ruam serta riwayat imunisasi.
Pada kasus didapati batuk disertai dengan demam, sesak napas dan bunyi napas abnormal
(didapatkan dari pemeriksaan fisik) yang mengarahkan diagnosa kepada Pneumonia.
 Selain batuk, kejang juga disertai riwayat buang air besar cair atau mencret. Mencret
merupakah keluhan yang dapat berdiri sendiri sebagai suatu diagnosa atau bagian gejala klinis
suatu penyakit atau komplikasi dari suatu penyakit. Pada kasus ini dimunculkan sebagai
diagnosa yang berdiri sendiri. Hal ini dipertanyakan sebab tidak terdapat informasi yang jelas
dan lengkap terkait deskripsi mencret, onset, ada atau tidaknya tanda-tanda dehidrasi, dll. Pada
kasus ini hanya terfokus pada diagnosa di keterangan rujukan, yaitu Diare Cair Akut tanpa
Dehidrasi.

Dari anamnesis yang didapat terkait riwayat penyakit sekarang dan hasil evaluasi berkala
(follow up), pada tanggal 1 April 2019 – 5 April 2019, didapatkan sejumlah informasi penting
yang dapat mengarahkan kepada diagnosa yang telah ditetapkan. Berikut penjelasan lengkap
terkait informasi yang didapat dari anamnesa:

 Keluhan utama yang membawa OS datang ke IGD (diantar keluarga) adalah kejang. Ini
merupakan episode kejang ketiga. Bangkitan kejang ini tidak disertai dengan keluhan lain,
dengan kata lain tanpa pencetus/provokasi. Kejang tanpa provokasi mengarah kepada kasus
Epilepsi. International League Against Epilepsy atau ILAE tahun 2014 mengeluarkan definisi
terbaru Epilepsi yang berlaku dan diterapkan secara internasional, yaitu seseorang dapat
dipertimbangkan Epilepsi jika memenuhi salah satu atau lebih dari tiga poin di bawah ini :
o Setidaknya terdapat dua bangkitan kejang tanpa provokasi yang terjadi secara terpisah
dengan interval waktu lebih dari 24jam.
o Satu bangkitan kejang tanpa provokasi dan memiliki resiko tinggi terjadinya ulangan
bangkitan kejang. Namun karena besarnya resiko tidak selalu diketahui, definisi Epilepsi
lama masih sering digunakan, yaitu menunggu bangkitan kejang kedua.
o Diagnosis “Sindrom Epilepsi” secara khusus merujuk kepada kasus yang memiliki usia
onset yang spesifik. Salah satu contoh yang paling umum ditemukan adalah “Benign
Epilepsy with Central-Temporal Spikes” yang dahulu dikenal sebagai “Benign Rolandic
Epilepsy” yang biasanya mulai terjadi pada usia 16 tahun dan selalu terjadi pada usia 21
tahun. Jika seorang pasien dengan penyakit ini telah melewati batas usia ini tanpa
bangkitan kejang maka dapat disimpulkan Epilepsi telah mengalami remisi. Atau jika
pasien bebas kejang setidaknya selama 10 tahun dengan periode bebas kejang
setidaknya 5 tahun.
Faktor resiko yang dimaksud adalah sebagai berikut :

 Epilepsi terjadi pada usia kurang dari 2 tahun


 Jumlah serangan dan terkontrol atau tidaknya serangan dengan obat anti Epilepsi
 Gambaran EEG baik saat kejang dan di luar kejang
 Ada atau tidaknya faktor komorbid yang dapat mencetuskan dan atau memperberat Epilepsi
 Riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga
Pada kasus ini didapatkan informasi yang sesuai dengan kriteria definisi Epilepsi oleh ILAE, yaitu
poin 1 dan 2, juga didapatkan faktor resiko, yaitu poin 1, 4 dan 5. Sehingga diagnosa Epilepsi
dapat ditegakan.

 Selain kejang didapati informasi tentang kaku pada tangan dan kaki kanan dibandingkan
dengan sisi kiri. Kaku yang dimaksud mengarah kepada kelumpuhan atau gangguan motorik
yang terjadi. Lumpuh terbagi menjadi kelumpuhan otot tidak sempurna (paresis) dan
kelumpuhan otot sempurna (paralisis). Kedua tipe lumpuh ini dapat bersifat flaksid atau
spastik. Pada paresis/paralisis flaksid, otot tidak dapat mempertahankan tonus pada posisi yang
normal. Flaksiditas pada umumnya mengarah kepada lesi “Lower Motor Neuron” atau LMN,
meskipun terkadang ditemukan LMN dengan spastisitas otot. Pada lesi “Upper Motor Neuron”
atau UMN memberikan gambaran flaksiditas yang kemudian menjadi spastis dikemudian hari.
Spastik diartikan sebagai kekakuan pada otot atau peningkatan tonus otot disertai kontraksi
yang berlangsung lama. Pada anamnesa didapati gambaran yang mengarah kepada lesi tipe
spastik, yaitu terdapat kaku tangan dan kaki sebelah kanan. Untuk mencari apakah lesi spastik
merupakan bagian dari UMN atau LMN dibutuhkan pemeriksaan fisik.
 Gangguan motorik dan postur yang bersifat statis, non-progresif dengan gambaran klinis yang
dapat berubah seiring dengan bertambahnya usia, dapat timbul sekunder akibat lesi atau
anomali otak yang terjadi pada tahap awal perkembangan dapat didefinisikan sebagai Palsi
Serebral. Palsi Serebral sering dikaitkan dengan Epilepsi dan gangguan berbicara, penglihatan
dan intelektual. Anamnesa lebih mengarah kepada kronologis atau kaitan riwayat penyakit lain
(baik dahulu dan sekarang) dengan terjadinya Palsi Serebral. Otak manusia secara khusus akan
terus berkembang hingga periode dua tahun pertama kehidupan sejak dilahirkan, sehingga
sangat rentan untuk mengalami gangguan atau kerusakan. Palsi Serebral merupakan hasil dari
kerusakan otak yang disebabkan selama periode prenatal, perinatal atau postnatal. Faktor
resiko prenatal meliputi ibu dengan riwayat aborsi spotan, ibu dengan sepsis, ibu dengan suhu
>38c pada saat kehamilan, ibu hamil dengan infeksi saluran kemih, ibu dengan riwayat bayi
lahir mati dan adanya riwayat keluarga penderita Palsi Serebral awitan dini, bayi lahir kurang
bulan (<32 minggu gestasi) dan berat badan bayi lahir <2.500gr. Faktor resiko perinatal meliputi
prematuritas, IUGR, bayi baru lahir dengan asfiksia atau riwayat trauma selama proses
melahirkan, stroke neonatus dan infeksi seperti, toksoplasmosis, rubella, dsb. Faktor resiko
postnatal meliputi kerusakan otak akibat meningitis bakterial, ensefalitis viral,
hiperbilirubinemia dan trauma. Pada anamnesa dijumpai adanya kelainan motorik berupa
kekakuan otot dan adanya faktor resiko postnatal berupa Meningitis Bakterialis.

O:
Dari pemeriksaan kegawatdaruratan di IGD, didapatkan PAT dan ABC sebagai berikut
Pediatric Assessment Triangle
Appearance
Bayi laki laki, compos mentis, tampak lemas, tonus otot meningkat pada ekstrimitas kanan, pergerakan
aktif
Work of Breathing
Tidak tampak sesak, tidak tampak retraksi sela iga dan tidak tampak napas cuping hidung
Circulation to Skin
Tidak tampak pucat, tidak tampak sianosis, tidak terdapat perdarahan terbuka
Kesimpulan : Tidak terdapat tanda kegawatdaruratan
ABC
Airway
Jalan napas bebas, menangis kuat
Breathing
Napas spontan, frekuensi napas 37x/menit, tidak tampak tanda sesak napas, seperti merintih, retraksi
dinding dada dan sianosis.
Circulation
Tidak tampak tanda syok, seperti akral dingin, CRT > 3 detik dan nadi cepat-lemah. Pada kasus didapati
akral hangat, CRT < 2 detik, frekuensi nadi 138x/menit, pulsasi Arteri Dorsalis Pedis teraba kuat angkat,
regular.
Consciousness
-Apakah bayi dalam keadaan tidak sadar : Sadar
-Apakah bayi kejang : Kejang
-Apakah bayi gelisah : Tidak gelisah
Dehydration
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi seperti bayi rewel dan atau gelisah, bayi lemas, mata cekung, haus
atau malas minum, dan cubitan kulit kembali sangat lambat (>2 detik).

Kategori: EMERGENCY
Berdasarkan pemeriksaan diatas, didaptakan adanya tanda kegawatdaruratan berupa kejang dan
harus dilakukan pemberian anti kejang untuk mengatasi kondisi tersebut secepatnya lalu dilakukan
pemeriksaan fisik dan penunjang untuk mengetahui etiologi kejang sehingga dapat ditentukan rencana
terapi medikasi dan non medikasi serta menentukan prognosis.

O: Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan secondary survey yang mencakup pemeriksaan head
to toe. Pada kasus ini ditemukan:
 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : GCS total skor 11 = Compos Mentis
 Tanda Vital : N 138x/m, P 37x/m, S 36.3c, SpO2 99%, kesan dalam batas normal
 Status Gizi BB/TB yaitu -2 SD sampai +2 SD, kesan Gizi Baik
 Head to Toe dalam batas normal
 Pemeriksaan neurologis :
o Nervus Kranialis I-XII dalam batas normal
o Postur tubuh dalam batas normal
o Tonus Otot Fasik didapatkan tonus otot ekstrimitas kanan meningkat
o Kekuatan otot dalam batas normal
o Refleks Tendon Dalam atau Refleks Fisiologis Negatif
o Refleks Patologis negatif
o Tanda rangsang Meningeal negatif

Pemeriksaan penunjang
 Darah rutin : Hb 11.5 g/dl, Ht 34%, L 10.900/mm3, Tr 1.328.000/mm3
 Hitung jenis : Basofil 0%, Eosinofil 2%, Neutrofil 41%, Limfosit 52%, Monosit 5%
 Glukosa darah sewaktu : 96 mg/dl
 Elektrolit darah : Natrium 135 mEq/L, Kalium 4.5 mEq/L, Klorida 109 mEq/L
 Radiologi : Tidak dilakukan
 EEG : Terencana namun belum dilakukan

Evaluasi pemeriksaan fisik dan penunjang

EPILEPSI
-Diagnosa Epilepsi dapat ditegakan jika terdapat gambaran klinis yang sesuai, didukung oleh temuan
pemeriksaan fisik dan penunjang. Terdapat tiga tahapan untuk diagnosa Epilepsi menurut ILAE 2017,
yaitu :
 Menentukan tipe kejang
 Menentukan tipe Epilepsi
 Menentukan Sindroma Epilepsi

1.Sebelum menentukan tipe kejang yang terjadi, hal pertama yang dilakukan adalah membedakan
kejang dan bukan kejang. Berikut perbedaannya :
Keadaan Kejang Bukan kejang Evaluasi
Onset Tiba-tiba Gradual V
Kesadaran Terganggu Tidak terganggu V
Gerakan ekstrem Sinkron Asinkron V
Sianosis Sering Jarang X
Gerakan abnormal mata Selalu Jarang V
Serangan khas Sering Jarang V
Lama Detik-Menit Beberapa menit V
Dapat diprovokasi Jarang Hampir selalu V
Ictal EEG abnormalitas Selalu Tidak pernah -

Sehingga dapat disimpulkan terdapat kejang pada kasus ini. Tahap selanjutnya adalah menentukan
tipe kejang yang terjadi. Kejang dikategorikan berdasarkan tipe onset kejang. Terdapat 2 kategori yaitu
onset fokal dan onset umum/general. Kejang onset fokal (Focal-onset seizures) didefinisikan ILAE 2017
sebagai kejang yang dicetuskan oleh fokus bangkitan/impuls listrik abnormal dari suatu tempat di
dalam otak dan terbatas pada koneksi jaringan saraf di satu hemisfer otak. Kejang onset umum
(Generalized-onset seizures) didefinisikan ILAE 2017 sebagai kejang yang dicetuskan oleh fokus
bangkitan/impuls listrik abnormal dari suatu tempat di dalam otak, secara berulang diperkuat dan
terdistribusi pada jaringan saraf bilateral.
-Kejang onset fokal dikategorikan kembali berdasarkan tingkat kesadaran saat terjadinya bangkitan
kejang. Kesadaran yang dimaksud mengarah kepada keadaan dimana seseorang memiliki orientasi
penuh terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar. Berdasarkan tingkat kesadaran, kejang onset fokal
dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu fokal sadar penuh (Focal Aware) dan fokal dengan gangguan
tingkat kesadaran (Focal Impaired Awareness). Secara lebih spesifik dapat di tambahkan informasi
mengenai onset motorik dan atau onset non-motorik.

Kejang onset fokal motorik (Focal Motor Onset) :


 Atonik : Kehilangan tonus otot (Focal loss of tone)
 Tonik : Kaku otot atau peningkatan tonus otot (Sustained focal stiffening)
 Klonik : Hentakan berirama (Focal rhythmic jerking)
 Mioklonik : Hentakan singkat ireguler (Irregular, brief focal jerking)
 Spasme Epileptikus : Fleksi atau ekstensi fokal tangan dan fleksi badan (Focal flexion or
extension of arms and flexion of trunk)
 Automatisasi : Aktivitas motorik berulang, tanpa tujuan dan tidak terkordinasi (More or less
coordinated, purposeless, repetitive motor activity)
 Hiperkinetik : Ambigu (Ambiguous)
Kejang onset fokal non-motorik (Focal nonmotor onset) :
 Autonomik : Gangguan pada sistem gastrointestinal, sensasi panas atau dingin, flushing,
goosebumps, palpitasi, gairah seksual, perubahan sistem respiratori atau gangguan autonom
lainya (GI tract sensations, a sense of heat or cold, flushing, goosebumps, palpitations, sexual
arousal, respiratory changes, or other autonomic effects)
 Perilaku : Henti gerakan dan hilangnya respon terhadap rangsangan (cessation of movement
and unresponsiveness)
 Kognitif : Gangguan Bahasa, berpikir atau terkait fungsi luhur kortikal selama kejang (deficits in
language, thinking or associated higher cortical funcions during seizures)
 Emosional : Takut, anxietas, agitasi, marah, paranoid, senang, bahagia, ekstasi, tertawa atau
menangis (fear, anxiety, agitation, anger, paranoia, pleasure, joy, ecstasy, laughing or crying )
 Sensorik : somatosensoris, olfaktorius, visual, auditorius, gustatorius, sensasi panad-dingin atau
sensasi vestibular (somatosensory, olfactory, visual, auditory, gustatory, hot-cold sense, or
vestibular sensations)
Pada kejang onset fokal terdapat kategori khusus yaitu fokal onset tonik-klonik bilateral (Focal to
bilateral tonic-clonic). Tidak banyak ulasan mengenai kategori khusus ini, termasuk ulasan pada ILAE
2017.

-Kejang onset umum tidak menggunakan tingkat kesadaran sebagai deskripsi kategorinya karena pada
tipe kejang ini selalu didapati gangguan kesadaran saat bangkitan kejang berlangsung. Kejang onset
umum di bagi menjadi dua kategori yaitu, tipe motorik dan non-motorik/absans sebagai berikut :
Tipe motorik :
 Tonik-klonik (menggantikan istilah kejang tipe Grand Mal), selama kejang, telah terjadi
penurunan kesadaran saat sebelum terjadi kejang atau bersamaan dengan peningkatan tonus
otot dan gerakan menyentak (during a tonic-clonic seizure, awareness is lost before or
contemporaneously with the stiffening and jerking movements)
 Klonik jinak mulai, berkembang dan berakhir dengan gerakan menyentak berirama anggota
gerak tubuh pada kedua sisi dan sering terjadi pada kepala, leher, wajah dan badan
(Generalized clonic begin, progress, and end with sustained rhythmic jerking of limbs on both
sides of the body and often head, neck, face, and trunk)
 Tonik umum, bermanifestasi sebagai kekakuan atau elevasi bilateral anggota gerak , sering
dijumpai kekakuan pada leher. Tonik umum juga dapat bermanifestasi sebagai postur tubuh
yang abnormal, baik ekstensi atau fleksi dan terkadang bersamaan dengan tremor ekstrimitas
(Generalized tonic manifest as bilateral limb stiffening or elevation, often with neck stiffening.
Tonic activity can be a sustained abnormal posture, either in extension or flexion, sometimes
accompanied by tremor of the extremities)
 Mioklonik umum, terjadi ketika terdapat isolasi atau tumpang tindih dengan tonik atau atonik
(Generalized myoclonic can occur in isolation or in conjunction with tonic or atonic activity)
 Mioklonik-tonik-klonik umum, dimulai dengan beberapa gerakan menyentak mioklonik diikuti
dengan aktivitas tonik-klonik (Generalized myoclonic-tonic-clonic seizures begin with a few
myoclonic jerks followed by tonic-clonic activity)
 Atonik, berarti hilangnya tonus. Remisi terjadi dalam beberapa detik. Ketika tonus kaki hilang,
penderita akan terjatuh ke arah belakang tubuh/bokong atau terkadang ke depan searah lutut
dan wajah (Atonic means without tone. Recovery is usually within seconds.When leg tone is
lost, the patient falls on the buttocks or sometimes forward onto the knees and face)
Tipe non-motorik/absans :
 Absans mioklonik mengarah kepada kejang mioklonik dengan irama teratur 3x per detik
menyebabkan gerakan roda gigi pada ekstrimitas atas dan berhubungan dengan perubahan
gelombang umum sebanyak 3x per detik. Durasi 10-60 detik (A myoclonic absence refers to and
absence seizure with rhythmic three per second myoclonic movements, causing ratcheting
abduction of the upper limbs leading to progressive arm elevation, and associated with three
per second generalized spike wave discharges. Duration is typically 10-60s)
 Mioklonik pada kelopak mata merupakan gerakan menyentak kelopak mata dan deviasi mata
ke atas, sering dicetuskan pada saat menutup mata atau oleh cahaya dan dihubungkan dengan
absans dan juga kejang motorik (Eyelid myoclonia are mycoclonic jerks of the eyelids and
upward deviation of the eyes, often precipitated by closing the eyes or by light and can be
associated with absences, but also can be motor seizures, making them difficult to categorize)

Pada kasus ini didapatkan informasi yang mengarah kepada "Kejang Onset Fokal Motorik Tipe Tonik".

2. Selanjutnya adalah menentukan apakah kejang yang dimaksud pada poin pertama sesuai syarat
definisi Epilepsi menurut ILAE 2017 yang sudah di bahas pada bagian anamnesis. Dari informasi yang
didapat dapat ditarik kesimpulan kejang yang terjadi sesuai dengan deskripsi Epilepsi namun untuk
benar-benar menegakkan diagnosa Epilepsi harus didukung oleh pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang difokuskan untuk menentukan penyebab/etiologi dari Epilepsi dan
menentukan tipe Epilepsi.
- Pemeriksaan penunjang untuk menentukan etiologi Epilepsi :
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi banyak perluasan etiologi mendasar terkait dengan
kemajualn teknologi radiologi dan bidan genetic. Terdapat terminology yang sudah tidak digunakan ,
seperti idiopatik, kriptogenik dan simtomatik. ILAE 2017 mengkategorikan etiologi mendasar Epilepsi,
yaitu structural, genetic, infeksi, metabolik, imun, dan tidak diketahui
 Struktural
Menurut VOLPE kejang terkait Epilepsi sangat rentan terjadi pada neonatus dan bayi. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti susunan dendrit dan remifikasi axonal yang masih
dalam proses pertumbuhan, sinaptogenesis belum sempurna dan mielinisasi pada sistem
afferent di sistem saraf pusat belum lengkap. Sehingga apapun pengaruh suatu proses
abnormal, misalnya pada penyakit penyerta atau penyakit terdahulu dapat dengan mudah
mencetuskan Epilepsi.
 Genetik
Kelainan genetik dapat terjadi baik pada tingkat kromosom dan atau molekular/gen. Kelainan
yang terjadi dapat diturunkan secara dominan (1 kopi gen) ataupun resesif (2 kopi gen) dan
didapat (De Novo) selama proses pembelahan sel sesaat setelah konsepsi terjadi. Hukum
mendelian berlaku dalam kelainan yang diturunkan. Sejauh ini ILAE 2017 telah berhasil
mengidentifikasi 13 kelainan kromosom termasuk “Down Syndrome” sebagai etiologi Epilepsi.
 Infeksi
Penyebab tersering secara global. Infeksi dapat mencetuskan kejang akut simptomatik dan
Epilepsi. Termasuk didalamnya Meningitis Bakterialis, Ensefalitis, Tuberkulosis, HIV, Malaria
Serebral, Toksoplasmosis Serebral dan Sklerosis Panensefalitis Subakut.
 Metabolik
ILAE telah mengidentifikasi 8 kelainan metabolik sebagai etiologi Epilepsi termasuk “Glucose
Transporter 1 Deficiency”.
 Imun
Termasuk “Rasmussen Syndrome” dan “Antibody Mediated Etiologies”.
 Tidak diketahui
Pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah menyesuaikan dengan dugaan sementara etiologi
Epilepsi, diantaranya urinalisa, pemeriksaan darah lengkap, cairan serebrospinal, pemeriksaan
Elektroensefalografi/EEG dan pencitraan/radiologi. Pemeriksaan yang harus dilakukan pada semua
pasien curiga Epilepsi adalah EEG. Semua literatur menjelaskan bahwa EEG adalah pemeriksaan
penunjang yang paling baik untuk menegakkan diagnosa Epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Namun demikian EEG normal
dapat dijumpai pada penderita yang secara nyata menderita kelainan otak, dan sebaliknya EEG
abnormal dapat dijumpai pada anak normal dan sehat. Perlu diingat setiap bentuk serangan Epilepsi
memiliki gambar EEG yang khas. Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila terdapat :
 Asimetri irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak
 Irama gelombang yang tidak teratur
 Irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misalnya gelombang delta
 Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku, paku-ombak, paku majemuk dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksismal

Pada kasus didapatkan informasi yang mendukung definisi Epilepsi, ditunjang oleh kecurigaan infeksi,
yaitu riwayat meningitis sebagai etiologi mendasar. Namun poin 2 tidak terpenuhi secara lengkap
sebab belum dilakukan pemeriksaan EEG (walaupun sudah menjadi bagian perencanaan/plan). Pada
kasus ini juga didapati kecurigaan abnormalitas struktural otak yang disebabkan oleh penyakit
terdahulu sesuai dengan patogenesis dan patofisiologis penyakit tersebut sehingga ditegakkan
diagnosa "Suspek Epilepi Organik".
3. Tahapan terakhir dalam diagnosa Epilepsi adalah menegakkan diagnosa Sidrom Epilepsi. Poin 3
merujuk kepada informasi lengkap mengenai tipe bangkitan kejang, Epilepsi dengan detail gejala dan
tanda klinis yang terjadi bersama-sama, meliputi jenis serangan Epilepsi, etiologi mendasar, anatomi,
faktor pencetus, umur onset, beratnya penyakit, kronisistas dan prognosis, serta didukung dengan
data yang didapatkan dari pemeriksaan penunjang terkait. Hal ini membuat tahap 3 sangat sulit
dicapai.

Pada kasus ini tidak dimungkinkan untuk penegakkan diagnosa tahapan terakhir yaitu diagnosa
sindrom Epilepsi.

PALSI SEREBRAL
- Untuk Diagnosa Palsi Serebral penting mencari tanda-tanda yang menunjang diagnosa khususnya
untuk evaluasi klasifikasi. Klasifikasi palsi serebral adalah sebagai berikut :

Bagian tubuh yang Gangguan motorik Derajat penyakit Evaluasi


terkena dominan (The Gross Motor Function
Classification System)
Hemiparesis/Hemiplegia Spastik I V
Diplegia Ataksik II X
Triplegia Diskinetik III X
Kuadriplegia/Tetraplegia Distonik IV X
Koreoatetosis V

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pertumbuhan yang abnormal, dismorfik wajah, kelainan
bawaan, organomegali, kelainan kulit, kelainan pada mata dan telinga, asimetri tonus atau fungsi otot,
hipertonia, hipotonia, menetapnya refleks primitif dan terlambat atau tidak munculnya reaksi
postural.

Pada kasus didapati informasi yang mengarah kepada Palsi Serebral, yaitu :
 Tonus Otot Fasik didapatkan tonus otot ekstrimitas kanan meningkat sesuai dengan
klasifikasi derajat I Palsi Serebral

LESI LMN TIPE SPASTIK


-Selain kejang didapati informasi tentang kaku pada tangan dan kaki kanan dibandingkan dengan sisi
kiri. Kaku yang dimaksud mengarah kepada kelumpuhan atau gangguan motorik yang terjadi. Lumpuh
terbagi menjadi kelumpuhan otot tidak sempurna (paresis) dan kelumpuhan otot sempurna (paralisis).
Kedua tipe lumpuh ini dapat bersifat flaksid atau spastik. Pada paresis/paralisis flaksid, otot tidak dapat
mempertahankan tonus pada posisi yang normal. Flaksiditas pada umumnya mengarah kepada lesi
“Lower Motor Neuron” atau LMN, meskipun terkadang ditemukan LMN dengan spastisitas otot. Tanda
lain yang menyertainya adalah atrofi/hipotrofi otot, reflex fisiologis yang hilang atau menurun, tanpa
atau disertai fasikulasi/kedutan otot. Pada lesi “Upper Motor Neuron” atau UMN memberikan
gambaran flaksiditas yang kemudian menjadi spastis dikemudian hari. Spastik diartikan sebagai
kekakuan pada otot atau peningkatan tonus otot disertai kontraksi yang berlangsung lama. Tanda lain
yang menyertainya adalah reflex fisiologis yang meningkat serta ditemukan reflex patologis. Pada
anamnesa dan pemeriksaan fisik didapati gambaran yang mengarah kepada lesi LMN tipe spastik, yaitu
terdapat kaku tangan dan kaki sebelah kanan, pemeriksaan reflex fisiologis yang negatif (meskipun
diragukan) dan tidak didapati adanya reflex patologis.
Evaluasi Pemeriksaan Fisik pada riwayat penyakit dahulu

IGD ICU MAWAR


-KU Sedang, Kesadaran tidak KU Sakit Berat, kesadaran Sopor KU Sedang, kesadaran Compos
dinilai, BB 6.6kg (Skor GCS tidak dinilai) Mentis (Skor GCS tidak dinilai)

-Tanda Vital : Tanda Vital :


Tanda Vital :
N 160x/m, P 45x/m, S tidak N 146x/m, P 28x/m, S 37.5c, N 120x/m, P 40x/m, S 36.6c,
dicantumkan, SpO2 98% SpO2 100% SpO2 98%
-Mata : CA ?, SI ?, Cowong ?/? - Paru : SNV +/+, RH +/+, WH -/- -Head to Toe dalam batas
-Toraks : Simetris saat statis dan -Ekstrimitas : Akral hangat, CRT normal
dinamis ?, retraksi ? <2 detik, denyut Arteri Dorsalis -Pemeriksaan Fisik Neurologis :
-Paru : SNV +/+, WH -/-, RH +/+ Pedis teraba kuat angkat Kaku kuduk -
-Abdomen : Supel, BU (+), -Pemeriksaan Fisik Neurologis :
turgor kulit ? Kaku kuduk +
-Ekstrimitas : Akral hangat, CRT
2 detik, denyut Arteri Dorsalis
Pedis tidak kuat angkat dan
cepat
-Pemeriksaan Fisik Neurologis
tidak dilakukan

Laboratorium Laboratorium
Laboratorium
-Hb,Ht,L,Tr : 10.7g/dl, 30%, -Hb,Ht,L,Tr : 11.2g/dl, 34%,
-Hb,Ht,L,Tr : 11.2g/dl, 34%,
12.600/mm3, 307.000/mm3 8.900/mm3, 485.000/mm3
8.900/mm3, 485.000/mm3
-Hitung Jenis : Basofil 0%, -Hitung Jenis : Basofil 0%,
-Hitung Jenis : Basofil 0%,
Eosinofil 3 %, Neutrofil 36%, Eosinofil 3%, Neutrofil 38%,
Eosinofil 3%, Neutrofil 38%,
Limfosit 50%, Monosit 11% Limfosit 50%, Monosit 9%
Limfosit 50%, Monosit 9%
-Glukosa darah sewaktu : 102 -Na/K/Cl : 138/3.8/111 mEq/L
-Na/K/Cl : 138/3.8/111 mEq/L
mg/dl

Dari hasil evaluasi pemeriksaan fisik dan laboratorium didapatkan temuan yang menunjang :
1.Diagnosa Pneumonia yaitu suara paru abnormal berupa rhonki pada kedua lapang paru dan
peningkatan jumlah leukosit atau leukositosis dengan nilai leukosit 12.600/mm 3.
2.Diagnosa Meningitis yaitu demam dan kaku kuduk positif.

A : Suspek Epilepsi Organik, Palsi Serebral dan lesi LMN tipe Spastik

Diagnosis kerja Suspek Epilepsi Organik dengan dasar:


 Kejang sesuai dengan kriteria
 Kejang Onset Fokal tipe Tonik sesuai dengan kriteria Epilepsi ILAE 2017 (namun harus
dibuktikan dengan rekam EEG)
 Didapatkan etiologi mendasar, yaitu kecurigaan adanya kelainan struktural dan terdapat
riwayat infeksi yang sesuai dengan patogenesis dan patofisiologis penyakit tersebut dapat
mencetuskan Epilepsi (untuk kelainan struktural harus dibuktikan dengan pencitraan/radiologi)

Diagnosa kerja Cerebral Palsi dengan dasar :


 Faktor resiko postnatal berupa Meningitis Bakterialis dan relevansi antara Cerebral Palsi dan
Epilepsi
 Tonus Otot Fasik didapatkan tonus otot ekstrimitas kanan meningkat sesuai dengan klasifikasi
derajat I Palsi Serebral

Diagnosa kerja lesi LMN tipe Spastik dengan dasar :


 Spastisitas otot
 Reflex fisiologis negatif (meskipun diragukan)
 Refleks patologis negatif

Sesuai dengan data yang didapat dari keseluruhan deskripsi penyakit ditunjang dengan patogenesis
dan patofisiologis penyakit, dapat dibuat dugaan sementara/hipotesis bahwa Pneumonia
menyebabkan terjadinya Meningitis dan Diare cair akut, lalu Meningitis menyebabkan terjadinya
Epilepsi yang kemudian berujung kepada Palsi Serebral dan Lesi LMN tipe Spastik. Berikut penjelasan
lengkap mengenai patogenesis dan patofisiologi yang menjadi dasar hipotesis :
-Pneumonia didefinisikan IDAI sebagai inflamasi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstitial dan WHO mendefinisikan Pneumonia berdasarkan temuan klinis pada inspeksi dan
frekuensi pernapasan. Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan Pneumonia baik bakteri, virus
atau jamur. Streptococcus Pneumoniae meruapakan penyebab tersering pada semua golongan umur.
Pada awalnya mikroorganisme terhisap masuk ke paru-paru bagian perifer yang mencetuskan reaksi
jaringan berupa peningkatan permeabilitas vaskular dengan tujuan meningkatkan transpor sistem
imun ke fokus infeksi disertai perpindahan cairan yang menyebabkan edema. Edema mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena akan mengalami
konsolidasi yaitu akumulasi sebukan sel PMN, Fibrin, Eritrosit, cairan edema dan kuman (Zona
Hepatisasi Merah). Lalu terjadi peningkatan jumlah Fibrin, leukosit PMN di alveoli dan fagositosis
Makrofag (Zona Hepatisasi Kelabu). Berakhir dengan jumlah Makrofag yang semakin meningkat diikuti
dengan degenerasi sel, penurunan jumlah fibrin, kuman dan debris akan menandai proses resolusi.
Komplikasi yang sering dijumpai, yaitu Empiema, Pneumotoraks dan Abses, gagal napas, Miokarditis
dan Meningitis bakterialis.

-Meningitis bakterialis merupakan radang selaput jaringan otak dan medula spinalis yang ditandai
dengan ditemukanya bakteri dan peningkatan jumlah PMN dalam cairan serebrospinal atau CSS.
Penyebab meningitis dibagi berdasarkan kelompok umur. Menurut IDAI penyebab tersering pada
golongan usia 2 bulan - 5 tahun adalah Streptococcus Pneumoniae, Neisseria Meningitidis dan
Haemophillus Influenza. Menurut Nelson penyebab tersering pada golongan usia >1 bulan adalah
Streptococcus Pneumoniae dan Neisseria Meningitidis. Infeksi dapat mencapai selaput jaringan otak
melalui :
 Sistem sirkulasi atau Hematogen, yaitu infeksi terjadi di tempat lain yang jauh seperti Tonsilitis,
Faringitis, Endokarditis, Pneumonia dan infeksi gigi.
 Perluasan langsung dari fokus infeksi atau Perkontinuitatum, yaitu terdapat fokus infeksi yang
terhubung langsung dengan jaringan selaput otak, termasuk didalamnya infeksi dari sinus
paranasal, mastoid atau abses otak.
 Implantasi langsung, yaitu terdapat jalan masuk (port de entry) pada selaput jaringan otak.
Sebagai contoh pada kasus trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak atau prosedur pungsi
lumbal.
IDAI menyebutkan bahwa sebagian besar jalur infeksi adalah melalui sistem sirkulasi atau
Hematogen. Patofisiologis pada Meningitis merupakan proses kompleks berkaitan dengan komponen
bakteri dan mediator inflamasi yang berperan dalam peradangan selaput otak yang menyebabkan
perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial, penurunan aliran darah otak
yang mengakibatkan timbulnya gejala sisa. Bakteri dapat menembus sawar darah otak melalui tempat
yang lemah, yaitu mikrovaskular otak atau pleksus koroid dimana tempat ini merupakan media yang
baik bagi pertumbuhan dan kembang biak bakteri karena konsentrasi glukosa yang tinggi. Bakteri
masuk ke CSS dan memperbanyak diri lalu tersebar secara pasif mengikuti aliran CSS melalui sistem
ventrikel seluruh ruang subaraknoid. Pada waktu berkembang biak bakteri melepaskan komponen
membran sel yang bersifat destruktif yang menyebabkan kerusakan jaringan otak sekitar dan
peradangan. Pada waktu lisis bakteri gram negatif akan melepaskan endotoksin berupa
lipopolisakarida dan bakteri gram positif berupa asam teikoat. Komponen bakteri dan toksin
merupakan produk aktif yang merangsang sel endotel dan makrofag di susunan saraf pusat atau SSP
(sel Astrosit dan Mikroglia) untuk memproduksi IL-1 dan TNF yang berujung kepada peningkatan
tekanan intrakranial diikuti penurunan aliran darah otak. kondisi ini mencetuskan iskemia pada otak,
penurunan autoregulasi serebral. Peradangan selaput jaringan otak menimbulkan rangsangan pada
saraf sensorik, akibatnya terjadi refleks kontraksi otot-otot tertentu untuk menurunkan rasa sakit
sehingga timbulah tanda Kernig, Brudzinski serta Kaku kuduk. Peradangan yang terjadi lama kelamaan
dapat mencetuskan pembentukan jaringan ikat atau fibrotik. Dalam waktu 48-72 jam akan terjadi
peradangan arteri dan vena subaraknoid yang akan berujung nekrosis dan pembentukan trombus.
Fokus nekrosis dan trombus akan mencetuskan oklusi parsial atau total pada lumen pembuluh darah
yang berujung pada infark. Infark vena dan arteri akan mencetuskan hemiplegia, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Komplikasi dari meningitis yaitu Ventrikulitis, Efusi
subdural, Abses, kelainan neurologis Paresis atau Paralisis, mental retardasi dan Epilepsi.

-Beberapa faktor berperan dalam proses terjadinya Epilepsi, seperti :


 Gangguan pada membran sel neuron
Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel terhadap ion Natrium dan
Kalium. Membran ini sangat permeabel terhadap kalium dan kurang permeabel terhadap natrium
sehingga konsentrasi kalium tinggi dan natrium rendah di dalam sel pada keadaan normal.
Potensial sel dapat terganggu karena perubahan konsentrasi ion ekstraseluler, stimulasi mekanis
atau kimiawi, karena suatu penyakit atau jejas dan faktor genetik. Saat terganggu ion natrium-
kalium atau Na-K akan berdifusi melalui membran, mengakibatkan perubahan potensial di
membran sel yang kemudian akan menjadi stimulus efektif pada bagian membran sel lainnya dan
menyebar sepanjang akson.
 Gangguan mekanisme inhibisi pra-sinaps dan paska-sinaps
Potensial aksi yang terjadi di satu neuron dihantarkan neuroakson yang kemudian akan
membebaskan zat transmiter pada sinaps yang mengeksitasi atau menginhibisi membran paska-
sinaps. Eksitator yaitu Asetilkolin dan Asam Glutamat. Inhibitor yaitu GABA dan Glisin. Kegagalan
inhibitor mengakibatkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan. GABA bekerja dengan
mencegah terjadinya hipersinkronisasi. Kerusakan neuron yang berat dan luas dengan penyebab
apapun dapat menyebabkan gangguan keseimbangan eksitator dan inhibitor.
 Sel Glia
Berfungsi mengatur ion kalium ekstraseluler di sekitar neuron dan terminal presinaps. Kerusakan
sel glia dapat mencetuskan rasio yang tinggi konsentrasi ion kalium ekstraseluler dibandingkan
intraseluler sehingga terjadi depolarisasi membran neuron.

Sebagian besar energi sel neuron digunakan untuk transpor ion Na-K. Sel neuron dapat memompa ion
natrium keluar sel sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi di ruang intraseluler dan ion
natrium yang tinggi di ruang ekstraseluler. Untuk memompa ion natrium ke luar dibutuhkan energi
yang diperoleh melalui senyawa fosfat yaitu ATP. Bila terjadi bangkitan kejang, maka aktivitas pompa
natrium bertambah dengan demikian kebutuhan akan ATP juga bertambah. Dengan kata lain
kebutuhan akan oksigen dan glukosa juga meningkat. bila kejang berlangsung lama, ada
kemungkinan kebutuhan akan oksigen dan glukosa tidak dapat terpenuhi sehingga sel neuron rusak
atau mati.

-Semua kerusakan ini terjadi pada masa perkembangan otak yang berakhir dengan kelainan
neuromuskular yaitu Palsi Serebral dan Lesi LMN tipe Spastik. Untuk diagnosa Palsi Serebral dapat
menggunakan kriteria Levine yaitu POSTER :
 P - Posturing/Abnormal movements
 0 - Oropharyngeal problems (e.g. tongue thrusts, swallowing abnormalities)
 S - Strabismus
 T - Tone (hyper- or hypotonia)
 E - Evolutional maldevelopment (primitive reflexes persist or protective equilibrium reflexes fail
to develop)
 R - Reflexes (increased deep tendon reflexes/persistent Babinski's reflex)
Jika terdapat empat dari enam kategori di atas maka diagnosa Palsi Serebral secara kuat dapat
ditegakkan.

Pada bayi dan anak dengan Palsi Serebral selalu dijumpai kelainan motorik. Temuan penting yang
mendasar adalah penderita tidak dapat mencapai kriteria motorik "Milestones" yang sesuai dengan
umurnya. Sejak usia empat sampai tujuh bulan terjadi perubahan yang penting. Setiap individu
manusia akan belajar mengkordinasikan indera untuk membentuk suatu persepsi yaitu dengan
memadukan penglihatan, perasa/peraba, pendengaran dan terjadi perkembangan kemampuan
motorik, seperti menggenggam, berguling, duduk dan terkadang merangkak. Berikut adalah detail
spesifik kriteria "Milestones" pada usia 7 bulan :

Motorik Bahasa
- Berguling ke depan dan ke belakang - Respon terhadap nama diri sendiri
- Duduk dengan atau tanpa bantuan tangan - Respon terhadap kata "tidak"
- Menumpu beban tubuh pada kedua kaki - Membedakan emosi dengan nada suara
- Mengapai objek dengan satu tangan - Respon terhadap suara dengan membuat suara
- Menggenggam kuat suatu objek - Menggunakan suara sebagai bentuk ekspresi
- Memindahkan objek dari tangan ke tangan kegembiraan
yang lain - Mulai "mengoceh"
Visual Kognitif
- Perkembangan warna secara lengkap - Menemukan objek yang tersembunyi sebagian
- Perkembangan jarak pandang penglihatan - Muncul rasa penasaran dan eksplorasi terhadap
- Kemampuan untuk mengikuti objek bergerak tangan dan mulut
Sosial dan Emosi lanjutan Kognitif..
- Nyaman dengan koneksi sosial - Berusaha untuk menggapai objek yang berada
- Tertarik dengan bayangan diri sendiri di diluar jangkauan
depan kaca
- Respon terhadap ekspresi emosi seseorang

Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan untuk diagnosa Palsi Serebral. Anamnesa terarah terkait
keluhan utama, riwayat penyakit dahulu yang mengarah kepada etiologi penyakit dan temuan
abnormalitas pada pemeriksaan fisik khususnya neuorologi dapat menegakkan diagnosa. Pada kasus
ditemukan kelainan gerakan (Posturing) dan tonus otot (Hypertonia). Perkembangan anak tidak dinilai
pada kasus ini. Meskipun di temukan kelainan pada perkembangan (Evolutional Maldevelopment),
hanya terdapat tiga poin dari enam poin sehingga tidak memenuhi kriteria diagnosa menurut Levine.
Diagnosa Palsi Serebral tidak dapat ditegakan pada satu waktu. Diagnosa ini membutuhkan evaluasi
berkelanjutan dan menyeluruh. Sehingga pada kasus ini tetap di arahkan kepada diagnosa Palsi
Serebral.

P:
- Medika mentosa :
 Asam Valproat 15mg/KgBB dibagi 2 dosis/12jam  100mg  50mg/12jam I.V lalu dinaikan
dosis Asam Valproat 20mg/KgBB  66mg/12jam I.V jika masih kejang
 Rumatan Asam valproat 50mg/12jam I.V
 Jika kejang kembali loading Sibital 20mg/KgBB diencerkan dalam NaCl 0.9% 20cc I.V selama 10
menit
 Jika kejang kembali loading Sibital 10mg/KgBB diencerkan dalam NaCl 0.9% 10cc I.V selama 10
menit
 Rumatan cairan 4cc/KgBB/jam = 26.4 cc/jam dengan distribusi 1/3 kebutuhan = 8.8cc/jam via
IVFD D5 1/2NS (yang kemudian diganti IVFD KAEN 3A) dan 2/3 kebutuhan = 17.6cc/jam ASI via
NGT
 Inj. Piracetam 120mg/KgBB/x/24jam I.V
- Non medika mentosa :
 Pro EEG
 Fisioterapi
 Rawat inap

Keluhan utama yang mendasari kasus ini adalah kejang dan mengingat kejang adalah salah satu tanda
kegawatdaruratan atau Emergency makan harus segera di terminasi. Berikut algoritma tata laksana
penghentian kejang akut menurut IDAI :

- Di rumah / Prehospital :
Penangan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orangtua dengan pemberian diazepam per rektal
dengan dosis 0.3 - 0.5mg/kg atau secara sederhana bila berat badan < 10kg : 5mg sedangkan berat
badan > 10kg : 10mg. Pemberian di rumah maksimum 2 kali dengan interval 5 menit. Bila kejang masih
berlangsung bawalah pasien ke klinik/rumah sakit terdekat.
- Di rumah sakit
Saat tiba di klinik/rumah sakit, bila belum terpasang cairan intravena, dapat diberikan diazepam per
rektal ulangan 1 kali sambil mencari akses vena. Sebelum dipasang cairan intavena, sebaiknya
dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan darah tepi, elektrolit dan gula darah sesuai indikasi.
Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin IV dengan dosis 20mg/kg dilarutkan dalam NaCl 0.9%
diberikan perlahan dengan kecepatan pemberian 50mg/menit. Bila kejang belum teratasi, dapat
diberikan fenitoin IV 10mg/kg. Bila kejang teratasi, lanjutkan pemberian fenitoin IV setelah 12jam
kemudian dengan rumatan 5-7mg/kg. Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital IV dengan dosis
maksimum 15-20mg/kg dengan kecepatan pemberian 100mg/menit. Awasi dan atasi kelainan
metabolik yang ada. Bila kejang berhenti, lanjutkan dengan pemberian fenobarbital IV rumatan 4-
5mg/kg setelah 12jam kemudian.
-Perawatan intensif - rumah sakit
Bila kejang belum berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di ruang intensid. Dapat diberikan salah
satu di bawah ini:
 Midazolam 0.2mg/kg diberikan bolus perlahan-lahan, diikuti infus midazolam 0.01-
0.02mg/kg/menit selama 12-24jam
 Propofol 1mg/kg selama 5 menit, dilanjutkan dengan 1-5mg/kg/jam dan diturunkan setelah 12-
24jam
 Pentobarbital 5-15mg/kg dalam 1 jam, dilanjutkan dengan 0.5-5mg/kg/jam

Terapi rumatan
- Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan diazepam, tergantung dari etiologi. Jika
penyebab kejang suatu hal yang dapat dikoreksi secara cepat (hipoglikemia, kelainan elektrolit,
hipoksia) mungkin tidak diperlukan terapi rumatan selama pasien dirawat.
- Jika penyebab infeksi SSP (ensefalitis, meningitis), perdarahan intrakranial, mungkin diperlukan terapi
rumatan. Dapat diberikan fenobarbital dengan dosis awal 8-10mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis selama
2 hari, dilanjutkan dengan dosis 4-5mg/kg/hari sampai risiko untuk berulangnya kejang tidak ada.
- Jika etiologi adalah epilepsi, lanjutkan obat antiepilepsi dengan menaikan dosis.
- Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan rumatan dengan dosis
5-7mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.
- Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhendi dengan fenobarbital, lanjutkan rumatan dengan
dosis 4-5mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.

Cara pemberian obat antikonvulsan pada tata laksana kejang akut


- Diazepam
 Dosis maksimum pemberian diazepam rektal 10mg, dapat diberikan 2 kali dengan interval 5-10
menit.
 Sediaan IV tidak perlu diencerkan, maksimum sekali pemberian 10mg dengan kecepatan
maksimum 2mg/menit, dapat diberikan 2-3 kali dengan interval 5 menit.
- Fenitoin
 Dosis inisial maksimum adalah 1000mg (30mg/kg).
 Sediaan IV diencerkan dengan NaCl 0.9% 10mg/1 cc.
 Kecepatan pemberian IV : 1mg/kg/menit maksimum 50mg/menit.
 Jangan diencerkan dengan cairan yang mengandung dextrose.
 Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah pemberian.
 Dosis rumatan : 12-24 jam setelah dosis inisial
-Fenobarbital
 Sudah ada sediaan IV, sediaan IM tidak boleh diberikan IV.
 Dosis inisial maksimum adalah 600mg (20mg/kg).
 Kecepatan pemberian IV : 1mg/kg/menit maksimum 100mg/menit.
 Dosis rumatan : 12-24 jam setelah dosis inisial

Tata laksana umum :


 Pemantauan tanda-tanda vital dan elektrokarfiografi
 Pemantauan tekanan intrakranial : kesadaran, Doll's eye movement, pupil, pola pernapasan
dan edema papil
 Analisis gas darah, darah tepi, pembekuan darah, elektrolit, fungsi hati dan ginjal
 Balans cairan input - output
 Tata laksana etiologi
 Edema serebri dapat diberikan manitol 0.5-1.0mg/kg/8jam
Pada tatalaksana umum terdapat penekanan pada tata laksana etiologi yang mendasar. Pada kasus ini
kejang di kaitkan dengan Epilepsi, sehingga perlu dipahami dengan baik tata laksana Epilepsi yang baik
dan benar. Prinsip pengobatan Epilepsi adalah sebagai berikut :
1. Langkah pertama dalam pengobatan adalah menentukan diagnosis pasti, karena banyak keadaan
yang memperlihatkan gejala mirip Epilepsi. Pengobatan pada umumnya baru dimulai setelah serangan
kedua. Hal ini penting karena pengobatan Epilepsi adalah pengobatan jangka panjang.
2. Setelah diagnosa ditegakan, tindakan selanjutnya menentukan jenis serangan. Setiap OAE
mempunyai kekhususanya sendiri sehingga bermanfaat secara spesifik pada jenis serangan tertentu.
Berikut merupakan pilihan OAE pertama :
Nama obat Indikasi Kontraindikasi Dosis
Fenobarbital Epilepsi umum Absans 4-6 mg/KgBB/hari dibagi 2 dosis
Epilepsi fokal
Fenitoin Epilepsi fokal Mioklonik 5-7mg/KgBB
Epilepsi umum
Asam valproat Epilepsi umum 15-40mg/KgBB/hari dibagi 2 dosis
Epilepsi fokal Target awal :15-25mg/KgBB/hari
Absans
Mioklonik
Karbamazepin Epilepsi fokal Mioklonik 10-30mg/KgBB/hari dibagi 2-
3dosis

3. Pengobatan harus dimulai dengan satu OAE dengan dosis minimal, kemudian dosis dinaikan
bertahap sampai serangan teratasi. Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis
optimal terendah. Yang terpenting bukanlah mencapai kadar terapeutik, tetapi kadar OAE bebas yang
dapat menembus sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. Kadar OAE bebas ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya penggunaan bersama obat lain, bahan kimia (bilirubin, asam
lemak bebas) dan distribusinya yang tergantung pada kelarutannya dalam lemak dan ikatannya dengan
jaringan tubuh. Absorpsi dapat dipengaruhi saat makan obat misalnya sebelum atau sesudah makan,
jenis makanan dan obat misalnya antasid. Dosis anak pada umumnya 50-100% lebih besar
dibandingkan dosis dewasa karena nilai klirens yang tinggi.
4. Kegagalan OAE sering disebabkan karena non-compliance atau tidak patuh minum obat sesuai
aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat, dapat diganti dengan OAE kedua. Dosis OAE kedua
dinaikan bertahap, sedangkan dosis OAE pertama diturunkan bertahap. Penurunan bertahap ini
bertujuan untuk mencegah timbulnya status epileptikus (terutama fenobarbital). Bila OAE pertama
perlu dihentikan dengan cepat karena timbul efek samping berat, harus diberikan diazepam.

Evaluasi tata laksana :


1. Tata laksana penghentian kejang akut tidak sama dengan algoritme yang ditetapkan oleh IDAI.
2. Tata laksana epilepsi belum dimulai karena pemeriksaan EEG terencana belum dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sunarto. 2012. Diagnosis Klinis Awal: Dari Masalah Menuju Diagnosis. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
2. L Abdul, RT Alan, SM Cory, C Imral, B Julfina, A Hardjono, dkk. 2014. Pemeriksaan Klinis Pada Bayi
dan Anak. Edisi III. Jakarta: SAGUNG SETO.
3. HE Sjarif. 2013. Pelayanan Kedaruratan Neonatal. Edisi I. Bandung: PT Refika Aditama.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014. Buku Ajar Neonatologi. Edisi I. Jakarta: IDAI.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medis: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi
II. Jakarta: IDAI.
6. Panitia Penyusun Panduan Praktik Klinis RSCM Tahun 2014-2019. 2015. Panduan Praktik Klinis Anak.
Edisi I. Jakarta: RSCM.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak. Edisi I. Jakarta: IDAI.
8. International League Againts Epilepsy. 2014. The 2014 Definition of Epilepsy: A Perspective for
Patients and Caregivers di https://www.ilae.org/guidelines/definition-and-classification/the-2014-
definition-of-epilepsy-a-perspective-for-patients-and-caregivers (di akses 17 April 2019).
9. International League Againts Epilepsy. 2017. Instruction Manual for The ILAE 2017 Operational
Classification of Seizre Types di https://www.ilae.org/files/dmfile/Operational-Classification---
Instruction-manual-Fisher_et_al-2017-Epilepsia-1.pdf (di akses 17 April 2019).
10. American Academy of Pediatric. 2019. Developmental Milestones: 7 Months di
https://www.healthychildren.org/English/ages-stages/baby/Pages/Developmental-Milestones-7-
Months.aspx (di akses 20 April 2019).
11. PK Ratnakar. 2009. Cerebral Palsy. USA: The Magellan Group.

Mengetahui,
Dokter Pembimbing, Dokter Pembimbing,

dr. Syahperlan W, M.Sc, Sp.A dr. I Ketut Rutin P, M.Sc, Sp.A

Anda mungkin juga menyukai