TUMOR SINONASAL
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT FK Unsyiah/
RSUD dr. Zainoel Abidin Muda Aceh
Oleh:
ANDHIKA CITRA BUANA
PENDAHULUAN
Tumor sinonasal adalah penyakit dimana terjadinya pertumbuhan sel (ganas) pada sinus
paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan
rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung
sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini.
Karsinoma sinonasal terdiri atas 5% dari semua kanker pada kepala dan leher dengan
insidensi di dunia kira-kira 1 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Karsinoma
sinonasal yang berasal dari sinus maksila 60%, kavum nasi 22%, sinus etmoid 15%, sinus
frontal dan sinus sphenoid 3%. Secara histopatologi jenis squamous cell carcinoma adalah
yang paling sering ditemukan yaitu sekitar 55% diikuti dengan jenis non epithelial neoplasm
20%, tumor kelenjar 15%, undifferentiated carcinoma 7%, dan jenis lain 3%. Usia rata-rata
pada pasien dengan tumor karsinoma yaitu antara 50-60 tahun. Di Departemen THT FKUI
RS Cipto Mangunkusumo, karsinoma sinonasal ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor
ganas THT. Laki-laki ditemukan lebuh banyak dengan rasio laki-laki banding perempuan
yaitu 2:1.
Etiologi karsinoma sinonasal belum diketahui dengan pasti, namun diduga beberapa zat
kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, asap industri,
dan penyamakan kulit terlibat dalam beberapa jenis karsinogenesis pada karsinoma sinonasal.
Khususnya, terpapar debu kayu dan penyamakan kulit berhubungan dengan meningkatnya
risiko adenokarsinoma. Penyebab karsinoma sinonasal lainnya adalah minyak bahan
tambang, kromium, dan isoprophyl oils, pematrian danpengelasan, dan sebagainya. Alkohol,
asap rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi
keganasan. Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras seperti
beech dan oak, merupakan faktor risiko utama yang telah diketahui untuk karsinoma
sinonasal. Peningkatan risiko (5-50 kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor ganas
yang berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai timbul setelah 4- tahun atau lebih sejak
pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian paparan.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
2.2 Anamnesis
Status Internus
Pemeriksaan Kulit
PemeriksaanKepala
Kepala : Normocephali
Rambut : Hitam
Wajah : Asimetris (+)
Di pipi kanan terdapat massa berukuran 3x3 cm, dengan konsistensi
padat, permukaan rata, immobile, nyeri tekan (-)
Mata : konjungtiva anemi (-/-), ikterik (-/-),sekret (-/-),RCL (+/+), RCTL
(+/+), pupil bulat isokor
Telinga : Serumen (-/-) ,normotia
Hidung : Sekret kekuningan (+/+), konka edema (+/-) mukosa hiperemis (+/-),
nafas cuping hidung (-)
Mulut
o Bibir : Kering (-), sianosis (-)
o Lidah : Simetris, tremor (-), hiperemis (-), kesan kotor/putih (-)
o Tonsil : Hiperemis (-/-)
o Faring : Hiperemis (-)
Pemeriksaan Leher
Inspeksi : Simetris, retraksi (-)
Palpasi : Pembesaran KGB (-)
Pemeriksaan Thorax
Inspeksi
o Statis : Simetris, bentuk normochest, iga tampak jelas
o Dinamis : Pernafasan abdominothorakal, retraksi suprasternal (-),
retraksi intercostal (-), retraksi epigastrium (-),
iga tampak jelas (+)
Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, iga tampak jelas (+)
Kanan Kiri
Palpasi Fremitus N Fremitus N
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler Normal Vesikuler Normal
Ronchi (-) wheezing (-) Ronchi (-) wheezing (-)
Jantung
Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi(-)
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), defans muscular (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), tapping pain (-)
Auskultasi : Peristaltik 3x/menit, kesan normal
Tulang Belakang
Bentuk : Simetris
Nyeri tekan : Negatif
Kelenjar Limfe
Pembesaran KGB: Tidak ditemukan
Ekstremitas
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Fraktur - - - -
Status Neurologis
GCS : E4 M6 V5
Pupil : Isokor, bulat, ukuran 3 mm/3 mm
Reflek Cahaya : Langsung (+ /+), tidak langsung (+/+)
Tanda Meningeal : Negatif
Nervus Cranial : Dalam batas normal
2.4 PemeriksaanPenunjang
Laboratorium
Jenis pemeriksaan Hasil (01-12-2016) Hasil (03 -01-20170 Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 13,8 13,9 12,0-15,0 g/dL
Hematokrit 41 41 37-47 %
Eritrosit 49 5,0 4,2-5,4 x106/mm3
Leukosit 9,1 9,0 4,5-10,5 x103/mm3
Trombosit 306 275 150-450 x103U/L
MCV 83 82 80-100 fL
MCH 28 28 27-31 pg
MCHC 34 34 32-36 %
RDW 13,2 12,8 11,5-14,5%
MPV 9,2 8,6 7,2-11,1 fL
LED 26 35 <20mm/jam
Hitung Jenis
Eosinofil 3 3 0-6%
Basofil 0 1 0-2%
Netrofil Segmen 0 0 2-6
Netrofil Segmen 47 48 5-70%
Limfosit 43 43 20-40%
Monosit 7 5 2-8%
Waktu perdarahan 2 2 1-7 menit
Waktu pembekuan 8 7 5-15 menit
Kimia Klinik
SGOT 24 19 < 31 U/L
SGPT 26 23 <34 U/L
Abumin 4,25 3,5-5,2 g/dl
Natrium 147 146 135-145 mmol/L
Kalium 3,3 4,1 3,5-4,5 mmol/L
Klorida 113 111 90-110 mmol/L
Ureum 26 26 13-43 mg/dl
Kreatinin 0,78 0,79 0,51-0,95 mg/dl
Gula Darah Puasa 108 111 60-110 mg/dl
Gula Darah 2 Jam PP 164 100-140 mg/dl
Ctsan sinus coronal, Axial dengan kontras: Massa sinonasal kanan dengan perluasaan ke
KGB di submandibula kanan dan kiri ukuran 1 cm.
2.5 Diagnosa
Karsinoma sinonasal
2.6 Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 gtt/i
- Valsartan 1x 80 mg
- Amlodipin 1x 10mg
2.7 Planning
2.8 Prognosis
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang
masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Soetjipto, 2011).
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di belakang nares
anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise (Soetjipto, 2011). Setiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior. Dinding
lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling
bawah, konka media yang lebih kecil, konka superior yang lebih kecil lagi, dan konka
suprema adalah yang terkecil (Soetjipto, 2011).
Di antara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Berdasarkan letaknya, terdapat tiga meatus yaitu meatus superior, meatus medius,
dan meatus inferior. Meatus superior terletak di antara konka superior dan konka media. Di
daerah ini terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Meatus medius terletak di
antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara
sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus inferior terletak di antara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada daerah ini
terdapat muara duktus nasolakrimalis (Soetjipto, 2011; Snell, 2006).
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan bagian posterior
dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi
periosteum, sedangkan bagian luar dilapisi mukosa hidung (Snell, 2006; Soetjipto, 2011).
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os maksila dan
os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau atap hidung yang sempit
dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-
lubang tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk os sfenoid (Snell, 2006; Soetjipto, 2011).
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan posterior.
Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna, yaitu ujung arteri palatina
mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang
arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoid anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang
sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa.
Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina (Soetjipto,
2011; Snell, 2006).
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Nervus maksilaris dari nervus trigeminus
berfungsi untuk impuls aferen sensorik, nervus fasialis untuk gerakan otot pernapasan pada
hidung luar. Ganglion sfenopalatina berguna mengontrol diameter vena dan arteri hidung,
dan juga produksi mukus, sehingga dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu, dan
kelembaban aliran udara (Snell, 2006).
Kompleks Ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi
oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan
resesus frontal. KOM adalah unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase
dari sinus-sinus yang terletak di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal.
Bila terjadi obstruksi pada KOM, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan
pada sinus yang terkait (Soetjipto, 2011).
C. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak di dalam korpus os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Batas-batas sinus ini adalah
bagian superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofise, sebelah inferior adalah atap
nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna, dan
di sebelah posterior berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjipto, 2011).
Setiap sinus bermuara ke dalam resesus sfenoetmoidalis di atas konka nasalis superior.
Membrana mukosa dipersarafi oleh nervus etmoidalis posterior (Snell, 2006).
D. Sinus Etmoid
Sinus etmoid terdapat di dalam os etmoid, di antara konka media dan dinding medial orbita.
Sinus etmoid terdiri dari sel-sel yang jumlahnya bervariasi. Sinus ini terpisah dari orbita oleh
selapis tipis tulang, sehingga infeksi dengan mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di
meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil dan banyak, terletak di depan lempeng yang menghubungkan
bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus
etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior
dari lamina basalis (Snell, 2006; Soetjipto, 2011).
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat bagian sempit yang disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Pada
daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuara ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan bila di infundibulum menyebabkan sinusitis maksila.
Membrana mukosa dipersarfi oleh nervus etmoidalis anterior dan posterior (Soetjipto, 2011;
Snell, 2006).
2.2. Fisiologi Sinus Paranasal
Sistem Mukosiliar
Sistem transpor mukosiliar adalah sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus,
bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas sistem
transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan
oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa (Soetjipto, 2011).
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport mukosilier. Rute pertama adalah gabungan
sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior. Sekret ini bergabung di dekat
infundibulum etmoid, selanjutnya berjalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan
sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian anteroinferior
orifisium tuba Eustachius. Transpor aktif berlanjut ke epitel bersilia dan epitel skuamosa pada
nasofaring, dan jatuh ke bawah dibantu gaya gravitasi dan proses menelan (Soetjipto, 2011).
Rute kedua adalah gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid bertemu di
resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior orifisium tuba
Eustachius (Soetjipto, 2011).
Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum bergabung dengan sekret rute pertama,
yaitu di inferior dari tuba Eustachius. Sekret pada septum berjalan vertikal ke arah bawah
terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferor tuba Eustachius. Ini
sebab mengapa pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tapi belum tentu
ada sekret di rongga hidung (Soetjipto, 2011).
Fungsi Sinus Paranasal
Beberapa teori mengemukakan, fungsi sinus paranasal yaitu: (1) sebagai pengatur
kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu
resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara, dan (6) membantu produksi mukus
untuk membersihkan rongga hidung (Soetjipto, 2011).
2.2 Definisi
Tumor sinonasal adalah penyakit dimana terjadinya pertumbuhan sel (ganas) pada sinus
paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan
rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung
sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini.
2.3 Epidemiologi
Karsinoma sinonasal terdiri atas 5% dari semua kanker pada kepala dan leher dengan
insidensi di dunia kira-kira 1 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Karsinoma
sinonasal yang berasal dari sinus maksila 60%, kavum nasi 22%, sinus etmoid 15%, sinus
frontal dan sinus sphenoid 3%. Secara histopatologi jenis squamous cell carcinoma adalah
yang paling sering ditemukan yaitu sekitar 55% diikuti dengan jenis non epithelial neoplasm
20%, tumor kelenjar 15%, undifferentiated carcinoma 7%, dan jenis lain 3%. Usia rata-rata
pada pasien dengan tumor karsinoma yaitu antara 50-60 tahun. Di Departemen THT FKUI
RS Cipto Mangunkusumo, karsinoma sinonasal ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor
ganas THT. Laki-laki ditemukan lebuh banyak dengan rasio laki-laki banding perempuan
yaitu 2:1.
2.4 Etiologi
Etiologi karsinoma sinonasal belum diketahui dengan pasti, namun diduga beberapa zat
kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, asap industri,
dan penyamakan kulit terlibat dalam beberapa jenis karsinogenesis pada karsinoma sinonasal.
Khususnya, terpapar debu kayu dan penyamakan kulit berhubungan dengan meningkatnya
risiko adenokarsinoma. Penyebab karsinoma sinonasal lainnya adalah minyak bahan
tambang, kromium, dan isoprophyl oils, pematrian danpengelasan, dan sebagainya. Alkohol,
asap rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi
keganasan. Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras seperti
beech dan oak, merupakan faktor risiko utama yang telah diketahui untuk karsinoma
sinonasal. Peningkatan risiko (5-50 kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor ganas
yang berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai timbul setelah 4- tahun atau lebih sejak
pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian paparan.
2.5 Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor seperti
bahan karsinogen yaitu bahan kimia inhalan, debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat
menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu
gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang
memegang peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang
menghambat diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal
menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase
promosi serta fase progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang
memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel yang
telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel
yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak berubah
menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen yang sama atau
diperlukan karsinogen yang berbeda.
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker memerlukan
waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase induksi ini belum timbul
kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti dysplasia. Fase selanjutnya adalah
fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhannya masih terbatas
jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus membran basalis. Fase in situ ini
berlansung sekitar 5-10 tahun. Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus
membran basalis dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut
juga dengan fase invasive yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi
(penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional dan atau
ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.
Sel-sel kanker tersebut akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan kelainan
dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya,
mengadakan infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan diberikan
terapi.
2.6 Jenis Histopatologi
Benigna Maligna
Epitel - Fungiform papilloma - Squamous cell
- Inverted papilloma - Basal cell carcinoma
- Columnar papilloma - Transitional cell carcinoma
- Adenoma - Adenocarcinoma
- Adenoid cystic
- Melanoma
- Olfactory neuroblastoma
- Undifferentiated carcinoma
Non-epitel - Fibroma - Soft-tissue sarcoma
- Chondroma - Rhabdomyocarcoma
- Osteoma - Leimyocarcoma
- Neurilemmoma - Fibrocarcoma
- Neurofibroma - Liposarcoma
- Hemangioma - Angiosarcoma
- Myxosarcoma
- Hemangiopericytoma
- Connective tissue sarcoma
-Chondrosarcoma
- Osteosarcoma
Limforetikuler - Lymphoma
- Plasmacytoma
- Giant cell tumor
Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dapat tumbuh pada sinonasal.
Termasuk tumor jinak epitelial yaitu sinonasal papilloma dan salivary gland-type adenoma,
dan yang non-epitelial yaitu neurofibroma, haemangioma, myxoma, osteoma, chondroma,
dan lain-lain. Juga tumor odontogenik misalnya ameloblastoma, adamantinoma, dan lain-lain.
Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas karena
tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya inverted papilloma, displasia fibrosa atau pun
ameloblastoma. Pada jenis ini tindakan operasi harus radikal.2,7
Gambar 2.1 Inverted Papilloma. A. Gambaran makroskopis, tampak seperti pita yang
tumbuh ke dalam stroma. B-C. Gambaran mikroskopis, tampak epitel skuamosa tumbuh
hiperplastik ke dalam stroma membentuk polipod. D. Inverted papilloma dengan pelapis
epitel respiratori bersilia yang hiperplastik, dan tampak transmigrasi neutrofil dari basal
membran ke epitel. E. Inverted papilloma dengan epitel skuamosa dan epitel respiratori
bersilia. F. Gambaran koilosit pada infeksi HPV
Keganasan tersering pada sinonasal adalah squamous cell carcinomas (70%), dan
selanjutnya adenocarcinomas (10-20%), lymphoma malignum, sinonasal undifferentiated
carcinoma dan salivary gland-type adenocarcinomas. Dengan predileksi tersering pada sinus
maksila (70-80%), diikuti oleh sinus etmoid dan rongga hidung (20-30%), sedangkan sinus
frontal dan sfenoid jarang dijumpai (kurang dari 1%). Sekitar 80% ditemukan pada usia 45-
85 tahun dan insiden pada pria dua kali lebih sering dibandingkan pada wanita. 2
Gambar 2.4 Pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus pada SCC dengan Diff-Quik
stain. A. Poorly differentiated tumor cells. B. Spindled tumor cells. C. Fragmen
debriskeratin dan sel- sel keratin dengan inti tidak jelas.
Secara umum SCC sinonasal adalah tumor yang hiperselular, inti sel
pleomorfik, hiperkromatin, rasio inti/sitoplasma meningkat, dispolarisasi, dan
aktivitas mitosis meningkat, termasuk mitosis atipik. Pada kasus invasi sel tumor
halus pada membran basal, mungkin tidak didiagnosa sebagai karsinoma invasif,
bahkan mungkin didiagnosa sebagai papilloma dengan displasia berat atau karsinoma
in situ. Seharusnya tumor ini didiagnosa sebagai karsinoma invasif. Pada kedua jenis
tumor ini dapat terjadi epitel displasia ringan, sedang sampai berat (karsinoma in
situ).2,3,7
Gambar 2.6 Nonkeratinizing SCC. A dan B. Pembesaran kecil tampak struktur sarang-
sarang dan papilar. C. Pembesaran besar, tampak sel malignan, inti sel membesar,
pleomorfik, hiperkromatin, dispolarisasi, dan aktivitas mitosis meningkat. D. Tipe sel
transisional.
b. Adenocarcinoma
Adenocarcinoma berasal dari epitel saluran pernafasan atau kelenjar
mukoserous (60%). Tumor ini dibagi menjadi tipe intestinal dan tipe non-intestinal.2
Intestinal Type Adenocarcinomas (ITACs) (ICD-O 8144/3) merupakan tumor
ganas primer yang berasal dari epitel kelenjar pada traktus sinonasal, yang secara
histopatologi mirip dengan adenokarsinoma dan adenoma pada intestinal. Lokasi
paling sering yaitu sinus etmoid (40%), diikuti oleh kavum nasi (27%) dan sinus
maksilaris (20%). Gejala awal cenderung tidak spesifik dan bervariasi, mulai dari
obstruksi hidung unilateral, diikuti dengan rhinorrhea jernih atau purulent, dan
epistaksis. Pada keadaan lanjut, tumor tumbuh besar sampai ke pipi, dapat menginvasi
ke orbita, pterygopalatine, fossa infratemporal, kavitas pada kranial, dan biasanya
dapat menimbulkan rasa nyeri, gangguan neurologi, gangguan visual dan
exopthalmus.2,3,7,20
Pemeriksaan fisik pada ITACs dijumpai massa tumor dengan bentuk yang
bervariasi, dapat berupa massa flat sampai yang menonjol keluar (polipoid, papilar
atau nodular), menggembung, irregular, berwarna merah tua, putih keabuan, atau
merah muda yang tumbuh di rongga hidung atau sinus paranasal. Umumnya
konsistensi tumor rapuh, sebagian disertai ulserasi, perdarahan dan nekrotik. Beberapa
lesi dapat dijumpai massa gelatin atau musinous.
Pemeriksaan hapusan adenokarsinoma menunjukkan kelompokan sel tumor
yang kohesif dan sel-sel individu (tersebar), inti sel vesikular, anak inti menonjol, dan
sitoplasma sedang. Adanya diferensiasi kelenjar dan sekresi musin mempertegas
diagnosa tumor ini. Adenokarsinoma primer menunjukkan gambaran diferensiasi tipe
intestinal dan sel goblet. Sediaan hapusan adenokarsinoma musinus akan
menunjukkan sekresi musin yang banyak, dan dapat disertai kelompokan kecil sel
seperti terapung didalamnya. Tumor musinus cenderung hiposelular disebabkan efek
dilusi genangan musin. Sel-sel memanjang dengan inti sel–sitoplasma polaritas
merupakan karakteristik dari ITACs. Adenokarsinoma tipe sel goblet (tipe kolon)
menunjukkan sel-sel tumor dengan sitoplasma banyak bervakuola bulat hingga inti sel
terdorong ke tepi. 17
Gambar 2.8 A. Primary ITACs, sel tumor dengan sitoplasma sedang, dan sel
kolumnar (Inset). B dan C. Tipe kolon, sel goblet dengan sitoplasma banyak
(berlimpah).
Barnes membagi tumor ini menjadi lima kategori : papillary, colonic, solid,
mucinous dan mixed. Kleinsasser dan Schroeder membagi ITACs menjadi empat
kategori : papillary tubular cylinder cell (PTCC) types I-III (I=well-differentiated,
II=moderately-differentiated, III=poorly-differentiated), alveolar goblet type, signet-
ring type dan transitional type. Tipe papillary, colonic dan solid pada klasifikasi
Barnes menunjukkan gambaran yang sesuai dengan tipe PTCC I,II dan III.
Tipe mixed (transitional) terdiri dari campuran dua atau lebih dari pola yang
telah dijelaskan sebelumnya. Terlepas dari tipe histologisnya, secara histologi
gambaran ITACs menyerupai mukosa usus normal dan dijumpai vili, sel Paneth, sel
enterochromaffin dan muskularis mukosa. Sel enterochromaffin dapat
mengekspresikan beberapa jenis peptida, diantaranya yaitu gastrin, glucagon,
serotonin, cholecystokinin, dan leu-enkephalin. Pada beberapa kasus dapat ditemukan
tumor yang berdiferensiasi sangat baik yang terdiri dari vili yang bentuknya baik,
dilapisi oleh sel kolumnar, berkas sel otot polos yang menyerupai muskularis mukosa
yang dijumpai di bawah vili.2,3,7
Baik low grade atau high grade, tumor ini dijumpai pada submukosa, tanpa
keterlibatan permukaan, atau dapat juga melibatkan epitel bersilia yang melapisi
saluran pernapasan. Low grade adenocarcinoma menunjukkan struktur kelenjar atau
papilar, tumor berbatas tegas, tetapi tidak berkapsul, kadang-kadang dijumpai invasi.
Tampak proliferasi kelenjar berukuran kecil dan seragam atau asinus, yang tersusun
dalam pola back to back, dengan sedikit atau tanpa intervensi stroma. Kadang-kadang
dijumpai gambaran rongga kistik irregular yang besar. Kelenjar dilapisi oleh satu lapis
sel kolumnar sampai kuboid, tidak bersilia, dengan inti sel bentuk bulat, seragam,
terletak di basal atau kadang-kadang tersusun pseudostratifikasi, karena hilangnya
polaritas inti sel; dan sitoplasma eosinofilik. Pleomorfisme sel ringan sampai sedang,
dan aktivitas mitosis sesekali terlihat; tidak dijumpai mitosis atipik dan nekrosis.
Varian adenokarsinoma ini terdiri dari papillary, clear cell, dan oncocytic. Namun
beberapa kombinasi pola morfologi sel dapat terlihat dalam satu tumor. Meskipun
secara histologi seperti jinak, namun proliferasi kelenjar yang kompleks, tidak adanya
dua lapisan sel atau tidak adanya komponen sel basal atau myoepitel, tidak adanya
kapsul, dan ditemukan invasi ke dalam submukosa, maka gambaran-gambaran ini
mendukung untuk diagnosa suatu malignansi.2,3,7,24
c. Limfoma Maligna
Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel natural
killer (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus mengindikasikan bahwa
limfoma primer dapat juga berasal dari sel B dan T. Limfoma pada nasal jarang
ditemukan di western countries, umumnya dijumpai di negara-negara Asia.5
Dikarakteristikkan dengan infiltrat limfomatosa difus yang meluas ke mukosa
nasal dan sinus paranasal, dengan pemisahan yang luas dan destruksi mukosa kelenjar
sehingga memperlihatkan clear cell change. Nekrosis koagulatif luas dan apoptotic
bodies selalu ditemukan. Dinding pembuluh darah sering ditemukan angiosentrik,
angiodestruksi dan deposit fibrinoid. Ukuran sel-sel limfoma bervariasi mulai dari
kecil, sedang hingga berukuran besar. Sel-sel memiliki sitoplasma pucat dan granul
azurofilik pada sitoplasmanya yang dapat dilihat dengan pewarnaan Giemsa.
Beberapa kasus berhubungan dengan infiltrat inflamatori yang mengandung limfosit
kecil, histiosit, sel-sel plasma dan eosinofil.5
Gambar 2.10 Nasal NK/T cell lymphoma. A. Mukosa intak dan terlihat sebaran
infiltrat sel-sel limfoma. B. Infiltrat limfoid mukosa merusak kelenjar mukosa hingga
tidak tampak lagi struktur kelenjar.5
ANALISA KASUS
Tumor hidung dan sinus paranasal merupakan tumor yang erada di rongga yang
dibatasi tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor tumbuh di
daerah ini sulit diketahui dini. Epistaksis, hidung tersumbat dan rhinore merupakan gejala
yang sering dikeluhkan oleh pasien. Gejala dan tanda klinis dan beberapa gambaran
histologis keganasan ini, memerlukan pemeriksaan histopatologis melalui biopsi untuk
menentukan jenisnya. Pemeriksaan CT Scan atau MRI mempunyai peranan penting untuk
menentukan asal atau perluasan tumor serta pengobatan yang akan dilakukan.
Pasien juga mengeluhkan beberapa bulan sebelumnya mengalami mimisan yang terus
menerus, hidung tersumbat dan adanya benjolan pada bola mata serta nyeri kepala. Hal ini
sesuai dengan teori mengenai gejala nasal dari karsinoma sinonasal dimana berupa obstruksi
hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya dapat bercampur dengan darah atau terjadi
epistaksis, khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
Gejala orbita dapat menyebabkan manifestasi klinis diplopia, penonjolan bola mata,
oftamolplegia, gangguan visus dan epifora. Selanjutnya adalah gejala intrakranial
menyebabkan sakit kepala hebat, oftamolplegia dan gangguan visus. Jika perluasannya
sampai ke fossa kranii media maka saraf-saraf kranial lainnya juga terkena.
Penatalaksanaan pada tumor sinonasal bisa dengan pembedahan atau lebih sering
bersama dengan modalitas terapi lainnya seperti radiasi dan kemoterapi yang masih menjadi
pengobatan untama untuk keganasan hidung dan sinus paranasal. Pada pasien ini dillakukan
pembedahan rhinotomi lateral dengan maksilektomi. Dimana sesuai dengan teori dimna
pnegobatan pada tumor nasal adalah pengangkatan tumor secara keseluruhan, tanpa
meninggalkan sisa, mengingat tumor ini cenderung kambuh. Sebagai pilihan utama adalah
pengangkatan tumor dan eksisi dengan pendekatan rinoskopi lateral atau degloving bila
massa tumor ada di traktus sinonasal dan dengan mastoidektomi untuk massa tumor di telinga
tengah dan kavum mastoid.
BAB V
KESIMPULAN