Anda di halaman 1dari 18

ACARA II

IKLIM MIKRO

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Setiap hari pasti kita mengamati perubahan yang terjadi mengenai kondisi
alam sekitar kita, dimana terkadang panas atau tiba-tiba hujan. Kondisi atmosfer
sesaat atau sehari beserta perubahan-perubahan yang terjadi di suatu lokasi atau
wilayah pada waktu yang relatif singkat dan dipengaruhi oleh keadaan atmosfer
disebut dengan cuaca (Dewi dan Muslikh, 2013). Sedangkan iklim mikro merupakan
kondisi cuaca dalam lingkungan atmosfer yang terbatas, sebatas lingkungan pada
tanaman dengan rentang dua meter dari tanaman. Keadaan iklim dan cuaca sangat
mempengaruhi tanaman karena terjadi interaksi antara keduanya. Tanaman
membutuhkan keadaan cuaca dan iklim tertentu (sesuai kebutuhannya) untuk dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik.
Cuaca dan iklim memiliki pengaruh yang cukup besar di bidang pertanian
karena dalam proses budidayanya, hasil pertanian sangat ditentukan oleh keadaan
lingkungan disekitar tanaman itu tumbuh. Dalam mempelajari iklim yang ada di
Indonesia kita dapat mengetahui hubungan iklim dengan pertanian dan dapat
mengekplorasi potensi iklim untuk perencanaan intensifikasi dan ekstensifikasi
produksi pertanian, dan dapat menentukan kebijakan pengelolaan usaha tani yang
akan dilakukan.
Selain itu, ada juga iklim ada 2 yaitu iklim makro dan iklim mikro. Iklim
mikro dapat dipengaruhi oleh vegetasi sektarnya atau tanaman yang ada. Pengaruh
yang sederhana contohnya seperti mengetahui kondisi udara di bawah pohon yang
rindang pada saat matahari bersinar penuh. Keadaan udara di bawah pohon tersebut
lebih sejuk, lembab, dan teduh. Lebih sejuk karena energi cahaya matahari berkurang
intensitasnya untuk memanaskan udara di bawah pohon terhalang oleh daun-daun
pohon.Selain menurunkan intensitas cahaya langsung dan suhu, pohon dan semak
dapat pula menaikkan kelembaban udara dan dapat mengurangi kecepatan angin.
Unsur-unsur cuaca yang berpengaruh pada pertanian adalah keadaan cuaca, angin,
awan, suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara tekanan udara, curah hujan, dan
lamanya penyinaran matahari.

B. TUJUAN
Praktikum ini bertujuan untuk :
1. Mengenal cara-cara mengukur anasir cuaca mikro
2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap cuaca mikro
3. Mengetahui cuaca mikro pada berbagai ekosistem
II. TINJAUAN PUSTAKA

Sinar matahari yang mencapai atmosfir sebagian akan direfleksikan dan


diabsorbsi oleh atmosfir itu sendiri, oleh awan dan panikel padat yang ada diatmosfir,
vegetasi serta permukaan bumi. Awan memegang peran penting di sini karena
merefleksikan cahaya terbanyak, namun begitu refleksi dan pemencaran sinar
matahari oleh permukaan bumi juga penting. Pada saat mendung, banyak dari radiasi
ini yang ditahan oleh lapisan atmosfir sehingga bumi tetap hangat. Suhu malam di
permukaan bumi juga relatif sejuk karena efek pemanasan radiasi di lapisan awan ini
(Ariwulan, 2012).
Besarnya pengaruh curah hujan di berbagai sektor kehidupan menyebabkan
prediksi cuah hujan sangat di butuhkan untuk membuat perencanaan kedepan. Namun
keberadaan curah hujan secara spesial dan temporal masih sulit untuk di prediksi.
Selain itu sifatnya yang dinamis kemudian proses fisis yang terlibat juga sangat
koompleks sehingga sangat sulit untuk di prediksi (Estiningtyas, 2011).
Pertanian diterjemahkan dari kata agriculture berasal dari bahasa latin yaitu
terdiri dari “ager” yang berarti lapangan/tanah/lading/tegalan dan “cultura” yang
berarti mengamati/memelihara/membajak.Pertanian adalah sejenis produksi khusus
yang didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Produksi pertanian
dalam arti luas tergantung dari faktor genetik yang ditanam, lingkungan termasuk
antara lain tanah, iklim dan teknologi yang dipakai. Dalam arti yang sempit terdiri
dari varietas tanaman, tanah, iklim, dan faktor-faktor non teknis seperti keterampilan
petani, biaya produksi dan alat-alat yang kegunaan (Nurmala, dkk. 2012).
Vegetasi secara langsung memberikan pengaruh terhadap kondisi iklim mikro
melalui modifikasi radiasi matahari dan suhu tanah. Keberadaan tanaman dapat
mempengaruhi tingkat evapotranspirasi (Villegasa et al., 2010). Selain itu,
keberadaan tanaman juga dapat berfungsi sebagai pengontrol iklim. Pada
pengontrolan iklim, iklim mikro yang diciptakan oleh tanaman mempunyai fungsi
dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain panas/radiasi matahari, kontrol
suhu, kontrol angin, kontrol kelembapan, dan kontrol presipitasi (Martuti, 2013).
Kondisi iklim pada iklim mikro sangat terbatas dengan batas kurang lebih
setinggi dua meter dari permukaan tanah. Iklim mikro dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti hutan, rawa, danau, dan aktivitas manusia (Larson et al.,
2011). Pengaruh lingkungan terhadap iklim mikro, misalnya terhadap suhu udara,
suhu tanah, kecepatan arah angin, intensitas penyinaran yang diterima oleh suatu
permukaan, dan kelembapan udara (Pantilu, 2012).
III. METODOLOGI

Pada praktikum acara II yang berjudul Iklim Mikro yang dilaksanakan pada
hari Selasa, 21 Agustus 2018. Pada praktikum ini dilakukan pengamatan terhadap
iklim mikro berupa suhu udara yang di lakukan di empat daerah yang berbeda yaitu
daerah naungan, daerah rumput tanpa naungan air dan daerah beton. Daerah rumput
tanpa naungan dilakukan di sebelah timur auditorium Fakultas Pertanian
UGM, sedangkan pada beton dilakukan di sebelah timur stasiun AWS Fakultas
Pertanian UGM, daerah air tanpa naungan dilakukan di kolam ikan IMB resto ,dan
daerah rumput naungan dilakukan di bawah jembatan IMB. Alat-alat yang digunakan
adalah termometer untuk mengukur suhu udara dan statif untuk menggantung
termometer.
Pengamatan diukur setiap 10 menit hingga mencapai 6 kali pengamatan dan
hasil dicatat pada tabel pengamatan.Percobaan dimulai pukul 14.50 WIB. Pencatatan
suhu dilakukan 10 menit sekali, yaitu pada pukul 14.50, 15.00, 15.10, 15.20, 15.30,
dan 15.40.
IV. HASIL PENGAMATAN

Tabel 1. Tabel Hasil Pengamatan Iklim Mikro Variabel Suhu Udara Golongan A1
dan A2
Senin Selasa

Rumput TN TN TN Rumput TN TN TN
Waktu
Beton Air Naun Beton Air Naun
gan gan

14.50 31℃ 33℃ 31℃ 31℃ 31℃ 33℃ 32℃ 30.5℃

15.00 30℃ 32℃ 31.5℃ 31℃ 31℃ 33℃ 32℃ 31℃

15.10 30.5℃ 32℃ 31℃ 31℃ 30.5℃ 32℃ 32℃ 30℃

15.20 30.5℃ 31℃ 31℃ 31℃ 29℃ 31℃ 30℃ 29℃

15.30 30.5℃ 32.5℃ 31.5℃ 31℃ 29.5℃ 31℃ 31℃ 29.5℃

15.40 30.5℃ 32℃ 31℃ 31℃ 29.5℃ 30℃ 31℃ 29℃

Tabel 2. Tabel Hasil Pengamatan Iklim Mikro Variabel Suhu Udara Golongan A3
dan A4
Rabu Kamis

Rumput TN TN TN Rumput TN TN TN
Waktu
Beton Air Naun Beton Air Naun
gan gan

14.50 32.5℃ 34℃ 33℃ 31.5℃ 30.8℃ 35℃ 31℃ 31℃

15.00 32.5℃ 34℃ 34℃ 32℃ 31℃ 34℃ 30.5℃ 30.5℃


15.10 31.7℃ 33℃ 33℃ 31℃ 30.1℃ 34℃ 31℃ 30.5℃

15.20 31.5℃ 33℃ 33℃ 31℃ 30.5℃ 33℃ 30℃ 30℃

15.30 31.5℃ 32℃ 32℃ 30.9℃ 30.5℃ 32℃ 30℃ 30℃

15.40 31.8℃ 32℃ 32℃ 31℃ 29.5℃ 32℃ 29.9℃ 30℃


V. PEMBAHASAN

Iklim berperan penting dalam proses pertumbuhan tanaman. Iklim mikro yang
terdiri dari kelembapan udara dan tanah, serta suhu udara dan tanah di mana jika
dalam keadaan yang sesuai, maka akan menciptakan kondisi lingkungan yang
optimum bagi tanaman. Anasir terpenting dalam kajian iklim mikro meliputi radiasi
matahari, suhu udara, kelembapan udara, penguapan (evaporasi dan transpirasi), dan
kecepatan angin. Radiasi adalah proses energi dipindahkan oleh gelombang
elektromagnetik dari benda yang satu ke benda yang lain tanpa adanya medium
perantara. Energi matahari sampai ke bumi dalam bentuk radiasi dalam bentuk
gelombang pendek yang diradiasikan kembali oleh bumi dalam bentuk radiasi
gelombang panjang. Bagian radiasi yang sampai ke bumi disebut insolasi. Radiasi
matahari maksimum tercapai pada saat matahari tegak lurus permukaan
tanah (Lansberg, 1981). Pada praktikum ini dilakukan pengamatan suhu pada
berbagai tempat. Berikut ini adalah garfik hubungan suhu terhadap konsep Albedo.

Grafik Konsep Albedo


34

33

32
suhu (⁰C)

31
TN Rumput
30
TN Beton
29 TN Air

28

27
14:50 15:00 15:10 15:20 15:30 15:40
Waktu Pengamatan

Gambar 2.1. Grafik Hubungan Suhu vs. Waktu Pengamatan pada konsep Albedo
Albedo adalah perbandingan radiasi matahari yang dipancarkan dan radiasi
matahari yang datang (Sudaryono, 2001). Albedo menunjukkan sifat kehitaman
badan objek. Albedo mempunyai kisaran nilai 0-1. Apabila suatu objek mempunyai
nilai albedo = 0, maka objek tersebut mengabsorbsi seluruh radiasi gelombang
pendek yang datang. Sedangkan apabila suatu objek mempunyai nilai albedo = 1,
maka objek tersebut memantulkan seluruh radiasi gelombang pendek yang datang.
Namun, tidak ada satu pun benda di alam semesta yang memiliki albedo bernilai 0
atau 1, yang ada hanya mendekati 0 dan 1. Semakin mendekati nilai nol, maka
kenampakan suatu objek semakin gelap dan semakin mendekati nilai satu, maka
kenampakan suatu objek semakin cerah (Rumondang, 2011). Nilai albedo dapat
dilihat dari nilai suhu dengan konsepnya adalah nilai suhu berbanding terbalik dengan
nilai albedo.
Berdasarkan grafik diatas, dapat diketahui bahwa suhu pada pukul 14.50 dan
15.00, beton tanpa naungan memiliki suhu yang lebih tinggi daripada suhu rumput
tanpa naungan dan air tanpa naungan Hal ini sesuai dengan teori dimana pada konsep
albedo disebutkan bahwa radiasi gelombang yang dipantulkan dibagi dengan radiasi
gelombang yang diterima, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa albedo akan
menunjukkan nilai tertinggi apabila gelombang yang dipantulkan memiliki nilai lebih
besar dengan gelombang yang diterima. Oleh karena itu, tempat pengamatan di aspal
atau beton lebih banyak panas yang dipantulkan kembali ke atmosfer, sehingga suhu
udaranya menjadi tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Akbari (2008)
menyatakan bahwa vegetasi berdaun lebar memiliki nilai albedo 0,15 - 0,18,
sedangkan rumput memiliki albedo 0,25. Lahan terbangun berupa beton memiliki
nilai albedo 0,55, sedangkan jalan beraspal memiliki nilai 0,04 – 0,12. Nilai Albedo
untuk air sebesar 0,1 – 0,17.
. Pada pukul 15.10, suhu beton tanpa naungan dan air tanpa naungan memiliki
suhu yang sama yaitu 32˚C dan sama pula pada pukul 15.30 yaitu 31˚C. Rata-rata
suhu pada semua tempat mengalami penurunan namun pada pukul 15.20-15.30, pada
rumput tanpa naungan dan air tanpa naungan mengalami kenaikan suhu sebesar 1˚C.
Selain itu nilai albedo setiap jamnya mengalami penurunan karena semakin sore,
maka semakin sedikit sinar matahari yang diterima. Selain itu juga cuaca yang tidak
mendukung saat pengamatan, yaitu adanya tutupan awan sehingga sinar matahari
tertutupi.

Grafik Konsep Naungan


31.5

31

30.5
suhu (⁰C)

30

29.5 TN Rumput

29 Rumput Naungan

28.5

28
14:50 15:00 15:10 15:20 15:30 15:40
Waktu Pengamatan

Gambar 2.2. Grafik Hubungan Suhu vs. Waktu Pengamatan pada Konsep Naungan
Berdasarkan grafik diatas, dapat diketahui bahwa pada pukul 14.50 suhu
rumput tanpa naungan dan rumput naungan memiliki derajat yang berbeda yaitu 31˚C
dan 30,5˚C. Antara pukul 14.50-15.00 suhu rumput tanpa naungan stabil sedangkan
rumput dengan naungan mengalami kenaikan kemudian antara pukul 15.00-15.20,
kedua tempat mengalami penurunan diderajat yang sama yaitu 29˚C. Sedangkan pada
pukul 15.20-15.30 mengalami kenaikan sebesar 0,5˚C. Hingga menuju pukul 15.40,
suhu pada rumput naungan mengalami penurunan sebesar 0,5˚C dan suhu rumput
tanpa naungan tetap stabil yaitu 29,5˚C.
Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa suhu udara pada tempat tanpa
naungan lebih tinggi dibanding tempat dengan naungan. Hal tersebut dikarenakan
adanya naungan mengakibatkan radiasi matahari terhalangi oleh naungan tersebut
sehingga menyebabkan suhu udara di naungan tersebut tidak terlalu tinggi. Pada
grafik suhu udara ditempat tanpa naungan maupun tempat dengan naungan terdapat
penurunan besarnya suhu udara dari menit ke menit. Hal tersebut dapat diakibatkan
pergerakan awan yang semakin lama menutupi daerah dimana dilakukan pengukuran
suhu udara, sehingga radiasi matahari yang diterima bumi tidak optimal karena
adanya awan tersebut. Akan tetapi, pada tempat dengan naungan terdapat kenaikan
suhu udara pada pukul 15.30. Hal tersebut dapat disebabkan karena kondisi keawanan
yang tidak homogen dimana awan pada menit tersebut mulai bergerak menjauhi
tempat dilakukannya pengukuran suhu udara, sehingga radiasi matahari yang diterima
bumi semakin besar.

Grafik Konsep Tutupan Awan


33

32

31
suhu (⁰C)

senin
30
selasa
29 rabu

28 kamis

27
14:50 15:00 15:10 15:20 15:30 15:40
Waktu Pengamatan

Gambar 2.3. Grafik Hubungan Suhu vs. Waktu Ppengamatan pada Konsep Tutupan
Awan
Berdasarkan hasil analisis suhu dari pukul 14.50-15.40 pada grafik
menunjukkan bahwa rata-rata suhu tertinggi terjadi pada hari rabu. Pada hari selasa,
suhu mengalami penurunan sampai pukul 15.20 dan sedikit mengalami kenaikan
menuju pukul 15.30. Pada hari kamis, suhu mengalami penurunan menuju pukul
15.10 dan kenaikan menuju pukul 15.20, serta penurunan menuju pukul 15.40. Pada
hari senin, suhu mengalami penurunan pada pukul 15.00 dan tetap stabil dari pukul
15.10 sampai 15.40.
Berdasarkan grafik diatas, suhu tertinggi pukul 14.50 terjadi pada hari rabu
dan terendah terjadi pada hari kamis. Hasil tersebut sama dengan satview atau
realitanya. Suhu tertinggi pukul 15.00 terjadi pada hari rabu dan suhu terendah terjadi
pada hari senin. Hasil tersebut menunjukkan kesamaan dengan realitanya. Suhu
tertinggi pukul 15.10 terjadi pada hari rabu dan suhu terendah terjadi pada hari kamis.
Suhu tertinggi pukul 15.20 terjadi pada hari rabu dan suhu terendah terjadi pada hari
selasa. Hasil tersebut menunjukkan kesamaan data dengan satview atau realitanya.
Suhu tertinggi pukul 15.30 terjadi pada hari rabu dan suhu terendah terjadi pada hari
selasa. Hasil tersebut juga membuktikan kesamaan pada satview. Suhu tertinggi
pukul 15.40 terjadi pada hari rabu dan suhu terendah terjadi pada hari selasa dan hari
kamis. Sedangkan pada satview atau realitanya hanya menunjukkan kesamaan pada
hari selasa.
Berdasarkan hasil perhitungan suhu harian dapat diketahui bahwa kondisi
awan pada suatu tempat sangat mempengaruhi keadaan suhu di tempat itu. Hal
tersebut dapat dilihat dari perbandingan kondisi tutupan awan di wilayah Yogyakarta
pada hari Rabu dan Kamis, Rabu dan Senin, dan Rabu dan Selasa pada tabel di bawah
ini :
Pengamatan Pukul 14.20
Suhu Tertinggi : Rabu Suhu Terendah : Kamis

Gambar 2.4. Citra Keawanan dilihat dari Satelit pada Pengamatan pukul 14.20 WIB
Pengamatan Pukul 15.00
Suhu Tertinggi : Rabu Suhu Terendah : Senin

Gambar 2.5. Citra Keawanan dilihat dari Satelit pada Pengamatan pukul 15.00 WIB
Pengamatan Pukul 15.10
Suhu Tertinggi : Rabu Suhu Terendah : Kamis

Gambar 2.6. Citra Keawanan dilihat dari Satelit pada Pengamatan pukul 15.10 WIB
Pengamatan Pukul 15.20
Suhu Tertinggi : Rabu Suhu Terendah : Selasa

Gambar 2.7. Citra Keawanan dilihat dari Satelit pada Pengamatan pukul 15.20 WIB
Pengamatan Pukul 15.30
Suhu Tertinggi : Rabu Suhu Terendah : Selasa

Gambar 2.8. Citra Keawanan dilihat dari Satelit pada Pengamatan pukul 15.30 WIB
Pengamatan Pukul 15.40
Suhu Tertinggi : Rabu Suhu Terendah : Selasa

Gambar 2.9. Citra Keawanan dilihat dari Satelit pada Pengamatan pukul 15.40 WIB
Sumber gambar: satview.bo.gov.au
Salah satu faktor yang menjadi penentu suhu permukaan yang tertangkap oleh
citra adalah albedo. Albedo adalah perbandingan tingkat sinar matahari yang datang
ke permukaan dengan yang dipantulkan kembali ke atmosfir (Wicahyani et al.,
2013). Nilai albedo bervariasi tergantung pada karakteristik fisik permukaan. Konsep
albedo menunjukkan berapa bagian dari sinar datang yang bisa dipantulkan oleh
planet bersangkutan. Jika planet memiliki albedo 1, berarti seluruh cahaya matahari
yang datang ke permukaan planet akan dipantulkan (Admiranto, 2000).
Prinsip dari albedo yaitu analogi pada startegi yang digunakan oleh orang-
orang yang tinggal di tempat panas. Bangunan diselesaikan dengan eksterior putih
agar tetap dingin, karena permukaan putih memantulkan energi matahari. Permukaan
hitam memantulkan jauh lebih sedikit. Iklim merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Pada skala kecil, iklim
mikro sangat mudah untuk diamati karena lingkupnya tidak terlalu luas. Iklim mikro
merupakan kondisi iklim pada suatu ruang yang sangat terbatas, tetapi komponen
iklim ini penting artinya bagi kehidupan manusia, tumbuhan dan hewan, karena
kondisi udara pada skala mikro ini yang akan berkontak langsung dengan (dan
mempengaruhi secara langsung) makhluk hidup tersebut (Wisnubroto, 2000).
VI. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :


1. Iklim mikro dapat diukur dengan dengan menggunakan konsep hukum
Albedo. Temperatur merupakan salah satu anasir iklim yang dapat diukur
untuk mengetahui kondisi suatu iklim mikro.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim mikro adalah suhu udara, kecepatan
dan arah angin, kelembapan udara, dan radiasi matahari.
3. Iklim mikro berupa suhu udara pada ekosistem tanpa naungan memiliki suhu
udara yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara pada ekosistem
dengan naungan.
DAFTAR PUSTAKA

Admiranto, A. Gunawan. 2000. Menjelajahi Tata Surya. Yogyakarta. Kanisius.

Akbari, H. 2008. Saving Energy and Improving Air Quality in Urban Heat Islands.
American Institute of Physics, Berkeley.
Ariwulan. 2012. Proses Pembentukan Awan.
http://ilmuklimat.com/2009/12/01/proses-pembentukan-awan/. Diakses pada
tanggal 26 Agustus 2018 pukul 12.00 WIB.
Dewi dan Muslikh, M., 2013. Perbandingan Akurasi Backpropagation Neural
Network dan ANFIS Untuk Memprediksi Cuaca. Journal of scientific and
computation 1 (1) : 7-13.
Estiningtyas, W., 2011. Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Tangerang
Selatan.
Larson, P. R., Lohrengel, C., Frederick, I. I. 2011. A new tool for climate
classification. Journal of Geography. 3:120-130.
Martuti, N. K. T. 2013. Peranan tanaman terhadap pencemaran udara di Jalan
Protokol Kota Semarang. Jurnal Biosaintifika. 5(1) : 37-42.
Nurmala, dkk. 2012. Pengantar Ilmu Pertanian. Bandung: Graha Pustaka.

Pantilu, L. I. 2012. Respons morfologi dan anatomi kecambah kacang kedelai


(Glycine max (L.) Merill) terhadap intensitas cahaya yang berbeda. Jurnal
Bioslogos. 2(2): 79-87.
Rumondang, D. 2011. Penurunan Nilai Albedo dan Suhu Permukaan dari Data Terra
MODIS L1B untuk Klasifikasi Awan. Fakultas Geofisika dan Meteorologi.
Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Sudaryono. 2001. Pengaruh bahan pengkondisi tanah terhadap iklim mikro pada
lahan berpasir. Jurnal Teknologi Lingkungan 2(1) : 181 – 192.
Villegasa, J. C., D. D. Breshears, C. B. Zou, and P. D. Royer. 2010. Seasonally
pulsed heterogeneity inmicroclimate: phenology and cover effect along
deciduous grassland-forest continuum. Vadose Zone Journal. 9(3): 537-547.
Wicahyani., Suksesi, S. B., Sasongko, dan M. Izzati. 2013. pulau bahang kota (urban
heat island) di kota yogyakarta dan daerah sekitarnya hasil interpretasi citra
landsat olitris tahun 2013. jurnal geografi. vol 11 no 2 hal 196-205.

Winusbroto. 2000. Strategi memperkecil resiko iklim dalam produksi tanaman.Jurnal


Ilmu Tanah dan Lingkungan 2:47-52.

Anda mungkin juga menyukai