Alokasi
Bidang Instansi
NO Nama Jabatan Waktu
Keahlian Asal
(jam/minggu)
1 Ir N. Vinky Ketua Arsitektur Arsitektur 10
Rahman, MT USU
2 Ir Nurlisa Anggota 1 Perencanaan Arsitektur 10
Ginting, Msc, Kota USU
PhD
3. Objek Penelitian (jenis material yang akan diteliti dan segi penelitian) : Air
Terjun Sipiso-Piso
4. Masa Pelaksanaan
Mulai : bulan: Maret tahun: 2018
Berakhir : bulan: November tahun: 2018
7. Instansi lain yang terlibat (jika ada, dan uraikan apa kontribusinya) : Tidak ada
8. Temuan yang ditargetkan (penjelasan gejala atau kaidah, metode, teori, atau
antisipasi yang dikontribusikan pada bidang ilmu) : Model Penataan
Kawasan Air Terjun Sipiso-piso
9. Kontribusi mendasar pada suatu bidang ilmu (uraikan tidak lebih dari 50 kata,
tekankan pada gagasan fundamental dan orisinal yang akan mendukung
pengembangan ipteks) : sebagai sumber referensi ilmiah dalam mengkaji
bidang ilmu sejenis, khususnya mengenai Model atau konsep penataan
kawasan wisata yang berbasiskan geopark
10. Jurnal ilmiah yang menjadi sasaran (tuliskan nama terbitan berkala ilmiah
bereputasi internasional,) : Proceeding; Mengusulkan jurnal ke Tourism
and Hospitality Management; dan jurnal internasional bereputasi lain
iii
RINGKASAN
Danau Toba adalah Kaldera Kuarter terbesar di dunia yang merupakan hasil
letusan gunung api raksasa (supervolcano) letusan terakhirnya terjadi pada 74.000
tahun lalu. Hasil letusan ini menciptakan panorama alam, keanekaragaman budaya
dan hayati, dan jenis bebatuan yang sangat luar biasa di Danau Toba. Letusan ini
juga melahirkan masyarakat yang memiliki Kearifan lokal dan hidup harmonis
dengan alamnya. Air Terjun Sipiso - Piso adalah salah satu bagian dari Kaldera
Toba yang memiliki rekreasi wisata dengan kekayaan alam yang menakjubkan.
Namun potensi ini belum tergarap dengan baik dan tidak tertata serta terpelihara
dengan baik. Untuk memelihara potensi tersebut diperlukan model pembangunan
yang berkelanjutan. Model penataan inilah disebut dengan GEOPARK. Selain
untuk mengembangkan pariwisata di kawasan wisata Danau Toba khususnya Air
Terjun Sipiso – piso. Penelitian ini bertujuan untuk membuat model penataan
kawasan wisata di Air Terjun Sipiso - piso berdasarkan geopark yang dapat
diaplikasikan pada program pengembangan wisata di Kawasan Kaldera Toba.
Pada tahun pertama telah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode
kualitatif dengan observasi dan depth interview yang menghasilkan konsep
penataan kawasan wisata yang telah diseminarkan di seminar internasional
Friendy City 4 di Medan tahun 2017. Pada tahun kedua dilakukan kembali survey
dan interview yang lebih mendalam, dimana pada survey kali ini juga dilakukan
pengukuran dengan menggunakan drone dan melakukan interview kepada
pemerintah, masyarakat dan wisatawan. Saat ini telah memasuki tahap pembuatan
model, lalu setelah model tersebut selesai kemudian akan didiskusikan dengan
stakeholder untuk mendapatkan pendapat akhir. Model penataan ini akan dibuat
ke dalam jurnal dan akan diseminarkan di seminar internasional.
Kata Kunci: Pariwisata, Danau Toba, Air terjun Sipiso-piso, Penataan, Geopark
iv
DAFTAR ISI
RINGKASAN ....................................................................................................... iv
v
4.4. Metode Pengumpulan Data ................................................................... 4-8
4.5. Metode Pengumpulan Data ................................................................. 4-10
LAMPIRAN ........................................................................................................... 3
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. Ruang Terbuka yang dijadikan Tempat Parkir dan Viewpoint yang
tidak terencana ..................................................................................................... 5-3
Gambar 3. Kondisi Tempat Souvenir, Tempat Makan, Toilet dan Musholla di Air
Terjun Sipiso – Piso ............................................................................................. 5-4
Gambar 5. Kondisi Tempat Parkir di Air Terjun Sipiso – Piso .......................... 5-5
Gambar 6. Kondisi jalur Pedestrian di Air Terjun Sipiso – Piso ........................ 5-6
Gambar 7. Kendaraan yang parkir di jalan di Air Terjun Sipiso – Piso ............. 5-7
Gambar 8. Konsep Tata Guna Lahan di Air Terjun Sipiso – Piso ..................... 5-9
vii
DAFTAR TABEL
viii
BAB 1
PENDAHULUAN
Danau Toba adalah Kaldera Kuarter terbesar di dunia yang merupakan hasil
letusan gunung api raksasa (supervolcano) letusan terakhirnya terjadi pada 74.000
tahun lalu. Letusan ini berdampak tak hanya di Indonesia namun di seluruh dunia
seperti memicu terjadinya ‘Volcanic winter‘, tahun tanpa musim panas, selain itu
debunya menyebabkan intensitas cahaya matahari tinggal 1% dari normalnya, hal
ini memicu terjadinya salah satu zaman es dan tumbuhan tidak bisa berfotosintesis
serta mempengaruhi lintasan migrasi manusia modern (de Silva, Mucek, Gregg, &
Pratomo, 2015).
1-1
Air Terjun Sipiso - piso adalah salah satu bagian dari Kaldera Toba yang memiliki
keindahan alam yang menakjubkan. Namun sayang potensi ini tidak bisa
dinikmari oleh wisatawan secara optimal karena kurangnya pengelolaan ini adalah
penataan dan pemeliharaan objek-objek wisata yang ada kurang dikelola dengan
baik. Salah satu contohnya seperti, akses masuk ke lokasi cukup sulit dan jauh
serta tidak ada angkutan umum yang melewati lokasi sehingga jika ingin ke Air
Terjun Sipiso-piso harus menggunakan kendaraan pribadi atau dengan bus
pariwisata. Selain itu untuk mencapai dasar air terjun pengunjung memerlukan
waktu yang lama sekitar 1 jam dengan menuruni anak tangga dan untuk kembali
ke atas pengunjung harus menaiki anak tangga yang sama. Hal inilah yang banyak
membuat para pengunjung mengeluh dan kurang optimal menikmati keindahan
alam dari Air Terjun Sipiso-piso.
Peneltian ini bertujuan untuk membuat model penataan kawasan wisata di Air
Terjun Sipiso - piso berdasarkan geopark yang dapat diaplikasikan pada program
pengembangan wisata di Kawasan Danau Toba.
Air Terjun Sipiso - piso merupakan salah satu kawasan pariwisata unggulan di
Provinsi Sumatera Utara, akan tetapi sampai saat ini belum ada konsep atau model
penataan kawasan ini, terlebih lagi UGG-UNESCO memberikan waktu dua tahun
terhitung sejak september 2015 untuk membenahi kawasan Danau Toba sebelum
menjadikannya sebagai anggota UGG. Oleh sebab itu peneiliti menilai agar
ditemukan secepatnya model pengembangan kawasan yang tepat untuk
mendukung pariwisata di kawasan Danau Toba.
1-2
1.5. Temuan Penelitian
Sampai saat ini belum ada penelitian yang mengkaji penataan kawasan wisata
berdasarkan geopark di Air Terjun Sipiso - piso. Temuan dari penelitian ini adalah
suatu model penataan kawasan wisata berdasarkan konsep penataan yang sudah
dilakukan pada tahun pertama. Penataan yang baik di suatu kawasan wisata akan
berdampak pada peningkatkan jumlah wisata dan perekonomian di daerah
tersebut. Semakin banyak wisatawan yang tertarik untuk berkunjung, semakin
banyak pula pengenalan akan destinasi wisata itu. Hal ini turut pula menciptakan
lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal serta peningkatan jumlah pendapatan
masyarakat dan daerah tersebut.
1-3
Kategori Sub Kategori Wajib Tambahan Tahun Tahun Kedua
Pertama (TS)
1 Artikel Ilmiah Internasional Ada Review Publish &
dimuat di Jurnal bereputasi Review
Nasional Tidak ada
Terakreditasi
2 Artikel Ilmiah Internasional Ada Review Publish &
dimuat di terindeks Review
Prosiding Nasional Tidak ada
3 Invited Speaker Internasional Tidak ada
dalam Temu Nasional Tidak ada
Ilmiah
4 Visiting Lecturer Internasional Tidak ada
Paten Tidak ada
Paten Ada - Produk/Model
Sederhana
Hak Cipta Tidak ada
Merk Dagang Tidak ada
Rahasia Tidak ada
Dagang
Disain Produk Tidak ada
Hak Atas
Industri
5 Kekayaan
Indikasi Tidak ada
Intelektual (HKI)
Geografis
Perlindungan Tidak ada
Varietas
Tanaman
Perlindungan Tidak ada
Topografi
Sirkuit
Terpadu
6 Teknologi Tepat Guna Produk Draf Produk
Model/Purwarupa/Desain/Karya Produk Produk Produk
7 (konsep) (Model)
Seni/ Rekayasa Sosial
8 Buku Ajar (ISBN) Tidak ada
Tingkat Kesiapan Teknologi 5 4 5
9
(TKT)
1-4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pariwisata
Wisata alam adalah suatu kegiatan wisata menuju kawasan yang belum terganggu
dan alam bebas yang belum terkontaminasi, yang menawarkan pemandangan
alam yang mempesona serta kehidupan tanaman dan hewan yang tidak dapat
dijumpai di wilayah perkotaan (Boo, 1990 dalam Valentine, 1998). Dirawan
(2003) menjelaskan ekowisata (eco tourism) sebagai suatu perjalanan wisata ke
kawasan alami yang diciptakan dengan tujuan mengkonservasi dan melestarikan
kehidupan makhluk hidup setempat.
2-5
2.2. Geopark
Terdapat banyak acuan dalam merancang suatu kawasan, baik itu dari teori-teori
perencanaan kota atau perundang-undangan di negara masing-masing. Dalam
teori perencanaan kota dikenal satu teori tentang elemen perancangan kota oleh
Shirvani Hamid. Menurut Shirvani Hamid (1985) terdapat delapan elemen
perancangan kota yaitu tata guna lahan (landuse), bentuk bangunan dan massa
(building form and massing), sirkulasi dan parkir (circulation and parking), ruang
terbuka (open space), jalur pejalan kaki (pedestrian ways), generator aktivitas
(support activity), papan tanda dan informasi (signage) dan preservasi
(preservation).
Tata guna lahan adalah rencana dua dimensi terhadap fungsi-fungsi sebuah
kota dengan mempertimbangkan daya dukung alam atau kapasitas lingkungannya.
Oleh sebab itu perencanaan tata guna lahan merupakan proses yang sensitif,
keberhasilan fungsi fisik dan sosial ekonomi bergantung kepada keberhasilannya.
Jika perencanaan tata guna lahan tidak berhasil maka akan mengakibatkan dua
permasalahan besar, permasalahan yang pertama adalah urban sprawl (Shirvani,
1985) dan lost space (Trancik, 1986).
Urban sprawl adalah penyebaran guna lahan yang tidak merata, seringkali
urban sprawl mengakibatkan masalah sosial seperti perbedaan antar kelompok-
kelompok masyarakat tertentu ketika terjadi pengelompokkan tempat tinggal,
kekurangan ruang terbuka hijau dalam suatu kota atau terjadinya pencemaran
lingkungan suatu kota (Shirvani, 1985). Hal yang sama juga dijelaskan oleh
Polidoro (2010) dengan menyebutkan bahwa karakteristik urban sprawl
diantaranya adalah kurangnya daerah hijau, perumahan yang tersebar tidak
merata, lumpuhnya transportasi umum sehingga orang-orang bergantung kepada
2-7
mobil dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pejalan kaki, serta terjadinya
konflik antar kota.
Menurut Roger Trancik (1986), lost space dapat terjadi apabila terjadi
ekslusifitas tertentu, pemisahan fungsi pemukiman dengan fungsi tempat kerja,
atau kepadatan bangunan yang tidak terkendali. Pengertian lain menurut
Memarian & Niazkar (2014) bahwa lost space merupakan area-area dalam kota
yang tidak mendapat perhatian, area ini bisa jadi merupakan lahan kosong yang
sudah lama ditinggalkan dan tidak dibangun kembali. Sementara itu Balarostaghi
& Khatibi (2013) menyatakan bahwa lost space muncul akibat pertumbuhan kota
yang tidak terkontrol sehingga menimbulkan wajah kota yang buruk dan tidak
mencerminkan identitas kawasan tersebut. Roger Trancik (1986) menyebutkan
lima faktor utama yang menimbulkan lost spaces, diantaranya meningkatnya
ketergantungan akan mobil, kecenderungan arsitektur modern terhadap eksistensi
ruang terbuka, kebijakan tata guna lahan yang berujung pada pembentukan kota
baru, kurangnya perhatian dan partisipasi sektor publik dan swasta dalam tata
ruang kota, serta bangunan atau lahan yang terabaikan dalam kota.
Hubungan antara situs warisan budaya (heritage) dengan tata guna lahan
akan berubah oleh pengaruh dua komponen, yakni skala dan urbanisasi.
Hubungan antara aktivitas manusia dan tata guna lahan dipengaruhi oleh tingkat
urbanisasi yang berbeda di setiap wilayah (Jenerette and Wu, 2001; Luck and Wu,
2002 dalam Zhang, dkk, 2013). Dengan demikian pengaruh situs warisan budaya
(heritage) bisa sangat beragam di wilayah-wilayah yang memiliki tingkat
urbanisasi berbeda. Selain itu, hubungan antara tata guna lahan dan proses yang
mendasarinya secara umum dipengaruhi oleh skala wilayahnya (Wu, 2004;
Buyantuyev et al., 2010 dalam Zhang, dkk, 2013). Secara umum, tingginya
intensitas aktivitas manusia akan menciptakan tata guna lahan yang lebih
kompleks (Luck and Wu, 2002 dalam Zhang, dkk, 2013). Intensitas aktivitas
manusia di sekitar kawasan heritage lebih rendah daripada aktivitas di kawasan
kota. Rendahnya aktivitas manusia menimbulkan pengaruh yang kecil terhadap
tata guna lahan (Luck and Wu, 2002 dalam Zhang, dkk, 2013). Hal ini membuat
tata guna lahan di sekitar kawasan heritage lebih kompleks, beragam, terbagi-bagi
dan tidak beraturan akibat munculnya lahan-lahan individual.
2-8
2.3.2. Tata Bangunan
a. Ketinggian bangunan
Perbedaan ketinggian dapat menjadikan suatu kawasan tidak monoton dan
juga dapat menghasilkan ketegasan tepi kawasan atau membentuk vista
dari suatu kawasan. Pengaturan ketinggian dapat menghasilkan
pencahayaan yang baik ke dalam suatu kawasan sehingga tidak ada titik-
titik yang tidak mendapat pencahayaan alami. Ketinggian juga dapat
membantu memberi arahan kepada pejalan kaki.
b. Kepejalan bangunan
Penampilan gedung dalam konteks kota, ditentukan oleh tinggi, luas, lebar,
panjang, olahan massa dan material. Kepejalan bangunan juga dapat
menghasilkan vista dari suatu kawasan dan membantu pencahayaan
kedalam kawasan tersebut.
c. Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
Angka persentase perbandingan antara jumlah seluruh luas lantai seluruh
bangunan yang dapat dibangun dan luas lahan/ tanah yang dikuasai. KLB
ditentukan oleh pemerintah daerah masing-masing, tujuan dari penentuan
KLB ini adalah untuk menjaga keseimbangan alam dimana akan terjaga
lahan-lahan untuk berfungsi sebagaimana aslinya (daerah resapan, daerah
hijau).
d. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
2-9
KDB adalah angka persentase perbandingan antara seluruh luas lantai
dasar bangunan yang dapat dibangun dengan luas tanah/lahan yang
dikuasai. Seperti halnya KLB, KDB juga ditentukan oleh pemerintah
daerah dan bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan alami.
2-10
dari bentuk, material, metode konstruksi , bukaan, interior, serta hubungannya
dengan lingkungan sekitar. Dalam beberapa kasus, penggunaan material dilakukan
dengan cara yang menarik untuk menciptakan karakter bangunan. Selain itu detail
bangunan juga berdampak besar terhadap tampilan dan pemahaman akan
bangunan (Goodwin, 2009).
2-11
membangun identitas kawasan dimana pengguna jalan bisa merasakan ciri khas
lingkungan tempat ia berada.
2-12
harus aman dari ancaman kecelakaan, bahkan kriminalitas. Selanjutnya,
kemudahan. Jalur pedestrian yang baik merupakan jalur terpendek yang mudah
dicapai serta bebas dari hambatan. Faktor kenyamanan pun harus dipenuhi,
dimana pejalan kaki harus dapat merasa nyaman di area pejalan kaki dan yang
terakhir adalah adanya faktor daya tarik, baik yang berasal dari jalur pejalan kaki,
elemen pendukung pejalan kaki, maupun lampu penerangan.
2-13
Menurut Danisworo (1989) dalam Nasution, A.D. & W. Zahrah (2012)
ruang terbuka yang berhasil mampu mendorong rasa aman dan nyaman dari
pengunjungnya. Salah satu kriterianya adalah pola pergerakan yang jelas dan
mudah, dengan menciptakan linkage yang menghubungkan jalur satu dengan jalur
lainnya, mengintegrasikan moda transportasi dan tata guna lahan, keberadaan
landmark sebagai orientasi dalam ruang terbuka, menggunakan skala manusia dan
diperkaya dengan tampilan arsitektur yang baik, fasad bangunan yang menarik
(Project For Public Space, 2000; Gehl, 2002; CABE & DETR, 2001; Asihara,
1981; Nasution & Zahrah, 2012).
Elemen pada lansekap kawasan kajian juga penting untuk membantu
masyarakat lokal dan wisatawan dalam mengenali tempat yang dilaluinya (Lanes,
1981). Sebuah tempat dipahami sebagai ruang kosong yang berkaitan dengan
objek arsitektur yaitu tempat dimana orang boleh menikmati bangunan.
Elemen alam seperti vegetasi menjadi faktor penting dalam ruang terbuka
yang dapat meningkatkan kenyamanan, pengalaman yang menyenangkan dan
menghindari iklim yang buruk dengan menempatkan pohon di sepanjang jalur
pedestrian dan area istirahat (Gehl, 2002; Avila, 2001). Dyment dkk (2008) juga
menyatakan bahwa lingkungan fisik yang terdapat hamparan tumbuhan hijau
dapat memberi kesan teduh dan nyaman. Selain elemen vegetasi, ruang terbuka
juga memiliki elemen pendukung seperti tempat sampah, tempat duduk, dan toilet
umum. Dalam ruang publik, kenyamanan berarti terhindar dari sinar matahari
yang berlebihan, tersedianya tempat duduk yang nyaman secara fisik dan
psikologis, kemudahan tempat sampah, toilet umum, serta sistem informasi yang
teratur dan baik secara visual (Ginting, 2014).
2-14
2.3.5. Generator Aktivitas
2-15
sebuah wilayah, yang unik dan berbeda. Aktivitas budaya juga bisa menjadi
tempat dimana wisatawan mempelajari budaya lokal.
Aktivitas berbelanja suvenir produk lokal juga telah menjadi aktivitas yang
umum dijumpai dalam pariwisata (Cook, 1995, Kim & Littrell, 2001 dalam Shen,
2011). Dengan adanya suvenir, wisatawan dapat mengenang atau mengingat
kembali pengalamannya, momen khusus, dan kegiatan dalam kunjungannya
(Gordon,1986).
2.3.7. Presevasi
2-18
Said, dkk (2013) menyatakan bahwa usaha konservasi sangat penting
dalam merevitalisasi kota, serta menjaga memori akan sejarah suatu kawasan.
Banyak komunitas saat ini sangat antusias dengan preservasi dan konservasi
terhadap nilai warisan atau sejarah mereka (Greffe, 2004 dalam Azhari dan
Mohamed, 2012), sebab sejarah dapat memuaskan berbagai kebutuhan seperti
seni, pariwisata, estetika, rekreasi, serta menciptakan image positif dan
meningkatkan kualitas hidup. Tujuan preservasi diantaranya adalah mengajarkan
manusia akan sejarah dan budaya pendahulunya; memberikan identitas kepada
suatu komunitas dimana manusia berhubungan dengan tempat dan pendahulunya;
memberikan bukti tentang kesinambungan antara masa lalu, masa sekarang, dan
masa depan (Goodwin dkk,2009).
Godwin (2011) dalam tulisannya Building Conservation and Sustainability
in the United Kingdom, menyatakan bahwa masyarakat disana sangat menghargai
dan menjunjung usaha preservasi bangunan bersejarah yang merepresentasikan
sejarah dan nilai ekonomi mereka. Ketertarikan masyarakat dalam usaha
preservasi terhadap bangunan bersejarah akan dipengaruhi oleh kondisi objek
preservasi tersebut (Greffe, 2004 dalam Azhari dan Mohamed, 2012). Kondisi
bangunan yang buruk akan membuat masyarakat dan stakeholder
mengabaikannya. Namun kondisi bangunan yang baik akan membangun respon
positif dan menarik perhatian masyarakat serta stakeholder.
Azhari dan Mohamed (2012) menyimpulkan bahwa konservasi bangunan
bersejarah dan pemeliharaan keberadaannya tidak hanya merepresentasikan
energi, namun juga semangat dan identitas masyarakatnya. Tanpa pengawasan dan
pengelolaan terhadap bangunan bersejarah, sebuah negara akan kehilangan pola
kota dan keunikan kota tersebut (Idid, 1996).
Berdasarkan ulasan diatas peneliti menyimpulkan bahwa delapan elemen
perancangan kawasan harus direncanakan dengan baik dan saling mendukung satu
sama lain (Gambar 2.2).
2-19
2.4. Berdasarkan Geopark
2-20
Jaafar 2015 Dari penelitian terhadap kaitan pengembangan
produk pariwisata di Kilim Geopark berdasarkan
persepsi wisatawan didapati bahwa wisatawan sangat
puas dengan keindahan alam dan atraksi lingkungan
lainnya yang ada di Kilim Geopark.
Ginting dkk 2014 Model Penataan Kawasan Wisata Bersejarah
Berdasarkan Identitas Tempat
2-21
2.6. Roadmap Penelitian
Program 2021-
2004-2010 2011-2015 2015-2020
Penelitian 2025
Peningkatan Wisata Kota Medan untuk Kota yang Sejarah dan Citra Kawasan (Place Identity) How Self-Efficacy Enhance Heritage Tourism in Medan Historical Corridor,
Bersahabat (2003) Studi Kasus: Jl. Brigjen.Katamso, Jl.Pemuda, Jl. A.Yani Indonesia (2016)
Proceeding Seminar Urban Development dan Lapangan Merdeka Medan (2012) Elsivier Procedia - Social and Behavioral Sciences
Management for Friendly City Jurnal Koridor
Community Participation in Heritage Community Mengenal Pasti Karakteristik Wisatawan Objek Wisata Preserve Urban Heritage District based on Place Identity (2016)
(2008) Heritage Kota sebagai Strategi Pengelolaan Wisata Asian Journal of Environment-Behaviour Studies
Proceeding International Conference Social Heritage. Studi Kasus: Kota Medan (2013)
Science and Humanities (ICOSSH) Jurnal Koridor
Physical Impact of Tourism Development Case Identitas Tempat dan Pengaruhnya terhadap Pariwisata Defining Distinctiveness Aspect of Place Identity in Urban Heritage Tourism
Study: Colonial-Malay Corridor in Medan City Heritage. Studi Kasus Kota Medan Indonesia (2013) (2016)
(2008) Jurnal Semitech Proccedding, ARDC 2016
Pariwisata di Proceedings of National Symposium on 8th International Conference on Architecture Research and Design
Medan Tourism Research
(Heritage Sustainable Tourism Urban Context. Case Study: Merangkul Pariwisata Kota dengan Pesona Maimun Recalling the Past: Maintaining continuity in urban heritage tourism (2016)
Medan Colonial Corridor in City of Medan (2010) Jurnal Koridor Journal of ASIAN Behavioural Studies
Tourism) Proceeding Artepolis 2
International Conference and Design Charrette
Karakteristik dan Tingkat Kepuasan Wisatawan Heritage Maimoon Palace Heritage District in Medan, Indonesia: What Preserve and
Kota Medan. Studi Kasus: Kawasan Heritage Jl. Brigjen Why We Preserve (2015)
Katamso, Pemuda, A. Yani, dan Lapangan Merdeka Kota Elsivier Procedia - Social and Behavioral Sciences
Medan (2013)
Proceeding Seminar "Teknologi, Desain dan
Perencanaan untuk Percepatan Pembangunan"
Exploring Identity’s Aspect of Continuity of Urban
Heritage Tourism (2015)
Elsivier Procedia - Social and Behavioral Sciences
Identitas Tempat Pada Pariwisata Kabupaten karo (2016)
Buku ber-ISBN
Continuity dan Pariwisata di Kabupaten Karo (2016)
Pariwisata di Proceeding Seminar Nasional “Kearifan Lokal dalam Arsitektur dan
Kabupaten Lingkungan Binaan”
Pengaruh Self-Esteem Pada Perkembangan Pariwisata Kabupaten Karo (2016)
Karo Proceeding Seminar Nasional “Kearifan Lokal dalam Arsitektur dan
(Natural/Cultu Lingkungan Binaan”
ral Tourism) Self-Efficacy dan Perkembangan Pariwisata, Studi kasus: Kabupaten Karo
(2016) Proceeding Seminar Nasional “Kearifan Lokal dalam Arsitektur
dan Lingkungan Binaan”
More Attractive More Identified : Distinictiveness in Embedding Place
2-22
Program 2021-
2004-2010 2011-2015 2015-2020
Penelitian 2025
Identity Case Study : Karo Regency (2016)
Proccedding, IEREK International Conference on Green Urbanism 2016
Pedoman Penataan Tata Informasi Pada Koridor
Jalan Jamin Ginting-Berastagi (2017)
Proceeding Seminar Nasional “Kearifan Lokal dalam Arsitektur dan
Lingkungan Binaan”
Penataan Pedagang Kaki Lima Sebagai Aktivitas
Pendukung Di Koridor Berastagi (2017)
Proceeding Seminar Nasional “Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Dan
Lingkungan Binaan”
Elemen Sirkulasi Dan Parkir Pada Penataan Koridor Jamin Ginting-Brastagi
(2017)
Proceeding Seminar Nasional “Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Dan
Lingkungan Binaan”
Penataan Jalur Pedestrian Pada Koridor Jamin Ginting Kota Berastagi (2017)
Proceeding Seminar Nasional “Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Dan
Lingkungan Binaan”
Elemen Vegetasi Dalam Penataan Ruang Kota
Pada Koridor Jalan Jamin Ginting Berastagi (2017)
Proceeding Seminar Nasional “Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Dan
Lingkungan Binaan”
Seminar AicQoL2017Bangkok, Thailand, 25-27 February 2017; Seminar
Friendly City 4 From Research to Implementation For Better Sustainability
11-12 October 2017
Tourism Development Bakkara Caldera Toba, Indonesia Based On Geopark
(2016) Proccedding, AASEC 2016
The 1stannual Applied Science And Engineering Conference 2016
Pengembangan Elemen Atraksi Destinasi Wisata Di Geosite Tuktuk,
Ambarita, Dan Siallagan,
Kabupaten Samosir (2017)
Pariwisata di Proceeding Seminar Nasional “Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Dan
Sumatera Lingkungan Binaan”
Utara/Danau Kajian Elemen Atraksi Wisata Pada Kawasan Wisata Air Terjun Sipiso-Piso
Berbasis Geopark (2017)
Toba Proceeding Seminar Nasional “Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Dan
(Geotourism) Lingkungan Binaan”
Membuat Buku Ber-ISBN tentang Pariwista Geopark Kaldera Toba
Seminar AmerAbra 2018; Seminar Internasional lain; Mengusulkan
jurnal ke PERTANIKA Journal; Mengusulkan jurnal ke Tourism and
Hospitality Management; dan jurnal internasional bereputasi lain
Penelitian tentang Geotourism di kaldera Toba (Penelitian jangka panjang yang akan
2-23
Program 2021-
2004-2010 2011-2015 2015-2020
Penelitian 2025
diseminarkandiseminarinternasional,dipublikasikandijurnal
nasional/internasional terindex dan terakreditasi serta menghasilkan buku ber-ISBN)
2-24
BAB 3
TUJUAN DAN MANFAAT
Penelitian ini bertujuan untuk membuat model penataan kawasan wisata di Air
Terjun Sipiso - piso berdasarkan geopark yang dapat diaplikasikan pada program
pengembangan wisata di Kawasan Danau Toba. Selain itu, model penataan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan pariwisata yang ada di Air Terjun Sipiso-
Piso khususnya pariwisata berbasis geopark sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan dari masyarakat setempat.
Penelitian ini kiranya dapat bermanfaat bagi semua kalangan, seperti akademisi,
sebagai sumber referensi ilmiah dalam mengkaji bidang ilmu sejenis, khususnya
mengenai penataan kawaasan wisata bedasarkan geopark. Selain itu, peneliti juga
mengharapkan penelitian ini bermanfaat bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Sumatera Utara, sebagai referensi dalam meyusun strategi peningkatan
perekonomian di Air Terjun Sipiso - piso melalui peningkatan jumlah wisatawan
yang mengunjungi wilayah tersebut. Untuk Dinas Pariwisata Kabupaten karo,
sebagai referensi dalam mengembangkan kawasan wisata Air Terjun Sipiso – Piso
berbasis geopark. Dan juga Pelaku Industri Pariwisata, sebagai bentuk promosi
destinasi wisata di Air Terjun Sipiso - piso kepada wisatawan untuk meningkatkan
kunjungan wisatawan. Begitupula dengan Arsitek/Perencana, sebagai model
panduan penataan kawasan pada kawasan wisata berdasarkan geopark. Dan yang
terpenting bermanfaat juga bagi Masyarakat lokal, untuk memajukan usaha
pariwisata dan memberi peluang bagi peningkatan ekonomi lokal.
3-1
BAB 4
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan selama dua tahun mulai tahun 2017 sampai 2018. Lokasi
penelitian yang dipilih adalah Air Terjun Sipiso – piso, Kecamatan Merek,
Kabupaten Karo yang terletak 100 km dari Kota Medan dan 37 km dari Kota
Berastagi (Gambar 1). Wilayah ini dipilih menjadi lokasi penelitian karena
merupakan salah satu kawasan titik geosite Danau Toba dan juga salah satu
wilayah destinasi wisata di Provinsi Sumatera Utara.
Air Terjun Sipiso - piso adalah salah satu bagian dari Kaldera Toba dengan
keindahan alam yang menakjubkan. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh
pengunjung di Air Terjusn Sipiso-piso seperti berpiknik bersama keluarga ataupun
sekedar berfoto menikmati keindahan alam dari Air Terjun Sipiso-piso. Untuk
mencapai dasar air terjun pengunjung memerlukan waktu yang lama sekitar 1 jam
dengan menuruni anak tangga dan untuk kembali ke atas pengunjung harus
menaiki anak tangga yang sama.
4-2
4.2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, baik untuk tahun pertama ataupun
untuk tahun kedua (penelitian sekarang). Cara pengumpulan data dilakukan
dengan observasi langsung ke kawasan kajian (observasi, pengukuran,
dokumentasi, dan penggunaan drone) dan melakukan depth interview dengan
stakeholder dan para ahli yang terkait. Adapun pemilihan metode ini dilakukan
berdasarkan sebagian berdasarkan penelitian sebelumnya yaitu dimana sebagian
besar penelitian menggunakan metode observasi dan wawancara kepada para ahli
dan stakeholder (Dowling, 2013; Fung & Jim, 2015; Newsome et al., 2012;
Pralong, 2006). Selain itu, peneliti juga mengumpulkan data-data sekunder berupa
peraturan pemerintah, peraturan pembangunan kawasan wisata, dat BPS, dan
lainnya. Selanjutnya peneliti mengumpulkan data yang diperolebh dan
menggabungkan hasil analisa serta membuat kesimpulan yang menghasilkan
model penataan kawasan wisata Air Terjun Sipiso-Piso berdasarkan Geopark.
Secara sistematis, alur kerangka penelitian ini digambarkan dalam Gambar 2.
4-3
4.3. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini yang dijadikan acuan bagi peneliti untuk membuat model
penataan kawasan wisata Air Terjun Sipiso – Piso berdasarkan Geopark dengan
menghubungkan variabel dari geopark dengan variabel dari penataan kawasan
(Gambar 3).
4-6
budaya
Jalan Geodiversity Kondisi fisik jalan observasi
Biodiversity secara keseluruhan
Culture
Street Geodiversity Kondisi street observasi
Furniture Biodiversity furniture:
Culture Tempat duduk
Tempat Sampah
Lampu Jalan
Toilet Umum
Penunjuk Jalan
Keseluruhan Shop Souvenir observasi
(kondisi fisik)
Generator Geodiversity Aktivitas terkait Observasi dan
Support geodiversity wawancara
(pameran, tur mini,
dll)
Biodiversity Aktivitas terkait Observasi dan
biodiversity wawancara
(pameran, tur mini,
dll)
Culture Aktivitas terkait Observasi dan
culture wawancara
(pameran, festival,
kegiatan budaya, dll)
Papan Keseluruhan Pusat Infomasi observasi
Informasi Papan nama lokasi
Kondisi fisik papan
informasi
(dikenali, mudah
dibaca, pesan yang
jelas, dan
kesinambungan
perletakan papan
informasi)
Geodiversity Info point terkait observasi
geodiversity
Promosi terkait
geodiversity
Biodiversity Info point terkait observasi
4-7
biodiversity
Promosi terkait
biodiversity
Culture Info point terkait observasi
culture
Promosi terkait
culture
Presevasi Geodiversity Kegiatan preservasi Observasi dan
terkait geodiversity wawancara
Biodiversity Kegiatan preservasi Observasi dan
terkait biodiversity wawancara
Culture Kegiatan presevasi Observasi dan
terkait culture wawancara
Metode pengumpulan data menggunakan dua cara yaitu, observasi langsung dan
interview/ depth interview. Data observasi dilakukan untuk mengumpulkan data
fisik kawasan kajian. Data fisik kawasan tersebut berupa foto-foto yang digunakan
dengan tujuan merekam bukti-bukti berupa ciri-ciri fisik, penggunaan dan
aktivitas, dan hal lainnya yang membutuhkan bukti-bukti. Selain
mendokumentasikan keadaan fisik yang ada, juga dilakukan pengukuran dan
dokumentasi menggunakan drone agar lebih akurat. Berikut adalah elemen-
elemen yang diobservasi, didokumentasikan, dan diukur (Tabel 2).
4-8
ELEMEN YANG DIOBSERVASI
STREET FURNITURE
Tempat Duduk
Tempat Sampah
Lampu Jalan
SIGNAGE
Papan Nama Lokasi
Penunjuk Jalan
Signage Jalan
Signage wisata
Signage Informasi
Info Geopark
Panel Geosite
BANGUNAN
Shop Souvenir
Tempat Makan
Pusat Informasi
Toilet Umum
Tempat Ibadah
Stop Point
AKTIFITAS
Kegiatan Presevasi
Kegiatan Budaya
Aktivitas Geopark
Aktivitas Wisatawan
Aktivitas Penduduk
DAFTAR PERTANYAAN
1. Apakah anda tahu soal Geopark kaldera Toba? Apa yang anda ketahui?
4-9
DAFTAR PERTANYAAN
2. Usaha- usaha apa yang telah dilakukan oleh pemerintah terkait dengan program
geopark?
3. Apakah ada perubahan setelah adanya program geopark? (misal peningkatan
wisatawan, dll)
4. Apakah masyarakat juga dilibatkan dalam program –program tersebut?
5. Kendala apa yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengembangkan program
geopark?
6. Apakah terdapat aktifitas- aktifitas terkait geopark, misalnya seperti
pameran, tur mini, atau penjelasan (tur guide/ranger) tentang sejarah
terbentuknya sipiso-piso?
7. Apakah ada aktifitas terkait dengan flora dan fauna yang ada disekitar
sipiso-piso?
8. Apakah ada aktifitas terkait dengan kebudayaan karo di sipiso-piso,
misalnya fesitval dan sebagainya?
9. Apakah sudah ada promosi yang dilakukan terkait dengan geopark di
sipiso-piso? Seperti apa bentuknya?
10. Apakah terdapat kegiatan atau usaha untuk menjaga (preservasi)
bebatuan-bebatuan bukti terbentuknya sipiso-piso?
11. Apakah terdapat kegiatan atau usaha untuk mejaga (preservasi) flora dan
fauna di sipiso-piso?
12. Apakah terdapat kegiatan atau usaha untuk menjaga (preservasi) budaya
di sipiso-piso?
13. Bagaimana keamanan yang ada di air terjun sipiso-piso? Terutama ketika
turun ke bawah? Apakah ada tim penyelamat jika terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan?
14. Bagaimana keamana di bukit sipiso-piso? Apakah ada tim penyelamat
jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan?
15. Apakah sudah terdapat Pusat informasi disini?
16. Apakah masyarakat dan wisatawan sudah mengetahui bahwa tempat ini
adalah bagian dari geopark danau toba?
17. Apakah terdapat angkutan umum menuju ke sini?
4-10
11
BAB 5
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Tata guna lahan merupakan rencana dua dimensi terhadap fungsi-fungsi sebuah
kota dengan mempertimbangkan daya dukung alam atau kapasitas lingkungannya.
Oleh sebab itu perencanaan tata guna lahan merupakan proses yang sensitif,
dimana keberhasilan fungsi fisik dan sosial ekonomi sangat bergantung kepadanya
(Shirvani, 1985). Dalam membuat rencana tata guna lahan, intensitas penggunaan
lahan, fungsi lahan yang diizinkan di tempat tersebut, dan hubungan antar fungsi
yang ada harus diperhatikan. Jika tata guna lahan tidak direncanakan dengan baik
akan terjadi ruang – ruang yang hilang dan penyebaran fungsi lahan yang tidak
sesuai (Shirvani, 1985; Trancik, 1986). Dalam kawasan wisata, khususnya pada
pariwisata berkelanjutan, tata guna lahan yang tidak sesuai akan merusak kawasan
tersebut dan menjadikan kawasan tersebut tidak berkelanjutan lagi (Berke &
Conroy, 2000; Tyrväinen, Uusitalo, Silvennoinen, & Hasu, 2014).
Penggunaan lahan di Air Terjun Sipiso – Piso, ruang terbukanya masih lebih
banyak dibandingkan dengan lahan terbangunnya. Adapun lahan terbangun yang
ada sebagian besar berupa tempat makan dan toko souvenir, dan terdapat pula
toilet, mushola, dan pendopo – pendopo untuk tempat bersantai dan duduk –
duduk melihat pemandangan (figure 1.). Penggunaan lahan yang berlebihan
dengan mengurangi ruang terbuka yang ada akan merusak keberlanjutan dari
suatu kawasan (Berke & Conroy, 2000; Downs, 2005). Oleh karena itu,
penggunaan lahan di Air Terjun Sipiso – Piso masih dapat dikatakan cukup baik
karena masih banyaknya ruang terbuka yang ada disana.
5-1
Gambar 1. Tata Guna Lahan di Air Terjun Sipiso – Piso
Akan tetapi, sebagian besar ruang terbuka tersebut, jika mengalami peningkatan
pengunjung, dijadikan sebagai lahan parkir (figure 2). Selain itu, 2 tahun
belakangan ini terjadi pembangunan viewpoint yang tidak direncanakan (figure
2). Hal ini jika dibiarkan akan merusak kawasan wisata tersebut karena tata guna
lahan yang berlebihan dan tidak direncanakan akan menjadikan kawasan tersebut
tidak berkelanjutan lagi (Berke & Conroy, 2000; Tyrväinen et al., 2014).
5-2
Gambar 2. Ruang Terbuka yang dijadikan Tempat Parkir dan Viewpoint yang tidak terencana
5-3
Gambar 3. Kondisi Tempat Souvenir, Tempat Makan, Toilet dan Musholla di Air
Terjun Sipiso – Piso
Jika dilihat dari elemen viewpoints, Air Terjun Sipiso-piso sudah memiliki
beberapa veiwpoint dan taman atau tempat duduk duduk (figure 4).
Sayangnya viewpoint dan tempat duduk tersebut tidak terawat dan kurang
direncanakan dengan baik. Terdapat tempat duduk yang rusak dan viepoint
yang akhirnya malah mengahalangi pandangan dari pengunjung untuk
melihat pemandangan Air Terjun Sipiso-Piso. Seharusnya, viewpoint didesain
dengan baik karena viewpoint dapat membuat wisatawan merasakan
indahnya bebatuan yang merupakan hasil dari bentukan alam (ARIMA, 2016).
Selain itu, pada saat turun ke bawah menuju Air Terjun, belum terdapat
tempat stoppoint yang memadai agar pengunjung dapat berhenti sejenak.
Adapun tempat-tempat berhenti posisinya tidak direncanakan ada yang
terlalu berdekatan ada pula yang sangat jauh. Hal ini sangat disayangkan,
seharusnya stoppoint dibuat agar pengunjung tidak merasa lelah dan
menikmati perjalanan mereka (Rahman, Ginting, Narisa, & others, 2018).
5-4
Gambar 4. Kondisi Tempat Duduk di Air Terjun Sipiso – Piso
Tempat parkir di Air Terjun Sipiso-piso bisa dikatakan cukup memadai, namun
tidak ada perencanaan yang baik, karena jika pengunjung yang dapat banyak
kendaraan pengunjung terparkir di sepanjang jalan dan tidak berarturan (figure 5).
Padahal terdapat tiga tempat parkir di Air Terjun Sipiso-piso (figure 1), akan tetapi
kendaraan parkir tidak beraturan, selain itu tempat parkir yang paling luas sangat
jarang dimanfaatkan oleh pengunjung (figure 5). Padahal seharusnya tempat
parkir harus terorganisir dengan baik, karena dapat mempengaruhi kepuasan
wisatawan dan membuat mereka ingin kembali ke tempat tersebut (Nurlisa
Ginting, Rahman, & Nasution, 2017).
5-5
tentang apa itu geotourism dan geopark (Burlando, Firpo, Queirolo, Rovere, &
Vacchi, 2011; Rahman et al., 2018).
Meskipun sudah terdapat jalur khusus untuk pejalan kaki namun pada beberapa
fungsi seperti tempat makan terutama musholla yang letaknya sangat jauh
dibandingkan dengan fungsi lainnya, sama sekali tidak memiliki fasilitas pejalan
kaki. Wisatawan bisa berjalan disepanjang pinggir jalan dan relaltif aman, akan
tetapi jika sedang ramai pinggir jalan diisi dengan kendaraan seperti mobil dan
sepeda motor sehingga mengharuskan wisatawan berjalan sedikit ke tengah jalan,
hal ini sangat membahayakan (figure 7). Seharusnya, ada jalur pedestrian khusus
yang menghubungkan fungsi satu dengan fungsi lainnya, karena wisatawan jika
5-6
merasa tidak terjamin keselamatannya maka mereka tidak akan ke tempat tersebut
(Mansouri & Ujang, 2016). Hal ini akan membuat fungsi lahan tersebut menjadi
kurang dikunjungi oleh wisatawan.
Air Terjun Sipiso-Piso sayangnya sama sekali tidak memiliki aktivitas yang
banyak yang bisa dilakukan disana selain melihat pemandangan yang indah
sambil duduk atau piknik. Hal ini sangat disayangkan, karean seharusnya sebagai
geotourism area, Air Terjun Sipiso-Piso harus memiliki banyak aktivitas menarik
seperti aktivitas budaya dan edukasi untuk meningkatkan lamanya waktu mereka
berkunjung agar menjaga ke berlanjutannya (Rahman et al., 2018) . Aktivitas
budaya contohnya akan membuat turis merasakan kebudayaan lokal yang dimiliki
daerah tersebut selain itu dalam geotourism aktivitas budaya dapat digabung
dengan kegiatan edukasi seperti di Longshuan Geopark, yang memberikan
pelajaran kepada wisatawan tentang bebatuan alam yang ada disana sekaligus
menghibur wisatawan dengan performance budayanya (Nurlisa Ginting et al.,
2017; Ren, Simonson, & Pan, 2013).
Tata guna lahan di Air terjun Sipiso-piso secara penggunaan intensitas lahan
terbangun sudah sesuai dan cukup baik, hanya saja perlu adanya pembatasan
pembanguan tidak terencana yang dilakukan masyarakat setempat dan
penyalahgunaan ruang terbuka untuk tempat parkir. Dari elemen fungsi lahan,
sebagian besar fungsi lahan yang dibutuhkan oleh sebuah kawasan geotourism,
akan tetapi beberapa fungsi penting seperti stoppoint dan pusat informasi masih 5-
7
belum ada. Selain itu posisi dan desain dari viewpoint yang ada beberapa
mengahalangi pemandangan sehingga harus diperbaiki. Begitupula dengan
dengan fungsi lainnya seperti tempat makan, tempat souvenir, dan toilet yang
desainnya kurang representatif. Tempat parkir yang ada juga masih kurang
beraturan sehingga harus diperbaiki. Untuk hubungan antara fungsi satu dnegan
fungsi lainnya, masih belum terdapat sirkulasi yang baik dan mudah untuk
dilewati oleh wisatawan dan masih belum terdapat aktivitas yang menarik untuk
dilakukan oleh wisatawan disana. Oleh karena itu, perencanaan tata guna lahan
yang ada di Air Terjun Sipiso-Piso diperbaiki agar dapat mengatasi masalah-
masalah tersebut (Figure 8).
Perubahan yang dilakukan tidak banyak, adapun perubahan yang pertama adalah
membuat pusat informasi di Air Terjun Sipiso-Piso. Adapun Pusat informasi di Air
Terjun Sipiso-piso tudak dibanguna lagi melainkan mengalihfungsikan salah satu
tempat makan yang ada di bangunan terbesar di Sipiso-piso. Hal ini sangat
disayangkan karena bangunan paling besar yang ada disana hanya dimanfaatkan
untuk tempat makan yang juga tidak menggunakan keseluruhan bangunan
tersebut.
5-8
Gambar 8. Konsep Tata Guna Lahan di Air Terjun Sipiso – Piso
Perubahan yang kedua yaitu mengurangi tempat parkir yang ada di Air Terjun
Sipiso-Piso, tepatnya tempat parkir yang berada ditengah-tengah kawasan Air
Terjun Sipiso-Piso. Perubahan ini dilakukan, selain karena tempat parkir tersebut
sangat menghalangi pemandangan indah yang bisa didapat dari tengah kawasan
Air Terjun Sipiso-Piso juga supaya tempat parkir yang paling besar dapat
dimanfaatkan oleh pengunjung sehingga tidak ada lagi kendaraan yang berdesak-
desakan di bagian tengah kawasan Air Terjun Sipiso-Piso. Selain itu, bagian
tengah tersebut dalam dimanfaatkan sebagai ruang terbuka untuk melakukan
berbagai aktivitas geotourism seperti aktivitas budaya.
5-9
Perubahan lainnya adalah penambahan stoppoint dan jalur pedestrian di sekitar
tempat makan hingga musholla. Penambahan ini dilakukan agar wisatawan ketika
berkunjung dapat merasa nyaman. Penambahan stoppoint akan mengurangi rasa
lelah pengunjung ketika turun menuju lokasi air terjun karena adanya tempat
pemberhentian. Lalu jalur pedestiran disepanjang tempat makan hingga musholla
akan memberikan rasa aman kepada wisatawan ketika berjalan tanpa takut akan
adanya kendaraan.
5-10
Tempat duduk yang ada di kawasan wisata Air Terjun Sipiso-piso hanya daa di
bagian atas saja. Pada bagian jalur trekking menuju air terjun tidak ditemukan
tempat duduk yang memadai, adapun tempat duduk hanya berada di 3 lokasi stop
area yang merupkan tempat berjualan dari pedagan. Padahal tempat duduk atau
tempat beristirahat sangat dibutuhkan di jalur trekking menuju Air Terjun. Tempat
duduk sangat dibutuhkan oleh wisatawan agar mereka dapat merasa nyaman dan
beristirahat sambil melihat keindahan kawasan tersebut (Nasution, et al, 2012).
Tempat sampah di kawasan Air Terjun Sipiso-piso mudah untuk dijumpai bahkan
sudah ada tempat sampah besar diaman semua sampah yang ada di Air Terjun
Spiso-piso dikumpulkan disana dan diangkut oleh Dinas Pertamanan. Sayangnya
kondisinya sudah banyak yang rusak dan masih kurangnya kesadaran dari
wisatawan yang berkunjung, sehingga masih banyak sampah berserakan di
Kawasan tersebut. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari narasumber utama.
“ Kalau tempat sampah sudah cukup, bahkan ada tempat sampah yang besar sudah
disediakan juga. Tapi ya begitulah memang tidak dirawat dengan baik dan masih
kurang kesadaran dari wisatawan. Kalau ramai tambah banyaklah sampah yang
berserakan.”
(Key Respondent : Toruism Activies)
5-11
Elemen tempat sampah sangat penting dalam suatu kawasan wisata karena tempat
yang tidak bersih akan membuat wisatawan merasa tidak nyaman dan tidak ingin
kembali ke lokasi tersebut (Ginting, et al, 2016). Satu elemen street furniture yang
sangat kurang di Air Terjun Sipiso-piso adalah lampu jalan. Ketika sore menjelang
malam penerangan yang didapatkan hanya berasal dari toko tempat warga
berjualan makanan dan souvenir. Hampir tidak ada lampu jalan sama sekali di
lokasi ini, terutama pada lokasi jalur trekking menuju air terjun. Sama sekali tidak
ada lampu penerangan. Padahal pada jam-jam tersebut masih ada pengunjung
yang berada dibawah, hal ini tentunya sangat membahayakan karena bidang yang
dilalui pada penerangan yang cukup sudah sangat sulit terlebih lagi ketika
penerangan tidak ada, tentunya akan semakin sulit. Street lighting dapat membuat
wisatawan merasa aman dan merasa percaya diri untuk mengahbiskan waktu lebih
lama lagi di suatu lokasi wisata (Ginting, et al, 2016).
Signage yang ada di kawasan Air Terjun Sipiso-piso sangat minim. Signage yang
ada hanya signage penunjuk jalan yang ditemukan pada saat di gerbang masuk
lokasi dan signage tempat parkir dan toilet dengan kondisi yang kurang baik.
Signage pada lokasi kawasan wistaa tidak hanya berupa penunjuk jalan tetapi
harus juga berintegrasi dengan infomasi wisatawan lainnya seperti peta, brosur,
penunjuk jalan, panel atraksi hingga pengalaman yang dirasakan disana
5-12
(Newsome, et al, 2013). Pada lokasi jalur trekking menuju air terjun tidak
ditemukan signage sama sekali. Padahal signage sangat dibutuhkan disana untuk
wisatawan dapat mengetahui dimana posisi mereka pada saat itu dan berapa lama
lagi mereka sampai ke lokasi tujuan. Terlebih lagi pada jalur trekking ke air terjun,
signage penunjuk jalan merupakan faktor yang sangat penting (Swarna, et al,
2013).
Sebagai tempat wisata alam, Air Terjun Sipiso-piso memiliki open space yang
cukup beragam. Bentuk-bentuk open space yang ada di Air terjun Sipiso-piso
adalah toko souvenir, warung makan, taman dan pendopo, toilet, serta sebuah
gedung yang digunakan untuk makan-makan dan melihat pemandangan Danau
Toba (see figure 1). Namun, bentuk-bentuk open space tersebut belum memenuhi
kebutuhan open space yang harus dimiliki oleh suatu kawasan geosite (see table
1). Visitor center yang menjadi salah satu hal penting dalam geotourim tidak
ditemukan pada kawasan Air Terjun Sipiso-piso. Visitor center dapat membantu
wisatawan untuk menjawab pertanyaan tentang suatu tempat wisata dan membuat
mereka merasa percaya diri dan mengerti bentuk landscape dari tempat tersebut
agar dapat melakukan aktivitas yang diinginkannya (Ginting, 2016). Informasi
center di kawasan geopark juga sangat dibutuhkan untuk memberi wisatawan
informasi tentang kegiatan apa saja yang bisa dilakukan dan sekaligus dapat
mengedukasi wisatawan tentang apa itu geopark (Ren, et al, 2013). Narasumber
utama yang diwawancarai juga menyesalkan hal tersebut.
“Tidak ada Visitor Center disini, itulah yang masih kurang. Pengunjung jika ingin
dapat infromasi melalui toko-toko yang ada.” (Key Respondent : Local Figure)
5-13
Aktivitas wisatawan yang dapat dilakukan oleh pengunjung disana juga sangat
terbatas. Wisatawan hanya menghabiskan waktu paling lama rata-rata sekitar satu
jam jika mereka tidak turun untuk melakukan trekking ke lokasi air terjun.
Narasumber utama juga menyampaikan hal yang sama.
“ Sudah lebih dari 10 tahun tidak ada acara festival budaya atau musik-musik.
Kalau datang wistawan hanya melihat-lihat air terjun saja setelah itu pulang.”
(Key Respondent : Toruism Activies)
Penting aktvitas wisata seperti festival budaya, ataupun atraksi edukatif, akan
meningkatkan lama waktu wisatawan datang dan keberlanjutan dari wisatawan
yang datang. Festival budaya akan menarik banyak wisatawan dimana mereka
dapat mengalami kebudayan setempat dari suatu tempat wisata (Ren, et al, 2013).
Cultural performance selain dapat menarik wisatawan juga dapat memberikan
edukasi kepada wisatawan tentang geopark, seperti yang ada pada Longshuan
Global Geopark. Cultural performance yang dilakukan tersebut meberikan daya
tarik tersendiri bagi wisatawan (Ren, et al, 2013). Viewpoint adalah salah satu hal
yang penting pada suatu kawasan geosite. Viewpoint pada geopark merupakan
saran edukasi tentang geopark yang paling disukai oleh kebanyakan wisatawan
karena mereka dapat mengalami keindahan dari fenomena suatu geologi yang
tidak memiliki unsur scientific (Arima, 2016). Pada Air Terjun Sipiso-piso sudah
terdapat beberapa viewpoint berupa taman, pendopo, dan gedung pandang (see
5-14
figure 1 number 4,7,8). Dari viewpoint tersebut wisatawan dapat melihat
pemandangan Air Terjun Sipiso-piso dan Danau Toba.
5.4. Sirkulasi
Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk sampai ke Air Terjun Sipiso-piso dari Kota
Berastagi adalah sekitar 1 jam dengan jarak sekitar 49 Km.; dari Kota Medan
sekitar 3 jam 30 menit dengan jarak 112 Km; dan dari Bandara Kualanamu sekitar
3 Jam 40 Menit dengan jarak sekitar 121 Km (sumber google map). Aksesibilitas
menuju Air Terjun Sipiso-piso cukup mudah dilalui dengan kendaraan bermotor,
sayangnya hanya wisatawan yang memiliki kendaraan pribadi/merental kendaraan
seperti motor atau mobil dan datang berkelompok dengan menggunakan bus 5-15
pariwisata saja yang bisa datang ke Air Terjun Sipiso-piso. Tidak terdapat
transportasi umum yang langsung menuju ke lokasi , adapun transportasi umum
hanyalah transportasi lokal yaitu Becak. Hal ini juga didukung oleh pernyataan
narasumber utama.
“ Ya, Kalau Ke Air Terjun Sipiso-piso memang belum ada transportasi umum lain
selain becak.”
(Key Respondent : Local Goverment Official)
Aksesibilitas adalah salah satu faktor yang penting dalam pariwisata agar
wisatawan dapat mencapai destinasi tujuan (Ginting, et al, 2017). Dengan
menggunakan transportasi umum wisatawan yang berjalan kaki juga dapat
mengakses tempat tujuan wisara tersebut (Burlando, et al, 2011). Sehingga, perlu
adanya penambahan transportasi umum ke Air Terjun Sipiso-piso agar
memudahkan wisatawan dalam mengaksesnya. Entrance masuk menuju Air
Terjun Sipiso-piso berada diantara jalan menuju Air Terjun Sipiso-piso dan
Gunung Sipiso-piso. Tarif masuk yang dikenakan per orangnya yaitu sebesar 4000
rupiah. Wisatawan wajib membayar segala hal yang berkaitan dengan pariwisata
ketika berada di suatu kawasan wisata terutama pada kawasan geopark untuk
meningkatkan economy masyarakat lokal dan maintanace dari tempat tersebut
(Olsen, 2003).
Tempat parkir yang ada di Air Terjun Sipiso-piso dibagi 3 lokasi dengan tarif per
kendaraannya sebesar 5000 rupiah. Tempat parkir pertama adalah tempat parki
khusus untuk bus pariwisata, namun juga terkadang ada juga mobil pribadi yang 5-16
parkir disana (see figure 1 number 2). Lalu, 2 tempat parkir lainnya digunakan
untuk parkir mobil dan kereta (see figure 1 number 5, 9). Meskipun tempat parkir
kendaraan yang ada di Air Terjun Sipiso-piso cukup memadai, masih banyak
kendaraan yang tidak parkir pada lokasi parkir dan parkir di jalan. Hal ini karena
kurang teraturnya kendaraan yang terparkir disana. Tempat parkir yang ditata
dengan baik memberikan dampak terhadap kepuasan wisatawan dan membuat
mereka ingin kembali ke tempat tersebut (Ginting, et al, 2017b). Salah satu
contohnya adalah Huangshan Global Geopark yang memiliki 6 pembagian
parking area (Swarna, et al, 2013).
Wisatawan ketika ingin mengunjungi lokasi air terjun harus melewati
pedestrian path yang panjangnya berkisar 700 m dengan ketinggian 200 meter
(sumber google earth) berupa anak tangga yang jumlahnya ratusan dengan 3
tempat untuk beristirahat dimana warga menjual makanan dan minuman (see
figure 1 number 10-13). Dalam menuruni anak tangga waktu rata-rata yang
diperlukan adalah sekitar 40 menit sampai 1 jam dan waktu 1 jam atau lebih untuk
kembali menaikinya. Banyak wisatawan yang mengunjungi lokasi air terjun
berhenti ditengah jalan, dan yang sudah sampai ke bawah merasa menyesal dan
tidak ingin kembali lagi karena mereka kelelahan. Hal ini didukung oleh hasil
wawancara dengan narasumber utama.
“Banyak wisatawan yang sudah turun, tidak mau lagi ke datang, pada kelelahan
semua. Kami warga setempat Cuma bisa menyarankan untuk membawa air
minum yang cukup supaya tidak capek sekali.”
(Key Respondent : Warga Setempat/Pedagang)
“Kalau ada apa-apa terjadi ketika turun, warga-warga disinilah yang bertindak
untuk menyelamatkannya.”
(Key Respondent : Warga Setempat/Pedagang)
5-18
BAB 6
RENCANA TAHAP BERIKUT
Pada tahap ini proses menganalisa sudah selesai dilakukan, laporan juga sudah
selesai dikerjakan. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah memperbaiki
atau menyempurnakan laporan hasil penelitian dimana akan diperiksa dan dikaji
lagi untuk melihat adanya kesalahan dan kekurangan pada laporan penelitian.
Pada tahap ini jurnal yang diajukan kepada penyelenggara seminar telah diterima
dan direview oleh reviewer. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah
memperbaiki dan menyelesaikan jurnal sesuai dengan hasil yang telah di review
dan mengikuti seminar
6-19
DAFTAR PUSTAKA
Burlando, M., Firpo, M., Queirolo, C., Rovere, A., & Vacchi, M. (2011). From
geoheritage to sustainable development: strategies and perspectives in the
Beigua Geopark (Italy). Geoheritage, 3(2), 63–72.
de Silva, S. L., Mucek, A. E., Gregg, P. M., & Pratomo, I. (2015). Resurgent Toba
—Field, chronologic, and model constraints on time scales and mechanisms
of resurgence at large calderas. Frontiers in Earth Science, 3, 25.
Downs, A. (2005). Smart growth: Why we discuss it more than we do it. Journal
of the American Planning Association, 71(4), 367–378.
Ginting, N., Rahman, N. V., & Nasution, A. D. (2017). Increasing tourism in Karo
District, Indonesia based on place identity. Environment-Behaviour
Proceedings Journal, 2(5), 177–184.
McKeever, P. J., Zouros, N. C., & Patzak, M. (2010). The UNESCO global
network of national geoparks. In The George Wright Forum (Vol. 27, pp. 14–
18).
Rahman, N. V., Ginting, N., Narisa, N., & others. (2018). Planning a tourism
landscape in geosite area: Sipiso-piso waterfall. In IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science (Vol. 126, p. 12196).
Ren, F., Simonson, L., & Pan, Z. (2013). Interpretation of geoheritage for
geotourism--a comparison of Chinese geoparks and national parks in the
United States. Czech Journal of Tourism, 2(2), 105–125.
Shirvani, H. (1985). The urban design process. Van Nostrand Reinhold Company.
Retrieved from
https://googledrive.com/host/0B9nTQTtGdxhFS1pubWJQMGxWalk/Urban-
Design-Process-Hamid-Shirvani-51Ni35RrYcL.pdf
Trancik, R. (1986). Finding lost space: theories of urban design. John Wiley &
Sons.
Tyrväinen, L., Uusitalo, M., Silvennoinen, H., & Hasu, E. (2014). Towards
sustainable growth in nature-based tourism destinations: Clients’ views of
land use options in Finnish Lapland. Landscape and Urban Planning, 122,
1–15.
ii
LAMPIRAN
3
4
Abstract: Sustainable tourism has become the most popular industry for the last several years. It is not only one of the
largest source of foreign exchange income for the country, but also help to remain the sustainability in the
future. Geotourism is a part of tourism that prioritizes sustainability of the environment. Improper land use
without further planning can make a bad impact on the tourist area. Therefore, a proper plan for land use in
geotourism is very important. The purpose of this paper is to create a concept in planning the land use of
geotourism area, which is the Sipiso-Piso waterfall, to maintain the sustainability of the place, and also to
increase the quality of the tourist area. The method used in this research is a qualitative method with
literature studies beforehand, followed by interviews with related parties and field observation. The data
obtained is analyzed with elements of land use namely, land use intensity, land function, and relationship
between land’s function. The results show that the land use element in Sipiso-Piso waterfall is still
inadequate and needed improvement.
4
v
1 INTRODUCTION
Tourism is one of the industries that has largest contribution towards the foreign
exchange income for a country (Ginting, Rahman & Nasution 2017). Today, the
concern of tourism revolves around sustainable tourism which not only contribute
towards economic aspects for locals but also maintains the area to be sustainable
in the future (Edgell Sr 2016). Geotourism is a part of sustainable tourism with the
concept of developing an area by prioritizing the natural wealth namely,
geodiversity (the uniqueness of rocks). This concept is used as a tourist attraction
that educates the tourists while prioritizing the involvement of locals and not
neglected the sustainability of the environment (Bujdosó et al. 2015; Dowling
2013). To keep the environment in the tourist area well maintained, a proper
planning in land use is needed. Improper or excessive land use can cause damages
towards the tourist area (ABUHARRIS & Ruddock 2005; Tyrväinen et al. 2014).
Sipiso – Piso Waterfall is one of the geotourism areas of the Caldera Toba, which
exists because of the eruption of largest supervolcano in the world 74 thousand
years ago (Mucek et al. 2017). Unfortunately, Sipiso-Piso does not have any
proper plan for the land use in the area. There are always different changes made
to the area annually regarding the land use. This must be handled properly as
improper land use can lead to the damage on sustainability of the area. Therefore,
this paper discusses how the concept of land use planning so it will be able to
maintain the sustainability of the place and increase the quality of tourism.
v
vi
2 LITERATURE REVIEW
In this study, three elements of land use are: land use intensity, land function,
and the relationship between the land’s functions. The three elements of land use
will be linked to the four elements of geotourism: transportation to geological
features, viewpoints, geo-activities, facilities and infrastructure (Table 1) with the
aim of obtaining the concept of land use planning in geotourism area.
vi
vii
3 METHOD
This research was done to find the land use concept in Sipiso-Piso waterfall. The
method used to collect date is a qualitative method with observations and
interviews. Data from observation is from photographs of the physical conditions
of study area in accordance with the research variables (Table 1). In addition,
interviews were conducted with stakeholders related to geotourism in the study
area, namely tourism activists, government, local figures, geologists and academic
to get their perception in the areas related to land use in geotourism area.
Furthermore, the data obtained is analyzed used the theory of land use and
geotourism to get the concept of land use planning in the geotourism area.
Table 1: Research Variables.
Geotourism Variables
Land Use
Geological Features
Variables Viewpoints
Visiting
Land Use Land used
Intensity for viewpoints
Viewpoints
Land
Park
Function
Stoppoints
Relationship Circulation
between
land’s
functions
Land Use Geotourism Variables
Variables Geo-Activities Facilities
Land used for Land used for
Land Use
geo-activities infrastructure and
Intensity
facilities
Souvenirs Shops
Restaurant & Café
Land Visitors Center
Function Toilet
Parking
Tempat Ibadah
Relationship Cultural Event
between Educative
land’s Attraction
functions
Sipiso-Piso waterfall is part of Caldera Toba with amazing natural beauty. This
waterfall was formed from the explosion of the Toba Caldera supervolcano which
happened 74 thousand years ago (Mucek et al. 2017; Rahman et al. 2018). The
results of this eruption created a panoramic view of nature, cultural and biological
diversity, and the extraordinary types of rocks in Lake Toba area. This eruption
also gave birth to people who have local wisdom and live in harmony with their
nature (Mucek et al. 2017). Many things can be done by visitors in there, such as
vii
viii
picnicking with family or just taking pictures enjoying the natural beauty of the
Waterfall. To reach the bottom of the waterfall, visitors need a long time of about
1 hour down the stairs and to return to the top visitors must climb the same steps
(Figure 1.).
The open space in Sipiso-Piso Waterfall is still more in number than the built land.
The built area is mostly in the form of food and souvenir shops, and also toilets,
mushola, and pavilions for a place to relax and sit and see the scenery (figure 2.).
it is show that Sipiso- Piso Waterfall still has a good land use intensity, because
excessive use of land by reducing existing open space will damage the
sustainability of an area (Berke & Conroy 2000; Downs 2005).
viii
ix
However, most of the open space is used as parking spaces when there were a
lot of visitors. In addition, in the past two years there has been an unplanned
viewpoint construction (figure 3). If this condition is left unchecked, it will
damage the tourist area because excessive and unplanned land use will make the
area unsustainable(Berke & Conroy 2000; Tyrväinen et al. 2014).
The land built in Sipiso-piso Waterfall has various functions to support tourism
activities there (figure 2). When viewed from the element of viewpoints, Sipiso-
piso already has several veiwpoints and a pavillion or seating area (figure 4). But,
the viewpoint and seat were not well maintained and not well planned. There are
broken seats and some viepoints eventually prevent visitors from seeing the views
of the Waterfall. Supposedly, the viewpoint is designed to make tourists feel the
beauty of rocks which are the result of natural formation (ARIMA 2016). In
addition, when going down to the waterfall, there is no adequate stoppoint place
so visitors can’t rest. Whereas the places that stopped were not planned, some
were too close, some were very far away. This is unfortunate, stoppoints should be
made so that visitors do not feel tired and enjoy their journey (Rahman et al.
2018).
ix
x
From the elements of facilities and infrastructure, the land function built in
Sipiso-piso Waterfall is quite complete, there are souvenir shops, eating places,
toilets, places of worship, and parking lots (Figure 2). Nevertheless, although it is
quite complete, the facilities are inadequate conditions, such as souvenir shops
and food places, where the place is less representative and attractive, the existing
toilet is also poorly maintained, as well as places of worship that although new but
not maintain and have no water (Figure 5). These facilities should be well
maintained so that visitors feel comfortable at the tourist attractions, because a
tourist place must have good and adequate supporting facilities to support the
needs of visitors so that they are comfortable, comfortable, and want to return to
the place in the future (Ginting & Sasmita 2018; Inskeep 1987).
The parking lot at Sipiso-piso Waterfall can be said to be quite adequate, but
there is no good planning, because if there are a lot of visitors, their vehicles will
parked along the road and open space. Whereas there are three parking lots at
there (figure 2), but the parking area are irregular, besides that the most extensive
parking lot is rarely used by visitors (figure 6). Supposedly, th parking lot should
be well organized, because it can affect tourist satisfaction and make them want to
return to the place (Ginting, Rahman & Nasution 2017).
x
xi
Despite having quite complete facilities, Sipiso-piso Waterfall does not have an
information center which is one of the most important places that must be in the
geotourism area. The information center can help tourists to get information about
the area of tourist attractions that they visited, especially in the geotourism
information center can inform and offer activities that can be done while
educating tourists about what geotourism and geopark (Burlando et al. 2011;
Rahman et al. 2018).
Between the function of one land use with the other function is related to
circulation. Therefore circulation must be good especially in tourist areas. Good
circulation will make all the functions that exist in an area come alive (Shirvani
1985). Unfortunately the circulation at Sipiso-piso Waterfall has not been well
organized. There is already a special pedestrian route, even in the viewpoint and
leisure areas (figure 7) is specially passed by pedestrians only. However, the road
is damaged and has many holes. Pedestrian paths must be well designed because
tourists will tend to walk around a tourist area if the physical path of the
pedestrian route they are going through is comfortable and adequate (Mansouri &
Ujang 2016).
Although there are already special pathways for pedestrians, but in some
functions such as eating places, especially mushollas that are very far compared to
other functions, there is no pedestrian facilities. Tourists can walk along the edge
of the road and relatively safe, but if it is crowded, the roadside is filled with
vehicles such as cars and motorbikes that require tourists to walk a little to the
middle of the road, this is very dangerous (figure 8). Supposedly, there is a special
pedestrian path that connects one function to another, because if tourists feel that
their safety is not guaranteed they will not go to that place (Mansouri & Ujang
2016). This will make some function not visited by tourists.
xi
xii
Sipiso-Piso Waterfall, unfortunately does not have a lot of activities that can be
done there besides seeing beautiful scenery while sitting or picnicking. This is
very unfortunate, because it should be as a geotourism area, Sipiso-Piso must have
many interesting activities such as cultural activities and education to increase the
length of time they visit to keep going (Rahman et al. 2018). Cultural activities for
example will make tourists feel the local culture that the region has, besides that in
geotourism cultural activities can be combined with educational activities such as
in Longshuan Geopark, which provides lessons to tourists about the natural rocks
that are there while entertaining tourists with their cultural performance (Ginting,
Rahman & Nasution 2017; Ren, Simonson & Pan 2013).
Land use in Sipiso-piso Waterfall using the built-in land intensity is appropriate
and quite good, it's just that there is a need improvement for unplanned
development restrictions by the local community and misuse of open space for
parking. From the elements of land function, most of the land functions needed by
a geotourism area are there, but some important functions such as stoppoint and
information center still do not exist. Apart from that the position and design of the
viewpoint are obstructing the view so it must be fixed. Likewise with other
functions such as eating places, souvenir places, and toilets whose designs are less
representative. The existing parking space is still not well organized so it must be
repaired. For the relationship between function one and other functions, there is
still no good circulation and easy for tourists to pass through and there are still no
interesting activities to be done by tourists there. Therefore, the land use planning
at Sipiso-Piso Waterfall is need to improved to overcome these problems (Figure
9).
xii
xiii
Changes that made are not many, as for the first change is to make an
information center at Sipiso-Piso Waterfall. The information center will used one
of the biggest building in Sipiso-piso that used to be dining place only. This is
very unfortunate because the largest building there is only used for eating places
that also do not use the entire building. So, instead of create new building, the
information center used that building instead.
Other changes are the addition of stoppoints and pedestrian paths around the
dining area to the musholla. This addition is done so that tourists when visiting
can feel comfortable. The addition of stoppoint will reduce visitors' fatigue when
climb down to the location of the waterfall. Then the pedestrian path along the
dining area to the musholla will give tourists a sense of security when walking
without fear of a vehicle.
5 CONCLUSIONS
Sipiso-Piso Waterfall, seen from the land use is already good enough. The three
elements of land use, namely land use intensity, land function, and relationships
between functions are quite good. However, even so there are still some
deficiencies in these three elements. In the element of land use intensity because
xiii
xiv
there is no land use plan, there are some unplanned viewpoint developments. In
the element of land function, there is still an important function in the geotourism
area which is not owned by Sipiso-Piso Waterfall, namely Stoppoint and
information centers and irregular parking spaces. In the element of relationship
between functions, circulation for pedestrian pathways is still not good and
adequate. Therefore, this paper provides the concept of land use planning to
address these problems. Unfortunately, not all problems can be solved by
conceptualizing land use planning, such as the problem of less representative
building design and less geotourism activities that cannot be resolved with land
use planning. Therefore, the author recommends a study of other planning
elements in the Sipiso-Piso Waterfall geotourism area to complete this research.
ACKNOWLEDGEMENTS
REFERENCES
ABUHARRIS, M.R.A.T. & Ruddock, L. 2005, ‘Land-use planning and sustainable tourism development in
Libya’, June 13th to the 15th of 2008 Athens, Greece, vol. 97.
ARIMA, T. 2016, ‘Overview: The educational capabilities of geoparks: From education to learning’, Journal
of Geography (Chigaku Zasshi), vol. 125, no. 6, pp. 775–8.
Berke, P.R. & Conroy, M.M. 2000, ‘Are we planning for sustainable development? An evaluation of 30
comprehensive plans’, Journal of the American planning association, vol. 66, no. 1, pp. 21–33.
Bujdosó, Z., Dávid, L., Wéber, Z. & Tenk, A. 2015, ‘Utilization of geoheritage in tourism development’,
Procedia-Social and Behavioral Sciences, vol. 188, pp. 316–24.
Burlando, M., Firpo, M., Queirolo, C., Rovere, A. & Vacchi, M. 2011, ‘From geoheritage to sustainable
development: strategies and perspectives in the Beigua Geopark (Italy)’, Geoheritage, vol. 3, no. 2, pp.
63–72.
Dowling, R.K. 2011, ‘Geotourism’s global growth’, Geoheritage, vol. 3, no. 1, pp. 1–13.
Dowling, R.K. 2013, ‘Global geotourism--an emerging form of sustainable tourism’, Czech Journal of
Tourism, vol. 2, no. 2, pp. 59–79.
Downs, A. 2005, ‘Smart growth: Why we discuss it more than we do it’, Journal of the American Planning
Association, vol. 71, no. 4, pp. 367–78.
Edgell Sr, D.L. 2016, Managing sustainable tourism: A legacy for the future, Routledge.
Ginting, N., Rahman, N.V. & Nasution, A.D. 2017, ‘Increasing tourism in Karo District, Indonesia based on
place identity’, Environment-Behaviour Proceedings Journal, vol. 2, no. 5, pp. 177–84.
Ginting, N. & Sasmita, A. 2018, ‘Developing tourism facilities based on geotourism in Silalahi Village,
Geopark Toba Caldera’, IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, vol. 126.
xiv
xv
Inskeep, E. 1987, ‘Environmental planning for tourism’, Annals of Tourism Research, vol. 14, no. 1, pp. 118–
35.
Mansouri, M. & Ujang, N. 2016, ‘Tourist’expectation and satisfaction towards pedestrian networks in the
historical district of Kuala Lumpur, Malaysia’, Asian Geographer, vol. 33, no. 1, pp. 35–55.
Mucek, A.E., Danišík, M., De Silva, S.L., Schmitt, A.K., Pratomo, I. & Coble, M.A. 2017, ‘Post-
supereruption recovery at Toba Caldera’, Nature Communications, vol. 8, p. 15248.
Norrish, L., Sanders, D. & Dowling, R. 2014, ‘Geotourism product development and stakeholder perceptions:
a case study of a proposed geotrail in Perth, Western Australia’, Journal of Ecotourism, vol. 13, no. 1,
pp. 52–63.
Rahman, N.V., Ginting, N., Narisa, N. & others 2018, ‘Planning a tourism landscape in geosite area: Sipiso-
piso waterfall’, IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, vol. 126, p. 12196.
Ren, F., Simonson, L. & Pan, Z. 2013, ‘Interpretation of geoheritage for geotourism--a comparison of Chinese
geoparks and national parks in the United States’, Czech Journal of Tourism, vol. 2, no. 2, pp. 105–25.
Shirvani, H. 1985, The urban design process, Van Nostrand Reinhold Company.
Štrba, L., Kršák, B., Molokáč, M. & Adamkovič, J. 2016, ‘Geotourism and geoparks—a sustainable form of
environmental protection’, Production Management and Engineering Sciences, vol. 279,
ROUTLEDGE in association with GSE Research, pp. 279–84.
Trancik, R. 1986, Finding lost space: theories of urban design, John Wiley & Sons.
Tyrväinen, L., Uusitalo, M., Silvennoinen, H. & Hasu, E. 2014, ‘Towards sustainable growth in nature-based
tourism destinations: Clients’ views of land use options in Finnish Lapland’, Landscape and Urban
Planning, vol. 122, pp. 1–15.
xv
xvi
CAPAIAN (Lampirkan bukti-bukti luaran dari kegiatan dengan judul yang tertulis
di atas,
bukan dari kegiatan penelitian/pengabdian dengan judul lain sebelumnya)
1. PUBLIKASI ILMIAH
Keterangan
Artikel Jurnal Ke-1*
Nama Jurnal yang dituju
Klasifikasi Jurnal
Impact factor jurnal
Judul Artikel
Status Naskah (beri tanda √ )
Draf Artikel
Sudah dikirim ke jurnal
xvi
xvii
Sedang ditelaah
Sedang direvisi
Sudah diterima
Sudah terbit
2. BUKU AJAR
Buku Ke-1
Judul :
Penulis :
Penerbit :
xvii
xviii
xviii
xix
xix