Anda di halaman 1dari 296

Menjadi Pemenang

dalam Kehidupan
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang
terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan
penelitian ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan
pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman
sebagai bahan ajar; dan
iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan
yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan
tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
Menjadi Pemenang
dalam Kehidupan
MENJADI PEMENANG DALAM KEHIDUPAN

Marjohan

Desain cover
Nama

Sumber
link

Tata letak:
Usy Izzani Faizti

Proofreader:
Usy Izzani Faizti

Ukuran:
xiv, 282 hlm, Uk: 14x20 cm

ISBN:
No ISBN

Cetakan Pertama:
April 2019

Hak Cipta 2019, Pada Penulis

Isi diluar tanggung jawab percetakan

Copyright © 2019 by Deepublish Publisher


All Rights Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id
v

Meraih masa depan memerlukan perjuangan, salah


satunya melalui pendidikan. Pendidikan yang bermutu
telah menjadi harapan banyak siswa. Mereka mencari-cari
sekolah unggulan. Semangat mereka yang tinggi untuk
menjadi cerdas (smart) perlu diacungkan jempol.
Mereka mencari bimbel (bimbingan belajar) yang
ternama, atau mengunjungi guru-guru privat dengan
harapan bisa sukses di sekolah dan mampu melanjutkan
studi ke perguruan tinggi yang favorit. Ada anggapan
bahwa dengan bermodalkan prestasi akademik yang
sangat bagus akan membuat mereka sukses di masa
depan.
Jadinya banyak remaja (anak sekolah) yang motivasi
belajarnya hanya sebatas bisa menjadi juara kelas, juara
umum, atau bisa menang dalam lomba OSN (Olimpiade
Sains Nasional), atau cerdas secara akademik. Di balik itu
mereka tidak terbiasa untuk pengembangan kecakapan
hidup (soft skill) dalam bentuk kecakapan personal,
kecakapan sosial, dan juga kecakapan vokasional. Telah
menjadi fenomena banyak di antara mereka yang menjadi
vi

cerdas, kaya dengan berbagai informasi, dan mampu


melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang favorit.
Namun setelah menjadi sarjana, ternyata ilmu
pengetahuan yang mereka raih selama kuliah belum
mampu membuat mereka kuat. Teori-teori dan
pengetahuan yang dipelajari selama ini belum mampu
digunakan untuk mewujudkan aktualisasi diri.
Dahulu populasi orang yang pergi kuliah masih
sedikit. Semua yang lulus dari perguruan tinggi mampu
memperoleh pekerjaan dan malah juga ada yang
menciptakan lapangan pekerjaan. Kesadaran terhadap
pendidikan tumbuh terus, maka populasi mahasiswa
semakin bertambah. Dari 100% para lulusan perguruan
tinggi, 80% akan mampu memperoleh pekerjaan,
sementara yang 20% akan menjadi job-seeker atau
pengangguran.
Kesadaran menuntut ilmu pengetahuan bertambah
terus. Setelah itu dikatakan bahwa dari 100% populasi
sarjana baru, hanya 20% mampu yang memperoleh
pekerjaan dan yang 80% akan menjadi pengangguran. Jadi
kondisinya sudah terbalik. Fenomena selanjutnya bahwa
dari 100% lulusan perguruan tinggi, maka total yang
menganggur semakin membengkak. Kecerdasan
akademik, meskipun indeks prestasi sangat bagus, hingga
predikat cumlaude sekalipun, belum tentu bisa menjamin
mereka (sebagian) dalam meraih pekerjaan yang mereka
vii

impikan, apalagi untuk menciptakan lapangan pekerjaan.


Kecuali bagi mereka yang memiliki kecakapan hidup;
punya pengalaman sosial, keterampilan berkomunikasi,
keberanian, kemauan, kemandirian, dll.
Buku ini merupakan gagasan atau opini penulis
yang mengupas seputar masalah pendidikan, terutama
semangat dan motivasi menuntut ilmu. Buku ini diberi
judul: Menjadi Pemenang dalam Kehidupan. Kehadiran
buku ini bertujuan untuk menambah koleksi bacaan
remaja. Berharap agar para remaja memiliki gambaran
tentang masa depan. Bagi mereka hidup ini adalah ibarat
sebuah perlombaan. Mereka berlari melintasi jalan panjang
dan berliku, dan mereka berharap untuk bisa menjadi
pemenang. Selain bacaan remaja, buku ini juga
direkomendasikan buat bacaan para orang tua, karena di
dalamnya juga terdapat paparan tentang parenting.
Penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah Swt
karena buku ini bisa terwujud. Semua berkat rahmat-Nya.
Kemudian ucapan terima kasih disampaikan kepada
Bapak Drs. Asrul, selaku Kepala SMAN 3 Batusangkar dan
para majelis guru, serta berbagai pihak yang memberi
kontribusi atas selesainya buku ini. Selanjutnya, terima
kasih buat Emi Surya (istri penulis), Muhammad Fachrul
Anshar dan Nadhila Azzahra (anak-anak penulis) yang
mana waktu kebersamaan buat mereka telah tersita selama
penyelesaian naskah buku ini.
viii

Penulis membuka diri untuk menerima masukan


berupa saran dan kritikan yang membangun dari
pembaca. Saran dan kritikan dapat disampaikan melalui
email marjohanusman@yahoo.com. Moga-moga buku ini
bisa memberi manfaat.

Batusangkar, Maret 2019

Marjohan, M.Pd.
ix

KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI ix

1 Kecakapan Hidup Memudahkan Masa Depan 1


Apa Tujuan Menuntut Ilmu? 1
Jangan Hanya Sebatas Kecerdasan Akademik 9
Perlu Kecerdasan Non Akademik 12

2 Lima Kekuatan Menunjang Sukses dalam


Belajar 19
Belajar dengan Serius atau Sekadar Asal? 19
Mengatasi Gejala Demotivasi 22
Belajar Secara Total 25

3 Pentingnya Cerdas Buku dan Cerdas di


Lapangan 33
Berburu Label ‚Smart‛ 33
Perbedaan Kultur Berkomunikasi 37
Eksistensi Bimbingan Belajar 39
Perbedaan Gaya Belajar 43
Kritikan Kecil Buat Pendidikan Kita 49
x

4 Long Life Education untuk Menggapai Hidup


Berkualitas 52
Belajar Sepanjang Umur 52
Pengalaman Belajar Warga Dunia 53
Membaca untuk Meningkatkan Kualitas Hidup 57
Autokritik 62

5 Hidup Tidak Sebatas Berteori tetapi Butuh


Proses 66
Hidup Butuh Proses 66
Proses Menjadi Enterpreneur 72

6 Keterampilan dan Keberanian Buat Kehidupan 77


Pilih Teori atau Pengalaman? 77
Menikah adalah Naluri 80
Hidup Harus Terampil 85

7 Melejitkan Kecerdasan yang Berimbang 91


Quantum Quotient 91
Lingkungan Rumah yang Mencerdaskan 95
Quantum Learning 98

8 Kemampuan Akademik dan Pengalaman Kerja


yang Berimbang 105
Ilmu Pengetahuan Bisa Jadi Usang 105
Konsep Sukses di Sekolah 108
Proses Jalan Hidup Presiden Sukarno 113
xi

9 Kriteria Memilih Profesi 121


Memilih Profesi 121
Memiliki Self Determination 126
Tipe Pekerjaan Berdasarkan Bentuk Kepribadian 135

10 Membangun Pengalaman Sambil Menuntut


Ilmu 139
Siswa dan Literasi 139
Bukan Sebatas Nilai yang Tinggi 143

11 Cerdas Bermental Sopir atau Bermental


Penumpang? 148
Buku Pemberi Inspirasi 148
Buruh Migran Bisa Jadi Lebih Cerdas dari
Mahasiswa 151
Self Sebagai Kendaraan Kita 154
Belajar Berpikir atau Sebatas Pandai Menghafal 156
Cerdas Sebatas Memindahkan Isi Buku ke Otak 159
Fenomena Kehidupan yang Terbalik 163

12 Percepatan Belajar untuk Merespons


Perubahan 168
Kosakata yang Menghilang 168
Percepatan Belajar 172

13 Buatlah Dirimu “Menarik” Maka Sukses


Segera Datang 177
Mencari Makna Sukses 177
xii

Riset Tentang Kecantikan/Ketampanan 181


Daya Tarik Bisa Datang dari Kualitas
Kepribadian 185

14 Membangun Kualitas Pribadi 189


Pikiran Membuat Arsip Memori dalam Akal 189
Pikiran Membentuk Pribadi Kita 192
Menjadi Pribadi Magnet 201

15 Mengikuti Program Pertukaran Pelajar Ke Luar


Negeri 212
Terinspirasi untuk Ikut Pertukaran Pelajar 212
Tip dan Trick Agar Lolos Seleksi 216
Perbedaan Pengalaman Belajar 221
Lain Indonesia, Lain Amerika 224

16 Banyak yang Pintar, Sedikit yang Kreatif 229


Mengapa Orang Barat Kreatif? 229
Rasa Ingin Tahu Mendorong Kreativitas 236
Eksplorasi untuk Mendorong Kreativitas 243

17 Kebiasaan yang Membuat Seseorang Jadi


Hebat 248
Kemampuan Awal Kita Adalah Menangis 248
Beberapa Langkah untuk Menjadi Hebat 249
xiii

18 Budaya Membaca untuk Melejitkan Potensi


Diri 261
Membaca Di Mana-Mana 261
Kondisi Literasi Membaca Kita 263
Bagaimana Memulai Kegemaran Membaca? 266

DAFTAR PUSTAKA 271


TENTANG PENULIS 281
xiv
1

Kecakapan Hidup
Memudahkan Masa Depan

?
Soft skill atau kecakapan hidup adalah kemampuan
(keterampilan) yang ada dalam diri kita. Kecakapan yang
kita maksud adalah kemampuan dalam mengendalikan
diri, dapat menerima nasihat orang lain, mampu dalam
manajemen waktu, selalu berpikir positif, dll (Warni Tune
S. dan Intan Abdul Razak, 2016). Sebelum membahas
tentang kecakapan hidup, saya akan memaparkan tentang
bagaimana konsep pendidikan menurut masyarakat,
khususnya menurut para remaja secara umum.
Buat apa para remaja harus bersekolah dari kecil
hingga dewasa dan selamanya? Pada umumnya mereka,
terutama para siswa, tahu bahwa belajar itu sangat penting
untuk mengubah nasib mereka. Mereka yakin bahwa
sekolah berguna untuk membuat mereka jadi cerdas, agar
2

kelak bisa jadi pegawai, bekerja di perusahaan besar


sehingga mudah mendapatkan duit yang banyak. Jadi
mereka semua memotivasi diri untuk bersekolah yang
benar. Belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa
memperoleh pekerjaan dengan mudah. Apalagi bila
bekerja di tempat yang basah maka hidup akan berubah—
menjadi kaya raya.
Sebagai konsekuensi maka sekolah yang puya mutu
akan selalu diserbu dan diidolakan. Sekolah ini diyakini
akan mampu mengubah nasib mereka. Sekolah bermutu
akan membantu mereka dalam mempersiapkan diri guna
bisa jebol ke perguruan tinggi favorit:
‚Kuliah di jurusan favorit dan perguruan tinggi
favorit akan bisa membuat aku menjadi orang yang hebat.
Lulusan dari perguruan tinggi favorit akan gampang
bagiku untuk mendapatkan pekerjaan, punya kedudukan
dan punya uang yang banyak‛. Demikianlah mimpi-
mimpi positif yang memotivasi remaja untuk selalu belajar
dengan serius. Mimpi ini dipegang teguh oleh banyak
siswa dan didukung oleh orang tua mereka.
Bagaimana dengan eksistensi orang tua? Untuk
merespons mimpi tersebut, sejak tahap awal pendidikan,
mereka merancang konsep-konsep sukses buat pendidikan
anak-anak mereka. Sejak dini orang tua selalu rajin
merangsang daya pikir atau kognitif anak.
3

Kebiasaan yang begini sangat bagus karena mereka


bisa diberi label sebagai orang tua yang bertanggung
jawab terhadap pendidikan. Mereka adalah orang tua yang
punya visi dan misi buat masa depan putra-putrinya.
Dari usia dini orang tua betul-betul peduli,
mengantarkan anak ke pendidikan PAUD dan TK.
Memberi dorongan semangat, pujian, dan tepuk tangan
bila mereka mampu mengucapkan doa-doa, menyebutkan
angka satu hingga sepuluh, dan melafalkan beberapa
patah kata dalam bahasa Inggris. Decak kagum juga akan
ditumpahkan bila anak-anak bisa menyanyikan lagu-lagu
berbahasa Inggris.
Saat memasuki pendidikan SD, orang tua akan
merancang agenda buat mereka untuk bisa mengikuti
serangkaian kursus, seperti ‚caslistung (membaca, menulis
dan berhitung), kursus bahasa Inggris, hingga kursus
sukses UN (ujian nasional). Pokoknya sejak kelas 1 hingga
kelas 6 sekolah dasar, waktu mereka akan habis di ruangan
les privat.
Selanjutnya begitu masuk ke pendidikan yang lebih
tinggi, di tingkat SMP dan SMA, tentu saja beban materi
pelajaran lebih berat, dan lebih sulit. Sebagian orang tua
akan mencari tahu tentang cara pembelajaran dan juga
penjurusan. Misalnya, bagaimana penjurusan di tingkat
SMA. Banyak orang tua berpendapat bahwa jurusan sains
4

lebih favorite karena akan memberi peluang yang luas bagi


mereka bila kuliah kelak.
Lagi-lagi para orang tua akan menggiring mereka
untuk bisa belajar tambahan. Orang tua memberi sugesti
agar mereka menambah ilmu ke rumah guru,
mendatangkan guru-guru privat atau mendaftarkan
mereka pada lembaga bimbel (bimbingan belajar).
Begitulah gambaran hari-hari anak dan remaja
dihabiskan. Mereka disibukkan dan dimotivasi untuk
persiapan menuju masa depan. Adakalanya mereka
didesak buat belajar tambahan bukan karena kemauan
sendiri, namun untuk memperturutkan ambisi orang tua.
Banyak siswa sekarang yang secara tidak langsung telah
dipersiapkan menjadi manusia karbitan.
Para siswa yang menjadi cerdas secara karbitan
terbentuk karena mereka digegas menjadi siswa yang
cepat mekar, mereka pun cepat matang dan akhirnya cepat
menjadi layu (Dewi Utama Faizah, 2009). Para siswa yang
digegas untuk cepat matang atau pintar, hidupnya
diprogram secara instan sehingga karakter yang terbentuk
adalah karakter karbitan. Maksudnya mereka punya
karakter ‚tidak sabaran‛ yang ingin cepat-cepat untuk bisa
sukses.
Juga merupakan sebuah fenomena bahwa ranah
pendidikan telah menjadi lahan bisnis. Kita dengan mudah
menemukan banyak tawaran belajar dengan paket
5

program instant, program cepat pintar yang sering diberi


label ‚smart.‛ Membaca tawaran ini membuat banyak
remaja jadi tergiur. Mereka menyerbu biro yang
menerbitkan tawaran tersebut. Mereka mungkin memilih
paket cepat pintar berbahasa Inggris agar segara bisa
‚bercas-cis-cus‛.
Budaya instan bermakna budaya yang bersifat serba
terburu-buru. Benar bahwa dalam budaya ini ditawarkan
resep segala sesuatu diwujudkan serba cepat, mudah dan
dadakan. Contoh, untuk program belajar bahasa Inggris
mahir dalam waktu 3 bulan atau 6 bulan.
Ini adalah suatu yang nonsense apalagi kalau IQ
buntu. Sedangkan untuk lahir ke dunia, bayi butuh waktu
9 bulan, dan untuk jadi seorang bayi yang sempurna, dia
butuh waktu 2 tahun. Yang diperlukan adalah kebiasaan
selalu belajar, dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas
(Mudji Sutrisno, 1994).
Lain generasi dulu dan lain pula generasi sekarang.
Banyak generasi dulu lebih terkenal dengan
kemandiriannya. Mereka mencari keterampilan sendiri-
sendiri. Mencari ilmu sendiri, dan juga mencari pekerjaan
sendiri. Mereka menjadi smart karena usaha sendiri—
usaha secara mandiri. Kontra dengan sebahagian generasi
sekarang, yang akibat salah didik—banyak dibantu—
menjadi generasi yang sangat tergantung pada bantuan
lingkungan/orang tua.
6

Penyebabnya tentu saja ayah bunda mereka yang


kurang membuat mereka mandiri. Mereka dibanjiri
dengan berbagai pelayanan atau servis, jadinya mereka
bisa diberi label sebagai ‚generasi yang suka diservis‛.
Generasi servis maksudnya bahwa mereka bisa
menjadi hebat dengan prestasi akademik yang tinggi
bukan semata-mata murni karena kemandiriannya.
Namun karena mereka banyak diprogram dan diberi
servis sejak usia dini (Rhenald Kasali, 2016).
Saat masih balita orang tua mereka mendatangkan
babby sitter buat mengurus kebutuhan mereka. Kemudian
saat usia lebih besar, bersekolah di SD, dan agar tidak
bermasalah dengan mata pelajaran maka orang tua
menyewa (membayar) guru privat untuk datang ke rumah
guna bisa menemani mereka dalam mengerjakan PR, serta
menghadapi ujian-ujian lainnya di sekolah. Itu semua
bertujuan agar mereka bisa menjadi bintang pelajar di
sekolah.
Saya sering mendengar pendapat orang awam
dengan telinga sendiri bahwa generasi sekarang—
terutama para siswa—dijuluki juga dengan ‚generasi anak
mami‛. Generasi yang begini maksudnya bahwa atas
nama kasih sayang dan demi keberhasilan sekolah, maka
para mami membebaskan mereka dari tuntutan ikut
membantu tugas-tugas di rumah. Mereka tidak boleh ikut
merapikan dan mengurus rumah—tidak boleh menyapu,
7

cuci piring, menyetrika, memasak nasi. Itu semua biar


mami yang mengerjakan, dan kalau mami punya uang
lebih maka mami akan menyewa asisten rumah tangga
untuk membereskan semua pekerjaan tersebut.
Pergilah ke rumah-rumah para siswa yang orang tua
mereka sangat ambisius agar mereka bisa menjadi hebat di
sekolah. Di sana mereka dipaksa dan dikondisikan buat
belajar dan belajar sepanjang waktu. Selama berjam-jam
mereka terbelenggu—duduk mengerjakan setumpuk PR
dari sekolah dan juga PR dari guru bimbel. Terlihat bahwa
mereka hanya terbelenggu oleh urusan akademik semata.
Untuk memenuhi kebutuhan sendiri seperti: makan,
pakaian dan pernak-pernik kecil lainnya, semuanya siap
dilayani. Kerja mereka hanya bagaimana bisa mencapai
target jadi orang pintar. Jadinya kegiatan mereka hanya
belajar dan belajar, makan, nonton, dan kemudian kalau
sudah bosan baru main game online.
Apa konsekuensinya? Mereka sekarang jadi tidak
punya kecakapan hidup. Saat menginjak usia remaja,
duduk di bangku SMA, kecanggungan mereka semakin
jelas terlihat. Mereka hanya jadi manusia yang suka
bergantung pada orang tua, kurang mandiri, kurang
terbiasa mengurus diri dengan benar. Maka jadilah mereka
sebagai generasi yang miskin dengan kecakapan hidup—
miskin dengan pengalaman.
8

Tidak terbiasa melakukan hal-hal kecil, tidak mampu


buat mencuci motor, membersihkan sepatu, menyapu
lantai rumah, menyetrika pakaian, hingga mengurus
keperluan lainnya, karena semua sudah diambil alih oleh
mami atau asisten rumah tangga.
Jadinya sebagian mereka tidak ubahnya ibarat
‚seorang raja kecil.‛ Semua kebutuhannya harus dilayani,
maunya tahu beres saja. Mereka telah menjadi manusia
berkarakter instant atau sebagai manusia robot.
Mereka menjadi siswa yang pintar namun hanya
karena diprogram. Didesain agar bisa pintar. Ya...pintar
yang kurang bisa memberi kebaikannya yang banyak.
Alhasil untuk akademik, mereka memang mampu meraih
peringkat yang baik—peringkat 1, 2 dan 3 atau peringkat 5
besar di kelas. Namun kalau hanya sebatas prestasi
akademik itu hanya bersifat fatamorgana—hanya sebatas
cerdas di atas kertas.
‚Bisa dilihat namun tidak terpakai.‛ Atau lagi-lagi
nilai rapornya jadi bagus karena ayah dan bunda rajin
memberi guru cendera mata, hingga sang guru merasa
berutang budi atas kebaikan hati orang tua dan sebagai
konsekuensi tidak berani memberikan nilai ‚apa adanya‛
atau nilai yang lebih objektif.
Memang ada para orang tua (ayah dan ibu) yang
sukses dalam memprogram pendidikan sang anak hingga
mejadi bintang pelajar di sekolah. Nilainya begitu
9

cemerlang dalam rapor dan dalam ijazah. Agaknya para


orang tua juga perlu memahami konsep parenting yang
benar.
Bila dicermati terlihat bahwa para orang tua seolah-
olah mengambil alih ‚peran guru dari sekolah.‛ Terlalu
banyak porsi untuk teaching atau pengajaran. Semestinya
orang tua lebih banyak porsinya untuk educating atau
mendidik, yaitu seperti pembentukan kecerdasan personal
dan sosial anak. Sementara peran guru lebih banyak
porsinya untuk pembentukan kecerdasan akademik atau
teaching.

Banyak remaja yang terlalu mendewa-dewakan


kecerdasan otak atau kecerdasan akademik. Agaknya
mereka juga perlu memahami bagaimana menumbuhkan
potensi diri, misal bagaimana untuk memiliki karakter-
karakter positif seperti ‚peduli dengan tetangga, bisa
beramah tamah, bisa berbagi dengan sesama, bisa bekerja
sama dengan orang lain, terampil dalam membantu diri
sendiri, tidak berkarakter individualis, dll‛.
Walau pada akhirnya mereka mampu memasuki
perguruan tinggi favorit, karena perguruan tinggi juga
merekrut calon mahasiswa berdasar skor akademik.
Karena kesibukan dengan dunia akademik maka secara
10

tidak langsung menyingkirkan penumbuhan karakter-


karakter positif yang kelak sangat menunjang kehidupan.
Proses perkuliahan mahasiswa masa kini juga sangat
besar fokusnya untuk mencapai target akademik. Walau
banyak mereka yang bisa menjadi cerdas dalam ranah
akademik, itu hanya baru sebatas cerdas dengan kertas,
cerdas dengan teori. Namun begitu diwisuda dan menjadi
seorang sarjana baru, mereka seolah-olah terbangun dari
mimpi panjangnya. Sebagian merasakan bahwa
pengalaman akademik saja dari kampus belum
mencukupi. Jadinya mereka melangkah menatap
kehidupan nyata penuh dengan rasa gamang.
Sebagaimana yang ditulis oleh Ruth Callaghan
(2016), mengatakan bahwa: ‚Employers want graduates with
more than just good marks, while good grades may be the only
goal for many students. Employers are looking for much more
from graduates‛.
Sangat benar, bahwa umumnya mahasiswa hanya
berlomba buat mencari nilai akademik setinggi mungkin,
berharap bisa memperoleh nilai cumlaude untuk membuat
orang tua jadi bangga. Kebiasaan ini tidak salah dan
menjadi fenomena di dunia pendidikan. Realita di
lapangan bahwa dunia kerja (perusahaan) lebih mencari
orang-orang yang tidak hanya sebatas bernilai akademik
yang bagus, namun juga harus memiliki kecakapan hidup,
keterampil dan pengalaman sosial yang bervariasi.
11

Ruth Callaghan (2016) lebih lanjut mengatakan


bahwa banyak pimpinan perusahan yang ngetop di
Australia telah berbagi pengalaman dengan mahasiswa di
berbagai universitas di Australia. Mereka mengatakan
bahwa banyak mahasiswa yang yakin dengan prestasi
akademik sebagai indikator satu-satunya yang ditentukan
oleh dunia kerja atau perusahaan.
Ternyata keyakinan ini salah. Memang dalam
pembelajaran di universitas yang dicari oleh para
mahasiswa adalah bagaimana bisa memperoleh peringkat
nilai akademik yang tinggi. Untuk masuk ke dalam dunia
kerja, setelah diwisuda, yang dibutuhkan dunia kerja (oleh
perusahaan) bukan hanya terbatas pada nilai akademik,
namun bagaimana para kandidat juga memiliki
kemampuan selain akademik tersebut, seperti:
‚Leadership, communication skill, problem solving and
customer service—keterampilan dalam bidang
kepemimpinan, kecakapan berkomunikasi, kemampuan
dalam mengatasi masalah dan kemampuan melayani
pelanggan‛. Ini semuanya merupakan kriteria yang
direkomendasi agar bisa dimiliki oleh mahasiswa sebagai
calon pelamar kerja.
Jadi kriteria dunia kerja tidak banyak berhubungan
dengan bagaimana tingginya nilai akademik seseorang.
Kalau sebelumnya banyak pencari kerja yang meyakini
bahwa perusahaan akan mencari orang yang cerdas,
12

mampu bekerja dan nilai akademis bagus. Ternyata ini


merupakan indikator yang sudah ketinggalan zaman.
Karena banyak perusahaan punya kriteria tersendiri dalam
melakukan perekrutan. Perekrutan yang dilakukan bukan
perekrutan tunggal, namun perekrutan yang bertahap,
gunanya untuk mendapatkan personalia yang sangat
cocok dengan atmosfer perusahaan.

Bagaimana dengan faktor-faktor kemampuan


nonakademik, apakah sangat berpengaruh atas kesuksesan
seseorang? Jawaban ini dapat kita temui dengan membaca
profil orang-orang sukses, salah satunya profil singkat
Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat (periode
pertama 2010-2015 dan periode kedua 2016-2021), yang
mana skor IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) saat wisuda
dari jurusan psikologi di Universitas Indonesia tidak
begitu menggembirakan. Namun belakangan dia bisa
merajut kesuksesan, hingga menjadi anggota Parlemen RI
dan juga terpilih dua kali sebagai Gubernur Sumatera
Barat.
Irwan Prayitno, nama lengkapnya yaitu Prof. Dr. H.
Irwan Prayitno, S.Psi., M.Sc. Ia datang dari keluarga
Minangkabau. Irwan menjalani pendidikan menengah di
Padang. Irwan Prayitno adalah anak pertama, memiliki
tiga adik, dari orang tua yang sama-sama dosen. Jadi orang
13

tua yang berpendidikan tinggi biasanya mampu mendidik


anak yang juga cerdas dan berkualitas.
Masa kecilnya yang sering pindah-pindah telah
membuat pengalaman geografi dan pengalaman adaptasi
sosialnya semakin kaya. Irwan menjalani pendidikan
menengah di Padang dan mulai berkecimpung di
organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan
OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMAN 3 Padang.
Selama di SMA, ia meraih juara pertama di kelasnya dan
selalu dipercayakan sebagai ketua kelas. Jadinya Irwan
tidak sebatas jago akademik, namun ia juga punya
keterampilan yang lain, yaitu peduli pada berorganisasi
dan tentunya juga cakap dalam berkomunikasi.
Ternyata orang-orang yang sempat menjadi ketua
OSIS saat di SMA memiliki kemampuan leadership yang
bagus dan pada umumnya sukses setelah dewasa. Ini
dibuktikan pada beberapa teman. Salah seorang teman
saya saat di SMA, namanya Hidayat Rusdi, pernah
menjadi ketua OSIS di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan
setelah dewasa ia sukses berkarier di Perusahaan
Perminyakan; Pertamina.
Teman saya yang lain, juga bernama Rusdi, tetapi
Rusdi Thaib. Saat di SMA ia juga pernah menjadi Ketua
OSIS (di salah satu SMA di kota Solok, Sumatera Barat),
dan setelah dewasa ia berkarier sebagai Dosen Pasca
Sarjana Universitas Negeri Padang dan kemudian menjadi
14

Atase Budaya di Kantor Kedutaan Besar RI, Kuala


Lumpur. Jadi betapa pentingnya para siswa harus
memiliki keterampilan leadership saat masih kecil atau
remaja, dengan harapan setelah dewasa akan lebih mudah
meraih sukses dalam kehidupan mereka.
Selanjutnya tentang Irwan Prayitno, bahwa ia sempat
berkeinginan melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan
teman-temannya. Namun, karena mempunyai masalah
dengan mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas
Indonesia. Setelah tamat SMA pada 1982, ia mendaftar ke
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selama kuliah,
selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan
kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar
kampus untuk berdakwah, mengajar di beberapa SMA
swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar—untuk
mendapatkan tambahan uang jajan. Ini mengakibatkan
kuliahnya tidak lancar. Namun, menurutnya yang ia cari
dalam pendidikan bukanlah nilai semata, tetapi
pengembangan diri.
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam
diskusi-diskusi dakwah dan perhimpunan mahasiswa. Ia
pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Jakarta. Akhirnya Irwan mampu menyelesaikan
kuliahnya pada jurusan psikologi UI, sayangnya IPK
(Indeks Prestasi Kumulatifnya) cukup rendah. Karena IPK
rendah, Irwan memilih tidak melamar pekerjaan di
15

Jakarta. Ia memutuskan pulang ke Padang untuk


berdakwah dan melanjutkan mengajar kursus. Sebelum
mengakhiri kuliahnya, ia telah berpikir bagaimana
merintis yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.
Saat itu saya kuliah di jurusan Bahasa Inggris IKIP
Padang (sekarang menjadi UNP) dan saya juga
menyibukkan diri sebagai pustakawan sukarela pada
Perpustakaan Masjid Al Azhar di Kompleks Pendidikan
IKIP dan UNAND. Di sana saya berkenalan dengan Irwan
Prayitno yang sering membawa anak sulungnya. Dan saya
mengira itu adalah adiknya, ternyata adalah anaknya.
Saya masih ingat bahwa pada awal kariernya, ia
sempat memberi bimbingan konsultasi gratisan bagi
mahasiswa yang mau kuliah melalui kegiatan amal yang
diselenggarakan oleh Yayasan Amal Shaleh di Air Tawar,
Padang. Yayasan ini dibimbing oleh Dr. Muchtar Naim,
seorang sosiolog dari UNAND. Akhirnya Irwan
mendirikan kegiatan bimbingan belajar dan juga menjadi
aktivitas sosial yang lebih profesional. Ia dan teman-teman
membuat kelas-kelas kursus.
Pada 1988, kelas kursus berpindah ke Kompleks
PGAI, Jati. Bermula dari kursus bimbingan belajar, Irwan
membentuk Yayasan Pendidikan Adzkia yang secara
bertahap mewadahi taman kanak-kanak hingga perguruan
tinggi. Secara bertahap sejak 1994, Adzkia membuka
jenjang perguruan tinggi, selain taman kanak-kanak,
16

sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah kejuruan.


Dalam pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu
psikologi yang ditimbanya di bangku kuliah.
Perkembangan Yayasan Pendidikan Adzkia
berpengaruh pada kemapanan hidupnya, mendorongnya
untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995, Irwan
mengambil kuliah di Selangor, Malaysia sambil membawa
serta istri dan anaknya. Namun, karena IPK rendah,
lamarannya sempat beberapa kali ditolak. Teman sesama
aktivis dakwah di Selangor mempertemukannya dengan
Pembantu Rektor UPM (University Putra Malaysia).
Kepada Prof. Hasyim Hamzah, Irwan menyatakan
kesanggupan untuk menyelesaikan studi dalam tiga
semester. Ia mengambil kuliah S-2 bidang pengembangan
SDM (Human Resource Development) di UPM, Selangor.
Tamat satu setengah tahun lebih awal dari waktu normal
tiga tahun pada 1996, ia melanjutkan kuliah S-3 di kampus
yang sama.
Sehari-hari di Selangor, ia harus bekerja keras
mengurus keluarga. Saat itu, ia telah memiliki lima anak.
Dengan istri, ia berbagi tugas karena tak ada pembantu.
Irwan mengaku, di antara kegiatannya, dirinya hanya
mengalokasikan sekitar 10 sampai 20 persen untuk kuliah.
Kegiatan dakwahnya tetap berlanjut. Bahkan, ia
menunaikan dakwah sampai ke London, Inggris dan harus
17

mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dalam perjalanan di


dalam mobil, pesawat, atau kereta api.
Move on yang dilakukan oleh Irwan Prayitno sangat
pesat. Hidupnya mengalir, ia selalu melakukan proses
hingga ia bisa menjadi Ketua Partai Keadilan provinsi
Sumatra Barat, menjadi anggota DPR RI, dan terus menjadi
Gubernur Sumatra Barat. Namun beberapa catatan awal
hanya bertujuan bahwa Irwan Prayitno kuliah ke
Universitas Indonesia bukan untuk mencari pekerjaan,
namun untuk mematangkan pribadi, mengembangkan
pemikiran, intelektual, mematangkan kemampuan
leadership, juga kemampuan komunikasinya serta
keberanian enterpreurship-nya.
Para remaja—terutama siswa dan mahasiswa—di
zaman sekarang perlu tahu bahwa betapa pentingnya
memiliki kecakapan hidup dan keterampilan-keterampilan
yang bervariasi. Selain memiliki kemampuan akademik
juga perlu memiliki soft skill seperti ‚kerja sama,
ketabahan, ketangguhan, kepemimpinan (leadership),
kemampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan
masalah dan pelayanan pada pelanggan‛. Inilah yang
dibutuhkan oleh perusahaan (dunia kerja). Juga mereka
perlu tahu bahwa setiap perusahaan memiliki iklimnya
sendiri-sendiri. Ada perusahaan yang bersifat sangat
formal dan menerapkan konsep hierarki, dan juga ada
perusahaan yang suasananya lebih rileks dan informal.
18

Dunia kerja tetap selalu mencari (membutuhkan)


orang yang berpribadi atraktif dan punya soft skill—
keterampilan serta pengalaman yang spesifik. Untuk
mengetahui ini dunia kerja akan memberikan penilaian
melalui: ‚action oriented, willing to speak up, willing to
brainstorming, and willing to have the opinion‛.
Jadi dari paparan di atas dapat disimpulan, sekali
lagi, bahwa soft skill—kemampuan dan pengalaman yang
bervariasi akan memudahkan jalan bagi kita dalam
mendapatkan karier di masa depan.
19

Lima Kekuatan Menunjang


Sukses dalam Belajar

?
Menuntut ilmu dan mendapatkan pengalaman
menjadi target remaja, utamanya para siswa dan juga
mahasiswa. Setiap awal tahun akademik banyak mereka
yang memburu sekolah dan perguruan tinggi favorit,
karena sekolah dan kampus tersebut punya label unggul.
Para siswa berburu sekolah. Calon mahasiswa berburu
perguruan tinggi. Berharap bisa kuliah di pulau Jawa, di
universitas yang bergengsi di provinsi, atau akademi dan
sekolah kedinasan yang ternama. Kalau mungkin terus
studi ke luar negeri.
‚Apa sukses studi itu hanya ada di Eropa, di Jepang,
Amerika, Melbourne, di Yogyakarta atau Bandung?‛
‚Tentu saja tidak.‛ Sukses studi bisa terjadi di mana-
mana. Tentu sukses studi juga bisa terjadi di dekat kita.
20

Cara untuk meraih sukses tergantung pada proses pribadi


yang kita lakukan. Namun ada remaja dalam studi hanya
sebatas ikut-ikutan.
‚Orang sekolah maka dia juga sekolah‛. Bagaimana
eksistensi remaja yang begini? Terhadap mereka mungkin
dapat dipaparkan kalimat pelesetan seperti:
‚Sekolah buat pergaulan, buku rapor sebagai
undangan dan uang sekolah sebagai sumbangan.‛
Ya gambaran mereka yang demikian kalau mereka
menuntut ilmu secara asal-asalan. Mereka biasanya sering
berurusan dengan guru BK (Bimbingan Konseling) di
sekolah.
Ternyata bagi yang sudah berstatus sebagai
mahasiswa, juga banyak yang terjebak bergaya belajar
sebatas ikut-ikutan. Sebahagian mereka mengikuti proses
kuliah tanpa target. Hanya sebatas ‚4D‛ yaitu ‚Datang,
Duduk, Dengar dan Diam saja‛ di dalam kelas. Sementara
itu di tempat kos aktivitas mereka juga tanpa target. Yaitu
hanya sebatas melakukan rutinitas, seperti: makan,
minum, menghafal, mengkhayal, hura-hura, main game,
dan sampai begadang tidak karuan. Padahal sang dosen di
kampus mungkin pernah berkata:
‚Anda sebagai seorang mahasiswa telah menjadi
kaum intelektual. Anda punya peran dalam sosial yaitu
sebagai ‚social agent of change‛ atau agen perubahan sosial
di tengah masyarakat‛.
21

Tetapi kalau demikian gaya belajar dan gaya hidup


mereka, apakah pantas disebut sebagai agent of change? Oh
tentu saja belum pantas.
Sekali lagi, bagaimana perilaku remaja dalam belajar
atau dalam kuliah? Ternyata juga bervariasi. Ada yang
rajin dalam mengikuti proses pembelajaran. Semua waktu
mereka curahkan untuk kegiatan akademik.
Ada yang hanya sebatas kutu buku. Mereka hanya
sebatas terbenam dalam tumpukan buku-buku teks—
hingga tidak punya kesempatan untuk bersosialisasi.
Mereka menjadi orang-orang yang kurang tertarik dalam
bergaul dan pada akhirnya akan memiliki karakter yang
kaku, dingin, dan kurang peka terhadap orang lain. Walau
mereka kelak bisa meraih prestasi yang tinggi dalam
pekerjaan namun mereka tetap akan menjadi orang yang
kaku.
Remaja juga punya orientasi yang berbeda-beda
dalam studi. Ada yang sebatas berorientasi pada
akademik. Ada yang senang berorganisasi, ada yang
berkarakter produktif dan ada yang melakukan studi
tanpa target sehingga mereka terjebak menjadi orang yang
selalu bengong.
Yang bergaya study oriented atau academic oriented.
Masa muda habis hanya untuk berkutat dengan buku teks,
diktat dan buku-buku pelajaran, tujuannya agar bisa
memperoleh nilai sempurna pada setiap mata pelajaran.
22

Ada pula yang hanya senang berorganisasi, namun masa


bodoh dengan urusan belajar. Ya ujung-ujungnya jadi
gagal dalam bidang akademik.
Selanjutnya ada yang telah berkarakter produktif.
Yaitu bagi mereka yang memiliki agenda hidup—punya
aktivitas yang terjadwal, mulai dari membaca buku, kuliah
(bersekolah), berolahraga, beribadah sampai
merencanakan agenda-agenda hidup lainnya. Namun juga
ada yang bengong saja sehingga tidak tahu apa yang mau
dikerjakan. Mereka hanya pandai menghabiskan waktu
dalam box warnet—duduk terpaku di depan komputer
untuk bermain game atau kecanduan nonton TV selama
berjam-jam.

Bagi remaja yang tidak tahu cara mendesain kegiatan


tentu akan sulit untuk memulai sebuah kegiatan yang
bermanfaat, misalnya mengerjakan tugas sekolah, mencuci
pakaian, atau membantu orang tua. Ada gejala penyakit
yang sering melanda remaja (pelajar dan mahasiswa),
yaitu banyak tidur, boros (buang buang uang terhadap hal
yang tidak perlu), menganggap sepele terhadap tugas-
tugas sekolah, kecanduan talk maniac (gila ngobrol pake
HP), playing game maniac (gila main game), dan senang
hura-hura. Idealnya mereka harus menyadari kebiasaan
23

negatif ini, karena kebiasaan ini kalau sudah menjadi


rutinitas, maka akan berubah menjadi karakter kita.
Andai gejala ini terjadi pada diri seseorang, ini
memberi indikasi bahwa dia sedang mengalami
demotivasi, yaitu merosotnya motivasi. Keadaan
demotivasi juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain: kondisi finansial yang lemah, faktor dalam diri
dan faktor luar diri yang kurang mendukung.
Untuk faktor luar diri (eksternal) seperti: keadaan
lingkungan rumah yang hiruk pikuk, tetangga yang lemah
SDM-nya, teman-teman yang lemah motivasi, sekolah
yang lemah manajemen, dll. (Sahar F. Abu Jarour, 2014).
Untuk meng-counter (mencegah) gejala-gejala demotivasi
tersebut (Dian Wibowo Utomo, 2009), ada 4 hal yang bisa
dilakukan, yaitu seperti:
a. Segera membuat prioritas, membagi waktu secara
efektif, mencari alternatif solusi dan melakukan
silaturahmi kepada sahabat dan orang-orang yang
memiliki inspirasi dan motivasi hidup.
b. Kemudian, bacalah buku-buku dan berbagai artikel
dari perpustakaan dan internet untuk penambah
semangat hidup atau motivasi.
c. Kalau ingin sukses, maka cobalah membuat agenda
hidup—tentukan target kegiatan harian, mingguan
dan bulanan.
24

d. Juga perlu melakukan hijrah (andai lingkungan


menjadi penyebab kemalasan kita), karena faktor
lingkungan, seperti teman yang santai akan juga
membuat kita santai.

Sangat dianjurkan untuk mencari teman yang smart


dalam hidupnya. Karena motivasi seseorang bisa menular.
Motivasi teman yang smart (yang cerdas) juga akan bisa
menular untuk menambah motivasi kita. Namun bukan
berarti kita pilih-pilih teman, semuanya teman-teman kita.
Dekatilah teman yang sukses, wawancarai dia dan
petiklah pelajaran yang banyak darinya, bagaimana
mereka belajar. Dan salah satu keterampilan yang
terpenting dalam hidup adalah menganalisa mengapa
orang lain sukses dan mengadaptasi strategi menang
mereka (Coline Rose dan Malcom.J. Nicholl, 2003).
Dalam pelajaran sains di sekolah, kita belajar tentang
hukum causal effect atau pelajaran sebab dan akibat. Hidup
kita juga diwarnai oleh hukum sebab akibat. Hukum sebab
akibat tidak hanya ada dalam pelajaran sains, tetapi juga
ada dalam dunia sastra, sebagaimana terungkap dalam
peribahasa: siapa yang menanam dia yang akan menuai
(memetik). Tebarlah kebaikan, maka cepat atau lambat
maka setiap kebaikan yang kita lakukan akan
membuahkan hasil.
Sebaliknya kejelekan yang andai kita kerjakan, maka
juga akan kembali pada kita. Oleh sebab itu kita perlu
25

lebih banyak menanam kebaikan. Barang siapa yang


bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkannya. Ya
seperti pepatah dalam bahasa Arab yang berbunyi: man
jadda wa jada–barang siapa yang bersungguh-sungguh
akan berhasil. Untuk merealisasikan peribahasa ‚man jadda
wa jada‛ agaknya harus diwujudkan dengan konsep total
learning atau belajar secara total.

Total learning dapat kita lakukan dengan maksud


untuk mengembangkan potensi atau kekuatan yang ada
pada diri kita. Pembahasan tentang belajar secara total ini
terinspirasi oleh paparan pelatihan motivasi yang
diberikan Setia Furqon (2010), seorang motivator berusia
muda yang selalu memotivasi banyak anak muda,
terutama para pelajar dan mahasiswa. Catatan dan
dokumen dari pelatihan tersebut dijadikannya buku yang
berjudul ‚Jangan Kuliah Kalau Gak Sukses‛.
Dia mengatakan bahwa untuk sukses dalam belajar,
paling kurang diperlukan lima fondasi dasar yang berguna
untuk memberi kekuatan bagi kita dalam belajar.
Kekuatan tersebut meliputi: kekuatan spiritual, kekuatan
emosional, kekuatan finansial, kekuatan intelektual dan
kekuatan aksi. Kelima kekuatan tersebut dalam bahasa
Inggrisnya adalah ‚spiritual power, emotional power, financial
power, intellectual power and actional power‛.
26

Saya akan merefleksikan pemikirannya tentang kiat-


kiat sukses dalam belajar, dengan judul: Lima Kekuatan
untuk Menunjang Sukses dalam Belajar. Pembahasannya
adalah sebagai berikut:
1. Spiritual power
Ini berarti kekuatan spiritual. Bahwa kesuksesan
sejati adalah saat kita merasa dekat dengan sumber
kesuksesan itu sendiri, yaitu Allah Swt—Sang Khalik.
Untuk itu ada beberapa kiat yang dapat kita lakukan agar
hidayah (petunjuk) bisa datang. Bahwa petunjuk hidup itu
sendiri harus dijemput, bukan ditunggu. Kemudian kita
harus mencari lingkungan yang kondusif, karena sangat
sulit bagi kita untuk keluar dari lingkaran kemalasan jika
lingkungan itu sendiri mendorong kita untuk jadi pemalas.
Untuk mengatasinya, maka kita harus hijrah, misalnya
pindah kos ke tempat yang mendukung semangat belajar
kita. Kalau sulit untuk pindah kos, maka kita bisa
melakukan hijrah melalui perubahan sikap dan pikiran.
Untuk memperoleh petunjuk buat kehidupan, maka
kita bisa menemukan guru-guru dalam kehidupan. Guru
tersebut adalah orang-orang yang akan memberi kita
inspirasi agar bisa bangkit setelah kita terjatuh. Sang
inspirator kita tidak harus jago dalam ngomong, orang
tersebut bisa jadi sedikit bicara, namun karya dan
perilakunya membuat kita termotivasi.
27

Belajar yang didukung oleh spiritual power,


memandang proses belajar sebagai sebuah ibadah. Kita
harus belajar agar kita menjadi orang yang berilmu,
beriman, dan punya martabat. Berharap setelah itu kita
juga bisa memberi manfaat pada orang lain dan
lingkungan, paling kurang kita bisa memberi pencerahan
untuk lingkungan.

2. Emotional power
Kekuatan ini (kekuatan emosi) juga dapat kita sebut
dengan istilah kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan ini
juga sebagai penentu kesuksesan seseorang. Di dunia ini
ada banyak orang-orang cerdas atau jenius dengan IQ di
atas rata-rata namun pekerjaanya selalu pada level bawah.
Itu terjadi karena kepribadiannya yang kurang disukai
atau sulit bersosialisasi.
Kecerdasan emosional seseorang bisa berkembang,
karena kecerdasan ini merupakan akumulasi dari karakter
individu (seseorang), dan juga dukungan perlu dari faktor
lingkungan. Sikap atau karakter sangat penting dalam
membentuk kecerdasan emosi seseorang. Apakah
seseorang berkarakter ramah, gigih dan ulet—maka itu
adalah contoh dari bentuk kekuatan emosional (emotional
power).
Karakter adalah ibarat sebuah perjalanan yang
panjang. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa karakter
28

adalah akumulasi dari bentuk pikiran, ide yang kita


ekspresikan lewat ucapan dan tindakan, kemudian dipoles
dengan suasana emosi. Orang lainlah yang akan melihat
kualitas emosional kita tadi—apakah di sana ada unsur
‚jujur, peduli, ikhlas, disiplin, dan berani‛, atau malah
yang terlihat banyak unsure ‚suka berkhianat, angkuh,
boros, cepat bosan dan malas‛.
Emosi itu sendiri dapat dilatih. Beberapa cara untuk
melatihnya adalah melalui pembiasaan positif seperti:
tersenyum dengan tulus, bila berjumpa dengan teman ya
jabatlah tangannya dengan penuh antusias. Kalau ngobrol
mari kita biasakan untuk mendengar orang terlebih
dahulu. Kita perlu ingat bahwa tidak bijak untuk membuat
orang tersinggung. Kalau kita sedang ngobrol maka kita
usahakan untuk menatap mata lawan bicara. Ini sebagai
tanda bahwa kita sedang serius dan ia juga akan merasa
dihargai. Kita juga harus ingat dan tahu dengan nama
lawan bicara kita.
Suasana hati adalah bentuk dari emotional power.
Remaja yang sedang menuntut ilmu pengetahuan mutlak
memerlukan emotional power, yaitu suasana hati yang solid
agar mereka mampu meraih mimpi-mimpi tersebut.

3. Financial power
Financial power berarti kekuatan dalam hal keuangan.
Bahwa kita seharusnya memiliki kekuatan keuangan agar
29

bisa sukses dalam studi. Maka banyak orang menganggap


bahwa uang bukanlah hal yang utama. Mereka malu
dikatakan sebagai orang yang matre (mata duitan). Paling
kurang ada dua karakter orang berdasarkan pendekatan
ekonomi atau keuangan. Ada orang bermental miskin dan
orang bermental kaya.
Karakter orang bermental miskin adalah mereka
yang menginginkan hasil (sesuatu) yang diperoleh secara
instan. Mereka lebih suka membeli banyak barang yang
membuat mereka jadi konsumtif. Mereka sulit untuk
berubah, dan senang mengandalkan bantuan orang lain.
Mereka juga berkarakter suka menerima, dan kalau belajar
hanya sebatas untuk mengejar nilai yang bagus.
Sementara itu orang yang bermental kaya adalah
mereka yang karakternya terbiasa menyukai proses.
Dalam shopping ya mereka lebih suka membeli barang
yang produktif. Selanjutnya ia (mereka) bersifat kreatif,
mandiri, senang memberi, dan dalam belajar (kuliah)
bertujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Kesuksesan dalam belajar sangat signifikan dengan
keberadaan financial power. Uang atau finansial adalah
payung buat kehidupan. Keberadaan uang akan
memudahkan kehidupan, utamanya dalam mencukupi
atau menyediakan kebutuhan minimal kita.
30

4. Intelectual Power
Kemudian hal lain yang perlu kita miliki adalah
‚intelectual power‛. Bahwa kita sendiri sedikit banyak juga
harus memahami tentang keberadaan otak. Otak kita
membutuhkan waktu istirahat yang cukup agar otak bisa
beroperasi secara optimal. Maka kita perlu untuk bisa
memperoleh tidur yang bermutu yaitu tidur yang
nyenyak, karena sangat berguna untuk kesehatan otak.
Salah satu fungsi otak adalah membantu kita dalam
memahami apa yang kita amati dan yang kita tiru.
Intelektual bermakna seseorang yang memiliki
kecerdasan yang tinggi. Jadi untuk hidup kita perlu cerdas.
Sehingga ada ungkapan ‚work hard and think smart–bekerja
keras dan berfikir cerdas. Jadinya dalam belajar, kita juga
perlu belajar cerdas—belajar dengan cara menyenangkan,
mencari informasi bagaimana cara menjadi orang yang
mandiri dalam belajar dan juga bercermin pada tokoh
sukses tentang rahasia belajar mereka sehingga
mengantarkan mereka menjadi pribadi yang berkualitas.

5. Actional Power
Ini berarti kekuatan bertindak. Seorang pemuda
(siswa atau mahasiswa) yang menjadi atlet sepak bola
menghabiskan puluhan jam untuk membaca buku sepak
bola, tentu saja susah baginya untuk menjadi sepak bola
yang sejati. Kecuali kalau ia memang sangat rajin dalam
31

latihan menendang bola. Karena praktik menendang bola


lebih berarti dari pada hanya membaca buku teori tentang
bermain sepak bola.
Dikatakan bahwa orang Jepang bisa menjadi cerdas
karena punya kebiasaan mengamati, meniru dan
memodifikasi. Bangsa Jepang bukanlah bangsa yang mula-
mula menemukan kendaraan roda dua dan roda empat.
Namun mereka adalah bangsa yang gigih dalam meniru
serta melakukan atau karena memiliki actional power dan
memodifikasi penemuan bangsa lain. Budaya senang
meniru dan senang memodifikasi tersebut telah membuat
Jepang sebagai negara produsen mobil terbesar di dunia.
Negara Jepang pada mulanya mengamati dan meniru serta
memodifikasi mobil Ford buatan Amerika dan mobil
buatan negara lainnya. Jepang memodifikasinya hingga
bisa menciptakan mobil-mobil yang cantik, seksi dan
hemat bahan bakar.
Jadi dapat dikatakan bahwa sekarang kita perlu
menjadi cerdas. Ya...cerdas dalam belajar dan juga cerdas
dalam hidup. Untuk bisa cerdas atau berhasil dalam hidup
ini maka kita memiliki dan memperdayakan lima kekuatan
yaitu action power, financial power, spiritual power, intellectual
power, dan emotional power. Dengan demikian pelajar dan
mahasiswa yang bakal sukses itu adalah mereka yang
memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual,
kecerdasan emosi, kecerdasan dalam bersikap (beraksi)
32

dan perlu juga dukungan keuangan. Bukan dalam arti kata


kita harus kaya raya (punya banyak uang), namun perlu
ada dukungan uang atau dana buat mendukung sukses
studi kita.
33

Pentingnya Cerdas Buku dan


Cerdas di Lapangan

“ ”
Kata ‚smart‛ sudah begitu familiar di telinga para
remaja. Karena mereka sering menemukan banyak
kegiatan yang memakai kata smart seperti: smart kid, smart
group, smart house, smart mom. Kegiatan yang
menggunakan kata smart sangat disenangi oleh
masyarakat luas, terutama para orang tua. Mengapa
demikian?
Karena mereka ingin anak-anak mereka bisa untuk
menjadi anak-anak yang cerdas (smart kids) dengan
demikian mereka memburu label-label smart. Masyarakat
luas juga banyak yang memburu tempat-tempat yang
punya label ‚smart‛, seperti: smart English, smart math,
smart dance, smart music, dll.
34

Benar-benar kata smart sudah tersemat di hati. Kata


ini malah menjadi branding yang fenomena dalam dunia
bisnis, dunia edukasi, dan aktivitas dalam kehidupan
sosial lainnya. Jadinya bermunculan berbagai frase seperti:
smart book, smart phone, smart technology, smart street, think
smart and work hard, dll.
Kata smart berarti cerdas. Smart book berarti cerdas
dengan buku. Seorang siswa yang mampu melahap semua
buku teks dengan tuntas maka dia adalah orang yang
smart book. Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke
dalam pemahamannya. Bila mengikuti ulangan harian
(UH) maka ia mampu memperoleh skor yang tinggi.
Sementara itu, smart street bukan berarti cerdas di
jalan raya. Smart street berarti seseorang yang pintar-pintar
dalam hidup, tahu menempatkan diri, mampu memahami
perasaan orang lain, mampu berkomunikasi, dll. Remaja
yang smart street adalah remaja yang memiliki life skill atau
kecerdasan hidup.
Para remaja yang belajar di sekolah kalau hanya
sebatas terfokus dengan bidang akademik maka mereka
dikatakan hanya sebatas menjadi smart academic atau juga
sebagai smart book. Ya, hanya sebatas jagoan dengan buku-
buku. Fenomena begitu sangat banyak di dunia
pendidikan.
Ini adalah pengalaman seorang tour leader yang
berhubungan dengan para siswa yang hanya sebatas smart
35

book dan juga smart street. Pemandu wisata ini memimpin


perjalanan wisata satu grup siswa dari sebuah sekolah
favorit. Para siswanya terkenal sangat cerdas, nilai
akademik mereka sangat bagus, bila ada lomba maka
mereka sering menyabet hadiah. Jadinya mereka diberi
label ‚rombongan siswa yang smart book.‛
Perjalanan wisata mereka cukup jauh, dari Sumatra
terus ke pulau Jawa. Melintasi berbagai kota di pulau Jawa
dan suatu ketika mereka berhenti di sebuah rest area dan
setelah itu pergi shopping di sebuah mal megah—dengan
bangunan besar berlantai enam.
Namun para siswa yang hanya sebatas smart book
tersesat dalam mal yang gede dan tidak tahu bagaimana
harus keluar buat berkumpul ke dalam bis wisata yang
telah menunggu cukup lama. Mereka menjadi panik dan
kehilangan akal. Tentu saja tour leader butuh waktu cukup
lama untuk membantu mereka agar bisa keluar dari mal
dan berkumpul dalam bis wisata. Mengapa hal ini bisa
terjadi?
Ya tentu saja karena mereka punya nyali yang kecil,
kurang bisa mengambil keputusan sendiri karena sering
serba diarahkan. Mereka juga minim dengan pengalaman
di luar rumah, kurang memahami liku-liku jalan di alam
ini atau kurang paham dengan smart street sehingga
bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata. Bila
36

liburan mereka lebih suka berkurung di rumah dan larut


dengan gadget saja.
Sementara itu teman-teman mereka yang berasal dari
sekolah yang tidak begitu populer juga pernah melakukan
kunjungan wisata. Rombongan wisata siswa tersebut juga
pernah dibawa tour leader yang sama, dan juga bekerja
sama dengan sekolah mereka.
Tour leader juga mendesain paket wisata, mereka
melewati rute yang sama, berhenti pada sebuah rest area
dan mengunjungi sebuah mal besar buat shopping. Namun
tidak satu orang pun yang menelepon karena merasa
tersesat jalan. Semua mampu mengembara dalam mal dan
keluar mal. Namun mereka juga tidak mematuhi
peraturan perjalanan, karena mereka tidak sempat
membaca peraturan. Dan mereka adalah para siswa yang
kurang bersahabat dengan buku, banyak bermasalah
dengan tugas-tugas sekolah. Jadinya mereka keluyuran
dan susah buat berkumpul dalam bis wisata. Ini pula
problem dengan para siswa yang sebatas smart street.
Negara kita yang sangat luas ini tidak hanya
membutuhkan generasi muda yang hanya sekadar smart
book namun juga tidak begitu butuh dengan yang sekadar
smart street. Yang dibutuhkan adalah para generasi yang
memiliki kecerdasan yang berimbang, smart book dan smart
street.
37

Pendidikan negara maju (seperti Amerika Serikat)


dan pendidikan negara berkembang (seperti Indonesia)
proses belajar mengajarnya punya perbedaan. Perbedaan
tersebut terbentuk oleh perbedaan kultur. Jalaluddin
Rakhmat (1998) mengatakan perbedaan kultur dua bangsa
sebagian bersifat stereotip atau pendapat masyarakat
umum yang sudah digeneralisasi. Bagaimana perbedaan
kultur orang Amerika dan orang Indonesia dalam
berkomunikasi?.
Orang Amerika sejak kecil diajar untuk berkepala
dingin, roman muka keras dan pikiran tenang. Dalam
belajar di Amerika para siswa (mahasiswa) menghormati
guru (dosen) mereka, mereka boleh memiliki pikiran
sendiri, malah kadang-kadang juga boleh berdebat dengan
guru atau dosen untuk menguji gagasannya. Namun
dalam pergaulan antara mahasiswa dan dosen atau antara
guru dan murid bersikap santai dan ramah.
Sementara di Indonesia yang orang-orangnya
terkenal ramah-tamah dalam bersosial cenderung
menggunakan visualisasi dan indirect language–bahasa
yang tidak langsung ke pokok permasalahan. Dalam
proses belajar mereka menghormati dosen atau guru,
mereka tidak terbiasa untuk berdebat karena dosen dan
guru dianggap ahli, dan mahasiswa atau siswa terbiasa
mencatat sebanyak mungkin.
38

Kedua negara ini jadi berbeda dalam kemajuan


sistem pendidikan, mutu kualitas SDM masyarakatnya,
budayanya, dan dalam banyak hal. Praktik pemaksaan
pendidikan di sekolah Amerika juga sangat berbeda
dengan sebagian sekolah di Indonesia. Saya menulis
tentang hal ini bukan bermaksud untuk menyanjung
Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa
Indonesia, negara yang selalu kita cintai.
Adalah fenomena bahwa di Indonesia semua anak
didorong buat belajar dan membaca sebanyak mungkin,
agar mereka menjadi smart book. Kemudian campur tangan
orang tua dalam mendidik yang mana mereka hanya
sebatas pintar memerintah, menyuruh dan kapan perlu
melarang dan marah-marah, dan berpangku tangan
setelah itu.
Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat
memahami dan melahap isi semua buku teks. Kapan perlu
mereka juga harus menghafal semua teori, tanpa
melewatkan titik dan komanya. Alhasil penguasaan
kognitif atau akademik mereka signifikan cukup bagus.
Di sebagian sekolah kita banyak remaja yang belajar
cukup lama. Pagi hingga siang belajar di sekolah dan
setelah pulang sekolah pergi lagi ke tempat bimbel.
Mereka terbelenggu oleh urusan akademik semata. Dalam
kurikulum lama—kurikulum satuan pendidikan
(Kurikulum KTSP)—dikatakan bahwa siswa belajar untuk
39

memahami tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan


psikomotorik.
Meski sudah ada pemahaman ke arah konsep afektif
(sikap) dan praktik (psikomotorik), tetapi itu hanya sebatas
basa-basi. Maksudnya perhatian pada pengembangan
kecakapan hidup dan kecakapan sosial anak didik—atau
afektif dan psikomotorik—tidak begitu banyak terasah,
kecuali bagi mereka yang melebur dengan OSIS.

Urusan akademik memang selalu nomor satu, dari


pagi hingga sekitar jam tiga sore—hingga usai jam belajar
buat pulang ke rumah. Setelah itu para siswa cerdas tadi
pergi lagi ke tempat bimbel (bimbingan belajar).
‚Cukup melelahkan pak.‛ Keluh seorang remaja,
namun orang tuanya masih memaksa agar dia tetap belajar
ekstra agar bisa memperoleh passing grade yang tinggi.
Agar dia bisa jebol di jurusan yang bergengsi dan di
perguruan tinggi favorit.
Ya begitulah sebahagian anak (remaja) mengeluh
karena cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara
dalam ruangan akademik. Hingga mereka pulang ke
rumah dengan rasa letih dan lesu setelah senja tiba. Dan
seperti itulah fenomena konsep belajar para remaja cerdas
di seputar kita.
40

Menambah porsi belajar melalui Bimbel sudah


menjadi sebuah fenomena, terutama bagi para remaja
cerdas. Apalagi ada dukungan orang tua yang punya duit
cukup. Bimbel itu sendiri gedungnya sudah bertebaran di
mana-mana, malah sudah dirancang ke dalam franchise
education atau bisnis pendidikan. Bimbel telah menjamur
dan tinggal memilih mana yang terbaik dan cocok
menurut selera.
Saat saya berusia remaja sekitar 30 tahun yang lalu,
saya sering melihat orang pergi les atau kursus. Bukan
untuk mengikuti kursus mata pelajaran seperti yang
dilakukan oleh para siswa zaman sekarang, namun dalam
bentuk les atau kursus vokasional atau kursus
keterampilan seperti les menjahit, les memasak kue yang
diselenggarakan oleh keluarga Tionghoa.
Juga ada les otomotif, les merangkai elektronik,
hingga les main piano, biola, gitar, les menjahit dan lain-
lain. Les atau kursus seperti itu membuat para remaja lebih
cerdas secara non akademik. Namun kursus-kursus seperti
itu sekarang sudah sangat langka, tidak terlihat lagi.
Yang menjadi fenomena adalah kursus yang
berhubungan dengan bidang studi UN (Ujian Nasional),
yaitu mengolah soal-soal mata pelajaran yang pokok
dalam ujian nasional. Kursus dikemas dalam sebuah nama
yang kita kenal dengan ‚bimbingan belajar‛. Sekali lagi
bahwa sekarang bimbingan belajar sudah melimpah dan
41

coraknya monoton yaitu sebatas kursus buat tujuan


akademik melulu.
Antara satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga
ada kompetisi dalam memperebutkan para siswa yang
cerdas. Agar bisa meraih siswa sebanyak mungkin maka
pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior
gedungnya seapik mungkin. Kapan perlu pakai spray
pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar
bimbel dengan mentor yang memiliki pribadi menarik dan
performance yang anggun, semuanya bisa belajar dengan
mentor pilihan.
Para mentor bimbel yang ramah tamah, bersahabat
dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari pada
guru-guru mereka sendiri di sekolah. Bisa jadi sebagian
mereka sering menjumpai guru-guru mereka berwajah
sewot dan berbahasa yang kurang simpatik.
Fenomena dapat terjadi pada berbagai sekolah.
Bahwa pribadi mentor dan proses pembelajaran pada
bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam
dengan guru yang kadang-kadang ada yang enggak
bersahabat.
Singkat cerita bahwa untuk urusan akademik atau
kognitif seorang siswa menghabiskan waktu sebanyak 10
jam per hari. 8 jam di sekolah dan 2 jam di luar sekolah.
Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik
adalah visi dan tujuan belajar mereka. Yang mereka yakini
42

adalah kalau mereka mampu memperoleh skor akademik


yang tinggi maka kelak bisa memilih jurusan yang bagus,
kuliah di tempat favorit. Setelah kuliah dan wisuda
mereka akan tersenyum karena bakalan berkarier di
tempat yang basah, dan banjir dengan duit.
Orang tua di rumah hanya sebatas memahami
bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat agar bisa
meraih skor dan rangking setinggi langit. Anak perlu
memiliki prestasi akademik yang bagus. Jadinya anak-
anak mesti bisa belajar di sekolah favorit. Orang tua
memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka. Mereka
menyerbu sekolah berlabel unggul, sekolah model, sekolah
perintis, sekolah percontohan, sekolah multitalenta, dll.
Memang jadi fenomena dalam masyarakat bahwa
mereka senang dengan merek atau label. Sebagai contoh,
mereka selalu mencari pakaian atau hal-hal yang berlabel
yang hebat. Bahwa sehelai baju kaos berharga 50 ribu
perak yang ada merek ‚Foot Ball of Europe‛ lebih dikagumi
dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga ‚seratus
ribu perak dan kapan perlu berharga satu juta perak‛
namun pada punggungnya ada tulisan ‚Club Sepak Bola
Bintang Kecil‛, ya tulisan yang labelnya tidak begitu
ngetop.
43

Miftahul Khairi, salah seorang pelajar dari sebuah


SMA Negeri di kota Bukittinggi, yang baru saja pulang
dari Amerika Serikat memaparkan tentang pengalaman
pribadinya. Dia baru saja menyelesaikan program
pertukaran pelajar, YES; Youth Exchange Program‛ selama
satu tahun. Dia senang sekali berbagi cerita dan
pengalaman menarik tentang way of life orang Amerika
dan way of life remaja kita. Ia mengatakan bahwa program
pembelajaran di sekolahnya di Colorado, Amerika Serikat
cukup berbeda dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak teman-temannya yang sekolah di
Bukittinggi, juga siswa-siswa di tempat lain di Indonesia
pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak
pada bersitungkin (asyik) pada satu tujuan akademik saja,
yaitu melahap konsep dan rumus-rumus mata pelajaran.
Dari pagi hingga siang mereka belajar di sekolah reguler
dan setelah itu dari sore hingga malam belajar lagi di
bimbel. Pulang sekolah sudah telat dan pulang bimbel juga
sudah malam. Semua itu membuat badan merasa lelah.
‚Ah pengen tidur saja atau nonton saja lagi, tetapi
takut kena damprat oleh mama dan papa karena dianggap
sebagai anak malas‛. Juga mana ada waktu lagi bagi
mereka untuk ikut bersosial dengan tetangga di seputar
rumah.
44

Banyak saya dengar remaja yang mengeluh merasa


lelah. Fisik mereka yang lesu karena asupan gizi yang
salah dan tidak berimbang. Pada umumnya remaja telah
merasa sebagai orang yang modern gara-gara telah
mengonsumsi jajanan cepat saji ‚Makanan dan Minuman
Bermerek Internasional.‛
Makanan dan minuman tersebut memiliki deskripsi
yang panjang, memaparkan bahwa benda tersebut kaya
dengan zat kimia/adiktif. Kemudian kebiasaan
mengonsumsi minuman langsung dari show case, minuman
dengan label terkesan mewah namun tidak menjanjikan
kesan mendorong remaja untuk ikut berperilaku hidup
sehat. Sekali lagi malah membuat mereka mengadopsi life
style yang mereka anggap mewah. Asupan gizi yang
kurang berimbang membuat mereka jadi kurang sehat.
‚Mana mungkin tubuh dan pikiran bisa jadi segar
dan bugar dengan life style seperti itu‛.
Demikianlah realita cara belajar dan gaya hidup
sebahagian generasi sekarang. Yaitu gaya hidup yang
hanya belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi
mungkin, namun mengabaikan kecerdasan non akademik.
Di negara Paman Sam (Amerika Serikat), dikatakan
bahwa remaja belajar cukup secara alami saja. Mereka
tidak begitu dengan demam bimbel. Tempat bimbel itu
tetap ada. Hanya para remaja yang merasa betul-betul
butuh yang mampir ke sana. Tidak ada fenomena ‚Bimbel
45

Zoom‛ atau deman bimbel yang biasanya terjadi di setiap


akhir tahun akademik.
‚Belajar di sekolah saja itu mereka rasakan sudah
cukup. Mereka tidak perlu lagi pergi ke bimbel‛, kata
Miftahul Khairi menambahkan.
Di sana guru-guru mereka di sekolah sudah cukup
profesional. Penampilan menarik, pribadi hangat, sangat
menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikan
pelajaran dengan cara kreatif dan menyenangkan.
Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan
iklim excellent service atau layanan prima, yaitu: look, smile,
greet, serve, and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika
sebagus kualitas guru-guru bimbel kita, atau malah lebih
lagi.
‚Ya betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi
bimbel lagi. Dan bimbel memang ada, tetapi hanya
dikunjungi bagi yang betul-betul memerlukan layanan.
Kebiasaan di sana, usai sekolah mereka pulang ke rumah
dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi mereka. Bagi
yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang
main badminton, menunggang kuda, main base ball, main
cricket, juga ada yang menekuni badminton, hingga main
karate, dan judo, dll. Mereka menekuninya bersungguh-
sungguh dan sangat menikmati hobinya. Sehingga pada
akhirnya banyak yang menjadi atlet nasional, bahkan juga
menjadi atlet internasional beneran.‛
46

Bagi yang gemar pada bidang musik dan seni,


mereka pada menyerbu theater. Bagi yang tergila-gila
dengan music jazz, music pop, biola, key board maka akan
segera bergabung dengan ekskul untuk mendalaminya.
Juga ada yang mendalami ballet hingga seni lainnya. Saat
remaja mereka menekuni kesenian ini sebagai hobi, namun
akhirnya—saat tumbuh dewasa—mereka bisa berkarier
pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan theater
profesional yang berkelas nasional dan malah berkelas
internasional.
Bagaimana dengan urusan akademik? Ya mereka
juga selalu memahami dan menekuninya. Agama mereka
mungkin selain Islam, namun mereka juga berbuat sesuai
dengan konsep agama Islam; ‚man jadda wa jada–barang
siapa yang bersungguh akan berhasil‛.
‚Sekali lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah
Amerika sebagus kualitas bimbel di kelas bimbel terbaik di
negara kita, atau lebih baik lagi‛.
Eksistensi orang tua di sana seperti ungkapan, yaitu
‚the man behind the gun.‛ Bagaimana baik atau buruknya
sepucuk senjata ditentukan oleh orang yang
memegangnya. Dengan arti kata bahwa mau menjadi apa
seorang remaja juga ditentukan oleh peran dari orang tua.
Jadi orang tua juga punya peran penting dalam
mendukung sukses kehidupan seorang remaja. Sebagian
orang tua di negara kita—sekali lagi—hanya sebatas
47

memahami bahwa anak perlu menaklukan semua mata


pelajaran, jago dengan akademik. Mereka sangat
bersimpati dengan anak yang telah menghabiskan banyak
waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa
memperoleh skor akademik yang tinggi agar kelak mereka
bisa kuliah di tempat yang favorit (?). Setelah itu, seperti
ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karier cemerlang bisa
datang dengan mudah.
Jadinya para orang tua bersimpati bahwa anak-anak
mereka sudah cukup lelah oleh urusan akademik. Mereka
tidak mau mengganggu anak lagi. Mereka berpikir bahwa
anak tidak perlu lagi ikut cuci piring, cuci motor,
merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam
kegiatan sosial di lingkungan tetangga.
Karena anak sudah begitu lelah, mereka perlu
dibantu dan dilayani. Kalau perlu anak harus dimanjakan.
Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa
anak tidak perlu lagi dilibatkan. Dengan demikian anak
jadi miskin dengan keterampilan hidup (life skill) karena
tidak kenal dengan pengalaman harian; memasak, mencuci
malah juga tidak tahu bagaimana orang tua mereka
berbisnis.
Kasihan anak sudah letih, dan akhirnya anak
memilih untuk bersenang-senang, bersantai, sibuk dengan
gadget, terbenam dengan game online atau hanyut dengan
media sosial; Facebook, twitter, BBM, dan fitur lainnya.
48

Karena sudah telanjur suka dengan aktivitas sendiri,


kurang meleburkan diri dengan tetangga atau lingkungan
sosial maka sekarang lahir ribuan generasi yang kurang
peduli dengan sosial.
Orang tua mendidik dengan konsep yang salah, anak
korban (ketagihan) teknologi dan hiburan, hingga
pengalaman pendidikan di rumah dan di sekolah hanya
menciptakan remaja yang hanya sebatas cerdas akademik
namun buta dengan pengalaman harian—kurang punya
life skill—dan juga kurang mampu dalam mengurus diri.
Pendidikan dengan cara begini telah menciptakan
remaja yang hanya sebatas ‚rancak di labuah–sebatas bagus
pada penampilan.‛ Ya hanya sebatas cakep pada
penampilan, smart book but poor in life skill–cerdas dengan
buku dan miskin dengan keterampilan hidup.
Hal yang berbeda dengan orang tua di Amerika—
bukan bermaksud untuk memuji bangsa Amerika—
mereka adalah orang tua yang telah memahami konsep
parenting. Orang tua yang punya ilmu parenting
bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan
anak-anak yang berkualitas.
Jadinya hampir semua orang tua di sana tahu
dengan peran mereka. Orang tua sebagai educator, dan
guru di sekolah sebagai the teacher. Educator berarti
pendidik dan teacher berarti pengajar. Orang tua sebagai
educator punya peran dalam menumbuh kembangkan
49

perilaku dan tanggung jawab anak. Individu yang baik


adalah individu yang tahu dengan tanggung jawab
mereka.
Alhasil setiap anggota keluarga tahu dengan job
description (pembagian tugas) mereka. Setiap orang di
rumah punya tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktivitas di
rumah dan mendorong anak untuk juga aktif dalam sosial.
Hingga sekolah dan rumah-rumah di Amerika
menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.

Ini adalah sebuah kritikan kecil untuk proses


pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Bahwa anak-anak
sekolah di negara ini berlomba-lomba buat belajar ya
hanya sebatas menjadi smart book agar kelak mereka
mampu menuju perguruan tinggi terbaik. Mereka sudah
terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas
akademik—hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga
sangat penting. Namun proses kehidupan membuat
mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena memiliki skor akademik yang bagus, pada
akhirnya mereka mampu menerobos perguruan tinggi
terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkuliahan
hingga tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak
memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang basah
50

buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya


memberikan selembar janji dalam bentuk ijazah dan
transkrip nilai.
Selepas itu bagi sarjana yang hanya sebatas jagoan
dengan akademik namun tidak begitu smart street dan
kurang punya life skill. Mereka kemudian akan dilanda
oleh ketidakberdayaan dan kegalauan akademik. Tidak
banyak yang dapat mereka lakukan setelah menyandang
status sarjana, kecuali sebatas berusaha bertahan buat
menunggu datangnya ‚job fair‛ setiap saat. Atau mengirim
lamaran demi lamaran ke perusahaan, kantor-kantor dan
ke daerah yang jauh dari kampung halaman. Mau pulang
kampung ahh enggan. Biarlah dulu menghabiskan waktu
hingga usia merangkak tua.
Anak-anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA
telah punya self determination (tujuan hidup sendiri) dan
punya pilihan karier yang jelas. Pembinaan dan pilihan
karier mereka sangat jelas. Jadi mereka memilih perguruan
tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo.
Memilih jurusan dan perguruan tinggi bukan sebatas ikut-
ikutan atau gengsi-gengsian. Di sekolah-sekolah Amerika
Serikat tetap ada jurusan yang favorit, namun di sana tidak
ada fenomena memfavoritkan suatu jurusan dan
perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar di sekolah dan perkuliahan di
perguruan tinggi telah menggiring anak-anak untuk
51

menjadi smart book dan smart street. Kemudian semua


orang yang mengerti dengan konsep parenting juga telah
menjadi guru terbaik bagi anak-anak mereka, hingga juga
ikut mendorong mereka menjadi generasi yang cerdas. Ya
cerdas yang berimbang, cerdas dengan buku, cerdas di
lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa tanggung
jawab.
Kualitas pendidikan kita di tanah air, apakah di
sekolah berlabel unggul, apalagi di sekolah biasa-biasa saja
juga bertujuan untuk mendidik para siswa untuk menjadi
cerdas. Namun cerdas mereka mungkin baru sebatas
cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota.
Hanya segelintir saja yang cedas berkualitas provinsi
apalagi cerdas di level nasional. Sementara pendidikan di
sana, juga di negara maju lainnya, seperti di Singapura,
Jepang, Eropa, anak-anak belajar untuk menjadi generasi
cerdas tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk
tingkat internasional.
52

Long Life Education


Untuk Menggapai Hidup Berkualitas

Kata-kata ‚long life education atau belajar sepanjang


kehidupan‛ sering didengungkan di perguruan tinggi.
Saya juga sempat mendengar frasa ini saat menuntut ilmu
di IKIP Padang (sekarang UNP atau Universitas Negeri
Padang). Apakah frasa ini juga digelontorkan di fakultas
dan perguruan tinggi yang lain? Tentu saja iya, bahwa
kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga para remaja
agar mereka bisa menjadi warga yang senantiasa
mengaplikasikan ‚long life education‛ sebagai konsep untuk
meningkatkan kualitas hidup kita.
Konsep long life education juga dideklarasikan oleh
badan pendidikan dunia, Unesco (United Nations
Educational Scientific and Cultural Organization). Unesco
memotivasi agar warga dunia untuk selalu belajar
53

sepanjang hayat mereka. Bukankah kehidupan ini selalu


berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan cara
memiliki ilmu pengetahuan. Agama Islam juga
mengajarkan tentang prinsip long life education
sebagaimana ungkapan seperti:
‚Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi–tuntutlah ilmu
dari ayunan hingga ke liang lahat. Utlubu ilman faridatan
‘ala kulli muslim–menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang
muslim. Al ilmu amama amalu, wa amalu tabiuhu–ilmu itu
memimpin di depan amal dan amal akan mengikutinya.‛
Berbarengan dengan ungkapan long life education
(pendidikan seumur hidup) juga ada ungkapan long life
learning (pembelajaran seumur hidup). Kedua ungkapan
ini sama maknanya. Konsep long life learning sangat
relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan. Konsep ini
menyentuh semua generasi, dan kultur sosial budaya.
Untuk mewujudkan konsep belajar seumur hidup maka
warga dunia mesti mengaktifkan literasi melalui
pendidikan formal dan informal, serta mempromosikan
konsep demokrasi (Caroly Medel dan Anonuevo, 2002).

Long life education memang sudah mendapat


sambutan bagi warga dunia, terutama di negara maju,
mereka selalu belajar dan belajar dalam kehidupannya.
Saya membuka diri untuk pergaulan dengan orang-orang
54

asing. Sekitar 20 tahun lalu, saya berkenalan dengan Dr.


Francois Brouquisse, Dr. Anne Bedos dan Dr. Louis
Deharveng. Ke tiga warga Prancis ini telah menjadi teman
saya hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat bekerja
di LIPI; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung.
Pertemuan secara kebetulan berujung sangat
menguntungkan saya terutama dalam mempelajari kultur,
sosial budaya dan Bahasa Prancis. Saya jadi memahami
apa dan bagaimana ‚prinsip otodidak‛ dan motivasi untuk
belajar sepanjang umur atau long life education.
Ketiga teman ini bekerja pada bidang yang berbeda,
namun punya minat pada zoology. Kami berjumpa di
daerah Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat. Daerah di Pegunungan Bukit Barisan yang
bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung, Lintau Buo
hingga Halaban. Yang menarik bagi saya dari figur mereka
bertiga adalah konsep hidupnya sesuai dengan moto ‚long
life education‛. Belajar sepanjang hayat ini sudah menjadi
kebutuhan hidup mereka.
Mereka menghabiskan waktu liburannya di
Sumatera untuk studi tentang konservasi hutan tradisional
dan zoology. Mereka melakukan eksplorasi, menyandang
tas besar di punggung. Di dalam tas penuh dengan
instrumen penelitian dan juga buku-buku tentang sains,
juga ada tentang bahasa Indonesia, adat dan way of life
orang-orang Indonesia. Sebagai orang Prancis mereka jauh
55

tahu banyak tentang Indonesia dan Bahasa Indonesia


mereka cukup terpakai.
Saya sering mengikuti kegiatan mereka, melakukan
survei tentang speleologie. Yaitu melakukan eksplorasi ke
dalam hutan dan ke dalam goa—mengobservasi eksistensi
hewan-hewan kecil di dalam goa, yaitu goa ‚Ngalau
Indah‛ di Nagari Pangian, Kec. Lintau Buo, Kabupaten
Tanah Datar. Saya juga sempat memberikan tulisan untuk
dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
Ternyata mereka bertiga juga manusia yang polyglot–
yaitu orang-orang yang mampu berbicara dalam banyak
bahasa. Anne Bedos dan Louis Deharveng menguasai
bahasa Prancis, Inggris, dan tahu bahasa-bahasa lain,
seperti bahasa Indonesia, Vietnam, dan China.
Francois Brouquisse, seorang ahli manajemen
perairan, juga memahami bahasa Inggris, Arab, Vietnam,
Bahasa Indonesia dan Bahasa China, serta bahasa ibunya—
bahasa Prancis. Ia sendiri pendukung NGO Palestine
D’Action di Prancis. Yaitu sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat yang mendukung perjuangan bangsa
Palestina.
Francoise adalah seorang pembaca yang hebat. Dia
selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi
beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang.
Namun ia beristirahat sambil membaca.
56

Saya sempat mengintip buku-buku yang dipegang


oleh Francois Brouquisse. Untuk menguasai bahasa
Indonesia, Francois melakukan prinsip ‚learning by doing‛
atau ‚learning by direct practicing‛ hingga saya dengar
Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti.
Saat anak balita saya, Muhammad Fachrul, rewel dan
menangis maka ia menenangkan balita saya dengan
Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti.
Anne Bedos adalah seorang perawat dan juga
mendalami bidang zoology. Untuk menjadi warga dunia
yang berkualitas maka dia mengadopsi prinsip hidup
belajar seumur hidup secara naturalis. Saya pernah duduk
bareng dengan Anne Bedos, Louis Deharveng dan
Francoise Brouquisse sambil makan buah-buahan tropis—
jambu, mangga, duku dan belimbing. Saya melihat Anne
Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia
memakan jambu tanpa melepas kuping jambu yang sering
bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut hitam
bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan saya
sempat berteriak, ‚Tu mange les fourmis dedans le jambu–
Anda memakan semut-semut yang bersarang dalam
jambu?‛
‚Ce naturalement, J’aime a manger les fournis–itu semua
sangat alami, tidak masalah biar saya makan semua
semut.‛ Anne Bedos dan dua teman Prancis tadi adalah
guru saya secara langsung. Dari mereka saya jadi tahu cara
57

belajar bahasa asing yang lain, seperti bahasa Prancis,


melalui strategi berbuat atau learning by doing. Saya belajar
bahasa Prancis dengan cara menuliskan semua
pengalaman haris menggunakan bahasa Prancis.

Craig Pentland, dan saudaranya John Pentland,


adalah pemuda Australia yang berjumpa dengan saya
secara kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun-
tahun berikutnya ia (Craig Pentland) sering mengunjungi
kami di Sumatra Barat. Ia juga mengadopsi prinsip long life
education dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah
bukit, gunung dan lembah di wilayah Batusangkar hingga
Payakumbuh dan pernah juga menjelajah ke dalam sebuah
lembah dekat Indarung, Padang.
Dalam ranselnya juga terdapat buku-buku tentang
alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang
Australia ia adalah seorang pembaca yang hebat. Ia
mengisi waktu istirahatnya dengan membaca. Saya juga
termotivasi dan jadi suka membaca banyak buku sejak itu.
Ada kalimatnya yang saya selalu ingat, katanya, ‚Reading
is important for having personal quality, do reading, please don’t
read all the book. See the natural phenomenon and read the book
on them–Membaca sangat penting dalam membentuk
kualitas diri, lakukanlah banyak membaca, namun jangan
58

baca semua buku, perhatikan fenomena alam dan


sesuaikan dengan minat Anda‛.
Demikian kata teman saya Craig dan saya selalu
ingat kalimat ini. Bulan September 2017 kemarin kami
bertemu lagi. Dia mengatur untuk berjumpa lagi di
Novotel Hotel Bukittinggi. Dia dan istrinya Norjana
datang lagi. Craig Pentland sudah menyelesaikan
pendidikan Doktoralnya. Saya sempat membaca
disertasinya dengan judul ‚Behavioural ecology of the black-
flanked rock-wallaby, Petrogale lateralis (Craig Pentland,
2014)‛.
Dalam kunjungan di bulan Oktober 2014, dia
membawa buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan
dari Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang
berjudul ‚the Rainbow Troop (Andrea Hirata, 2013) atau
Laskar Pelangi‛. Dalam kunjungan ke Batusangkar,
Sumatra Barat, adalah buat berlibur, namun ia selalu
membawa beberapa buku untuk dibaca selama libur.
Jadi membaca buku bukan merupakan beban belajar
buatnya, namun sudah menjadi kebutuhan primer ibarat
kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan.
Sebetulnya membaca memang sebuah makanan atau
minuman buat memuaskan spiritual dan pikiran yang
lapar. Maka bagi orang-orang yang enggan buat membaca
berarti mereka telah membiarkan selalu pikiran mereka
dalam keadaan lapar.
59

Saya dan seorang teman, namanya Arjus Putra,


seorang guru bahasa Inggris dari SMAN 3 Batusangkar,
setiap semester merancang program ‚English Home Stay‛
sebagai ekskul. Ekskul itu berguna untuk menggenjot
kemampuan berbahasa Inggris para siswa kami. Beberapa
resort yang sering kami pilih buat Home Stay ini adalah
daerah Danau Singkarak, Danau Maninjau, Mifan Padang
Panjang, Danau Diateh di Alahan Panjang, Lembah Harau
di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru, dan juga
Resort Mandeh di Painan.
Home Stay kami lakukan dengan menyewa beberapa
villa di lokasi wisata dan biasanya kami mengundang juga
native speaker sebagai model penggunaan bahasa Inggris
buat siswa kami. Jadinya semua siswa sangat antusias
menggunakan bahasa Inggris dengan kehadiran para bule
tersebut.
Australia, negara tetangga Indonesia, merupakan
negara yang menyediakan bantuan pendidikan
internasional, termasuk negara kita dalam bentuk program
‚Australia Volunteering International.‛ Program ini
menyediakan bantuan pembelajaran dan sumber belajar
bagi guru-guru. Selain itu juga berbagi pengalaman
budaya (Maureen Cane, 2015).
Tahun lalu kami mengundang John Duke dan Alexa,
sepasang guru internasional asal Australia. Mereka bekerja
sebagai Australian Teacher Volunteer yang kebetulan
60

ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat


senang bergabung dengan ‚English out door activity‛ yang
kami selenggarakan pada home stay di objek wisata
Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut
memotivasi kemampuan berbicara bahasa Inggris siswa
kami mereka merancang ‚language game‛. Tentu saja para
siswa beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira.
Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Saya memperhatikan bahwa di waktu senggang dan
di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan Alexa
tetap membaca buku sebagai bacaan waktu senggang–
leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah
leisure time reading. Jadinya bahwa membaca adalah
budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian
dari hidup mereka.
Sangat berbeda dengan eksistensi beristirahat antara
kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua, juga
sebagai guru—mungkin cukup populer untuk kota kecil di
Batusangkar. Namun kami beristirahat tanpa memegang
buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau berkelakar.
Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan
membaca. Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa,
istirahat tanpa membaca. Ya istirahat seperti kebanyakan
anak-anak Indonesia, yaitu istirahat hanya sebatas tidur,
otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan headset
untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
61

Terpikir bagi kami bahwa perintah agama yang


berbunyi ‚iqra’ bismirabbikallazi khalaq–bacalah dengan
nama Tuhanmu yang menciptakan‛ entah di mana dan
bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya
sebatas bacaan saja untuk berharap pahala semata, belum
lagi untuk diaplikasikan. Sebenarnya perintah agama
untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan
Alexa, karena agama mereka bukan Islam. Namun mereka
berdua membudayakan membaca sebagai budaya bangsa
dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat
kita banyak tahu, banyak tahu berarti indikator kecerdasan
dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan long life education
sebagai kebutuhan hidup dalam wujud membaca saat
beristirahat—leisure time reading—hanya ada pada budaya
hidup orang Australia? Tentu saja tidak. Teman saya, Jerry
Drawhorn, dari California, Amerika Serikat juga selalu
membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi.
Kemudian Eva, Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru senior
dari Swedia yang saya jumpai menghabiskan waktu
belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau Samosir, di
Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah tetangga saya di sebuah
penginapan Lekjon di Desa Tuktuk, di Pulau Samosir.
Mereka akhirnya memutuskan untuk datang ke
Batusangkar melalui Bukittinggi. Seminggu setelah itu
62

kami berjumpa di rumah saya di Batusangkar. Kami


bertukar pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep
long life education di negaranya, Swedia.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education.
Semua warga negara mempunyai reading time di rumah
mereka dan selama musim dingin (winter)—tiga bulan
setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu
buat membaca. Sehingga dalam musim dingin, mereka
ibarat kepompong yang sedang membungkus diri buat
belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas
jadi cerdas, ibarat kupu-kupu yang memancarkan warna
warni dengan bentuk yang cantik.

Saya terkesan bahwa guru-guru dari negara maju


juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku
sebagai wujud dari long life education. Membaca buku juga
sebagai wujud self learning atau autonomy learning. Dan
bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia?
Bahwa mayoritas guru-guru di negara kita tidak
suka membaca dan alergi membaca buku. Bila para guru
belum menjadi model yang baik dalam gerakan literasi
membaca, maka tentu akan berdampak pada minat literasi
membaca siswa (Mahmood Khalil dan Zaher Accariyal,
2016).
63

Mereka tidak mengenal konsep long life education.


Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa
membaca sehelai kertas pun. Apalagi dengan istilah
adanya reading time.
Ini merupakan sebuah autokritik. Sebagai guru juga
perlu memberi kritik yang membangun buat profesi guru.
Ya guru-guru kita belum mengadopsi long life education
dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah agar setiap guru
senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara
mandiri. Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar—
melanjutkan pendidikan. Mengikuti penataran, workshop,
seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak
guru kita yang mengikuti seminar, pelatihan, penataran,
workshop. Itu hanya sebatas hadir untuk mendapatkan
sehelai sertifikat buat dijadikan portofolio untuk kenaikan
pangkat. Selesai dari kegiatan tersebut, memang yang
diperoleh hanya sehelai kertas—sehelai sertifikat. Namun
penambahan ilmu pengetahuan lewat membaca kembali
tidak ada.
Secara keseluruhan bahwa ada yang kurang
terwujud dalam sistem pendidikan kita, yaitu kita tidak
begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya
membaca. Pada banyak sekolah eksistensi perpustakaan
tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum
menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru.
64

Di zaman teknologi komunikasi dengan keberadaan


gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk
mengotak-atik permainan lebih menarik dari pada
membaca. Jadinya ada jutaan anak didik kita buta dengan
buku. Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga
mereka tidak mengenal sosok tokoh-tokoh sejarah yang
berguna buat cermin kehidupan untuk memacu kualitas
SDM mereka.
Demikian juga para guru. Ada jutaan guru di
Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali
hanya sebatas membaca buku teks, jadinya jutaan guru
hanya menjadi guru kurikulum, atau guru buku teks, yang
tugas mereka adalah sebagai ‚tukang atau worker‛ untuk
memindahkan isi buku teks ke dalam memori para siswa
dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik?
Karena mereka diajar oleh para guru yang miskin dengan
wawasan sehingga mereka jauh dari keberadaan guru
yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa membutuhkan kehadiran sosok
guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan.
Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life
education, senantiasa belajar dan belajar. Guru inspiratif
adalah guru yang mengaplikasikan semboyan ‚iqra’
bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip
long life education dalam hidup mereka.
65

Kini kita merindukan guru-guru, para siswa dan


masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan
long life education dan juga long life learning sebagai prinsip
hidup kita semua. Andai ini bisa terwujud maka insya
allah kualitas SDM bangsa ini yang selalu peringkatnya
cukup rendah secara global bisa merangkak membaik,
pada akhirnya kita akan tumbuh menjadi bangsa yang
cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia ini.
66

Hidup Tidak Sebatas Berteori


tetapi Butuh Proses

Membaca buku biografi bermanfaat untuk


memperkaya pengalaman jiwa kita. Misalnya membaca
biografi para tokoh politik, pendidikan, wirausaha, dll.
Dengan membaca biografi mereka kita jadi tahu
bagaimana proses kehidupan mereka. Yaitu apa dan
bagaimana peristiwa demi peristiwa terjadi dalam
kehidupan. Proses kehidupan yang baik akan membentuk
pribadi seseorang jadi hebat, hidup tidak sebatas berteori
tetapi butuh proses.
Saya juga menyenangi buku biografi—salah satunya
adalah tentang biografi tentang Ciputra. St. Sularto (2010),
memaparkan biografi Ciputra dengan gaya bahasa yang
mudah buat dicerna. Dia memaparkan biografinya secara
ringkas.
67

Ciputra memulai hidupnya dengan sebuah mimpi


yang kecil, dan kemudian dia punya mimpi yang lebih
besar. Saat usianya 30 tahun dia telah mewujudkan
mimpinya. Dalam usia yang relatif sangat muda dia
menjadi direktur perusahaan Pt. Pembangunan Jaya. Buat
ukuran generasi muda zaman sekarang perjalanan hidup
Ciputra sangat luar biasa.
Ciputra betul-betul mengawali jalan hidupnya dari
kondisi uncomfort zone–suasana rumah yang jauh dari
suasana nyaman. Suasana uncomfort zone tersebut terjadi
karena cobaan hidup yang menimpa keluarganya.
Memasuki masa remaja, sekitar zaman perang dunia
ke-2, saat tinggal di Sulawesi Tengah, ia kehilangan
ayahnya yang tercinta. Ia menyaksikan tentara Jepang
menyeret ayahnya dan memisahkan dari keluarga.
Ayahnya dituduh sebagai mata-mata Belanda dan
dijebloskan ke dalam penjara. Ayahnya meninggal dalam
tahanan Jepang, namun hingga sekarang dia tidak
mengetahui kuburan ayahnya.
Ia tidak saja kehilangan ayah, namun juga
kehilangan mata pencarian. Toko kelontong sebagai
sumber rezeki, sumber keuangan yang telah dirintis
ayahnya buat menghidupi keluarga juga hancur. Sejak itu
mereka (ia dan keluarganya) jatuh miskin. Masa remaja
yang seharusnya ceria, ia lalui dengan penuh suasana
suram.
68

Fenomena umum adalah bahwa orang miskin jarang


diperhitungkan keberadaannya. Mereka sering dilihat
sebelah mata. Itu sangat dirasakan oleh Ciputra. Ia
merasakan betapa tidak enaknya menjadi orang miskin,
karena tidak pernah atau jarang dihargai eksistensinya
oleh orang lain. Inilah pemicunya bagi Ciputra untuk
segera bangkit dan mematrikan tekad ‚Aku harus menjadi
orang kaya dan sukses‛.
Untuk menjadi kaya dan sukses akan bisa diperoleh
melalui jenjang akademik dan prestasi. Makanya Ciputa
juga ingin berprestasi, ia harus hidup independent
(mandiri), tidak bergantung pada orang lain. Malah
sebaliknya ia juga ingin bisa membantu orang lain. Untuk
meraih itu semua maka Ciputra menggapainya melalui
keputusan hidup. Apa keputusan hidup yang ditempuh
Ciputra?
‚Yaitu meninggalkan kampung halaman, dengan
cara merantau atau hijrah‛.
Maka dia memutuskan untuk merantau ke pulau
Jawa, pulau yang sejak dahulu SDM-nya lebih baik dari
pulau-pulau lain di Indonesia. Niat utamanya pergi ke
pulau Jawa adalah untuk menuntut ilmu, yaitu ingin
masuk ke ITB.
Apakah mustahil untuk bisa kuliah di ITB saat itu?
Untuk orang-orang kebanyakan tentu saja mustahil.
Transportasi menuju pulau Jawa di tahun 1940-an dan
69

1950-an belum lagi semudah dan senyaman zaman


dirgantara sekarang. Saat itu orang-orang hanya
mengandalkan kapal laut dengan jarak tempuh hitungan
minggu. Begitu pula masuk ITB di tahun-tahun tersebut
juga tidak semudah di zaman cyber sekarang, yang kadang
kala juga banyak program-program yang membuat calon
mahasiswa memperoleh kemudahan.
Dengan berbagai tantangan dan keterbatasan maka
Ciputra berhasil menjadi mahasiswa ITB. Akhirnya dia
bisa mengikuti perkuliahan sebagaimana mahasiswa
lainnya. Semester pertama berlalu dan datang semester ke
dua.
Namun kehidupannya sebagai mahasiswa ITB tidak
senyaman teman-temannya yang lain. Ketika duduk di
tingkat dua ITB kiriman keuangan dari ibunya sudah
terputus. Akibat kesulitan ekonomi, jadinya Ciputra
memutar otaknya bagaimana untuk bisa mencari duit agar
mampu membantu diri sendiri—menopang kehidupan
sebagai seorang mahasiswa yang lagi dilanda kesulitan
hidup.
Sebagian teman-temannya mempunyai kecukupan
uang dan mereka bisa hang out, mengikuti kegiatan ekskul,
menekuni hobi di bidang kesenian dan olahraga, atau
meluangkan waktu untuk memadu janji dengan
kekasihnya. Maka hal seperti itu sangat mustahil bagi
Ciputra.
70

Ia mencari kerja serabutan sambil kuliah. Ia pernah


menjadi pedagang batik. Ia bukan menggelar
dagangannya di pasar kaki lima di kota Bandung. Namun
ia mencari batik ke Bandung dan menjualnya sampai ke
Medan. Selain itu ia juga sempat menjual meubel. Ia
merancang gambar meubel dan membayar tukang meubel
untuk membuatkannya.
Fenomena yang kita lihat dan dengar bahwa banyak
orang yang baru merintis usaha (bisnis) bukan saat masih
kuliah, namun setelah mereka wisuda, menjadi seorang
sarjana. Sehingga merasa kesulitan untuk eksis. Namun
Ciputra malah memulai usaha bisnis saat masih kuliah, itu
karena desakan ekonomi—kesulitan biaya hidup. Maka
bersama dengan temannya mereka mendirikan konsultan
pembangunan yang mereka beri nama ‚PT Perentjanaan
Djaja‛.
Betul-betul kesulitan hidup—suasana uncomfort
zone—memberi dampak motivasi yang dahsyat.
Perusahaan yang mereka rancang tersebut masih
beroperasi hingga sekarang. Agar kuliah tidak terganggu,
maka Ciputra sangat ketat dengan pengelolaan waktu—
yaitu time management yang bagus.
Mengapa Ciputra memulai kemandirian hidup dan
semangat entrepreneur sedini mungkin? Sekali lagi, bahwa
itu karena faktor kesusahan hidup. Derita kemiskinan dan
merasa tidak nyaman diremehkan orang akibat faktor
71

kemiskinan dan juga faktor kesulitan keuangan saat kuliah


di ITB. Ini semua telah menjadi bahan bakar buat
menyalakan semangat juangnya.
Semangat entrepreneurnya muncul karena ia lahir di
tengah keluarga pedagang. Tidak heran kalau sejak kecil ia
bisa bermain dan bergerak di antara barang dagangan. Ia
bertemu dan berkomunikasi dengan pelanggan toko sejak
masa kanak-kanak. Orang tuanya telah berhasil
menciptakan lingkungan enterpreneur buatnya. Nilai-nilai
enterpreneurship tertanam sejak kecil, hingga remaja dan
juga hingga dewasa.
Seorang enterpreneur harus menghormati dan
menghargai pelanggannya. Ciputra tahu dari ayah dan
ibunya, bahwa seorang pedagang (enterpreneur) harus
menghargai pelanggannya. Peribahasa umum dalam dunia
perdagangan mengatakan bahwa ‚pembeli itu adalah
raja‛. Pembeli harus dihargai dan dilayani dengan penuh
etika. Keunggulan dalam pelayanan terwujud dalam
bagaimana cara memuaskan pelanggan.
‚Apa saja yang dijual Ciputra pada waktu kecilnya?‛
Ia juga harus mampu menjual hasil pertanian untuk
kehidupan keluarga sehari-hari. Ia juga terbiasa membuat
topi dari pandan dan menjual ke masyarakat. Ia tidak
merasa malu atau enggan melakukannya. Begitulah cara
Ciputra dalam mengisi masa remajanya, dan sekali lagi
72

kebiasaan ini menubuhkan jiwa enterpreneurship dalam


dirinya.

Bagaimana dengan orang-orang zaman sekarang


dalam menumbuhkan jiwa enterpreneurnya? Tentu ada
banyak cara yang bisa mereka lakukan. Ya utamanya
dalam bentuk membaca buku-buku tentang wirausaha,
juga menghadiri seminar tentar kewirausahaan.
Kebanyakan yang diperoleh hanya sebatas teori demi teori
tentang cara berwirausaha. Mereka umumnya buta untuk
melangkah, atau juga belum punya percaya diri yang kuat
untuk terjun sebagai seorang wirausahawan muda. Tetapi
that is oke dari nggak pernah tahu tentang kewirausahaan
sama sekali.
Lebih bagus adalah sejak usia anak-anak hingga
remaja, seseorang yang ingin berwirausaha mesti rajin-
rajin untuk bertandang (berkunjung) ke pusat-pusat
wirausaha agar mereka keciprat semangat wirausaha.
Membangun wirausaha saat masih kuliah, ini adalah awal
sukses bisnisnya Ciputra. Ya saat para temannya asyik
menggeluti hobi, maka Ciputra telah memulai merajut
mimpinya dengan serius. Yakni untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya yang dibelit kesusahan finansial.
‚Saya harus menjadi arsitek yang berjiwa
enterpreneurial. Hasrat inilah yang akhirnya membawa
73

keputusan saya untuk mendirikan PT Pembangunan Jaya


bersama pemerintah DKI Jakarta dan beberapa pengusaha
nasional. Saya bukan pasif lagi menunggu pekerjaan,
tetapi aktif menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain‛. Demikian papar Ciputra dalam
meneguhkan dirinya.
Hidup perlu punya visi dan kita harus selalu
bermimpi untuk mencapai visi tersebut. Itulah prinsip
hidup Ciputra. Dalam tahun 1960-an ia mendirikan Jaya
Group, dan selanjutnya tahun 1970-an ia mendirikan
perusahaan Metropolitan Group bersama kawan-
kawannya dari ITB. Kemudian pada tahun 1980-an ia
mendirikan Ciputra Group, bukan bersama teman-
temannya, namun bersama anak-anaknya sendiri.
Saya yang lagi menulis artikel ini lagi merasa
bersimpati kepada seseorang yang baru saja meraih gelar
sarjananya dari jurusan teknik. Ia lulusan universitas
terkemuka dengan nilai sangat bagus yang telah membuat
bahagia orang tuanya. Namun setelah itu ia terlihat
kebingungan hendak bagaimana lagi dan hendak mau
diapakan ijazah sarjananya.
Terasa kalau hanya bangga dengan nilai yang tinggi
itu adalah kebanggaan yang semu. Nilai yang tinggi tak
lebih hanyalah sebagai hiasan pada selembar ijazah.
Sarjana baru ini terlihat sangat tidak berdaya dan
barangkali sarjana baru ini adalah gambaran dari sebagian
74

sarjana baru di Indonesia yang hanya sebatas jago atau


cerdas dengan kertas. Setiap hari waktunya habis dengan
merunduk mengotak-atik gadget-nya dan ia tidak jauh
berbeda dengan anak-anak SMP dan juga anak SMA yang
sedang mabuk dengan gadget-nya.
Ya sarjana baru ini hanya sebatas cerdas kertas,
cerdas dengan teori. Ibarat orang yang ingin pintar main
bola maka dia sudah terlalu banyak membaca buku teori
bagaimana cara main bola. Yang dia butuhkan bukan teori
tetapi dia butuh langsung berlatih menendang bola.
Semakin banyak ia berlatih menendang bola maka akan
semakin hebat ia untuk menjadi pemain profesional. Jadi
yang dibutuhkan mahasiswa baru ini adalah sebuah action
lagi-lagi bahwa hidup tidak sebatas berteori tetapi butuh
proses.
Cukup banyak orang, lembaga, dan komunitas yang
hanya sebatas kaya dengan informasi, tetapi miskin
dengan karya nyata. Hanya masyarakat yang suka bekerja
yang mampu membina para remaja (generasi muda) untuk
bekerja keras dan tekun. Kita harus punya cita-cita yang
konkrit, dan kita perlu punya cita-cita. Cita-cita tersebut
adalah visi dalam kehidupan. Dalam membangun cita-cita
kita lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman dan
orang lain dari pada orang tua kita sendiri (Torsten Husen,
1995).
75

Sarjana baru yang bermental penakut ini tidak perlu


lagi pendidikan, dengan arti kata belajar sebatas teori.
Yang dia butuhkan adalah keberanian mental dan latihan
demi latihan. Ia membutuhkan ratusan kali latihan di
lapangan kerja yang nyata.
Maka berinteraksi dengan banyak orang, utamanya
yang satu visi dengan kita. Kita tidak perlu merasa alergi
atau merasa lebih hebat dengan orang-orang yang bukan
tamatan universitas, karena bisa jadi mereka lebih hebat
lewat pengalaman lapangannya. Indonesia sangat
membutuhkan orang-orang yang rajin melakukan proses,
berevolusi untuk meningkatkan kualitas.
Semua anak muda dan terutama para sarjana yang
baru lulus dari perguruan tinggi, harus banyak melakukan
proses bukan sebatas terpaku pada teori. Sekarang
memperoleh pekerjaan amat sulit, namun kesempatan
buat berwirausaha sangat terbuka lebar. Ciputra
menyatakan bahwa wirausaha harus dimulai dari
pendidikan yang bukan asal-asalan. Karena kunci utama
perubahan manusia ada pada diri manusia itu sendiri.
Dengan kata lain kunci utama mengatasi masalah
pengangguran dan kemiskinan adalah dengan mendidik
dan ‚melatih diri, dan melakukan praktik langsung
sebanyak mungkin‛.
Maka manusia seperti inilah yang kita sebut sebagai
manusia enterpreneur. Manusia enterpreneur tidak akan jadi
76

beban masyarakat, ia malah bisa menciptakan pekerjaan


bagi orang lain. Ia akan mampu mengubah kekayaan alam
dan budaya Indonesia menjadi produk yang dibutuhkan
dunia. Kalau boleh jiwa enterpreneur harus dimulai lebih
dini agar tumbuhnya dalam jiwa lebih kuat, kalau
diperkenalkan saat sudah dewasa maka dampaknya
sedikit saja. Pendidikan Amerika Serikat, misalnya,
memberikan pengalaman dan latihan enterpreneurship lebih
dini yakni sejak dari pendidikan dasar, dan enterpreneur
memperkaya kurikulum mereka. Jadinya enterpreneur
mereka lebih sukses. Kita di Indonesia juga harus berbuat
demikian agar kita semua juga bisa lebih sukses, semoga.
77

Keterampilan dan Keberanian


Buat Kehidupan

?
Skill and experiences ring louder than theory–
keterampilan dan pengalaman lebih nyaring bunyinya dari
hanya sebatas berteori. Kalimat ini bisa kita buktikan
melalui pengalaman hidup. Misalnya melalui pengalaman
hidup yang dialami oleh seorang lelaki muda bernama
Abdel Maghdi, bukan nama sebenarnya.
Abdel Maghdi adalah seorang lelaki muda berasal
dari salah satu kota di Mesir. Dia memiliki wajah tampan
dengan kumis dan jambang yang digunting rapi, berkulit
sawo matang dan tingginya sekitar 180 cm serta berambut
ikal. Para tetangga mengaguminya karena ia mampu
berkomunikasi dalam empat bahasa yaitu bahasa Arab,
Prancis, Inggris dan bahasa Indonesia.
78

Pastilah ia seorang lelaki muda yang terbilang yang


sangat hebat di negeri asalnya. Jadinya dia adalah seorang
pemuda yang polyglot, maksudnya mampu menguasai
banyak bahasa. Ia juga punya kemampuan menulis
menggunakan huruf Arab dan huruf latin. Huruf latin
khusus untuk bahasa Indonesia, Prancis dan Inggris.
Saya sendiri merasa susah payah untuk menguasai
tata bahasa Arab dan Prancis serta menulis dalam huruf
Arab. Sementara bagi Abdel Maghdi keempat bahasa ini
sudah terdengar amat fasih dan amat mudah bagi
lidahnya. Sekali lagi bahwa pastilah ia seorang lelaki muda
yang amat cerdas, dan kecerdasannya ini akan mampu
mendatangkan banyak keberuntungan baginya, semisal
kekayaan dan uang yang jumlahnya lebih dari cukup.
Apakah benar seperti itu?
Wah ternyata itu tidak. Malah tiap hari ia hidup
dalam kondisi yang cukup bersahaja dan mungkin juga
dalam kondisi kekurangan secara finansial. Saya sering
menjumpainya merokok yang tidak putus-putusnya, ini
sebagai indikasi bahwa ia lagi dilanda stress akibat tidak
punya uang yang cukup untuk menghidupi anak dan
istrinya. Ya baginya uang susah banget buat mampir.
Abdel Maghdi memang seorang pemuda yang
cerdas. Mengapa? Huruf Arab dan tata bahasa Arab sangat
jauh berbeda dengan tata bahasa Indonesia, Begitu pula
tata bahasa Prancis dan Inggris juga jauh berbeda dari tata
79

bahasa Indonesia. Namun itu semua sangat dikuasai oleh


Abdel Maghdi.
Abdel Maghdi pasti memiliki kecerdasan verbal.
Sangat jarang orang yang bisa berkomunikasi dalam
banyak bahasa. Umumnya satu bahasa atau dua bahasa
sekaligus. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling
terakhir dikuasai oleh Abdel Maghdi.
Sehingga suatu ketika ia menjumpai situs
Darmasiswa yaitu ‚an Indonesia scholarship program‛ yang
bisa dilamar oleh para mahasiswa asing dari 83 negara di
dunia, salah satunya adalah Abdel Maghdi.
Beberapa tahun lalu saya sempat berjumpa dengan
para mahasiswa asal Eropa Tengah (Rumania dan
Bulgaria) yang tengah belajar di Sekolah Tinggi Seni di
Padang Panjang, Sumatera Barat melalui program
beasiswa Darmasiswa dari Dikti (Dirjen Pendidikan
Tinggi). Pada kesempatan lain—saat saya sama-sama
menginap di Hotel Millennium Sirih, Jakarta—saya juga
berjumpa dengan satu grup mahasiswa asing yang
terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Gunadarma
Jakarta. Mereka memperoleh program beasiswa
Darmasiswa dari pemerintah Indonesia.
Setelah membaca informasi tentang kuliah beasiswa
di Indonesia dan membaca profil beasiswa Darmasiswa,
maka Abdel Maghdi menjatuhkan pilihan untuk kuliah di
Indonesia dengan pilihan jurusan Bahasa Indonesia. Tentu
80

saja sebelum menjadi mahasiswa di Indonesia, dia telah


bergiat untuk menguasai dasar-dasar bahasa Indonesia
secara self learning. Ini dibantu dengan teknologi google
language dan juga situs-situs belajar bahasa Indonesia
lainnya. Utamanya dia menguasai cara pengucapan bahasa
Indonesia, kosakata dan tata bahasa, juga dasar-dasar
bahasa Indonesia.
Akhirnya Abdel Maghdi berangkat menuju
Indonesia setelah lulus seleksi, mengurus dokumen
keimigrasian dan visa belajar di Indonesia dari kantor
Kedutaan Indonesia di Kairo. Abdel Maghdi memilih
jurusan bahasa Indonesia dan kuliah di UGM Yogyakarta.
Tentu saja ada visi dan misi mengapa dia tertarik buat
belajar bahasa Indonesia, mungkin juga ingin menikah
dengan orang Indonesia? Mau menikah saat kuliah di
Indonesia, mengapa?

Dorongan untuk menikah sudah ada pada semua


orang. Dorongan ini semakin kuat saat mereka menginjak
usia remaja. Keinginan untuk menikah adalah fitrah atau
dorongan naluri yang diberi oleh Allah Swt. Jadinya Abdel
Maghdi juga ingin untuk menikah, karena dia juga punya
fitrah atau insting ini.
Keputusan menikah di Indonesia memang beda dari
Mesir. Pernikahan di Indonesia bisa dibikin lebih
81

sederhana dan juga bisa dibikin super rumit dan super


mewah. Bagi yang belum mampu biaya menikah bisa
dicicil, atau pinjam uang sana-sini. Tidak demikian halnya
dengan pernikahan di Mesir. Bisa jadi sepasang anak
muda yang saling jatuh cinta begitu mendalam, namun
ketika mau menikah cinta mereka bisa berantakan,
terkendala oleh finansial.
Di Mesir menikah tidak cukup sebatas bermodalkan
cinta saja, bermodalkan kata ‚I love you‛. Banyak pemuda
Mesir merasa kesusahan buat menikahi kekasih mereka
karena mahalnya harga mahar. Orang tua pengantin
wanita akan meminta mahar dengan nilai sekitar 150.000
EGP (Egyptian Pound) atau setara dengan 225 juta Rupiah.
Cukup banyak yang merasa tidak mungkin bisa punya
tabungan sebanyak itu. Khusus bagi laki-laki yang masih
muda, yang tidak punya uang, jadinya cinta mereka harus
kandas. Selain biaya mahar yang tinggi, biaya pesta
perkawinan juga cukup tinggi yaitu sekitar 50.000-100.000
EGP, atau sekitar 75 juta hingga 150 juta rupiah.
Ada juga yang mengatakan bahwa bukan mahalnya
biaya mahar, namun seorang laki-laki Mesir yang mau
menikah harus mampu menyediakan terlebih dahulu
sebuah rumah atau apartemen buat istri, sebagai tempat
tinggal permanen bagi mereka begitu mereka setelah
menikah. Bagaimana harga sebuah rumah sederhana atau
sebuah apartemen di Mesir?
82

Harga sebuah apartemen tipe dan ukuran yang


standar biasa di sana, ya sekitar 225 juta Rupiah. Itu setara
dengan harga sebuah rumah perumnas ukuran sederhana
di Indonesia. Namun tidak semua lelaki muda yang mau
menikah bisa menyediakan rumah buat calon istrinya,
jadinya banyak laki-laki Mesir yang telat menikah. Baru
bisa menikah yaitu mendekati usia 40 tahun, setelah punya
cukup uang.
Hal yang demikian juga dialami oleh Abdel Maghdi.
Mahalnya harga pernikahan di kampungnya membuat
laki-laki ini tetap single sampai usia di atas 30-an, hingga
ia punya kesempatan untuk memperoleh beasiswa kuliah
di Yogyakarta. Dengan kemudahan media sosial,
utamanya Facebook, dia mulai rajin berselancar (browsing)
untuk mendapatkan gadis idamannya yang akan mampu
mengisi kekosongan hatinya. Akhirnya yang beruntung
adalah seorang gadis di Sumatera Barat. Mereka saling
kontak dengan intens dan berjanji, malah sempat saling
ketemuan di Jakarta dan Yogyakarta beberapa kali. Rasa
cinta mulai bersemi.
Gadis lembut dari Sumatera Barat tersebut sangat
merespons cinta lelaki ganteng ini. Kualitas cinta mereka
semakin meningkat saban hari. Akhirnya Abdel Maghdi
memutuskan untuk datang menemui calon mertua,
meminang secara sederhana dan menikah dengan proses
83

yang sangat ringan, kontra dengan proses pernikahan di


Mesir yang terasa mahal.
Tentu saja dengan menikah maka terjadi perpaduan
kasih sayang dua pribadi dan kemudian akan terasa
persamaan dan perbedaan. Rasa cinta yang tinggi dan
persamaan dalam keyakinan—yaitu agama Islam—
menjadi perekat perkawinan yang cukup kuat. Setahun
setelah menikah, perkawinan mereka membuahkan
seorang momongan mungil yang tampan. Dan sekarang
bayi mereka sudah menjadi balita aktif dan sangat
memikat hati ayah dan bundanya.
Balita mereka dengan perpaduan wajah Indonesia
dan Mesir terlihat sangat tampan, membuat keluarga besar
mereka menjadi terhibur. Balita mereka bisa tumbuh
sempurna, apalagi Abdel Maghdi dalam usia yang cukup
telat buat berumah tangga (menikah) membuat dia betul-
betul mendambakan kehadiran seorang anak, hingga dia
cukup rajin mendalami ilmu parenting. Orang tua dengan
ilmu parenting yang mantap sangat membantu
pertumbuhan dan perkembangan buah hati mereka.
Namun Abdel Maghdi tetap ada masalah yang
mengganjal. Yaitu ‚finansial atau uang‛.
Keluarga baru harus bisa hidup mandiri. Mereka
memutuskan buat menyewa rumah kecil sendiri. Dan
kendala baru muncul, bahwa dapur mereka kadang-
kadang tidak berasap. Anak dan istrinya butuh makan.
84

Dalam realita bahwa kecerdasan berbahasa Abdel Maghdi


menguasai 4 bahasa, menandakan dia orang yang cerdas.
Namun di lingkungan yang baru ia susah memperoleh
pekerjaan dan ia mengalami kesulitan finansial.
Kecerdasan dalam bentuk tahu teori belum mampu
mengusir rasa lapar keluarga. Dalam kondisi begini yang
diperlukan oleh keluarga Abdel Maghdi adalah
pengalaman dan keterampilannya untuk mencari nafkah.
Ternyata Abdel Maghdi yang cerdas kurang bisa
beradaptasi dengan lingkungan kampung istrinya
sehingga ia belum mampu buat pencari nafkah.
Sebagai seorang ayah dan suami ternyata Abdel
Maghdi baru sebatas cerdas akademik (kognitif) yaitu
cerdas di atas kertas, atau cerdas dengan teori. Sementara
anak dan istrinya tidak butuh teori atau ceramah namun
mereka butuh rupiah atau dolar dan sangat berharap agar
dia punya life skill–kecerdasan dan keterampilan buat
mencari nafkah, mungkin menjadi pekerja tukang,
pedagang kecil, jual rujak, jual nasi Padang atau membuka
warung kecil ala Mesir di Sumatra Barat, namun itu sulit
untuk terwujud.
Sebenarnya Abdel Maghdi bukan lelaki yang
pemalas. Ia pun sempat berdagang kecil-kecilan, seperti
berdagang kurma. Namun tidak begitu laris, karena kurma
bukan kebutuhan utama orang di Sumatra Barat jadinya
keberuntungan masih agak jauh darinya. Untuk solusi
85

masalah, mereka membuat alternatif, yaitu sang istri


sebagai pencari nafkah part time, tentu saja dengan
nominal upah dan gaji yang kecil untuk menopang
ekonomi mereka. Sementara Abdel Maghdi sebagai
pengasuh balita di rumah.
Hari-hari tetap berlalu. Perkawinan mereka cukup
bahagia, namun Abdel Maghdi masih kebingungan. Mau
bagaimana lagi. Mau membawa keluarga pulang ke Mesir?
Wow... Biaya pesawat dan kebutuhan lain begitu mahal.
Laki-laki yang mau menikah, sebagai pemimpin rumah
tangga, memang memikirkan secara matang dan
menyiapkan keuangan yang cukup buat mendukung
perkawinan mereka.
Dalam realita bahwa perkawinan tidak hanya
sebatas kata cinta. Karena ungkapan ‚I love you‛ hanya
sebagai hiasan pada hati namun tidak bisa membuat perut
kenyang. Kehidupan perkawinan butuh uang dan makan.
Makanya seorang laki-laki yang mau menikah mesti
mempersiapkan diri, harus terampil buat mencari rezeki.
Kalau istri mampu mencari tambahan rezeki, tentu itu
berguna buat meringankan beban suami.

Dalam membangun relasi dengan seseorang dan


juga buat menjaga kelanggengan keluarga sangat
diperlukan teori yang relevan. Namun untuk memenuhi
86

kebutuhan dasar, seperti: makan, pakaian, perumahan—


diperlukan proses kehidupan. Proses kehidupan sangat
memerlukan keterampilan dan pengalaman hidup yang
luas.
Hal ini bisa dibuktikan melalui kisah nyata tentang
bagaimana kesuksesan seseorang yang tinggal di pulau
Bali bisa terjadi. Saya jadi hanyut dalam emosi saat
membaca biografi Gusti Ngurah Anom—dengan nama
populernya ‚Ajik Cok‛. Dia adalah seorang raja pendiri
galeri oleh-oleh khas pulau Bali (A. Bobby, 2015). Dalam
biografinya dipaparkan kisah suksesnya dengan apik,
sekali lagi, saya terbawa emosi membaca biografinya.
Gusti Anom, panggilannya Ajik Cok, waktu kecil
dikenal sebagai anak yang bodoh, miskin, dan nakal.
Namun setelah dewasa ia mampu keluar dari jerat
kemiskinan. Ayahnya seorang petani penggarap, jadi
sangat miskin dan ia pun punya dua istri. Ibunya Ajik Cok
adalah istri kedua. Untuk mendukung ekonomi keluarga,
ibunya berjualan kue kecil-kecilan.
Ajik Cok untuk pendidikan terakhirnya sempat ma-
suk sekolah pariwisata, namun karena keterbatasan dana
buat beli buku, pakaian dan kebutuhan sekolah lainnya
maka Ajik Cok memutuskan buat drop out dari sekolah.
Saat sekolah ia pun sering menunggak spp (uang sekolah).
Didera oleh kemiskinan yang tidak berkesudahan
akhirnya ia memutuskan meninggalkan rumah hanya
87

berbekal pakaian yang melekat di badan. Ia merantau


menuju kota Denpasar dengan harapan moga-moga ada
perubahan pada kehidupannya. Dia mau mengerjakan apa
saja jenis pekerjaan. Tidak pilih-pilih pekerjaan. Pekerjaan
pertama yang ia geluti adalah sebagai tukang cuci mobil
para tamu hotel dan ia pun tidur di emperan.
Beberapa waktu kemudian ia melamar menjadi
buruh garmen atau pakaian jadi. Profesi ini ia tekuni
dengan bersemangat dan penuh hati-hati. Sehingga ia
menjadi kesayangan bos. Karena karakternya yang rajin
dan bekerja penuh semangat, maka ia pun menjadi orang
kepercayaan bosnya. Dan ia pun mengembangkan diri dan
menumbuhkan perusahaan garmen milik bosnya.
Seiring berjalannya waktu, maka ia pun pamit
sebagai buruh garmen dan memberanikan diri pula untuk
membuka usaha garmen sendiri. Tentu saja memulainya
secara kecil-kecilan dan ia pun langsung menjajakan
produk konveksinya ke pantai, lokasi wisata, tanpa malu-
malu.
Ia pun belajar mengatasi beberapa kelemahan di
sana-sini. Usaha garmennya pun tumbuh. Tidak puas
hanya dengan usaha konveksi maka ia juga membuka toko
oleh-oleh yang diberi nama toko krisna.
Terus terang bahwa ia tidak punya ilmu formal dari
bangku sekolah yang banyak tentang manajemen
berdagang. Kecuali ia suka menimba pengalaman
langsung yang berharga dari banyak orang. Ia suka sekali
88

learning by doing. Dengan metode bisnis yang dia sebut


dengan istilah ‚lihat, tiru, kembangkan‛, maka bisnis
garmen dan bisnis toko oleh-oleh berkembang pesat. Ia
sekarang punya toko oleh-oleh krisna 1 hingga toko krisna
5. Sekarang sudah banyak supplier yang tertarik untuk
bergabung dengan toko milik Ajik Cok.
Saya tetap percaya bahwa proses kehidupan melalui
keterampilan dan keberanian lebih dahsyat hasilnya
daripada hanya sebatas tahu teori. Tahun 1986 saat saya
kuliah saya sempat membaca sebuah buku biografi
Hasyim Ning dan hingga sekarang isi buku itu masih
berkesan dalam pikiran. Makanya apa yang kita pelajari
saat masih kecil—anak-anak dan remaja—maka akan
berkesan seumur hidup.
Hasyim Ning adalah seorang pengusaha sukses
kelahiran Padang. Pendidikan formalnya tidak tinggi, ia
hanya sekolah di SD Adabiah Padang dan juga Mulo di
Padang. Mulo adalah sekolah Belanda setingkat dengan
SMP yang kepanjangannya ‚Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs‛. Karena kesulitan hidup maka ia merantau ke
Jakarta dan bekerja menjadi tukang cuci mobil. Kemudian
ia dipercaya menjadi perwakilan motorcars. Karena
bergelut dengan bisnis maka ia mengambil kursus
pembukuan, sejenis ilmu akuntansi.
Karena faktor kesulitan hidup, ini mendorongnya
untuk hijrah ke Tanjung Karang. Ia kemudian hijrah lagi
89

dan menjadi pemborong tambang batubara di Tanjung


Enim, Sumatra Selatan. Ia kemudian pindah lagi ke Jakarta
dan bekerja sebagai administrasi kebun teh.
Hidupnya penuh degan hijrah dan hidup ini butuh
keberanian dan juga butuh ilmu praktis yang langsung
terpakai di lapangan. Dalam hidup, Hasyim Ning
berusaha untuk memiliki kemampuan bergaul dan
kemampuan berkomunikasi, kemampuan membaca
peluang hidup, serta izin Allah Swt telah
mengantarkannya menjadi Presiden Direktur Jakarta Motor
Company (A.A. Navis, 1987).
Ada lagi tokoh kehidupan yang tumbuh sukses
bukan karena otaknya penuh dengan teori, namun karena
proses kehidupan yang ia alami mengantarkan dia dari
kegelapan hidup menjadi kegemilangan masa dewasanya.
Dekat kampus UNP Padang dekat Ulak Karang ada plaza
Basko.
Saya baru tahu kalau Basko itu singkatan dari
Basrizal Koto. Basko adalah pengusaha sukses yang tidak
tamat SD. Proses kehidupannya adalah menggeluti bisnis
yang menyentuh kebutuhan orang banyak yaitu seperti:
media, percetakan, pertambangan, peternakan, perhotelan
dan properti. Basrizal Koto mengawali proses hidupnya
tanpa modal, dan pendidikan yang rendah, namun punya
pengalaman hidup yang tinggi.
90

Awal proses kehidupannya adalah setelah putus


sekolah ia merantau ke Provinsi Riau. Namun ibunya
menitip nasihat, bukan menitip uang karena hidup miskin,
yaitu agar dia pandai-pandai dalam berkomunikasi,
carilah segala kemungkinan atau peluang hidup, dan
manfaatkan kesempatan. Sampai di Pekanbaru untuk bisa
hidup, maka ia sempat menjual pisang dan petai, menjadi
kenek opelet (kondektur opelet) dan ini kesempatan buat
belajar berkomunikasi, melayani orang atau penumpang.
Kemudian ia menjadi sopir dan ia juga menjadi makelar
kendaraan. Setelah itu baru ia menekuni bisnis yang lebih
berarti yaitu pada usaha properti dan juga pertambangan
(Ahmad Fatahillah, 2014).
Pesan tulisan ini kepada para remaja bahwa tekunlah
dalam belajar. Selain mendalami teori ilmu dan bidang
studi, juga perlu memiliki pengalaman hidup. Semua bisa
diperoleh melalui proses beraktivitas. Kemudian kita
harus membuang jauh budaya instan seperti ingin cepat
kaya dan cepat pintar. Ini adalah nonsense atau omong
kosong. Bahwa pintar dan kaya yang berkualitas harus
dipakai melalui proses, bukan melalui proses yang instan,
namun proses yang punya target capaian, yang didukung
dengan keberanian, tidak gengsi-gengsian, mampu
berkomunikasi, mampu membaca peluang dan juga dekat
dengan manusia dan dekat dengan Allah Swt. Dengan cara
ini insya Allah kemudahan hidup akan terbuka lebar.
91

Melejitkan Kecerdasan
yang Berimbang

Di awal tahun 2000-an, dalam dunia pendidikan ada


istilah quantum quotient atau kecerdasan quantum. Banyak
orang ingin memahami apa dan bagaimana dengan istilah
quantum quotient, yaitu bagaimana meledakkan
(menumbuhkembangkan) kecerdasan. Bobbi De Porter
dan Mike Hernacki (2002) membahas tentang istilah ini.
Mereka menyebutnya dengan istilah quantum learning,
yaitu bagaimana membiasakan belajar dengan nyaman
dan menyenangkan. Bahwa aktivitas belajar perlu suasana
nyaman dan menyenangkan. Kalau begitu, adakah sekolah
yang menyenangkan di seputar kita?
Sekolah yang nyaman dan menyenangkan itu tentu
ada, mulai dari sekolah rendah sampai ke sekolah yang
lebih tinggi. Pada umumnya TK (Taman Kanak-kanak)
92

dan juga pada PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sangat


nyaman dan menyenangkan. Karena di sana guru-gurunya
mengajar dan menemani anak dengan ramah dan sepenuh
hati.
Selanjutnya sekolah-sekolah yang dirancang menjadi
sekolah ramah anak juga sebagai sekolah yang nyaman
dan menyenangkan. Sekolah tersebut mungkin ada di
tingkat SD, SLTP dan SLTA. Kementerian Pemberdayaan
Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
gencar mengampanyekan ‚Sekolah Ramah Anak.‛
Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah sekolah yang
nyaman. Sekolah yang begini merupakan upaya
mewujudkan pemenuhan hak dan perlindungan anak
selama 8 jam anak berada di sekolah, melalui upaya
sekolah untuk menjadikan sekolah dengan suasana:
 Bersih
 Aman
 Ramah
 Indah
 Inklusif
 Sehat
 Asri
 Nyaman

Dewasa ini sudah banyak sekolah yang nyaman,


terutama untuk tingkat dasar dan menengah. Pada sekolah
ramah anak, para siswa merasa nyaman dan senang
93

belajar, karena lingkungan sekolah telah didesain begitu


menyenangkan.
Yang diperlukan oleh para siswa untuk belajar
adalah lingkungan yang menyenangkan, kemampuan
berkomunikasi, keterampilan belajar dan menumbuhkan
rasa percaya diri. Suasana menyenangkan juga
berhubungan dengan perlakuan yang diterima dari
lingkungan.
Dorothy Law Nolte memaparkan efek lingkungan
terhadap pendidikan anak, sebagaimana tertulis dalam
puisinya edukasi yang berjudul ‚children learn what they
live–anak anak belajar dari lingkungan‛. Beberapa
cuplikan puisinya mengenai suasana pendidikan dengan
lingkungan positif, yaitu sebagai berikut (Ahmad Faiz
Zainuddin, 2009):
a. Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh
toleransi, ia belajar untuk bersabar.
b. Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberi
pujian, ia belajar untuk menghargai.
c. Jika anak tumbuh di lingkungan yang menerimanya
apa adanya, ia belajar untuk mencintai.
d. Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberikan
dukungan, ia belajar untuk menyenangi dirinya.
e. Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberikan
penghargaan, ia belajar untuk memiliki tujuan dan
cita-cita.
94

f. Jika anak tumbuh di lingkungan yang suka berbagi,


ia belajar untuk bermurah hati dan suka memberi.
g. Jika anak tumbuh di lingkungan yang menjunjung
tinggi kejujuran, ia belajar untuk mencintai
kebenaran.
h. Jika anak tumbuh di lingkungan yang menghargai
keadilan, ia belajar untuk bersikap adil.
i. Jika anak tumbuh di lingkungan yang baik hati dan
penuh tenggang rasa, ia belajar untuk menghormati.
j. Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh rasa
aman, ia belajar untuk memiliki keyakinan dan
berbaik sangka.
k. Jika anak tumbuh di lingkungan yang bersahabat, ia
belajar untuk merasa bahwa dunia ini indah dan
hidup ini begitu berharga.

Nah bagaimana dengan remaja (atau anak-anak) di


lingkungan kita? Mengapa di sekolah-sekolah dan kelas-
kelas tersebut aktivitas belajar ada yang terasa nyaman
dan menyenangkan dan juga ada lingkungan sekolah yang
belum memberi suasana kurang nyaman dan
menyenangkan?
Suasana nyaman dan menyenangkan bisa terjadi
karena adanya lingkungan yang memberi semangat dan
dukungan. Lingkungan yang memberi pujian dan
menerima, juga memberi penghargaan dan rasa aman,
95

serta lingkungan yang penuh bersahabat dengan anak


didik (para remaja).
Sebaliknya bahwa suasana tidak nyaman, tidak
menyenangkan terjadi karena adanya lingkungan yang
tidak ada memberi semangat dan dukungan, tidak ada
lingkungan yang memberi pujian dan menerimanya. Juga
tidak ada lingkungan yang memberi penghargaan dan rasa
aman, serta lingkungan yang tidak bersahabat dengan
anak didik atau tidak.
Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (2002)
mengatakan bahwa setiap hari para remaja akan
memperoleh dua macam komentar dari teman, orang tua,
guru dan lingkungan mereka, yaitu komentar positif dan
komentar negatif. Adalah berbahaya bila mereka banyak
memperoleh komentar negatif, sebab semangat belajar
mereka bisa melorot.
Jika mereka sering kena ancam atau tidak
memperoleh modeling dalam hidup, maka kecerdasannya
pada akhirnya akan mandek. Lingkungan yang kaya akan
rangsangan, menghasilkan siswa atau remaja yang sukses.
Sementara lingkungan yang miskin dengan rangsangan
akan menghasilkan siswa yang lambat cara belajarnya.

Saya menjumpai sebuah lingkungan rumah yang


memungkinkan seseorang dari usia anak-anak hingga
96

remaja bisa tinggal, berinteraksi dan belajar dengan


nyaman dan menyenangkan. Memang orang tua harus
menyediakan ruang belajar dan merancangnya seapik
mungkin. Rumah tersebut adalah rumah seorang
mahasiswa Asia yang mengikuti kuliah Post Graduate
lewat beasiswa di Universitas Melbourne.
Umumnya orang di Australia hidup secara mandiri
(independent), dan tidak terbiasa punya pembantu. Punya
pembantu malah melambangkan ketidakberdayaan dan
juga tidak mandiri dalam hidup.
Mahasiswa doktoral ini membawa anaknya dan
merancang ruang belajar dan ruang eksplorasi buat anak.
Ada sarana bermain edukatif, ada bacaan, ada aturan
kehidupan, ada interaksi. Lingkungan begini memberikan
rasa aman bagi anak, ada pujian dan penerimaan. Orang
tua berusia muda ini menyediakan pengalaman yang
banyak dan beragam buat anaknya. Sang anak punya
pengalaman mencoba, bergaul dan pengalaman
perjalanan. Sebab anak atau seseorang yang punya koleksi
pengalaman pribadi yang banyak akan lebih kreatif dari
orang yang kurang pengalamannya (Ibrahim Elfiky, 2011).
Orang tua dan guru juga tidak perlu terlalu
mencampuri dan terlalu mendikte mengapa dan
bagaimana idealnya seorang anak dalam belajar. Bahwa
orang belajar tergantung pada faktor fisik, faktor
emosional dan faktor sosiologi. Ada anak yang senang
97

belajar dengan cahaya terang dan juga ada yang suka


cahaya agak redup. Ada yang suka belajar dengan
berkelompok dan ada yang suka sendiri. Kemudian ada
yang suka belajar pakai musik dan ada yang suka suasana
sepi, dan juga ada yang suka belajar dengan kondisi rapi
dan ada yang suka suasana berantakan.
Sekarang ini banyak orang beranggapan bahwa
belajar yang nyaman dan menyenangkan hanya terjadi di
sekolah-sekolah berlabel unggul, karena sekolah tersebut
sengaja dirancang dan para siswanya menjadi cerdas
karena diprogramkan. Namun jauh di sana di Indonesia
bagian timur, pada sebuah sekolah biasa-biasa saja di kota
Ambon telah muncul seorang siswa polyglot—menguasai
lebih dari 10 bahasa-bahasa dunia, sementara itu orang
tuanya hanya seorang buruh kecil, namun dia (namanya
Gayatri) menemukan quantum learning sendiri dalam
menguasai banyak bahasa, sehingga sempat mengantarkan
dia menjadi duta bangsa ke PBB di New York (Murad
Maulana, 2014).
Latif Pramudiana, seorang teman saya asal
Tangerang, yang pernah mengabdi sebagai guru di Lintau,
sebuah kota kecil di Kab. Tanah Datar, Sumatera Barat,
mengadopsi konsep long life education—dan tidak berhenti
belajar dalam hidupnya. Laki-laki ini terbiasa untuk selalu
belajar dalam hidupnya. Saya menemukan alat musik dan
juga tumpukan buku-buku di kamar kontrakannya. Dia
98

terbiasa kalau belajar membiarkan buku-buku yang dia


perlukan bertebaran di sekitarnya. Pada lain waktu ia
bermain gitar atau membaca buku yang ditemani lantunan
instrumen musik yang lembut.
Baginya memegang buku itu sebuah kenikmatan. Ia
melahap buku dengan sepenuh hati. Ia menggunakan
sebuah pensil untuk mencoret-coret, menggaris bawahi
dan menghubungkan ide-ide dalam buku tersebut. Bila
bisa menamatkan satu buku, ia merasakan bahwa ia
berhasil menaklukan sebuah peradaban dan ia pun
merayakan. Banyak membaca bukan berarti membuat ia
menjadi kurang pergaulan. Ia juga meluangkan waktu
untuk saling bertukar pikiran dengan sesama dan juga
melakukan banyak perjalanan untuk menemui orang baru
dan pengalaman baru.

Secara tidak sengaja saya sering berkunjung ke


sebuah rumah di Lintau. Bagi saya rumah tersebut adalah
sebuah rumah inspirasi karena di dalamnya terdapat
beberapa lemari yang penuh dengan berbagai jenis buku.
Orang yang memiliki buku-buku tersebut bernama Fasli
Jalal, yang kemudian sempat menjabat Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam usia muda dia telah
membaca/menamatkan dan mentelaah semua isi buku
99

tersebut. Sehingga dia memiliki wawasan yang luas dan


dalam.
Quantum learning—kebiasaan belajar nyaman dan
menyenangkan—telah mengantarkan Fasli Jalal menjadi
salah seorang tokoh pendidikan terkemuka di Indonesia.
Itu diawali dengan keputusannya saat muda untuk
memilih sekolah berkualitas Di Kota Solok jauh dari
kampungnya di Lintau. Di sana dia hidup mandiri dan
terbiasa dengan active learning dan peduli dengan literasi
membaca yang banyak dan berkualitas. Semangat suka
berkompetisi memberinya motivasi yang tinggi untuk
mencapai visinya melalui strategi hidupnya yang
terencana hingga ia memperoleh puncak kariernya. Itu
sebagaimana dikatakan oleh kerabat Fasli Jalal pada saya.
Untuk zaman sekarang, bahwa seseorang yang hebat
bukan hanya harus memiliki IQ (inteligent quotient) yang
bagus, namun juga harus peka dan peduli dengan
eksistensi EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient).
Dia harus memiliki komponen kecerdasan yang
berimbang, yaitu EQ, SQ dan IQ.
Dengan IQ yang bagus, akan menjadi syarat mutlak
untuk berkompetisi. EQ yang bagus menjadi syarat untuk
mencapai prestasi puncak dan SQ menjadi syarat untuk
mencapai tujuan dunia dan akhirat. Kesuksesan kita
ditentukan oleh IQ, dan kebahagiaan kita ditentukan oleh
100

IQ dan SQ. Maka inilah hakikat untuk melejitkan


kecerdasan yang berimbang.
Agus Nggermanto (2003) menjelaskan tentang
bagaimana cara melejitkan IQ, EQ dan SQ secara
harmonis. Salah satunya adalah melalui accelerated learning
atau percepatan belajar. Percepatan belajar bagi siswa
dengan IQ yang mantap bisa dilakukan melalui membaca
cepat, membaca yang cepat, dan berpikir kreatif.
Rata-rata kita memiliki IQ yang standard dan kita
perlu mengasah IQ kita. Kebiasaan yang bisa kita lakukan
untuk mengasah IQ adalah melalui membaca cepat,
menghafal yang cepat, berpikir kreatif, berhitung cepat
dan, mencatat yang cepat—misal melalui mind mapping.
Menghafal yang cepat dapat kita lakukan dengan
menggunakan semua indera yang berhubungan
penyerapan informasi seperti audio (pendengaran), visual
(penglihatan) dan kinestetik atau gerak. Intensitas dan
pengulangan pokok pikiran dengan cara membaca
bersuara atau melalui peta pikiran juga menentukan
kualitas hafalan. Menggunakan unsur emosional, seperti
bernyanyi (memakai musik) dan melakukan gerakan juga
menentukan kualitas hafalan. Bergerak dapat
membangkitkan semangat.
Membaca cepat adalah kebutuhan dasar manusia.
Membaca telah dianjurkan oleh Allah Swt seperti yang
dapat kita baca dalam alquran. Membaca merupakan
101

kunci untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan


akhirat. Untuk mengatasi masalah membaca adalah
dengan mempercepat kemampuan membaca. Untuk itu
kita harus membiasakan banyak membaca.
Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (2002: 178)
menjelaskan tentang menulis dan mencatat, kita semua
adalah penulis. Dorongan untuk menulis itu sama besar
dengan dorongan untuk berbicara, yaitu untuk
mengomunikasikan pikiran dan pengalaman kita.
Tentang mencatat, bahwa mencatat berguna untuk
meningkatkan daya pikir kita. Ada 2 cara mencatat yang
dapat kita terapkan yaitu dengan cara membuat peta
pikiran atau mind mapping dan yang lain dengan bentuk
catat tulis susun. Kiat-kiat tambahan dalam mencatat
berguna untuk membuat kita menjadi pendengar yang
aktif.
Seseorang kalau mendengar ceramah, pidato dan
seminar, kalau hanya sebatas mendengar maka daya tahan
atau fokusnya tidak begitu lama. Setelah itu dia akan
merasa bosan dan mengantuk. Maka mendengar aktif
perlu dilaksanakan, yaitu mendengar dan mencatat ide-ide
penting. Maka saat mendengar ceramah, pidato dan
seminar, duduklah di bagian depan dan mendengar sambil
mencatat poin-poin penting. Maka rasa kantuk akan hilang
dan kualitas konsentrasi bertambah.
102

Tentang korelasi multiintelegensi (kecerdasan


berganda) dengan IQ, SQ dan EQ. Yang termasuk
kecerdasan intelektual (IQ) meliputi kecerdasan logis dan
linguistik atau numerikal dan verbal. Kecerdasan
emosional (EQ) meliputi kecerdasan intrapersonal
(memahami dan menguasai diri) dan interpersonal
(bergaul dan beradaptasi dengan orang lain), kemudian
kecerdasan spiritual (SQ) meliputi kecerdasan substansial
(zat) dan kecerdasan ekistensial (memahami keberadaan
hidup dan penciptaan kehidupan). Bentuk kecerdasan
yang lain (quotient lain) adalah kecerdasan kinestetik
(psikomotorik atau kecerdasan tubuh) dan kecerdasan
musik.
Melejitkan kecerdasan yang berimbang, yaitu antara
kecerdasan IQ, EQ dan SQ perlu diusahakan. Kalau kita
hanya sebatas cerdas dengan IQ, kita memang mampu
bersaing dalam hidup, namun kita akan susah untuk
mencapai karier puncak karena karier puncak dilalui lewat
tangga sosial atau kecerdasan emosional (EQ). Kemudian
hidup juga terasa kosong dan miskin dari nilai-nilai
kehidupan, karena kita lemah dalam kecerdasan spiritual
(SQ).
Sebelumnya kita sudah memaparkan cara
meningkatkan potensi IQ, maka berikut adalah cara buat
meningkatkan potensi EQ dan SQ. Emotional quotient kita
bisa berkembang melalui:
103

 Bergaul dengan banyak orang, dengan cara demikian


kita akan memiliki pengalaman yang kaya dengan
berbagai jenis emosi orang.
 Sudi untuk mengambil tanggung jawab.
 Mendengar dengan cara berempati, utamanya pada
anak dan murid, dan juga pada orang yang lebih
muda usianya.
 Mengungkapkan suasana hati.
 Membantu untuk menemukan solusi lewat curhat
(curah hati atau curah perasaan).
 Dengan cara menjadi modeling atau teladan bagi
orang sekitar. Seseorang suka melihat atau meniru
contoh daripada diceramahi atau digurui.

Tentang spiritual quotient, bahwa banyak orang yang


sukses ditinjau dari ukuran dunia, namun mereka merasa
kering dan gersang pada rohaninya. Itu terjadi karena
mereka kurang memahami substansial zat diri dan
penciptanya, dan juga kurang memahami eksistensi atau
keberadaannya.
Menurut ajaran Islam bahwa setiap manusia harus
punya hubungan yang berimbang antara ‚hablul minallah
wa hablul minannas–berhubungan dengan Allah Swt
(Tuhan) dan juga berhubungan dengan manusia‛. Untuk
meningkatkan kualitas spiritual quotient atau kecerdasan
spiritual, maka kita harus punya ilmu pengetahuan
tentang agama, kita mampu menerapkan atau
104

mengamalkan ilmu tersebut. Kemudian kita harus


memiliki komunitas atau jamaah di mana di sana kita
dapat saling bercermin diri atau melakukan refleksi serta
introspeksi diri.
105

Kemampuan Akademik dan


Pengalaman Kerja yang Berimbang

Saya sangat tertarik dengan tulisan Annie Mueller


(2015) yang berjudul: work experience versus education–which
lands you the best job? Pengalaman kerja versus pengalaman
pendidikan–yang mana lebih banyak berpengaruh untuk
meraih pekerjaan? Tulisan ini dipaparkannya dalam
bentuk tinjauan analisis. Beberapa argumen yang
dipaparkannya adalah seperti:
a. Pendidikan tinggi hanya membuktikan bahwa Anda
hanya sebatas sukses dalam bidang akademik, bukan
dalam dunia kerja yang nyata.
b. Sukses dalam pekerjaan yang aktual (pengalaman
kerja) lebih berarti daripada sebatas sukses dalam
bidang pendidikan.
106

Tinjauan analisis di atas didukung pula oleh


pendapat George D Kuh (2015), dia menulis sebuah artikel
dengan judul: ‚the chronicle of higher education‛. Ia
mengatakan bahwa seorang mahasiswa yang bekerja saat
ia masih kuliah akan memperoleh keterampilan yang
sangat berguna bagi kariernya kelak. Yaitu seperti
keterampilan dalam team work dan manajemen waktu.
George. D Kuh (2015) menambahkan bahwa para
mahasiswa yang bekerja part time (kerja paruh waktu) akan
membantu mereka untuk melihat dari dekat tentang nilai
keterampilan hidup sesuai dengan teori yang dipelajari
dalam kelas dan diaplikasikan dalam pengalaman bentuk
nyata. Pengalaman tersebut juga akan punya dampak
langsung dengan cita-cita atau karier yang sedang dicari.
Ilmu pengetahuan (kemampuan akademik) yang kita
miliki bisa menjadi usang atau kedaluwarsa (expired),
kecuali kalau selalu kita perbaharui (update) tiap saat.
Gelar kesarjanaan yang diperoleh seseorang 20 tahun lalu,
misalnya untuk bidang teknologi, ilmunya bisa jadi tidak
begitu terpakai untuk saat ini. Kecuali kalau dia memiliki
akumulasi pengalaman kerja yang relevan yang lamanya
juga 20 tahun. Dengan demikian pengalaman kerja lebih
punya nilai signifikan dibandingkan teori yang diperoleh
melalui pendidikan sebelumnya.
Sekarang banyak hal-hal lama yang telah berubah.
Banyak produk dan manajemen bisnis yang juga berubah.
107

Pada tahun 1960-an, di pergelangan tangan setiap orang


nyaris hanya ada arloji ‚made in Switzerland‛. Jam tangan
buatan Swiss itu menguasai market share di atas 60%.
Namun pada tahun 1980-an market share-nya tinggal 15%.
Arloji Swiss tiba-tiba dihajar jam digital buatan Asia. Pada
tahun 1970-an, dunia hanya mengenal rol film merek
Kodak dan Fuji. Kini Kodak sudah tidak ada, sedangkan
Fuji berevolusi ke dunia digital. Apa yang tengah terjadi
dengan strong brand itu? Ini adalah fenomena perubahan
ini dengan istilah ‚Menyerang (disrupting) atau diserang
(disrupted), atau fenomena disruption (Rhenald Kasali,
2017).
Disruption agaknya juga bisa terjadi dalam dunia
pendidikan. Kalau biasanya mau cedas dan ingin memiliki
nilai akademik yang tinggi, mereka pergi ke bimbel,
namun kelak tak perlu lagi, karena mereka bisa mengakses
Quipper, atau semacam aplikasi bimbel (bimbingan
belajar). Maka kita sangat direkomendasi untuk
memahami berbagai kecenderungan—the life trendy di
dunia ini yang selalu berubah, namun kita selalu bisa
melatih diri agar selalu memiliki banyak pengalaman
hidup ini.
‚Mana yang lebih punya pengaruh signifikan antara
pengalaman kerja atau hanya sebatas mencari pengalaman
akademik di sekolah/di kampus?‛ Demikian paparan pro
dan kontra atas pernyataan Annie Mueller (2015). Namun
108

saya ingin menggabungkan kedua titik pandang tersebut


menjadi dua kekuatan yang saat ini bermanfaat untuk
menuju masa depan. ‚Bahwa kita perlu memiliki
kemampuan akademik dan pengalaman kerja
(keterampilan hidup) yang berimbang‛.
Saya juga termasuk orang yang mendukung bahwa
pengalaman kerja tetap lebih signifikan dari segudang
teori. Saya terinspirasi dengan pengalaman hidup
(biografi) orang-orang sukses, misalnya dua orang tokoh,
Presiden Sukarno dengan pengalaman hidupnya yang
dahsyat dan Ciputra dengan pengalaman enterpreneurnya
yang sangat hebat.
Dari biografi mereka kita tahu bahwa kunci yang
membuat mereka jadi hebat atau sukses adalah ‚karena
mereka mempunyai proses kehidupan yang hebat‛.
Mereka mengalami proses belajar, proses berorganisasi,
proses bersosial yang hebat, dan proses kehidupan lain
yang mereka ciptakan dan mereka lakoni.

Bagaimana pendapat banyak remaja tentang apa


yang perlu mereka miliki selagi masih sekolah di SLTA,
atau bagi mereka yang sedang kuliah di perguruan tinggi
sebagai antisipasi untuk meraih masa depan(?) Mayoritas
mereka berpendapat bahwa sukses dengan pendidikan
109

merupakan jembatan emas buat meraih mimpi. Pendapat


ini mungkin juga benar.
Sekolah yang juga identik dengan dunia akademik,
di sana para remaja berlomba agar bisa jadi jagoan dalam
bidang akademik. Maka merekalah yang dianggap sebagai
seorang yang sukses. Para remaja yang memperoleh juara
kelas, juara bidang studi, juara olimpiade, hingga juara
umum, ya mereka dapat dikatakan sebagai seorang hero.
Para orang tua juga berpikiran bahwa putra-putri
yang jago dalam akademik, maka itulah yang dikatakan
sukses tersebut. Jadinya mereka rela untuk membebaskan
anak dari tanggung jawab ikut mengerjakan house work—
membersihkan rumah, menyapu, cuci piring, menutup
warung, dll—asal anak mereka bisa ikut bimbel dan
melahap semua contoh-contoh soal ujian. Sebab terbayang
sudah bahwa kalau sang anak mampu memperoleh ijazah
dengan skor-skor yang fantastis, wow dapat dipastikan
bahwa jalan toll menuju masa depan sudah terbentang.
Sang anak akan melenggang kangkung buat melangkah
menuju perguruan tinggi favorit dan setelah itu mimpi
mereka akan menjadi kenyataan.
Adalah fenomena sosial bahwa cukup banyak
generasi muda yang telah berhasil menyelesaikan
pendidikan di perguruan tinggi, namun terlihat
kebingungan. Mereka yang telah menyandang gelar
kesarjanaannya terlihat bengong—tak tahu lagi hendak
110

mau dibawa ke mana ijazah yang baru saja diterima dari


perguruan tinggi(?)
Bahkan juga banyak pemuda dan pemudi yang telah
menyelesaikan studi di perguruan tinggi masih
memperpanjang kontrak rumah kos mereka agar bisa
tinggal lebih lama dan berharap kerja favorit yang mereka
impikan bisa jatuh dari langit. Namun itu semua adalah
nonsense!!!
Karena ternyata tidak ada pekerjaan yang jatuh dari
langit. Bahwa pekerjaan itu tidak akan datang mengejar
kita dan juga tidak datang dengan mudah. Bahwa kitalah
yang wajib mencari pekerjaan atau menciptakan suatu
pekerjaan. Ya kesuksesan kerja yang hebat itu kitalah yang
menciptakannya.
Sebuah pendapat umum menyatakan bahwa kalau
dahulu, 20 atau 30 tahun lalu, bila ada kelulusan 100% dari
sarjana baru, maka yang 80% akan memperoleh pekerjaan,
sementara yang 20% menjadi pengangguran. Mereka
kemudian menjadi sarjana pencaker–pencari pekerjaan.
Fenomena sosial tersebut kemudian berbalik 180 derajat
untuk para sarjana hari ini. Yakni dari 100% kelulusan
sarjana baru, yang 20% akan mampu memperoleh
pekerjaan dan yang 80% menjadi PTT alias Pengangguran
Tingkat Tinggi.
‚Siapa sih 20% dari para sarjana baru yang mampu
memperoleh pekerjaan setelah lulus dari perguruan
111

tinggi?, dari mana mereka berasal? dan apa kegiatan


mereka saat di SLTA dan saat jadi mahasiswa?‛
Para sarjana yang mampu memperoleh pekerjaan
setelah wisuda adalah mereka yang sewaktu masih kuliah
tidak terjebak sebagai mahasiswa ‚kupu-kupu‛. Yaitu para
mahasiswa yang kebanyakan hanya terfokus pada urusan
akademik dan tahunya hanya ‚kuliah pulang-kuliah
pulang‛. Atau juga bukan tipe mahasiswa yang terjebak
dalam karakter pasif—karakter ‚D-D-D-D‛ atau ‚4D‛
yaitu tahunya cuma ‚datang, duduk, dengar, diam‛.
Namun mereka adalah para mahasiswa yang selain aktif
belajar juga ikut melibatkan diri dalam ekskul di kampus
dan punya seabrek peran dalam hidup mereka.
Juga diperkirakan bahwa para sarjana yang mampu
memperoleh pekerjaan tidak lama setelah mereka wisuda
adalah mereka yang saat menjadi siswa SLTA—di bangku
SMA, Madrasah dan SMK—bukan termasuk tipe siswa
yang tahunya hanya jadi anak manis (anak rumahan).
Yaitu siswa yang patuh, kaku, kuper, enggak punya
banyak waktu buat membuka diri. Namun mereka adalah
para siswa yang selain bertanggung jawab dalam belajar,
juga meluangkan waktu dan pikiran dalam mengurus
kegiatan OSIS di sekolah. Sementara di rumah mereka
adalah juga para anak yang juga pinter buat menyenangi
hati orang tua—ayah dan ibuya, serta tahu cara
menempatkan peran dalam lingkungan sosial.
112

‚Jadinya mereka juga peduli dalam mengurus diri


sendiri, merapikan kamar, membantu mama di dapur,
menemani papa untuk beres-beres di pekarangan rumah
atau ditempat usaha, juga peduli dengan tetangga atau
dengan sesama‛.
Untuk zaman sekarang para siswa yang hanya
sebatas jago dalam menaklukan buku, bisa jadi juara kelas
dan juara lomba bidang akademik, namun kurang
membuka diri dan juga kurang peduli dengan sesama
bakal susah kebingungan buat mencari masa depan.
Apalagi kalau juga susah diajak ngomong (berkomunikasi)
dan susah buat bekerja sama dengan team work. Maka
kepintaran mereka hanya bersifat fatamorgana semata—
bisa dilihat namun tak dapat buat disentuh. Sementara
nilai atau skor-skor yang tinggi pada selembar ijazah tidak
akan banyak berguna bagi orang lain. Nilai yang tinggi
hanya menjadi persyaratan pertama untuk lulus, untuk
diterima, dll.
‚Sekarang begitu banyak pelajar yang pinter di
sekolah, ya sebatas pinter cari nilai dan miskin pengalaman
hidup, setelah dewasa hanya mampu jadi wong kecil atau
pekerjaan biasa-biasa saja. Sementara itu bagi yang saat
remaja—sekolah di SMA/MA yang pintarnya biasa-biasa
saja, namun sangat peduli dengan sesama dan juga aktif
dengan kehidupan sosial. Singkat kata dia adalah tipe
orang yang cepat kaki ringan tangan. Senang bekerja dan
113

suka memberi bantuan pada sesama, maka setelah dewasa


mereka—alhamdulillah—menjadi orang yang rata-rata
tergolong sukses‛.
Kalau demikian bagaimana jadinya tentang
eksistensi sebuah sekolah? Ya keberhasilan dalam hidup
ini tidak hanya ditentukan semata-mata pada prestasi
akademik. Prestasi akademik yang tinggi juga mutlak
diperlukan bagi mereka yang juga akan berkarier dalam
akademik, mungkin juga untuk menjadi mentor pada
bimbel, guru dan dosen. Namun pekerjaan di luar itu
sangat direkomendasi untuk memiliki nilai dan
keterampilan sosial yang juga ekstra. Kemampuan
akademik tidak cukup buat meraih masa depan. Jadinya
mereka mutlak untuk memiliki kecakapan hidup yang lain
seperti kemampuan bekerja sama (team work), keberanian,
keterampilan berkomunikasi, kemampuan manajemen,
kemampuan memimpin, kemampuan beradaptasi, dll.

Dari proses kehidupan bapak proklamator negara


kita, Presiden Sukarno, dapat kita baca bahwa prestasi
akademik dan serangkaian pengalaman sosial/pengalaman
hidupnya telah menjadi kunci utama dalam
mengantarkannya menjadi orang yang hebat dalam sejarah
Indonesia, bahkan juga dalam sejarah dunia. Sejak berusia
masih muda Presiden Sukarno sangat gemar belajar,
114

membaca dan berorganisasi. Ia belajar secara otodidak


untuk banyak bidang. Saat dia pindah rumah maka dia
membutuhkan sebuah truk untuk membawa buku-
bukunya dalam berbagai bahasa. Karena ia menguasai
bahasa Inggris dan Belanda secara fasih dan beberapa
bahasa asing lainnya.
Eksistensi Presiden Sukarno telah menjadi sumber
inspirasi banyak orang di dunia, apalagi buat kita di
Indonesia. Dia adalah tokoh yang sangat hebat. Grolier
(1965) menempatkan peran kepemimpinan Sukarno sama
dengan pemimpin negara sekelas dunia dan berpengaruh
saat itu, seperti Kennedy, Nehru, Mao, Nasser, Tito, De
Gaule, Nkrumah, dll. Dia punya pengalaman hidup yang
luas dan pengalaman akademik yang hebat.
Membaca merupakan kebiasaan positif yang selalu
dilakukan Bung Karno sejak kecil. Apa alasan mengapa
Bung Karno harus gemar membaca, rajin belajar dan
belajar tentang segala sesuatu?
Didorong oleh ego yang meluap-luap untuk bisa
bersaing dengan siswa-siswa bule, maka Bung Karno
sangat tekun membaca, dan sangat serius dalam belajar.
Ketika belajar di HBS (Hoogere Burger School) Surabaya.
Dari 300 murid yang ada dan hanya 20 murid saja yang
pribumi (satu di antaranya adalah Bung Karno) yang sulit
menarik simpati teman-teman sekelas. Mereka
memandang rendah kepada anak pribumi sebagai anak
115

kampungan. Namun Bung Karno adalah murid yang hebat


sehingga satu atau dua guru menaruh rasa simpati
padanya.
Rasa simpati gurunya, membuat Bung Karno bisa
memperoleh fasilitas yang lebih untuk ‚mengacak-acak
atau memanfaatkan‛ perpustakaan dan membaca segala
buku, baik yang ia gemari maupun yang tidak ia sukai.
Umumnya buku ditulis dalam bahasa Belanda. Problem
berbahasa Belanda menghambat rasa haus ilmunya
(membaca buku yang ditulis dalam bahasa Belanda).
Entah strategi apa yang ia peroleh secara kebetulan,
namun Bung Karno punya jalan pintas (cara cepat) dalam
menguasai bahasa Belanda. Bung karno menjadi akrab
dengan noni Belanda sebagai kekasihnya. Berkomunikasi
langsung dalam bahasa asing (Bahasa Belanda) adalah cara
praktis untuk lekas mahir berbahasa Belanda. Mien
Hessels, adalah salah satu kekasih Bung Karno yang
berkebangsaan Belanda.
Dalam usia 16 tahun, Bung Karno fasih berbahasa
dan membaca dalam Bahasa Belanda. Ia sudah membaca
karya besar orang-orang besar dunia. Di antaranya adalah
Thomas Jefferson dengan bukunya Declaration of
Independence. Bung Karno muda, juga mengkaji gagasan-
gagasan George Washington, Paul Revere, hingga
Abraham Lincoln, mereka adalah tokoh hebat dari
Amerika Serikat. Tokoh pemikir bangsa lain adalah seperti
116

Gladstone, Sidney dan Beatrice Webb juga dipelajarinya.


Bung Karno juga mempelajari ‘Gerakan Buruh Inggris‛
dari tokoh-tokoh tadi. Bung Karno juga membaca tentang
Tokoh Italia, dan ia sudah bersentuhan dengan karya
Mazzini, Cavour, dan Garibaldi. Tidak berhenti di situ,
Bung Karno bahkan sudah menelan habis ajaran Karl
Marx, Friedrich Engels, dan Lenin. Semua tokoh besar tadi,
menginspirasi Bung Karno muda untuk menjadi maju dan
smart.
Penelusuran atas dokumen barang-barang milik
Bung Karno di Istana Negara, yang diinventarisasi oleh
aparat Negara yang ditemukan setelah ia digulingkan.
Dari ribuan barang miliknya, hampir 70 persen adalah
buku. Sisanya adalah pakaian, lukisan, mata uang receh,
dan pernak-pernik lainnya. Harta Bung Karno yang
terbesar memang buku.
Dari biografinya (Sukarno: An Autobiography)
diketahui bahwa betapa dalam setiap pengasingan dirinya,
baik dari Jakarta ke Ende, dari Ende ke Bengkulu, maupun
dari Bengkulu kembali ke Jakarta, maka bagian terbesar
dari barang-barang bawaannya adalah buku. Semua itu,
belum termasuk buku-buku yang dirampas dan
dimusnahkan penguasa penjajah. Apa muara dari proses
belajar sepanjang hidup yang sangat kreatif adalah
mengantarkan Bung Karno menjadi Presiden yang pernah
memperoleh 26 gelar Doktor Honoris Causa. Jumlah gelar
117

doktor yang ia terima dari seluruh penjuru dunia, 26 gelar


doktor HC yang rinciannya, 19 dari luar negeri, 7 dari
dalam negeri. Ia memperoleh gelar doctor HC dari Far
Eastern University, Manila: Universias Gadjah Mada,
Yogyakarta: Universitas Berlin: Universitas Budapest:
Institut Teknologi Bandung: Universitas Al Azhar, Kairo:
IAIN Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta: dan
universitas dari negara lain seperti Amerika Serikat,
Kanada, Jerman Barat, Uni Soviet, Yugoslavia,
Cekoslovakia, Turki, Polandia, Brazil, Bulgaria, Rumania,
Hongaria, RPA, Bolivia, Kamboja, dan Korea Utara.
Kemudian, bagaimana masa kecil dan proses
kreativitas Bung Karno yang lain? Agaknya Bung Karno
telah memiliki jiwa leadership (kepemimpinan) sejak kecil,
karena apa saja yang diperbuat Bung Karno kecil, maka
teman-temannya akan mengikuti. Apa saja yang
diceritakan Bung Karno kecil, maka teman-teman akan
patuh mendengarkannya. Oleh teman-temannya, Bung
Karno bahkan dijuluki ‚jago‛. Karena gayanya yang begitu
‚pede‛. Itu pula yang mengakibatkan ia sering berkelahi
dengan anak-anak Belanda.
Ada satu karakter yang tidak berubah selama enam
dasawarsa kehidupannya. Salah satunya adalah karakter
pemuja seni. Ekspresinya disalurkan dengan cara
mengumpulkan gambar bintang-bintang terkenal. Karena
kecerdasan dan keluasan wawasannya sejak kecil maka
118

pada usia 12 tahun, Bung Karno sudah punya gang


(pasukan pengikut yang setia). Kalau Bung Karno bermain
jangkrik di tengah lapangan yang berdebu, segera teman
temanya mengikuti. Kalau Karno diketahui
mengumpulkan prangko, mereka juga
mengumpulkannya. Kalau ‚gang‛ mereka bermain panjat
pohon, maka Bung Karno akan memanjat ke dahan paling
tinggi. Itu artinya, ketika jatuh Bung Karno pun jatuh
paling keras daripada anak-anak yang lain. Dalam segala
hal, Bung Karno selalu menjadi yang pertama mencoba.
‚Nasib Bung Karno adalah untuk menaklukkan, bukan
untuk ditaklukkan‛.
Bung karno menganut ideologi ‘berdiri di atas kaki
sendiri’. Saat menjadi presiden Bung Karno dengan gagah
mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya:
‚Go to hell with your aid. Persetan dengan bantuanmu!!!‛
Ia mengajak negara-negara sedang berkembang
(baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga
berhasil menggelorakan semangat revolusi bagi
bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI. Bung Karno
juga memiliki slogan yang kuat yaitu ‚gantungkan cita-cita
setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju
kehidupan sejahtera, adil makmur‛.
Bung Karno adalah juga orator ulung. Gejala
berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang
mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya
119

menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya


berhubungan dengan kepribadiannya dan latihan
berpidato yang ia lakukan. Ketika masih belajar Bung
Karno sering berlatih berpidato sendirian di depan kaca
dan juga berbicara di depan gangnya. Bung Karno juga
gemar menuliskan opini-opininya dalam bentuk artikel.
Kumpulan tulisannya dengan judul ‚Di bawah Bendera
Revolusi‛, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling
menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno
sebagai Soekarno. Tulisannya yang lain dengan judul
‚Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme‛ adalah paling
menarik dan mungkin paling penting sebagai titik tolak
dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa
mudanya (Cindy Adams, 1965).
Apa yang dapat kita jadikan I’tibar (pembelajaran)
dari uraian di atas (dari kehidupan Bung Karno) dan kita
hubungkan dengan cara belajar dan gaya hidup kita?
Bahwa membaca adalah kebiasaan positif yang perlu
selalu dilakukan. Sebagaimana halnya Bung Karno
membaca buku-buku berbahasa asing (bahasa Belanda).
Untuk membuat bahasa asingnya lancar adalah dengan
mempraktikkan (menggunakan) bahasa tersebut dengan
orang yang mahir (pribumi maupun orang asing). Setelah
lancar berbahasa asing/bahasa Belanda, ia tidak cepat
merasa puas dan berhenti belajar. Ia malah membaca
biografi tokoh-tokoh besar di dunia dan juga buku-buku
120

berpengaruh di dunia sehingga ia memiliki wawasan dan


cara pandang yang luas.
Untuk menjadi sukses maka juga perlu punya
prinsip hidup ‚mandiri atau berdikari—berdiri pada kaki
sendiri‛. Jangan terlalu suka untuk mencari bantuan.
Kemudian juga penting untuk mengembangkan
pergaulan/teman yang banyak untuk melakukan proses
bertukar pikiran. Juga penting untuk melatih jiwa
pemimpin—bukan jiwa penurut, pasif atau pendengar
abadi.
Selanjutnya bahwa juga penting mengembang
kemampuan berbicara/berpidato lewat latihan sendiri dan
berpidato didepan kelompok. Kemampuan
berbicara/berpidato perlu didukung oleh kemampuan
menulis, karena membuat pidato punya karismatik dan
menarik. Ini dapat dikembangkan melalui latihan demi
latihan. Inilah top secret dari proses hidup Presiden
Sukarno sehingga dia bisa menjadi inspirasi bagi kita dan
bagi dunia.
121

Kriteria Memilih Profesi

Memilih profesi merupakan salah satu topik


pembicaraan yang hangat di kalangan remaja. Kata lain
dari profesi adalah ‚pekerjaan atau karier‛. Selanjutnya
mencari profesi juga telah terjadi sejak masa anak-anak.
Bila diajukan sebuah pertanyaan pada sekelompok anak-
anak.
‚Bila tumbuh dewasa kelak, kalian mau jadi apa?‛
Maka pasti dengan berebutan dan suara lantang akan
menyebutkan lusinan profesi yang bakal mereka raih bila
dewasa kelak. Ada yang menjawab ingin menjadi
presiden, menteri, pilot, dokter, polisi, perawat, tentara,
dan beberapa profesi yang klasik lainnya yang terlintas di
depan mata mereka.
Saya juga punya profesi klasik. Saya dan saudara
saya sewaktu kecil ingin menjadi ‚penjual ayam‛ dan
122

abang saya ingin menjadi ‚penjual jeruk‛. Kalau dijadikan


dengan istilah kerennya bahwa kami berdua ingin menjadi
‚enterpreneur dalam bidang peternakan dan pertanian‛.
Kenapa demikian?
Sewaktu kecil ayah saya sering mengajak kami pergi
eksplorasi (rekreasi) ke luar kota Payakumbuh—
mengunjungi temannya. Beberapa orang teman ayah
begitu baik pada kami. Kami diajak ngobrol dan melihat-
lihat ternak ayam dan juga memetik jeruk di kebun
mereka. Ketika mau pulang teman ayah menyelipkan oleh-
oleh (bingkisan) ke dalam kantong kami. Betapa baiknya
teman ayah itu kepada anak kecil, sehingga kami berdua
mengidolakan mereka dan kami ingin memilih profesi
kelak seperti profesi yang mereka geluti.
Seiring bergulirnya waktu saya mencari profesi buat
masa depan saya. Saya ingin menjadi dokter karena saya
terkesan dengan penampilan dokter yang menangani saya
saat diantar berobat ke rumah sakit oleh ibu. Sementara
abang saya yang mengagumi profesi ABRI dan Polisi ingin
menjadi polisi atau tentara. Ya dia mungkin mengikuti
profesi ayah saya sebagai seorang polisi.
Setelah tamat dari bangku SMA profesi kami jadi
tidak jelas. Namun saya ingin melanjutkan studi ke IPB
karena ingin menjadi ahli dalam bidang pertanian,
sementara abang saya ingin masuk pendidikan taruna
AKABRI. Namun cita-cita kami tidak bisa kami wujudkan.
123

Akhirnya saya memilih studi pada jurusan Bahasa Inggris


dan abang saya pada teknik bangunan. Kami berdua sama-
sama kuliah di IKIP Padang dan sekarang berganti nama
menjadi UNP (Universitas Negeri Padang). Ya
demikianlah proses pencarian profesi bagi kami berdua.
Setiap awal tahun, saya sering ikut menjadi tim
perekrutan untuk menseleksi siswa baru di sekolah tempat
saya berkarier (SMAN 3 Batusangkar). Ada serangkaian
kegiatan yang harus dilalui para siswa baru agar bisa
diterima di sekolah ini, seperti test tertulis, test psikologi
dan kegiatan wawancara. Saya ikut mewawancarai mereka
dan mengajukan sejumlah pertanyaan, seperti:
‚Coba sebutkan dan jelaskan tentang cita-cita Anda?
Atau kelak bila sudah dewasa, Anda mau jadi apa?‛
Mereka memberi jawaban yang beragam. Mayoritas
calon siswa menjawab bahwa mereka ingin menjadi
dokter, guru, perawat, dan lusinan profesi lain, serta
sangat banyak yang ingin jadi pegawai (PNS).
‚Mengapa begitu banyak yang ingin jadi PNS?‛.
Setelah membalik-balik dokumen ternyata ayah dan
ibu mereka mayoritas berprofesi sebagai PNS. Ada PNS
sebagai guru, PNS di bidang kesehatan, perdagangan, dll.
Ya beginilah jadinya kalau banyak orang tua murid yang
berprofesi sebagai PNS. Sehingga anak-anak mereka juga
ketularan ingin menjadi PN. Memang sebelumnya
populasi PNS di negeri ini begitu berlimpah ruah,
124

sehingga anak-anak dan cucu mereka juga ingin menjadi


PNS atau bekerja sebagai orang kantoran.
Cita-cita ingin menjadi pegawai atau PNS lebih
banyak diungkapkan oleh anak perempuan. Sementara
calon siswa pria memberikan jawaban sedikit lebih
bervariasi. Ada juga yang ingin menjadi dokter, juga ada
yang ingin berprofesi dalam bidang teknik. Ada yang
ingin berprofesi di teknik perminyakan. Dalam imajinasi
mereka bahwa kalau bekerja di perusahaan perminyakan
maka akan menyembur sangat banyak uang. Di samping
itu juga ada yang ingin berprofesi sebagai pengusaha.
‚Pengusaha di bidang apa? Namun kata pengusaha
itu sendiri masih luas dan cukup abstrak.‛
Mereka protes saat saya klarifikasi apakah mereka
ingin berprofesi sebagai pengusaha tempe, pengusaha
ayam potong, atau pengusaha bahan bangunan. Semua
klarifikasi tersebut memperoleh bantahan, karena itu
semua adalah pengusaha rendahan dan murahan dalam
pandangan mereka.
Terkesan dari wajah mereka bahwa pekerjaan yang
hebat itu adalah pekerjaan yang mempunyai hubungan
dengan mata pelajaran yang mereka anggap sangat
bergengsi, mata pelajaran yang disangkut-pautkan dengan
UN. Beberapa mata pelajaran yang masuk ke dalam UN
adalah seperti: Kimia, fisika, matematika, biologi,
akuntansi, dan ekonomi.
125

Bahwa pilihan profesi siswa yang saya wawancarai


cenderung bersifat klasik atau konvensional dan
berorientasi pada akademik. Atau kalau ditanya lebih
detail, maka mereka sendiri juga kebingungan untuk
mendeskripsikan profesi yang lebih spesifik (cita-cita yang
lebih jelas).
Saat saya melakukan konfirmasi ulang maka lagi-lagi
mereka menyebutkan profesi (cita-cita) yang masih
konvensional:
‚Saya ingin menjadi dokter, spesialis anak, spesialis
jantung, dosen, insinyur, direktur bank,‛ ya... ya... yang
ujung-ujungnya ingin menjadi PNS, pegawai BUMN atau
orang bekerja di kantoran.
Padahal dalam kebijakan pemerintah sekarang, yaitu
menghentikan buat sementara penerimaan PNS. Terhitung
mulai tahun 2015 (Merdeka.com, 31 Oktober 2014). Untuk
itu diharapkan para remaja untuk mencari tahu tentang
bimbingan karier. Mereka mesti punya self determination—
ketetapan karier untuk masa depan. Buat para mahasiswa
bila telah wisuda kelak harus mencari profesi selain PNS.
Sangat bagus kalau mereka mampu menciptakan lapangan
pekerjaan sendiri.
Penerimaan (recruitment) pegawai PNS beberapa
tahun—tahun sebelumnya (sekitar 20 tahun lalu) masih
mudah, mahasiswa yang punya IPK tinggi akan punya
kesempatan yang kuat buat jadi PNS. Sehingga banyak
126

mereka yang punya IPK tinggi bermimpi buat menjadi


dosen. Namun sekarang tidak lagi, kalau ada yang
menjadi dosen, ya tentu menjadi dosen honorer.
Maka sekarang bahwa IPK—Indeks Prestasi
Kumulatif—yang tinggi atau biasa-biasa saja hanya
sebagai hiasan pada ijazah. Secara berseloroh ada yang
berkomentar bahwa IPK hanya berguna sebagai
persyaratan untuk wisuda. Jadinya semangat
berwirausaha dan leadership jauh lebih berharga, namun
belajar keras agar bisa memperoleh IPK yang tinggi tetap
sangat mulia.

Suatu ketika saya berjumpa dengan wisatawan


Malaysia—satu keluarga. Di mana salah seorang dari
mereka punya ayah yang masih keturunan Indonesia,
yaitu dari Kabupaten Tanah Datar (kota Batusangkar),
Sumatera Barat. Ia memiliki anak laki-laki yang sangat
ekspresif. Saya tertarik ngobrol dengan anak lelakinya
bernama Raihan. Ia tergolong anak cerdas dan masih
sekolah di Primary School di Kuala Lumpur.
Saya ingin mencari tahu tentang self determination-
nya, cita-citanya di masa depan. Ternyata dia sudah punya
cita-cita yang lebih spesifik tentang apa yang akan dia
lakukan kelak bila sudah dewasa. Berarti dia sudah punya
127

self determination–atau ketetapan karier. Ya kariernya tidak


begitu muluk-muluk, atau sebatas ikut-ikutan orang lain.
‚I want to do business in culinary and I want to have my
own restaurant‛
‚Why?‛
‚Because I like to help my mom cooking and I like
cooking.‛
Pada mulanya saya berpikir mungkin ia bakal
tertarik menjadi seorang dokter, apoteker, seorang pilot.
Ya sebagaimana cita-cita anak-anak Indonesia,
menyebutkan lusinan cita-cita yang klasik.
Ternyata Raihan ingin bercita-cita dalam bidang
kuliner. Ia ingin memiliki restoran yang besar di kota
Kuala Lumpur dan menyediakan kebutuhan kuliner
berbasis masakan Asia, seperti masakan Jepang, Korea,
Indonesia dan India. Restoran yang bakal dia punya juga
memiliki rest area.
Mengapa ia tertarik berprofesi dalam bidang resto
dengan kuliner internasional? karena Raihan suka
membantu ibunya memasak masakan lezat di rumahnya
di Kuala Lumpur. Cukup beda dengan cita-cita yang
diungkapkan oleh para siswa negeri kita, hanya mampu
menyebutkan profesi yang konvensional, atau profesi yang
muluk-muluk yang mereka pungut dari sana-sini, yang
mungkin jauh dari jangkauan mereka.
128

Memang benar, bahwa cukup banyak remaja di


Indonesia, hanya mampu bercita-cita dalam ilusi, yang
tidak jelas, kurang spesifik dan terkesan di luar jangkauan.
Satu atau dua semester setelah mereka bersekolah sebagai
siswa di SMA Unggulan, saya kembali mencari tahu
tentang profesi mereka.
Dan kali ini dari jawaban mereka mayoritas ingin
kuliah di perguruan tinggi favorit. Dan mereka hanya
mampu menyebutkan perguruan tinggi yang bertengger di
pulau Jawa. Kalau ditanya mau mengapa setelah tamat
dari perguruan tinggi favorit tersebut(?). Umumnya
mereka terdiam, tidak tahu apa pekerjaan yang spesifik
setelah itu.
Meskipun mereka termasuk para siswa dari sekolah
unggulan, namun hanya sebatas tahu untuk memburu
tempat kuliah di perguruan tinggi favorit saja. Dalam
pikiran mereka bahwa dibalik perguruan tinggi tersebut
akan terbentang sukses dan perguruan tinggi akan
memberi mereka sebuah pekerjaan yang mudah. Sehingga
ada yang bercita-cita kuliah hebat dengan deretan gelar
yang panjang dan gaji yang berlipat. Ya demikian
pencarian cita-cita atau profesi dari banyak siswa yang
selalu enggak jelas.
Suatu ketika saya berjumpa dengan grup student
exchange, ada rombongan siswa dari Jerman datang ke
Batusangkar. Saya sempat bertukar cerita yang panjang
129

dengan salah seorang siswa yang bernama Lewin Gastrich.


Lewin menjelaskan tentang profesinya di masa depan.
Ternyata dia sudah punya self determination atau pilihan
karier di masa depan.
Ia memberi perincian atau strategi karier yang bakal
dia kejar sejak dini hingga dewasa kelak. Bahwa selepas
dari Secondary School di Jerman ia akan mendaftarkan diri
di Akademi Penerbangan, karena ia suka terbang dan
senang dengan tantangan ketinggian. Dan lebih ke depan
ia akan bekerja di Badan Penerbangan Luar Angkasa.
Teknologi penerbangan luar angkasa yang sudah ia
baca adalah seperti di Jerman, Prancis, NASA—di Amerika
Serikat, Rusia, dan China. Ia memperkirakan bahwa yang
lebih mudah untuk ia akses kelak adalah Badan Luar
Angkasa dari Rusia. Namun ia terkendala dengan bahasa.
Maka dari sekarang ia sangat rajin belajar Bahasa Rusia
secara otodidak dengan memanfaatkan Google Rusia dan
situs belajar bahasa Rusia di internet. Saya memahami
bahwa cita-cita yang dipaparkan oleh Lewin Gastrich lebih
jelas dan lebih terperinci untuk menggapainya.
Saya tidak bermaksud menyanjung dan memuji
siswa dari Malaysia, Jerman dan dari negara lain, yang
ternyata memiliki self determination. Self Determination
adalah rasa percaya bahwa individu itu bisa atau dapat
mengendalikan nasibnya sendiri. Self Determination atau
Penentuan Nasib sendiri adalah kombinasi dari sikap dan
130

kemampuan yang memimpin orang-orang untuk


menetapkan tujuan untuk diri mereka sendiri, dan untuk
mengambil inisiatif untuk mencapai tujuan tersebut. Self
Determination juga tentang bagaimana seseorang bisa
menjadi lebih berwenang atau bertanggung jawab atas
masa depannya (Dian Wirawan Noeraziz, 2013).
Kita berharap agar para remaja di Indonesia, apalagi
dari sekolah berlabel unggul, mampu untuk mendesain
cita-cita mereka. Cita-cita itu adalah tujuan dan perlu
perencanaan yang lebih jelas dan lebih terarah. Mengapa
siswa luar negeri memiliki cita-cita yang jelas dan para
siswa di sekitar kita bingung dalam mencari profesi masa
depan mereka?
Faktor wawasan, informasi atau ilmu pengetahuan
adalah sebagai faktor penentu seorang siswa bisa memiliki
cita-cita atau memiliki visi dan misi di masa depan. Adalah
fenomena bahwa membaca yang intensif belum menjadi
budaya di kalangan masyarakat kita. Coba lihat berapa
betul orang yang terbiasa membaca—berlangganan koran
dan majalah. Ya betul berlangganan koran adalah sesuatu
yang amat langka dalam masyarakat kita, apalagi buat
berlangganan majalah.
Selanjutnya bahwa tidak begitu banyak masyarakat
kita yang terbiasa membaca buku. Buku yang berkualitas
menjadi hal yang langka buat kita temui di rumah-rumah
masyarakat. Jadinya masyarakat kita adalah masyarakat
131

yang minim ilmunya. Kalau kita cari tahu tentang


peringkat SDM negara kita di dunia, ternyata belum begitu
menggembirakan.
Sudah jadi fenomena, karena lemahnya konsep
literasi. Banyak anak-anak sekolah sejak dari pendidikan
dasar hingga pendidikan tinggi juga tidak terbiasa
membaca, mereka belum merasakan betapa indahnya
bersahabat dengan buku.
Kalau di Sekolah Dasar, seorang anak harus
menguasai kemampuan tiga R, yaitu Reading, wRiting dan
aRismetic. Untuk reading atau membaca, para siswa hanya
sebatas mampu membaca satu huruf, satu kalimat, atau
sebatas tahu A-Be-Ce dan De. Belum lagi sebatas mampu
membaca dan menamatkan lusinan buku. Itulah jadinya
anak didik tidak banyak yang memahami tokoh-tokoh
kehidupan lagi. Karena mereka tidak terbiasa membaca,
mereka tidak memiliki majalah lagi. Dalam zaman cyber,
anak-anak tenggelam dalam permainan game online. Atau
membaca status pada media sosial Facebook, Twitter,
BBM, dll.
‚Bahwa siswa perlu memiliki cita-cita yang lebih
jelas‛, dalam kenyataan banyak mereka yang belum
memiliki self determination. Cita-cita mereka masih
ngambang, kalau kuliah, hanya sebatas memburu
universitas bergengsi, setelah wisuda malah jadi bengong.
132

Ini adalah problema bagi kita—para remaja. Suatu


problema dapat disorot dari sudut ‚sebab dan akibat.‛
Penyebab mengapa anak sekolah belum memiliki
cita-cita yang jelas, adalah karena mereka memilki
eksplorasi yang minim. Eksplorasi diperoleh lewat
menjelajah atau mengenal lingkungan secara langsung.
Namun mereka mungkin lebih suka mengurung diri di
seputar rumah, kurang mengenal lingkungan yang dekat
hingga lingkungan yang jauh. Program rekreasi dan
eksplorasi belum menjadi agenda ke luarga. Kemudian,
eksplorasi juga bisa diperoleh lewat membaca, sesuai
dengan pernyataan sebuah ungkah ‚dengan membaca
buku kita bisa menjelajah dunia‛. Nah banyak siswa yang
belum terbiasa membaca hingga jelajah mereka juga
terbatas.
Karena guru dan orang tua juga terbatas
wawasannya, maka mereka juga kurang mampu
menjawab tantangan cita-cita buat remaja. Jadinya setiap
kali seorang remaja ditanya tentang profesi:
‚Apa cita-cita Anda kelak?‛
Maka jawabnya selalu ‚Saya mau menjadi PNS,
guru, dokter, bidan, perawat, insinyur, kerja di bank.‛
Demikian ungkapannya, pokoknya bekerja menjadi anak
buah terus. Hingga mereka belajar dan kuliah,
memperoleh IPK yang tinggi tetapi selalu tertarik sebagai
133

‚Job Seeker‛–pencari kerja, menjadi kerja kantoran, menjadi


bawahan anak buah.
‚Jadi apa yang diperlukan?‛
Para siswa membutuhkan bimbingan karier atau
profesi. Itulah sedikit ketinggalan dalam pendidikan kita.
Di sekolah luar negeri, guru-guru dan terutama guru
counseling membantu anak dalam membimbing profesi
mereka. Hanya sebatas menjadi guru yang mengurus para
siswa yang bermasalah hingga selalu memasang wajah
angker dan suara killer.
Di sebuah sekolah di Melbourne, yaitu Secondary
College di Norwood, Melbourne, sebuah sekolah yang
sempat saya kunjungi beberapa tahun lalu, di sana guru
counseling adalah guru tempat curhat tentang profesi
(karier) dan kehidupan bagi para siswa. Menjadi guru
yang dicari, disenangi, bukan guru yang ditakuti. Guru-
guru yang demikian juga banyak di Indonesia.
Ya para siswa memang membutuhkan bimbingan
karier, agar mereka punya self determination, memiliki
rencana profesi yang lebih jelas. Para remaja di sekitar kita
banyak yang sudah sukses dalam mengejar skor-skor yang
tinggi. Mereka cukup pintar dalam belajar, mampu
menjadi sang juara di kelas—menjadi juara umum. Mereka
belajar serius di sekolah, rumah dan malah juga ikut
kursus atau bimbel (bimbingan belajar). Namun bingung
dalam mencari cita-cita.
134

Cita-cita klasik mereka yaitu ingin jadi presiden, jadi


menteri, jadi dubes, jadi gubernur, jadi dokter, jadi
tentara/polisi, dll. Ya sebuah cita-cita dari yang tertinggi
sampai yang terendah. Atau cukup banyak yang bengong
dengan cita-cita. Kalau ditanya dan jawaban mereka
biasanya:
‚Bingung dengan masa depan, tergantung papa dan
mama. Tergantung nilai rapor, tergantung wali kelas,
tergantung hasil ujian atau hasil Try Out (T.O). Atau itu
belum terpikir sekarang... yang penting saya harus belajar
dulu‛.
Karena cita-cita mereka mengambang dan kurang
jelas jadinya cita-cita mereka jadi berubah-ubah. Apa efek
dari cita-cita yang berubah? Ya tentu saja pilihan jurusan
berubah, pilihan gaya belajar berubah, pilihan tempat
kuliah berubah. Visi hidup juga bisa berubah.
Mereka perlu memahami pemilihan profesi. Paling
kurang pemilihan profesi ala Box Hill Institute (yang
sempat saya kunjungi di Melbourne) atau menurut teori
yang dikembangkan oleh John L. Holland. Holland dikenal
sebagai pencipta model pengembangan karier ((Robert
Reardon, 2016). Yaitu pemilihan pekerjaan (profesi) yang
merupakan hasil dari interaksi antara faktor, seperti
hereditas (keturunan), pengaruh budaya, teman bergaul,
orang tua, mentor atau orang dewasa yang dianggap
memiliki peranan yang penting.
135

John Lewis Holland merupakan seorang Professor


Sosiolog dan Psikolog di Universitas John Hopkin,
Amerika Serikat. Ia terkenal sebagai pencipta model
pengembangan profesi. Setiap siswa perlu tahu bahwa ada
enam tipe pribadi berdasarkan pilihan kerja (yang telah
diciptakan Holland), yaitu tipe realistis, intelektual, sosial,
konvensional, usaha, dan artistik (Robert Reardon, 2016).
1. Tipe realistis
Ciri-cirinya yaitu; mengutamakan kejantanan,
kekuatan otot, keterampilan fisik, mempunyai kecakapan,
dan koordinasi motorik yang kuat, kurang memiliki
kecakapan verbal, konkrit, bekerja praktis, kurang memiliki
keterampilan sosial, serta kurang peka dalam hubungan
dengan orang lain. Orang yang bertipe ini sukanya tugas-
tugas yang konkrit, fisik, eksplisit/memberikan tantangan.
Untuk memecahkan masalah memerlukan gerakan,
kecakapan mekanik, seringkali suka berada di luar
gedung. Contoh pekerjaan: operator mesin/radio, sopir
truk, petani, penerbang, supervisor bangunan, ahli listrik,
dan pekerjaan lain yang sejenis.

2. Tipe intelektual
Kesukaannya adalah model pekerjaan yang bersifat
akademik, kecenderungan untuk merenung, berorientasi
pada tugas, kurang suka terlibat dalam bersosial.
136

Membutuhkan pemahaman, menyenangi tugas-tugas yang


bersifat abstrak, dan kegiatan bersifat intraseptif
(keras/tegas). Sukanya tugas dengan kemampuan abstrak,
dan juga bersifat kreatif. Ia suka memecahkan masalah
yang memerlukan intelejensi, imajinasi, peka terhadap
masalah intelektual. Kriteria keberhasilan bersifat objektif
dan bisa diukur, tetapi perlu waktu yang cukup lama dan
bertahap. Ia tertarik pada kecakapan intelektual dari pada
manual. Kecakapan menulis juga mutlak untuk dimiliki.
Contoh pekerjaan: ahli fisika, ahli biologi, kimia,
antropologi, matematika, pekerjaan penelitian, dan
pekerjaan yang sejenis.

3. Tipe sosial
Ciri-cirinya: suka membantu orang lain, pandai
bergaul dan berbicara, bersifat responsif, bertanggung
jawab, punya rasa kemanusiaan, bersifat religius
membutuhkan perhatian, memiliki kecakapan verbal,
punya hubungan antar pribadi yang baik, menyukai
kegiatan-kegiatan yang rapi dan teratur, menjauhkan
bentuk pemecahan masalah secara intelektual, lebih
berorientasi pada perasaan. Sukanya menginterpretasi dan
mengubah perilaku manusia, serta berminat untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Contoh pekerjaan:
menjadi guru, pekerja sosial, konselor, misionari, ulama,
psikolog klinik, terapis, dan pekerjaan lain yang sejenis.
137

4. Tipe konvensional
Ciri-cirinya: kecenderungan terhadap kegiatan verbal,
ia menyenangi bahasa yang tersusun dengan baik, senang
dengan numerical (angka) yang teratur, menghindari
situasi yang kabur atau abstrak, senang mengabdi,
mengidentifikasikan diri dengan kekuasaan, memberi nilai
yang tinggi terhadap status dan materi, ketergantungan
pada atasan. Sukanya proses informasi verbal dan
menyukai matematika secara kontinu, suka kegiatan rutin,
konkrit, dan bersifat sistematis. Contoh pekerjaan: sebagai
kasir, statistika, pemegang buku, pegawai arsip, pegawai
bank, dan pekerjaan lain yang sejenis.

5. Tipe usaha
Ciri-cirinya: menggunakan keterampilan berbicara
dalam situasi dan kesempatan untuk menguasai orang
atau mempengaruhi orang lain, menganggap diri paling
kuat, jantan, mudah beradaptasi dengan orang lain,
menyenangi tugas-tugas sosial. Menyenangi kekuasaan,
status dan kepemimpinan, bersifat agresif dalam kegiatan
lisan. Sukanya tugas dengan kemampuan verbal untuk
mengarahkan dan mempengaruhi orang lain. Contoh
pekerjaan: sebagai pedagang, politikus, manajer,
pimpinan, eksekutif perusahaan, perwakilan dagang, dan
pekerjaan lain yang sejenis.
138

6. Tipe artistik
Ciri-cirinya: senang berhubungan dengan orang lain
secara tidak langsung, bersifat sosial dan suka
menyesuaikan diri. Sukanya adalah artistik, memerlukan
interpretasi atau kreasi bentuk artistik melalui cita rasa,
perasaan dan imajinasi. Suka mengekspresikan diri dan
menghindari keadaan yang bersifat intra personal, suka
keteraturan, atau keadaan yang menuntut keterampilan
fisik. Contoh pekerjaan: menjadi ahli musik, ahli main
drama, pencipta lagu, penyair, dan pekerjaan lain yang
sejenis.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa para
remaja/siswa perlu memiliki cita-cita yang lebih jelas.
Untuk itu dari usia dini, mereka sudah terbiasa
bereksplorasi, budaya membaca untuk menambah
wawasan sangat penting bagi orang tua, guru dan siswa
sendiri. Kemudian mentor, guru dan orang tua perlu
memberikan bimbingan karier bagi siswa.
139

10

Membangun Pengalaman
Sambil Menuntut Ilmu

Mau tahu tentang populasi pelajar di Indonesia?


Fasli Jalal (2010), seorang tokoh pendidikan Indonesia,
menjelaskan perincian tersebut. Untuk SD populasinya ada
sekitar 26 juta orang, SMP 7,5 juta orang, SMA 5 juta orang
dan populasi mahasiswa Perguruan Tinggi sekitar 3 juta
orang. Proporsi populasi pelajar tersebut dari SD hingga
Perguruan Tinggi menyerupai bangunan piramida. Itu
berarti bahwa tidak semua anak SD yang melanjutkan
pendidikan ke SMP, tidak semua anak SMP yang
melanjutkan pendidikan ke SMA dan tidak semua anak
SMA yang kuliah ke Perguruan Tinggi, juga tidak semua
lulusan Perguruan Tinggi yang memperoleh pekerjaan.
Andai kita gunting peta Indonesia dan kita
tempelkan ke wilayah daerah lain, maka luas wilayah
140

negara kita bisa menutupi wilayah geografi Eropa, juga


wilayah geografi Amerika Serikat dan wilayah geografi
benua Australia. Jadi terlihat bahwa negara kita termasuk
negara yang besar di dunia, dan penduduknya juga
termasuk terbanyak di dunia. Dengan demikian SDM
negara kita juga harus termasuk yang terbaik di dunia.
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa ada 26 juta
orang pelajar SD dan berarti ada 4,3 juta siswa per tingkat.
Namun hanya 2,6 juta orang yang melanjutkan ke SMP
dan 1,7 juta pada pergi ke mana? Begitu juga siswa saat di
SMP jumlahnya 2,6 juta menciut populasi menjadi 2 juta
orang saat berada di SMA. Mengapa ini terjadi dan
mengapa angka drop out termasuk tinggi di negara kita?
Tentu ada banyak penyebabnya, salah satunya karena
rendahnya minat dan motivasi belajar siswa.
Rendahnya minat dan motivasi belajar terjadi karena
daya serap belajar mereka cukup rendah. Utamanya daya
serap membaca, yakni kemampuan membaca pemahaman
mereka yang masih rendah.
Sebuah badan perekonomian dunia, yaitu OECD
(Organisation for Economic Cooperation and
Development) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan
Pembangunan Ekonomi, dan bekerja sama dengan ADB
(Asian Development Bank) bekerja sama dalam
mendukung pendidikan dunia. Kedua badan ini secara
berkala memonitor tentang kualitas pendidikan global.
141

Kedua badan ini (OECD dan ADB, 2015) memaparkan


tentang laporan PISA. PISA merupakan sistem penilaian
secara internasional yang menitikberatkan pada
kemampuan anak usia 15 tahun dalam bidang literasi
membaca, literasi matematika dan literasi di bidang sains.
Hasil tes dan survei PISA, yang pada tahun 2015
melibatkan para siswa di 70 negara, dianalisa dengan hati-
hati dan lengkap sehingga survei yang dirilis pada bulan
Desember 2016. Diperoleh data bahwa Singapura adalah
negara yang menduduki peringkat 1 untuk ketiga materi
sains, membaca, dan matematika. Sementara performa
siswa-siswi Indonesia masih tergolong rendah. Berturut-
turut rata-rata skor pencapaian siswa-siswi Indonesia
untuk sains, membaca, dan matematika berada di
peringkat 62, 61, dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi
(Hazrul Iswadi, 2017).
Jadi ada 69 negara yang diobservasi tentang
kemampuan literasinya. Namun ada 60 negara yang skor
membaca literasinya lebih baik dari Indonesia dan ada 8
negara yang mutu membaca literasinya di bawah. Dengan
demikian secara tidak langsung telah menggambarkan
bahwa kualitas kemampuan membaca anak-anak
Indonesia, terutama untuk tingkat pendidikan dasar (SD
dan SMP) sangat rendah di dunia. Apa faktor
penyebabnya?
142

Faktor penyebab adalah lemahnya kemampuan


membaca. Akibat kemampuan membaca mereka yang
rendah (lemah) membuat mereka belum merasakan
kepuasan dalam menuntut ilmu hingga terindikasi banyak
yang hengkang setelah tamat SD. Karena tidak merasakan
indahnya membaca dan puasnya menuntut ilmu membuat
banyak lulusan SMP tidak melanjutkan pendidikan ke
SMA, begitu pula tidak bayak pula yang melanjutkan
pendidikan ke Perguruan Tinggi.
Ada beberapa hal yang membuat skor reading siswa
Indonesia rendah, diantaranya: Poor learning condition–
kondisi belajar yang rendah kualitasnya, Low teacher
ability–kemampuan mengajar guru yang rendah, dan
Unmotivated environment for learning–lingkungan belajar
yang kurang memotivasi anak didik (Mochamad Basuki,
Yanti Muchtar, dan Theresia, 2012).
Seharusnya kita di Indonesia perlu belajar dan
meniru pengalaman terbaik (best practice) beberapa negara
tetangga dalam praktik pengajaran sehingga score reading
literacy mereka sangat baik. Dari negara-negara yang
terbaik score membacanya, 3 diantaranya adalah negara:
Singapura, Australia dan Selandia Baru. Ketiga negara ini
adalah tetangga Indonesia. Padahal dalam peribahasa
internasional mengatakan, ‚Good neighbour makes good
friend–tetangga yang baik akan menjadi sahabat yang
baik‛.
143

Tentang populasi mahasiswa Indonesia, yaitu ada


sekitar 3 juta orang. Dengan demikian jumlah mahasiswa
yang 3 juta tersebut diasumsikan sebagai pembaca yang
bagus score reading-nya. Mereka adalah orang yang
menyukai membaca hingga mampu menyelesaikan
program perkuliahan mereka.
Namun setelah mereka diwisuda menjadi seorang
sarjana, mereka menjadi pelamar kerja dan pencari kerja.
Bagaimana strategi mereka merebut karier-karier yang
ada? Begitu banyak tamatan perguruan tinggi di negeri
kita yang sangat ingin bekerja di sektor pemerintahan atau
di sektor pertahanan, atau berkompetisi untuk bisa masuk
BUMN saja.

Umumya orang masih meyakini bahwa kalau


mereka mampu memperoleh nilai atau IPK yang tinggi,
mereka dengan mudah akan memenangkan kompetisi
untuk meraih pekerjaan. Apalagi kalau mereka mampu
memperoleh nilai cumlaude. Mereka semakin yakin bahwa
dunia kerja (perusahaan) akan segera menyambutnya.
Fenomena begini tidak ada lagi, semuanya nonsense.
Untuk itu dari sekarang kita informasikan kepada pada
remaja bahwa semua dunia kerja punya strategi sendiri
untuk menilai—menyeleksi para pelamar. Perusahaan
144

akan mencari pelamar yang punya kualitas dan yang bisa


menumbuhkembangkan perusahaan mereka.
Ada kasus, bahwa ada seorang lulusan universitas
degan IPK cumlaude, namun kemampuan sosialnya biasa-
biasa saja, maka dia tidak akan tidak bisa lolos dalam
perekrutan. Beda dengan lulusan yang memiliki skor
standard namun mereka memiliki kemampuan sosial (soft
skill) yang lebih. Mereka punya kemampuan dalam bidang
kepemimpinan, keterampilan dalam berkomunikasi,
pemecahan masalah dan mampu dalam pelayanan
pelanggan, mereka adalah sebagai pelamar yang lebih
diminati oleh dunia perusahaan.
Ruth Callaghan (2016) menjelaskan bahwa untuk
bisa lolos dalam perekrutan maka ada 3 hal yang perlu
diketahui dan dimiliki oleh para pelamar kerja yaitu
cultural fit, experience dan vocal graduates. Penjelasannya
sebagai berikut:
1. Cultural fit
Cultural fit atau kesesuaian dengan budaya
perusahaan. Dalam menseleksi para pelamar yang sesuai
dengan kultur perusahaan maka para pelamar diseleksi
melalui proses yang cukup kompleks yang meliputi tahap
sebagai berikut:
 Telephone interviewing (wawancara lewat telepon).
 Video interviewing (wawancara lewat video).
 Aptitude test (test kecakapan)
145

 Profile personality (wawancara tentang profil pribadi)


 Group discussion (kemampuan diskusi kelompok)
 Presentation (kemampuan presentasi)

Melalui 6 tahapan seleksi ini akan ditelusuri potensi-


potensi yang dimiliki para pelamar atas: kemampuan
leadership mereka, karakter mereka untuk mampu
bertanggung jawab dan bekerja sama, dan kemudian
apakah mereka mampu melaksanakan peran-peran yang
diberikan serta mampu memberi kontribusi pada
perusahaan.

2. Experience
Experience atau pengalaman. Maka disarankan
kepada para pelamar yang kelak akan memasuki dunia
kerja agar tahu bahwa dunia pekerjaan selalu mencari
calon pelamar yang punya pengalaman yang luas. Maka
calon pelamar jangan hanya terfokus pada urusan-urusan
akademik semata dan kurang peduli dalam
pengembangan potensi yang lain.
Dunia perusahaan juga ingin tahu tentang alasan
calon pelamar dan bagaimana bentuk motivasi mereka.
Juga apa alasan mereka ingin bergabung dengan
perusahaan. Selanjutnya apakah saat menjadi mahasiswa
mereka punya pengalaman yang lain seperti:
 Ekskul dalam bidang olahraga
 Ekskul dalam bidang musik
146

 Kegiatan volunteering dan juga bidang yang lain

Karena semua catatan pengalaman tentang ekskul


juga akan diperhitungkan dalam perekrutan oleh
perusahaan. Perusahaan sangat tertarik dengan pelamar
yang berpenampilan happy dan punya pengalaman yang
berimbang yaitu:
 Extracuricular activities (kegiatan ekstrakurikuler)
 Achievement motivation to join with the firms (motivasi
berprestasi untuk bergabung dengan firma).
 Work experiences (pengalaman kerja)
 Problem solving (kemampuan memecahkan masalah)

Tim asesmen perusahan akan mengakses (menilai)


poin-poin di atas melalui dokumen autentik dan
wawancara dan sekaligus team assessment/perekrut tenaga
kerja juga memperhatikan beberapa hal tentang:
 Action oriented (berorientasi pada tindakan)
 Willing to speak (kesediaan untuk berbicara)
 Willing to brainstorming (kesediaan untuk
brainstorming)
 Willing to have opinion (kesediaan untuk punya opini
sendiri).

Dan tentu para pelamar juga harus mencari tahu


tentang apa dan bagaimana profil perusahaan yang juga
sedang diincar agar bisa memiliki perasaan yang mantap
kelak.
147

3. Vocal graduate
Vocal graduate maksudnya adalah berbagai opini-
opini yang berkaitan dengan calon pelamar. Ada beberapa
poin (item) yang perlu diperhatikan oleh pelamar untuk
menjadi pelamar yang ideal. Hal-hal ini akan terpantau
saat melalui wawancara, yaitu: para pelamar opini perlu
memiliki opini sendiri, latarbelakang yang harus
bervariasi, bagaimana titik pandang yang baru.
Kemudian juga ada beberapa kompetensi yang tidak
bisa ditawar-tawar, yaitu seperti kemampuan
mendemonstrasikan kecerdasan dalam bekerja, dan
kemampuan dalam berkomunikasi, yang meliputi
assessment secara online atas kompetensi numerical, logika
dan beralasan secara verbal, juga angket tentang
kepribadian dan wawancara tentang kepribadian.
Jadi kita rekomendasikan kepada para remaja yang
sedang bersekolah di tingkat SLTA dan bagi mereka yang
sudah menjadi mahasiswa, agar sedini mungkin bisa
membangun pengalaman sambil menuntut ilmu. Mereka
diharapkan juga melibatkan diri dalam kegiatan sosial di
kampus dan juga di luar kampus. Karena pribadi yang
laku adalah mereka yang jago dalam menuntut ilmu dan
juga luas pengalaman vokasionalnya.
148

11

Cerdas Bermental Sopir atau


Bermental Penumpang?

Salah satu program unggulan Metro TV adalah ‚Big


Cicle.‛ Host acaranya sering mengundang Prof. Rhenald
Kasali, Ph.D. untuk mengomentari inovasi-inovasi dalam
bidang perekonomian. Saya mendengar namanya saat saya
mengikuti kegiatan seleksi guru berprestasi tingkat
nasional di Jakarta tahun 2012. Rhenald Kasali ikut
memberikan kuliah umum buat kami, para guru
berprestasi. Setelah itu kami semua memperoleh buku
‚Wirausaha Muda Mandiri, tentang kisah inspiratif anak-
anak muda menemukan masa depan dari hal-hal yang
diabaikan banyak orang‛ (Rhenald Kasali, 2011).
Rhenald Kasali adalah seorang Guru Besar dari
Universitas Indonesia, khususnya dari bidang ekonomi.
Ternyata dia juga sangat peduli pada dunia pendidikan.
149

Saat itu kami—para peserta mendengar kuliah umum


yang disampaikannya. Saya merasa lebih dekat dengan
pemikirannya dan saya sengaja mencari semua buku-buku
yang ditulisnya pada sebuah toko buku di Padang. Saya
pun menemukan buku-buku karangannya seperti: Let’s
Change, Change leadership Non–Finito, Disruption, Curse
Blessing, dll. Salah satu bukunya yang Self Driving Menjadi
Driver atau Passenger? Menjadi best seller dan sangat
mengagumkan dan menginspirasi banyak orang. Memang
membaca buku bisa memberi banyak inspirasi bagi kita.
Saya membaca buku-buku Rhenald Kasali dan saya
merasa berenang-renang dalam pemikirannya. Salah satu
bukunya memberi saya pemahaman tentang apa yang
ditulisnya, adalah pada buku Self Driving Menjadi Driver
atau Passenger? (Rhenald Kasali, 2016).
Saya ingin berbagi tentang bukunya—memaparkan
lagi pemikiran Rhenald Kasali atas fenomena pendidikan
yang telah membentuk kita menjadi orang yang cerdas
namun susah untuk bergerak—untuk maju. Sengaja saya
paparkan agar para pembaca yang berusia remaja bisa
memahami dan setelah itu bisa mengambil sikap untuk
melakukan update atau revolusi mental demi untuk
melakukan perubahan dan perbaikan.
Rhenald Kasali mengatakan bahwa dunia usaha
menghendaki manusia-manusia yang berkarakter driver
(bermental sopir atau bermental penggerak) yang senang
150

untuk berkompetensi, namun juga cekatan, gesit,


berinisiatif, dan kreatif. Namun di berbagai kampus (juga
di SLTA), tanpa disadari, yang terjadi justru pembentukan
manusia-manusia (mahasiswa dan siswa) bermental
passenger (bermental sopir atau bermental pasif).
Dikatakan bahwa generasi muda sekarang
cenderung banyak yang pandai, namun output-nya adalah
menjadi manusia-manusia bermental penumpang. Setelah
menjadi cerdas, mereka tidak tahu mau berbuat apa. Ilmu
pengetahuan atau kecerdasannya tidak mampu
menggerakkan dirinya apalagi untuk menggerakkan orang
lain.
Orang-orang demikian kalau belajar fokusnya adalah
sebatas bisa menaklukan isi buku teks, yaitu
memindahkan pengetahuan dari buku teks ke kertas
ujian—sebatas jago berteori. Jadi pintar mereka hanya
sebatas pintar di atas kertas.
Kalau mereka kuliah dan menjadi sarjana maka
kualitas sarjananya sangat mungkin menjadi sarjana cerdas
di atas kertas. Sementara itu dalam praktik pendidikan,
banyak anak sekolah yang terisolasi dari lingkungan yang
dinamis. Mereka kurang mengenal bagaimana realita
kehidupan ini terjadi.
Ditambah lagi bahwa model pendidikan pada
tingkat pendidikan dasar (di tingkat SD dan SMP)—yang
mana model pembelajaran yang sering terjadi bercorak
151

konvensional. Yaitu sebatas membiasakan para siswa


hanya pandai menghafal pelajaran (sambil melipat tangan
dan duduk manis saat belajar). Maka setelah itu
terbentuklah orang-orang muda menjadi generasi yang
pasif.

Dalam realita kehidupan bahwa para mahasiswa dan


juga siswa bisa dikalahkan oleh orang-orang yang bukan
bersekolah tinggi namun eksis dalam realita hidup.
Misalnya bagi orang-orang yang memilih merantau ke luar
negeri menjadi buruh migran (TKI). Mereka itu tidak
bersekolah tinggi. Mereka dipaksa oleh lingkungan (oleh
takdir atau nasib) untuk berpikir kritis menghadapi dunia
baru yang sangat menuntut. Buruh migran bisa jadi lebih
cerdas dari mahasiswa atau dari sebahagian sarjana(?)
Para buruh migran Indonesia yang bekerja di
Hongkong, Taiwan, Jepang dan Korea Selatan, misalnya,
banyak yang memiliki pikiran yang lebih hebat dibanding
sarjana yang dari kecil tumbuh cerdas karena serba
diservis—dimudahkan jalan hidupnya. Pada akhirya
mereka menjadi pemuda dan sarjana yang tumbuh
menjadi orang dengan karakter penumpang, bukan
bermental driver.
152

Rhenald Kasali dan juga para tokoh pendidik yang


pro kemajuan sudah lama komplain terhadap praktik
pembelajaran di dunia pendidikan. Mengapa?
Karena metode pembelajaran di sekolah-sekolah
yang terlalu berorientasi pada kognitif. Guru-guru yang
merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata di
atas 80. Dan sebaliknya memandang rendah terhadap
murid yang aktif, namun tidak menguasai semua subjek
(mata pelajaran).
Potensi para siswa hanya dilihat dari nilai, yang
merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan
catatan. Entah di mana pedagogi atau ilmu keguruan itu
muncul kalau sekolah tidak mendorong munculnya
(tumbuhnya) critical thinking. Mereka mengkritik lulusan
yang bisa membebek (menganggur dan pasif), tetapi
mereka sendiri tak berhenti menciptakan (mendidik)
generasi yang bersifat bebek-bebek dogmatik.
Sementara itu di perguruan tinggi, juga banyak
akademisi yang mengukur kecerdasan mahasiswa hanya
dari ujian tertulis, yaitu dari buku test dan kertas test.
Rhenald Kasali—sebagai Profesor ekonomi—sering
memergoki mahasiswa yang mendapat nilai A dalam kelas
marketing (mendapat nilai A dengan sangat mudah) namun
mereka memiliki pribadi yang tidak mencerminkan
seorang marketing (marketer) dengan nilai A. Mengapa?
153

Ya karena cara bicaranya yang ketus pada teman,


berpakaian sembarangan, pribadi mereka membosankan
temannya. Padahal seorang marketing (marketer) itu
seharusnya punya pribadi yang menarik dan
menyenangkan.
Akhirnya orang-orang seperti itu (mahasiswa tadi)
kelak akan kesulitan dalam mencari pekerjaan atau
berwirausaha. Mereka juga akan kesulitan dalam
memasarkan dirinya dan kelak jadilah mereka sebagai
mahasiswa atau sarjana yang frustrasi (depresi).
Juga merupakan fenomena bahwa sekarang banyak
calon mahasiswa berebut untuk bisa kuliah di tempat—di
universitas yang bergengsi dan berlabel di pulau Jawa. Ini
tidak salah kalau mereka bisa berproses dengan ideal.
Namun cukup banyak dari mereka yang berprinsip bahwa
label-label universitas tersebut akan menjamin mereka
untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah di
perusahaan ternama di tanah air ini.
Pemikiran yang cerdas adalah ‚jangan pernah
menjual label-label universitas. ‚Wah aku ini lulusan
universitas X pasti perusahaan besar yang hebat akan
mudah menggaetku, ‚ namun juallah apa potensi dirimu—
kelebihan unggul yang engkau miliki!
Agaknya banyak generasi muda termasuk bagi
mereka yang baru jadi sarjana, juga setuju dengan
pendapat bahwa label universitas belum bisa menjamin
154

kita untuk sukses. Kecuali kualitas pribadi kita sangat


ditentukan oleh cara kita berproses dan komitmen kita
sendiri.

Sesungguhnya Allah Swt telah memberi kita ‚diri‛


yang bisa kita sebut dengan kata ‚self‛. Self ini adalah
sebagai kendaraan—maka sekarang kita bisa memilih
arah, mau dibawa ke mana self tersebut. Apa mau
diarahkan untuk menjadi orang yang bermental
penumpang (self passenger) atau menjadi orang yang
bermental pengemudi (self driver)-nya. Sekali lagi, mau
pilih yang mana, mau menjadi self passenger atau self driver?
Pilihan yang kita rekomendasikan adalah ‚jadilah
manusia self driver–yaitu manusia yang bisa
mengendalikan diri‛. Sangat benar bahwa kita harus
mampu untuk: ‚Drive yourself, drive your friend, drive your
people, and drive your nation–gerakkan dirimu, gerakkan
temanmu, gerakkan orang lain, dan gerakan bangsamu
menuju kemajuan dan bangsa yang bermartabat di dunia‛.
Namun kenyataannya adalah banyak orang dalam
bangsa kita, di lingkungan kita, atau juga mungkin kita
sendiri yang ‚bermental passenger–yaitu bermental
penumpang.‛ Bagaimana dengan karakter seorang
penumpang?
155

Amatilah sebuah mobil yang sedang lewat. Di


dalamnya banyak penumpang dan seorang sopir. Maka
seorang penumpang, dia boleh duduk dengan manis di
belakang sopir (driver). Dia tidak mau ambil risiko, dia
boleh duduk sambil ngantuk atau ngobrol. Sementara
seorang driver harus duduk di depan, tidak boleh
mengantuk. Dia harus bertanggung jawab atas risiko, dan
dia harus tahu jalan. Dia juga perlu memikirkan keadaan
lalu lintas dan harus bisa merawat kendaraan.
Seseorang yang menjadi passenger, dia akan punya
diri dengan kualitas sebagai pengikut. Dia punya mental
yang kerdil—itu terjadi karena dia terbelenggu oleh
settingan otak yang kondisinya tetap (statis) atau kurang
bergerak.
Sebaliknya seseorang yang menjadi driver—dia akan
mampu mendorong—karena memiliki settingan otaknya
(mindset-nya) yang selalu tumbuh (dinamis). Mereka
mengajak orang-orang lain untuk ikut berkembang dan
bisa keluar dari tradisi lama menuju tanah harapan.
Mereka berinisiatif memulai terjadinya perubahan tanpa
ada yang memerintah namun tetap bersikap rendah hati
dan kaya empati.
Telah banyak orang yang didik begitu lama, dari
bangku SD hingga menjadi sarjana. Namun setelah jadi
sarjana, mereka tidak tahu mau pergi ke mana. Ya banyak
orang yang berpendidikan tinggi namun belum mampu
156

menggerakkan (self drive in) dirinya sendiri, apalagi


menggerakkan orang lain. Sebaliknya banyak orang yang
hanya berpendidikan rendah, namun tidak mau meratapi
diri mereka, malah mereka bertarung habis-habisan agar
bisa mengatasi masalah hidupnya sendiri dan tidak mau
menjadi beban bagi orang lain.
Pendidikan hidup yang mereka jalani adalah melalui
proses belajar, yaitu bagaimana memperbaiki cara
berpikirnya dan cara menjalani hidup yang menantang.
Sayangnya banyak orang yang berpendidikan tinggi,
menjadi sarjana, tetapi tidak mengalami proses belajar
tentang bagaimana dengan realita kehidupan ini. Mereka
tahunya hanya belajar dengan cara menghafal dan
menghafal saja—sekalipun mampu menjadi juara—namun
ternyata bahwa itu belum lagi menjadikan mereka sarjana
yang terbiasa berpikir.

Belajar artinya adalah berpikir, ibarat seorang driver


yang harus cepat mengambil keputusan di jalan raya yang
padat. Ia bisa mengambil jalan-jalan yang lain yang baru
sama sekali. Sedangkan menghafal dapat diibaratkan
menjadi seorang penumpang yang mana dia boleh
mengantuk, tertidur dan tanpa perlu mengambil risiko di
jalan.
157

Rhenald Kasali (2016) menambahkan bahwa masalah


yang kini kita saksikan di panggung dunia kerja dan dunia
politik, juga di dunia birokrasi dan akademik. Semua tidak
lepas dari pengalaman bagaimana manusia-manusia
Indonesia dididik dalam keluarga sejak dari kecil. Melalui
tangan orang tua, bayi-bayi mungil yang tak berdaya itu
diberi kehangatan, kasih sayang, kelembutan, asupan gizi,
ASI dan seterusnya menjadi seorang anak.
Cukup banyak anak-anak yang dibentuk sesuai
dengan keinginan orang tua, bukan berdasarkan potensi
atau pemikiran anak. Sehingga dalam mengambil
keputusan dan berargumen juga tidak mandiri, masih
minta pertimbangan pada orang tua. Jadinya anak sering
bertanya: ‚Mama... papa... ini boleh enggak aku kerjain?,
...apa ini sudah boleh aku kerjakan?, ...apa sudah
waktunya atau belum aku boleh main game?, ....pakaian
yang aku pakai ini cocok atau tidak??‛
Demikian seterusnya hingga mereka tumbuh
dewasa. Saat mereka tumbuh dan bisa berjalan. Orang tua
masih membelenggu pikiran mereka dengan hubungan
batin pada pikirannya. Saat mereka ingin ikut berkemah
dengan teman-temannya, orang tua mengatakan: ‚Jangan
ikut berkemah nak, nanti kau sakit.‛
Atau saat mereka ingin melakukan eksplorasi,
travelling, orang tua juga merasa keberatan. Bahkan saat
mereka memilih jodoh, orang tua juga menetapkan syarat-
158

syarat yang ketat. Malah sudah menikah, bahkan tak


sedikit orang tua yang mengatur kehidupan anak cucunya.
Tempat tinggal, karier, gaji dan sebagainya masih banyak
diurus orang tua.
Rasa ketergantungan pemuda yang besar semakin
hari semakin banyak kita saksikan. Yang orang tua lupa
bahwa mereka telah tumbuh menjadi manusia dewasa,
yang kurang mampu berpikir secara mandiri karena orang
tua yang melatihnya dari kecil hingga dewasa. Seolah-olah
orang tua tak rela menjadikan mereka menjadi manusia
dewasa yang mampu berpikir sendiri—jadinya mereka
hanya menjadi manusia yang bisa mengeluh yang selalu
ingin dibimbing orang tua.
Akhirnya mereka menjadi manusia passenger dalam
kendaraan keluarga. Sudah seharusnya para remaja juga
bisa melatih diri untuk mandiri dan melepaskan diri dari
ketergantungan.
Hewan saja tidak selalu melindungi anaknya secara
bulat-bulat, sesuai masanya dia melatih anaknya untuk
punya keterampilan, untuk mandiri. Setelah itu anaknya
terbang dan hidup mandiri.
Maka kita sebagai anak-anak muda, para remaja,
apalagi para mahasiswa jangan biarkan diri ini selalu
terpasung oleh sesuatu yang kita bawa dari masa lalu.
Untuk itu mari kita lakukan perubahan!!!
159

Kita tidak bermaksud menjelekkan praktik


pendidikan di Indonesia. Namun hanya sebatas memberi
tahu tentang kenyataannya—atau sebuah autokritik.
Bahwa para pendidik dan juga para dosen merasa puas
mengajarkan dengan cara memindahkan isi text book ke
kepala kita (siswa dan mahasiswa), itu namanya kita
belum menuntut ilmu, tetapi baru sebatas memindahkan
isi buku ke memory dalam kepala ini.
Rhenald Kasali mengatakan tentang perbedaan
kontras dari eksistensi belajar di Indonesia dengan di
Amerika Serikat. Bahwa kita di Indonesia terlihat banyak
yang ketakutan dalam mengungkapkan isi pikiran dan
analisis kita kendati kita sudah dewasa. Sebaliknya di
Amerika Serikat Rhenald Kasali bertemu dengan ribuan
pemuda (mahasiswa) dari berbagai bangsa dan mereka
berbagai cerita.
Ketika kita (dan banyak anak Indonesia) begitu
manja hidup dari beasiswa atau tunjangan dari orang tua,
Rhenald Kasali justru berjumpa dengan banyak orang
muda dari berbagai negara—Tiongkok, Vietnam, Kamboja,
Aljazair, Mesir, dll—yang dibiarkan orang tua untuk
belajar hidup. Mereka bekerja keras untuk membayar sewa
apartemen, makan sehari-hari dan membayar uang kuliah,
dan mereka mendapatkan kemandirian. Ada yang menjadi
petugas pembersih toilet yang kerjanya malam hari,
160

memupuk kebun jagung, operator mesin pemotong


rumput, mengantar koran, dan mencuci piring di restoran,
dll.
Para mahasiswa yang dulu hidupnya serba mudah,
serba diservis hingga bisa memperoleh nilai akademik
yang tinggi, namun dalam realita mereka sangat miskin
dengan pengalaman hidup di dunia yang nyata. Setelah itu
hidup akan terasa terbalik 180 derajat.
Jadinya yang perlu kita kasihan, bahwa kita
menyaksikan orang-orang yang dulu hidup begitu
dimanjakan (akibat berada dalam confort zone). Namun tak
sedikit di antara mereka yang kemudian keadaannya serba
terbalik. Tak sedikit di antara mereka yang kemudian
kesulitan untuk berselancar dalam dinamika kehidupan
yang berubah-ubah dan penuh ketidakpastian. Sementara
bagi mereka yang terlatih dengan kesulitan hidup (keluar
dari uncomfort zone) mampu menjalani ketidakpastian.
Oleh sebab itu mari kita biasakan belajar untuk
keluar dari comfort zone (zona aman)—dari kebiasaan
banyak diservis, serba dilayani dan merengek pada orang
tua melulu. Keluar dari comfort zone—dan keluarlah dari
sangkar emas.
Diakui bahwa memang banyak jumlah para
mahasiswa sekarang, yang mana kalau di atas kertas
cukup banyak yang telah memperoleh prestasi, namun
dalam kenyataannya bahwa mereka yang hanya sebatas
161

mampu meraih nilai atau skor akademik yang tinggi


setelah itu tidak tahu mau berbuat apa untuk hidup dan
apa bentuk karier mereka.
Ya, generasi kita—generasi baru Indonesia banyak
dalam bentuk generasi servis. Mereka dibesarkan dengan
servis yang dibeli oleh orang tuanya yang bekerja. Yang
punya uang berlebih tentu bisa menyewa asisten rumah
tangga untuk membereskan tugas-tugas rumah. Semua
anak-anak akan bebas dari tanggung jawab untuk ikut
beres-beresin rumah. Secara langsung maka para orang
tualah yang mendidik anak jauh dari tanggung jawab:
‚Anak-anak tidak diajar bertanggung jawab,
mengurus diri dan ikut mengerjakan pekerjaan rumah.
Namun semua diserahkan pada pembantu/asisten rumah
tangga‛.
Bagi orang tua yang lebih sejahtera ekonominya juga
bisa membeli jasa baby sitter. Bahkan untuk belajar pun,
mereka didampingi guru-guru les yang bisa disewa orang
tua. Akibatnya anak-anak jadi kurang inisiatif.
Apa jadinya sekarang, ya telah bermunculan
generasi yang lebih banyak servis. Artinya anak-anak
dibuat dengan kemampuan berpikirnya hanya sebatas bisa
menghafal—hingga mereka menjadi generasi yang
memiliki kesulitan berpikir dalam menghadapi tantangan-
tantangan baru.
162

‚Pergi sekolah untuk apa dan kuliah buat mencari


apa?‛
Masuk universitas pilihan susahnya setengah mati.
Kalaupun diterima ternyata juga banyak yang salah
kamar. Kalaupun mereka sudah masuk universitas atau
sekolah yang bergengsi, yang dilatih hanya otaknya saja.
Sementara mental dan fisiknya miskin dengan sentuhan.
Seharusnya selain otak, fisik mereka juga harus
dikuliahkan (disekolahkan). Sesungguhnya sekolah dan
kuliah itu sendiri bukan harus di atas bangku atau dalam
kelas melulu, namun harus ada di alam semesta, bertemu
debu dan lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan
bangun.
Mengapa sudah jadi fenomena bahwa para sarjana
sulit memperoleh pekerjaan? Pada mulanya banyak orang
berpikiran bahwa dengan kuliah di universitas, khususnya
universitas yang bergengsi dan punya label maka setelah
wisuda pekerjaan bisa datang dengan mudah, banyak
perusahaan akan ngiler melihat sosok pribadinya.
Ternyata itu hanya isapan jempol dan tidak terbukti.
Perusahaan tidak mau mencari pegawai yang bertipe
pemegang ijazah. Memang juga benar bahwa orang-orang
yang berijazah dari universitas bagus—bergengsi dan
berlabel unggul—menunjukkan sinyal bahwa mereka
adalah pekerja keras yang telah terseleksi dengan baik.
Namun para pengusaha juga menyadari bahwa kegiatan
163

di kampus-kampus baru sebatas mengisi para mahasiswa


dengan ilmu pengetahuan dan teori, sedangkan untuk
menghasilkan ‚manusia yang berpikir‛ dibutuhkan lebih
dari sebatas teori dan ilmu pengetahuan. Yang dibutuhkan
adalah seseorang dengan ‚total pribadi‛ yang sangat
berkualitas. Dan itu semua bisa ditempa oleh serangkaian
pengalaman—yang penuh ketabahan, kesusahan,
penderitaan, kesabaran dan keberaian.
Lebih lanjut juga dikatakan oleh Rhenald Kasali
bahwa Vicki Abeles mengumpamakan pendidikan di
sekolah kita dengan istilah ‚Race To Nowhere‛–yaitu
perlombaan besar yang muaranya tak jadi apa-apa. Di
mana banyak anak-anak yang pada mulanya belajar
dengan sangat serius dan bersemangat namun bertahun
kemudian mereka tidak jadi apa-apa.

Fenomena memperlihatkan bahwa hidup ini sering


situasinya jadi terbalik. Ada orang yang sekolahnya dilalui
dengan ‚penuh kesungguhan‛, namun hasilnya bisa jadi
nothing–tak jadi apa-apa. Sedangkan orang yang
sekolahnya ‚main-main‛ malah bisa menjadi pejabat,
politisi terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Mungkin
orang yang terkesan bermalas-malas mereka malah
memiliki mindset (pola berpikir) sebagai seorang driver,
sementara orang yang tekun memiliki mindset (pola
164

berpikir) sebagai seorang passenger-nya sebatas berharap


jadi penumpang.
Namun kita berharap mereka yang bekerja dan
belajar dengan bersungguh-sungguh agar bisa bermental
driver. Untuk itu kepada mereka yang sedang belajar
bersungguh-sungguh kita bisa ajukan sejumlah indikator
atau pertanyaan untuk melihat apakah kelak mereka
menjadi orang bermental driver atau passenger. Indikator
atau pertanyaannya sebagai berikut:
 Coba jelaskan mengapa hidup mesti berubah, dan
mengapa perubahan menuntut manusia untuk
berpikir?
 Apakah orang tua/lingkungan Anda membelenggu
perkembanganmu?
 Apakah Anda tertantang untuk mengenal
lingkungan baru yang lebih banyak? Apa Anda
bertipe orang rumahan?
 Apa Anda senang diservis, generasi anak mampu
atau anak yang lebih mandiri?
 Apa Anda tergila-gila dengan gadget dan membuat
Anda sangat individualis dan kurang membuka diri?
 Apa Anda suka melayani, dan punya inisiatif, juga
punya navigasi atau kendali diri, serta juga punya
tanggung jawab?
 Ananda memiliki kemampuan drive
(mengendalikan)—untuk bisa mengendalikan diri,
165

teman-teman, lingkungan dan ke depannya untuk


mengendalikan bangsa ini?
 Anda senang menonton orang bekerja? Atau
terpanggil untuk ikut berpartisipasi?
 Anda mudah gelisah dengan perubahan, dengan hal-
hal baru dan juga dengan orang baru? Anda mampu
beradaptasi dengan mudah?
 Dalam bergaul dan berkomunikasi Anda suka
memonopoli, terlalu banyak berbicara, dan kurang
bisa mendengar pendapat orang?
 Apa Anda memiliki disiplin diri yang tinggi dan
manajemen waktu yang baik?
 Apa Anda punya ketertarikan atau hobi dan suka
menjaganya?
 Anda mampu berkonsentrasi? Juga mampu
mengendalikan emosi/amarah?
 Anda senang beraktivitas?
 Apa Anda suka membuat-buat alasan? Suka
menunda-nunda waktu, menunda pekerjaan, bekerja
tanpa prioritas?
 Apa Anda suka menghindari tanggung jawab,
kurang berani, dan suka membuang waktu?
 Apa Anda bisa mengukur kemampuan diri?
 Apa Anda orangnya sangat gigih? Sangat tekun?
Sangat Pede? Tidak suka pasrah dan menyerah?
166

 Apa Anda orangnya sederhana ada gaya hidup yang


ribet?

Dari pertanyaan-pertanyaan di atas maka akan


terjawab bagaimana arah pribadi mereka, dan juga arah
pribadi kita. Apakah bermental penumpang atau
bermental driver–pengemudi. Namun tentu saja arah
pribadi yang didambakan adalah yang bermental driver.
Adapun praktik pendidikan yang cenderung
mengantarkan kita menjadi orang yang bermental
penumpang maka harus segera kita perbaiki. Yaitu metode
pengajarannya harus dibongkar habis. Sekolah-sekolah
yang terlalu mengedepankan hafalan harus merombak diri
dengan memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk
berpikir mandiri.
Mata pelajaran sains seperti biologi, kimia, fisika
harus diubah menjadi mata pelajaran lab yang lebih fun. Di
mana para siswa dibuat belajar seperti seorang saintis yang
berpikir, dan bukan menghafal.
Karena pengalaman di lapangan pendidikan sering
ditemukan para siswa yang pintar di sekolah, namun
belum tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar
justru terjadi pada para siswa yang dibesarkan dalam
persekolahan yang siswanya cenderung suka menghafal.
‚Memorizing is not the good way in thingking dan
menghafal bukanlah cara berpikir yang baik‛.
167

Maka para remaja (para siswa) dan juga kita perlu


latihan berpikir. Mata pelajaran yang terlalu bersifat
menghafal perlu kita renungkan kembali bagaimana
model PBM yang bisa membuat siswa aktif dan kreatif.
Guru-guru juga harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri
sebelumnya telah dibentuk oleh sistem pendidikan
menghafal yang sangat merisaukan. Jadinya guru dan para
siswa harus berubah dari kebiasaan menghafal menjadi
berpikir–thinking oriented.
Karena dengan kemampuan berpikir yang baik akan
bisa menghasilkan karya-karya yang besar. Jadi model
pembelajaran/pendidikan kita perlu disempurnakan,
diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orang tua kita.
Dengan demikian kita semua tumbuh dan berkembang
menjadi pribadi driver—yang mampu menggerakkan dan
mengendalikan diri dan memajukan bangsa ini. Ya untuk
menjadi nation driver atau penggerak bangsa.
168

12

Percepatan Belajar untuk


Merespons Perubahan

Ada kata-kata yang sering dipakai dalam


berkomunikasi, istilah bahasa Inggrisnya adalah high
frequency, dan kata-kata yang jarang dipakai dan istilah
bahasa Inggrisnya low frequency. Banyak kata-kata yang
dulu sering dipakai dalam berkomunikasi, namun
sekarang sudah amat jarang didengar dan telah menjadi
kata-kata yang langka.
Anda masih kenal dengan kata-kata ‚perangko dan
filateli‛? Tentu saja ini sudah menjadi sebuah kata yang
asing di telinga para remaja sekarang. Filateli adalah hobi
seseorang dalam mengoleksi perangko. Sekarang banyak
benda-benda yang tidak dikenal lagi karena sudah
tergerus oleh zaman. Yaitu seperti benda-benda ‚telegram,
telegraf, kartu pos, warkat pos, piringan hitam, mesin
169

ketik, type-ex kertas, kertas stensilan, dll.‛ Ini semua juga


sudah asing di telinga para remaja, dan termasuk beberapa
kosakata yang cenderung menghilang dari peredaran.
Tiga puluh tahun lalu banyak remaja yang tidak
sabaran buat menunggu datangnya malam minggu.
Karena mereka ingin menikmati hiburan lewat layar
tancap atau janjian di gedung bioskop. Namun sekarang
layar tancap sudah jadi masa lalu dan ribuan gedung
bioskop yang jadi kosong dan dialihfungsikan untuk
tujuan bisnis yang lain.
Perubahan tetap terjadi sepanjang waktu. Dulu anak-
anak sering curi-curi kesempatan agar bisa menikmati
permainan seperti ‚play station, ninetendo, game block, dll‛.
Sekaligus benda-benda tersebut menjadi musuh orang tua
karena gara-gara keasyikan bermain, mereka jadi lupa
dengan tugas rumah, PR dan tugas sekolah lainnya. Game
atau permainan tersebut juga telah tergerus oleh zaman
dan ditinggalkan. Game online berada di simpang jalan
karena sekarang atas nama kasih sayang banyak orang tua
memanjakan anak dengan membelikan mereka android.
Dan kini mereka dimanja dan disibukkan oleh android,
benda yang mendidik dan sekaligus merusak minat
belajar.
Kita memang sedang dilanda oleh perubahan.
Dahulu perubahan terjadi secara perlahan-lahan atau
secara evolusi. Kini perubahannya sudah sangat drastis
170

atau terjadi secara revolusioner. Ya bahwa kita dan banyak


orang berada dalam arus perubahan yang cepat.
Apa yang mesti kita lakukan untuk mengantisipasi
ini semua yang berdampak pada semua lini kehidupan
kita? Tentu saja kita harus berubah. Dan sangat tepat kalau
kita juga melakukan perubahan yang cepat. Perubahan
terjadi karena adanya ketidakpuasan masyarakat di mana
kondisi sosial yang berlaku pada masa tersebut yang
mempengaruhi pribadi mereka (Syahrial Syarbaini,
Rusdiyanta, 2009).
Kunci untuk menghadapi perubahan adalah dengan
pendidikan atau pembelajaran, tepatnya dengan
percepatan pembelajaran atau accelerated learning. Orang-
orang yang ingin berubah seharusnya membaca buku
accelerated learning. Ada banyak buku tentang percepatan
belajar, dua diantaranya adalah buku yang berjudul the
accelerated learning handbook (Dave Meier, 2002) dan
accelerated learning for 21st century (Coline Rose dan
Malcom.J.Nicholl, 2003).
Coline Rose dan Malcom J Nicholl (2003: 8-38)
memaparkan tentang percepatan belajar secara khusus.
Dia menyatakan bahwa belajar harus dimulai sedini
mungkin dan tidak boleh berhenti sampai manusia
meninggal dunia. Yang berkuasa di dunia sekarang adalah
orang yang punya pikiran. Pekerjaan yang bernilai
sekarang adalah pekerjaan yang memakai otak, punya skill
171

dan bakat di bidang apa saja. Orang yang berpendidikan


rendah, lemah ekonominya akan selalu tergantung pada
orang lain.
Negara dengan penduduk yang tidak berdaya akan
menjadi pengangguran. Dan negara akan rugi karena
harus membayar dana sejahtera dan kesehatan. Kekayaan
bangsa ada pada kualitas otak penduduknya, yaitu: kreatif
dan terampil. Untuk itu memang diperlukan accelerated
learning atau cara belajar cepat untuk beradaptasi dengan
perubahan.
Dahulu perbedaan utama setiap orang adalah ‚kaya
harta dan miskin harta‛. Namun sekarang perbedaan
utama adalah antara orang yang ‚kaya pengetahuan dan
miskin dengan pengetahuan‛. Maka pendidikan adalah
sarana untuk menjadi kaya dengan pengetahuan dan juga
modal utama bagi seseorang agar bisa beradaptasi.
Mari kita pergi ke berbagai sekolah. Mungkin kita
mengunjungi SMP, SMA, SMK, atau ke Madrasah, dll. Di
sana kita akan berjumpa dengan para remaja sedang
menuntut ilmu dan mereka saling bertanya tentang masa
depan.
‚Apa cita-citamu? ...apa mimpimu kelak? ....apa
rencanamu setelah tamat SMA dan setelah kuliah? Ingin
jadi apa kalau kamu besar nanti?‛
Ini semua adalah pertanyaan yang bersifat
konvensional. Ternyata pertanyaan yang demikian tidak
relevan lagi untuk zaman sekarang. Kalau dahulu orang
172

yang jago di sekolah rata-rata memperoleh pekerjaan,


namun di zaman sekarang, orang yang biasa-biasa saja
saat bersekolah, namun setelah dewasa bisa jadi orang
terpandang. Seakan-akan kondisi jadi terbalik. Maka
pertanyaan yang lebih tepat untuk diajukan adalah:
‚Apa yang dapat kamu kerjakan jika kamu tumbuh
dewasa nanti?‛ Pertanyaan tersebut lebih menunjukkan
bahwa seseorang punya kemandirian, kreativitas, inovasi,
atau punya visi dan misi serta pro terhadap perubahan
yang selalu terjadi.

Untuk beradaptasi dengan perubahan demi


perubahan yang terjadi secara drastis (revolusioner), salah
satunya dengan cara menyadur cara belajar cepat atau
accelerated learning. Cara belajar cepat sangat berguna
untuk menyerap dan memahami informasi dengan cepat.
Bagaimana cara menerapkan cara belajar tersebut?
Accelerated learning bisa diaplikasikan di rumah dan
juga di sekolah. Untuk aplikasi di sekolah, ada beberapa
hal yang harus kita perhatikan, yaitu:
 Ubah ruang kelas dengan total.
 Belajar melalui serangkaian aktivitas.
 Belajar dengan menggunakan emosi.
 Belajar dengan menggunakan musik dan dekorasi.
 Proses belajar mengajar harus bebas dari tekanan.
173

 Sementara itu, cara belajar cepat juga bisa diadopsi


di rumah sama halnya dengan penekan yang ada di
sekolah dan hanya dua hal yang perlu diperhatikan
oleh orang tua, yaitu seperti:
 Menyediakan kondisi rumah yang kaya dengan
stimulasi (rangsangan).
 Membebaskan suasana rumah dari stress, ini
berguna agar anak-anak tumbuh mandiri.

Dalam menerapkan cara belajar cepat maka guru dan


orang tua dihimbau dalam mendidik dan menumbuhkan
nilai-nilai moral agar melibatkan unsur emosi seperti
adanya ‚suasana ruangan yang ceria dan orang-orang
yang terlihat bahagia‛. Selanjutnya Coline Rose dan
Malcom. J. Nicholl (2003: 85-115) menjelaskan tentang
metode cara belajar cepat dengan teknik MASTER, yaitu
singkatan dari:
 Motivation (apa gunanya belajar bagiku, agar termoti-
vasi mereka harus merasa tertarik lebih dahulu).
 Acquire (memperoleh informasi dengan semua
indera).
 Search (eksplorasi subjek).
 Trigger (memicu memori).
 Exihibit (apa yang kita peroleh).
 Reflect (bagaimana kita belajar).

Dalam buku ‚Tuntutlah Ilmu Sampai Negeri Prancis


(Marjohan dan Ranti, 2012)‛ kita dapat membaca
174

bagaimana perjuangan Ranti Komala Dewi bisa maju dan


berkembang. Itu dia peroleh karena dia juga melakukan
cara belajar cepat secara tidak langsung.
Kelemahan yang dimilikinya dapat menjadi
kekuatannya. Pun, kekuatan Ranti dapat menjadi
kelemahannya. Ungkapan seperti itu bukanlah sesuatu
yang terlahir dari kekosongan belaka, namun nyata
adanya dan tentu saja faktual. Paling tidak, kisah luar
biasa yang dituangkan dalam buku tersebut. Ini menjadi
saksi sekaligus bukti akan kebenaran ungkapan tersebut.
Di dalam buku tersebut kita dapat menyimak kisah
perjuangan seorang anak dusun nan sederhana dalam
meraih mimpinya untuk kuliah di Eropa. Bagaimana
perjuangannya dalam mencari beasiswa. Bagaimana hari-
hari musim dingin Eropa telah menempanya menjadi
sosok yang tidak takut berjuang meraih mimpi. Kita bisa
mengikuti pengalaman manis, getir, haru, dan bahagia
ketika Ranti dan teman-temannya tinggal di Prancis, ketika
mereka pontang-panting mencari kamar sewa, ketika
mereka mengikuti kuliah perdana di Sorbonne dengan
keterampilan berbahasa Prancis yang nyaris nol, karena
belajar bahasa Prancis dengan accelerated learning akhirnya
ia mampu berbahasa Prancis. Belajar bahasa lebih mudah
dilakukan dalam konsep sebuah cerita.
Buku tersebut saya tulis berdasarkan pengalaman
langsung dari Ranti Komala Dewi. Lebih dari sekadar
175

buku ‚kuliah sambil jalan-jalan di Prancis‛, buku ini


merangkum pula segala pembelajaran kehidupan yang
berhasil disarikan oleh Ranti selama ia meniti tangga-
tangga menuju puncak pencapaian mimpinya. Banyak
pula pengamatan-pengamatannya yang bernas tentang
orang-orang dan kebudayaan Prancis. Semuanya layak
disimak dan dijadikan pembelajaran kehidupan.
Saya juga memaparkan pengalaman Doni Adinata
dalam melakukan percepatan belajar, khusus selama
kuliah di Jerman, sebagaimana ditulis dalam buku
‚Akhirnya Kutaklukan Kampus Jerman (Marjohan Usman
dan Syaiful Amin, 2013)‛. Kenapa Donni begitu istimewa?
Sebenarnya, ada banyak alasan mengapa pemuda itu
begitu istimewa. Namun, saya hanya butuh satu istilah
untuk menyebutnya istimewa, yakni ‚luar biasa karena ia
telah melakukan accelerated learning‛.
Dibesarkan dalam keluarga broken home sejak kecil
dan di tengah himpitan ekonomi yang mendera, tak lantas
membuat Donni Adinata—pria yang saat ini berprofesi
sebagai dosen di Universitas Indonesia—menjadi pesimis.
Justru, hal itu semakin memperkuat tekadnya untuk
meraih pendidikan setinggi-tingginya.
Selepas menamatkan pendidikan SMA-nya di
Padang Pariaman (Provinsi Sumatera Barat), Donni
Adinata memutuskan untuk belajar di Pulau Jawa. Melalui
jalur PMDK, akhirnya ia diterima di Universitas
Diponegoro dan lulus dengan predikat cumlaude.
176

Belum puas dengan ijazah sarjana teknik yang


diperolehnya, ia kemudian mulai rajin berburu beasiswa
ke luar negeri untuk mewujudkan impiannya. Perjuangan
keras dan berbagai kisah menarik pun mengiringi
perjalanan hidupnya saat ia diterima kuliah di University
of Malaya di Malaysia, dilanjutkan ke RWTH Aachen
University di Jerman hingga meraih gelar doktor.
Belajar semua bahasa asing meliputi aspek berbicara,
menyimak (mendengar), membaca dan menulis. Dulu dia
merasa sulit belajar bahasa Inggris. Namun sekarang dia
rasakan bahwa bahasa Inggris tidak begitu sulit. Bahasa
Jerman malah lebih sulit karena bahasa ini mempunyai
artikel, grammar yang berbeda dari bahasa Inggris dan
tentu juga kosakatanya.
Dave Meier (2002: 23) yang bukunya berjudul
accelerated learning, mengatakan bahwa belajar adalah
berkreasi bukan mengonsumsi. Untuk accelerated learning
perlu keterlibatan total dalam pembelajaran. Belajar
berpusat pada aktivitas bukan berpusat pada presentasi.
Belajar bukanlah sejenis olahraga untuk ditonton tetapi
menuntut peran serta semua pihak. Untuk accelerated
learning perlu kegembiraan belajar dan ini penentu utama
kualitas dan kuantitas belajar. Kegembiraan bukan berarti
menciptakan suasana ribut dan hura-hura. Kegembiraan
berarti bangkitnya minat dan semangat kita.
177

13

Buatlah Dirimu “Menarik”


Maka Sukses Segera Datang

Keinginan untuk meraih sukses menjadi impian


banyak orang, mulai dari yang berusia muda hingga
berusia dewasa. Demikian juga di kalangan remaja.
Mereka belajar keras. Mereka sangat yakin bahwa untuk
meraih sukses adalah dengan cara banyak belajar. Oleh
sebab itu mereka membaca banyak buku, menaklukan
berbagai buku teks, berharap ketika diberi UH (ulangan
harian) oleh bapak dan ibu guru bisa meraih nilai yang
sempurna. Kalau semua nilai banyak yang sempurna maka
itu adalah gerbang kesuksesan.
Kalau di sekolah, siswa yang tinggi nilainya dialah
yang dikatakan sebagai orang yang sukses. Jadinya andai
ada teman-teman yang jago dalam semua bidang
akademik, maka mereka berhak memperoleh jempol dari
178

siapa saja, utamanya dari guru dan orang tua, dan juga
pengakuan dari teman-teman.
Dengan demikian parameter sukses di mata remaja
adalah kemampuan akademik mereka. Bahwa orang yang
sukses itu adalah yang mampu meraih nilai UH yang
tinggi, meraih juara OSN (Olimpiade Sains Nasional), yang
meraih juara kelas dan lulus dari SMA dengan nilai UN
(Ujian Nasional) yang sangat tinggi.
Selanjutnya bahwa orang yang sukses—kalau bisa
jebol di perguruan tinggi favorit di pulau Jawa atau pada
jurusan-jurusan favorit di perguruan tinggi negeri yang
terkemuka di Indonesia. Jadinya, sekali lagi, begitu banyak
remaja yang berjibaku dalam mengejar akademik semata
hingga bisa memperoleh kejuaraan dalam suatu
perlombaan, prestasi akademik, hingga lulus dengan nilai
yang gemilang.
Kriteria sukses ini tidak salah, namun kriteria sukses
mesti diperluas. Nilai akademik yang tinggi tetap penting
untuk digapai. Namun apakah mereka betul-betul bisa
meraih sukses dengan mudah setelah 5 tahun atau 10
tahun kemudian?
Mari kita cari makna kata sukses terlebih dahulu.
Bahwa sukses itu bentuknya bisa jadi beragam dan
berbagai motif yang bisa melandasi keinginan kita. Sukses
dalam karier, misalnya, akan terbentuk berdasarkan nilai
yang kita anut. Makna sukses itu dikonstruksi oleh
179

interaksi kita (individu) dengan lingkungan sekitar. Ada


yang memandang lulus jadi PNS sebagai ukuran sukses.
Juga seseorang yang dagangan ritelnya laris, dapat
dikatakan sebagai orang sukses (Nurul Duariyati, 2006).
Ada sebuah artikel yang bercerita tentang sukses
yang ditulis oleh Melisa Stanger (2012). Judul artikelnya
‚Attractive people are simply more successful‛, bahwa orang-
orang yang terlihat atraktif (lebih menarik) dan akan lebih
mudah dalam meraih sukses. Dengan arti kata, orang-
orang yang terlihat menarik akan lebih cepat mendapatkan
pekerjaan dan memperoleh bayaran yang lebih tinggi.
Orang yang menarik biasanya memperoleh promosi
pekerjaan lebih cepat, dibayar lebih mahal dari pada
orang-orang yang kurang menarik dan bekerja pada
bidang yang sama. Dengan demikian betapa penting
menjadi orang yang terlihat menarik, karena mereka yang
menarik mampu memperoleh nafkah lebih baik dari pada
orang-orang yang penampilannya biasa-biasa saja.
Daniel Hamermesh (2011) membahas tentang orang
yang terlihat ‚atraktif‛ akan bisa menjadi lebih sukses. Ia
menulis tentang fenomena ini menjadi sebuah buku yang
berjudul ‚Beauty pays: why attractive people are more
successful‛.
Kemudian, Melisa Stanger (2012) juga meneliti
tentang eksistensi atraktif (kecantikan/ketampanan)
sebagai faktor signifikan dalam meraih kesuksesan.
180

Terbukti bahwa orang yang menarik mampu memperoleh


lebih banyak uang dari perusahaan. Mereka juga memberi
kontribusi yang lebih signifikan dalam memajukan
perusahaan tempat mereka berkarier. Sehingga mereka
dipandang sebagai karyawan yang lebih bernilai dan lebih
penting.
Dalam pengalaman sosial yang lain bahwa para
salesmen yang menjajakan dagangan secara door to door—
ternyata salesmen yang penampilannya lebih menarik lebih
laris menjual dagangannya kepada pelanggan. Para
pelanggan sendiri lebih suka membeli produk dari para
salesmen yang memiliki wajah yang good looking.
Dario Maestripieri (2012) menulis tentang ‚The truth
about why beautiful people are more successful–The truth about
why beauty pays. Dia mengatakan bahwa orang-orang yang
memiliki penampilan ‚good looking‛ atau menarik lebih
memiliki daya tarik, sehingga banyak orang yang senang
untuk berinteraksi dengannya.
Pelanggan senang menghabiskan banyak waktu
untuk ngobrol—melakukan kebersamaan—dengan orang
memiliki pribadi yang menarik. Perusahaan juga akan
sering membayar bonus yang lebih pada mereka yang
memiliki daya tarik. Tidak sia-sia kalau banyak orang
sangat peduli dengan arti sebuah penampilan.
Menghabiskan dana ekstra buat perawatan tubuh, hingga
mereka bisa tampil lebih menarik.
181

Daniel Hamermesh (2011) selanjutnya mengatakan


bahwa faktor good looking bukan hanya sebagai faktor
utama mengapa seseorang punya daya tarik. Namun
faktor karakter (karakter positif) seperti keberanian, sopan
santun, ramah tamah, dll, juga membentuk seseorang jadi
atraktif.
Kecantikan dan ketampanan seseorang dapat
memantulkan rasa percaya diri. Rasa percaya diri adalah
bagian dari perilaku. Orang-orang yang memiliki
penampilan good looking atau menarik akan punya rasa
percaya diri, dan selanjutnya mereka juga akan punya rasa
harga diri mereka (self esteem) yang lebih tinggi. Jadinya
mereka menjadi orang yang disenangi dan lebih mudah
diterima oleh banyak kalangan.

/
Riset tentang daya tarik (atraktif) dan dampaknya
juga telah dilakukan oleh Sean N. Talamas, dan temannya
(2009). Judul laporan risetnya: Blinded by Beauty:
Attractiveness Bias and Accurate Perceptions of Academic
Performance. Peribahasa lama mengatakan bahwa ‚not to
judge a book by its cover–jangan menilai sebuah buku hanya
dari cover-nya.‛ Bahwa wajah seseorang sering
memberikan kesan pertama, dan kesan ini selanjutnya
berpengaruh dalam membuat keputusan.
182

Sebenarnya faktor kesehatan dan kecerdasan


seseorang mesti lebih utama sebagai penentu dalam
menilai seseorang. Namun lagi-lagi faktor daya tarik—
faktor wajah yang menarik (atraktif) memberi bias—
membuat seseorang selalu bersifat memihak menilai
penghargaan dan penilaian yang lebih pada orang gagah
atau orang yang cantik.
Daya tarik juga mempengaruhi dalam penilaian
akademik. Bahwa remaja (siswa atau mahasiswa) yang
menarik penampilannya cenderung memperoleh nilai
kompensasi—nilai yang lebih tinggi dari dosen dan teman-
temannya. Sean N, dkk (2009) membatasi studi tentang
bagaimana penampilan wajah mempengaruhi keunggulan
seseorang dalam melakukan wawancara.
Georgia Soares (2013) juga menemukan bahwa
orang-orang yang wajahnya kurang terawat—bernoda,
jerawatan, ada goresan luka dan komedo—ini semua bisa
mempengaruhi kualitas wawancara dan penurunan
kuaitas rasa percaya diri. Dia mengatakan:
‚When looking at another person during a conversation,
your attention is naturally directed in a triangular pattern
around the eyes and mouth. The more the interviewers attended
to stigmatized features on the face, the less they remembered
about the candidate's interview content.‛
Bila Anda sedang melihat seseorang saat melakukan
wawancara, perhatian Anda secara tak sengaja akan
183

terfokus pada wilayah segi tiga di sekitar dua—mata dan


mulut. Kalau Anda memperhatikan ada titik noda pada
wajah objek (orang yang sedang diwawancarai) dan Anda
lebih fokus pada noda tersebut maka Anda akan kurang
memperhatikan kualitas pernyataan yang diberikan.
Ada kesan bahwa orang yang ditanya (sedang
diwawancarai) akan kehilangan daya tarik, sehingga
banyak informasi penting yang ada pada mereka akan
kurang tergali. Dengan arti kata orang yang memiliki noda
pada wajah bisa kehilangan momen dalam memberi
pernyataan yang meyakinkan Anda.
Sebaliknya orang yang wajahnya gagah atau
menarik. Hal ini akan mendatangkan rasa percaya diri dan
karisma tersendiri. Dikatakan bahwa orang-orang yang
daya punya daya tarik akan punya keuntungan yang lebih
besar dalam masyarakat dibandingkan orang-orang yang
kurang menarik. Sebenarnya itu bukan efek dari
‚prasangka atau prejudiced‛ namun itu sebagai respons
biologi manusia atas daya tarik yang ada pada seseorang.
Sehubungan dengan uraian di atas tentang
kesuksesan dalam belajar, bekerja, dan faktor noda pada
wajah yang merusak daya tarik penampilan. Saya juga
teringat pada pengalaman sendiri. Bahwa ada teman masa
remaja saya yang sangat rajin dan disiplin dalam belajar
sehingga setiap dia ujian, dia mampu meraih nilai ujian
yang lebih tinggi. Dalam ujian harian, ujian tengah
184

semester, dan ujian kenaikan kelas, dia juga mampu


meraih angka-angka yang fantastis. Sehingga pada
rapornya tertera nilai-nilai yang mengagumkan.
Bagaimana reaksi teman-teman kepadanya?
Sebagian merasa kagum pada kemampuan
akademiknya dan yang lain merasa biasa-biasa saja,
apalagi melihat performance-nya yang juga sedikit kaku,
kurang ramah, kurang suka berkomunikasi sehingga
banyak orang yang kurang tertarik buat ngobrol
dengannya.
‚Karena dia sendiri juga kurang peduli dengan
penampilannya. Dia membiarkan wajahnya kurang
terawat sehingga membuat lawan jenis juga malas banyak
ngobrol dengannya atau ngobrol hanya sebatas basa-basi
saja‛.
Sehubungan dengan judul tulisan ini, yaitu buatlah
dirimu ‚atraktif atau lebih menarik‛ agar sukses segera
datang. Daya tarik atau atraktif memang sangat
dipengaruhi oleh faktor good looking–wajah yang tampan
atau wajah yang cantik. Namun itu semua merupakan
anugerah dari Tuhan (Allah Swt). Daniel Hamermesh
(2011) juga menambahkan bahwa bagi mereka yang
memiliki faktor wajah yang kurang beruntung, tentu akan
juga bisa membuat keberuntungan yang lebih. Mereka
masih memiliki tempat-tempat lain untuk mewujudkan
kesuksesan mereka.
185

‚Jangan mencari pekerjaan di mana faktor wajah


menjadi penentu keberhasilan. Maka jangan putuskan
untuk menjadi pembawa acara di TV, namun bisa bekerja
sebagai penyiar radio. Jangan menjadi aktor film, namun
carilah tempat pekerjaan yang Anda senangi di mana
wajah bukan sebagai faktor penentu yang utama,‛
demikian nasihat Daniel Hamermesh (2011).

Apakah ‚daya tarik atau atraktif‛ hanya ditentukan


oleh faktor keberuntungan secara biologi, yaitu bentuk
wajah yang cantik atau tampan dan tubuh yang bagus?
Tentu tidak dan tidak mutlak demikian.
Daya tarik seseorang juga bisa datang dari kualitas
pribadinya. Saya pernah membaca artikel pada sebuah
majalah tentang Sri Owen. Sri Owen (2008) dalam journal
dan weblognya menulis tentang dirinya, Something About
Myself.‛ Dia lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat. Pada
masa kecil ia sangat senang melihat neneknya memasak di
dapur. Kehidupan Sri di Sumatra Barat tidak berlangsung
lama, kedua orang tuanya pindah ke Jawa, dan menetap di
Magelang.
Ia menyelesaikan pendidikan SMA di Magelang,
kemudian melanjutkan studi di Universitas Gajah Mada,
jurusan Bahasa Inggris. Dia menyukai bahasa Inggris
186

karena bercita-cita melanjutkan studi dan jalan-jalan ke


luar negeri. Saat tinggal di Yogyakarta Sri sering menjadi
interpreter (penerjemah) untuk tamu VIP. Dia sering ikut
kegiatan membaca puisi dan drama buat disiarkan oleh
radio di Yogyakarta.
Sri berjumpa dan berkenalan dengan Roger Anthony
Owen, seorang dosen muda berkebangsaan Inggris yang
mengajar Sejarah di UGM. Roger adalah pemuda Inggris
yang bertumbuh tinggi dan wajah tampan. Sementara Sri
adalah wanita Sumatra Barat (Indonesia). Kecantikan
wajahnya biasa-biasa saja. Namun lambat laun Roger
Anthony Owen jatuh cinta pada Sri. Mengapa itu bisa
terjadi?
Daya tarik Sri bukan terletak pada fisiknya.
Kecantikan yang dimiliki oleh Sri bukan semata-mata
ditentukan oleh faktor wajah. Pribadi Sri yang menarik,
wawasannya yang luas dan daya tarik dari dalam diri Sri
membuatnya punya pesona tersendiri di mata Roger
Anthony Owen. Hingga akhirnya Roger bersimpati, jatuh
cinta dan memutuskan untuk menikah dengan Sri. Setelah
menikah nama Sri lebih akrab disapa dengan ‚Sri Owen‛.
Mereka berdua kemudian pindah ke London. Sri
mendapatkan pekerjaan di BBC di bagian siaran Indonesia
sebagai penyiar, produser dan penerjemah. Ternyata Sri
Owen juga punya talenta dalam bidang kuliner,
khususnya masakan Padang dan masakan Indonesia.
187

Urusan masak-memasak inilah yang kemudian membawa


Sri Owen menjadi seorang penulis masakan Indonesia. Dia
punya obsesi untuk menulis tentang masakan Indonesia.
Suaminya, Roger, sangat mendukung. Sri dan suaminya
juga sering masak bareng dan menjamu teman-teman
untuk memperkenalkan masakan Indonesia di rumahnya
yang sederhana.
Kesuksesan utama Sri Owen, selain punya banyak
teman di dunia, juga karena bakat kuliner yang didukung
oleh kemampuan jurnalistik dan menulisnya. Buku
masakannya yang berjudul ‚The Home Book of Indonesian
Cookery‛, sangat populer dan laris manis. Kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dengan judul ‚Die
Indonesiche Kuche.‛
Selain menulis buku mengenai masakan, Sri Owen
juga aktif mengisi demonstrasi masakan di sejumlah acara,
diantaranya pernah tampil di ABC Channel dan sejumlah
televisi di Inggris lainnya serta MTV Helsinki. Sri Owen
juga tercatat sebagai anggota Guild of Food Writer, London
dan IACP (International Association of Culinary
Profesional) USA serta Society of Author London.
Bagaimana implikasi dari judul artikel ini? Bahwa
orang dengan penampilan yang menarik akan lebih
mudah buat meraih sukses. Ternyata daya tarik seseorang
tidak selalu tergantung dari kondisi fisik, seperti bentuk
wajah. Namun kualitas kepribadian juga menjadi faktor
188

yang berpengaruh. Sebagaimana yang dimiliki oleh Sri


Owen, wawasannya yang luas, kemampuan
berkomunikasi, tata krama, dan kecakapan hidup, semua
membuat pribadinya terlihat penuh pesona.
Jadi wajah yang hanya sebatas good looking, yaitu
cantik atau ganteng, belum bisa memberikan jaminan
bahwa seseorang punya daya tarik bagi orang lain. Lebih
lanjut mari kita miliki kemampuan berkomunikasi,
keterampilan dalam beradaptasi, bergaul, mengambil
keputusan, bersimpati dan kemampuan sosial lainnya.
189

14

Membangun Kualitas Pribadi

Sesuatu gejala yang terlihat pada tubuh kita


sebetulnya mengatakan apa dan bagaimana dalam pikiran
kita. Seseorang yang terdiam secara tiba-tiba saat berdebat
bisa jadi menunjukkan dia tidak setuju, dia lagi berfikir,
atau lagi bingung, dll. Benar bahwa tubuh kita bisa
mengatakan tentang pikiran kita, dan pikiran kita juga bisa
menggambarkan tentang perasaan dan pikiran itu sendiri
lewat kalimat yang kemudian kita ekspresikan (Deb
Shapiro, 2008).
Bahwa tubuh atau diri kita ibarat sebuah mobil, dan
pikiran kita sebagai driver atau pengendalinya. Semua
bentuk pikiran kita akan membentuk kualitas diri kita.
Kualitas diri ini kita sebut juga dengan ‚kualitas pribadi‛.
Kualitas pikiran kita sendiri terbentuk dari pengalaman
kita sejak dini, saat kita masih bayi.
190

Ketika lahir, kita adalah manusia yang baru dan


manusia yang bersih. Data-data dalam otak kita masih
jernih dan polos karena kita belum mengerti tentang
makna dan bahasa apa pun dan juga kita tidak mengerti
apa yang terjadi di sekitar kita. Orang tua kita mulai
mengajak kita berkomunikasi dengan ekspresi wajah dan
bahasa tubuh (gestur) secara berulang-ulang hingga
akhirnya kita mengerti dan juga bisa mengucapkan kata-
kata.
Seiring dengan berjalannya waktu, kita tumbuh, bisa
duduk, merangkak dan berjalan. Kita tumbuh lebih besar.
Kita melakukan eksplorasi dalam usia bayi, usia balita,
usia anak-anak dan seterusnya—hingga kita memilki
pengetahuan sederhana tentang sesuatu yang terjadi di
sekitar kita. Kita makin aktif melakukan eksplorasi karena
orang tua kita memberi kondisi dan memberi rangsangan
pengalaman bagi kita. Jadinya suasana hati kita
mengalami aneka bentuk perasaan dari pengalaman
tersebut, yaitu seperti:
 Pengalaman kasih sayang.
 Pengalaman toleransi.
 Pengalaman ceria.
 Pengalaman takut.
 Pengalaman cemas.
 Pengalaman putus asa.
 Pengalaman persatuan.
191

 Pengalaman kehilangan.
 Pengalaman harga diri.
 Pengalaman percaya diri.
 Pengalaman kepemilikan.
 Pengalaman kegagalan.
 Pengalaman keberhasilan.
 Pengalaman kebahagiaan.
 Pengalaman kesabaran.
 Pengalaman tentang agama,
 Pengalaman dll.

Otak kita jauh lebih kuat dan lebih baik dari


komputer apa pun di dunia ini. Karena otak mampu
menyimpan dan mengingat kembali sejumlah besar
informasi-informasi yang disimpannya. Memori otak
membantu kita dalam mengelola kehidupan ini (Dominic
O’Brien (2005).
Akal yang terdapat dalam memori kita menyimpan
sangat banyak pengalaman dan semua pengalaman tadi
ada file atau arsipnya. Maka akan juga ada sangat banyak
file, ibarat kerja komputer, akan terdapat sejumlah key word
atau kata kunci seperti: kasih sayang, toleransi, ceria, rasa
takut, cemas, putus asa, persatuan, kehilangan, harga diri,
percaya diri, kepemilikan, kegagalan, keberhasilan,
kebahagiaan, kesabaran, tentang agama, dll.
Begitu banyaknya file-file pengalaman—ibarat
pemrograman komputer—maka akal juga menyatukan
192

file-file yang sejenis menjadi folder atau gabungan file.


Maka terbentuk pulalah gabungan file menjadi folder
dalam memori kita, yaitu seperti folder:
 Lemah.
 Sukses.
 Cemas
 Marah.
 Sabar.
 Malang.
 Bahagia.
 Cinta, dll.

Kemudian dalam menjalani kehidupan melalui


eksplorasi, kita mengalami kegagalan baru, maka folder
masa lalu tentang kegagalan juga terbuka dan file-file yang
berhubungan tentang pengalaman gagal juga saling
berhubungan. Folder tentang pengalaman gagal juga
berhubungan dengan folder tentang suasana hati yang lain
seperti folder tentang cemas, takut, bahagia, khawatir, dll.
Ini semua membentuk pemikiran dan respons kita yang
baru. Demikianlah bagaimana semua pengalaman kita
terarsip (tersimpan) dengan rapi dalam file dan folder
pada memori kita.

Bagaimana keadaan kita atau siapa kita tergantung


dari cara kita memandang diri sendiri, dan cara kita
193

mendeskripsikan diri kita. Apakah kita orang yang punya


harga diri, orang yang percaya diri, orang yang berguna
bagi orang lain, dll, semua tergantung pada pikiran kita
atas diri sendiri. Seseorang akan merasa penting atau
merasa sebagai orang yang tidak penting, lagi-lagi, itu
semua tergantung pada bentuk pikiran kita terhadap
pribadi kita sendiri (Bonnie D. Singer, 1999).
Sejak kecil semua orang bereksplorasi dan
mengalami banyak pengalaman. Sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas bahwa dari bentuk-bentuk ribuan
pengalaman maka bertebaran pulalah arsip atau file-file
pengalaman dalam pikiran kita. Selanjutnya dari file-file
pengalaman yang sejenis terkumpul menjadi folder-folder,
yang topik atau jenisnya juga sama. Ini adalah deskripsi
tentang kerja akal dalam membentuk pola pikiran.
Selanjutnya pikiran-pikiran tadi akan membentuk
pribadi kita sendiri. Pribadi kita terbentuk dari gabungan
beberapa bentuk fitur lainnya, seperti: intelektualitas, fisik,
perasaan, sikap, manusia positif atau negatif, citra diri,
harga diri, rasa percaya diri, kondisi jiwa, kondisi
kesehatan, dll. Terlebih dahulu ini ditentukan oleh mindset
kita sendiri.
Apa itu mindset? Dalam pergaulan kita sering
mendengar seseorang mengatakan ‚ketika bangun bagi
saya sering merasa lelah, agar merasa segar saya minum
segelas teh jahe‛. Orang lain berkata, ‚Saya merasa
194

konsentrasi kalau belajar pakai musik‛. Dan yang lain lagi


berkata, ‚Saya terbiasa menunda-nunda pekerjaan‛.
Kalimat-kalimat yang diucapkan tersebut terlontar dari
mulut seseorang dan secara berulang-ulang, tanpa disadari
akhirnya membentuk mindset atau pola pikiran. Jadi
mindset adalah pola pikiran.
Dalam setiap aspek kehidupan dan perilaku kita
selalu ada mindset. Kita punya mindset tentang tidur,
mindset tentang bergaul dengan orang lain. Demikian juga
mindset tentang makan dan menyantap makanan, mindset
tentang bekerja dan belajar, dll.
Mindset atau pola pikiran itu sendiri ada yang
berbentuk positif atau negatif. Selanjutnya mindset kita
juga berpengaruh pada keadaan intelektualitas, fisik,
perasaan, sikap, manusia positif atau negatif, citra diri,
harga diri, rasa percaya diri, kondisi jiwa, kondisi
kesehatan, dll. Paparan tentang pikiran berikut merupakan
intisari dari buku yang berjudul ‚Terapi Berfikir Positif—
Biarkan Mukjizat Dalam Diri Anda Melesat Agar Hidup
Lebih Sukses Dan Lebih Bahagia‛ yang ditulis oleh
Ibrahim Elfiky (2011).

1. Pikiran mempengaruhi intelektualitas


Bila kita berpikir positif terhadap pekerjaan, teman,
dan pekerjaan maka akal kita akan mengesampingkan
(melupakan) hal-hal negatif yang ada pada pekerjaan,
195

teman, dan pekerjaan kita. Dengan begitu akal bisa


berkonsentrasi pada kualitas pikiran (kualitas
intelektualitas) kita. Kemudian akal memperkuat pikiran
itu dengan informasi sejenis yang tersimpan dalam
file/folder pada memori kita.

2. Pikiran mempengaruhi fisik


Setiap kata yang diucapkan orang kepada kita, akan
kita pikirkan. Bila perkataan itu baik atau buruk—negatif
atau positif, memberi semangat atau menghancurkan
harga diri akan mempengaruhi pikiran kita dan
selanjutnya berdampak pada fisik kita. Ucapan positif
membuat pikiran kita senang dan fisik kita jadi
bersemangat—kita tersenyum. Sebaliknya kalimat negatif,
mempengaruhi pikiran kita dan kita menjadi jengkel dan
fisik menghindar dari dia.

3. Pikiran mempengaruhi perasaan


Pikiran memang mempengaruhi perasaan dan
bahwa pikiran adalah ciptaan manusia. Sebenarnya orang
lain atau dunia luar tidak bisa mempengaruhi kita, kecuali
bila kita mengizinkan pikiran/perasaan kita jadi terganggu.
Perasaan tidak akan bisa berubah begitu saja. Untuk bisa
berubah maka kita harus mengubah pikiran dan
konsentrasi kita terlebih dahulu.
196

Memang bahwa setiap pengalaman mempengaruhi


perasaan kita sesuai yang ada dalam benak kita dan dalam
memori kita. Untuk selanjutnya perasaan tak ubahnya
bahan bakar bagi manusia, perasaan positif membuat kita
lebih bersemangat dan termotivasi, dan perasaan negatif
bisa menghancurkan semangat dan motivasi kita. Jadi
kalau kita benar-benar ingin mengubah kehidupan
menjadi lebih baik maka kita harus selalu memelihara
pikiran positif untuk mendapatkan perasaan yang positif.

4. Pikiran mempengaruhi sikap


Sikap kita sering terjadi karena kebiasaan dan
pengaruh dari luar. Kita tidak boleh melakukan
generalisasi bahwa seseorang sebagai sosok yang negatif,
temanku itu payah, dosen itu killer. Sebab yang kita vonis
adalah buka sikap manusianya. Pikiran seseorang
akhirnya membentuk sikapnya dan sikap itu ada yang
berbentuk:
 Sikap memusuhi atau menyerang.
 Sikap taat dan menerima
 Sikap tegas dan percaya diri.

5. Pikiran membentuk kita jadi orang positif atau


negatif
Pikiran mempengaruhi akal membuat kita
berkonsentrasi pada suatu makna. Perasaan adalah bahan
197

bakar bagi sikap yang digunakan orang dalam


menggerakkan tubuh—mengekspresikan wajah, gestur
dan cara berbicara. Semua itu mendatangkan hasil yang
kita wujudkan yaitu positif atau negatif.
Pikiran memiliki kekuatan yang membuat seorang
murid bersemangat—ia belajar lebih serius hingga
menggapai prestasi. Pikiran juga memiliki kekuatan
sebaliknya, yaitu membuat seorang murid tidak suka pada
pelajaran dan pada guru—ia tidak punya semangat hingga
gagal meraih prestasi.
Dalam kehidupan rumah tangga atau kehidupan
sosial, satu pikiran negatif bisa menyebabkan perpisahan
dan perceraian. Sebaliknya pikiran positif bisa membuat
suami istri atau orang yang berteman merasa berbahagia.
Sebesar apa pun kekayaan dan seluas apa pun relasi
seseorang, kebahagiaan dan kesengsaraan tetap ditentukan
oleh pikiran. Jadi pikiran apa pun yang kita masukan ke
dalam akal akan berubah menjadi perhatian, perasaan,
sikap dan hasil yang serupa. Maka kalau kita bisa
mengubah pikiran—kehidupan kita insya Allah juga akan
berubah.

6. Pikiran mempengaruhi cita diri


Citra diri adalah gambaran diri ideal yang
diharapkan. Citra diri (self image) dikategorikan sebagai
penyebab mengapa seseorang ingin mengubah bentuk diri,
198

misal orang gemuk ingin jadi langsing, orang pendek ingin


tinggi, orang kuper ingin menjadi lincah. Citra diri juga
menjadi faktor utama bagi keberhasilan dan kebahagiaan,
kegagalan dan kesengsaraan—apalagi kalau mereka
kurang bisa menerima keberadaan diri mereka
Faktor yang mempengaruhi citra diri antara lain
media informasi. Di layar televisi terlihat orang cantik,
ganteng, pintar, populer—maka penonton yang lemah
kepribadiannya ingin pula segera mengubah bentuk diri
mereka.

7. Pikiran mempengaruhi harga diri


Penghargaan terhadap diri sendiri adalah perasaan
seseorang terhadap dirinya, pendapat tentang dirinya dan
kepuasan pada dirinya. Penghargaan terhadap diri
meliputi: menerima diri sendiri, merasa diri penting dan
mencintai diri sendiri.
Penghargaan terhadap diri sendiri kadang kala
menjadi penyebab utama kesengsaraan. Sebab
penghargaan terhadap diri sendiri berhubungan dengan
perasaan: ‚Apakah dia menerima dan menghargai diri
sendiri atau tidak‛. Perasaan kurang menghargai diri
sendiri terbentuk dari pengalaman masa lalu, yaitu:
‚Seseorang yang di masa lalu kurang merasakan
cinta dan kasih dari orang-orang di sekitarnya, ketika
merasa tidak dicintai maka ia akan kehilangan
199

keseimbangan mental. Selanjutnya ia akan mencari


pengganti cinta yang hilang itu. Sangat mungkin ia lari ke
narkoba atau memilih perilaku negatif seperti gila
menonton, gila merokok, menghindari kontak dengan
orang lain, atau tidur berjam-jam‛.
Orang yang merasa tidak dicintai atau tidak diterima
akan merasa kesepian dan merasa terbuang. Kondisi
seperti mengakibatkan gangguan psikologi sehingga ia
tidak percaya diri—baik pada diri sendiri maupun pada
orang lain.

8. Pikiran mempengaruhi rasa percaya diri


Percaya diri adalah berbuat dengan penuh
keyakinan. Rasa percaya diri adalah kekuatan yang
mendorong seseorang untuk maju dan berkembang serta
selalu memperbaiki diri. Tanpa rasa percaya diri,
seseorang akan hidup di bawah bayang-bayang orang lain.
Dia tidak berani melakukan perubahan sekecil apa pun
untuk keluar dari kebiasaan. Jika seorang siswa yang telah
belajar dengan penuh semangat dan sungguh-sungguh
namun saat menghadapi ujian ia selalu memikirkan
kegagalan akhirnya mempengaruhi rasa percaya dirinya
hingga prestasi belajarnya rendah.
Pikiran positif akan membangun rasa percaya diri
yang positif, dampaknya kita akan berbuat, berpikir dan
berbicara dengan positif. Pikiran negatif juga akan
200

membangun rasa percaya diri yang juga negatif. Jadi


pikiran sangat berbahaya karena pikiran bisa menjadi
penyebab kegagalan dan juga menjadi pendukung
keberhasilan. Pikiran adalah sumber dari percaya diri kita.

9. Pikiran mempengaruhi kondisi jiwa


Cukup banyak orang mengalami gangguan jiwa dan
juga sakit jiwa. Itu berawal dari bentuk pikiran yang juga
terganggu. Pikiran terganggu karena rasa cemas, takut
menghadapi masa depan atau sesuatu yang tidak jelas.
Rasa gelisah dan frustrasi juga mengganggu pikiran dan
mengganggu ketenangan jiwa. Meski kita punya banyak
harta namun kalau pikiran terganggu maka jiwa terasa
tidak tenang. Gangguan jiwa bisa mengganggu tanpa
memandang usia dan status. Orang kaya, orang miskin,
orang cantik, orang biasa-biasa, pemuka agama,
mahasiswa, orang berusia tua atau remaja, semua bisa
terganggu jiwa.

10. Pikiran mempengaruhi kondisi kesehatan


Pikiran juga mempengaruhi kondisi kesehatan. Apa
yang dipikirkan oleh jiwa berpengaruh pada seluruh
anggota tubuh—terlihat pada ekspresi wajah, gerak tubuh,
detak jantung, suhu tubuh, proses bernafas dan tekanan
darah yang ikut mengganggu fungsi hati, ginjal, limpa,
lambung, paru-paru, dll. Jadi dialog negatif dengan jiwa
201

bisa menyebabkan serangan jantung, pusing, tekanan


darah tinggi, melemahnya sistem saraf, melebarnya
kekebalan tubuh, hingga kanker. Pikiran negatif bisa
membuat degup jantung kencang, tekanan darah
meninggi, napas semakin cepat, tubuh gementar, merasa
tercekik, berkeringat dingin, dan berbicara terbata-bata.
Jadi dari sejumlah pengalaman yang kita temui,
lewati dan kita lakukan sejak kecil (dari bayi) hingga
sekarang, semuanya akan tersimpan dalam memori.
Pikiran membuat arsip memori dalam akal dan selanjutnya
membentuk pribadi kita. Kualitas pribadi kita ditentukan
oleh kondisi intelektualitas dan sikap kita. Pikiran kita
membentuk diri kita secara langsung seperti bagaimana
cita diri, harga diri dan rasa percaya diri. Kemudian,
apakah kita sebagai orang yang berkarakter positif atau
negatif. Selanjutnya pikiran mempengaruhi kondisi, fisik,
perasaan, jiwa dan kesehatan kita (Ibrahim Elfiky, 2011).

Dalam hidup kita berhubungan dengan banyak


orang. Kualitas pribadi mereka juga beragam, mulai dari
orang yang kualitas pribadinya biasa-biasa saja hingga
orang dengan kualitas pribadi yang penuh pesona.
Seseorang yang punya kualitas diri penuh pesona, dia
ibarat punya magnet dalam dirinya. Orang-orang selalu
ingin mendatanginya—mengunjungi dan mendekat
202

padanya. Jadinya dia bisa disebut ‚orang berkepribadian


magnet–atau magnetic personality‛. Menjadi orang dengan
pribadi magnetic seharusnya juga menjadi pilihan hidup
kita.
Memang dalam hidup ini terdapat banyak pilihan.
Tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang akan
menjadi kebiasaan. Tom Corley (2016) mengatakan bahwa
kecerdasan, bakat dan ketampanan/kecantikan adalah
anugerah dari Tuhan. Kalau kita pisahkan antara orang-
orang sukses dengan orang-orang yang kurang beruntung,
maka ini terjadi karena pilihan hidup dan juga kebiasaan-
kebiasaan yang berulang kali mereka lakukan. Perbedaan
kebiasaan yang kita lakukan akan terjadi setiap detik,
menit, hari, dll dan sepanjang waktu hingga ini semua
membentuk wajah kita.
Ya tubuh kita ini adalah kendaraan dan ego atau
pikiran kita adalah auto driver atau auto pilotnya. Ke
mana arahnya. Ya, kita yang menentukan. Setiap
kebiasaan akan tersimpan dalam memori kita—dalam otak
kita. Jadi otak kita selalu terlibat dalam setiap keputusan
yang kita lakukan sepanjang hari. Tentu saja kebiasaan itu
yang berbentuk baik atau buruk.
Tom Corley (2016) menghabiskan waktu selama
bertahun-tahun untuk mempelajari tentang kebiasaan
orang-orang yang hidup di negara kaya dan juga di negara
miskin. Ia melakukan riset—mengajukan pertanyaan pada
203

responden yang hidup di kedua jenis negara ini. Ia


kemudian menganalisa. Akhirnya ia memperoleh
kesimpulan tentang kebiasaan orang-orang dari kedua
kelompok negara tersebut. Ia kemudian menulis petunjuk-
petunjuk yang berguna dalam menuntun seseorang yang
ingin menjadi orang yang sukses.
Ada beberapa kebiasaan positif yang dilakukan oleh
orang-orang kaya/sukses. Saya memilih beberapa prinsip
hidup positif mereka. Poin-poin ini kalau kita miliki insya
Allah akan mampu membentuk pribadi kita menjadi
Magnetic Personality, di antaranya sebagai poin-poin
berikut:
 Hidup sedang-sedang saja.
 Mengontrol emosi.
 Membangun hubungan yang berkualitas
 Selalu senang beraktivitas.
 Memiliki tujuan hidup
 Tidak suka menyerah.
 Membentengi diri dari pikiran-pikiran negatif.
 Mengurangi kebiasaan yang jelek
 Mengenal target-target utama.

1. Hidup sesuai dengan kemampuan


Live within your means atau hiduplah sesuai dengan
jangkauan/kemampuan. Fenomena tiap kali lebaran,
banyak orang pada pulang—mudik lebaran. Semenjak
204

infrastruktur—jalur transportasi darat—semakin membaik,


banyak yang memutuskan pulang kampung membawa
mobil, khusus untuk perhubungan Sumatra dan Jawa.
Kita akan melihat banyak orang berpenampilan
serba mewah. Mengendarai mobil bagus, pakaian mahal
dan aksesoris berlapis intan berlian. Kalau sebatas jumpa
di jalanan, kita tentu tidak tahu siapa dan bagaimana
mereka, apakah mereka telah hidup sesuai dengan
standard atau posisi pribadi mereka.
Usut punya usut, ternyata ada yang pulang
kampung mengendarai mobil rental. Mereka bergaya
dengan perhiasan yang membalut jari-jari, lengan dan
leher dengan logam imitasi yang menyerupai emas 24
karat. Berbelanja dengan gaya hidup yang tidak sesuai
dengan income, akhirnya dililit oleh hutang. Problem hidup
timbul karena mereka hidup ‚do not live within your means–
hidup/berpenampilan tidak sesuai dengan jangkauan
ekonomi atau keberadaannya.
‚Mereka hidup dengan norak dan berlebihan.
Namun orang sukses yang sejati selalu mengaplikasikan
living within their means.‛
Orang-orang sukses sejati—tentu punya kualitas
pribadi yang unggul—sering menghindari hidup yang
norak dan berlebihan. Mereka punya kebiasaan positif,
punya prinsip hidup. Misal untuk finansial, mampu
205

menghemat income sampai 20% per bulan, buat persiapan


masa depannya.
Kalau mereka punya income 100%, maka mereka
lebih teliti untuk menganggarkan memenuhi kehidupan,
seperti: 25% akan digunakan buat keperluan biaya
perawatan rumah, 15% untuk keperluan makan.
Membatasi anggaran buat tujuan hiburan. Ada orang yang
menghabiskan anggaran (income) hanya untuk menonton,
main golf, dan berlibur.
Untuk perawatan kendaraan juga 5%. Mereka tidak
suka berfoya-foya, malah mereka menggunakan
kendaraan hingga betul-betul usang. Mereka memilih
menghemat uang untuk tujuan jangka panjang. Mereka
juga menghindari kebiasaan berhutang, apalagi sampai
mengakumulasi (menumpuk) hutang yang banyak.
Mereka tetap melakukan banyak aktivitas untuk
mendapatkan tambahan income, yang mana sangat
berguna buat ditabung untuk persiapan di hari tua (di
masa depan).

2. Mengontrol emosi
Ada seorang pemimpin pada sebuah instansi.
Kinerjanya cukup bagus karena ia punya visi dan juga
mengerti cara mewujudkan misinya. Namun sayang ia
adalah seorang pemimpin yang sangat emosional. Kalau
marah dia tidak hanya ‚angry–marah‛ tetapi malah
206

cenderung emosi besar dalam level ‚fury atau naik pitam‛.


Dalam keadaan marah besar, wajah, telinga dan matanya
menjadi merah dan orang-orang di sekitar satu persatu
jadi menghindar. Jadinya banyak orang terdekatnya dan
juga anak buahnya jadi kehilangan simpati padanya.
Akhirnya, ia ibarat pohon kayu yang tinggi yang jadi
kering, lapuk, dan tumbang. Benar saja, ia tidak lama
bertahan di instansi tersebut akhirnya ia keluar, tersingkir,
semua orang terlihat senang dan ia menjadi pemimpin
yang selalu dilupakan.
Jadi tidak setiap buah pikiran harus segera
diungkapkan ke mulut kita, juga tidak setiap emosi harus
kita ekspresikan. Sebab bila kita asal ngomong saja. Kita
ngomong hanya berdasarkan buah pikiran yang dangkal
maka setelah itu kita akan beresiko untuk melukai
perasaan orang. Dalam hidup, ada orang punya mulut
longgar. Ngomong seenak hatinya saja. Namun,
sebaliknya, bahwa 94% dari orang-orang sukses lebih suka
memfilter emosi mereka terlebih dahulu. Karena orang
yang enggak bisa mengontrol emosi, mereka akan berisiko
dalam merusak hubungan di tempat kerja dan juga dalam
keluarganya.
Maka kalau ada hal-hal yang terlihat kurang beres,
maka berharap kita jangan buru-buru untuk ngomong.
Idealnya tenangkan dulu pikiran dan setelah itu temukan
waktu yang tepat buat mengungkapkan pikiran dengan
207

lebih objektif. Dari pada kita buru-buru mengumbar


emosi. Dengan cara tenang kita akan mampu membangun
rasa percaya diri kita.

3. Membangun hubungan yang berkualitas


Membangun hubungan kerja yang berharga sangat
berguna buat pelanggan atau klien. Lebih lanjut kita juga
perlu buat mengembangkan hubungan yang lebih pribadi
dengan orang-orang yang akan mendukung ide dan
program yang kita punya.

4. Selalu senang beraktivitas


Orang-orang yang kurang sukses itu karena mereka
terbiasa menolak tanggung jawab. Menolak tanggung
jawab itu adalah sindromnya mereka. ‚Wah yang ini
bukan tanggung jawab saya dan yang itu bukan urusan
saya!!!‛
Akhirnya sebagai konsekuensi atas sindrom ini,
atasan mereka enggan memberi orang-orang pemalas ini
tanggang jawab dan kepercayaan. Kadang-kadang ada
kegiatan (tanggung jawab) maka akan ada upah atau uang
lemburnya. Jadi orang yang suka menolak tanggung jawab
rezekinya bisa berkurang. Sementara orang sukses karena
sering ikhlas dan senang dengan tanggung jawab, maka
rezekinya bertambah dan bertambah selalu.
208

5. Memiliki tujuan hidup


Buatlah target dan tujuan hidup. Namun jangan
banyak berharap, jadi kita harus ‚set goal and have no
wishes‛. Sesungguhnya yang suka banyak berharap itu
hanyalah anak kecil pada orang tuanya. Orang tua yang
bijaksana tidak akan memenuhi semua harapan sang anak.
Kecuali harapan yang sangat relevan dan berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya.
Orang-orang yang hanya pandai berharap—ibarat
pandai bermimpi di siang bolong. Apalagi kalau malas
berusaha maka dia akan sangat mudah dilanda oleh rasa
frustrasi dan kekecewaan. Untuk positifnya, buatlah target
dan berusaha untuk mencapainya. Karena 70% dari orang
sukses adalah mereka yang gemar berbuat. Paling kurang
mereka memiliki satu tujuan atau target dalam satu waktu.
Kemudian mereka melangkah buat mewujudkannya.

6. Tidak suka menyerah–don’t give up


Jangan pernah kenal dengan kata merah. Don’t give
up! Orang-orang yang sukses adalah mereka yang tidak
mengenal kata menyerah. Mereka tetap memiliki prinsip
hidup yaitu ‚selalu fokus, sabar dan selalu tabah‛. Andai
kata ada kendala maka mereka tidak akan langsung
menyerah—berhenti untuk mencapai tujuan. Pada dinding
memori mereka telah terpajang ungkapan ‚don’t give up‛.
209

7. Membentengi diri dari pikiran-pikiran negatif


Sering terjadi orang lebih suka melihat kekurangan
diri sendiri. Atau seperti ungkapan bahwa ‚rumput
tetangga lebih hijau dari rumput kita miliki‛.
‚Wah saya ingin jadi hebat, jadi pintar, jadi sukses,
namun saya tidak punya waktu dan tidak punya
kesempatan‛.
Ungkapan seperti di atas sangat tidak bagus. Maka
dinasihati agar ‚set aside the self limiting belief holding you
back–bentengilah diri dari berbagai pikiran negatif‛.
Buanglah jauh-jauh pemikiran bahwa diri kita tidak
berdaya, diri kita tidak mampu, dan diri kita punya
keterbatasan untuk menjadi orang yang terbaik.
Di dunia Barat orang-orang yang suka pesimis dan
juga kurang percaya diri akan berkata: ‚Poor people can’t
become rich, rich people have good luck and poor people have bad
luck. I am not smart, I can not do anything right. I fail at
everything I try‛. Ya marilah kita berhenti untuk berkata
dan berpikir seperti kalimat di atas, karena 4 dari 5 orang
sukses menghubungkan kesuksesan dan mewujudkan
kesuksesan tersebut karena bentuk keyakinan positif yang
mereka miliki.
‚Saya juga bisa berbuat sebagaimana orang lain
berbuat. Saya juga bisa maju sebagaimana orang lain bisa
maju‛. Maka kita perlu mengganti keyakinan atas konsep
210

diri yang negatif menjadi konsep yang positif atas


kemampuan diri sendiri.

8. Mengurangi kebiasaan yang jelek


Eliminate ‚bad luck‛ from our vocabulary, kepintaran
seseorang juga bisa diukur dari jumlah kosakata yang
mereka miliki. Dalam mempelajari bahasa asing, seseorang
mesti punya target penguasaan kosakata. Apa berada pada
tingkat beginner, intermediate atau advance. Untuk ukuran,
apakah level kosakatanya 3000, 5000, 10000 atau malah
lebih. Namun dalam kehidupan ini cobalah miliki kosakata
sebanyak mungkin, tetapi eliminir (hapus) kosakata ‚bad
luck atau saya lagi tidak beruntung‛ dari galeri memori
kita.
Rasa tidak beruntung atau perasaan sial terbentuk
dari kebiasaan yang kita lakukan secara berulang-ulang.
Kebiasaan buruk yang berkumpul dalam memori akhirnya
akan menjadi badai atas pikiran kita sendiri hingga
berdampak pada gangguan kesehatan kita, seperti darah
tinggi, stroke, stress dan depresi. Juga bisa mengganggu
pada keluarga pekerjaan, perkawinan hingga juga bisa
menghancurkan prestasi atau bisnis yang telah kita
bangun.
211

9. Mengenal target-target utama


Terakhir, bahwa kita perlu mengenal tujuan hidup
yang utama. Juga kebiasaan orang sukses dalam hidup,
mereka memiliki tujuan utama. Ini merupakan kebiasaan
yang sangat penting. Orang yang lagi bergiat untuk
menggapai mimpinya berarti mereka lagi melangkah
menuju tujuan dan target utama kehidupannya.
Jadi itulah beberapa kebiasaan positif yang dimiliki
oleh para orang sukses, dan mereka lakukan secara
berulang-ulang hingga mereka bisa memiliki magnetic
personality. Peribahasa mengatakan bahwa ‚alam
terbentang jadikan guru‛. Maka beberapa poin
pengalaman yang telah saya paparkan di atas sangat layak
buat kita adopsi dalam melangkah agar kita bisa menjadi
orang dengan pribadi magnetik.
212

15

Mengikuti Program Pertukaran


Pelajar Ke Luar Negeri

Mengikuti program pertukaran pelajar ke manca


negara adalah program yang banyak diminati oleh pelajar
dari seluruh pelosok Indonesia. Beberapa bentuk program
tersebut seperti: AFS (American Field Service), Yes (Youth
Exchange Studies), dan Jenesys (program ke Jepang)
masing-masing untuk satu tahun, namun juga ada
program Jenesys untuk dua minggu.
Program ini terbatas untuk beberapa orang saja.
Program ini tentu saja cukup bergengsi sehingga peminat
yang ingin mengikutinya harus punya persiapan yang
matang agar bisa menang dalam seleksi. Tulisan ini
merupakan Sepenggal Pengalaman Mengikuti Program
Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri—terinspirasi oleh
213

pengalaman Miftahul Khairi (17 tahun), seorang pelajar


dari salah satu SMA di kota Bukittinggi.
Miftahul Khairi beruntung bisa mengikuti program
pertukaran pelajar YES (Youth Exchange Studies) di
Amerika Serikat yang juga disebut dengan negara ‚Uncle
Sam‛ atau ‚Paman Sam‛. Tentu saja Miftahul (yang
biasanya juga dipanggil ‚Ari‛) terlebih dahulu melakukan
persiapan yang cukup matang sehingga bisa mengikuti
Program Yes ini dan tinggal serta belajar di Amerika
Serikat dengan orang tua angkat selama satu tahun.
Seperti remaja pada umumnya, Ari terlihat sebagai
remaja yang rajin tetapi kadang-kadang juga suka hang
out-nya. Di rumah, dia terbiasa membantu orang tuanya—
mengisi bak air, mencuci motor, merapikan rumah,
membantu pekerjaan ayah, dll. Dia suka belajar—telah
mandiri dalam belajar. Ari punya banyak teman dan juga
suka berolahraga. Dia juga suka main game online namun
tidak sampai ketagihan.
‚Apa alasan mengapa kamu tertarik mengikuti
program pertukaran pelajar ke Amerika, Ari?‛
Ari menjawab bahwa bisa memenangkan persaingan
program pertukaran pelajar ke Amerika merupakan
sebuah kesempatan yang langka dan sangat berharga.
Karena kita akan bisa memperoleh soft skill kaliber
internasional dan keberanian internasional dan kita pun
juga akan bisa menjadi seseorang yang bermental
214

internasional. Kita akan bisa bergaul dan bertukar cerita


dengan banyak orang selama di sana.
Suatu hari kakak temannya Ari yang baru saja
kembali mengikuti program pertukaran pelajar di luar
negeri berbagi cerita dengan Ari sehingga rasa ingin tahu
dan motivasi Ari juga muncul. Faktor lain yang
mendorong Ari ingin mengikuti program ini adalah
karena ingin melihat dan merasakan tentang bagaimana
budaya orang lain dan juga ingin merasakan pengalaman
baru tinggal di Amerika.
Ia memperoleh informasi bahwa peserta yang
kemungkinan akan lulus dalam program American Field
Service ini mereka yang selain mampu berkomunikasi
dalam bahasa Inggris juga memiliki pengalaman leadership
dan aktif dalam organisasi. Ia sendiri juga aktif dalam
organisasi di sekolah dan organisasi di sekitar rumah—
kegiatan bertetangga. Ia harus memiliki banyak wawasan,
setiap hari mengikuti berita-berita dan mencatat semua
issue berita pada buku catatan khusus.
Kadang-kadang Ari juga pergi ke internet untuk
melakukan browsing tentang berita terkini dari seluruh
pelosok Indonesia dan dari seantero dunia—misal tentang
global warming, migrasi, perang saudara, kekurangan
bahan pangan dunia, tentang proliferasi nuklir, tentang
cloning, tentang kematian Michael Jackson, tentang
perkawinan kaum homo seks, dan lain-lain.
215

Ari melompat hampir setinggi langit, riang gembira


karena dinyatakan lulus dalam mengikuti seleksi
pertukaran pelajar tersebut. Ia mengatakan bahwa:
‚Preparation is mother of successfulness.‛
Tentu saja persiapan Ari yang lain, selain kemahiran
dalam bahasa Inggris, adalah juga dalam hal berdebat,
menguasai kesenian dan life skill lain—ia belajar memasak
gulai dan rendang Padang.
Ari juga belajar tari Minang, silat Minang, masakan
Minang, dan juga membaca buku-buku tentang budaya
Indonesia secara keseluruhan karena Ari kelak adalah
menjadi duta bangsa di luar negeri. Kebiasaan berdebat
sangat penting dalam membentuk mental yang kuat dan
berani, sebab program pertukaran pelajar tidak perlu
menjadi anak manis yang serba penurut, patuh tetapi
susah dalam berkomunikasi.
Ari berbagi cerita bahwa saat itu ada sekitar 600-an
peminat program pertukaran pelajar dari seluruh
Sumatera Barat dan juga mungkin dari Riau. Yang ia ambil
adalah program YES (Youth Exchange Studies) dan yang
diambil dari seluruh pelamar hanya 5 orang. Ari termasuk
satu dari lima orang yang beruntung. Seleksi program ini
meliputi test tertulis, wawancara dalam bahasa Inggris,
wawancara non bahasa Inggris tentang pengetahuan
umum, wawasan lain, kepribadian, penilaian individu
tentang kerja kelompok atau team work.
216

Tips dan trick agar menang dalam seleksi program


pertukaran pelajar tersebut adalah ‚be your self–jadilah
dirimu sendiri!!!‛. Penilaian dengan skor rendah selama
aktivitas team work adalah kalau seseorang
memperlihatkan sikap hiperaktif, suka memonopoli, egois
dan adanya kesan arrogant atau angkuh. Selanjutnya
karakter yang tinggi skor penilaiannya adalah untuk
karakter cooperative, leadership, dan kreatif.
Tipe ‚be yourself‛ yang disenangi oleh program
pertukaran pelajar. Setiap orang harus menjadi dirinya
sendiri untuk semua karakter—ada yang agak pendiam,
suka usil, humoris, dll. Yang dinilai tidak hanya cerdas,
ramah, cooperative, leadership dan kreatif, tetapi juga harus
bersifat ‚out going, easy going dan humoris‛.
‚Apa yang kamu rasakan begitu kamu dinyatakan
lulus dalam seleksi?‛
Kelima peserta yang lulus kemungkinan ‚feeling
between belive or not believe‛ kalau mereka lulus, kemudian
merasa excited dan mulai membuat seribu impian dan
sejuta andai, ‚Kalau... Kalau… kalau…, saya akan…‛
Mereka juga ingin tahu tentang seperti apa sih USA itu.
Pokoknya ada harapan yang begitu tinggi dengan sejuta
mimpi. Namun kemudian bercampur dengan emosi
kesedihan. Sedih karena harus berpisah dengan keluarga,
217

sedih berpisah dengan teman dan sedih kehilangan


waktu—tertunda belajar di sekolah selama satu tahun.
‚Apa persiapan kamu menuju negara Amerika
Serikat?‛
Selain faktor bahasa dan pengetahuan budaya juga
harus menyiapkan logistik. Menyiapkan pakaian yang
digunakan seperlunya, buku-buku yang diperlukan,
paspor, visa dan souvenir. Sekali lagi karena pertukaran
pelajar adalah juga berarti pertukaran budaya, maka
peserta juga harus punya persiapan yaitu pengetahuan
tentang budaya. Jadinya Ari belajar tari, belajar seruling,
belajar gitar dan lagu daerah.
Sebelum keberangkatan ke negara tujuan maka
semua peserta yang lolos seleksi dari seluruh Indonesia
berkumpul di Jakarta, tentu saja diantarkan oleh orang tua.
Mereka diberi program orientasi hingga pembekalan
untuk mengenal negeri orang dan mengenal negeri sendiri.
Mereka memperoleh materi pelajaran CCU atau ‚Cross
Culture Understanding–pemahaman lintas budaya‛. Dan
setelah itu acara Talent Show–penampilan bakat—yang
disuguhkan buat orang tua peserta yang baru saja
mengantarkan anak-anak mereka untuk program
pertukaran pelajar.
‚Bagaimana perasaan kamu saat terbang melintasi
samudra pasifik?‛
218

Peserta program AFS dan Yes tidak terbang melintasi


samudra Pasifik. Itulah kondisi pesawat GIA: Garuda
Indonesia Airways—saat Ari terbang (beberapa tahun lalu)
belum memperoleh izin untuk mendarat di bandara Eropa,
karena dianggap kurang memenuhi standard keselamatan
dan mungkin karena pesawat sudah agak tua (maaf), maka
peserta terbang dengan MAS (Malaysia Airline System)
dari Jakarta ke Kuala Lumpur selama dua jam. Dari Kuala
Lumpur terbang lama selama 12 jam dengan pesawat
menuju Frankfurt. Hari terasa selalu siang selama 12 jam
karena pesawat terbang menyongsong matahari. Agar bisa
tidur maka pilot menyarankan agar menutup semua
jendela pesawat dan sebagian penumpang bisa tidur.
‚Oh ya kalau sekarang mungkin sudah ada izin
mendarat pesawat Garuda ke Eropa, karena GIA sudah
melakukan perbaikan manajemen‛.
Peserta pertukaran pemuda transit di Frankfurt.
Bandaranya sangat rapi, bersih dan udaranya beraroma
harum sehingga setiap pengunjung merasa dimanja.
Kemudian peserta terbang dengan pesawat United Airline
menuju Washington, DC selama 7 jam melintasi samudra
Atlantik. Peserta menjadi too excited karena sudah begitu
dekat dengan negara Paman Sam, tetapi bercampur degan
emosi kesedihan ‚ada yang menangis‛ karena sudah
terasa begitu jauh dari tanah air dan dari mama dan papa
tercinta.
219

‚Apa kesan kamu melihat orang-orang dalam


pesawat terbang moderen?‛
Bule-bule dalam pesawat umumnya tampak sibuk
dengan diri sendiri, sibuk dengan laptop, sibuk dengan
phone cell, sibuk membaca, atau tidur. Sementara orang-
orang kita—peserta yang dinyatakan menang dan lulus
seleksi pertukaran pelajar—terlihat sibuk dengan orang
lain. Mengurus orang lain, sibuk ngobrol, sibuk
tersenyum. Di sinilah beda kepribadian individualitas dan
masyarakat sosial. Dalam masyarakat barat atau budaya
individu terkesan bahwa ‚no personal space‛.
Akhirnya pesawat United Airline mendarat di
bandara Washington DC. Sebelum menyebar maka peserta
YES diberi orientasi tentang way of life di USA. Program
Yes adalah program scholarship penuh dari Departemen
Luar Negeri Amerika Serikat yang disediakan buat pelajar
atau pemuda dari negara muslim. Makanya kegiatan
orientasi di Washington juga ada pelajar dari Malaysia,
Arab, Mesir, Turki, dan negara-negara muslim lainnya.
Program Yes didirikan setelah adanya tragedi peledakan
gedung WTC (World Trade Centre) oleh teroris, dan
rakyat USA saat ini memendam rasa marah pada
masyarakat muslim dunia. Maka untuk mengenal agama
Islam dan masyarakat muslim, USA mengundang para
pelajar muslim melalui program Yes tersebut.
220

Semua peserta Yes disebar ke 50 negara bagian


Amerika Serikat dan tidak ada pelajar yang sebangsa
tinggal bersama dalam satu tempat. Ari ditempatkan di
kota Minneapolis, negara bagian Minnesota. Minneapolis
adalah juga termasuk kota pelajar, ibarat Yogyakarta. Kota
ini termasuk kota menengah dan di sana ada Universitas
St. Cloud dan di kota ini Ari tinggal dengan Host Family.
‚Apa yang kamu lakukan Ari, pertama kali tinggal
dengan host familly?‛
Semua peserta pasti melakukan adaptasi. Adaptasi
dengan bahasa, budaya, makanan, pendidikan dan
bagaimana supaya bisa ‚fit with new famiy and new culture‛.
Walaupun peserta sudah yakin memiliki bahasa Inggris
yang baik namun kadang kala masih kurang mengerti
dengan bahasa Inggris penduduk setempat, karena mereka
berbicara cepat dan accent berbeda.
Untuk memahami komunikasi maka peserta
mengandalkan (memahami) eye contact dan body laguage.
Tentang makanan, masakan Indonesia lebih
mengutamakan taste and flavour, sementara masakan
Amerika lebih mengutamakan nilai gizi, walau sering
kurang pas menurut lidah orang Indonesia.
‚bagaimana pengalaman kamu tentang sekolah di
sana?‛
Sistem sekolah di sana juga berbeda dengan
Indonesia. Di sana pelajar choose own class dan untuk
221

tingkat SMA mereka tidak memakai seragam, tetapi free


clothes. Dalam kelas terdapat banyak tempelan-tempelan
yang memberi info kepada siswa/pelajar. Kertas yang
ditempel selalu di-update, tidak dibiarkan terpajang selama
berbulan-bulan, apalagi tempelan selama bertahun-tahun.
Pendidikan di sekolah kita ‚guru-guru terlalu
banyak ngomong‛, namun di USA gaya pembelajaran
bersifat memberi ‚explanation, practicing, dan pemahaman
concept‛. Maka pembelajaran di Amerika bercirikan
banyak simulasi, game dan pemberian reward pada siswa
seperti permen dan cokelat—walau materi berharga kecil
namun bernilai besar. Di Indonesia materi pembelajaran
terlalu padat dan siswa disuguhi dan harus menghafal
banyak materi. Namun tugas-tugas sekolah di sana juga
banyak.

Ari secara langsung melihat dan merasakan


perbedaan pembelajaran di sana dengan di kampungnya
sendiri (di Sumatera Barat). Di kelas Amerika, guru-guru
memajang nilai yang diperoleh siswa dan selalu meng-
update-nya, tiap kali ada penilaian. Suasana pembelajaran
kadang-kadang juga lewat menonton dan membahasnya,
misalnya dalam kelas politik (atau KWN–
kewarganegaraan). Dalam pembelajaran ini ada kalanya
juga dengan bermain peran, ada yang berperan sebagai
222

presiden, anggota parlemen, sebagai pengacara, sebagai


narapidana, dll.
Pelajaran seni di Indonesia lebih sudah berciri
‚praktik‛. Di Amerika malah lebih banyak praktik, misal
ada kelas memahat, kelas menjahit, kelas membuat
keramik, dll.
Ada kesan dari kebiasaan pelajar di Indonesia, kalau
pulang sekolah mereka buru-buru pergi les, les
matematika, les bahasa Inggris, kimia, fisika dan les
komputer. Namun para pelajar Amerika tidak demikian,
pulang sekolah cenderung pergi berolah raga—mengikuti
tim basket, tim bola kaki, atletik. Makanya tubuh pelajar di
sana terbentuk lebih sehat dan kuat. Penduduk di sana
sangat mencintai kegiatan olah raga. Oleh karena itu
mereka terkesan berani dan agresif (maksudnya sangat
aktif) dalam bekerja dan bersosial. Inilah dampak positif
dari kebiasaan berolah raga bagi masyarakat Amerika.
Kemudian masih dalam hal olah raga, bahwa di sana
selalu ada kompetisi antara sekolah. Tingginya semangat
berolah raga dalam sekolah dan dalam masyarakat
membuat self believe, life skill, team work, hard work, dan self
determination mereka sangat tinggi dan sudah menjadi
karakter mereka. Di USA, orang tidak melihat status atau
‚kamu anak siapa (?)‛
Bahwa semua orang sama-sama punya kesempatan
untuk maju. Seorang guru tidak membandingkan latar
223

belakang siswanya apakah dari orang tua miskin, kaya,


kulit putih, kulit berwarna, katolik atau non katolik dalam
penilaian dan dalam pelayanan (tentu ini juga bergantung
pada karakter seseorang).
Umumnya siswa di sana memiliki ‚self determination‛
menentukan sikap untuk masa depan mereka, makanya
pelajar di sana sudah membayangkan apa yang akan
mereka kerjakan kelak bila sudah dewasa. Kalau mereka
tidak memiliki self determination–menentukan arah diri
sendiri, maka itu berarti mereka ‚gagal dalam hidup‛.
‚Di negeri kita anak yang dipandang baik adalah
sweet kid (anak manis) yaitu patuh, menjadi pendengar
yang baik, penurut dan rajin‛. Di negara Amerika Serikat,
jarang sekali orang dengan karakter ‚sweet kid‛ anak yang
patuh dan penurut. Semua orang berkarakter ‚assertive—
yaitu: say what you feel‛ dan tidak ada istilah bahasa yang
berbelit-belit atau berbasa basi. Tentang hal ini antara
Indonesia dan Amerika tentu berlaku istilah ‚different fish
different pond–lain lubuk lain ikannya‛. Jadi pola
berkomunikasi di Amerika adalah berkarakter clear, direct
communication dan tidak berbelit-belit‛.
‚Bagaimana tentang appellation atau panggilan?‛
Ari cukup memanggil nama saja untuk host family
(orang tua angkat) dan pada gurunya. Bagi mereka ini
menandakan closeness–kedekatan. Sementara di Sumatera
Barat ‚Panggilan‛ disesuaikan dengan empat tingkat kata:
224

kata mendaki, kata menurun, kata mendatar, dan kata


melereng. Ada yang panggil adik, uni, uda, ibu, etek,
sumando, menantu, dan lain-lain‛.
Keluarga Amerika menerapkan berbagi kerja dalam
mengurus tugas rumah. Walaupun di sana sudah serba
mesin. Dan hukuman buat pelanggaran yang dilakukan
oleh seorang anak yang diterapkan oleh host family atau
orang-orang lain adalah ‚grounded punishment‛. Misalnya
seorang anak melanggar peraturan rumah maka selama
seminggu cellphone-nya, laptopnya, MP3-nya disita,
fasilitas buat dia dicabut, dan tidak boleh keluar rumah
sehingga mendatangkan efek rasa bosan dan akhirnya
menjadi jera.
Sementara hukum spangking ‚melampang (dalam
bahasa Minang)‛ atau menampar pantat anak tidak ada
lagi. Apalagi hukuman fisik sampai menempeleng kepala,
mencambuk kaki anak, menjewer telinga dan hukuman
fisik lain. Sudah lama ditinggalkan karena bisa dipandang
bertentangan dengan hak asasi manusia. Pelaksanaan
hukum tergantung pada karakter pribadi, karena juga ada
orang tua yang menganiaya dan sampai menelantarkan
anak mereka.

,
‚Bagaimana teman-temanmu di Sekolah Amerika
dalam memandang negerimu Indonesia?‛
225

Ternyata banyak pelajar di sana yang buta dengan


informasi budaya dan informasi geografi tentang negara
lain, termasuk tentang Indonesia. Mereka masih
memandang Indonesia sebagai negara yang jauh tertinggal
atau primitive, sehingga muncul pertanyaan yang lucu-
lucu.
‚Apa kamu pernah makan daging orang utan? Apa
kamu tinggal dalam goa atau di atas pohon kayu besar?‛
Orang di negara Paman Sam yang sudah tahu
tentang geografi internasional, memandang Indonesia
sebagai negara yang indah apalagi orang di sana menyukai
daerah tropis, menyukai warna kulit yang terbakar
matahari sebagai ‚sun tanned skin‛ sebagai lambang kulit
yang sehat, makanya orang di sana gemar berjemur saat
musim panas. Orang di sana juga menyukai budaya
Indonesia seperti tari dan kreasi seni, karena di sana tidak
ada tari atau seni seperti yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Mereka juga memandang orang Indonesia
sebagai bangsa yang hospitality–ramah tamah.
Host family memandang Ari sebagai remaja yang
riang, lucu, dan smart. Di sekolah Ari sangat jago dengan
pelajaran matematika dan umumnya anak-anak Asia jago
di sekolah. Ternyata pelajaran Indonesia lebih tinggi—Ari
sering kali tampil ke depan dalam mata pelajaran
matematika, namun kita hanya kaya dengan hafalan dan
mereka kaya dengan praktik. Jadinya di Indonesia, banyak
226

yang memperoleh juara olimpiade, kalau mereka hanya


sebatas juara karena hafal konsep dan teori namun tidak
punya soft skill, pengalaman dan keberanian maka
akhirnya mereka selalu stagnant atau jalan di tempat.
Di mata mereka bahwa Ari adalah anak yang suka
membantu, suka memotret-motret, hospitality dan smart.
Walau bahasa Inggris Ari terasa sudah bagus tetapi di
telinga mereka bahasa Inggrisnya terkesan lucu dan enak
untuk didengar, ibarat kita mendengar mereka berbahasa
Indonesia dengan aksen yang cadel.
Suasana kehidupan sosial di daerah perkotaan terasa
sangat individu, mungkin sama juga dengan kondisi di
kota besar Indonesia. Namun di country side—di pedesaan
agak sama dengan di desa Indonesia—juga ada suasana
bersosial yang tinggi.
‚Bagaimana dengan pola bersahabat atau berteman
di sana?‛
Beda tentang berteman, kalau di Indonesia seorang
remaja mengenal ‚a lot of close friend‛, namun di sana
remaja mengenal ‚few close friends‛. Di mata mereka bahwa
keramahtamahan itu hanya sebatas memperlihatkan
kebaikan saja. Di sana remaja aktif mencari teman yang
memiliki minat yang sama, misal dalam bidang olah raga
dan musik..
‚Bagaimana tentang hubungan orang tua dan anak
di Amrik?‛
227

Hubungan orang tua dan anak di sana, ya sama


dengan kondisi keluarga demokrasi di Indonesia. Mereka
memberi anak ‚freedom to choose‛ tetapi tetap selalu ada
nasihat-nasihat. Anak-anak di sana diajar untuk mandiri
dan banyak remaja melakukan kerja ‚part time‛–kerja
paruh waktu di swalayan, street construction, di restorant
fast food.
‚Tentang UMR?‛
UMR (Upah Minimum Regional) di negara kita
hitungannya adalah per bulan, sementara di sana per jam.
UMR-nya adalah 7,25 Dolar Amerika atau setara dengan
Rp. 82.000. Namun mereka dibatasi kerja per minggu oleh
undang-undang. Untuk memperoleh kerja part time,
mereka harus menulis resume atau lamaran. Hasil
pendapatan part time mereka tabung untuk kepentingan
berlibur, jalan-jalan ke luar negeri, untuk beli mobil, untuk
membantu uang kuliah dan membeli barang yang mereka
butuhkan. Part time diberikan untuk remaja minimal usia
16 tahun.
‚Setelah kamu berada di Amerika, bagaimana kamu
melihat Indonesia dari arah luar seperti dari Amerika
Serikat?‛.
Ari merasa bangga sebagai bangsa Indonesia karena
alamnya cantik apalagi Ari juga dipandang oleh orang
sana termasuk remaja yang creative, dan kulitnya dianggap
bagus. Apalagi ada perasaan emosional, bangga atas nilai
228

kebersamaan yang ada di Indonesia, kemudian Indonesia


juga sangat kaya dengan ragam budaya dan seni.
Orang Amerika kagum dengan anak-anak Indonesia
karena kecil-kecil sudah mahir berbahasa Inggris, mereka
saja hanya bisa berbahasa Inggris (bahasa Ibu) dan
mempelajari bahasa asing seperti bahasa Prancis, bahasa
Spanyol dan bahasa Jerman hanya saat duduk di bangku
SMA saja. Tentang jurusan favorit di universitas ya sama
fenomenanya dengan di Indonesia, mereka menyukai
jurusan ekonomi, jurusan kedokteran, bisnis, hukum dan
teknik atau engineering.
Mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri,
walau kehilangan waktu belajar selama satu tahun, namun
di sana Ari juga belajar di SMA Amerika dan juga
memperoleh ijazah atau sertifikat tanda tamat belajar yang
nilainya sama dengan diploma satu untuk Indonesia,
dengan diploma tersebut Ari pun bisa melamar kuliah di
jurusan yang menggunakan bahasa Inggris di universitas
Indonesia. Saat sebelum mengikuti pertukaran pelajar, Ari
terlihat sebagai anak yang manis—baik dan patuh. Namun
setelah mengikuti program pertukaran pelajar selama
setahun, rasa nasionalismenya bertambah, semangat
bekerja dan belajar lebih progresif seperti anak-anak di
Amerika dan kemandirian dan self determination Ari juga
lebih meningkat.
229

16

Banyak yang Pintar,


Sedikit yang Kreatif

?
Dalam dunia sastra, bahwa cerita-cerita klasik yang
datang dari dunia Barat. Cerita-cerita klasik tersebut telah
mengglobal sejak dahulu kala. Kita mengenal cerita
Pinokio, Cinderella, The Swan, The beast and the beautiful,
dan malah dalam zaman sekarang ada cerita Harry Potter
yang juga ditulis oleh J.K. Rowling yang lahir di Barat
yaitu di Yate, Gloucestershire Utara, Inggris. Sementara
untuk bidang cyber atau internet dengan fiturnya seperti
Google, Yahoo, Gmail, Blogspot, hingga ke media sosial
(medsos) seperti BBM, Facebook, Twitter dan Instagram
juga diciptakan oleh orang Barat dan oleh orang-orang
Asia yang besar dan didik di Baratdi Eropa dan Amerika.
Dengan demikian terasa adanya suatu fenomena
bahwa ‚orang Barat lebih kreatif dari orang Asia dan
230

termasuk orang Indonesia‛. Mengapa hal ini bisa terjadi?


Ini telah dijawab oleh William K. Lim (2010) dan Ng. Aik
Kwang (2001).
William K. Lim (2010) dalam bukunya yang berjudul
"Asian Test–Score Culture Thwarts Creativity–Budaya Ujian
Cara Orang Asia, Hanya Berdasarkan Skor
Menghancurkan Kreativitas". Dia menjelaskan bahwa
meskipun sejak bertahun-tahun, orang Asia didaulat akan
menjadi pendorong dunia sains berkat sangat besarnya
investasi di bidang sains dan teknologi. Dalam
kenyataannya malah Asia masih tetap saja tertinggal di
banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika
Utara).
‚Ada apa kalau pendidikan hanya berorientasi pada
skor tes?‛
Menurutnya bahwa akar permasalahannya adalah
budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor tes,
yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir
dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah
yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang
berhasil.
Di Asia, para pelajar dan juga manajemen sekolah
berorientasi mengejar skor tes setinggi-tingginya—
misalnya bagaimana sekolah bisa memperoleh peringkat
skor UN (Ujian Nasional) yang tertinggi. Banyak yang
beranggapan bahwa pelajar yang mampu meraih skor tes
231

lebih tinggi akan lebih baik karier masa depannya karena


persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang
lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor tes.
Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula
peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa
dimasuki oleh orang-orang yang memiliki skor tinggi.
Sekolah yang para siswanya meraih skor tes tinggi akan
naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin
pendanaan lebih banyak.
Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi
agar siswa bisa memperoleh skor tes yang tinggi. Tidak
heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi
besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena
keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari
catatan skor tes yang diperoleh sekolah itu.
Akibat iklim pendidikan hanya berorientasi skor tes,
para orang tua lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu
les pelajaran tambahan di luar sekolah atau bimbel
(bimbingan belajar) sejak usia dini. Akibat waktu sekolah
yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar hanya
terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat
fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat
ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah
kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan
bernalar.
232

‚Padahal keterampilan menelaah, menginvestigasi


dan bernalar sangat dibutuhkan dalam penemuan-
penemuan ilmiah‛.
Ng Aik Kwang (2001) menulis tulisan ilmiah yang
berjudul ‚Why Asians Are Less Creative Than Westerners‛,
Dia adalah seorang dosen dari Universitas Queensland
juga seorang Australia keturunan Asia (atau China). Dia
merasakan langsung fenomena ini. Renungan dan
fenomena ini dipaparkannya ke dalam opininya esainya:
"Why Asians Are Less Creative Than Westerners–
Mengapa orang Asia kurang kreatif dari orang Barat".
Pada mulanya tulisan dosen ini dipandang cukup
kontroversial, karena bersifat sentimentil rasial. Namun
akhirnya opininya cukup objektif dan membuka mata dan
pikiran para stakeholder pendidikan di kampusnya—
Universitas Queesland, Australia.
Sebagai dosen dan Profesor yang memiliki kepekaan
intelektual, ia menemukan fenomena ini pada mahasiswa
dan keluarga besar Universitas Queensland yang bersifat
multi kultur dan multi bangsa, namun mereka semua
dikelompokkan atas ‚the Asians and the Westerners–orang
Asia dan orang Barat‛. Tentu saja ia memahami proses
kreativitas orang Eropa, Amerika (sebagai Orang Barat)
dan orang-orang Asia. Jadinya kreativitas sebagaimana
yang diobservasi oleh Ng. Aik Kwang (2001) lebih tumbuh
pada orang Barat. Ini terjadi karena titik pandang dan juga
233

akibat metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang


jarang menumbuhkan kebiasaan bereksplorasi atau
bertanya jawab.
‚Bagaimana ukuran sukses bagi orang kita?‛
Karena beda titik pandang atau budaya, misal untuk
sukses, orang kita (juga sebagian orang Asia) menganggap
yang sukses itu kalau punya banyak materi. Punya rumah
bagus, mobil mewah, uang banyak dan harta lain. Jadi
orang yang bisa menjadi dokter spesialis atau manajer
pada perusahaan minyak dipandang lebih sukses
dibanding dengan seorang ulama, jurnalis, wartawan dan
pelayan publik (PNS), yang melalui karier mereka tidak
bisa mengumpulkan banyak materi. Sehingga sekarang
orang berbuat/beraktivitas, bersekolah dan termasuk
menuntut ilmu pada perguruan tinggi dengan tujuan
materialism oriented.
Bagi orang Asia dan juga termasuk orang kita bahwa
banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai
dibandingkan orang yang memiliki sedikit materi. Guru
yang memilki mobil lebih terpandang dari pada guru yang
hanya datang berjalan kaki. Begitu juga seorang Ustad
atau seorang motivator yang datang hanya dengan sepeda
motor butut bisa jadi dibayar lebih rendah dari pada yang
datang dengan mobil sedan.
‚Padahal mereka yang hanya datang berjalan kaki
atau mengendarai sepeda motor butut bisa jadi lebih
234

berkualitas. Dengan demikian orang kita lebih peduli pada


bentuk casing atau kulit luar saja‛.
Perilaku sebagian masyarakat kita yang lebih
menghormati materi dan kekayaan bersifat benda duniawi
ini juga terpantau dari kegemaran banyak orang yang
menyukai cerita, novel, sinetron atau film yang bertema
orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung
menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh
pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku
koruptif pun ditolerir atau diterima sebagai sesuatu yang
wajar.
‚Apa pembelajaran kita terbiasa dengan budaya
menghafal?‛
Ya benar. Dalam pembelajaran, kita terbiasa dengan
budaya menghafal. Pendidikan kita identik dengan
hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pada pengertian.
Ujian Nasional, dan juga tes masuk perguruan tinggi, dll,
semuanya berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana,
mahasiswa diharuskan hafal dengan rumus-rumus Ilmu
pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan untuk
memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-
rumus tersebut.
Sebuah cara pandang yang berbeda, misalnya untuk
mata pelajaran sejarah. Banyak siswa yang menganggap
sejarah sebagai mata pelajaran yang mudah. Karena ujian
sejarah hanya sebatas menghafal dan mencari jawaban
235

antara A, B, C, D atau E. Sementara seorang siswa dari


Jerman, yang mengikuti pertukaran pelajar Indonesia dan
Jerman untuk wilayah kota Padang yang bernama Lewin
Gastrich, mengatakan pelajaran sejarah sebagai mata
pelajaran yang sangat sulit. Karena ia harus mampu
menyampaikan sebab akibat peristiwa sejarah dan
dampaknya di depan guru sejarahnya.
Ya betul bahwa metode belajar siswa kita, malah
hingga mahasiswa adalah bersifat hafalan. Karena berbasis
hafalan, murid-murid di sekolah dijejali sebanyak
mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi ‚Jack of all
trades, but master of none‛ (tahu sedikit tentang banyak hal
tetapi tidak menguasai apa pun).
Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia
termasuk pelajar Indonesia bisa jadi juara dalam
Olimpiade Fisika, dan Matematika. Tetapi jarang sekali
orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional
lainnya yang berbasis invention (penemuan), inovasi dan
kreativitas.
Penyebab lain adalah sifat eksploratif atau penjelajah
yang masih kurang. Kalau ada eksplorasi, banyak siswa
hanya sebatas senang menjelajah atau melintasi alam atau
mendaki gunung. Eksplorasi yang dimaksud adalah
pencarian buat menjawab rasa ingin tahu. Ya sifat
eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan
keberanian untuk mengambil risiko.
236

Adi Jaderock melalui Forum Orisinil (http:


//forum.orisinil.com/) menggagas dialog online tentang:
‚Mengapa bangsa Asia kalah kreatif dibandingkan dengan
bangsa Barat?‛
Respondennya menjelaskan tentang rasa ingin tahu
dan eksplorasinya bagi ilmuwan Barat telah menyebabkan
munculnya temuan-temuan baru. Misalnya rasa ingin tahu
yang muncul dari pikiran Newton, Edwin Land, Wright
bersaudara, Johan Gutenberg, Ray Tomlinson, Graham
Bell, Martin Cooper, Mark Zuckerberg, dan ilmuwan
lainnya. Jadi rasa ingin tahu adalah sebagai pemicu
kreativitas. Seperti apa proses kreatif para inovator
tersebut. Agaknya beginilah profil sekilas tentang usaha
inovasi mereka:
1. Issac Newton
Issac Newton—seorang matematikawan, fisikawan,
ahli astronomi yang juga penemu dari teori gravitasi. Ia
terlahir prematur, kurang cukup bulan, dari keluarga
petani. Ketika Isaac Newton sedang berjalan di taman, di
bawah pohon apel dan melihat jatuhnya sebuah apel yang
menginspirasinya dan bertanya dalam hatinya, ‚Mengapa
buah apel ini bisa jatuhnya ke bawah dan bukan ke atas?
Padahal Newton sendiri mengatakan bahwa ia sedang di
dalam rumah ketika ia melihat dari jendela sebuah apel
jatuh dari pohonnya, ini menginspirasinya untuk
237

menemukan teori gravitasi, kemudian muncullah Hukum


Gravitasi (Hatch Robert A, 1998).

2. Edwin Herbert Land


Edwin Land—seorang tokoh dalam sejarah fotografi
industri. Pada masa mudanya, Edwin Land sering
membaca buku mengenai Fisika Optik yang ditulis oleh
Robert W. Wood, terutama bagian mengenai polarisasi
cahaya. Setelah lulus dari Norwich Free Academy, Land
melanjutkan studinya di Universitas Harvard dengan niat
untuk meneliti tentang polarisasi cahaya. Setelah tahun
pertama belajar di Harvard, Land memutuskan untuk
berhenti sekolah dan berkonsentrasi untuk menemukan
cara menghasilkan teknologi polarisasi murah dan efisien
yang di kemudian hari disebut sebagai Polaroid. Sejak itu,
ia meneruskan belajar di Perpustakaan Umum New York.
Penemuan Polaroid diilhami dari pertanyaan
Jennifer Land, anak Edwin Land yang saat itu berusia tiga
tahun. Dia menanyakan kepada ayahnya mengapa tidak
dapat melihat hasil foto jepretan ayahnya secara langsung.
Edwin juga bertanya dalam hatinya, Mengapa hasil foto
harus menunggu berhari-hari untuk dicetak? Dia
menggunakan prinsip transfer difusi untuk menghasilkan
kembali gambar yang direkam oleh lensa kamera secara
langsung ke permukaan sensitif cahaya yang berfungsi
238

sebagai film atau foto—maka terciptalah foto langsung jadi


Polaroid (Victor Mc Elheny, 1999).

3. Wright Bersaudara
Wright bersaudara yang terdiri dari dua orang adik
beradik, Orville Wright dan Wilbur Wright. Kedua kakak
beradik itu pada awalnya mengelola sebuah toko di
Dayton, Ohio. Toko tersebut menjual dan memperbaiki
sepeda motor. Wright bersaudara tentu saja bertanya-
tanya dalam hatinya mengapa burung bisa terbang dan
manusia tidak? Jadinya kemudian mereka mulai
mempelajari masalah penerbangan pada tahun 1889.
Kemudian mereka mulai membuat tiga pesawat
terbang layang bersayap kembar. Ketiganya dites di pantai
Kitty Hawk di Carolina Utara. Pesawat yang ketiga telah
diujinya sebanyak 1000 kali penerbangan dan ternyata
berhasil dengan sukses. Kemudian mereka membuat
mesin motor ringan. Mesin tersebut di pasang di
pesawatnya yang keempat, yang dinamakannya Wright
Flyer, jadinya maka terciptalah pesawat udara (Tejvan
Pettingen, 2010).

4. Johan Gutenberg
Johann Gutenberg dianggap penemu mesin cetak
yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Tak ada
penemuan yang terlompat dari pemikiran seseorang. Segel
239

dan bulatan segel yang pengerjaannya menganut prinsip


serupa dengan cetak blok sudah dikenal di Cina berabad-
abad sebelum Gutenberg lahir.
Waktu muda ia tentu sempat bertanya dalam hatinya
mengapa kita harus menulis ulang naskah-naskah
sebanyak ini. Dia mengembangkan metal logam campuran
untuk huruf cetak; menuangkan cairan logam—maka
terciptalah Mesin Cetak. Betapa penemuan Gutenberg
amat berarti bahkan bisa disebut suatu penemuan penting
dalam kaitan penarikan pelatuk revolusi kemajuan jaman
modern (Kay Melchisedech Olson, 2006).

5. Ray Tomlinson
Raymond Samuel Tomlinson atau Ray Tomlinson
dikenal sebagai Penemu dari Email atau Elektronik Mail.
Agaknya ia sempat bertanya-tanya dalam hati mengapa
surat harus dikirim via post dan penerimanya menunggu
berhari-hari? Ray Tomlinson pernah kuliah di Politeknik,
kemudian melanjutkan studinya untuk gelar Master di
Massachusetts Institute of Technology dalam bidang
teknik elektro.
Tomlinson mengembangkan teknologi analog—
digital hybrid speech synthesizer yang dijadikan sebagai
subjek untuk tesis. Ray Tomlinson menulis sebuah
program transfer file yang disebut CPYNET untuk
mentransfer file melalui ARPANET. Ray Tomlinson
240

diminta untuk mengubah sebuah program yang disebut


SNDMSG, yang mengirim pesan ke pengguna lain dari
komputer time sharing, untuk dapat dijalankan pada
TENEX. Dia menambahkan kode yang ia ambil dari
CPYNET ke SNDMSG sehingga pesan dapat dikirim ke
pengguna pada komputer lain—maka terciptalah email
(Jesse Hicks, 2012).

6. Graham Bell
Alexander Graham Bell dikenal sebagai penemu
telepon. Dia pernah mengajar orang yang bisu dan tuli,
memopulerkan sistem yang disebut 'bahasa visual'. Sistem
yang dikembangkan oleh ayahnya, Alexander Melville
Bell, yang menunjukkan bagaimana bibir, lidah, dan
tenggorokan digunakan dalam menggambarkan suara.
Graham Bell agaknya pernah bertanya-tanya dalam hati
bagaimana ya agar orang dapat bicara meskipun terpisah
jarak?
Pada masa kanak-kanaknya, dia telah
memperlihatkan rasa ingin tahu yang sangat besar pada
dunia ini, yang menyebabkan dia sering mengumpulkan
contoh-contoh tumbuhan. Bersama teman baiknya yang
memiliki penggilingan gandum yang juga merupakan
tetangganya, dia sering membuat keributan, dan suatu hari
ayah temannya berkata, "Mengapa kalian tidak membuat
sesuatu yang lebih berguna?‛
241

Sejak usia 18 tahun, Bell telah meneliti gagasan


bagaimana mengirimkan dan mentransfer perkataan.
Tahun 1874 saat dia mengerjakan telegraf, dia
mengembangkan gagasan dasar yang baru bagi telepon—
ya maka terciptalah telepon (Harold S. Osborne, 1943).

7. Martin Cooper
Martin Cooper dialah sang penemu handphone atau
telepon genggam pertama. Dia sendiri tidak
membayangkan bahwa telepon selular bisa sekecil
sekarang ini sehingga dapat dibawa ke mana saja sesuai
dengan kebutuhan dan tuntutan di zaman nirkabel
sekarang ini. Martin juga sempat bertanya-tanya dalam
hatinya mengapa telepon harus pakai kabel?
Martin Cooper dibesarkan di Chicago adalah
imigran Ukraina. Ketika masih muda ia menyukai
rekayasa elektronika. Cooper (bersama temannya John F.
Mitchell) membayangkan sebuah produk komunikasi yang
tidak hanya terpaku di dalam mobil. Sehingga alat tersebut
haruslah kecil dan cukup ringan untuk menjadi alat
portabel—bukan alat yang bikir repot saja. Cooper
dianggap sebagai penemu pertama telepon genggam
seluler (handphone)—maka terciptalah handphone yang
pertama dan orang pertama yang melakukan panggilan
dengan prototipe ponsel genggam seluler tersebut pada 3
April 1973. Kejadian yang bersejarah tersebut disaksikan di
242

muka umum di depan wartawan dan orang-orang yang


lewat di jalan kota New York (Sean Maloney, 2008).

8. Mark Zuckerberg
Mark Zuckerberg adalah penemu Facebook.
Umurnya masih muda namun ia dikenal sebagai pemuda
terkaya di dunia berkat Facebook. Sejak kecil Zuckerberg
suka mengotak-atik komputer, mencoba berbagai program
komputer dan belajar membuatnya. Ia tentu sempat
bertanya-tanya dalam hatinya Bagaimana ya supaya kita
bisa saling berbagi pencerahan dan kebaikan bagi sesama
tanpa harus beranjak dari depan meja kerja kita?
Bagaimana cikal bakal ia menemukan Facebook?
Saat berada di Universitas Harvard inilah Zuckerberg
menemukan ide membuat buku direktori mahasiswa
online karena universitasnya tak membagikan Facebook
(buku mahasiswa yang memuat foto dan identitas
mahasiswa di universitas itu) pada mahasiswa baru
sebagai ajang pertemanan di antara mereka. Namun setiap
kali ia menawarkan diri membuat direktori itu, Harvard
menolaknya. "Mereka mengatakan punya alasan untuk
tidak mengumpulkan informasi (mahasiswa) ini‛.
Meski ditolak ia selalu mencari cara untuk
mewujudkannya. Suatu malam di tahun kedua ia kuliah di
Harvard, Zuckerberg menyabot data mahasiswa Harvard
dan memasukkannya ke dalam website yang ia buat
243

bernama Facemash. Sejumlah foto rekan mahasiswanya


terpampang di situ. Tak lupa ia membubuhkan kalimat
yang meminta pengunjungnya menentukan mana dari
foto-foto tersebut yang paling "hot".
Pancingannya mengena. Dalam tempo empat jam
sejak ia meluncurkan website itu tercatat 450 orang
mengunjungi Facemash dan sebanyak 22.000 foto mereka
buka. Pihak Harvard mengetahuinya dan sambungan
internet pun diputus. Zuckerberg diperkarakan karena
dianggap mencuri data. Anak muda berambut keriting ini
pun meminta maaf kepada rekan-rekan yang fotonya
masuk di Facemash
Ia tidak patah semangat dan ia malah membuat
website baru dengan nama Facebook
(www.thefacebook.com). Website ini ia luncurkan pada
Februari 2004. Facebook merupakan penyempurnaan dari
Facemash—maka terciptalah Facebook yang sangat
digandrungi di Indonesia dan di seluruh dunia (Lev
Grossman, 2010).

Pertanyaannya kita adalah: ‚Mengapa para penemu


fitur atau produk teknologi ini semua berasal dari Barat
dan bukan dari Padang, Medan, Jakarta, atau daerah
Indonesia lainnya?‛. Salah satu alasan terbesarnya adalah
karena selama ini banyak anak-anak Indonesia yang
244

dilatih untuk pandai menjawab soal-soal ujian yang sudah


ada jawabannya dalam buku dan bukan dilatih untuk
pandai bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang muncul dari dalam hatinya sendiri untuk
memecahkan masalah-masalah dunia lainnya.
Kemudian konsep memahami ilmu kita cenderung
sempit. Untuk tingkat SMA yang dianggap sains itu
adalah ‚kimia, biologi dan fisika‛. Maka seorang siswa
jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) hanya membatasi
diri dalam memahami dan mendalami bidang studi tadi.
Sebaliknya buat jurusan sosial adalah ‚akuntansi, ekonomi
dan sosiologi‛ dan siswa jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan
Sosial) hanya membatasi diri buat mempelajari mata
pelajaran IPS saja. Lebih meluas, bahwa, mahasiswa
kedokteran hanya mendalami kedokteran dan tidak begitu
peduli untuk bidang yang lain, demikian pula sebaliknya
untuk mahasiswa jurusan lain.
Padahal ilmuwan besar dunia tidak seperti itu.
Mereka memahami ilmu sain, ilmu sosial, ilmu agama,
filsafat dan ilmu yang mereka anggap juga bermanfaat
buat dirinya. Seperti Ibnu Sina dan Ibnu Arabi mendalami
berbagai bidang ilmu. Ibnu Sina fasih berbahasa Arab dan
Persia, ia mendalami filsafat, agama atau teologi,
matematika, astronomi, kedokteran, psikologi dan puisi.
Sehingga ia mampu menulis 99 buku. Ibnu Arabi sendiri
245

menguasai ilmu politik, teologi atau agama, filsafat dan


agama.
Untuk ilmuwan dari barat juga demikian. Frank
Loyd, seorang arsitektur Amerika Serikat memiliki ilmu
yang luas. Ia seorang arsitek, seorang penulis dan juga
seorang pendidik. Begitu pula dengan Benjamin Franklin,
ia memahami matematika, politik, diplomasi atau bahasa
dan fisika. Jadi ilmu yang luaslah yang membuat mereka
jadi kreatif pada konsep berpikir.
Saya jadi memahami semangat eksplorasi secara
langsung dari teman saya orang Prancis, mereka adalah
Louis Deharveng, Anne Bedos dan Francois Brouquisse.
Mereka datang berulang-ulang datang ke Kabupaten
Tanah Datar (Batusangkar) dan kami bareng-bareng
menjelajah goa-goa (dalam group speleologie) untuk
mencari serangga baru yang belum teridentifikasi di sana
(Louis Deharveng, 2005). Atau eksplorasi yang dilakukan
oleh Jerry Drawhorm, antroplog dari Universitas
California, untuk menemui fosil-fosil kecil sesuai dengan
tulisan yang dia baca.
Eksplorasi juga bisa mendorong kreativitas.
Eksplorasi juga bisa terbentuk dalam kelas, untuk
penemuan pemahaman konsep dan menjawab rasa ingin
tahu (curiousity) namun sayangnya PBM kita miskin
dengan suasana tanya jawab. Saat diberikan sesi tanya
jawab, cukup banyak siswa yang tidak tahu apa yang
246

ditanyakan dan juga tidak mau bertanya. Mungkin mereka


punya prinsip bahwa bertanya artinya bodoh, makanya
rasa penasaran (rasa ingin tahu) tidak mendapat tempat
dalam proses pendidikan di sekolah.
Juga karena takut salah dan takut dianggap bodoh,
di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta
jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta
mengerumuni guru atau narasumber untuk minta penjela-
san tambahan. Ng. Aik Kwang (2001) menawarkan bebera-
pa solusi untuk pengalaman pendidikan untuk membetuk
remaja yang lebih kreatif, yakni sebagai berikut:
a. Hargai proses pembelajaran. Hargailah orang karena
pengabdiannya bukan karena kekayaannya.
b. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban,
imbangi dengan ujian berbasis esai dan penalaran.
Jangan memaksa murid untuk menguasai semua
bidang studi namun biarkan mereka memahami
bidang studi yang paling disukainya.
c. Jangan menjejali murid dengan banyak hafalan,
apalagi matematika dan sains yang punya rumus.
Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban
rumus untuk ‚X: Y‛ harus dihafalkan? Biarkan
murid memilih sedikit mata pelajaran tetapi benar-
benar mereka kuasai.
d. Biarkan anak/siswa memilih profesi berdasarkan
passion (rasa cinta)-nya pada bidang itu, bukan
247

memaksanya mengambil jurusan atau profesi


tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.
e. Dasar kreativitas adalah adanya rasa penasaran atau
rasa ingin tahu (curiosity) dan berani ambil risiko.
Maka mari aktifkan anak/siswa untuk banyak
bertanya dan jangan pernah bosan untuk memberi
jawaban yang bisa melepaskan dahaga ingin tahu
mereka. Kalau tidak bisa menjawab maka cari
sumbernya bersama-sama.
f. Guru dan dosen adalah seorang fasilitator, bukan
kotak Pandora yang harus tahu segala jawabannya.
Maka kalau guru dan dosen tidak tahu ya akui
tentang ketidaktahuan tersebut.
g. Passion atau rasa cinta seorang manusia adalah
anugerah Tuhan. Maka sebagai orang tua dan
guru/dosen kita perlu punya rasa bertanggung jawab
untuk mengarahkan mereka dalam menemukan
passion-nya dan selalu memberi mereka dukungan.

Mudah-mudahan dengan cara begini dunia


pendidikan kita bisa memiliki remaja, yaitu siswa dan
mahasiswa-yang kreatif dan inovatif. Berharap kelak bila
mereka dewasa akan juga mewariskan semangat
bereksplorasi dan berinovasi, memiliki integritas dan
idealisme tinggi buat generasi berikutnya. Dengan
demikian mereka akan mampu membangkitkan
peradaban yang berkualitas buat republik ini.
248

17

Kebiasaan yang Membuat


Seseorang Jadi Hebat

Saat lahir ke dunia semua orang memiliki


kemampuan yang sama yaitu ‚crying–menangis‛. Ibarat
perlombaan lari, kita sama-sama memulainya pada garis
start atau ‚titik nol‛. Namun setelah 5 tahun setelah itu
mulai terlihat perbedaan. Setelah 10 tahun, perbedaan
kualitas hidup kita terlihat lebih jelas dan setelah 20 atau
30 tahun perbedaan-perbedaan tersebut sudah semakin
melebar.
Siapa yang merawat dan membesarkan kita,
bagaimana mereka memperlakukan kita, juga pengalaman
yang kita lalui semuanya ‚membentuk siapa kita‛. Dengan
demikian mengapa ada orang yang berkualitas sangat
hebat, ada biasa-biasa saja, ada yang tertinggal dan malah
ada orang yang selalu dilupakan.
249

Memang hidup ini dimulai dari titik nol, dengan hal


yang sama, kemampuan awal yang sama. Orang awam
membiarkan hidupnya mengalir, namun orang yang pro
pada kemajuan mereka merancang masa depan mereka.
Ya kita harus merancang masa depan kita. Kita harus
mendesain A Life Plan. Sebuah rencana tentang apa yang
akan kita lakukan, rencana tersebut akan membantu kita.
Kita perlu menentukan tujuan dan melakukan perubahan
demi perubahan. Umumnya rencana hidup seseorang
dirancang atas tujuan-tujuan kecil untuk mencapai tujuan
jangka panjang atau tujuan yang lebih besar (Jessica A.
Jonikas dan Judith A. Cook, 2004).

Perjalanan hiduplah yang membuat kita jadi saling


berbeda satu sama lainnya. Buku Tom Corley (2016)
dengan judul ‚16 Rich Habits: Your Autopilot Mode Can
Make You Wealthy or Poor‛ tentu bisa menginspirasi kita.
Bahwa Kecerdasan, bakat dan pesona itulah yang
membuat seseorang jadi hebat, tetapi ini belum seberapa.
Namun yang membuat seseorang saling berbeda yaitu
‚good habit and bad habit‛, dan jurang pemisah antara ‚rich
habits and poverty habits‛ sangat mengejutkan.
Dari 16 kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang
kaya (orang sukses), 6 kebiasaan yang baik diantaranya
adalah: ‚a) Membaca setiap hari, b) Tidak banyak
250

menghabiskan waktu dengan internet dan gadgets, c)


Menghindari kebiasaan menunda waktu, d) Talk less and
listen more, e) Menghindari toxic people, dan f) Milikilah
seorang mentor (penasihat pribadi)‛. Pembahasan poin-
poin tadi adalah sebagai berikut:
1. Membaca setiap hari
Membaca harus menjadi kebutuhan utama kita
karena aktivitas ini begitu penting. Kalau kita ingin
menjadi orang sukses maka kita harus membaca yang
banyak tentang informasi. Karena itu semua akan
meningkatkan ilmu pengetahuan kita. Jika mau sukses
dalam bidang bisnis, maka kita perlu membaca tentang
bisnis. Kebiasaan seperti ini akan membuat kita lebih
bernilai di mata teman-teman, pelanggan atau klien. Di
antara orang-orang sukses, 88% masih menyempatkan diri
buat membaca. Paling kurang mereka masih meluangkan
waktu selama 30 menit atau lebih buat membaca setiap
hari.
Begitu pentingnya membaca sehingga meluangkan
waktu buat menciptakan ‚reading time‛. Mereka tidak asal
membaca saja. Maka ada beberapa buku yang mereka
prioritaskan buat dibaca. Khususnya buku-buku
‚autobiography, educational career, personal development,
biography of succsess people, peristiwa-peristiwa terbaru,
sejarah dan hiburan‛.Dari variasi bacaan tadi maka Tom
251

Corley (2016) memaparkan tentang proporsinya, yaitu


sebagai berikut:
 Sebanyak 94% dari mereka membaca tentang current
event atau peristiwa terkini. Bacaan jenis ini sangat
penting agar mereka tidak ketinggalan informasi.
 Sebanyak 79% dari mereka membaca tentang
educational career atau tentang topik yang
berhubugan dengan karier yang dipilih.
 Sebanyak 63% dari mereka kalau tidak sempat
membaca buku maka mereka mendengar audio book.
Jadi saat mereka bosan membaca buku teks, maka
mereka mendengar audio book. Dengan demikian
telinga mereka tidak harus disodori dengan jutaan
megabyte fitur lagu-lagu pop melulu. Namun lagu-
lagu tersebut tetap signifikan sebagai selingan.
 Sebanyak 58% dari mereka membaca biografi
tentang orang-orang sukses. Dengan membaca
biografi mereka bisa memperoleh cermin hidup
tentang proses tumbuh kembang seseorang dalam
kehidupannya.
 Sebanyak 51% dari mereka membaca tentang sejarah.
Sejarah yang dibaca bisa jadi tentang perkembangan
suatu domain, seperti perdagangan, sosial, wisata,
bisnis, olahraga, dll.
252

 Dan sebanyak 11% dari mereka membaca hal-hal


yang berhubungan dengan hiburan, ya tentang profil
seorang atlet, bintang film, figur publik, dll.

Alasan mengapa orang-orang yang sukses masih


membaca adalah agar selalu meningkatkan kualitas SDM
mereka. Kebiasaan inilah yang membedakan mereka dari
orang yang kurang sukses. Dengan meningkatkan
pengetahuan akan membuat mereka mampu melihat lebih
banyak kesempatan, yang mana mereka terjemahkan dan
wujudkan ke dalam bentuk keuntungan (finansial).
Ada juga orang yang tergolong sudah sukses, namun
malas dalam membaca dan pada akhirnya kesuksesan
mereka jadi redup. Sementara bagi yang selalu membaca,
dapat memperbarui pengetahuan dan wawasannya, maka
kesuksesan serta karier mereka selalu bertahan dan malah
cenderung meningkat.
Siapa yang tidak mengenal para ideolog seperti Karl
Marx, Stalin, Hitler, Mao, Khomeini, Hasan Al Banna,
Gandhi? Siapa yang tidak mengenal para negarawan
seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Gus
Dur, Obama? Siapa yang tidak mengenal aktivis seperti
Malcolm X, Che Guevara, Fidel Castro? Siapa yang tidak
mengenal sang inovator tenar Steve Jobs? Siapa yang tidak
mengenal budayawan sekaliber Ajip Rosdi? Mereka jadi
orang besar karena membaca (Suherman, 2012).
253

2. Tidak banyak menghabiskan waktu dengan


internet dan gadgets
Menggunakan internet buat tujuan menambah
wawasan dan memperluas jaringan adalah sangat tepat.
Internet merupakan media komunikasi yang
menyuguhkan bervariasi fitur seperti Facebook, Twitter,
Instagram, Friendster, dll. Itu semua merupakan fitur
untuk tujuan medsos alias media sosial. Melalui aplikasi
android orang juga bisa menggunakan jenis medsos yang
lain seperti Whatsapp, BBM, Skype, Line, dll. Jadi sudah
demikian banyak variasi media sosial yang disuguhkan
buat pengguna internet/android.
Dewasa ini pengenalan gadget sebagai teknologi
moderen telah mengambil perhatian masyarakat secara
global. Ketergantungan orang pada teknologi gadget sudah
begitu tinggi. Tingkat ketergantungan ini telah
menimbulkan ‚ketagihan atau kecanduan‛. Orang-orang
muda merupakan kelompok yang sangat rentan atas
ketagihan ini. Ketagihan ini telah menimbulkan pengaruh
negatif, yang berhubungan dengan kesehatan mental
(keharmonisan pergaulan, penyebab timbulnya
perselingkuhan) dan juga merupakan faktor penyebab
perubahan gaya hidup. Dibalik itu, tentu keberadaan
gadget juga memberikan dampak positif, seperti
bertambahnya interaksi sosial, meningkatnya akses
informasi, dan memudahkan kehidupan melalui aplikasi
254

beberapa fitur yang terdapat pada gadget itu sendiri (Jyoti


Ranjan Muduli, 2014).
Jumlah medsos yang berlimpah dapat diibaratkan
dengan jenis hidangan yang tersaji di atas meja makan.
Apa semuanya harus dikonsumsi? Paling kurang hanya
satu atau dua saja. Orang yang menyantap semua jenis
sajian yang berkalori tinggi sepanjang waktu akan berefek
diserang oleh penyakit stroke, diabetes, dan gangguan
pencernaan.
Hal yang sama juga bisa diibaratkan dengan orang
yang mengonsumsi semua fitur medsos. Juga akan
menimbulkan banyak masalah—utamanya kehabisan
waktu, hingga menjadi orang yang anti sosial. Medsos
yang dipakai seperlunya tentu bisa punya manfaat yang
optimal. Bagaimana penggunaan medsos yang tidak
terkontrol?
Saya sempat menjadi salah seorang yang juga
cenderung mengonsumsi banyak fitur medsos. Ya saya
pernah tergila-gila menggunakan fitur Twitter, Facebook,
BBM, Line, WA, dll. Memang saya bisa punya banyak
koneksi ke seluruh nusantara hingga ke negara lain.
Bagaimana efeknya? Apakah saya jadi produktif?
Saya bisa menjadi orang ngetop, namun ngetop
secara fatamorgana—ngetop yang penuh kepalsuan.
Namun produktivitas menulis saya telah mendekati titik
255

nol. Dan tidak satu pun artikel saya terbit pada koran-
koran dalam rentang 3 tahun.
Tahun 1990-an saya belum mengenal internet,
apalagi android, karena benda ini belum ditemukan. Saat
itu saya sangat produktif. Setiap kali saya punya kelebihan
waktu, maka saya menulis dan menghasilkan sejumlah
artikel. Saya hanya mengetik menggunakan mesik ketik
bermerek olympus dan menggunakan type-ex kertas
untuk mengoreksi kesalahan. Terasa lebih sulit, namun
saya bisa jadi dalam menulis.
Tom Corley (2016) mengatakan bahwa sungguh
cukup banyak waktu yang sangat berharga telah hilang
gara-gara kita terbiasa parkir (duduk berlama-lama) di
depan layar laptop. Bahwa 2/3 dari populasi orang-orang
sukses hanya menonton TV sekitar satu jam saja per hari.
Kemudian hampir 63% dari mereka menggunakan waktu
kurang dari satu jam untuk internet. Itu pun mereka
gunakan untuk tujuan pekerjaan.
Benar bahwa orang-orang sukses menggunakan
waktu lowong mereka buat hal-hal yang lebih efektif, yang
berguna untuk pengembangan diri, memperluas
networking—jaringan pekerjaan—menjadi volunteering, juga
buat melakukan kerja samping atau untuk bisnis yang lain.
Waktu lowong juga mereka manfaatkan buat keluarga dan
orang banyak.
256

Sebaliknya bagaimana dengan remaja sekarang?


Cukup banyak yang hanyut dengan gadget, mereka telah
menjadi generasi merunduk—bola mata mereka hanya
fokus membaca fitur pada layar android. Melepaskan diri
dari ikatan emosi dengan orang-orang terdekat—di sekitar
mereka. Mereka merespons dan beramah tamah pada
banyak orang di dunia medsos (media sosial)—cyber.
Hingga mereka terlihat tidak punya kesibukan, kadang
lupa dengan pelajaran, pekerjaan dan keakraban dengan
sesama.

3. Menghindari kebiasaan menunda waktu


Avoid procrastnation–hindari kebiasaan menunda
waktu, menunda pekerjaan baik lainnya. Kalau ada
pekerjaan atau tugas maka segeralah untuk diselesaikan.
Tuhan (Allah Swt) juga memberi nasihat pada kita
(hamba-Nya) bahwa apabila kita sudah menyelesaikan
suatu pekerjaan maka kita tetap bekerja serius dan
melakukan pekerjaan lainnya (Al Quran surat 94: 7).
Orang-orang sukses sangat memahami bahwa
menunda pekerjaan akan membuat kualitas diri juga jadi
menurun, berdampak dalam menimbulkan ketidakpuasan
pada orang lain. Juga mempengaruhi kepercayaan klien
(pelanggan) serta menghancurkan hubungan non bisnis.
Tom Corley (2016) memaparkan 5 strategi yang akan
257

membantu kita untuk meninggalkan kebiasaan suka


menunda-nunda waktu, antara lain seperti:
 Ciptakan agenda harian (daftar kegiatan harian)
kemudian targetkan bahwa 70% akan bisa rampung
setiap hari.
 Prioritaskan agar kita bisa menyelesaikan 5 agenda
setiap hari.
 Tuliskan deadline atau batas waktu atas target kerja
yang kita rencanakan.
 Miliki sejumlah teman yang cukup akuntabilitas,
yang teruji kemampuan dan keterampilan mereka.
 Berkomunikasilah dengan mereka setiap hari dalam
rangka mencapai target kerja, juga saling memotivasi
satu sama lain.
 Tuliskan kata ‚do it now!!!–aku akan segera
mengerjakannya!!!‛. Maka betul-betul segera kita
kerjakan dan selesaikan.

4. Talk less and listen more


Pada suatu hari saya mengikuti sebuah seminar di
gedung auditorium IAIN Batusangkar dengan
pembicaranya Dr. Louis Down dari Amerika Serikat.
Dalam waktu istirahat saya mendekatinya dan mencoba
untuk mengajak dia buat ngobrol. Saya mengajukan
beberapa pertanyaan.
258

Saya berpikir bahwa ia akan merespons dengan


begitu bersemangat. Ternyata dalam ngobrol tersebut ia
lebih memilih menjadi pendengar yang aktif. Dia sedikit
berbicara dan banyak tersenyum.
Itu tidak hanya terjadi pada Dr. Louis Down saja.
Pada lain kesempatan saya juga sempat ngobrol dengan
beberapa guru internasional—yang diperbantukan pada
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Barat
sebagai tenaga educational volunteering—yaitu John Duke,
Marry Cameroun, Katty dan Barbara—semua dari
Australia—ternyata mereka juga ngomong sedikit dan
banyak mendengar.
‚Talk less and listen more adalah ciri-ciri orang
terkemuka atau orang-orang yang sukses‛.

5. Menghindari toxic people


Toxic people yang berarti ‚manusia racun‛. Wah ini
sebuah istilah yang cukup sarkasme. Toxic people adalah
orang-orang yang punya kebiasaan meracuni pemikiran
orang. Yaitu seseorang yang dari ucapannya atau
pengaruhnya bisa membuat orang jadi bertengkar, jadi
putus asa, jadi pecah belah—pokoknya kepribadiannya
selalu mengganggu atau meracuni orang lain.
Penelitian terbaru di Jerman menunjukkan betapa
seriusnya keberadaan toxic people. Keberadaan mereka bisa
menyebabkan tumbuhnya emosi negatif yang kuat pada
259

lingkungan sosial. Mereka bisa menyebabkan stress yang


banyak dan keresahan pada orang-orang sekitar. Itulah
alasan mengapa orang toxic harus dihindari (Travis
Bradberry, 2015).
Memang kita harus bergaul dengan banyak orang.
Malahan salah satu badan PBB, Unesco, meluncurkan 4
pillar pendidikan untuk warga dunia, menjadi tujuan
belajar abad ke 21, yaitu bahwa setiap orang harus dapat
belajar untuk 4 hal (Indra Djati Sidi, 2001), yaitu seperti:
 Learning to be, yaitu bagaimana seseorang bisa
menjadi dirinya sendiri dan juga bisa jadi mandiri.
 Learning to do, yaitu bagaimana seseorang melakukan
penyelesaian masalah (problem solving).
 Learning to know or learning to think, yaitu bagaimana
seseorang bisa memiliki kemampuan berpikir kreatif
(creative thingking).
 Learning to live together, yaitu bagaimana seseorang
bisa hidup berdampingan dengan orang lain yang
berbeda dalam pemikiran dan budaya. Inilah bentuk
dari hidup secara toleran tersebut.

Kita mesti bisa bertoleran dengan banyak orang yang


berbeda kepercayaan, karakter dan pemikiran. Namun kita
sangat dianjurkan untuk selalu menghindari toxic people.
Perlu untuk diketahui bahwa 86% dari orang sukses selalu
berhubungan baik degan orang sukses lain dan mereka
260

menghindari bergaul dengan toxic people–orang yang


pribadinya tidak begitu positif.

6. Kita harus memiliki seorang mentor (penasihat


pribadi)
Mentor berarti seorang guru khusus, seseorang yang
bisa meng-update, melatih kita hingga mengarahkan jalan
hidup kita. Maka banyak orang sukses, 93%, memiliki
mentor yang berhubungan dengan kesuksesan mereka.
Tentu mentor yang kita miliki boleh saja banyak dan tidak
harus satu orang.
Para mentor secara aktif dan secara teratur
berpartisipasi dalam pertumbuhan kualitas pribadi kita.
Mentor yang baik akan selalu bersedia meminjamkan
tangannya kepada kita. Dia biasanya memberi kita arahan
tentang apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus
kita hindari.
Itulah 6 kebiasaan positif yang kita sadur dari 16
kebiasaan positif yang dipaparkan oleh Tom Corley. 6
Kebiasaan positif tersebut adalah: 1) membaca setiap hari,
2) tidak banyak menghabiskan waktu dengan internet dan
gadgets, 3) menghindari kebiasaan menunda waktu. 4) talk
less and listen more, 5) menghindari toxic people, dan 6) Kita
harus memiliki seorang mentor (penasihat pribadi). Hal-hal
positif kalau menjadi kebiasaan, selanjutnya akan
mengkristal menjadi karakter kita, yaitu karakter positif.
261

18

Budaya Membaca untuk


Melejitkan Potensi Diri

-
Saat saya terbang dengan pesawat Qantas dari
Jakarta menuju Melbourne, saya menemui pemandangan
dan pengalaman baru di bandara Ngurah Rai, Bali,
Bandara Sydney dan bandara Tullamarine Melbourne.
Tiga bandara dengan banyak orang asing. Ada perbedaan
yang saya lihat, terutama tentang cara orang dalam
memanfaatkan waktu senggang.
Orang yang berkulit sawo matang, saya asumsikan
sebagai orang kita dan non sawo matang sebagai orang
Australia. Bukan bermaksud buat merendah warga negara
sendiri, namun sebagai suatu autokritik dan juga tujuan
memotivasi. Bahwa selama dalam pesawat orang kita lebih
suka ngobrol dan para remajanya (orang muda) sibuk
main game atau mendengar lagu pop. Sementara yang
262

berkulit putih lebih memilih tidur, mendengar e-book atau


membaca buku yang sengaja mereka persiapkan dari
rumah.
Saya jadi teringat dengan catatan tentang literasi—
membaca para siswa di dunia, sebagaimana tertera pada
salah satu dinding bagian dalam di rumah puisi Taufik
Ismail di Aie Angek dekat Padang Panjang, Sumatra Barat.
Sella Panduarsa Gareta (2014) menyelami sastra di rumah
Taufik Ismail, menyatakan bahwa ada beberapa negara
yang mewajibkan siswa mereka untuk membaca buku—
novel, biografi, dan buku sastra lainnya, yakni:
a. Siswa Thailand Selatan, Malaysia, Singapura, Brunei
Darussalam diwajibkan oleh pihak sekolah membaca
5 sampai 7 buku dalam waktu sekitar dua tahun.
b. Siswa Rusia, Kanada, Jepang, Swiss dan Jerman
diwajibkan pihak sekolah membaca 12 hingga 22
judul buku.
c. Siswa Prancis, Belanda dan Amerika Serikat
diwajibkan pihak sekolah membaca 30 judul buku
dalam waktu dua tahun‛.

‚Bagaimana dengan siswa di Indonesia?‛


Siswa SMA di Indonesia tahun 1929 hingga 1942 juga
membaca sekitar 25 judul buku per tahun. Yaitu di saat
nama sekolah AMS Hindia Belanda, AMS itu singkatan
dari ‚Algemeene Middlebare School‛. Saat di sekolah AMS
263

Hindia Belanda dahulu siapa yang membaca 25 judul buku


per tahun?
Itu yang namanya Soekarno, Mohammad Hatta,
Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Natsir, Ali
Sastromijoyo dan Muhammad Yamin. Namun dari tahun
1943-2008, siswa wajib membaca nol buku per tahun.
Di negara-negara maju yang saya tangkap
pengertiannya bahwa betapa pendidikan di negara
tersebut kegiatan membaca literasi telah melampaui target
ketuntasan sehingga semua anak-anak sekolah sangat
menyukai membaca dan membaca telah menjadi
kebutuhan utama mereka. Sementara kemampuan
membaca untuk pendidikan kita—dari kacamata dunia,
kemungkinan belum mencapai target sempurna. Hanya
baru sebatas kenal abjad dan mampu membaca penggalan
dongeng ringan.

Bagaimana dengan kondisi literasi membaca bangsa


kita? Membaca dalam pendidikan kita baru sebatas
pemberian PR. Guru-guru menugaskan siswa buat
membaca dan membuat ringkasan. Siswa membuat
ringkasan dan membaca dengan perasaan enggan, bosan
dan mendongkol.
Saat membaca terasa sangat berat dan membosankan
bagi kebanyakan siswa SD di negeri kita, sementara itu
264

membaca di negara Skandinavia terasa sebagai kebutuhan


primer. Begitu pulang sekolah para siswa dari kelas
rendah membawa buku cerita atau novel anak-anak yag
ukurannya cukup tebal. Membaca dengan antusias dengan
bantuan orang tua di rumah. Membaca kemudian
meningkatkan kualitas verbal dan komunikasi mereka,
juga menggugah imajinasi mereka hingga mereka menjadi
siswa terkemuka.
Ngainun Naim (2013: 1-7) memaparkan tentang
potret buram membaca literasi di negara kita. Sebuah data
paradoks menyebutkan bahwa Indonesia merupakan
negara yang sukses menjadi model untuk pemberantasan
buta aksara di kawasan Asia Pasifik. Namun angka yang
sedemikian menggembirakan ternyata tidak seiring
dengan hasil survei UNESCO tentang minat membaca
masyarakat Indonesia. Survei tersebut menunjukkan
bahwa minat membaca masyarakat Indonesia sangat
rendah. Tahun 2006, minat membaca masyarakat
Indonesia berada pada posisi paling rendah di kawasan
Asia. Sementara International Educational Achievement
mencatat bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia
paling rendah di kawasan ASEAN.
Apa yang menjadi penyebab membaca belum bisa
menjadi budaya? Sesungguhnya siapa pun orangnya, apa
pun profesinya, memiliki tradisi membaca. Maka semua
profesi punya kontribusi positif untuk membangun
265

budaya membaca. Namun profesi yang paling


menggalakan minat membaca adalah mereka yang berasal
dari dunia pendidikan. Apalagi kegiatan sehari-hari
mereka juga dekat dengan dunia pengembangan ilmu.
Namun tampaknya dunia pendidikan juga belum
terlalu dekat dengan tradisi membaca. Banyak dosen dan
guru ternyata belum banyak yang membaca secara tekun.
Padahal bagi mereka membaca merupakan sarana yang
paling efektif untuk memperkaya wawasan. Himbauan
bahwa ‚dosen dan guru yang baik‛ mesti terbiasa
membaca dan terus membaca untuk memperbarui dan
menambah wawasan serta ilmu pengetahuannya hingga
mereka layaknya mencari orang berlevel internasional.
Kesukaan terhadap membaca yang tinggi saya temui
pada Craig Pentland, teman Australia saya, di mana kami
sudah berteman sejak 22 tahun yang lalu. Setiap kali
datang ke Sumatra untuk berlibur dia selalu membawa
dua atau tiga buku yang dibaca selama berada di Sumatra.
Tak jarang begitu liburannya berakhir dan ia telah
menyelesaikan membaca 2 atau 3 buku. Begitu juga
dengan teman-teman saya dari Eropa, Louis, Annes Bedos
dan Francois, juga memanfaatkan waktu istirahat mereka
buat membaca buku-buku. Saat membaca mereka terlihat
sangat fokus dan sangat menikmatinya.
Desi Anwar (2015: 90-93) seorang wartawan yang
produktif dan seorang host pada Metro TV juga berbagi
266

pengalaman tentang betapa membaca itu sangat penting


dan sangat menyenangkan. Dia sudah gemar membaca
sejak masih kanak-kanak. Pengalaman membacanya
dimulai dengan membaca novel pada usia 7 tahun. Dia
masih ingat betapa asyik rasanya memegang buku, terasa
berat dan serius.
Pada mulanya Desi membaca degan susah payah,
halaman demi halaman, seperti mahasiswa yang
bersemangat menghadapi ujian. Dia sudah bertekad
menyelesaikannya dan ia mengharuskan dirinya
menyelesaikannya. Akhirnya dia merasakan kesenangan
dalam membaca. Membaca telah membawanya ke masa
yang lain, membaca telah menjadi sumber kesenangan
yang sejati. Ya benar bahwa membaca adalah keunikan
sejati yang dapat kita miliki karena membaca berarti
menyerahkan diri kita kepada semua indra.

?
Saya ingin berbagi pengalaman nyata tentang
bagaimana saya memulai menyukai membaca. Tentu saja
setiap orang punya pengalaman yang berbeda. Pertama
kali membaca buku saya memang merasakan kesulitan
dan kejenuhan dalam menaklukan halaman demi
halaman. Dan buku pertama yang taklukan adalah sebuah
buku biografi milik teman satu kos saya. Judul bukunya
‚Pasang Surut Pengusaha Pejuang–Autobiografi Hasyim
267

Ning (A.A. Navis, 1987)‛. Buku tersebut hanya setebal 392


halaman, namun terasa sangat tebal, membosankan
menaklukan halaman demi halaman dan sangat berat saat
itu.
Yang penting saat itu saya sudah punya motivasi
untuk membaca keseluruhan isi buku tersebut. Maka
mulailah saya menamatkan buku tersebut dengan cara
memaksa diri. Pada mulanya saya coba membaca 10
halaman, kemudian istirahat dan membaca 10 halaman
lagi. Saya buat target buat menamatkan keseluruhan
halamannya. Saya biasakan membaca buku dengan
menggunakan pensil.
Bila ada hal-hal yang penting menurut saya, maka
akan saya garis bawahi. Nanti setelah saya menamatkan
buku tersebut baru saya pindahkan ke buku catatan.
Akhirnya dengan susah payah saya berhasil menamatkan
membaca buku tersebut dalam waktu hampir 2 minggu.
Saya kemudian membaca tiap, sekarang setelah hampir 30
tahun, membaca sudah terasa sebagai kebutuhan primer
saya.
Setiap orang yang telah terbiasa dengan budaya
membaca mereka akan sangat beruntung. Sementara itu
membaca sangat direkomendasikan oleh Al Quran (oleh
Allah Swt): Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu
yang menciptakan (Surat 96: 1).
268

Budaya membaca akan mampu buat melejitkan


potensi diri. Ngainun Naim (2013: 155-189) mengupas
tentang membaca dalam rangka menangkap makna dan
meraih prestasi. Ada banyak orang yang berubah karena
membaca, misal lewat membaca biografi yang bisa
mengantarkan menjadi penulis hebat.
Salah seorang yang hidupnya berubah karena
membaca, khususnya membaca biografi orang-orang
terkenal, adalah Edward Bok. Pada masa kecilnya, Bok
yang merupakan imigran Belanda di Amerika hidup
dalam kubangan kemiskinan. Dalam sejarah hidupnya,
Bok tidak pernah bersekolah lebih dari enam tahun.
Dia meninggalkan sekolah ketika berumur tiga belas
tahun. Sebagai gantinya ia mulai mendidik dirinya sendiri.
Dia menabung sampai dia mendapatkan cukup uang
untuk membeli ensiklopedi biografi Amerika. Kemampuan
membeli ensiklopedi ini membuatnya memperoleh banyak
inspirasi dan membangun kreativitas dirinya. Pengaruh
bacaan tersebut mendorongnya untuk melakukan hal yang
luar biasa. Dalam perjalanan selanjutnya, Bok menjadi
penulis biografi yang ternama. Ia telah mewawancarai
ratusan tokoh terkenal dan menulis biografi mereka.
Semua itu bermula dari sebuah langkah mendasar, yaitu
membeli dan kemudian membaca secara intensif biografi
mereka (Maria Lauret, 2013).
269

Salah seorang pakar psikologi Indonesia adalah Prof.


Dr. Ashar Sunyoto Munandar. Dalam perjalanan panjang
hidupnya, Ashar mengaku bahwa ia begitu dipengaruhi
oleh kata-kata yang tersusun rapi dalam aneka buku
dongeng. Beberapa buku cerita dari masa kecilnya yang
berkesan adalah Dik Trom, Piltje Bel, dan buku cerita
karya Dr. Karl May. Bahkan, tanpa disadarinya, buku
cerita itu pula yang memberikan rangsangan imajinasi dan
wawasan luas tentang kehidupan.
Kesempatan meminjam buku bacaan di usia belia ini
menjadi penanda signifikan bagi munculnya minat besar
Prof. Ashar untuk membaca. Sejak itu, minatnya membaca
tumbuh pesat. Membaca dan terus membaca telah
menjadikan Prof. Ashar sebagai pribadi penuh kualitas
sehingga ia menjadi seorang pakar psikolog ternama di
negeri ini. Bacaan cerita di masa kecilnya telah menjadikan
dia sebagai pribadi yang terus tumbuh dan berkembang.
Besarnya pengaruh buku cerita juga dialami oleh
penulis cerita yang cukup populer di dunia melalui
bukunya Harry Potter, dia adalah J.K. Rowling. Ia menulis
novel legendaris tersebut dalam tujuh seri. Itu tentu saja
merupakan hasil kerja keras dan perjuangan J.K. Rowling
yang sangat luar biasa. Orang mungkin hanya melihat dari
sisi hasilnya saja. Padahal, kesuksesan yang diraihnya
sesungguhnya dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya
adalah pengaruh bacaan pada masa kecilnya.
270

J.K. Rowling menuturkan tentang kenangannya yang


paling jelas mengenai masa kanak-kanaknya. Adalah
ayahnya yang duduk dan membacakan buku buatnya The
Wind in the Willows. Bacaan demi bacaan yang terus
digelontor orang tuanya pada masa kecil J.K. Rowling
secara tidak disadari telah membuat kesan hebat pada
dirinya. Maka J.K. Rowling mulai memimpikan cerita-
cerita fantastis yang anehnya memiliki alur yang bagus
dengan tokoh-tokoh yang begitu nyata.
Pengaruh bacaan kemudian mendorongnya untuk
menjadi seorang penulis. Menulis baginya merupakan
dorongan yang sangat hebat. Yang jelas membaca telah
memberi kontribusi besar pada kemampuan J.K. Rowling
dalam menulis. Kesuksesan yang kini diraihnya
merupakan akumulasi dari bacaan yang telah lengket
dalam kehidupannya semenjak kecil. Begitulah, membaca
kisah hidup para tokoh telah mengubah kehidupannya.
Tentu saja ada banyak orang yang telah memperoleh
manfaat positif dari kebiasaan membaca.
271

A.Bobby (2015). Ajik Cok-Lihat, Tiru, Kembangkan.


Jakarta: Kompas
AA Navis (1987). Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Agus Nggermanto (2003). Quantum Quotient, Kecerdasan
Quantum-Cara Melejitkan Iq, Eq dan Sq Secara
Harmonis. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia.
Ahmad Faiz Zainuddin (2009). SEFT-Spiritual Emotional
Freedom. Jakarta: Afzan Publishing.
Ahmad Fatahillah (2014). 21 Tokoh Sukses Top Dunia
Yang Ternyata Drop Out Dari Sekolah. Mojokerto:
NLP-NAC-ESQ (https: //www.slideshare.net).
Annie Mueller (2015). Work Experiences VS Education-
Which Lands You The Best Job?‛New York:
Investopedia (www.investopedia.com).
Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (2002). Quantum
Learning-Membiasakan Belajar Nyaman Dan
Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
Bonnie D. Singer (1999). You Are What You Say, To
Yourself. Newton, MA: American Speech-
Language-Hearing Association (http:
272

//www.nldline.com/bonnie_singer_and_tony_bashi
r.htm).
Caroly Medel dan Anonuevo (2002). Integrating Life Long
Learning Perspective. Hamburg: Unesco Institute
For Education (www.unesco.org/education/uie).
Cindy Adams (1965). Sukarno: An Autobiography.
Indianapolis: Bobbs Merrill.
Coline Rose dan Malcom. J. Nicholl (2003). Accelerated
Learning For the 21st Century-Cara Belajar Cepat
Abad 21. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia.
Craig Pentland (2014). Behavioural Ecology of The Black-
Flanked Rock-Wallaby, Petrogale lateralis lateralis
(Disertasi). Perth: Edith Cowan University, The
Faculty of Health, Engineering and Sciences, School
of Natural sciences (http: //ro.ecu.edu.au/cg
i/viewcontent.cgi).
Dario Maestripieri (2012). The truth about why beautiful
people are more successful-The truth about why
beauty pays. Chicago: University Chicago (https:
//www.psychologytoday.com/blog/games-
primates-play).
Dave Meier (2002). The Accelerated Learning Handbook.
Bandung: Kaifa
Deb Shapiro (2008). Your Body Speaks Your Mind:
Decoding the Emotional, Psychological, and
Spiritual Messages That Underlie Illness. New
273

York: ReadHowYouWant.com (https: //books.goo


gle.co.id/books/about/Your_Body_Speaks_Your_Mi
nd.htm).
Desi Anwar (2015). Hidup Sederhana. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Dewi Utama Faizah (2009). Anak-Anak Yang Digegas
Menjadi Cepat Mekar Cepat Matang Cepat Layu
(artikel). Jakarta: Direktorat Pendidikan TK dan SD,
Ditjen Dikdasmen, Depdiknas (http:
//nurfika.blogdetik.com).
Dian Wibowo Utomo (2009). Hambatan, Motivasi, dan
Strategi Pemecahan Masalah Pada Mahasiswa
Psikologi Universitas Sanata Dharma Yang Sedang
Mengerjakan Skripsi (Skripsi). Yogyakarta: Univer-
sitas Sanata Dharma (https: //repository.usd. ac.id).
Dian Wirawan Noeraziz (2013). Self determination,
Otentisitas, dan kebebasan (Tugas Psikologi
Humanistik). Surabaya: FakultasPsikologi, Univer-
sitas Airlangga.
Dominic O’Brien (2005). How To develop a Perfect
Memory. Cambridge: Library Com (https: //mesa
litam.files.wordpress.com/2012/08/o-brien-how-to-
develop-perfect-memory.pdf)
Fasli Jalal (2010). Education Decentralization In Indonesia,
Lesson Learned And Challenges. Jakarta: Ministry
Education of Indonesia).
274

George D. Kuh (2015). The Chronicle of Higher Education.


New York: Investopedia (www.investopedia.com).
Georgia Soares (2013). Attractiveness Leads To Success.
Houston: Rice University. (http: //www.neonto
mmy.com/news/2013/02/attractiveness-leads-
success).
Grolier (1965). History-Our Worl In Colour. London: The
Grolier Society Limited.
Hamermesh D.S (2011). Beauty Pays Why Attractive
People Are More Successful. Princeto-New Jersey:
princeton Press (https: //press.princeton.edu/
titles/9516.html).
Harold S. Osborne (1943). Biographical Memoir of
Alexander Graham Bell. Washington: National
Academy of Sciences (http: //www.nasonline.org/
publications/biographical-memoirs).
Hatch Robert A (1998). Sir Isaac Newton Footprints of the
Lion exhibit. Cambridge: Cambridge University
Library (https: //www.perimeterinstitute.ca
/files/articles).
Hazrul Iswadi (2017). Sekelumit Dari Hasil PISA 2015
Yang Baru Dirilis. Surabaya: Ubaya-Iniversitas
Surabaya (http: //www.ubaya.ac.id/2014/content/
article).
275

Ibrahim Elfiky (2011). Terapi Berfikir Positif-Biarkan


Mukjizat Dalam Diri Anda Melesat Agar Hidup
Lebih Sukses Dan Lebih Bahagia. Jakarta: Zaman.
Indra Djati Sidi (2001). Menuju Masyarakat Belajar:
Menggagas Paradigma Baru. Jakarta: Logos. Irwan
Prayitno, Gubernur Sumatera Barat-(https:
//id.wikipedia.org/wiki/Irwan_Prayitno).
Jalaluddin Rakhmat (1998). Komunikasi Antar Budaya,
Paduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Ber-
beda Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Jesse Hicks (2012). Ray Tomlinson, the inventor of email: I
see email being used, by and large, exactly the way
I envisioned. Peterborough-Canada: The Verge
(https: //www.theverge.com/2012/5/2/2991486/ray-
tomlinson-email-inventor).
Jessica A. Jonikas dan Judith A. Cook (2004). This Is Your
Live! Creating Your Self Directed Life Plan.
Chicago: University of Illinois, National Research &
Training Center on Psychiatric Disability (http:
//www.cmhsrp.uic.edu/download/sdlifeplan).
Jyoti Ranjan M uduli (2014). Addiction to Technological
Gadgets and Its Impact on Health and Lifestyle: A
Study on College Students (thesis).Rourkela:
Department of Humanities and Social Sciences,
National Institute of Technology (http:
//ethesis.nitrkl.ac.in/5544/1/e-thesis).
276

Kay Melchisedech Olson (2006). Johann Gutenberg and the


Printing Press-Inventions and Discovery. Mankato
MN-USA: Graphic Library (https: //www.amazon.
com/Johann-Gutenberg-Printing-Inventions-
Discover).
Lev Grossman (2010). Mark Zuckerberg (Biography). New
York: Time (http: //editoria.let.uniroma1.it
/multimediale/files/Time_Zuckerberg).
Louis Deharveng (2005). Expedition Sumatra 2002-Compte
Rendu Speleologique. Toulouse-France: Societe
Speleologique de L’Ariege-Pays d’Olmes.
Mahmood Khalil dan Zaher Accariyal (2016). Identifying
Good Teacher For Gifted Students. Sakhnin: The
College of Sakhnin, Academy Colleg For Teacher
Educatio (https: //file.scrip.org).
Maria Lauret (2013). When Is an Immigrant’s
Autobiography Not an Immigrant Autobiography?
The Americanization of Edward Bok. Las Vegas:
MELUS-Department of English, University of
Nevada (MELUS, Volume 38, Issue 3, 1 September
2013, Pages 7-24, https: //doi.org/10.1093/melus
/mlt033).
Marjohan Usman dan Ranti Komala Dewi (2012).
Tuntutlah Ilmu Sampai Negeri Prancis. Jogjakarta:
Diva Press.
277

Marjohan Usman dan Syaiful Amin (2013). Akhirnya


Kutaklukan Kampus Jerman. Jogjakarta: Diva Press.
Maureen Cane (2015). Practical Lessons And Resources For
Teachers From Foundation To year 10. Heidelbeg,
Victoria: Volunteering And Contact Act (https:
//www.volunteeringaustralia.org).
Melissa Stanger (2012). Attractive People Are Simply More
Successful (artikel). New York: Business Insider
(http: //www.businessinsider.com/attractive-
people-are-more-successful).
Mochamad Basuki, Yanti Muchtar, dan Theresia (2012).
The Power of Literacy: Woman’s Journey in India,
Indonesia, Philipine and New Guinea. Quezon:
ASPBAE (http: //www.campaignforeducation.org).
Mudji Sutrisno (1994). Getar-Getar Peradaban. Yogyakarta:
Kanisius.
Murad Maulana (2014). 31 Hal Yang Harus Anda Ketahui
Tentang Gayatri Wailisa. Yogyakarta: Pustakawan
Blogger, UGM (www.Muradmaulana.com).
Ng Aik Kwang (2001). Why Asians Are Less Creative Than
Westerners (article). Brisbane: University of
Queensland (http: //shadibakri.uniba.ac.id/wp-
content).
Ngainun Naim (2013). The Power of Reading-Menggali
Kekuatan Membaca Untuk Melejitkan Potensi Diri.
Yogyakarta: Aura Pustaka.
278

Nurul Duariyati (2006). Makna Sukses Pencari Kerja Dan


Motif Menjadi PNS (Skripsi). Surabaya: Universitas
Airlangga (http: //repository.unair.ac.id).
OECD/Asian Development Bank (2015). Education in
Indonesia: Rising to the Challenge. Paris: OECD
Publishing. (http:
//dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en).
Rhenald Kasali (2011). Wirausaha Muda Mandiri, tentang
kisah inspiratif anak-anak muda menemukan masa
depan dari hal-hal yang diabaikan banyak orang.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Rhenald Kasali (2016). Self Driving Menjadi Driver atau
Passenger? Jakarta: Mizan
Rhenald Kasali (2017). Disruption-Tak Ada Yang Tak Bisa
Diubah Sebelum Dihadapi Motivasi Saja Tidak
Cukup. Jakarta: Kompas Gramedia.
Robert Reardon (2016). John L Holland: Perspectives on
Theory, Research And Practice. Florida: Society for
Vocational Psychology, Florida State University
(http: //career.fsu.edu/sites).
Ruth Callaghan (2016). Graduate Recruitment: Academic
Results No Longer Matter As Much. Melbourne:
KMG House (http: //www.afr.com/leadership).
Sahar F Abu Jarour (2014). Person Demotivation In
Organization Life (Journal). Amman: College Of
279

Business And Management, Amman Arab


University (https: //ijbssnet.com/journal).
Sean Maloney (2008). Oral History of Martin Cooper.
Mountain View-California: Computer History
Museum (http: //archive.computerhistory.org/
resources/access/text/2012/08).
Sean N. Talamas, Kenneth I. Mavor, dan David I (2009).
Blinded by Beauty: Attractiveness Bias and
Accurate Perceptions of Academic Performance.
California: University Of Southern California (https:
//doi.org/10.1371/journal.pone.0148284).
Sella Panduarsa Gareta (2014). Menyelami Sastra di Rumah
Taufik Ismail. Jakarta: Antara News
(www.antaranews.com).
Setia Furqon Khalid (2010). Jangan Kuliah Kalau Gak
Sukses. Sumedang: Rumah Karya.
Sri Owen (2008). Something About Myself. London:
Journal dan Weblog (http: //sriowen.squarespace
.com/journal/).
St. Sularto, Ed (2010). Guru-Guru Keluhuran, Rekaman
Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman, Jakarta:
Kompas.
Suherman (2012). Mereka Besar Karena Membaca.
Bandung: Literate Publishing (http: //www.lib.unair
.ac.id/index.php).
280

Syahrial Syarbaini, Rusdiyanta (2009). Dasar-Dasar


Sosiologi. Jakarta: Yogyakarta: Graha Ilmu (https:
//rizkifebriana33.wordpress.com).
Tejvan Pettingen (2010). Biography Of Wright Brother.
Oxford: www.biographyonline.net
Tom Corley (2016). 16 Rich Habit: Your Auotopilot Can
Make You Wealthy or Poor (Article). Dallas-Texas:
Success Magazine (https: //www.success.com
/article/16-rich-habits)
Torsten Husen (1995). Masyarakat Belajar. Jakarta: Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Travis Bradberry (2015). 10 Toxic People You Should
Avoid At All Costs. Jersey City: Forbes Magazine
(https: //www.forbes.com/sites/travisbradberry)
Victor Mc Elheny (1999). Edwin Herbert Land-A
Biographical Memoir. Washington: The National
Academy Press (http: //www.nasonline.org/
publications/biographical-memoirs)
Warni Tune. S dan Intan Abdul Razak (2016). Strategi
Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum
Berbasis Soft Skill. Yogyakarta: Deepublish.
281

Marjohan, M.Pd., Guru SMA Negeri 3


Batusangkar, Program Pelayanan
Keunggulan Kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat. Dia mengikuti seleksi tenaga
kependidikan dan tercatat sebagai peraih
‚Peringkat 1 Guru Berprestasi Tingkat
Nasional 2012‛ dan penerima penghargaan Satyalencana
Pendidikan dari Presiden RI. Ia menulis berbagai judul
artikel yang diterbitkan pada koran Singgalang, Serambi
Pos, Haluan, dan Sripo (Sriwijaya Pos).
Pernah menulis pada jurnal Spelelogie (Prancis). Dia
sempat menjadi seorang pemandu wisata (West Sumatra
Tourism Guide). Dia telah melakukan kunjungan pendi-
dikan ke Australia, Singapura dan Malaysia, Thailand, dan
perjalanan ibadah ke Arab Saudi. Marjohan telah menulis
dan menerbitkan sejumlah buku dengan judul:
 School Healing-Menyembuhkan Problem Sekolah
(Pustaka Insan Madani, Yogyakarta, 2009).
 Generasi Masa Depan-Memaksimalkan Potensi Diri
Melalui Pendidikan (Bahtera Buku, Yogyakarta,
2010).
282

 Tuntutlah Ilmu Hingga ke Negeri Prancis (Diva


Press, Yogyakarta, 2012).
 Akhirnya Kutaklukan Kampus Jerman (Diva Press,
Yogyakarta, 2012).
 Budaya Alam Minangkabau (Citra Pustaka, Solo,
2012).
 Pengalaman Meraih Guru Berprestasi Selangit (Diva
Press, Yogyakarta, 2013).
 Berguru Di Negeri Jepang (Diva Press, Yogyakarta,
2013).
 Melbourne Memang Dahsyat (Diva Press,
Yogyakarta, 2013).
 Bertaburan Pengalaman Dari Padang Hingga Sydney
(Kekata Group, Surakarta, 2018).
 Questioning Through Question Chart For Improving
Reading Comprehension (Jakarta, SEAMEO QITEP
in Language RESEARCH GRANTS, 2018).

Marjohan menikah dengan Emi Surya, dan memiliki


dua orang anak—Muhammad Fachrul Anshar dan
Nadhila Azzahra. Ia juga tertarik dengan travelling.
Tulisan-tulisan serta foto-foto kegiatan Marjohan yang lain
dapat diakses pada Blogger http:
//penulisbatusangkar.blogspot.com, dan ia dapat
dihubungi melalui email: marjohanusman@yahoo.com.

Anda mungkin juga menyukai