Anda di halaman 1dari 46

REFERAT

Dehisensi Luka Pasca Operasi Laparotomi dan Penanganannya


di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto
Periode Januari 2008 – November 2011

Pembimbing :
dr. Hj. Fridayati Dewi Mustikawati, SpB

Disusun Oleh :
Sintia Dewi SMK
G1A210006

SMF ILMU PENYAKIT BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2011

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
Dehisensi Luka Pasca Operasi Laparotomi dan Penanganannya
di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto
Periode Januari 2008 – November 2011

Oleh :

Sintia Dewi SMK


G1A210006

Presentasi referat ini telah dipresentasikan dan disahkan


sebagai salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik
di bagian bedah RSUD Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Desember 2011

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Hj. Fridayati Dewi Mustikawati, SpB

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya
sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul Dehisensi
Luka Pasca Operasi Laparotomi dan Penanganannya di RSUD Margono
Soekarjo Purwokerto Periode Januari 2008 – November 2011. Penulisan
referat ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Bedah RSUD Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis
berharap referat ini dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan
pendidikan kedokteran.
Penyusunan referat ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai
pihak. Penulis menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada:
1. dr. Hj. Fridayati Dewi Mustikawati, SpB selaku Pembimbing
yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman FK Unsoed dan FK UPN serta semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih memiliki
kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan masukan yang dapat
menjadi perbaikan.

Purwokerto, Desember 2011

Penulis

3
DAFTAR ISI

I. Pendahuluan…………………………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang……………………………………………………………. 1
B. Tujuan…………………………………………………………………….. 2
C. Manfaat…………………………………………………………………… 2
II. Tinjauan Pustaka………………………………………………………………. 3
A. Anatomi dan Fisiologi Kulit……………………………………………… 3
1. Anatomi Kulit………………………………………………………… 3
2. Fisiologi Kulit………………………………………………………… 7
B. Luka dan Penyembuhan Luka……………………………………………. 5
1. Luka…………………………………………………………………... 9
2. Penyembuhan Luka………………………………………………….. 12
C. Laparatomi………………………………………………………………. 22
D. Wound Dehisensi ………………………………………………….......... 24
1. Definisi………………………………………………………………. 24
2. Klasifikasi…………………………………………………………… 24
3. Manifestasi Klinis…………………………………………………… 25
4. Etiologi ……………………………………………………………… 25
5. Faktor Resiko…………………………………………....................... 26
6. Penatalaksanaan……………………………………………………... 27
III. Metode Penelitian…………………………………………………………… 31
IV. Hasil dan Pembahasan………………………………………………………. 33
V. Kesimpulan………………………………………………………………….. 38
Daftar Pustaka………………………………………………………………… 39

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi kulit………………………………………………………… 3


Gambar 2. Lapisan Epidermis …………………………………………………… 5
Gambar 3. Lapisan Dermis ………………………………………………………. 6
Gambar 4. Fase Inflamasi……………………………………………………….. 13
Gambar 5. Fase Proliferasi………………………………………………………. 15
Gambar 6. Fase Remodelling……………………………………………………. 17
Gambar 7. Penyembuhan Luka …………………………………………………. 17
Gambar 8. Jenis Penyembuhan Luka…………………………………………… 18

5
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Karakteristik responden berdasarkan usia……………………………. 33


Tabel 4.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin………………….. 33
Tabel 4.3 Karakteristik responden berdasarkan kelas perawatan……………….. 34
Tabel 4.4 Karakteristik responden berdasarkan jenis operasi laparotomi………. 34
Tabel 4.5 Penatalaksanaan Dehisensi …………………………………………... 35

6
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Laparatomi merupakan suatu proses insisi bedah ke dalam rongga
abdomen yang dilakuakan dengan berbagai indikasi seperti trauma abdomen,
infeksi pada rongga abdomen, perdarahan saluran cerna, sumbatan pada usus
halus dan usus besar serta masa pada abdomen (Anonim, 2009).
Tindakan laparotomi dapat menimbulkan berbagai komplikasi pasca
bedah antara lain gangguan perfusi jaringan, infeksi pada luka yang
menyebabkan buruknya integritas kulit serta terjadinya dehisensi luka operasi
(Anonim, 2009).
Wound dehiscence post laparotomy merupakan komplikasi utama yang
serius. kejadiannya berkisar antara 0,25% sampai 3% dari seluruh operasi
laparotomi yang dilakukan, dengan angka kematian berkisar antara 10-20%
(Spiloitis et al, 2009; Afzal et al, 2008).
Terjadinya wound dehiscence berkaitan dengan berbagai kondisi seperti
anemia, hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut,
prosedur pembedahan spesifik seperti pembedahan pada kolon atau laparotomi
emergency. Wound dehiscence juga dapat terjadi karena perawatan luka yang
tidak adekuat serta faktor mekanik seperti batuk-batuk yang berlebihan, ileus
obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang baik (Afzal et al,
2008; Anonim, 2008).
Penanganan wound dehiscence secara umum dibedakan menjadi
penanganan operatif dan penanganan non operatif. Penanganan operatif
dilakukan pada sebagian besar penderita luka operasi terbuka. Sedangkan
penanganan non operatif dilakukan diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi (Singh, 2009; Spiolitis et al, 2009).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kami bermaksud untuk
menyusun referat dengan judul ‘Dehisensi Luka Pasca Operasi Laparotomi dan
Penanganannya di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto Periode Januari 2008
– November 2011’.

7
B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui materi mengenai Wound Dehiscence post Laparotomy
2. Mengetahui jumlah penderita Wound Dehiscence post Laparotomy di
RSUD Margono Soekardjo Purwokerto periode Januari 2008 – November
2011.
3. Mengetahui penanganan Wound Dehiscence post Laparotomy di RSUD
Margono Soekardjo Purwokerto periode Januari 2008 – November 2011.

C. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan bisa diambil dari diadakannya penyusunan
refrat ini yaitu:
1. Sebagai sarana pembelajaran bagi penulis dan pembaca khususnya
mengenai wound dehiscence.
2. Sebagai sarana evaluasi mengenai penanganan pasca operasi laparotomi
di RSUD Margono Soekardjo Purwokerto.

8
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kulit


1. Anatomi Kulit
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh
bagian tubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya.
Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh. Pada orang dewasa sekitar
2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit
bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis
kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit
bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak
tangan, telapak kaki, punggung, bahu (Branon, 2007).

Gambar 1. Anatomi Kulit (Branon, 2007)

a. Lapisan Kulit
Kulit terdiri dari tiga lapis yaitu epidermis sebagai lapisan yang paling
luar, dermis dan hypodermis atau subkutis yang merupakan jaringan
penyambung di bawah kulit (Branon, 2007).

9
1) Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler.
Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel
melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda
pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan
kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan
kulit. Pada epidermis terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu (Branon,
2007; Amirlak, 2008).
Fungsi Epidermis antara lain proteksi barier, organisasi sel,
sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel,
pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans).
Epidermis terdiri atas lima lapisan : (1). Stratum Korneum, Terdiri
dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. (2). Stratum
Lusidum, berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal
telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis. (3).
Stratum Granulosum, ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng
yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik
kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein
kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans. (4). Stratum Spinosum,
terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap
filamen-filamen tersebut memegang peranan penting untuk
mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi.
Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan
mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum
basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat
sel Langerhans. (5). Stratum Basale (Stratum Germinativum).
Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam
pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui
setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak,
usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung
melanosit (Branon, 2007; Amirlak, 2008).

10
Gambar 2. Lapisan Epidermis (Amirlak, 2008)

2) Dermis
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering
dianggap sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang
menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan
subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal terdapat pada telapak
kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan : (1). Lapisan
papiler, tipis mengandung jaringan ikat jarang. (2). Lapisan retikuler,
tebal terdiri dari jaringan ikat padat (Amirlak, 2008).
Pada dasarnya dermis terdiri atas sekumpulan serat-serat elastic
yang dapat membuat kulit berkerut akan kembali ke bentuk semula
dan serat protein ini yang disebut kolagen. Serat-serat kolagen ini
disebut juga jaringan penunjang, karena fungsinya dalam membentuk
jaringan-jaringan kulit yang menjaga kekeringan dan kelenturan kulit.
Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang
dengan bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat
dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5
kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling
bersilangan dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang
menyebabkan kulit terjadi kehilangan kelemasannya dan tampak
mempunyai banyak keriput (Branon, 2007; Amirlak, 2008).

11
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis
juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut,
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung
banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis (Branon, 2007).
Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar)
dan duet yaitu saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan
kulit membentuk pori-pori keringat. Semua bagian tubuh dilengkapi
dengan kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat dipermukaan
telapak tangan, telapak kaki, kening dan di bawah ketiak. Kelenjar
keringat mengatur suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa
pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas,
latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu. Ada dua jenis kelenjar
keringat yaitu Ekrin dan Apokrin (Branon, 2007).
Kelenjar sebasea terletak pada bagian atas dermis berdekatan
dengan folikel rambut terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang
bermuara ke dalam kandung rambut (folikel). Folikel rambut
mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan
rambut. Kelenjar sebasea membentuk sebum. Terkecuali pada telapak
tangan dan telapak kaki, kelenjar sebasea terdapat di semua bagian
tubuh terutama pada bagian muka. Pada umumnya, satu batang rambut
hanya mempunyai satu kelenjar sebasea yang bermuara pada saluran
folikel rambut (Amirlak, 2008).

Gambar 3. Lapisan Dermis

12
Fungsi Dermis antara lain sebagai struktur penunjang,
mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan
respon inflamasi (Amirlak, 2007).
3) Hypodermis tau Subkutis
Lapisan ini merupakan lapisan di bawah dermis atau
hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Pada lapisan ini terdapat
jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan
jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut
daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Subkutis berfungsi
menunjang suplai darah ke lapisan dermis untuk regenerasi. Fungsi
Subkutis / hipodermis antara lain untuk melekatkan kulit ke struktur
dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan
mechanical shock absorber (Branon, 2007; Amirlak, 2008).
b. Vaskularisasi Kulit
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak
antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan
jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi
papilla dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri asenden dan satu cabang
vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat nutrient
dari dermis melalui membran epidermis. Vaskularisasi dikulit diatur oleh 2
pleksus, yaitu pleksus superfisialis dan pleksus profunda (Branon, 2007;
Amirlak, 2008).

2. Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh
diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi
lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),
sensasi, eskresi dan metabolisme (Branon, 2007).
a. Pelindung atau proteksi
Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringan
tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruh-pengaruh
luar seperti luka dan serangan kuman (Branon, 2007).

13
Lapisan paling luar epidermis diselubungi lapisan tipis lemak yang
menjadikan kulit tahan air. Kulit dapat menahan suhu tubuh, menahan
luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke dalam
tubuh serta menghalau rangsang-rangsang fisik seperti sinar ultraviolet
dari matahari.
b. Penerima rangsang
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang
berhubungan dengan nyeri, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan,
dan getaran. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung
saraf sensasi.
c. Pengatur panas atau thermoregulasi
Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh
kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf
otonom. Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap sekitar 36,5ºC. Ketika
terjadi perubahan suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit
mengadakan penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-masing.
d. Pengeluaran (ekskresi)
Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar
keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan
membawa garam, yodium dan zat kimia lainnya. Air yang dikeluarkan
melalui kulit tidak saja disalurkan melalui keringat tetapi juga melalui
penguapan air transepidermis sebagai pembentukan keringat yang
tidak disadari.
e. Penyimpanan : Kulit menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.
f. Penyerapan terbatas
Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut
dalam lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat pada
krim muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi lapisan kulit
pada tingkatan yang sangat tipis (Branon, 2007; Amirlak, 2008).
Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut dan masuk ke
dalam saluran kelenjar palit, merembes melalui dinding pembuluh

14
darah ke dalam peredaran darah kemudian ke berbagai organ tubuh
lainnya.
g. Penunjang penampilan
Fungsi yang terkait dengan kecantikan yaitu keadaan kulit yang
tampak halus, putih dan bersih akan dapat menunjang penampilan.
Fungsi lain dari kulit yaitu kulit dapat mengekspresikan emosi
seseorang seperti kulit memerah, pucat maupun konstraksi otot
penegak rambut (Branon, 2007; Amirlak, 2008).

B. Luka dan Penyembuhan Luka


1. Luka
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat
proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai
organ tertentu. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul,
perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau animal bite (Sinaga,
2009).
Ada beberapa penggolongan klasifikasi luka. Namun yang umum dipakai
adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan waktu terjadinya
1) Luka Akut
Luka akut merupakan luka yang biasanya segera mendapat
penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak
terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak
dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan.
Sebagai contoh pada luka sayat, luka bakar, luka tusuk dan crush
injury. Luka operasi juga dapat dianggap sebagai luka akut yang
dibuat oleh ahli bedah. Contoh pada luka jahit dan skin grafting
(Sinaga, 2009; Yadi, 2008).

2) Luka Kronik

15
Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering
timbul kembali (recurrent), dimana terjadi gangguan pada proses
penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor
dari penderita. Pada luka kronik terjadi luka yang gagal sembuh
pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi
dan mempunyai kemungkinan untuk timbul kembali. Contoh pada
ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venosus, luka bakar dan lain
sebagainya (Sinaga, 2009; Yadi, 2008).
b. Berdasarkan kedalaman luka
1) Stadium I : Luka Superfisial atau Non-Blanching Erithema : yaitu
luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
2) Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit
pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka
superficial ditambah dengan adanya tanda klinis seperti abrasi,
blister atau lubang yang dangkal.
3) Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit secara
keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan
yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan
yang mendasarinya. Luka yang terjadi mengenai lapisan epidermis,
dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara
klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak
jaringan sekitarnya.
4) Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan yang luas
(Sinaga, 2009; Tawi, 2008).
c. Berdasarkan tingkat kontaminasi
1) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang
mana tidak terjadi proses peradangan dan infeksi pada sistem
pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi (Hidayat,
2007).

16
Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika
diperlukan dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya
infeksi luka sekitar 1% – 5%.
2) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), yaitu luka
pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau
perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu
terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
3) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka,
fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar
dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada
kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen.
Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.
4) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu
terdapatnya mikroorganisme pada luka (Hidayat, 2007).
d. Berdasarkan Mekanisme terjadinya
1) Luka insisi (Incised Wound), terjadi karena teriris oleh instrument yang
tajam. Missal yang terjadi akibat pembedahan.
2) Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan
dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan
bengkak.
3) Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda
lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
4) Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti pisau
yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang kecil.
5) Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh
kaca atau oleh kawat.
6) Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh
biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian
ujung biasanya lukanya akan melebar.
7) Luka bakar (Combustio), yaitu luka akibat terkena suhu panas seperti api,
matahari, listrik, maupun bahan kimia (Hidayat, 2007).
2. Penyembuhan Luka

17
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena
berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesinambungan.
Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia
sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling
terkait pada proses penyembuhan luka. Proses ini berlangsung dinamis
melibatkan mediator cair, sel darah, matriks ekstraseluler, serta sel-sel
parenkim. Proses penyembuhan luka secara umum terdiri atas tiga fase yaitu
inflamasi, pembentukan jaringan atau proliferasi dan maturasi atau remodeling
(Tawi, 2008; Yadi, 2005).
a. Inflamasi
Inflamasi merupakan tahap pertama penyembuhan luka. Fase ini
dimulai sejak terjadinya luka dan berlangsung selama 3 sampai 7 hari. Fase
inflamasi secara klinis ditandai dengan cardinal sign: kemerahan karena
kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan
pembengkakan (tumor) serta function laesa (Anonim, 2008).
Setelah terjadinya luka jaringan pembuluh darah segera mengalami
vasikonstriksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang
bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan
melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth
Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth
Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang
berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel
endotelial dan fibroblas. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan
akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan
mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF
b1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF b1 akan
mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen (Yadi, 2005; Braz, 2007;
Baxter, 2003).

Faktor apapun yang mengganggu proses ini akan memperlambat


penyembuhan luka. Selama fase inflamasi akut, jaringan tidak akan

18
memperoleh kekuatan regangan yang cukup tetapi tergantung pada
pendekatan tepi luka (Braz et al, 2007).

Gambar 4. Fase Inflamasi (Ismail,


2008)

b. Proliferasi
Fase proliferasi penyembuhan luka dimulai kira-kira 2-3 hari setelah
terjadinya luka, ditandai dengan munculnya fibroblast. Proses kegiatan
seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan
luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Tahap proliferasi ini disebut juga
fase fibroplasias karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast.
Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung
jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan
digunakan selama proses rekonstruksi jaringan (Sjamsudidajat, 2005; Tawi,
2008).
Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan
sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang serta
mengeluarkan beberapa substansi seperti kolagen, elastin, asam hyaluronic,
fibronectin dan profeoglycans yang berperan dalam rekonstruksi jaringan
baru (Tawi, 2008).
Kolagen yang merupakan substansi protein adalah konstituen utama
dari jaringan ikat. Pembentukan serat kolagen menentukan kekuatan
regangan dan kelenturan penyembuhan luka. Fungsi kolagen yang lebih
spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (Tawi, 2008; Braz et
al, 2007).

19
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam
jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses
proliferasi fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia.
Respons yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah:
proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks dan kontraksi luka (Tawi,
2008).
Ketika serat kolagen terisi dengan pembuluh darah baru, jaringan
granulasi akan menjadi terang dan merah. Bantalan kapiler tebal yang
mengisi matriks akan memberikan suplai nutrien dan oksigen yang
dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Fase ini terjadi setelah hari ketiga.
Kolagen ini kemudian akan berada diantara luka dan akan memberikan
tekanan normal. Lamanya fase ini bervariasi berdasarkan tipe jaringan yang
terlibat dan tekanan atau tegangan yang diberikan luka selama periode ini
(Sjamsudidajat, 2005; Braz et al, 2007).
Angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh kapiler baru
didalam luka juga mempunyai arti penting pada tahap proliferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit misalnya diabetes,
radiasi atau penggunaan preparat steroid dalam jangka waktuyang lama
mengakibatkan lambatnya proses penyembuhan luka. Jaringan vaskuler
yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk
memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena pada
daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada
fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan
dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag
(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan


keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel
epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya
membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen
oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan
kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis.

20
Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan
merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas
melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol
pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal
(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Kontraksi luka adalah proses yang mendorong tepi luka bersama
untuk penutupan luka. Hal ini akan mengurangi area yang terbuka dan jika
berhasil akan menghasilkan luka yang kecil. Kontraksi luka akan sangat
menguntungkan pada penutupan luka pada area-area seperti glutea dan
trokanter, tetapi akan membahayakan pada area seperti tangan atau sekitar
leher dan wajah dimana hal ini akan menyebabkan kelainan bentuk dan
jaringan parut berlebihan. Luka operasi yang ditutup secara perprimum
memiliki respon kontraksi yang minimal. Graft kulit digunakan untuk
menurunkan kontraksi pada lokasi yang tidak diinginkan (Braz et al, 2007).
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen
telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai
growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Tawi, 2008).

Gambar 5. Fase Proliferasi (Ismail, 2008)


c. Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi
dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini
dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang
lebih 12 bulan. Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya

21
jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu
(Sjamsudidajat, 2005).
Ketika deposisi kolagen selesai, fibroblas sudah mulai meninggalkan
jaringan garunalasi, pembuluh darah pada luka akan berangsur-angsur
menurun dan kemerahan dari jaringan mulai berkurang sehingga
permukaannya akan menjadi lebih pucat dan serat fibrin dari kolagen
bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Jumlah kolagen yang
terbentuk bergantung pada volume awal jaringan granulasi (Braz et al,
2007).
Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu
ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase
proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi atau remodelling. Selain
pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim
kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase
proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih
kuat dan struktur yang lebih baik pada fase remodeling (Tawi, 2008).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan
keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.
Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan
sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan ajringan kulit
mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal
(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Gambar 6. Fase Remodelling


(Ismail, 2008)

22
Gambar 7. penyembuhan luka (Braz et al, 2007)

Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar seperti yang telah
diterangkan tadi, berjalan secara alami. Penyembuhan ini disebut penyembuhan
sekunder. Cara ini biasanya membutuhkan waktu yang lama dan meninggalkan
parut yang kurang baik, terutama jika lukanya terbuka lebar. Dalam
penatalaksanaan bedah terdapat 3 bentuk penyembuhan luka, yaitu
penyembuhan melalui intensi pertama, kedua, atau ketiga (Sinaga, 2009).
a. Penyembuhan melalui Intensi Pertama (Penyatuan Primer). Luka dibuat
secara aseptik, dengan perusakan jaringan minimum, dan penutupan
dengan baik, seperti dengan suture atau proses penjahitan untuk
mentautkan luka, sembuh dengan sedikit reaksi jaringan melalui intensi
pertama. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama, jaringan granulasi
tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.
b. Penyembuhan melalui Instensi Kedua (Granulasi). Pada luka dimana
terjadi pembentukan pus (supurasi) atau dimana tepi luka tidak saling

23
merapat, proses perbaikannya kurang sederhana dan membutuhkan waktu
lebih lama.
c. Penyembuhan melalui Instensi Ketiga (Suture Sekunder). Jika luka dalam
baik yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali
nantinya, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal
ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas (Sinaga,
2009).

Gambar 8. Jenis Penyembuhan Luka (Sinaga, 2009)


Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka
terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor – faktor eksternal
yang mempengaruhi penyembuhan luka antara lain :
a. Lingkungan
Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana pasien akan merasa
mendapatkan perlindungan dan dukungan serta nasihat – nasihat khususnya
untuk merawat kebersihan pasca terjadinya luka atau pembedahan.
b. Tradisi

24
Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca
bedah atau penyembuhan luka masih banyak digunakan, meskipun oleh
kalangan masyarakat modern.
c. Pengetahuan
Pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan pasca bedah atau
perlukaan sangat menentukan lama penyembuhan luka. Apabila
pengetahua tentang masalah kebersihan kurang maka penyembuhan
lukapun akan berlangsung lama.
d. Sosial ekonomi
Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi dengan lama penyembuhan luka
adalah keadaan fisik dan mental pasien dalam melakukan aktifitas sehari-
hari pasca pembedahan. Jika tingkat sosial ekonomi rendah, bisa jadi
penyembuhan luka berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam
merawat diri.
e. Penanganan petugas
Pada terjadinya luka atau pasca pembedahan, pembersihannya harus
dilakukan dengan tepat oleh penangan petugas kesehatan, hal ini
merupakan salah satu penyebab yang dapat menentukan lama
penyembuhan luka.
f. Gizi
Asupan gizi yang cukup dan baik Makanan yang bergizi dan sesuai porsi
akan mempercepat masa penyembuhan luka (Hidyat, 2007; Sinaga, 2009).
Sedangkan faktor – faktor internal yang berpengaruh terhadap proses
penyembuhan luka dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu faktor lokal,
faktor sistemik dan faktor tekhnik (Yadi, 2005).
1. Faktor Lokal
a. Iskemia : kurangnya suplai darah ke jaringan luka dapat berupa tidak
adekuatnya aliran darah ke jaringan luka misalnya akibat ligasi,
peripheral vascular disease, atau hipotensi generalisata, dapat pula
karena sudah ada jaringan nekrotik pada tepi luka sebelumnya,
penutupan luka yang terlalu rapat sehingga merusak kapiler pada tepi

25
luka, atau regangan yang kuat sehingga mengganggu merapatnya
kontraksi luka.
b. Ketegangan luka : Ketegangan dalam penjahitan juga hendaknya
diperhatikan, terlalu tegang dapat menyebabkan iskemia. Jika terlalu
longgar juga dapat menyebabkan terjadinya dead space .
c. Infeksi : adanya dead space menyebabkan terkumpulnya darah dan
cairan serous lainnya menjadi media yang baik untuk bakteri sehingga
terjadi infeksi.
d. Trauma lokal : adanya trauma lokal misalnya benturan dapat
menyebakan kerusakan jaringan pada bekas operasi dan menyebabkan
iskemia lokal atau total.
e. Penyakit kronik jaringan : keadaan seperti limfadenopati kronik,
iskemia kronik, hipertensi dan jaringan parut yang luas dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang buruk.
f. Radiasi : radiasi sebelum atau sesudah operasi dapat menyebaban
buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan
mikroangiopati (Anonim, 2008; Baxter, 2003; Yadi, 2005).
2. Faktor sistemik
Faktor-faktor sistemik seperti usia, diabetes, gagal ginjal, anemia,
hipoksia atau syok hipovolemia, kekurangan nutrisi, keganasan dan
penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan sintesis
kolagen dan terganggunya fungsi imun sehingga menimbulkan gangguan
pada penyembuhan luka (Anonim, 2008).
3. Faktor teknik
Tindakan asepsis sebelum operasi dan pemberian antibiotic
profilaksis dapat berpengaruh pada penyembuhan luka pasca operasi. Selain
itu tekhnik operasi dan perawatan luka juga sangat berpengaruh terhadap
penyembuhan luka operasi (Yadi, 2005).
Sejumlah komplikasi dapat terjadi selama proses penyembuhan luka.
Komplikasi tersebut dapat disebabkan oleh proses yang mendasari, penyakit
yang diderita, kondisi gizi dan kesalahan teknik operasi atau terapi yang tidak
adekuat, antara lain:

26
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala muncul 2 – 7 hari setelah
pembedahan, antara lain adanya sekret purulent, peningkatan drainase,
nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan
peningkatan jumlah sel darah putih (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan adanya suatu pelepasan jahitan,
adanya gangguan faktor pembekuan pada daerah jahitan, infeksi, atau erosi
dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Tanda-tanda
hipovolemia tidak langsung terlihat saat terjadi perdarahan. Jika perdarahan
terjadi terus menerus, penambahan tekanan balutan luka steril , pemberian
cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan (Anonim, 2008;
Ismail, 2008).
3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling
serius. Dehisensi adalah terbukanya lapisan luka partial atau total.
Sedangkan eviscerasi adalah keluarnya isidi bawah jahitan luka melalui
daerah irisan. Biasanya didahului oleh infeksi, selain itu sejumlah faktor
meliputi kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, batuk yang
berlebihan, muntah, dan dehidrasi mempertinggi resiko terjadinya dehisensi
luka. Dehisensi luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum kolagen
meluas di daerah luka (Sjamsudidajat R, 2005).
C. Laparatomi
Laparatomi merupakan suatu prosedur tindakan pembedahan dengan
melibatkan suatu insisi pada dinding abdomen. Kata Laparatomi terbentuk dari
dua kata Yunani, “lapara” dan “tome”. Kata “lapara” berarti bagian lunak dari
tubuh yg terletak di antara tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan “tome” berarti
pemotongan (Sjamsudidajat, 2005). Laparatomi dilakukan dengan berbagai
macam sayatan, yaitu :
1. Midline incision

27
Metode ini merupakan insisi yang paling sering digunakan, karena
sedikit perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup,
serta tidak memotong ligamen dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis
insisi ini adalah terjadinya hernia sikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi
gaster, pankreas, hepar, dan lien serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi
ginekologis, rektosigmoid, dan organ dalam pelvis (Anita, 2009; Anonim,
2009).
2. Paramedian incision
Insisi paramedian yaitu insisi abdomen dengan sedikit ke tepi dari
garis tengah (± 2,5 cm), dengan panjang insisi ± 12,5 cm. Terbagi atas 2
yaitu paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi
lambung, eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah,
serta plenoktomi. Insisi paramedian memiliki keuntungan antara lain :
merupakan bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen
dan saraf, dan insisi mudah diperluas ke arah atas dan bawah (Anita, 2009;
Anonim, 2009).
3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas,
misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di
bagian bawah ±4cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi
appendectomy (Anonim, 2009).

Bedah laparatomi dilakuakan atas berbagai indikasi, terutama indikasi


dalam bidang digestif dan kandungan, antara lain : Trauma abdomen baik
tumpul maupun tajam, peritonitis, appendicitis, perdarahan saluran cerna,
obstruksi usus, kehamilan ektopik, mioma uteri, adhesi atau perlengketan
jaringan abdomen, pancreatitis dan sebagainya (Kate, 2009; Wain,2009).
Laparotomi terdiri dari beberapa jenis, diantaranya: adrenalektomi,
appendiktomi, gastrektomi, histerektomi, kolektomi, nefrektomi,
pankreatektomi, prostatektomi, seksio sesarea, sistektomi, salpingo oofarektomi
dan vagotomi. (Wain, 2009)

28
Seperti halnya jenis pembedahan yang lain, laparatomi juga dapat
menimbulkan beberapa komplikasi pasca pembedahan, antara lain :
1. Syok
Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang
disertai dengan ketidakmampuan tubuh untuk mengekspresikan produk
metabolisme. Manifestasi klinisnya antara lain : anemis, akral dingin,
takipnea, sianosis pada bibir, gusi dan lidah, takikardi dengan penurunan
tekanan nadi serta tekanan darah rendah dan urine pekat (Anita, 2009).
2. Hemorhagi
Hemoragi post laparotomi bisa terjadi primer, intermidiet maupun
sekunder. Hemoragi primer terjadi pada waktu pembedahan, hemoragi
intermediet terjadi beberapa jam setelah pembedahan, sedangkan hemoragi
sekunder terjadi beberapa waktu setelah pembedahan karena pembuluh
darah tidak terikat dengan baik atau menjadi terinfeksi atau mengalami erosi
oleh selang drainase.
3. Tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah
operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari
dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-
paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post
operasi dan ambulatif dini (Kate, 2009).

4. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah Staphylokokus
aureus yang merupakan organisme gram positif. Bakteri ini mengakibatkan
pernanahan atau abses (Kate, 2009).
5. Dehisensi luka dan Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya kembali tepi-tepi luka,
sedangkan eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam tubuh melalui
insisi yang terbuka kembali. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi

29
adalah infeksi luka, kesalahan menutup luka saat pembedahan, dan
peningkatan tekanan intraabdominal akibat dari batuk atau muntah
(Anonim, 2009; Kate, 2009).

D. Dehisensi Luka

1. Definisi
Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi dari proses
penyembuhan luka yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya
kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat
kegagalan proses penyembuhan luka operasi (Baxter, 2003; Spiolitis, 2009)
2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi
menjadi dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi
yang biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut
yang tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai
12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan
usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Anonim, 2008;
Sjamsudidajat R,2005).

3. Manifestasi Klinik
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya
penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang
bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari
luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang
terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri,
edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus
atau nanah yang keluar dari luka operasi (Anonim, 2008; Sjamsudidajat
R,2005).
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara
klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita

30
datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar luka
operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat,
pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).

4. Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme
kerjanya dibedakan atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan
semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi.
Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus
obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang.
b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia,
gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat
mempengaruhi proses penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi
Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi
akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis
biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala suhu
badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka.
Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System, luka
operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi,
terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai
dengan peningkatan temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu 48
jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika
infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh streptococcus
B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai
peningkatan temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan
oleh Stafilococcus aureus. (Webster et al, 2003; Afzal,2008; Spioloitis
et al, 2009).

5. Faktor Resiko

31
Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor
preoperasi yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik
penderita, faktor operasi yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik
penjahitan, serta faktor pascaoperasi (Webster et al, 2003).
Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih rentan
dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi, obesitas,
diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi dan
kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit paru obstruktif serta pemakaian
preparat kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009;
Makela, 2005; Singh, 2009).
Faktor risiko operasi antara lain :
a. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka daripada
transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik, sehingga
arah kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan arah insisi
sehingga akan mereganggkan jahitan operasi.
b. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis
juga berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi
memiliki keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan
jaringan, namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya
(Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).
c. Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman
daripada tekhnik penjaitan kontinyu.
d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi
suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh
tubuh sering kali tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).

Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan


terjadinya dehisensi luka antara lain:
a. Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus
dan retensio urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan
otot-otot dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot

32
dinding abdomen iniah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan
jahitan bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya
benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga
abdomen.
b. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal
Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan
terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya
dehisensi luka operasi.
c. Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak
adekuat terutama protein salah satunya akan menyebabkan
hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa kolagen yang
merupakan bahan dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan
mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan
proses awal penyembuhan luka.
e. Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi
dapat menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena
terjadinya fibrosis dan mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi
penatalaksanaan non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif
tergantung atas keadaan umum penderita.
1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan
penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa
steril atau pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal
dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat
untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula

33
antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka (Singh,
2008; Ismail, 2008).
2. Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita
dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka
yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang
terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota bag
repair (Sukumar, 2004).
Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan
hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil,
dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena kesalahan tekhnik
penjahitan (Sukumar, 2004).
Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan
debridemen terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.
Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik
seperti laboratorium lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan ulang
dilakukan pula tindakan debridement pada luka (Spiloitis et al, 2009;
Sjamsudidajat, 2005).
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi
luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu
mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi
dilakukan dalam 48 ± 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di
tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan
lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan sekaligus.
Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan omentum
dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan secara
dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi satu lapis.
Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan berlebihan
pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan penggunaan
drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis akibat luka,
buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka operasi

34
secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Anonim, 2008;
Ismail, 2008; Spiloitis, 2009).
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik terputus
sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik
pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan karet atau
tabung plastic lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi
pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat. Jahitan penguat luar diangkat
setidaknya setelah 3 minggu (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup
dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa
dilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan
sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang
berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat
diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi
yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh
repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric fistulation
(Sukumar, 2004).

Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan


sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu
ditutup dengan vacuum bag dengan sambungan semacam suction di bagian
bawahnya. Tekhnik lain yang digunakan adalah Bogota bag. Tekhnik ini
dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi. Bogota bag
adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril yang merupakan kantong
irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang digunakan untuk
menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastik ini dijahit ke kulit atau
fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar, 2004).

35
III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskripsi retrospektif. Data
diperoleh dari data sekunder (catatan medik di RSMS).
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data dilakukan pada bulan November - Desember 2011 di
bagian Rekam Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Puwokerto.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi pada penelitian adalah semua pasien dengan diagnosis wound
dehiscence pasca laparotomi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto selama periode 1 Januari 2008 sampai dengan 31 November
2011.

36
2. Sampel pada penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosis
wound dehiscence pasca laparotomi di RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto selama periode 1 Januari 2008 sampai dengan 31
November 2011 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria Inklusi:
Pasien dengan diagnosis wound dehiscence pasca laparotomi di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama periode 1 Januari
2008 sampai 31 November 2011.
Kriteria Eksklusi :
Pasien dengan diagnosis wound dehiscence pasca laparotomi dengan
data penunjang untuk penelitian yang tidak lengkap
3. Teknik Sampling
Sampel diambil menggunakan metode Total Sampling.
4. Jumlah Sampel
. Total pasien dengan diagnosis wound dehiscence pasca laparotomi
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama periode 1 Januari
2008 sampai 31 November 2011 adalah sebanyak 38 pasien, 4 pasien tidak
memebuhi kriteria eksklusi sehingga total sampel pada penelitian ini adalah
sebanyak 34 sampel.
D. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian menggunakan rancangan penelitian Deskripsi
retrospektif Penelitian Deskriptif retrospektif dengan mengeksplorasi data
sekunder dari data pasien wound dehiscence pasca laparotomi di bagian bedah
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama periode 1 Januari 2008
sampai dengan 31 November 2011.
E. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul akan diolah dengan menggunakan sistem
komputerisasi Software Statistical Programme for Social Science (SPSS) for
Windows versi 16.0. SPSS merupakan paket program statistik untuk mengolah
dan menganalisis data.
F. Tata Urutan Kerja

37
Penelusuran data dilakukan dengan mengambil data sekunder dari data
rekam medis pasien wound dehiscence pasca laparotomi di bagian bedah RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama periode 1 Januari 2008 sampai
dengan 31 November 2011. Data dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan
beberapa faktor antara lain; jumlah kasus per tahun, usia, jenis kelamin, output
pasien, distribusi pasien dan penatalaksanaan kasus. Data yang didapat
kemudian ditabulasi, disajikan dan dilaporkan dalam bentuk persentase.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
1. Gambaran Umum Responden
Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan gambaran umum responden
sebagai berikut :
Tabel 4.1 Karakteristik responden berdasarkan usia
usia dalam tahun
<=20 21-40 41-60 >60 Total
tahun 2008 2 1 2 3 8
2009 6 2 4 0 12
2010 2 2 2 2 8
2011 2 2 2 0 6
Total 12 7 10 5 34

38
Tabel 4.1 menunjukan bahwa sebagian responden berusia kurang
dari 20 tahun yaitu sebanyak 12 orang, berusia antara 21-40 tahun sebanyak
7 orang, berusia antara 41-60 sebanyak 10 orang, sedangkan yang berusia
lebih dari 60 tahun sebanyak 5 orang.

Tabel 4.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin


jenis kelamin Total
Laki-laki Perempuan
tahun 2008 4 4 8
2009 9 3 12
2010 6 2 8
2011 4 2 6
Total 23 11 34

Tabel 4.2 menunjukan bahwa sebagian responden berjenis kelamin


laki-laki yaitu sebanyak 23 orang sedangkan yang berjenis kelamin
perempuan sebanyak 11 orang.

Tabel 4.3 Karakteristik responden berdasarkan kelas perawatan


kelas dirawat
kelas 1 kelas 2 kelas 3 vip Total
tahun 2008 5 1 2 0 8
2009 4 3 3 2 12
2010 2 0 6 0 8
2011 1 0 5 0 6
Total 12 4 16 2 34

Tabel 4.3 menunjukan bahwa sebagian responden dirawat dikelas 3


sebanyak 16 orang, kelas 2 sebanyak 4 orang, kelas 1 sebanyak 12 orang
dan kelas VIP sebanyak 2 orang.

Tabel 4.4 Karakteristik responden berdasarkan jenis operasi laparotomi


Jenis operasi
laparotomi
cito elektif Total
tahun 2008 4 4 8
2009 7 5 12
2010 5 3 8

39
2011 5 1 6
Total 21 13 34

Tabel 4.4 menunjukan bahwa sebagian responden menjalani operasi


cito atau emergensi yaitu sebanyak 21 orang sedangkan yang menjalani
operasi elektif sebanyak 13 orang.

3. Analisis Deskriptif
Tabel 4.5 Penatalaksanaan Dehisensi

penatalaksanaan
konservatif konservatif
rawat jalan rawat inap operatif Total
tahun 2008 3 3 2 8
2009 2 5 5 12
2010 1 4 3 8
2011 3 3 0 6
Total 9 15 10 34
Tabel 4.5 menunjukan bahwa sebagian responden dilakukan
penatalaksanaan konservatif rawat jalan sebanyak 9 orang, konservatif rawat

40
inap sebanyak 15 orang, dan penatalaksanaan operatif sebanyak 10 orang.

3
penatalaksanaan

konservatif raw at ja
2
lan

konservatif raw at in
1
ap
Count

0 operatif
2008 2009 2010 2011

tahun

2. Pembahasan
Jumlah kasus pasien yang menderita wound dehisensi post operasi
laparotomi di RS Margono Soekarjo periode 1 Januari 2008 - 31 November
2011 sebanyak 39 kasus dengan jumlah sampel yang diambil untuk penelitian
sebanyak 34.

41
Jumlah pasien dehisensi post laparotomi yang berjenis kelamin laki-laki
lebih banyak dari perempuan. Pasien yang berjenis kelamin laki-laki
mempunyai persentase 67% dan perempuan 33%. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Yadi di semarang pada tahun 2005 yang
menyebutkan bahwa faktor resiko terjadinya dehisensi yaitu lebih banyak
terjadi pada jenis kelamin laki-laki (Yadi, 2005).
Sedangkan untuk kelompok usia didominasi oleh kelompok usia kurang
dari 20 tahun yaitu sebesar 42%. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh webster et al afzal et al, dan spiloitis et al yang menerangkan
bahwa faktor resiko dehisensi yaitu usia lanjut dengan pertimbangan bahwa
sistem imun padi usia lanjut sudah mengalami penurunan dan tidak maksimal
seperti pada usia produktif sehingga lebih mudah terkena infeksi dan terjadi
dehisensi (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Webster, 2003).
Dilihat dari kelas mana pasien dirawat dapat dilihat secara kasar
bagaimana kondisi ekonomi pasien. Dari gambaran umum pasien dehisensi post
laparotomi didapatkan pasien yang dirawat di kelas 3 lebih banyak dari yang
lain yaitu sebesar 47%. Dapat digambarkan bahwa kelompok dengan tingkat
sosial ekonomi rendah lebih rentan terkena dehisensi post laparotomi dengan
pertimbangan asupan nutrisi yang tidak adekuat dan pengetahuan tentang
perwatan luka yang kurang baik (Afzal, 2008).
Untuk jenis operasi laparotomi yang dilakukan didapatkan lebih banyak
responden dengan jenis operasi cito atau emergensi yang menglami dehisensi
dibandingkan dengan responden yang menjalani operasi elektif. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh webster et al afzal et al, dan spiloitis et
al, Makela et al yang menyebutkan salah satu faktor resiko terjadinya dehisensi
paska operasi laparotomi adalah tindakan emergensi (Afzal, 2008; Spiloitis et
al, 2009; Webster, 2003; Makela et al , 2005).
Penatalaksanaan dehisensi post laparotomi RSMS terbanyak adalah
tindakan konservatif sebanyak 70% dengan pembagian 26% konservatid rawat
jalan dan 44% konservatif rawat inap. Penatalaksanaan konservatif yang
dilakukan antara lain dengan perawatan luka secara berkesinambungan,
pemberian antibiotik dan nutrisi yang adekuat serta mobilisasi. Sedangkan

42
untuk tindakan operatif sebanyak 30% yang dilakukan adalah rehecting dan
wound repair atau penjahitan ulan dan debridemen (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Webster, 2003; Yadi, 2005).
.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

43
1. Jumlah pasien Dehisensi post laparotomi di RSUD Margono Soekardjo
periode 1 Januari 2008 sampai 31 November 2011 adalah sebanyak 38
pasien.
2. Distribusi sampel penelitian terbanyak berada pada jenis kelamin laki-laki
sebanyak 67%, dan pada kelompok usia kurang dari 20 tahun sebanyak
42%.
3. Penatalaksanaan dehisensi post laparotomi di RSUD Margono Soekardjo
periode 1 Januari 2008 sampai 31 November 2011 didominasi oleh
penatalaksanaan konservatif sebanyak 70%. Sedangkan terapi operatif
sebanyak 30%.

B. Saran
1. Kelangkapan catatan medis mengenai diagnosis pasien dan penatalaksanaan
yang dilakukan perlu diperhatikan untuk memudahkan dilakukannya
penelitian.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai Dehisensi post laparotomi
untuk melihat lebih jauh factor-faktor resiko pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

44
Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal
Surgery in Public Sector Hospital. Department of Community Medicine,
King Edward Medical University Lahore . Annals 14:3

Amirlak, Bardia. 2008. Skin Anatomy. diakses Desember 2011 dari: http://
emedicine. medscape. com/ article/ 1294744-overviewAnita, Cecilia. 2009.
Asuhan Keperawatan Laparotomy. FK UNAND: Padang

Anonim. 2008. Penyembuhan Luka dan Dehisensi. Diakses Desember 2011 dari:
http://www.scribd.com/doc/56192741/DEHISENSI2

Anonim. 2009. Laparotomi. Diakses Desember 2011 dari:


http://www.scribd.com/doc/74673683/LP-Laparatomi

Barnard, B. 2003. Prevention of surgical site infection. Infection Control Today


Magazine, Virgo Publishing ; 1-6. http://www.infectioncontroltoday.com

Baxter, H. 2003. Management of surgical wound. Nur Time 99(13) ;1-9

Brannon, Heather. 2007. Skin Anatomy. Diakses Desember 2011 dari: http://
dermatoloy. about.com/cs/skinanatomy/a/anatomy.html

Braz FSV, Loss AB, Japiassi AM. 2007. Wound healing and sacrring sutures. The
Federal University of Rio de Janeiro. 1-5. Diakses Desember 2011 dari :
http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur.htm

Hidayat, Nucki. 2007. Pencegahan Infeksi Luka Operasi. FK-UNPAD:


Bandung. Diakses Desember 2011 dari :
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/04/pencegahan_infeksi_luka_operasi.pd
f

Ismail. 2008. Luka dan Perawatannya. Diakses Desember 2011 dari :


http://umy.ac.id/topik/files/2011/12/Merawat-luka.pdf

Kate, Vikram. 2011. Exploratory Laparotomy. Diakses Desember 2011 dari:


http://emedicine.medscape.com/article/1829835-overview

Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al. 2005. Factors influencing wound


dehiscence after midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4):
387-390

Sinaga, Yusuf. 2009. Wound Healing. Diakses Desember 2011 dari :


http://ocw.usu.ac.id/course/download/128-KEBUTUHAN-DASAR-
MANUSIA/kdm_slide_kebutuhan_dasar_manusia_konsep_luka.pdf

45
Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired
bladder rupture in a 5 yr old girl – a case study. Resident Medical Officer,
Max Heart and Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal
1:363

Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a


problem in the 21th century: a retrospective study. World Journal of
Emergency Surgery 4:12

Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al. Bogota Bag in the Treatment of


Abdominal Wound Dehiscence. Medical Journal Malaysia. 59:2

Tawi, Mizral. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Diakses Desember 2011 dari :
http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/proses-penyembuhan-luka/

Wain, Yohana. 2009. Asuhan Keperawatan Laparotomi atas indikasi Kista Ovari.
Akademi Keperawatan UPN: Jakarta

Webster C, Neumayer L, Smout R, et al. 2003. Prognostic models of abdominal


wound dehiscence after laparotomy. Journal of Surgical Research. 109 (2):
130-137

Yadi, Muhammad. 2005. Tesis : Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar. FK


UNDIP : Semarang

46

Anda mungkin juga menyukai