Anda di halaman 1dari 19

TUGAS KEPERAWATAN GERONTIK

“ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM REPRODUKSI PADA LANSIA”

Disusun Oleh:

1. Diana Dyah Palupi P 27220011 119

2. Mentari Ayu Saputri P 27220011 135

3. Prasetyo Agung N P 27220011 1

4. Rini Nur Palita P 27220011 1

D.III BERLANJUT D.IV KEPERAWATAN

POLTEKKES SURAKARTA

2013

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penampilan penyakit pada lanjut usia (lansia) sering berbeda dengan pada
dewasa muda, karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan
yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan tehadap
jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Dewasa lanjut (Late adult hood) atau lebih dikenal dengan istilah lansia adalah
periode dimana seseorang telah mencapai usia diatas 45 tahun. Pada periode ini masalah
seksual masih mendatangkan pandangan bias terutama pada wanita yang menikah,
termasuk didalamnya aspek sosio-ekonomi. Pada pria lansia masalah terbesar adalah
masalah psikis dan jasmani, sedangkan pada wanita lansia lebih didominasi oleh
perasaan usia tua atau merasa tua.
Masalah reproduksi, jelas sangat berpengaruh pada usia lanjut baik pada pria
maupun wanita. Gangguan reproduksi yang terjadi pada lansia sangat beragam, salah
satunya yang akan dibahas dalam makalah ini adalah gangguan system reproduksi pada
lansia pria.
B. Rumusan Masalah

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Prostat merupakan organ penting sistem reproduksi pada pada laki-laki. Posisi
prostat terletak pada bagian perut bawah, yaitu di bawah kandung kemih dan
mengelilingi saluran kemih. Prostat berfungsi untuk memproduksi enzim air mani dan
melarutkan sperma yang dihasilkan oleh testis yang terletak di dalam kantung zakar agar
sperma tetap sehat.
Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hyperthropy; BPH) merupakan kondisi
yang belum diketahui penyebabnya, ditandai oleh meningktnya ukuran zona dalam
(kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat (Pierce, 2006).
Menurut Doengoes, 2000 benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran progresif
pada kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih dari 50 tahun) yang menyebabkan
berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius.
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars
prostatika ( Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994).
Jadi dapat disimpulkan bahwa benign prostat hipertrofi adalah pembesaran pada
kelenjar prostat, ditandai dengan meningkatnya ukuran kelenjar periuretra yang
disebabkan karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat yang biasanya
terjadi pada pria berusia lebih dari 50 tahun.

B. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon
enstrogen (Mansjoer, 2000). Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti
penyebab terjadinya hiperflasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperflasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotesteron
(DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia
lanjut.
2. Peranan dari growth factor sebagai pemicu pertumbuhan stoma kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi kelenjar
prostat menjadi berlebihan.
Penyebab BPH tidak diketahui, tapi tampaknya terdapat kaitan dengan
perubahan derajat hormon yang dialami dalam proses lansia (Barbara C Long, 1999: 32).

C. Manifestasi Klinis
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah.
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract
Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi) terbangun untuk miksi pada
malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan
nyeri pada saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak, rasa tidak tuntas sehabis
miksi, kalau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining)
anyang-anyangen (intermittency) dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya
menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah
bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas.
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas,
berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang
merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal
dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan
neuropati perifer.
3. Gejala di luar saluran kemih.
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis
dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat
miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo,
2000 dan Mansjoer, 2000).
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah, beberapa ahli/organisasi urologi membuat sistem skoring yang secara
subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh klien. Sistem skoring yang dianjurkan
oleh WHO adalah skor Internasional gejala prostat atau Internaional Prostatic
Symptom Score ( I-PSS ). Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS
dalam 3 derajat, yaitu:
a. Ringan : skor 0-7
b. Sedang : skor 8-19
c. Berat : skor 20-35
Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi 4 gradasi berdasarkan
penemuan pada colok dubur dan sisa volume urine, seperti bagan dibawah :
Derajat Colok dubur Sisa vol. Urine

I Penonjolan prostat, batas atas < 50 ml


mudah diraba
II Penonjolan prostat jelas, batas atas 50-100ml
dapat dicapai
III Batas atas prostat tidak bisa > 100 ml
diraba
IV Retensi urine total

Gejala dan tanda pada klien yang lebih lanjut penyakitnya, misalnya
gagal ginjal, dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, denyut nadi,
respirasi, foetor uremik, peri karditis, ujung kaki yang pucat, tanda-tanda
penurunan mental serta neuropati perifer. Bila sudah terjadi hidronefrosis atau
pionefrosis, ginjal teraba dan ada nyeri di CVA ( Costa Vertebrae Angularis ).

D. Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan
bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi
reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi
faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi
pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi
hiperplasia kelenjar prostat (Mansjoer, 2000).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi
penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-
buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi
resistensi pada buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan
meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urine (Mansjoer, 2000).

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi buli-buli: ada/ tidaknya penonjolan perut di daerah supra pubik (buli-
buli penuh / kosong ).
b. Palpasi buli-buli: Tekanan didaerah supra pubik menimbulkan rangsangan ingin
kencing bila buli-buli berisi atau penuh.Terasa massa yang kontraktil dan
“Ballottement”.
c. Perkusi: Buli-buli yang penuh berisi urin memberi suara redup.
2. Colok dubur.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus,
mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada
perabaan melalui colok dubur harus di perhatikan konsistensi prostat (pada
pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal), adakah asimetris adakah nodul pada
prostat , apa batas atas dapat diraba. Dengan colok dubur besarnya prostat dibedakan :
a. Grade 1 : Perkiraan beratnya sampai dengan 20 gram.
b. Grade 2 : Perkiraan beratnya antara 20-40 gram.
c. Grade 3 : Perkiraan beratnya lebih dari 40 gram.
3. Laboratorium
a. Darah lengkap sebagai data dasar keadaan umum penderita.
b. Gula darah dimak sudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetus
militus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
nerogen).
c. Faal ginjal (BUN, kreatinin serum) diperiksa untuk mengetahui kemungkinan
adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas.
d. Analisis urine diperiksa untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi
atau inflamasi pada saluran kemih.
e. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang
menyebadkan infeksi dan sekligus menentukan sensitifitas kuman terhadap
beberapa anti mikroba yang diujikan.
4. Flowmetri
Flowmetri adalah alat kusus untuk mengukur pancaran urin dengan satuan
ml/detik. Penderita dengan sindroma protalisme perlu di periksa dengan flowmetri
sebelum dan sesudah terapi.
Penilaian:
Fmak <10ml/detik ------- obstruktif
Fmak 10-15ml/detik ------- borderline
Fmak >15ml/detik ------- nonobstruktif
5. Radiologi
a. Foto polos abdomen, dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran
ginjal atau buli-buli, adanya batu atau kalkulosa prostat dan kadang kadang dapat
menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda
dari suatu retensi urine.
b. Pielografi intra vena, dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis,
dan hidroureter, fish hook appearance ( gambaran ureter berkelok kelok di
vesikula ) inclentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urine atau filling defect
divesikula.
c. Ultrasonografi (USG), dapat dilakukan secara transabdominal atau trasrektal
(trasrektal ultrasonografi = TRUS) Selain untuk mengetahui pembesaran prostat <
pemeriksaan USG dapatpula menentukan volume buli-buli, meng ukur sisa urine
dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu .Dengan TRUS dapat
diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar
prostat dapat pula dilakukan dengan USG suprapubik.
d. Cystoscopy (sistoskopi) pemeriksaan dengan alat yang disebut dengan cystoscop.
Pemeriksaan ini untuk memberi gambaran kemungkinan tumor dalam kandung
kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau
batu radiolusen didalam vesika. Selain itu dapat juga memberi keterangan
mengenahi besarprostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan
melihat penonjalan prostat kedalam uretra.
6. Kateterisasi
Mengukur “rest urine “ Yaitu mengukur jumlah sisa urine setelah miksi
sepontan dengan cara kateterisasi. Sisa urine lebih dari 100 cc biasanya dianggap
sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hiper tropi prostat.

F. Penatalaksanaan
1. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien
2. Terapi Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat
tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi
(misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan
golongan supresor androgen.
3. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b. Klien dengan residual urin  100 ml.
c. Klien dengan penyulit.
d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1) Prostatektomi Supra pubis
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu
suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat
dari atas.
a) Prostatektomi Perineal
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini
lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi
terbuka. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat
mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan
pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.
b) Prostatektomi retropubik.
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Keuntungannya adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan
spingter kandung kemih lebih sedikit.
2) Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat
untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral.
Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang )
dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di
klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara
lainnya.
3) TURP (TransUretral Reseksi Prostat)
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan
tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong
dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan
pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih
dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai
efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat
yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi.
Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama
prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan
reepitelisasi uretra pars prostatika (Anonim,FK UI, 1995).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang
dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari
kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam
bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai
cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus
sudah dapat berkemih dengan lancar.
4. Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi
Ultrasonik.

G. Asuhan Keperawatan BPH


1. Pengkajian
2. Diagnosa
a. Pre Operasi :
1) Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih
unmtuk berkontraksi secara adekuat.
2) Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi
kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
3) Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi
diuresis..
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
prosedur bedah
5) Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi
b. Post Operasi :
1) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih
dan insisi sekunder pada TUR-P
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
3) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan
tindakan pembedahan
4) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan
ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
5) Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan
dengan kurang informasi
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai
efek pembedahan
3. Perencanaan
1. Sebelum Operasi

a. Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran


prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk
berkontraksi secara adekuat.
1) Tujuan : tidak terjadi obstruksi

3) Kriteria hasil :
Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih

4) Rencana tindakan dan rasional


1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba
dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih

2. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran


urina
R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi

3. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih


R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal

4. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.


R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan
ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri

5. Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)


R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan

b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi


kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
1). Tujuan
Nyeri hilang / terkontrol.
2). Kriteria hasil
Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan ketrampilan
relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu.
Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat.

3). Rencana tindakan dan rasional


a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 - 10 ).
R / Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase urin
sekitar kateter menunjukkan spasme buli-buli, yang cenderung lebih
berat pada pendekatan TURP ( biasanya menurun dalam 48 jam ).

b) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase.


Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.
R/ Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan
resiko distensi / spasme buli - buli.

c). Pertahankan tirah baring bila diindikasikan


R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.

d) Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan posisi,


pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik.

R / Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian dan dapat


meningkatkan kemampuan koping.

f) Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila


diindikasikan.
R/ Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema serta
meningkatkan penyembuhan ( pendekatan perineal ).

f) Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik

R / Menghilangkan spasme

c. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.

1).Tujuan
Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
2).Kriteria hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil,
nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan
keluaran urin tepat.

3).Rencana tindakan dan rasional


a). Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl
cukupan jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.

b). Pantau masukan dan haluaran cairan.


R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.

c). Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan,


penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
d). Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi

R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.


g). Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi,
contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosi

R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian. Serta


dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya penurunan faktor
pembekuan darah,

b. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi


prosedur bedah.
1). Tujuan
Pasien tampak rileks.

2). Kriteria hasil


Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang yang
yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.

3). Rencana tindakan dan rasional


a). Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu

b). Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan


dilakukan.
R / Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.

c). Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau
perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah

c. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan kurangnya informasi
1). Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
2). Kriteria hasil
Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu, berpartisipasi dalam
program pengobatan.

3). Rencana tindakan dan rasional


a). Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.
R / Membantu pasien dalam mengalami perasaan.

b) Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien

R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan


informasi terapi.

II. Sesudah operasi

1. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
- Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
- Ekspresi wajah klien tenang.
- Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
- Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
1. Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung
kemih.
R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam,
untuk mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih.
R/ Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan bisa diberikan
3. Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan
berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4. Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar
kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
5. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang
lama sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas
dalam, visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
7. Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk
mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat
bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi
kandung kemih dengan peningkatan spasme.
8. Observasi tanda – tanda vital
R/ Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan
(analgesik atau anti spasmodik )
R / Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih.

2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan,
kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
- Klien tidak mengalami infeksi.
- Dapat mencapai waktu penyembuhan.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock.
Rencana tindakan:
1. Pertahankan sistem kateter steril,
berikan perawatan kateter dengan steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
2. Anjurkan intake cairan yang cukup
( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.
R/ . Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal.
3. Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung
kemih.
4. Observasi tanda – tanda vital, laporkan
tanda – tanda shock dan demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
5. Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
6. Kolaborasi dengan dokter untuk
memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan .
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
- Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
- Tanda – tanda vital dalam batas normal .
- Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi
perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda – tanda perdarahan
2. Irigasi aliran kateter jika terdeteksi
gumpalan dalm saluran kateter
R/ Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan
perdarahan kandung kemih
3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan
memberi obat untuk memudahkan defekasi .
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan
mengendapkan perdarahan .
4. Mencegah pemakaian termometer rektal,
pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas .
R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa
prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah
pembedahan .
6. Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan warna
urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah
kerusakan jaringan yang permanen .
4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat
dari TUR-P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
- Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
- Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
- Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
- Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
1 . Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P
terhadap seksual .
R/ Untuk mengetahui masalah klien .
2 . Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula dan
kejadian ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi
seksual
3 . Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
R/ Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
4 . Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan
kunjungan lanjutan .
R / Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan memberikan akses kepada penjelasan
yang spesifik.

5. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi


Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan
.

Kriteria hasil:
- Klien akan melakukan perubahan perilaku.
- Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
-Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat
lanjutan .
Rencana tindakan:
1. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan .
2. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan
memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
R/ Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi
kebutuhan mengedan pada waktu BAB
3. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/ Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .
4. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
R/. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
R/ Untuk membantu proses penyembuhan .

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan


Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
- Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
- Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
- Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan
kemungkinan cara untuk menghindari.
R/ meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan
perawatan .
2. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan
mengurangi kebisingan .
R/ Suasana tenang akan mendukung istirahat
3. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab
gangguan tidur.
R/ Menentukan rencana mengatasi gangguan
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat
mengurangi nyeri ( analgesik ).
R/ Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas
Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.

Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

Perubahan pada Sistem Reproduksi


2.10.1. Pria
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi pria akibat proses menua:
2.10.1.1. Testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur.
2.10.1.2. Atrofi asini prostat otot dengan area fokus hiperplasia. Hiperplasia noduler benigna
terdapat pada 75% pria >90 tahun.6
2.10.2. Wanita
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi wanita akibat proses
menua:
2.10.2.1. Penurunan estrogen yang bersikulasi. Implikasi dari hal ini adalah atrofi jaringan
payudara dan genital.

Peningkatan androgen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini adalah penurunan massa tulang
dengan risiko osteoporosis dan fraktur, peningkatan kecepatan aterosklerosis. 1

1. Stanley, Mickey, and Patricia Gauntlett


Beare.2006.Buku Ajar Keperawatan
Gerontik, ed 2.Jakarta:EGC

2. Dwi Lestari Muliyani.2009.Penuaan Pada


Sistem Neurologis.
http://stikeskabmalang.wordpress.com/200
9/10/01/erfanfandyyahoo-com/. Diakses
pada tanggal 15 Oktober 2010

Anda mungkin juga menyukai