Anda di halaman 1dari 92

Referat

FRAKTUR EKSTREMITAS INFERIOR

Oleh:

Arif Rizki Taradita 1310311036


Denisa Alfadilah 1210312026
Ririn Cania Melissa 1210313049

Preseptor:

dr. Lila Indrati Sp. Rad

BAGIAN KEDOKTERAN RADIOLOGI


RSUP DR. M. DJAMIL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga referat yang berjudul “Fraktur
Ekstremitas Inferior” ini bisa kami selesaikan dengan baik.
Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis
mengenai gambaran radiologis pada fraktur ekstremitas inferior, serta menjadi
salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian Radiologi
RSUP Dr. M.Djamil Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak
membantu dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada dr. Lila Indrati,
Sp.Rad sebagai preseptor yang telah bersedia meluangkan waktunya dan
memberikan saran, perbaikan, dan bimbingan kepada kami. Kami ucapkan juga
terima kasih kepada rekan-rekan sesama dokter muda dan semua pihak yang telah
banyak membantu dalam penyusunan referat ini yang tidak bisa kami sebutkan
satu-persatu disini.
Dengan demikian, kami berharap semoga referat ini bisa menambah,
wawasan, pengetahuan, dan meningkatkan pemahaman semua pihak tentang
Fraktur Ekstremitas Inferior.

Padang,Februari 2018

Penulis

i
Daftar Isi
Halaman
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Gambar iv
Daftar Tabel viI

BAB 1. Pendauluan
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Manfaat Penulisan 3
BAB 2. Tinjauan Pustaka
2.1 Fraktur Pelvis
2.1.1 Anatomi Pelvis 4
2.1.2 Klasifikasi Fraktur Pelvis 4
2.2 Fraktur Femur
2.2.1 Anatomi Femur 17
2.2.2 Klasifikasi Fraktur Femur
2.2.2.1 Fraktur Proksimal Femur 19
2.2.2.2 Fraktur Shaft Femur 34
2.2.2.3 Fraktur Distal Femur 36
2.3 Fraktur Patela
2.3.1 Anatomi Patela 41
2.3.2 Mekanisme Cedera Fraktur Patela 43
2.3.3 Klasifikasi Fraktur Patela 43
2.3.4 Tatalaksana Fraktur Patela 47
2.4 Fraktur Tibial Plateu
2.4.1 Anatomi 47
2.4.2 Mekanisme Cedera 51
2.4.3 Klasifikasi Fraktur Tibial Plateu 51
2.5 Fraktur Shaft Tibia 57
2.5.1 Mekanisme Cedera 57
2.5.2 Klasifikasi 57
2.6 Fraktur Ankle
2.6.1 Klasifikasi 60
2.6.2 Manifestasi Klinis 61
2.6.3 Gambaran Radiologi 61
2.6.4 Jenis Fraktur Ankle 64
2.6.4.1 Fraktur Maleolus Medial 64
2.6.4.2 Fraktur Maleolus Lateral 65
2.6.4.3 Fraktur Maleolus Lateral dengan robekan 66
ligamen medial
2.6.4.4 Fraktur Bimaleolaris 67
2.6.4.5 Fraktur Kompresi pada Tibia 67
2.7 Fraktur Pedis
2.7.1 Fraktur Talus 73
2.7.2 Fraktur Kalkaneus 75

ii
2.7.3 Fraktur Metatarsal 79

BAB 3. Penutup
3.1 Kesimpulan 81

Daftar Pustaka

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Anatomi pelvis pada pria dan wanita 5


Gambar 2.2 Radioanatomi pelvis 6
Gambar 2.3 Klasifikasi Young dan Burgess pada fraktur pelvis 9
Gambar 2.4 Klasifikasi young dan burgess kompresi AP tipe 1 10
Gambar 2.5 Klasifikasi young dan burgess kompresi AP tipe 2 10
Gambar 2.6 Radiografi pelvis AP dan Axial CT scan pada diastasis
simfisis pubis 11
Gambar 2.7. Klasifikasi young dan burgess cedera kompresi lateral tipe 1 12
Gambar 2.8. Klasifikasi young dan burges cedera kompresi lateral tipe 2 13
Gambar 2.9 Klasifikasi young dan burgess cedera kompresi lateral tipe 3 14
Gambar 2.10. Klasifikasi young dan burgess Vertikal shear 15
Gambar 2.11.Kombinasi cedera kompresi lateral dan vertical 16
Gambar 2.12 Anatomi caput Femoris 17
Gambar 2.13 Radiografi anatomi proksimal femur 18
Gambar 2.14 Radiografi anatomi femur 19
Gambar 2.15 Femoral head fracture berdasarkan klasifikasi pipkin 20
Gambar 2.16 Radiografi anteroposterior dan CT Scan coronal
fraktur pipkin type 21
Gambar 2.17 Mekanisme energi tinggi fraktur leher femoralis 23
Gambar 2.18 Klasifikasi Sistem Garden 24
Gambar 2.19 Radiografi klasifikasi sistem garden 24
Gambar 2.20 Klasifikasi pauwel 25
Gambar 2.21 Radiografi anteroposterior pada fraktur leher femur
tipe pauwels derajat 25
Gambar 2.22 Radiografi anteroposterior dan MRI fraktur leher femur 26
Gambar 2.23 Klasifikasi Evans untuk fraktur intertrokanter 28
Gambar 2.24 Fraktur intertrochanteric dengan berbagai ciri morfologis 29
Gambar 2.25 Radiografi anteroposterior dan MRI fraktur intertrokanter 30
Gambar 2.26 Sistem klasifikasi Russell-Taylor untuk fraktur femoral
subtrochanteric 33
Gambar 2.27 Klasifikasi Russel-Taylor tipe 1B fraktur subtrokanter 33
Gambar 2.28 Klasifikasi Winquist dan Hansen pada fraktur shaft femur 35
Gambar 2.29 Radiografi fraktur shaft femur 36
Gambar 2.30 Klasifikasi OTA untuk fraktur femur distal 37
Gambar 2.31 OTA Tipe A fraktur distal femur 38
Gambar 2.32 OTA tipe B fraktur distal femur 38
Gambar 2.33 Radiografi dan CT Scan fraktur-dislokasi pada lutut dengan
OTA Tipe B fraktur condylus lateral 39
Gambar 2.34 OTA Tipe C1 Fraktur distal femur 39
Gambar 2.35 OTA Tipe C3 Fraktur distal femur 40
Gambar 2.36 OTA Tipe C2 fraktur distal femur 40
Gambar 2.37 Anatomi Patela 42
Gambar 2.38 Radioanatomi Patela 42
Gambar 2.39 Klasifikasi Fraktur Patela 43

iv
Gambar 2.40 Fraktur Transversal Patela 44
Gambar 2.41 Fraktur patela kutub distal 45
Gambar 2.42 Fraktur stellate nondisplaced 45
Gambar 2.43 Fraktur displaced kominutif. 46
Gambar 2.44 Fraktur vertikal pada patela kanan 46
Gambar 2.45 Fraktur osteokondral dari dislokasi patela lateral 47
Gambar 2.46 Anatomi Tibia dan Fibula 49
Gambar 2.47 Radioanaatomi Tibia dan Fibula 50
Gambar 2.48 Klasifikasi Schatzker Fraktur Tibial Plateu 52
Gambar 2.49 Fraktur schatzker tipe I 52
Gambar 2.50 Fraktur schatzker tipe II 53
Gambar 2.51 Fraktur schatzker tipe IIIA 54
Gambar 2.52 Fraktur schatzker tipe IIIB 54
Gambar 2.53 Fraktur schatzker tipe IV 55
Gambar 2.54 Fraktur schatzker tipe V 56
Gambar 2.55 Fraktur schatzker tipe VI 56
Gambar 2.56 Klasifikasi fraktur Shaft Tibia Berdasarkan OTA 57
Gambar 2.57 Displace Fraktur Spiral Minimal pada Distal Tibia 58
Gambar 2.58 Displace minimal; Fraktur Transversal dari Tibia dan Fibula
bagian tengah 59
Gambar 2.59 Gambaran Fraktur Wedge (butterfly fragment) dari
proksimal tibia 59
Gambar 2.60 Foto Polos pada Fraktur daerah Ankle dengan posisi
AP, lateral, dan mortise 61
Gambar 2.61 Posisi pengambilan foto Mortise 62
Gambar 2.62 Foto ankle anteroposterior normal 62
Gambar 2.63 Foto ankle lateral normal 63
Gambar 2.64 Foto ankle oblique normal 63
Gambar 2.65 CT Scan pada fraktur maleolus posterior 64
Gambar 2.66 Fraktur maleolus medial adduksi dan abduksi 65
Gambar 2.67 Gambar fraktur maleolus medial pada foto ankle AP 65
Gambar 2.68 Fraktur maleolus lateral 66
Gambar 2.69 Fraktur maleolus lateral sebelum dan setelah reduksi 66
Gambar 2.70 Fraktur di maleolaris sebelum dan setelah reduksi 67
Gambar 2.71 Tulang-tulang pada pedis dari medial dan lateral 68
Gambar 2.72 Gambar tulang-tulang pedis dari plantar dan proksimal 69
Gambar 2.73 Gambaran radiologis pedis lateral 69
Gambar 2.74 Gambaran radiologis forefoot AP 70
Gambar 2.75 Gambaran radiologis forefoot oblik 70
Gambar 2.76 Gambaran radiologis hindfoot saat pasien tidur 71
Gambar 2.77 Gambaran radiologis kalkaneus lateral 71
Gambar 2.78 Gambaran radiologis kalkaneus tangensial 72
Gambar 2.79 Gambaran radiologis ankle oblik (1) 72
Gambar 2.80 Gambaran radiologis ankle oblik (2) 73
Gambar 2.81 Anatomi tulang talus 73
Gambar 2.82 Tipe fraktur leher talus 74
Gambar 2.83 Fraktur prosessus lataeral 75
Gambar 2.84 Anatomi calcaneus 76

v
Gambar 2.85 Foto polos hindfoot 77
Gambar 2.86 Sudut pada foto polos kalkaneus 78
Gambar 2.87 Klasifikasi Sanders 78
Gambar 2.88 Gambaran radiologis fraktur kominutif pada metatarsal satu 79
Gambar 2.89 Gambaran radiologis fraktur displacement pada shaft
metatarsal dua, tiga, dan empat 80

vi
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi Faktur Pelvis 8


Tabel 2.2 Klasifikasi winquist dan hundshen 35

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan,
dan lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak
hanya keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering
mengakibatkan kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Fraktur
dapat diakibatkan oleh cedera, stres yang berulang, serta kelemahan tulang yang
abnormal atau dapat disebut juga fraktur patologis1.
Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja,
kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya. Tetapi fraktur juga dapat terjadi akibat
faktor lain seperti proses degeneratif dan patologi. Penurunan massa tulang yang
disebabkan oleh osteoporosis dan kelainan metabolik tulang lainnya dapat
menyebabkan tulang menjadi lebih rentan terhadap fraktur. Osteoporosis adalah
salah satu penyakit progresif kronis yang sering menyerang wanita lanjut usia,
namun penyakit ini juga dapat terjadi pada pria dan usia lainnya. Osteoporosis
ditandai dengan rendahnya massa tulang, hilangnya jaringan tulang, dan
peningkatan kerapuhan tulang. Hal ini adalah salah satu penyebab utama fraktur
tulang pinggul dan tulang paha, serta dapat menyebabkan cacat permanen pada
pasien. Hal ini juga dapat membatasi mobilitas dan aktivitas sehari-hari pasien,
serta mempengaruhi finansial terhadap keluarga pasien dan program kesehatan
masyarakat karena membutuhkan biaya yang cukup banyak. Kejadian fraktur
tulang pinggul sendiri bervariasi antara wilayah geografis yang berbeda di
seluruh dunia.2,3
Fraktur tulang dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang
utama di masyarakat Barat, tidak hanya karena dikaitkan dengan tingkat kematian
yang tinggi tetapi juga berdampak besar pada sistem kesehatan. Menurut
Kementerian Kesehatan Brazil pada tahun 2009, dibutuhkan biaya lebih dari R$
81 juta untuk rawat inap dan obat-obatan akibat fraktur 2.
Pada tahun 2011-2012, World Health Organization (WHO) mencatat
terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur

1
akibat kecelakaan lalu lintas. Menurut Depkes RI 2011, dari sekian banyak kasus
fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki
prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari
45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629
orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang mengalami fraktur
cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur pada
tulang-tulang kecil di kaki, dan 336 orang mengalami fraktur fibula 4,5.
Radiografi masih menjadi modalitas utama untuk mendeteksi dan
menyingkirkan adanya fraktur. Menurut American Academy of Orthopedic
Surgeons, pada tahun 2003 terdapat 7.310.000 kunjungan dokter dan 3.148.000
kunjungan ke departemen emergensi yang berhubungan dengan fraktur
ekstremitas, yang menyebabkan 867.000 rawat inap. Hal ini menjadi perangkap
untuk ahli radiologi, karena menyebabkan adanya diagnosis yang tidak terjawab
atau tertunda. Kegagalan untuk mendiagnosis adalah kesalahan yang paling
umum dituduh dalam praktik malapraktik medis terhadap ahli radiologi, dan
fraktur ekstremitas adalah diagnosis paling sering terlewatkan (setelah kanker
payudara). Faktor yang mempengaruhi dapat dari faktor anatomi, teknis, dan
fisiologis yang berada diluar kontrol ahli radiologi. Sekitar 53 % fraktur yang
tidak terjawab terjadi di ekstremitas bawah, dengan kaki menjadi lokasi yang
paling sering tidak terjawab oleh ahli radiologi. Alasan untuk kesalahan ini
termasuk fraktur halus (37%) dan fraktur minimal(33%)6.

1.2 Batasan Masalah


Referat ini membahas tentang fraktur – fraktur ekstremitas bawah pada,
meliputi fraktur pelvis, fraktur femur, fraktur patela, fraktur proksimal tibia,
fraktur tibia-fibula, fraktur ankle, fraktur pedis, fraktur talus, fraktur
kalkaneus dan fraktur metatarsal serta gambaran radiologinya.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang
fraktur-fraktur ekstremitas bawah serta mengetahui bagaimana gambaran
radiologinya.

2
1.4 Metode Penulisan
Makalah ini disusun berdasarkan studi kepustakaan yang merujuk ke
beberapa literatur

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur Pelvis


Fraktur pelvis biasanya terjadi sebagai akibat trauma berkekuatan tinggi, dan
pria lebih sering terkena daripada wanita. Mekanisme trauma berkekuatan tinggi
meliputi kecelakaan kendaraan bermotor, tabrakan kendaraan dengan pejalan
kaki, jatuh dari ketinggian di atas 15 kaki. Kecelakaan kendaraan bermotor paling
sering terjadi akibat benturan samping saat kendaraan yang lebih besar menabrak
kendaraan yang lebih kecil. Fraktur pelvis juga dapat terjadi dari trauma
berkekuatan rendah, seperti trauma pada lansia yang mengalami osteoporosis.
Tingkat kematian pasien yang dirawat di rumah sakit dengan fraktur pelvis
berkisar antara 10-50% tergantung adanya perdarahan yang mengancam jiwa dan
cedera yang berhubungan dengan kepala, dada, dan perut7.

2.1.1 Anatomi Pelvis


Gelang panggul terdiri atas 4 tulang : 2 os coxae, os sacrum dan os coccygis.
Tulang panggul memberikan hubungan yang kuat dan stabil antara tubuh dan
ekstremitas bawah. Hubungan ini harus kuat karena memikul berat badan yang
besar. Kedua os coxae bersendi satu dengan yang lain di sebelah anterior pada
symphisis pubis dan posterior dengan os sacrum pada articulatio sacroiliaca.
Gelang panggul bersama dengan sendi-sendinya membentuk struktur berbentuk
mangkuk yang kuat disebut pelvis7.
Pelvis dibagi menjadi 2 bagian oleh apertura pelvis superior, yang
dibentuk di belakang oleh promontorium os sacrum, di lateral oleh linea
iliopectinea, dan di anterior oleh simfisis pubis. Di atas apertura pelvis superior
terdapat pelvis mayor, yang membentuk sebagian rongga abdomen. Di bawah
apertura pelvis superior terdapat pelvis minor8.
Pelvis perempuan dan laki-laki mudah dibedakan. Perbedaan yang lebih jelas
disebabkan oleh karena adaptasi pelvis perempuan untuk fungsi melahirkan anak.
Otot-otot laki-laki yang lebih kuat menyebabkan tulang menjadi lebih tebal dan
jejas-jejas pada tulang lebih jelas.8

4
Perbedaan pelvis laki-laki dan perempuan diantaranya8 :
a) Pelvis mayor pada perempuan dangkal dan pada laki-laki dalam.
b) Apertura pelvis superior pada bidang transversal berbentuk oval pada
permepuan, tetapi berbentuk hati pada laki-laki. Hal ini karena adanya
penonjolan promontorium pada laki-laki.
c) Cavitas pelvis pada perempuan lebih luas dibandingkan laki-laki dan jarak
antara apertura pelvis superior dan apertura pelvis inferior lebih pendek.
d) Apertura pelvis inferior lebih lebar pada perempuan. Tuber ichicadicum pada
perempuan lebih menonjol keluar dan pada laki-laki menonjol ke dalam.
e) Sacrum lebih pendek, lebih lebar, dan lebih rata pada perempuan
dibandingkan pada laki-laki.
f) Angulus suprapubicus atau arcus pubicus pada perempuan lebih bulat dan
lebar dibandingkan laki-laki

Gambar 2.1. Anatomi pelvis (a) pria (b) wanita8

5
Gambar 2.2 Radioanatomi pelvis9

2.1.2 Klasifikasi Fraktur Pelvis


Tile membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil, cidera yang secara
rotasi tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil 10.
a. Tipe A/stabil; ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit
atau tanpa pergeseran.
A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin
A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur
b. Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya rotasi
luar yang mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis
biasa disebut fraktur open book atau daya rotasi internal yaitu tekanan lateral
yang dapat menyebabkan fraktur pada rami iskiopubik pada salah satu atau
kedua sisi juga disertai cidera posterior tetapi tida ada pembukaan simfisis.
B1 : open book
B2 : kompresi lateral  ipsilateral
B3 : kompresi lateral  kontralateral (bucket-handle)
c. Tipe C yaitu secara rotasi dan vertikal tak stabil, terdapat kerusakan pada
ligament posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua sisi
dan pergeseran vertical pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat
fraktur acetabulum.

6
C1 : unilateral
C2 : bilateral
C3 : disertai fraktur asetabulum
Setelah klasifikasi menurut Tile, Young-Burgess memperkenalkan klasifikasi
fraktur pada pelvis berdasarkan dari mekanisme terjadinya trauma dan sampai
saat ini digunakan, yang terdiri atas11:
a) Kompresi Antero-Posterior (APC)
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki
kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur , tulang inominata terbelah dan
mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis . Keadaan ini disebut sebagai
open book injury. Bagian posterior ligamen sakro iliaka mengalami robekan
parsial atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.
b) Kompresi Lateral (LC)
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan .
Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian . Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua
sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro
iliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
c) Trauma Vertikal (SV)
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal
disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka pada sisi yang sama.
Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.
d) Trauma Kombinasi (CM)
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.

7
Tabel 2.1 Klasifikasi Fraktur Pelvis
Tipe Cedera Karakteristik Morfologi
Kompresi AP Diastasis dari simfisis pubis tanpa fraktur anterior
Tipe 1 diastasis pubis < 2,5 cm
Tipe 2 diastasis pubis > 2,5 cm, perluasan anterior sendi
sacroiliaka
Tipe 3 Sering diastasis pubis > 5 cm, perluasan anterior dan
posterior sendi sacroiliaka
Kompresi Lateral Fraktur overlapping transversal cincin obturator
Tipe 1 Sakral impaksi (buckle), ligamen intak
Tipe 2 Fraktur crescent iliaka
Tipe 3 Kompresi lateral tipe 1 atau 2 pada satu sisi dan
kompresi AP pada sisi yang berlawanan
Kompresi Vertikal Displacement vertikal dari hemipelvis, fraktur pubis,
dan sendi sacroiliaka
Kombinasi Fraktur kompleks dengan kombinasi dari kompresi
AP, lateral, atau vertikal

8
Gambar 2.3. Klasifikasi Young dan Burgess. (a) Kompresi lateral tipe 1, (b)
kompresi lateral tipe 2, (c) kompresi lateral tipe 3, (d) kompresi AP tipe 1, (e)
kompresi AP tipe 2, (f) kompresi AP tipe 3, (g) vertikal shear12.

9
Gambar. 2.4 Kompresi AP tipe 1 pada pria usia 53 tahun yang mengalami fraktur
femur segmental dalam kecelakaan skydiving dan dipindahkan dari rumah sakit
setelah menjalani CT abdomen-pelvis. (a) radiograf AP pelvis, (b) CT scan
axial12.

Gambar (a) menunjukkan diastasis simfisis pubis 1,5 cm (kepala panah) dan
tidak ada cedera cincin pelvis, temuannya sesuai dengan cedera kompresi AP tipe
1. Kandung kemih yang mengandung bahan kontras tampak menyempit secara
vertikal (panah), sugestif perdarahan pelvis. Gambar (b) menunjukkan daerah
kecil dari perdarahan ekstraperitoneal (panah) di sekitar kandung kemih 12.

Gambar 2.5. Cedera kompresi AP tipe 2 pada pekerja kontruksi pria berusia 54
tahun yang mengalami cedera pada pelvisnya setelah forklift 800-lb jatuh pada
tubuhnya. (a) radiograf AP (b) radiograf proyeksi outlet, (c) Axial CT, (d) Axial
CT dengan soft-tissue window settings12.

10
Gambar (a,b) menunjukkan diastasis simfisis pubis (panah putih),
pelebaran asimetris yang signifikan pada sendi sacroiliaka kiri (panah hitam), dan
perluasan sayap iliaka kiri. Temuan ini menunjukkan adanya hemipelvis terbuka,
yang terlihat pada cedera kompresi AP tipe 2. Gambar (c) menunjukkan
pelebaran sendi sacroiliaka dan fragmen avulsi kecil (panah hitam) di tempat
perlekatan ligamen sacroiliaka anterior. Gambar (d) menunjukkan ligamentum
anterior sacroiliaka utuh di sebelah kanan (panah hitam) dan gangguan di sebelah
kiri. Open reduction dan fiksasi internal dari cincin pelvis anterior telah
dilakukan, sehingga terjadi koreksi diastasis pubis dan pengurangan spontan dari
sendi sacroiliaka12.

Gambar 2.6. (a) radiograf pelvis AP dan (b) Axial CT scan pada pria berusia 31
tahun13

Gambaran panggul AP (a) dan gambar CT aksial (b) diperoleh pada pria
berusia 31 tahun yang menunjukkan diastasis simfisis pubis yang besar (kepala
panah di a) dan pelebaran sendi sacroiliaka yang signifikan (panah putih). Rotasi
eksternal yang dihasilkan dari hemipelvis kanan adalah karakteristik kompresi
AP. Perpindahan posterior sisi iliaka kanan pada sendi sacroiliaka menunjukkan
adanya gangguan ligamen cincin posterior (panah hitam pada b), sebuah temuan
yang sesuai dengan cedera kompresi AP tipe 3. Pelebaran ringan sendi sacroiliaka
kiri juga terlihat (kepala panah di b)13.

11
Gambar 2.7. Cedera kompresi lateral tipe 1 pada 2 pasien. (a) radiograf pelvis AP
pasien usia 16 tahun, (b) CT scan 3D pasien yang sama, (c,d) Axial CT pasien
wanita usia 77 tahun13,

Gambar (a) radiografi pelvis AP yang diperoleh pada anak berusia 16


tahun, yang merupakan penumpang kursi belakang dalam sebuah kecelakaan
dalam sebuah kecelakaan kendaraan bermotor menunjukkan superioritas bilateral
dan fraktur rami sisi kanan pubis inferior (panah hitam) dan gangguan halus dari
garis arkuata sacral (panah putih). Gambar (b) pada pasien yang sama
menunjukkan fraktur zona II yang menunjukkan gangguan pada neuroframen
(panah), tanpa pelebaran sendi sacroiliaka. Gambar (c) diperoleh pada wanita
berusia 77 tahun yang tampak dengan nyeri pinggul kiri setelah terjatuh di sisi
kirinya saat keluar dari mobilnya menunjukkan fraktur ramus pubis horizontal
anterior yang overlapping (panah). Gambar (d) yang diperoleh pada pasien yang
sama seperi pada gambar (c) menunjukkan fraktur buckle dari sacrum anterior
kiri (panah) akibat dari kompresi. Tidak tampak pelebaran sendi sacroiliaka.
Kedua pasien ditatalaksana secara konservatif karena pola fraktur yang stabil 13.

12
Gambar 2.8. Cedera kompresi lateral tipe 2 pada wanita usia 18 tahun dalam
kecelakaan kendaraan bermotor. (a) radiograf pelvis, (b) Axial CT scan, (c)
Coronal CT scan12.

Gambar (a) menunjukkan overlapping fraktur ramus pubis superior dan


inferior sisi kiri (panah putih) dan pelebaran sendi sacroiliaka (panah hitam).
Gambar (b) menunjukkan fraktur sacrum anterior di tempat perlekatan sacroiliaka
anterior (panah hitam) dan pelebaran dari sendi sacroiliaka. Fraktur crescent
(panah putih) yang melibatkan tulang iliaka kiri juga terlihat. Gambar (c) yang
diperoleh pada level sendi posterior sacroiliaka menunjukkan fraktur crescent
(panah hitam). Tidak ada displacement craniocaudal dari tulang iliaka (panah
putih), sebuah temuan yang mengeksklusi cedera vertikal shear12.

13
Gambar 2.9. Cedera kompresi lateral tipe 3 pada pejalan kaki pria usia 28 tahun
yang tertabrak truk dengan kecepatan tinggi. (a) radiograf pelvis AP, (b,c) Axial
dan Coronal CT scan, (d) Axial ST dengan soft-tissue window settings12.

Gambar (a) menunjukkan hemipelvis kiri yang terpusat, fraktur ramus


pubis bilateral superior dan inferior (panah putih), dan fraktur kompresi melalui
sacrum kiri (panah hitam), temuan yang sesuai dengan kompresi lateral. Tampak
pelebaran besar sendi sacroiliaka kontralateral kanan (kepala panah) dengan
rotasi eksternal dari sayap iliaka kanan, temuan yang menunjukkan cedera “wind-
swept pelvis”. Gambar (b,c) menunjukkan fraktur impaksi sakrum kiri (kepala
panah) akibat dari gaya kompresi dan rotasi eksternal di sebelah kanan (panah
hitam di gambar b) dengan disosiasi sendi sacroiliaka kanan (panah putih) dan
displacement anterior relatif tulang iliaka kanan, temuan merupakan gambaran
cedera kompresi AP tipe 3. Gambar (d) menunjukkan hematoma ekstraperitoneal
sisi kanan yang besar (panah hitam) dan rendahnya opasitas pada arteri iliaka
interna dan eksterna kanan (panah putih)12.

14
Gambar 2.10. Vertikal shear pada wanita usia 80 tahun yang mengalami cedera
setelah terjatuh. (a) radiograf AP, (b) Coronal CT scan, (c) radiograf AP post
operasi13.

Gambar (a) menunjukkan pelebaran simfisis pubis (panah putih) dan


sendi sacroiliaka kiri (panah hitam) dengan displacement kranial relatif dari
hemipelvis kiri, temuan sesuai dengan cedera vertikal shear. Gambar (b)
menunjukkan displacement vertikal (panah). Gambar (c) menunjukkan stabilisasi
dari simfisis pubis dan stabilisasi cincin posterior dari sendi sacroiliaka kiri 13.

15
Gambar 2.11. Kombinasi cedera kompresi lateral dan vertikal pada wanita usia
53 tahun yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor. (a) CT Scan 3D, (b)
Axial CT Scan, (c) radiograf AP12.

Gambar (a) menunjukkan mediasi hemipelvis kiri dengan overlapping


fraktur horizontal ramus pubis (kepala panah), temuan sesuai dengan cedera
kompresi lateral. Fraktur sacral oblique yang mengalami displaced ke arah
kranial (panah) juga terlihat, dan merupakan karakteristik dari cedera vertikal
shear. Gambar (b) menunjukkan fraktur sacral oblique (panah) memanjang dari
sacral notch ke tubuh. Temuan ini menunjukkan gabungan cedera kompresi
lateral dan vertikal shear. Gambar (c) radiograf AP yang diperoleh setelah reduksi
terbuka dan fiksasi internal cedera cincin posterior menunjukkan fiksasi internal
screw pedikel supraacetabular untuk cincin pelvis anterior. Fiksasi internal
dilaporkan lebih kaku daripada fiksas eksternal sehingga memungkinkan pasien
untuk duduk, berguling di tempat tidur, dan berbaring miring tanpa komplikasi
yang dapat ditimbulkan oleh fiksasi eksternal12.

16
2.2 Fraktur Femur
2.2.1 Anatomi Femur
Tulang femur terletak diantara pinggul dan lutut. Tulang femur adalah
tulang terbesar pada tubuh manusia dan merupakan tulang utama yang
menyangga daerah paha. Bagian ujung proksimal dari tulang femur terdiri dari
caput femoris, collum femoris, serta trochanter mayor dan trochanter minor yang
menghubungkan antara collum femur dengan corpus femoris.Caput femoris
berbentuk hampir lebih dari setengah lingkaran, berartikulasi dengan asetabulum
pada tulang panggul. Pada bagian tengah caput femoris terdapat cekungan kecil
yang disebut sebagai fovea capitis. Pada bagian ini terdapat ligamen dan
pembuluh darah yang berhubungan dengan caput femoris. Apabila pembuluh
darah pada caput femoris ruptur oleh karena trauma maka dapat terjadi kerusakan
yang berat dari caput femoris.14,15,16

Gambar 2.12. Caput Femoris16

Leher dari tulang femur, atau yang biasa disebut sebagai collum femoris,
menghubungkan antara caput femoris dengan corpus femoris. Pada daerah ini
sering didapatkan fraktur femur, terutama pada penderita usia lanjut. Lateral dari
collum femoris terdapat trochanter mayor, sedangkan medial dari collum femoris
terdapat trochanter minor. Struktur ini penting karena merupakan tempat
melekatnya beberapa otot utama pada paha dan pantat 16.

17
Badan dari tulang femur, atau biasa disebut sebagai corpus femoris
berbentuk sedikit melengkung ke anterior.Corpus femoris mempunyai struktur
yang lembut kecuali pada garis longitudinal yang kasar pada bagian posterior
yang disebut sebagai linea aspera. Struktur ini juga merupakan tempat
melekatnya beberapa otot.15,16
Pada bagian distal dari tulang femur, di atas dari lutut terdapat condylus
lateralis dan condylus medialis. Condylus berartikulasi dengan tulang tibia.
Proximal dari condylus terdapat epicondylus lateralis dan epicondylus medialis.
Epicondylus merupakan tempat melekatnya beberapa otot, sedangkan condylus
berperan dalam pergerakan dari persendian. Condylus medialis mempunyai
ukuran yang lebih besar daripada condylus lateralis. Struktur ini bermanfaat pada
saat lutut atau patella bergerak saat berjalan, maka tulang femur melakukan rotasi
ke medial sehingga “mengunci” sendi lutut.15,16

Gambar 2.13. Radiografi anatomi femur9

18
Gambar 2.14 Radiografi anatomi femur9

2.2.2 Klasifikasi Fraktur Femur


2.2.2.1 Fraktur Proksimal Femur
Fraktur Proksimal femur dapat dibagi menjadi fraktur intrakapsuler dan
ekstrakapsuler. Fraktur Intrakapsuler femur terjadi di dalam tulang sendi, panggul
dan melalui kepala femur, serta melalui leher dari femur. Fraktur Ekstrakapsuler
terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang
lebih kecil /pada daerah intertrokhanter. Terjadi di bagian distal menuju leher
femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokhanter minor.17

19
A. Fraktur Intrakapsuler
1. Complete Femoral Head Fracture
Femoral head fracture adalah cedera yang jarang terjadi dan sering
dikaitkan dengan dislokasi pinggul posterior.
a. Mekanisme Cedera
Fraktur ini biasanya disebabkan oleh mekanisme energi tinggi seperti
tabrakan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian, cedera olah raga, cedera
snowboarding dan ski, serta kecelakaan industri.17
b. Klasifikasi Fraktur head femoral
Beberapa sistem klasifikasi untuk dislokasi fraktur femur proksimal telah
dijelaskan dalam literatur, namun sistem klasifikasi yang diusulkan oleh Pipkin
paling banyak digunakan. Sistem Pipkin mengklasifikasikan femoral head
fracture menjadi empat jenis, tergantung pada ciri morfologi femoral head
fracture dan ada tidaknya femoral neck fracture atau fraktur acetabular. 7,17

Gambar 2.15 Femoral head fracture berdasarkan klasifikasi pipkin17

Klasifikasi Pipkin pada fraktur kepala femur7,17 :


a. Fraktur tipe 1 : dislokasi posterior dengan fraktur kaudal kepala femur ke
sentralis fovea.
b. Fraktur tipe 2 dislokasi posterior dengan fraktur cephal kepala femur ke
sentralis fovea, dan ligamentum teres sering menempel pada fragmen fraktur.

20
c. Fraktur tipe 3 menggabungkan fraktur kepala femoralis tipe 1 atau 2 dengan
fraktur leher femoralis.
d. Fraktur tipe 4 menggabungkan fraktur kepala femoralis tipe 1, 2 atau 3
dengan fraktur acetabular.
Berikut merupakan contoh fraktur kepala femoralis tipe 2:

Gambar 2.16 Radiografi anteroposterior dan CT Scan coronal


fraktur pipkin type 2 17

Radiografi anteroposterior dan gambaran CT Coronal pada laki-laki usia 28


tahun yang mengalami fracture pipkin type 2 diikuti dislokasi hip posterior
menunjukkan displaced fragmen fraktur intraarticular (tanda panah) yang besar
yang mempertahankan keterikatannya pada ligamentum teres17
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan pertama yang dilakukan biasanya adalah radiografi pelvis
anteroposterior (AP). Pemeriksaan ini biasanya diambil sebagai bagian dari
pemeriksaan trauma awal sebelum konsultasi dari bagian ortopedi
diperoleh.Kunci diagnosis pada foto polos pelvis posisi AP adalah hilangnya
kongruensi kepala femoralis dengan atap acetabulum. Pada tampilan AP yang
benar, kepala akan tampak lebih besar dari pada kepala kontralateral jika
dislokasi berada di anterior dan kecil jika dislokasi berada di posterior.7
Temuan yang paling umum terjadi pada kasus dislokasi posterior adalah
kepala kecil yang tumpang tindih dengan atap acetabulum. Pada dislokasi

21
anterior, kepala mungkin tampak medial atau inferior terhadap acetabulum.
Meskipun fleksi yang signifikan dapat mengurangi temuan, rotasi juga terdeteksi
pada tampilan AP tunggal.7
d. Tatalaksana
Pengobatan awal dislokasi pinggul posterior terdiri dari reduksi segera,
terlepas dari ada atau tidaknya jenis fraktur kepala femoralis, karena reduksi
dalam beberapa jam pertama cedera akan mengurangi risiko komplikasi seperti
avascular necrosis (AVN) . Reduksi tertutup segera lebih disukai pada sebagian
besar kasus, termasuk dislokasi sederhana dan dislokasi fraktur yang melibatkan
kepala femoral dan acetabulum, namun dikontraindikasikan bila secara
bersamaan terdapat fraktur leher femur , seperti yang terlihat pada lesi Pipkin
3.7,17
Ketika dislokasi sendi panggul berdampingan dengan fraktur leher
femoralis, proses reduksi dapat menyebabkan bertambahnya pergeseran fraktur
leher femoralis, yang secara tidak sengaja meningkatkan risiko AVN . Reduksi
terbuka yang mendesak diindikasikan untuk fraktur tipe Pipkin 3, dan juga untuk
kasus dislokasi dengan redukksi tertutup yang gagal. Dalam kasus dislokasi
pinggul, penting untuk melihat radiografi apakah terdapat tanda-tanda fraktur
leher femur minimal atau nondisplaced, karena kehadiran temuan ini mungkin
memerlukan reduksi terbuka daripada reduksi tertutup. Demikian pula, perlakuan
terbaik terhadap lesi Pipkin 4 umumnya dilihat dari gambaran keparahan dan
morfologi fraktur asetabular yang ada . Pada lesi pipkin 4 paling sering dilakukan
reduksi tertutup segera , diikuti oleh fiksasi bedah definitif terhadap fraktur. 7,17

2. Fraktur Leher femur


a. Mekanisme Cedera
Prevalensi, mekanisme cedera , klasifikasi, dan perawatan fraktur leher
femur bergantung pada usia dan status fungsional awal pasien. Orang dewasa
umumnya dianggap lansia jika mereka berusia lebih dari 70-75 tahun, dan
sebagai dewasa muda jika mereka berusia kurang dari 65-70 tahun. Dewasa muda
cenderung memiliki fraktur leher femur yang lebih sedikit dari pada individu
lansia yang memiliki kepadatan tulang lebih rendah. Sebaliknya, dewasa muda

22
cenderung mengalami fraktur oleh karena mekanisme energi tinggi dimana beban
aksial diterapkan pada lutut, seperti kecelakaan mobil atau jatuh dari ketinggian. 17

Gambar 2.17 Mekanisme energi tinggi fraktur leher femoralis17

Mekanisme energi tinggi fraktur leher femur menunjukkan apabila jatuh


dari ketinggian dengan posisi lutut yang tertekuk akan menyebabkan transmisi
gaya pemuatan aksial (panah kuning) melalui tulang paha (panah merah), yang
mengakibatkan gangguan dan fraktur geser pada leher femoralis. Kolom
acetabular posterior kuat menstabilkan kepala femoral dalam acetabulum.17
b. Klasifikasi Fraktur Neck Femoralis
Pada pasien lanjut usia, sistem klasifikasi Garden paling sering
digunakan. Sistem ini menggambarkan empat kategori fraktur subkapital
prereduksi7,17
a. Fraktur tahap 1 adalah fraktur subcapital yang tidak lengkap atau valgus
impaksi
b. Fraktur tahap 2 adalah fraktur subcapital sudah lengkap, tidak ada
pergeseran
c. Fraktur tahap 3 adalah fraktur subkapital lengkap disertai pergeseran tapi
masih ada perlekatan atau inkomplet
d. Fraktur tahap 4 adalah fraktur subkapital yang lengkap disertai pergeseran
penuh.

Pada dewasa muda paling sering diklasifikasikan menurut sistem


Pauwels, yang menekankan angulasi vertikal dari garis patah postreduction dan
menggambarkan tiga kategori keparahan, walaupun pengukuran angulasi yang
tepat untuk masing-masing kategori masih kontroversial.17

23
Gambar 2.18 Klasifikasi Sistem Garden17

Gambar 2.19 Klasifikasi Garden7

24
Gambar 2.20 Klasifikasi Pauwel17

Tipe 1 : sudut yang terbentuk lebih kecil dari 30 º


Tipe 2 : sudut yang terbentuk antara 30-50 º
Tipe 3 : sudut yang terbentuk lebih besar dari 70º
Pada tipe 2 dan 3 tekanan yang dialami oleh daerah fraktur lebih besar dan
prognosisnya lebih jelek.17

Gambar 2.21 Radiografi anteroposterior pria berusia 58 tahun dengan fraktur


leher femur tipe pauwels derajat 3. Radiografi anteroposterior pinggul kiri
menunjukkan garis patah (panah) yang kira-kira 70º ke bidang horizontal.17

25
c. Pemeriksaan Penunjang
Fraktur leher femur paling banyak dapat terlihat dengan radiografi. Foto
polos akan mengidentifikasi fraktur pada sebagian besar kasus dengan posisi
anteroposterior (AP) dan lateral. Pada sebagian besar kasus, diagnosisnya jelas
dengan foto AP. Namun, pencitraan menggunakan MRI digunakan dalam kasus
yang tidak jelas atau sulit dideteksi dengan manifestasi yang tampak sebagai garis
T1 hipointens tumpang tindih pada area hiperintense edema yang lebih luas. MRI
memungkinkan evaluasi kemungkinan penyebab nyeri pinggul yang lebih
luas.7,17

Gambar 2.22 Radiografi anteroposterior (a) dan MRI(b)17

Pada radiografi anteroposterior (a), fraktur tidak terlihat jelas. Tidak ada
bukti garis fraktur kortikal yang jelas dan tidak ada karakteristik overlap cortical,
seperti yang terlihat pada fraktur impaksi. Pada pemeriksaan MRI (b) yang
dilakukan menunjukkan garis fraktur hypointense (panah) yang tumpang tindih
pada area edema hypointense yang lebih luas17
d. Tatalaksana
Fraktur leher femur impacted paling sering diobati dengan fiksasi internal
dengan hasil yang umumnya menguntungkan baik pada pasien muda maupun
lanjut usia, dengan pendekatan fiksasi spesifik tergantung pada pola fraktur dan
preferensi ahli bedah. Baik cedera akibat valgus maupun varus, seperti fraktur

26
tipe Garden 2 , paling sering diobati dengan fiksasi internal dengan tiga
cannulated lag screws.7,17
Fraktur Pauwels derajat 1 dan 2 juga paling sering diobati dengan
penggunaan tiga cannulated lag screws atau secara bergantian dengan sliding hip
screw. Fraktur Pauwels degree 3 lebih bermasalah karena resiko tinggi terjadi
instabilitas, dan metode seperti sliding hip screw atau locking plate fixation telah
dianjurkan karena metode tersebut menyediakan konstruksi sudut tetap yang
dapat secara lebih memadai menahan gaya geser. Fiksasi internal segera sangat
penting untuk mencegah terjadinya pergeseran/displacement fraktur, karena 10%
-30% fraktur pada akhirnya akan menjadi bergeser jika tidak diobati.7,17
Pengobatan nonsurgical pada fraktur nondisplaced biasanya
diperuntukkan bagi pasien nonambulatory dengan status fungsional dasar yang
buruk dan / atau komorbiditas medis yang signifikan secara klinis. Namun,
penanganan yang optimal dari fraktur leher femur yang terlantar jauh lebih
bergantung pada usia pasien dan status fungsional.17

B. Fraktur Ekstrakapsular
1. Fraktur Intertrokanter
Merupakan fraktur antara trokanter mayor dan trokanter minor femur.
Fraktur ini termasuk fraktur ekstrakapsular.
a. Mekanisme Cedera
Fraktur ini sering terjadi pada orang tua terutama pada wanita (diatas usia
60 tahun). Biasanya disebabkan oleh trauma ringan, jatuh kepleset, daerah
pangkal paha ke bentur lantai. Hal ini dapat dapat terjadi karena pada wanita tua,
tulang sudah mengalami osteoporosis post menopause. Pada orang dewasa dapat
terjadi fraktur ini disebabkan oleh trauma dengan kecepatan tinggi (tabrakan
motor).7,17
Fraktur intertrochanter, seperti kebanyakan patah tulang pinggul pada
orang tua, paling sering terjadi setelah jatuh ke arah lateral dengan dampak pada
trokanter mayor yang lebih besar. Fraktur intertrochanteric bersifat extracapsular
dan memiliki suplai darah osseus yang jauh lebih kuat, dan oleh karena itu jauh
lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan komplikasi kronis seperti

27
avasculr necrosis atau nonunion.. Adapun komplikasi yang terjadi bila perawatan
tidak adekuat terhadap fraktur trokanter kemungkinan akan mengalami malunion
kronis dengan deformitas postinjury.17
b. Klasifikasi Fraktur Intertrokanter
Sistem klasifikasi Evans (seperti yang dimodifikasi oleh Jensen) untuk
fraktur intertrochanteric17,18 :
a. Fraktur tipe 1 adalah fraktur dua bagian tanpa perpindahan.
b. Fraktur tipe 2 adalah fraktur dua bagian dengan perpindahan.
c. Fraktur tipe 3 adalah fraktur tiga bagian dengan pemecahan korteks
posterolateral.
d. Fraktur tipe 4 adalah fraktur tiga bagian dengan pemecahan korteks
posteromedial.
e. Fraktur tipe 5 terdiri dari empat atau lebih bagian dengan pemecahan
kortikal medial dan lateral.
f. Fraktur Reverse Obliq membentang dari korteks peritrochanter medial
inferolateral ke korteks subtrochanteric.

Gambar 2.23 Klasifikasi Evans untuk fraktur intertrokanter17

28
Gambar 2.24 Fraktur intertrochanteric dengan berbagai ciri morfologis pada
wanita antara usia 65 dan 80 tahun.17

Radiografi anteroposterior pada gambar a menunjukkan fraktur tipe 1,


yang terlihat hanya sebagai garis patah nondisplaced yang membentang melalui
korteks lateral dan medial (panah). Radiografi anteroposterior pada gambar b
diperoleh pada pasien yang berbeda menunjukkan fraktur tipe 2 yang displaced
namun tetap mencerminkan cedera mekanis yang stabil (panah). Radiografi
anteroposterior yang diperoleh pada gambar ketiga menunjukkan fraktur tipe 5
yang lebih parah dengan comminution pada korteks posteromedial (panah kecil)
dan korteks posterolateral (panah besar), temuan yang mengindikasikan adanya
cedera yang sangat tidak stabil.17

29
c. Pemeriksaan Penunjang
Foto polos seperti pelvis posisi AP, hip yang terkena posisi AP dan lateral
biasanya dianjurkan untuk diagnosis dan perencanaan pra operasi. Ekstensi
subtrochanteric membutuhkan posisi full-length femoral AP dan radiografi lateral
untuk pemilihan panjang implan. Jika long nail implan menjadi pertimbangan,
maka radiografi AP dan lateral femur yang terkena hingga ke lutut diperlukan,
dengan perhatian khusus pada femoral bow dan diameter kanal meduler 7.
Computed tomography (CT) scan atau magnetic resonance imaging
(MRI) jarang diperlukan untuk fraktur displaced tapi mungkin berguna dalam
menegakkan diagnosis pada fraktur yang tidak jelas dan fraktur atipikal pada
pasien dengan trauma energi tinggi. MRI lebih disukai daripada CT scan atau
scan radionuklida karena sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi untuk
proses pengambilan keputusan yang lebih cepat7.
MRI lebih akurat daripada CT scan atau skintigrafi tulang dalam
mendeteksi apakah fraktur trokanter lebih besar dan harus dilakukan secara rutin
pada pasien berisiko tinggi atau osteoporosis untuk membantu mengidentifikasi
pasien yang berisiko mengalami fracture extension atau displacement 17,19.

Gambar 2.25 Radiogafi anteroposterior awal menunjukkan tidak ada bukti patah
tulang (a). Coronal T1-weighted MRI pada pinggul kanan menunjukkan garis
fraktur hypointense yang melibatkan korteks medial trokaner mayor di dekat fosa
piriformis dan memanjang secara inferomedial ke arah korteks femoralis medial
(panah).17

30
d. Tatalaksana
Tujuan pengobatan untuk patah tulang panggul intertrochanter adalah
untuk mengembalikan mobilitas dan bantalan berat (weight bearing). Sebagian
besar patah tulang pinggul intertrochanteric terjadi pada orang tua, dan ada bukti
bagus bahwa intervensi bedah dini dan peningkatan bantalan berat menurunkan
angka kematian. Standar praktiknya adalah melakukan operasi fiksasi pada
hampir semua fraktur intertrochanter tanpa mendiskualifikasi komorbiditas medis
atau imobilitas awal. Metode fiksasi masih kontroversial, dengan dua pilihan
tatalaksana utama yaitu lateral plate and screw fixation dan intramedullary nail
fixation. Tidak ada konsensus yang jelas mengenai implan mana yang optimal
untuk mengobati pola patah tulang sederhana, walaupun cedera ini umumnya
menunjukkan respons yang sangat baik dan tingkat komplikasi yang rendah
dengan plate and screw fixation and teknik intramedullary fixation.17,19

2. Fraktur Subtrokanter
Fraktur subtrokanter ialah fraktur dimana garis patah berada 5 cm distal
dari trokanter minor. Tekanan mekanis yang relatif tinggi ini, ditambah dengan
tarikan otot yang menempel pada fragmen proksimal, membuat fraktur
subtrochanteric sulit untuk diobati, dan fraktur ini memiliki tingkat komplikasi
yang lebih tinggi seperti nonunion dan kegagalan implan.7,17
a. Mekanisme Cedera
Fraktur subtrochanter pada populasi pasien yang lebih muda biasanya
terjadi sebagai akibat trauma energi tinggi. Fraktur subtrochanteric harus
distabilkan sedini mungkin setelah resusitasi pasien agar memungkinkan
mobilisasi dini dan menghindari komplikasi perpanjangan lama. Fraktur
subtrochanteric relatif jarang terjadi dibandingkan fraktur intertrochanteric pada
lansia.7
Cedera ini dapat dikelompokkan secara epidemiologis menjadi tiga
populasi berbeda17:
(a) Pasien lebih muda dari usia 50 tahun dengan trauma energi tinggi yang
mengakibatkan fraktur comminuted;

31
(b) Pasien lanjut usia dengan osteoporosis karena trauma dengan energi rendah
seperti jatuh dari ketinggian tegak, mengakibatkan fraktur spiral comminuted
(fraktur insufisiensi tipikal); dan
(c) Pasien dengan komorbiditas medis atau yang menerima pengobatan
farmakologis seperti terapi bifosfonat jangka panjang (> 5 tahun), yang
mengakibatkan remodeling tulang terganggu.

b. Klasifikasi Fraktur Subtrokanter


Sistem yang digambarkan oleh Russell dan Taylor sering digunakan
dalam komunitas ortopedi. Klasifikasi ini membagi fraktur subtrokhanter
menjadi dua tipe utama, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Fraktur tipe 1 tidak melibatkan
fossa piriformisdan fraktur tipe 2 melibatkan fossa piriformis. Fraktur tipe 1A
berada dibawah trokanter minor. Fraktur tipe 1A ini terjadi di dalam zona yang
melibatkan korteks femoralis lateral dan medial subtrochanteric, namun
mengecualikan fossa piriformis dan trokanter minor. Fraktur tipe 1 B serupa
dengan fraktur 1 A, dengan terpisahnya fragmen fraktur trokanter minor. Tipe
2A memiliki buttress medial stabil dan tipe 2B tidak memiliki stabilitas korteks
medial femoral. Fraktur tipe 2B mirip dengan patah tulang tipe 2A namun, seperti
fraktur tipe 1B, terdapat fragmen fraktur trokanter minor yang terpisah 7.
Sistem klasifikasi Russell-Taylor ini berguna untuk membantu
menentukan metode pengobatan yang tepat. Fraktur tipe 1 dapat diobati dengan
generasi pertama atau kedua intramedullarydevices sementara fraktur tipe 2
memerlukan reduksi terbuka dan fiksasi internal (ORIF) dengan screw plate
devices atau fixed angle implants7.

32
Gambar 2.26 Sistem klasifikasi Russell-Taylor untuk fraktur femoral
subtrochanteric7.

Gambar 2.27 Fraktur subtrokanter Tipe 1B pada wanita berusia 84 tahun. 17

Pada gambar (a) terlihat radiografi posisi anteroposterior yang menunjukkan


fraktur subtrochanteric comminuted dengan komponen fraktur spiral yang

33
mengganggu korteks femoralis lateral dan medial dan mengkompromikan korteks
femoral posteromedial dan trokanter mayor kecil (panah kecil) namun
mengecualikan fossa piriformis (panah besar). Fraktur diklasifikasikan sebagai
tipe 1B. Sedangkan pada gambar (b) terlihat radiografi anteroposterior pasca
fiksasi dengan menggunakan intramedullary nail.17
c. Pemeriksaan Penunjang
Radiograf plain biplanar dengan kualitas tinggi biasanya akan
memberikan informasi yang cukup untuk memandu penanganan sebagian besar
fraktur subtrochanteric. Panjang fragmen proksimal dan diameter diaphysis distal
harus dievaluasi.7
d. Tatalaksana
Untuk mencapai stabilitas yang memadai, intramedullary nail paling
sering digunakan. Reduksi bisa jadi sulit, dan pendekatan terbuka dengan
reduksi langsung sering dibutuhkan17

2.2.2.2 Fraktur Shaft Femur


a. Mekanisme cedera
Fraktur shaft femur telah diamati pada semua kelompok usia dan
disebabkan oleh berbagai mekanisme. Ada hubungan antara usia dan jenis
kelamin terhadap terjadinya trauma. Pada pasien usia muda cenderung
mekanisme cedera terjadi akibat kecelakaan bermotor, pejalan kaki yang di
tabrak kendaraan atau jatuh dari ketinggian. Sedangkan pada wanita lanjut usia
setelah jatuh dari posisi berdiri.7,17
Fraktur pada shaft femur hampir selalu disebabkan karena trauma yang
kuat (high energy) seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh, dan luka tembak.
Fraktur patologis harus dicurigai pada pasien dengan fraktur corpus femur yang
tidak disertai dengan trauma yang kuat (high energy). Pola fraktur dapat
membantu dalam menentukan mekanisme trauma. Fraktur transversal disebabkan
oleh bending force. Trauma rotasi pada femur akan menimbulkan fraktur spiral.
Fraktur oblique atau butterfly disebabkan oleh gabungan antara bending force
dengan kompresi. Sedangkan pada fraktur comminutif ditentukan oleh kekuatan
dari trauma17,20.

34
b. Klasifikasi
Pada forum informal, fraktur ini diklasifikasikan secara deskriptif
berdasarkan lokasi fraktur (proksimal, medial dan distal) dan morfologi fraktur
(transverse, oblique, spiral, comminuted atau segmental). Winquist dan Hansen
membuat klasifikasi yang digunakan untuk memprediksi fraktur mana yang
berpotensi untuk menyebabkan terjadi pemendekan (shortening), yang kemudian
memerlukan tindakan interlocked naling.21

Gambar 2.28 Klasifikasi Winquist dan Hansen pada fraktur shaft femur 7

Tabel 2.2 Klasifikasi Winquist dan Hansen


TIPE KLASIFIKASI WINQUIST HANSEN12

0 No comminution
I Small butterfly fragment(<25 %) atauminimalcomminutiondengan
sekitar 75% sisa kontak dengan korteks
II Butterfly fragment atau comminuted segmen (sekitar 25-50 %)
dengan sekitar 50% sisa kontak dengan korteks
III Large butterfly fragmentatau comminuted segmen (sekitar 50-75%)
dengan kurang dari 50% sisa kontak dengan korteks
IV Complete Cortical Comminution tanpa ada kontak dengan korteks
yang tersisa

35
Gambar 2.29 Radiografi fraktur shaft femur7

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiografi yang digunakan ialah dengan pemeriksaan foto
anteroposterior (AP) dan lateral dari seluruh tulang femur.7
d. Tatalaksana
Pada kasus-kasus emergensi, biasanya dilakukan tindakan pembidaian
terlebih dahulu sebagai tindakan pertolongan pertama. Sebagai tatalaksana
definitif, fraktur pada corpus femur memiliki beberapa pilihan tatalaksana seperti
traksi skeletal, fiksasi dengan memakai plate and srew, ataupun intramedullary
nailing7

2.2.2.3 Fraktur Distal Femur


a. Mekanisme cedera
Pada pasien yang lebih muda, fraktur ini biasanya terjadi setelah trauma
energi tinggi seperti kecelakaan kendaraan bermotor. Pada pasien mungkin ada
ditemukan fraktur displacement, comminution, luka terbuka, dan cedera terkait.
Di sisi lain, pada pasien lansia yang mengalami osteoporosis, fraktur sering
terjadi setelah tergelincir kecil dan jatuh pada lutut yang tertekuk, yang
menyebabkan fraktur kerapuhan melalui tlang yang terganggu.7

36
b. Klasifikasi
Sistem klasifikasi OTA lebih dipilih pada fraktur distal femur karena
mudah digunakan dan berlaku untuk sebagian besar kerangka. Klasifikasi ini
membedakan antara cedera ekstra artikular (tipe A), parsial artikular (tipe B), dan
cedera artikular yang lengkap (tipe C). Rencana perawatan dasar untuk fraktur
femur distal biasanya dapat diformulasikan berdasarkan sistem klasifikasi ini
karena banyaknya pola fraktur yang terlihat secara klinis. Namun dalam
praktiknya, beberapa patah tulang tidak sesuai dengan skema klasifikasi apapun 7.

Gambar 2.30 Klasifikasi OTA untuk fraktur femur distal7

c. Pemeriksaan Penunjang
Radiografi anteroposterior (AP) dan lateral pada lutut dan distal femur
rutin dilakukan dan biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis. Pada
kebanyakan pasien, rontgen pelvis, hip ipsilateral, dan shaft femoralis diperlukan
untuk menyingkirkan cedera yang berhubungan.7

37
CT Scan dengan potongan aksial, koronal, dan sagital pada distal femur
merupakan tambahan penting untuk foto polos dan direkomendasikan untuk
fraktur yang paling banyak bergeser. Selain itu, cedera intra-artikular dapat
digambarkan dengan lebih baik.7

Gambar 2.31 OTA Tipe A fraktur distal femur7

Gambar 2.32 OTA tipe B fraktur distal femur. a) radiografi,b) CT Scan 7

38
Gambar 2.33 Radiografi fraktur-dislokasi pada lutut dengan a) OTA Tipe B
fraktur condylus lateral, b) CT-scan7

Gambar 2.34 OTA Tipe C1 Fraktur distal femur7

39
Gambar 2.35 OTA Tipe C3 Fraktur distal femur7

Gambar 2.36 OTA Tipe C2 fraktur distal femur a) radiografi, b) CT-Scan7

40
d. Tatalaksana
Tatalaksana nonoperatif dilakukan untuk pasien dengan fraktur
nondisplaced dan pasien yang tidak dapat dibedah karena komorbiditas medis
yang signifikan. Indikasi relatif untuk tatalaksana nonoperati, yaitu pasien
nonambulatory (misalnya paraplegia), penyakit medis mendasar (misalnya,
kardiopulmoner berat) atau kematian yang akan segera terjadi, patah tulang yang
terinfeksi atau fraktur terbuka yang terkontaminasi parah (misalnya tipe IIIB)
(biasanya tidak diperbaiki secara definitif sampai dapat dibuat "bersih"), dan
kurangnya perangkat fiksasi internal modern.7
Pengobatan nonoperatif dari fraktur femur distal distal meliputi reduksi
tertutup dengan traksi skeletal dengan atau tanpa cast bracing. meskipun risiko
pembedahan dihindari dengan metode tertutup, risiko pengobatan nonoperatif
mungkin signifikan dan berpotensi parah, seperti trombosis vena dalam, emboli
paru, ulkus dekubitus, pneumonia, retensi urin, dan lain-lain. Tatalaksana operatif
umumnya dilakukan dengan kombinasi antara plates and screws atau retrograde
intramedullary nail.7
2.3 Fraktur Patela
Fraktur patela mencakup kira-kira 1% dari semua fraktur skeletal dan
dapat diakibatkan oleh mekanisme cedera langsung, tidak langsung, atau
gabungan. Patela rentan untuk mengalami cedera langsung akibat dari letak nya
di anterior dan diselubungi oleh jaringan lunak yang tipis. Komplikasi dari fraktur
patella yang dapat ditimbulkanmeliputi kekakuan, kelemahan ekstensi, dan
osteoartritis patellofemoral7.
2.3.1 Anatomi Patela
Patellaadalah tulang sesamoid yang terbesar(yaitu sebuah tulang yang
berkembang di dalam tendo musculusquadriceps femoris di depan sendi lutut).
Patella berbentuk segitigadengan apex terletak di inferior. Apex dihubungkan
dengantuberositas tibiae oleh ligamentum patellae. Facies posteriorbersendi
dengan condvlus femoris. Patella terletak dalam posisiterbuka di depan sendi
lutut dan dapat diraba dengan mudahmelalui kulit. Patella dipisahkan dari kulit
oleh bursa subcutaneavang penting.Pinggir atas, lateral dan medial merupakan
tempat lekat dariberbagai bagian musculus quadriceps femoris. Patella dicegah

41
bergeser ke lateral selama kontraksi musculus quadriceps femorisoleh serabut-
serabut horizontal bawah musculus vastus medialisdan oleh besarnya ukuran
condylus lateraiis femoris8.

Gambar 2.37 Anatomi Patela8

Gambar. 2.38 Radioanatomi Patela9

42
2.3.2 Mekanisme Cedera Fraktur Patela
Fraktur patella dapat terjadi akibat cedera langsung, tidak langsung, ataupun
gabungan keduanya. Mekanisme cedera secara langsung mungkin berenergi
rendah, seperti terjatuh dari posisi duduk atau berdiri, atau berenergi kuat seperti
akibat benturan dashboard mobil akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera
tidak langsung terjadi akibat kekuatan besar yang dihasilkan melalui mekanisme
ekstensor, dan biasanya diakibatkan oleh kontraksi kuat otot quadriseps dengan
lutut dalam posisi tertekuk. Akibatnya, cedera tidak langsung sering
menyebabkan gangguan retinakular yang lebih besar dibandingkan dengan cedera
langsung. Pola fraktur tidak ditentukan hanya oleh mekanisme cedera, tetapi juga
tergantung pada faktor-faktor seperti usia pasien, kualitas tulang, dan derajat
fleksi lutut22.

2.3.3 Klasifikasi Fraktur Patela


Fraktur patela umumnya diklasifikasikan menurut pola morfologi dan derajat
pergeserannya. Pendekatan yang berguna dari segi klinis dimulai dengan
mengklasifikasikan fraktur patela sebagai displaced atau nondisplaced. Fraktur
patela displaced didefinisikan sebagai pemisahan fragmen fraktur lebih dari 3
mm atau inkongruitas artikular lebih dari 2 mm. Setelah fraktur diklasifikasikan
sebagai displaced dan nondisplaced, fraktur dapat dikategorikan lebih lanjut
berdasarkan konfigurasi geometris garis patah. Pola yang digambarkan meliputi
transversal atau horisontal, stellata atau kominutif,, vertikal atau longitudinal,
apikal atau marginal dan osteokondral23.

Gambar 2.39 Klasifikasi Fraktur Patela7

43
Penjelasan mengenai masing-masing klasifikasi fraktur patela sebagai berikut :

a. Transveral fraktur
Sekitar 80% dari fraktur ini terjadi di bagian tengah hingga sepertiga
bawah patela. Mekanisme cedera ini biasanya multifaktorial dan terkait dengan
kekuatan longitudinal tidak langsung. Dua pertiga fraktur transversal merupakan
fraktur displaced yang harus dicurigai atas mekanisme kerusakan retinakular dan
ekstensor24.

Gambar 2.40 Fraktur Transversal Patela. (a,d) gambar; (b,e) radiografi


anteroposterior (c,f) permukaan CT scan 3D. (a-c) Nondisplaced; (d-f)
displaced24.

b. Fraktur Pangkal
Fraktur distal tipe avulsi atau proksimal penting untuk dikenali, karena
sering dikaitkan dengan cedera jaringan lunak yang substansial pada otot
quadriceps atau tendon patela. Patah tulang distal (avulsi tulang tendon patela)
bersifat ekstra artikular, karena kutub distal tidak memiliki kartilago artikular.
Dalam kasus ini, radiograf lateral menunjukkan patela alta (rasio Insall-Salvati
yang meningkat), sedangkan avulsi tulang kutub proksimal disebut patela baja
(rasio Insall-Salvati yang berkurang)24,25.

44
Gambar 2.41 Fraktur patela kutub distal pada pria berusia 39 tahun. (a) gambar,
(b) radiograf anteroposterior, (c) radiograf lateral memperlihatkan fraktur
transverse pada kutub distal patela24.

c. Fraktur Stellata
Fraktur stellata dapat diakibatkan dari hantaman langsung ke patela dengan
lutut pada posisi fleksi sebagian. Sekitar 65% dari cedera ini merupakan tipe
nondisplaced. Dalam kasus fraktur kominutif ekstensi dengan pergeseran,
komponen transversal dapat meluas ke daerah medial dan lateral retinakula 24,25.

Gambar 2.42 (a) gambar, (b) radiograf anteroposterior, (c) sagital dan (d)
koronal MRI menunjukkan fraktur stellate nondisplaced pada pria usia 36
tahun24.

45
Gambar 2.43 (a) gambar, (b) radiograf anteroposterior dan (c) sagital CT
memperlihatkan frakturdisplaced kominutif24.

d. Fraktur Vertikal
Fraktur vertikal juga memungkinkan dan mengakibatkan hingga 22% dari
fraktur patela. Jenis ini paling sering melibatkan sisi lateral dan diperkirakan
dihasilkan dari kompresi langsung patela pada lutut yang hiperfleksi. Fraktur
vertikal biasanya nondisplaced dan retinakula patela biasanya utuh,
mempertahankan ekstensi lutut. Pola ini biasanya terlewatkan pada pemeriksaan
radiograf AP, sehingga penting untuk dilakukan tampilan skyline (tangential)
untuk mengidentifikasi jenis cedera ini24,25.

Gambar 2.44 Fraktur vertikal pada patela kanan pria usia 34 tahun. (a) gambar,
(b) anteroposterior dan (c) skyline view24.

e. Fraktur Osteokondral
Fraktur osteokondral pada patela juga terlihat berkaitan dengan fraktur patela
berat, stellata patela atau dislokasi patela. Radiografi polos mungkin tidak
menunjukkan lesi ini. MRI meningkatkan pendeteksian jenis ini 25.

46
Gambar 2.45 Fraktur osteokondral dari dislokasi patela lateral pada wanita usia
27 tahun. (a) gambar, (b) MRI24

2.3.4 Tatalaksana
Karena peran vital patela untuk ekstensi lutut, tujuan tatalaksana
diarahkan untuk memulihkan mekanisme ekstensor sambil memaksimalkan
perbaikan artikular. Manajemen non operasi diindikasikan untuk fraktur dengan
mekanisme ekstensor secara klinis utuh dan pergeseran minimal (<2-3 mm) dan
perpindahan fraktur (<1-4 mm). Manajemen bedah ditujukan pada kasus dengan
mekanisme ekstensor yang tidak kompeten, fraktur pemisahan, badan
intraartikular tidak intak, atau fraktur osteokondral25.

2.4 Fraktur Tibial Plateu


Fraktur tibial plateu merupakan fraktur yang terjadi pada bagian
proksimal dari tibia yang juga melibatkan sendi lutut. Penyebabnya biasanya
trauma seperti terjatuh atau tabrakan kendaraan bermotor. Fraktur tibial plateu
berkisar kira-kira 1% dari keseluruhan fraktur tulang pada dewasa. Fraktur tibial
plateu sering terjadi pada pria paruh baya dan wanita setelah menopause 7.

2.4.1 Anatomi
Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar danberfungsi
menyanggah berat badan. Di proksimal, tibia bersendi dengan condylus femoris
dan caputfibulae dan di distal dengan talus dan ujung distal fibula.
Tibiamempunyai uiung atas yang melebar dan ujung bawah vang lebihkecil, serta
sebuah corpus7.
Pada ujung atas terdapat condylus lateralis dan medialis(kadang-kadang
disebut tibial plateau lateral dan medial), yangbersendi dengan condylus lateralis
dan medialis fenroris, dandipisahkan oleh meniscus lateralis dan mediatris.

47
Permukaan atasfacies articularis condylus tibiae terbagi atas area interecondylaris
anterior dan posterior; di antara kedua area ini terdapat eminentia intercondylaris.
Pada aspek lateral condylus lateralis terdapat facies articularisfibularis yang kecil
dan melingkar, dan bersendi dengan caputfibulae. Pada aspek posterior condylus
medialis terdapat insersimusculus semimembranosus8.
Corpus tibiae berbentuk segitiga pada potongan melintangnya.dan
mempunvai tiga margo dan tiga facies. Margo anterior danmedial, serta facies
medialis di antaranya terletak subkutan.Margo anterior menonjol dan membentuk
tulang kering. Padapertemuan antara margo anterior dan ujung atas tibia
terdapattuberositas, yang merupakan tempat lekat ligamentum patellae.Margo
anterior di bawah membulat, dan melanjutkan dirisebagai malleolus medialis.
Margo lateral atau margo interosseusmemberikan tempat perlekatan untuk
membrana interossea.Permukaan posterior corpus tibiae mempunyai linea
obliqua,yang disebut linea musculi solei, untuk tempatlekatnya musculus
soleus.Ujung bawah tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornyaterdapat
permukaan sendi berbentuk pelana untuk talus. Ujungbawah memanjang ke
bawah dan medial untuk membentukmalleolus medialis. Facies lateralis
malleolus medialis bersendidengan talus. Pada permukaan lateral ujung bawah
tibia terdapatlekukan yang lebar dan kasar untuk bersendi dengan fibula 7,8.

48
Gambar 2.46 Anatomi Tibia dan Fibula8

49
Gambar 2.47 Radioanaatomi Tibia dan Fibula9

50
2.4.2 Mekanisme Cedera
Fraktur tibial plateu disebabkan oleh gaya varus (angulasi kedalam) atau
gaya valgus (angulasi keluar) yang dikombinaikan dengan axial loading atau
weight bearing pada lutut. Situasi yang digambarkan secara klasik dimana sebua
mobil yang menabrak lutut pejalan kaki yang disebut fraktur bumper. Namun
sebagian besar fraktur ini terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor atau
terjatuh7.

2.4.3 Klasifikasi
Klasifikasi yang digunakan berdasarkan sistem klasifikasi Schatzker yang
membagi fraktur tibial plateu menjadi 6 jenis26:
I : Fraktur tibial plateu lateral tanpa depresi
II : Fraktur tibial plateu lateral dengan depresi
III: Fraktur kompresi lateral
III A : Fraktur kompresi lateral dengan depresi lateral
III B : Fraktur kompresi lateral dengan depresi sentral
IV: Fraktur tibial plateu medial
V: Fraktur tibial plateu medial dan lateral (bikondiler)
VI: Fraktur tibial plateu dengan diskontinuitas diafisis
Tiga jenis pertama (I,II,III) biasanya akibat dari cedera berkekuatan rendah dan
jenis kedua (IV,V,VI) dari cedera berkekuatan tinggi. Namun, pada tulang
osteoporosis cedera berkekuatan rendah dapat menghasilkan pola fraktur yang
serupa dengan cedera berkekuatan tinggi. Besarnya kekuatan menentukan tingkat
fragmentasi dan tingkat displacement26.

51
Gambar 2.48 Klasifikasi Schatzker Fraktur Tibial Plate26u

a. Fraktur Tipe I
Fraktur tipe I merupakan fraktur berbentuk wedge-shaped dari tibial
plateu lateral dimana terjadi displacement atau depresi kurang dari 4 mm. Fraktur
ini disebabkan oleh kondiler femoral lateral yang mendorong permukaan artikular
dari tibial plateu. Fraktur ini mewakili sebanyak 6% dari semua fraktur tibial
plateu dan lebi sering terjadi pada pasien usia muda dengan mineralisasi tulang
normal26,27.

Gambar 2.49 Fraktur tipe I pada pria usia 50 tahun yang mengalami kecelakaan
kendaraan bermotor. (a) Gambar menunjukkan fraktur tipe Schatzker I. (b) Foto
polos menunjukkan fraktur split dari tibial plateu lateral dengan kemungkinan
depresi. (c) Coronal CT scan menunjukkan tidak ada depresi dari tibial plateu,
temuan sesuai dengan fraktur tipe Schatzker I26.

52
b. Fraktur tipe II
Fraktur tipe II hampir sama seperti tipe I, tapi ditandai dengan adanya
depresi dari tibial plateu lateral. Depresi tibial plateu diukur sebagai jarak vertikal
antara titik terendah di medial yang intak dan depresi terendah dari fragmen
fraktur tibial plateu. Dikatakan terdapat depresi apabila lebih dari 4 mm. Fraktur
ini mewakili 25% dari semua fraktur tibial plateu dan lebih sering pada populasi
usia dekade 4 atau usia lanjut karena dipengaruhi oleh tingkat osteopenia
sehingga depresi bisa terjadi26,27.

Gambar 2.50 Fraktur tipe II pada pasien pria usia 48 tahun dalam kecelakaan
kendaraan bermotor. (a) diagram gambar menunjukkan fraktur tipe Schaztker II.
(b) Foto polos menunjukkan gambaran pemisahan fraktur tibial plateu dengan
depresi yang halus, yang kemungkinan dicurigai sebagai fraktur tipe I. (c)
Coronal CT scan menunjukkan depresi 4 mm, temuan yang mengarah kepada
fraktur tipe II26.
c. Fraktur tipe III
Fraktur tipe III murni fraktur kompresi dari tibial plateu lateral dimana
permukaan artikular dari tibial plateu depresi dan terdorong ke arah metafisis
tibial lateral akibat gaya axial. Fraktur ini mewakili 36% dari semua jenis fraktur
tibial plateu dan lebih sering terjadi pada kelompok usia yang lebih tua (dekade 4
dan 5). Fraktur tipe III dibagi menjadi 2, yaitu tipe IIIA dengan adanya depresi
lateral, dan IIIB dengan adanya depresi sentral26.

53
Gambar 2.51 Fraktur tipe IIIA pada wanita usia 55 tahun yang terjatuh pada es
dan mencederai lututnya. (a) gambar menunjukkan fraktur tipe Schaztker IIIA.
(b) Foto polos menunjukkan depresi tibial plateu lateral. (c) Coronal CT scan
menunjukkan depresi tibial plateu latera26l

Gambar 2.52 Fraktur tibial plateu tipe IIIB pada laki-laki usia 18 tahun yang
terjatuh dan lututnya terpelintir. (a) Diagram menunjukkan fraktur tipe Schaztker
tipe IIIB. (b) Foto polos menunjukkan fraktur halus dari tibial plateu anterior. (c)
Coronal proton-density-weighted MR menunjukkan fraktur kompresi dari
iminens interkondilar dan depresi sentral dari tibial plateu. (d) Sagital T2-
weighted MR menunjukkan cedera avulsi di ACL (panah)26.

54
d. Fraktur tipe IV
Fraktur tipe IV merupakan fraktur tibial plateu medial dengan komponen
split atau depresi. Mekanisme cedera melibatkan gaya varus dengan axial loading
pada lutut. Fraktur ini mewakili 10% dari semua fraktur tibial plateu dan dengan
prognosis yang buruk27.

Gambar 2.53 Fraktur tipe IV pada wanita usia 51 tahun yang mengalami tabrakan
motor berkecepatan tinggi. (a) Diagram menunjukkan fraktur tipe Schatzker tipe
IV. (b) Foto polos menunjukkan fraktur split dari tibial plateu medial dengan
subluksasi medial dari lutut. (c) Coronal CT scan menunjukkan fraktur tibial
plateu medial dan subluksasi medial26.

e. Fraktur tipe V
Fraktur tipe V merupakan fraktur pada tibial plateu medial dan lateral
yang sering tampak sebagai tampilan Y terbalik. Depresi artikular biasanya
terlihat di bagian lateral, dan mungkin ada fraktur dari iminens interkondilar.
Fraktur ini mewakili 3% dari semua fraktur tibial plateu dan tipikalnya
diakibatkan oleh mekanisme cedera berkekuatan tinggi26,27,28.

55
Gambar 2.54 Fraktur tipe V pada pria usia 60 tahun yang jatuh dari ketinggian 12
kaki (3.6 m). (a) Diagram menunjukkan fraktur tipe Schatzker V. (b) Foto polos
menunjukkan fraktur split bikondilar. (c) Coronal CT scan menunjukkan fraktur
split bikondilar26.

f. Fraktur tipe VI
Fraktur tipe VI merupakan fraktur subkondilar transvers dengan
disosiasi metafisis dari diafisis. Pola fraktur dari kondilar bervariasi, dan semua
tipe fraktur dapat terjadi. Fraktur ini mewakili 20% dari semua fraktur tibial
plateu26,28.

Gambar 2.55 Fraktur tipe VI pada wanita usia 43 tahun yang terjatuh dari tangga.
(a) Diagram menunjukkan fraktur tipe Schatzker tipe VI. (b) Foto polos
menunjukkan fraktur metafisis-diafisis. (c) Coronal CT scan menunjukkan
komponen fraktur split lateral26.

56
2.5 Fraktur Shaft Tibia
2.5.1 Mekanisme Cedera
Fraktur shaft (diafisis) tibia terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan
menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi
akan menimbulkan fraktur tipe spiral. Fraktur tibia biasanya terjadi pada batas
antara 1/3 bagian tengah dan 1/3 bagian distal. Tungkai bawah bagian depan
sangat sedikit ditutupi otot sehingga fraktur pada daerah tibia sering bersifat
terbuka. Penyebab utama terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu lintas 7.

2.5.2 Klasifikasi
Klasifikasi dari fraktur diafisis tibia bermanfaat untuk kepentingan para
dokter yang menggunakannya untuk memperkirakan kemungkinan penyembuhan
dari fraktur dalam menjalankan penatalaksanaannya.7
Orthopaedic Trauma Association (OTA) membagi fraktur diafisis tibia
berdasarkan pemeriksaan radiografi, terbagi 3 grup, yaitu: simple, wedge dan
kompleks. Masing–masing grup terbagi lagi menjadi 3 yaitu7:
A. Tipe simple, terbagi 3: spiral, oblik, tranversal.
B. Tipe wedge, terbagi 3: spiral, bending, dan fragmen.
C. Tipe kompleks, terbagi 3: spiral, segmen, dan iregular.

Gambar 2.56 Klasifikasi Fraktur Shaft Tibia berdasarkan OTA7

57
Terdapat pula klasifikasi berdasarkan fraktur terbuka atau tertutup.
Klasifikasi fraktur terbuka yang sering digunakan adalah sistem Gustillo
Anderson sebagai berikut7 :
a. Tipe I: lukanya bersih dan panjangnya kurang dari 1 cm.
b. Tipe II: panjang luka lebih dari 1 cm dan tanpa kerusakan jaringan lunak
yang luas.
c. Tipe IIIa: luka dengan kerusakan jaringan yang luas, biasanya lebih dari 10
cm dan mengenai periosteum. Fraktur tipe ini dapat disertai kemungkinan
komplikasi, contohnya: luka tembak.
d. Tipe IIIb: luka dengan tulang yang periosteumnya terangkat.
e. Tipe IIIc: fraktur dengan gangguan vaskular dan memerlukan penanganan
terhadap vaskularnya agar vaskularisasi tungkai dapat normal kembali.
Klasifikasi fraktur tertutup yang digunakan adalah sisttem Tscherne sebagai
berikut 7:
a. Grade 0 : cedera jaringan lunak yang sedikit dan dapat diabaikan
b. Grade 1: abrasi superficial, atau kontusio jaringan lunak
c. Grade 2: kontusio signifikan pada otot, abrasi kulit terkontaminasi
d. Grade 3: cedera jaringan lunak yang berat, dapat disertai degloving,
crushing, sindrom kompartemenataupun cedera vaskular

Gambar 2.57 Displaced fraktur spiral minimal pada distal tibia akibat twisting
pada cedera sepakbola. (a) radiograf AP dan (b) lateral menunjukkan gambaran
fraktur tibia (panah) tanpa asosiasi dengan tulang fibula.

58
Gambar 2.58 (a) radiografi AP dan (b) lateral tampak gambaran displaced
minimal fraktur transversal dari tibia dan fibula bagian tengah.

Gambar 2.59Radiograf AP menunjukkan gambaran fraktur wedge (butterfly


fragment) dari proksimal tiba dengan fraktur kominutif fibula.

59
2.6. Fraktur Ankle
Fraktur ankle merupakan fraktur pada pergelangan kaki yang disertai
subluksasi atau dislokasi yang disebut juga sebagai Pott’s fracture. Fraktur ini
merupakan salah satu fraktur tersering yang harus diterapi dengan Bedah
Orthopaedic. Identifikasi fraktur ini harus dilakukan dengan hati-hati karena
dapat mempengaruhi terapi yang diberikan. Mengetahui mekanisme cedera,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, serta terapi awal yang diberikan dapat
menjadi poin-poin penting untuk membantu identifikasi fraktur. 7, 29,30

2.6.1 Klasifikasi
Fraktur ankle memiliki beberapa klasifikasi. Berdasarkan derajat cedera,
fraktur ankle dikelompokan menjadi 29,30:
- Cedera derajat I : jika mengenai satu maleolus
- Cedera derajat II : jika mengenai dua maleolus
- Cedera derajat III : jika mengenai tepi belakang tibia atau jika mengenai
dua maleolus dengan satu ligament

Menurut Lauge-Hansen, berdasarkan pada posisi kaki dan gaya yang bekerja saat
trauma terjadi, fraktur ankle dikelompokan menjadi 30,31:
- Supinasi-rotasi eksternal
- Supinasi-adduksi
- Pronasi-rotasi eksternal
- Pronasi-abduksi
Kata pertama pada system klasifikasi ini digunakan untuk menyatakan posisi
sedangkan kata kedua menyatakan gaya yang bekerja.

Menurut AO-Orthopaedic Trauma Association Classification / Danis-Weber


berdasarkan letak fraktur fibula7,31:
- A, dibawah garis sendi pergelangan kaki
- B, ada garais persendian
- C, diatas pergelangan kaki

60
2.6.2 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis menunjukan adanya rasa nyeri dan umumnya pasien tidak
mampu menopang berat badan pada pergelangan kaki yang cedera, bengkak
terlihat jelas, dan deformitas tergantung pada jenis cedera. Bila kedua maleolus
mengalami fraktur, dapat terlihat pergeseran kaki terhadap tungkai. 30
Pada pemeriksaan fisik, penting mempalpasi daerah yang dicurigai fraktur
dan menginspeksi tiap patahan pada kulit, memeriksa pulsasi arteri dorsalis pedis
dan tibia posterior dan semua saraf sensoris maupun motoris pada kaki,
memeriksa ada atau tidaknya pembengkakan yang parah dan kemungkinan
terjadinya sindrom kompartemen pada kaki.30
Karena epifisis ini kaya akan darah, penyembuhan dan pertautan dapat
berlangsung cepat dan tanpa gangguan. Fraktur maleolus selalu merupakan patah
tulang intraartikular. Pemulihan kembali bentuk permuakaan sendi dapat dicapai
tanpa gangguan dengan reposisi dan imobilisasi pecahan fraktur yang tepat. 30

2.6.3 Gambaran Radiologis


Mengambil gambar pergelangan kaki pasien yang sedang kesakitan dan bengkak
memang lazim dilakukan dalam pemeriksaan ini. Pada fraktur daerah ankle,
dibutuhkan 3 posisi foto, yaitu foto AP, Lateral, dan Mortise (pasien tidur
telentang dengan kaki internal rotasi 150). Namun biasanya dengan foto polos AP
dan Lateral saja, diagnosis sudah dapat ditegakan. Tidak simetrisnya gambaran
sendi antara talus, tibua dan fibula pada foto Mortise, dapat menjadi indikasi
adanya instabilitas pada ankle baik karena fraktur maupun karena subluksasi 7,31

.
(A) (B) (C)
Gambar 2.60Foto polos (A) AP, (B) Mortise, (C) Lateral 31

61
Gambar 2.61Posisi pengambilan foto Mortise 31

Gambar 2.62Foto Ankle Antero-Posterior Normal 9

62
Gambar 2.63 Foto Ankle Lateral Normal9

Gambar 2.64Foto Ankle Oblique Normal 9

63
CT Scan jarang digunakan untuk mengevaluasi fraktur ankle. CT scan
biasanya digunakan bila klinisi memerlukan konfirmasi dari foto Mortise
mengenai hubungan tibua dan fibula, cedera pada tendon posterior tibia, fraktur
maleolus posterior, serta ada atau tidaknya fraktur kominutif berat pada
intraartikuler.7,31

Gambar 2.65CT Scan pada fraktur maleolus posterior7

2.6.4 Jenis Fraktur Ankle


2.6.4.1 Fraktur Maleolus Medial
Ada dua macam cedera yang dapat menyebabkan fraktur maleolus
medialis, yaitu cedera abduksi yang mengakibatkan avulsi maleolus medialis
dibawah garis sendi dengan garis fraktur sejajar arah sendi dan cedera adduksi
yang menyebabkan fraktur maleolus medialis pada garis sendi dengan garis
fraktur miring kearah cranial. Pada cedera abduksi, maleolus medialis ditarik
lepas oleh ligament kolateralis medialis, sedangkan pada cedera adduksi maleolus
medialis didorong terlepas oleh tulang talus 30,31

64
Gambar 2.66Fraktur maleolus medial adduksi dan abduksi30

Gambar 2.67 Gambaran fraktur maleolus medial pada foto ankle AP7
Reduksi tertutup mungkin saja dilakukan, tetapi biasanya tidak stabil
sehingga dibutuhkan reduksi terbuka dengan pemasangan fiksasi dalam sekrup
dan kemudian diimobilisasi dengan gips sampai setinggi bawah lutut selama
delapan minggu. Komplikasi yang sering terjadi adalah kegagalan pertautan (non
union).30,31

2.6.4.2 Fraktur Maleolus Lateralis


Terjadi akibat cedera dengan adanya tekanan kearah abduksi dan rotasi
ekstena. Reduksi tertutup biasanya cukup berhasil karena stabil. Biasanya
imobilisasi dengan gips setinggi bawah lutut selama enam minggu cukup untuk
menunggu penyembuhan tulang dan ligament.7,30

65
Gambar 2.68Fraktur maleolus lateral 7

2.6.4.3 Fraktur maleolus lateral dengan robekan ligament medial


Patah maleolus lateral yang disertai rupture ligament merupakan cedera
pada posisi abduksi dan rotasi eksterna, yang membuat maleolus lateral patah dan
ligament medial robek, sehingga talus bergeser ke lateral. 30
Pemeriksaan radiologis menunjukan adanya celah antara talus dan maleolus
medial. Reduksi tertutup dapat dilakukan, tetapi biasanya perlu dilakukan
pemjahitan rupture ligament sekaligus fiksasi interna pada maleolus lateral.
Imobilisai dengan gips setinggi dibawah lutut selama enam minggu dibutuhkan
untuk menjamin penyembuhan tulang dan ligament. 30

(A) (B)
Gambar 2.69Fraktur Maleolus Lateral (A) sebelum reduksi, (B) setelah reduksi 30

66
2.6.4.4 Fraktur Bimaleolaris
Cedera abduksi dan eksorotasi yang berat menyebabkan maleolus lateral
patah diatas garis sendi . walaupun maleolus biasanya dapat direposisi secara
tertutup, kadang reposisi tidak stabil sehingga sebaiknya dilakukan ORIF pada
kedua maleolus. Imobilisasi dengan gips bawah lutut dikenakan selam atiga
bulan. Cedera ini sering disertai dengan pemisahan ligament tibiofibular dan
pergeseran talus ke lateral. Reposisi kedua maleolus secara terbuka perlu
ditambah dengan pemasangan skrup melalui sendi tibiofibular. Sesudah
imobilisasi dengan gips setinggi bawah lutut selama 8 minggu, sekrup in harus
diangkat 7,30,31.

(A) (B)
Gambar 2.70Fraktur (A) sebelum reduksi, (B) setelah reduksi30

2.6.4.5 Fraktur Kompresi pada Tibia


Disebut patah tulang tiang dan terjadi bila seseorang melompat atau terjatuh
dari ketinggian dengan posisi kaki sebagai tumpuan yang mengakibatkan fraktur
pada ujung tibia dengan kerusakan total pada permukaan bawah tibia pada sendi
pergelangan kaki. Jika fragmentasi tulang tidak begitu banyak, reduksi terbuka
dapat menyembuhkan, tetapi kadang sendi sedemikian rusaknya sehingga sulit
untuk difiksasi. Pada keadaan ini yang dapat dilakukan hanyalah artrodesis
primer.7,30,31
Komplikasi pasca cedera yang sering ditemukan adalah kekakuan sendi.
Umumnya latihan aktif yang teratur dan berkesinambungan dapat membantu
mencegah komplikasi. Pembengkakan jaringan lunak sulit untuk dicegah dan
hampir tidak dapat dihindarkan. Non-union jarang terjadi kecuali pada maleolus
medial. Walaupun tidak terlalu menimbulkan keluhan, komplikasi berupa

67
malunion relative lebih sering ditemukan dan kelak menyebabkan artrosis
degenerative. 7,31

2.7 Fraktur Pedis


Pedis dibentuk oleh 26 buah tulang yang dibagi menjadi 3 kelompok besar,
yaitu tulang tarsal (7 buah), tulang metatarsal (5 buah), dan phalanges (14 buah).
Pedis terdiri dari 3 bagian, yaitu hindfoot, midfoot, dan forefoot. Hindfoot
dibentuk oleh os talus dan os calcaneus. Midfoot dibentuk oleh os cuboid,
os.navicular, os.medial cuneiform, os.middle cuneiform, dan lateral cuneiform.
Forefoot dibentuk oleh metatarsal dan phalanges. 32,33

(A)

(B)
Gambar 2.71Tulang-tulang pada pedis dari medial (A) dan lateral (B)15

68
(A) (B)
Gambar 2.72 gambar tulang-tulang pedis dari plantar (A) dan proksimal (B) 15

Gambar 2.73 Gambaran radiologis pedis lateral 9

69
Gambar 2.74gambaran radiologi forefoot AP9

Gambar 2.75Gambaran radiologis forefoot Obliq9

70
Gambar 2.76Gambaran radiologis hindfoot saat pasien berdiri9

Gambar 2.77Gambaran radiologis Calcaneus lateral9

71
Gambar 2.78gambaran radiologis calcaneus tangential 9

Gambar. 2.79Gambaran radiologis ankle obliq (1)9

72
Gambar 2.80gambar radiologi Ankle obliq (2)9

2.7.1 Fraktur Talus


Tulang talus merupakan sebuah tulang pada hindfoot yang berfungsi untuk
menopang berat tubuh. Kurang lebih 60% permukaannya dikelilingi oleh
cartilage art Os talus tidak dilekati oleh otot dan sebagian besar permukaannya
dilaposis olehtulang rawan sendi sehingga pendarahan tidak cukup banyak. Oleh
sebab itu, farktur leher talus dapat menyebabkan nekrosis avaskular pada bagian
korpusnya dan menimbulkan non-union (terjadi pada 50% kasus). 30,31

Gambar 2.81anatomi tulang talus 15

73
Fraktur Talus terjadi pada 3% dari seluruh kejadian fraktur pada pedis dan
50% diantaranya merupakan fraktur di daerah leher Talus dan 7-38% merupakan
fraktur corpus Talus. Fraktur ini dapat disebabkan karena trauma berkekuatan
tinggi pada kaki dengan posisi kaki yang hiperekstensi 30,31 Berdasarkan
lokasinya, fraktur Talus diklasifikasikan menjadi 31:
1. Fraktur leher Talus
a. Type I : Fraktur vertical leher Talus nondisplaced
b. Type II : Fraktur displaced leher Talus dengan subluksasi atau
dislokasi subtalar joint, sendi ankle normal
c. Type III : Fraktur displaced leher Talus dengan dislokasi ankle dan
subtalar joint
d. Type IV : Extrusion talus

(A) (B) (C)

(D) (E)
Gambaran 2.82fraktur leher Talus (A) type I, (B) type II dengan
subluksasi, (C) type II dengan dislokasi, (D) type III, (E) type IV 7,34

74
2. Fraktur badan Talus
a. Type I : Fraktur coronal atau sagital
b. Type II : Fraktur Horizontal
3. Fraktur prosesus Talus
a. Fraktur prosesus posterior
b. Fraktur prosesus lateral

Gambar 2.83fraktur prosesus lateral7

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri dan deformitas pada ankle
dan hindfoot. Pemeriksaan radiologis sangat diperlukan untuk membantu
diagnosis. Foto polos AP dan lateral ankle disertai foto polos obliq Talus dapat
membantu menemukan fraktur pada leher Talus31.
Penanganan awal dilakukan denganimobilisasidan elevasi tungkai bawah.
Reduksi tertutup direkomendasikan untuk mengurangi resiko nekrosis pada kulit
dan infelsi sekunder. Tindakan pembedahan dapat diperlukan pada type II dan III
fraktur leher Talus. Nyeri dapat dihilangkan dengan analgesic opioid 30,31.

2.7.2 Fraktur Kalkaneus


Kalkaneus merupakan tulang spongiosa dengan korteks yang tipis. Tulang
kalkaneus mendapat darah yang cukup banyak dengan 60-75% nya merupakan
fraktus displaced intra-artikular. Jatuh dari ketinggian dengan bertopang pada
satu kaki merupakan penyebab paling sering. Pada keadaan ini dapat juga terjadi
patah tulang kompresi pada vertebra torakolumbal (10%) dan cedera ekstremitas
lainnya (26%). Karena itu, sangat penting secara klinis maupun radiologis untuk

75
melakukan tindakan antisipasi kemungkinan adanya fraktur kompresi vertebra.
Tidak jarang fraktur kompresi kalkaneus dan fraktur kompresi torakolumbal
disertai dengan komosio atau kontusio serebelum karena benturan. 7,30,31

(A)

(B)
Gambar 2.84 Anatomi Calcaneus tampak lateral (A) dan medial (B)15

Fraktur kalkaneus dapat terjadi ekstraartikular maupun intraartikular.


Masalah penting yang harus dipikirkan dalam menangani fraktur kalkaneus
ekstraartikuler adalah pembengkakannya lebih hebat, deformitas lebih jelas, serta
nyeri yang hebat pada pergerakan sendi subtalar, namun memilihi prognosis yang
baik dengan terapi non operatif.30,31
Fraktur ekstraartikuler terjadi pada tuberositas kalkaneus yang garis
frakturnya vertical maupun horizontal. Secara klinis ditandai dengan adanya rasa
nyeri yang hebat, pembengkakan, dan ketidakmampuan kaki yang sakit untuk
menopang berat badan. Kalkaneus menjadi lebar dan datar. Jika garis frakturnya
vertical, kedua fragmen dikompresi secara manual dari kedua sisi, kemudian kaki
di istirahatkan dengan posisi terangkat selama satu minggu, setelah bengkak
berkurang, pasang gips dalam posisi equines untuk mencegah pergeseran.Jika

76
garis frakturnya horizontal, bagian lateral sendi subtalar yang terpisah dan
terdepresi harus diperbaiki secara ORIF dan dibawah fragmen yang terdepresi
dipasang graft tulang spongiosa.7,30,31
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan bengkak pada tumit, rasa nyeri
yang sangat hebat pada bagian hindfoot. Dapat juga ditemukan nyeri pada daerah
pinggang bila disertai dengan cedera pada vertebre.7,31
Pemeriksaan radiologis AP, Lateral dan oblique hindfoot, Harris axial view
pada tumit dapat membantu menegakan diagnosis. Pada foto polos terdapat dua
buah sudut yang penting, yaitu Böhler’s angel dan Crucial angel of Gissane.
Böhler’s angel dibentuk oleh aspek superior dan bagian tertinggii posterior
kalkaneus dengan bagian posterior subtalar surface. Sedangkan Crucial angel of
Gissane dibentuk oleh bagian tertinggi prosesus anterior menuju margin
posterior permukaan subtalar. Normalnya, sudut tersebut berada diantara 20-400.
Bila sudut mengecil, maka dapat disimpulkan telah terjadi fraktur kalkaneus
meskipun kemungkinan fraktur kalkaneus tetap ada meskipun sudutnya normal.

(A) (B)
Gambar 2.85 Foto polos hindfoot AP (A), Harris axial view (B)7

77
Gambar 2.86 Sudut pada foto polos kalkaneus7

CT Scan juga dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi cedera


intraartikular. Klasifikasi Sanders digunakan untuk membantu merencanakan
tindakan bedah yang didasari oleh hasil CT Scan faset posterior, dengan
pembagian7,31:
a. Type I : Nondisplaced
b. Type II : Terdapat 2 bagian fraktur pada faset posterior
c. Type III : Terdapat 3 bagian fraktur dengan 2 fraktur linear
d. Type IV : Terdapat 4 bagian fraktur dengan kominutif berat

Gambar 2.87Klasifikasi Sanders 7

78
Pada fraktuf kominutif kalkaneus, tidak dilakukan reduksi. Penanganannya
non bedah, yakni mengangkat kaki selama satu minggu, dan latihan aktif. Hasil
pengobatan biasanya tidak memuaskan. Misalnya tumit terlihat lebar, kaku, serta
nyeri pada sendi subtalar dan penurunan kekuatan otot betis. Tindakan operatif
berupa artrodesis sendi subtalar dapat dilakukan 2-3 minggu pasca cedera dan
tungkai tidak boleh digunakan untuk menopang berat badan setidaknya selama
tiga bulan.7,31

2.7.3 Fraktur Metatarsal


Metatarsal merupakan tulang penyusun forefoot. Fraktur pada tulang ini
sering terajdi bila dorsum kaki tertimpa benda berat atau terlindas roda
kendaraan. Biasanya terjadi fraktur pada beberapa tulang metatarsal sekaligus.
Fraktur dapat terjadi pada semua usia .Selain fraktur, perdarahan dan gangguan
sirkulasi pada kaki itu sendiri harus diperhatikan.30,31
Pasien dapat ditemukan keluhan nyeri, dan deformitas. Penanganan
bertujuan mengembalikan fragmen metatarsal tersebut pada posisi semula karena
fraktur yang terdepresi akan menyebabkan . Bahan elastic harus dihindarkan
karena akan menganggu sirkulasi. Menopang berat badan pada kaki cedera yang
digips tidak diperbolehkan setidaknya selama empat minggu. Sesudah itu
dilakukan pemasangan gips untuk berjalan selama empat minggu berikutnya.30,31
Pada pemeriksaan penunjang, foto polos AP, lateral, dan obliq paling
banyak digunakan untuk membantu diagnosis. Namun bila terdapat keraguan
pada hasil foto polos, bone scaning dengan MRI mungkin dapat membantu
mendeteksi fraktur. 7,31
Fraktur metatarsal II kadang ditemukan sebagai patah tulang berbaris, yaitu
fraktur yang disebabkan oleh pembebanan terus menerus lama sekali seperti pada
saat berbaris lama atau lari marathon. Gejala dan tanda fraktur metatarsal adalah
seperti gejala patah tulang pada umumnya kecuali tidak terdapat dislokasi. Pada
foto rontgen, fraktur metatarsal II baru terlihat setelnnjhah satu minggu karena
patah tulang ini merupakan retak halus. Setelah satu minggu, baru tampak daerah
osteoporosis disekitar retakan akibat hyperemia setempat. Imobilisasi tertututp
menghasilkan penyembuhan dalam waktu satu bulan. 30,31

79
(A) (B)
Gambar 2.88gambaran radiologis fraktur kominutif pada metatarsal satu.
Sebelum diterapi (A) dan saat diterapi (B) .7

(A) (B)
Gambar 2.89gambaran radiologis fraktur displaced pada shaft metatarsal
dua, tiga, dan empat. Sebelum diterapi (A) dan saat diterapi (B). 7

80
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dan struktur tulang, tulang rawan dan
lepeng pertumbuhan yang dapat disebabkan oleh trauma dan non trauma, seperti
kelainan metabolik, kelainan kongenital, dan neoplasma. Penyebab terbanyak
dari fraktur ekstremitas inferior adalah trauma. Fraktur pada ekstremitas inferior
memiliki beragam jenis seperti fraktur pada pelvis, fraktur femur, fraktur patela,
fraktur tibia dan fibula, fraktur ankle, dan fraktur pada tulang-tulang pedis.
Fraktur dapat muncul tergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya.
Namun pada tulang yang sudah memiliki kelainan sebelumnya, tidak dibutuhkan
kekuatan yang besar untuk membuat tulang menjadi patah karena kontinuitas
tulang tersebut memang kurang baik
Diagnosa yang tepat sangat dibutuhkan agar dapat memberikan terapi yang
sesuai untuk pasien. Pemeriksaan penunjang terutama foto polos dapat membantu
menegakkan diagnosa disamping pemeriksaan laboratorium, mikrobiologi, dan
Patologi Anatomi. Bila fraktur tampak kurang jelas dengan foto polos, klinisi
dapat mengkonfirmasi dengan menggunakan CT Scan atau MRI. Pemeriksaan
radiologis dapat tetap dilakukan meskipun pasien masih kesakitan, bengkak
didaerah trauma, ataupun terdapat luka terbuka karena hasil pemeriksaan ini
dapat membantu menentukan apa tindakan yang harus dilakukan selanjutnya
sehingga dapat mempercepat penyembuhan tulang.

81
Daftar pustaka

1. Appley, A.G & Solomon. Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley. Jakarta: Widya
Medika. 2010.
2. Rodrigeus TMA, Dantas REA, Santos DM, Camporez JPG, Garcia RAP, Estevan CS
et all. Prevalence of Hip and lower limb fracture in the city of Arcaju, Brazil. 2012.
Scientia Plena.www.scientiaplena.org.br
3. Noorisa R , Apriliwati D, Aziz A, Bayusentono S. The characteristic of patients with
femoral fracture in department of orthopaedic and traumatology RSUD DR. Soetomo
Surabaya 2013-2013. Journal of Orthopaedi & Traumatology Surabaya JOINTS.
2017. http://journal.unair.ac.id/journal-of-orthopaedic-and-traumatology-surabaya-
media-104.html
4. World Health Organization. Global Health Observatory Data Repository. 2011.
http://apps.who.int/gho/data/?theme= main. Accessed
5. Badan Litbangkes Kemenkes RI. Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan tahun
2011, Jakarta. 2011.
6. Alice S, Jack A, Porrino, Felix S. Radiograph pitfalls in lower ekstremity trauma.
American Journal of Roentgenology. 2014; 203 : 492-500
7. Rockwood and Green. Fractures in adults. 8thed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2015.
8. Snell, Richard S.Anatomi klinis berdasarkan sistem.Jakarta: EGC, 2011.
9. Moeler TB, Reif E. Pocket Atlas of Radiographic Anatomy. Third Edition. Germany :
Georg Thieme Verlag. 2010
10. Pennal GF, Tile M, Waddell JP, Garside H. Pelvic disruption: assessment and
classification. Clin Or-thop Relat Res 1980 (151):12–21.
11. Burgess AR, Eastridge BJ, Young JW, et al. Pelvic ring disruptions: effective
classification system and treatment protocols. J Trauma 1990;30(7): 848–856.
12. Khurana B, Sheehan SE, Aaron MS, Sadickson, Weaver MJ. Pelvic ring fractures:
What the orthopedic surgeon wants to know. RadioGraphics 2014; 34:1317–1333.
13. Kurylo JC, Tornetta P 3rd. Initial management and classification of pelvic fractures.
Instr Course Lect 2012;61:3–18
14. Ellis H. Clinical Anatomy : A revision and applied anatomy for clinical students.
Eleventh Edition ; Blackwell publishing. 2006.
15. Paulsen F, Waschke J. Sobotta : atlas anatomi manusia . Edisi 23. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC. 2013.
16. Netter , Frank H. Atlas of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta : EGC.2014
17. Sheehan SE, Shyu JY, Weaver MJ, Sodickson AD, Khurana B. Proximal Femoral
Fractures: What the Orthopedic Surgeon Wants to Know . RadioGraphics 2015;
35:1563–1584. Accesed www.rsna.org/education/search/RG
18. Van Embden D, Rhemrev SJ, Meylaerts SA, Roukema GR. The comparison of two
classifications for trochanteric femur fractures: the AO/ASIF classification and the
Jensen classification. Injury 2010;41(4):377–381
19. Reiter M, O’Brien SD, Bui-Mansfield LT, Alderete J. Greater trochanteric fracture
with occult intertrochanteric extension. Emerg Radiol 2013;20(5):469–472.
20. Wiesel BB, Sankar WN, Delahay JN, Wiesel SM, 2011. Orthopaedi Surgery :
Principles of Diagnosis and Treatment. USA : Lippincott Williams & Wilkins
21. Maheshwari J. Essential Orthopaedia 5th Edition. India : The Health Sciences
Publisher. 2015
22. Gwinner C, Mardian S, Schwabe P, Schaser KD, Krapohl BD, JungTM. concepts
review: Fractures of the patella. GMSInterdiscip Plast Reconstr Surg. 2016.
23. Scolaro J, Bernstein J, Ahn J. Patellar fractures. Clin Orthop Relat Res. 2011;
469:1213–1215.
24. Jarrayal, M, Diaz, LE, Arnd, WF, Roemer, FW, Germazi, A. Imaging of pattellar
fractures. Springer, 2016.
25. Lazaro LE,Wellman DS, Pardee NC et al. Effect of computerizedtomography on
classification and treatment plan for patellarfractures. J OrthopTrauma 2013; 27:336–
344
26. Markhardt, B.K, Gross, JM, Monu, J. schatzker classification of tibial plateu
fractures: Use of CT and MR imaging improves assessment. RSNA 2009;29(2):585-
598.
27. Barei DP, Nork SE, Mills WJ, Coles CP, HenleyMB, Benirschke SK. Functional
outcomes of severebicondylar tibial plateau fractures treated with dualincisions and
medial and lateral plates. J Bone JointSurg Am 2006;88(8):1713–1721.
28. Rademakers MV. Operative treatment of 109 tibialplateau fractures: five- to 27-year
follow-up results.J Orthop Trauma 2007;21(1):5–10.
29. Rasad, S. Radiologi Diagnostik. Edisi kedua. Jakarta: EGC.2005.
30. Sjamsuhidajat R, De Jong, W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ketiga. Jakarta: EGC.
2010.
31. Frassica FJ, Paul DS, John HW. The 5 minute orthopaedic consult. 2 nd ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins. 2007
32. Standing S, Gray H. Gray Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Pratice. 41st
ed. New York: Elsevier. 2015
33. Christman RA. Radiographic anatomy of the foot and ankle. J Am Podiatr Med Assoc.
Feb.105(1):51-60. 2015
34. Vaienti L, Francesco M, Ricardo G, Edoardo L. Therapeutic management of
complicated talar extrusion: literature review and case report. J Orthopaed Traumatol
(2011)12:61-64. 2011.

Anda mungkin juga menyukai