Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk lanjut usia
berbagai masalah klinis pada pasien lanjut usia akan menjadi semakin sering
dijumpai di praktek klinis. Jumlah penduduk di Indonesia menurut data
Perserikatan Bangsa Bangsa, Indonesia diperkirakan mengalami
peningkatan jumlah warga lanjut usia yang tertinggi di dunia, yaitu 414 %,
hanya dalam waktu 35 tahun (1990-2025), sedangkan di tahun 2020
diperkirakan jumlah penduduk lanjut usia akan mencapai 25,5 juta.
Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia, persentase
jumlah penduduk berusia lanjut tahun 1985 adalah 3,4 % dari total
penduduk, tahun 1990 meningkat menjadi 5,8 % dan di tahun 2000
mencapai 7,4 %,, seperti terlihat pada tabel 1. (Czeresna, 2006). Dokter
yang berpraktek perlu memahami kebutuhan yang unik pada populasi pasien
lanjut usia ini sehingga mereka akan lebih siap berkomunikasi secara efektif
selama kunjungan pasien lanjut usia tersebut (Hingle & Sherry, 2009).
Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal pada pasien
lanjut usia tidak hanya bergantung pada kebutuhan biomedis akan tetapi
juga tergantung dari perhatian terhadap keadaan sosial, ekonomi, kultural
dan psikologis pasien tersebut. Walaupun pelayanan kesehatan secara medis
pada pasien lanjut usia telah cukup baik tetapi mereka tetap memerlukan
komunikasi yang baik serta empati sebagai bagian penting dalam
penanganan persoalan kesehatan mereka. Komunikasi yang baik ini akan
sangat membantu dalam keterbatasan kapasitas fungsional, sosial, ekonomi,
perilaku emosi yang labil pada pasien lanjut usia (William et al., 2007).
Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang
memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan dan
meningkatkan kontrak dengan orang lain karena komunikasi dilakukan oleh
seseorang, setiap hari orang seringkali salah berpikir bahwa komunikasi
adalah sesuatu yang mudah. Namun sebenarnya adalah proses yang
kompleks yang melibatkan tingkah laku dan hubungan serta memungkinkan
individu berasosiasi dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya.
Hal itu merupakan peristiwa yang terus berlangsung secara dinamis
yang maknanya dipacu dan ditransmisikan. Untuk memperbaiki interpretasi
pasien terhadap pesan, perawat harus tidak terburu-buru dan mengurangi
kebisingan dan distraksi. Kalimat yang jelas dan mudah dimengerti dipakai
untuk menyampaikan pesan karena arti suatu kata sering kali telah lupa atau
ada kesulitan dalam mengorganisasi dan mengekspresikan pikiran. Instruksi
yang berurutan dan sederhana dapat dipakai untuk mengingatkan pasien dan
sering sangat membantu. (Bruner & Suddart, 2001 : 188).
Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan perubahan
verbal dan non verbal dari informasi dan ide. Komunikasi mengacu tidak
hanya pada isi tetapi juga pada perasaan dan emosi dimana individu
menyampaikan hubungan ( Potter-Perry, 301 ). Komunikasi pada lansia
membutuhkan perhatian khusus. Perawat harus waspada terhadap perubahan
fisik, psikologi, emosi, dan sosial yang memperngaruhi pola komunikasi.
Perubahan yang berhubungan dengan umur dalam sistem auditoris dapat
mengakibatkan kerusakan pada pendengaran. Perubahan pada telinga bagian
dalam dan telinga mengalangi proses pendengaran pada lansia sehingga
tidak toleran teradap suara. Berdasarkan hal – hal tersebut kami menulis
makalah ini yang berjudul “ komunikasi terapiutik pada lansia”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi komunikasi terapeutik ?
2. Apa manfaat komunikasi terapeutik ?
3. Bagaimana karakteristik lansia ?
4. Bagaimana cara pendekatan perawatan lansia dalam konteks komunikasi ?
5. Bagaimana teknik komunikasi pada lansia ?
6. Apa saja hambatan berkomunikasi dengan lansia ?
7. Bagaimana teknik perawatan lansia pada reaksi penolakan ?
8. Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan saat berinteraksi dengan lansia ?
9. Bagaimana terapi modalitas pada lansia ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi komunikasi terapeutik.
2. Untuk mengetahui manfaat komunikasi terapeutik .
3. Untuk mengetahui karakteristik lansia .
4. Untuk mengetahui cara pendekatan perawatan lansia dalam konteks
komunikasi.
5. Untuk mengetahui teknik komunikasi pada lansia.
6. Untuk mengetahui hambatan berkomunikasi dengan lansia.
7. Untuk mengetahui teknik perawatan lansia pada reaksi penolakan.
8. Untuk mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan saat berinteraksi dengan
lansia.
9. Untuk mengetahui terapi modalitas pada lansia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Komunikasi Terapiutik


Indrawati (2003) mengemukakan bahwa komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya
dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik adalah
hubungan kerja sama yang ditandai dengan tukar menukar perilaku,
perasaan, fikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim
terapeutik (Stuart dan Sundeen).
Komunikasi dengan lansia harus memperhatikan faktor fisik,
psikologi, (lingkungan dalam situasi individu harus mengaplikasikan
ketrampilan komunikasi yang tepat. disamping itu juga memerlukan
pemikiran penuh serta memperhatikan waktu yang tepat.
2.2 Manfaat Komunikasi Terapeutik
Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan
menganjurkan kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan
perawat dan pasien. Mengidentifikasi. mengungkap perasaan dan mengkaji
masalah dan evaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat (Indrawati,
2003 : 50).
2.3 Karakteristik Lansia
Berdasarkan usianya, organisasi kesehatan dunia (WHO)
mengelompokan usia lanjut menjadi empat macam meliputi:
 Usia pertengahan (middle age) kelompok usia 45 samapai 59 tahun
 Usia lanjut (elderly) kelompok usia antara 60 samapai 70 tahun
 Usia lanjut usai (old) kelompok usia antara 75 sampai 90 tahun
 Usaia tua (veryold)kelompk usia di atas 90 tahun
Meskipun batasan usia sangat beragam untuk menggolongkan lansia
namun perubahan-perubahan akibat dari usai tersebut telah dapat di
identifikasi, misalnya perubahan pada aspek fisik berupa perubahan
neurologi dan sensorik, perubahan visual, perubahan pendengaran.
Perubahan- perubahan tersebut dapat menghambat proses penerimaan dan
interprestasi terhadap maksud komunikasi. Perubahan ini juga menyebabkan
klien lansia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Belum lagi
perubahan kognetif yang berpengaruh pada tingkat intelegensi, kemampuan
belajar, daya memori dan motivasi klien.
Perubahan emosi yang sering terlihat adalah berupa reaksi penolakan
terhadap kondisi yang terjadi. Gejala-gejala penolakan tersebut misalnya:
 Tidak percaya terhadap diagnose, gejala, perkembangan serta keterangan
yang di berikan petugas kesehatan
 Mengubah keterangan yang di berikan sedemikian rupa, sehinga di terima
keliru.
 Menolak membicarakan perawatanya di rumah sakit
 Menolak ikut serta dalam perawatan dirinya secara umum khususnya
tindakan yang mengikut sertakan dirinya
 Menolak nasehat-nasehat misalnya, istirahat baring, berganti posisi tidur,
terutama bila nasehat tersebut demi kenyamanan klien.
2.4 Pendekatan Perawatan Lansia Dalam Konteks Komunikasi
a. Pendekatan fisik
Mencari informasi tentang kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian, yang
dialami, peruban fisik organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa di
capai dan di kembangkan serta penyakit yang dapat di cegah
progresifitasnya. Pendekatan ini relative lebih mudah di laksanakan dan di
carikan solusinya karena riil dan mudah di observasi.
b. Pendekatan psikologis
Karena pendekatan ini sifatnya absrak dan mengarah pada perubahan
prilaku, maka umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Untuk
melaksanakan pendekatan ini perawat berperan sebagai konselor, advokat,
supporter, interpreter terhadap sesuatu yang asing atau sebagai penampung
masalah-masalah yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab bagi klien.
c. Pendekatan social
Pendekatan ini di lakukan untuk meningkatkan keterampilan berinteraksi
dalam lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain,
atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok merupakan implementasi dari
pendekatan ini agar klien dapat berinteraksi dengan sesama klien maupun
dengan petugas kesehatan.
d. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa membeikan kepuasan batin dalam hubunganya dengan
Tuhan atau agama yang dianutnya terutama ketika klien dalam keadaan
sakit.
2.5 Teknik Komunikasi Pada Lansia
Untuk dapat melaksanakan komunikasi yang efektif kepada lansia,
selain pemahaman yang memadai tentang karakteristik lansia, petugas
kesehatan atau perawat juga harus mempunyai teknik-teknik khusus agar
komunikasi yang di lakukan dapat berlangsung secara lancar dan sesuai
dengan tujuan yang diinginkan.
Beberapa teknik komunikasi yang dapat di terapkan antara lain:
a. Teknik asertif
Asertif adalah sikap yang dapat menerima, memahami pasangan bicara
dengan menunjukan sikap peduli, sabar untuk mendengarkan dan
memperhatikan ketika pasangan bicara agar maksud komunikasi atau
pembicaraan dapat di mengerti. Asertif merupakan pelaksanaan dan etika
berkomunikasi. Sikap ini akan sangat membantu petugas kesehatan untuk
menjaga hubungan yang terapeutik dengan klien lansia.
b. Responsif
Reaksi petugas kesehatan terhadap fenomena yang terjadi pada klien
merupakana bentuk perhatian petugas kepada klien. Ketika perawat
mengetahui adanya perubahan sikap atau kebiasaan klien sekecil apapun
hendaknya menanyakan atau klarifikasi tentang perubahan tersebut
misalnya dengan mengajukan pertanyaan
 Apa yang sedang bapak/ibu fikirkan saat ini?
 Apa yang bisa bantu…?
(Berespon berarti bersikap aktif tidak menunggu permintaan bantuan dari
klien. Sikap aktif dari petugas kesehatan ini akan menciptakan perasaan
tenang bagi klien).
c. Fokus
Sikap ini merupakan upaya perawat untuk tetap konsisten terhadap materi
komunikasi yang di inginkan. Ketika klien mengungkapkan pertanyaan-
pertanyaan di luar materi yang di inginkan, maka perawat hendaknya
mengarahkan maksud pembicaraan. Upaya ini perlu di perhatikan karena
umumnya klien lansia senang menceritakan hal-hal yang mungkin tidak
relevan untuk kepentingan petugas kesehatan.
d. Supportif
Perubahan yang terjadi pada lansia, baik pada aspek fisik maupun psikis
secara bertahap menyebabkan emosi klien relative menjadi labil perubahan
ini perlu di sikapi dengan menjaga kesetabilan emosi klien lansia, mesalnya
dengan mengiyakan, senyum dan mengagukan kepala ketika lansia
mengungkapkan perasaannya sebagai sikap hormat menghargai selama
lansia berbicara. Sikap ini dapat menumbuhkan kepercayaan diri klien lansia
sehingga lansia tidak menjadi beban bagi keluarganya. Dengan demikaian di
harapkan klien termotivasi untuk menjadi dan berkarya sesuai dengan
kemampuannya. Selama memberi dukungan baik secara materiil maupun
moril, petugas kesehatan jangan terkesan menggurui atau mangajari klien
karena ini dapat merendahan kepercayaan klien kepada perawat atau
petugas kesehatan lainnya. Ungkapan-ungkapan yang bisa memberi
motivasi, meningkatkan kepercayaan diri klien tanpa terkesan menggurui
atau mengajari misalnya :
 Saya yakin bapak/ibu lebih berpengalaman dari saya, untuk itu bapak/ibu
dapat melaksanakany, dan bila diperlukan kami dapat membantu.
e. Klarifikasi
Dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, sering proses
komunikasi tidak berlangsung dengan lancar. Klarifikasi dengan cara
mengajukan pertanyaan ulang dan memberi penjelasan lebih dari satu kali
perlu di lakukan oleh perawat agar maksud pembicaraan kita dapat di terima
dan di persepsikan sama oleh klien.
 Bapak/ibu bisa menerima apa yang saya sampaikan tadi..?
 Bisa minta tolong bapak/ibu untuk menjelaskan kembali apa yang saya
sampaikan tadi…?
f. Sabar dan Ikhlas
Diketahui sebelumnya klien lansia umumnya mengalami perubahan-
perubahan yang terkadang merepotkan dan kekanak-kanakan perubahan ini
bila tidak di sikapai dengan sabar dan ikhlas dapat menimbulkan perasaan
jengkel bagi perawat sehingga komunikasi yang di lakukan tidak terapeutik,
namun dapat berakibat komunikasi berlangsung emosional dan
menimbulkan kerusakan hubungan antara klien dengan petugas kesehatan.
2.6 Hambatan Berkomunikasi Dengan Lansia
Proses komunikasi antara petugas kesehatan dengan klien lansia akan
terganggu apabila ada sikap agresif dan sikan nonasertif.
a. Agresif
Sikap agresif dalam berkomunikasi biasanya di tandai dengan prilaku-
prilaku di bawah ini:
 Berusaha mengontrol dan mendominasi orang lain (lawan bicara)
 Meremehkan orang lain
 Mempertahankan haknya dengan menyerang orang lain
 Menonjolkan diri sendiri
 Pempermalukan orang lain di depan umum, baik dalam perkataan maupun
tindakan.
b. Non asertif
Tanda tanda dari non asertif ini antara lain :
 Menarik diri bila di ajak berbicara
 Merasa tidak sebaik orang lain (rendah diri)
 Merasa tidak berdaya
 Tidak berani mengungkap keyakinaan
 Membiarkan orang lain membuat keputusan untuk dirinya
 Tampil diam (pasif)
 Mengikuti kehendak orang lain
 Mengorbankan kepentingan dirinya untuk menjaga hubungan baik
dengan orang lain.
Adanya hambatan komunikasi kepada lansia merupkan hal yang wajar
seiring dengan menurunya fisik dan pskis klien namun sebagai tenaga
kesehatan yang professional perawat di tuntut mampu mengatasi hambatan
tersebut untuk itu perlu adanya teknik atau tips-tips tertentu yang perlu di
perhatikan agar komunikasi berjalan gengan efektif antara lain
 Selalu mulai komunikasi dengan mengecek pendengaran klien
 Keraskan suara anda jika perlu
 Dapatkan perhatian klien sebelum berbicara. Pandanglah dia agar dia
dapat melihat mulut anda.
 Atur lingkungan sehinggga menjadi kondusif untuk komunikasi yang
baik. Kurangi gangguan visual dan auditory. Pastikan adanya
pencahayaan yang cukup.
 Ketika merawat orang tua dengan gangguan komunikasi, ingat
kelemahannya. Jangan menganggap kemacetan komunikasi merupakan
hasil bahwa klien tidak kooperatif.
 Jangan berharap untuk berkomunikasi dengan cara yang sama dengan
orang yang tidak mengalami gangguan. Sebaliknya bertindaklah sebagai
partner yang tugasnya memfasilitasi klien untuk mengungkapkan
perasaan dan pemahamannya.
 Berbicara dengan pelan dan jelas saat menatap matanya gunakan kalimat
pendek dengan bahasa yang sederhana.
 Bantulah kata-kata anda dengan isyarat visual.
 Serasikan bahasa tubuh anda denagn pembicaraan anda, misalnya ketika
melaporkan hasil tes yang di inginkan, pesan yang menyatakan bahwa
berita tersebut adalah bagus seharusnya di buktikan dengan ekspresi,
postur dan nada suara anda yang menggembirakan (misalnya denagn
senyum, ceria atau tertawa secukupnya).
 Ringkaslah hal-hal yang paling penting dari pembicaraan tersebut.
 Berilah klien waktu yang banyak untuk bertanya dan menjawab
pertanyaan anda.
 Biarkan ia membuat kesalahan jangan menegurnya secara langsung,
tahan keinginan anda menyelesaikan kalimat.
 Jadilah pendengar yang baik walaupun keinginan sulit mendengarkanya.
 Arahkan ke suatu topic pada suatu saat.
 Jika mungkin ikutkan keluarga atau yang merawat ruangan bersama
anda. Orang ini biasanya paling akrab dengan pola komunikasi klien dan
dapat membantu proses komunikasi.
2.7 Teknik Perawatan Lansia Pada Reaksi Penolakan
Penolakan adalah ungkapan ketidakmampuan seseorang untuk
mengakui secara sadar terhadap pikiran, keinginan, perasaan atau kebutuhan
pada kejadiaan-kejadian nyata atau sesuatu yang merupakan ancaman.
Penolakan merupakan reaksi ketidaksiapan lansia menerima perubahan yang
terjadi pada dirinya. Perawat dalam menjamin komunikasi perlu memahami
kondisi ini sehingga dapat menjalin komunikasi yang efektif, tidak
menyinggung perasaan lansia yang relatif sensitif.
Ada beberapa langkah yang bisa di laksanakan untuk menghadapi
klien lansia dengan reaksi penolakan, antara lain :
a. Kenali segera reaksi penolakan klien
Membiarkan klien lansia bertingkah laku dalam tenggang waktu tertentu.
Hal ini merupakan mekanisme penyesuaian diri sejauh tidak membahayakan
klien, orang lain serta lingkunganya.
b. Orientasikan klien lansia pada pelaksanan perawatan diri sendiri
Langkah tersebut bertujuan untuk mempermudah proses penerimaan klien
terhadap perawatan yang akan di lakukan serta upaya untuk memandirikan
klien.
c. Libatkan keluarga atau pihak keluarga terdekat dengan tepat
Langkah ini bertujuan untuk membantu perawat atau petugas kesehatan
memperoleh sumber informasi atau data klien dan mengefektifkan rencana /
tindakan dapat terealisasi dengan baik dan tepat
2.8 Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Saat Berinteraksi Pada Lansia
 Menunjukkan rasa hormat, seperti “bapak”, “ibu”, kecuali apabila
sebelumnya pasien telah meminta anda untuk memanggil panggilan
kesukaannya.
 Hindari menggunakan istilah yang merendahkan pasien.
 Pertahankan kontak mata dengan pasien.
 Pertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan mendengarkan adalah
kunci komunikasi efektif.
 Beri kesempatan pasien untuk menyampaikan perasaannya.
 Berbicara dengan pelan, jelas, tidak harus berteriak, menggunakan
bahasa dan kalimat yang sederhana.
 Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti pasien.
 Hindari kata-kata medis yang tidak dimengerti pasien.
 Menyederhanakan atau menuliskan instruksi.
 Mengenal dahulu kultur dan latar belakang budaya pasien.
 Mengurangi kebisingan saat berinteraksi, beri kenyamanan, dan beri
penerangan yang cukup saat berinteraksi.
 Gunakan sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan. Lengan,
atau bahu.
 Jangan mengabaikan pasien saat berinteraksi.
2.9 Terapi Pada Lansia
A. Terapi Modalitas Pada Lansia
1. Pengertian

Terapi modalitas adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu

luang bagi lansia.

2. Tujuan

a. Mengisi waktu luang bagi lansia

b. Meningkatkan kesehatan lansia

c. Meningkatkan produktivitas lansia

d. Meningkatkan interaksi sosial antar lansia


3. Jenis Kegiatan

a. Psikodrama

Bertujuan untuk mengekspresikan perasaan lansia, Tema dapat dipilih

sesuai dengan masalah lansia.

b. Terapi aktivitas Kelompok (TAK)

Terdiri atas 7-10 orang. Bertujuan untuk meningkatkan kebersamaan

bersosialisasi, bertukar pengalaman, dan mengubah perilaku. Untuk

terlaksananya terapi ini dibutuhkan leader, Co-leader, dan fasilitator

serta observer.

c. Terapi Musik

Bertujuan untuk menghibur para lansia sehingga eningkatkan gairah

hidup dan dapat mengenang masa lalu, misalnya : lagu keroncong,

musik dengan gamelan.

d. Terapi Berkebun

Bertujuan untuk melatih kesabaran, kebersamaan, dan memanfaatkan

waktu luang. Misalnya : penanaman kangkung, bayam, lomnok, dan

lain-lain.

e. Terapi dengan Binatang

Bertujuan untuk meningkatkan rasa kasih sayang dan mengisi hari-hari

sepinya dengan bermain bersama binatang. Misalnya :mempunyai

peliharaan kucing, ayam, dll


f. Terapi Okupasi

Bertujuan untuk memanfaatkan waktu luang dan meningkatkan

produktivitas dengan membuat atau menghasilkan karya dari bahan

yang telah disediakan, mislanya :membuat kipas, membuat keset,

membuat bungan dari bahan ynag mudah didapat (pelepah pisang, botol

bekas, biki-bijian, dll.), menjahit dari kain, merajut dari benang, kerja

bakti (merapikan kamar, lemari, membersihkan lingkungan sekitar,

menjemur kasur, dll).

g. Terapi kognitif

Bertujuan agar daya ingat tidak menurun, seperti mengadakan cerdas

cermat, mengisis Teka Teki Silang (TTS), tebak-tebakan, puzzle, dan

lain-lain.

h. Life Riview Terapi

Bertujuan untuk meningkatkan gairah hidup dan harga diri dengan

menceritakan pengalaman hidupnya. Misalnya : bercerita di masa

mudanya.

i. Rekreasi

Bertujuan untuk meningkatkan sosialisas, gairah hidup, menurunkan

rasa bosan, dan melihat pemandangan. Misalnya : mengikuti senam

lansia, posyandu lansia, Bersepeda, rekreasi ke kebun raya bersama

Keluarga, mengunjungi saudara, dll.


j. Terapi keagamaan

Bertujuan untuk kebersamaan, persiapan menjelang kematian, dan

menguatkan rasa nyaman. seperti mengadakan pengajian, kebaktian,

sholat berjama’ah, dll.

B. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

1. Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

Kelompok merupakan individu yang mempunyai hubungan satu

dengan yang lain saling ketergantungan dan mempunyai norma yang sama

(Stuart & Sundeen, 1998). Aktivitas Kelompok adalah kumpulan individu

yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain saling terikat dan dapat

bersama-sama mengikuti norma yang sama.

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) merupakan kegiatan yang

diberikan kelompok klien dengan tujuan memberi terapi bagi anggotanya.

Dimana berkesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan

meningkatkan respon sosial.

2. Prinsip-prinsip memilih peserta terapi aktivitas kelompok

Prinsip memilih pasien untuk terapi aktifitas kelompok adalah homogenitas,

yang dijabarkan antara lain :

a. Gejala sama

Misalnya terapi aktifitas kelompok khusus untuk pasien depresi, khusus

untuk pasien halusinasi dan lain sebagainya. Setiap terapi aktifitas

kelompok memiliki tujuan spesifik bagi anggotanya, bisa untuk

sosialisasi, kerjasama ataupun mengungkapkan isi halusinasi. Setiap

tujuan spesifik tersebut akan dapat dicapai bila pasien memiliki masalah
atau gejala yang sama, sehingga mereka dapat bekerjasama atau berbagi

dalam proses terapi.

b. Jenis kelamin sama

Pengalaman terapi aktifitas kelompok yang dilakukan pada pasien

dengan gejala sama, biasanya laki-laki akan lebih mendominasi dari pada

perempuan. Maka lebih baik dibedakan.

c. Kelompok umur hampir sama

Tingkat perkembangan yang sama akan memudahkan interaksi antar

pasien.

d. Jumlah efektif 7-10 orang per-kelompok terapi

Terlalu banyak peserta maka tujuan terapi akan sulit tercapai karena akan

terlalu ramai dan kurang perhatian terapis pada pasien. Bila terlalu

sedikitpun, terapi akan terasa sepi interaksi dan tujuanya sulit tercapai.

3. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok Bagi Lansia

 Agar anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan di hargai

eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain

 Membantu anggota kelompok berhubungan dengan yang lain serta

merubah perilaku yang destrkutif dan maladaptif

 Sebagai tempat untuk berbagi pengalaman dan saling mambantu satu

sama lain unutk menemukan cara menyelesaikan masalah

4. Jenis-jenis Terapi Aktivitas Kelompok pada Lansia

a. Stimulasi Sensori (Musik)

Musik dapat berfungsi sebagai ungkapan perhatian, baik bagi para

pendengar yang mendengarkan maupun bagi pemusik yang


menggubahnya. Kualitas dari musik yang memiliki andil terhadap fungsi-

fungsi dalam pengungkapan perhatian terletak pada struktur dan urutan

matematis yang dimiliki, yang mampu menuju pada ketidakberesan

dalam kehidupan seseorang. Peran sertanya nampak dalam suatu

pengalaman musikal, seperti menyanyi, dapat menghasilkan integrasi

pribadi yang mempersatukan tubuh, pikiran, dan roh. Bagi penyanyi

dalam sebuah kelompok, musik memberikan suatu komunikasi yang

intim dan emosional antara pemimpin dan anggota kelompok secara

individu, juga antara anggota itu sendiri, dan masih terjadi ketika

hubungan antarpribadi itu menjadi terbatas dan pecah. Musik dapat

mempersatukan suatu kelompok yang beraneka ragam menjadi suatu unit

yang fungsional. Fungsi musik sebagai ungkapan perhatian dapat dilihat

ketika musik dialami sebagai suatu pemberian dari orang-orang yang

kelihatannya tidak memiliki apa-apa.

1. Musik sebagai Terapi dan Ungkapan Perhatian

Penggunaan musik sebagai ungkapan perhatian dan suatu terapi

tambahan bagi konseling pastoral melibatkan integrasi dari beberapa

disiplin sejarah: pendidikan musik, pelayanan musik, dan terapi

musik. Terapi musik merupakan yang paling muda dari ketiga bidang

ini dan yang langsung berhubungan dengan aplikasi klinis musik. Kata

“terapi” dalam konteks ini berarti lebih daripada sekadar

“penyembuhan suatu penyakit”. Di zaman stres, penuh keraguan,

penuh perpecahan, putus asa, dan kekalahan ini, musik dapat disebut

sebagai terapi untuk menstimulasi, memulihkan, menghidupkan,


mempersatukan, membuat seseorang peka, menjadi saluran, dan

memerdekakan. Terapi musik memiliki suatu kapasitas yang unik dan

mapan sehingga memungkinkan terjadinya perubahan hidup. Musik

merupakan bagian dari musik temporal, yaitu bahwa musik hadir

dalam tari dan drama. Musik mengandung kumpulan yang sistematis

dan teratur dari berbagai komponen suara irama, melodi, dan

keselarasan untuk dapat dilihat dan dinikmati. Musik, seperti bentuk

seni lainnya, merupakan ekspresi yang penuh gaya. Musik melibatkan

pengelolaan serta keterampilan dari materi artistik sehingga dapat

menyajikan atau mengomunikasikan suatu hal tertentu, gagasan, atau

keadaan perasaan. Musik dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang:

sejarah, teori, filsafat, estetika, atau fungsional.

Musik yang fungsi utamanya lebih bersifat sosiologis atau

psikologis daripada estetika murni disebut musik fungsional. Dengan

perkataan lain, ketika musik digunakan dengan tujuan utama lebih

menitikberatkan pada musiknya, maka saat itu berarti musik telah

digunakan secara fungsional. Penggunaan musik secara estetika, di

pihak lain, merupakan “musik demi musik belaka” atau “musik demi

kepuasan artistik”.

Sebenarnya, pada batas tertentu kebanyakan musik memiliki

kedua fungsi tersebut sehingga suatu klasifikasi yang eksak kadang-

kadang sulit diperoleh. Suatu pembedaan seharusnya dibuat antara

penggunaan musik secara terapis yang dibawakan dalam wujud

informal dan tanpa bentuk dengan penggunaan terapi musik sebagai


suatu dimensi khusus dari suatu cara terapi yang terintegrasi. Mula-

mula pengalaman musikal dapat dipilih sendiri oleh pasien atau

diusulkan oleh terapis, mungkin dapat juga dilakukan dengan

memasukkan aktivitas-aktivitas seperti berperan serta dalam paduan

suara gereja atau koor umum, menghadiri pagelaran musik, ikut

pelajaran musik, dan lain-lain. Ini mengingat terapi musik formal

sering menggunakan irama sederhana dan instrumen perkusi yang

dapat dimainkan oleh hampir setiap orang. Dalam sebuah klinik,

seseorang dapat juga memperoleh pengalaman musikal dengan “nilai

terapetis” yang tidak berupa terapi musik formal. Misalnya, mereka

dapat berpartisipasi dengan nyanyi bersama dalam acara rekreasi,

mendengarkan rekaman musik yang inspiratif, atau menyanyikan lagu

pujian di sisi tempat tidur pasien. Di pihak lain, terapi musik sebagai

disiplin saintifik, menyangkut pemanfaatan secara hati-hati dan

sengaja dari semua dinamika mendalam dan potensial yang

berhubungan dengan pengalaman musikal, termasuk memilih,

memasang, dan memainkan musik itu sendiri, selain hubungannya

dengan interaksi antara terapis dan pasien.

Dalam arti yang lebih formal, terapi musik dapat dijabarkan

sebagai suatu aktivitas kelompok secara umum dari lingkungan

pergaulan terapetik dalam bentuk kelompok nyanyi, koor atau

ensambel musik, dan kelas apresiasi musik atau secara perseorangan

dapat ditujukan kepada pasien tertentu berdasarkan kebutuhan terapi

mereka yang unik dan kecakapan dalam bentuk vokal atau latihan
instrumen dan teori musik dan pelajaran komposisi. Pilihan materi

musik, medium musik, tingkat kompleksitas, dan sasaran terapetik

merupakan keputusan dan kesepakatan antar terapis, dan antara terapis

musik dan pasien. Seperti dalam semua cara terapi, terapi musik

menyangkut penilaian terhadap pasien, aktivitas yang akan dilakukan

(termasuk sasaran), pengalaman terapetik, dan evaluasi. Kadang-

kadang terapi musik dapat digabungkan secara efektif dengan aktivitas

seni lain yang kreatif, misalnya menari, psikodrama, puisi dan tulisan

kreatif, melukis dan membuat patung, dan bermacam bentuk terapi

pertukangan (kerajinan tangan, perkayuan, dan hortikultura).

Selanjutnya, setiap terapi tambahan dapat menjadi kapasitas yang unik

untuk menstimulasi dan mengaktualisasikan potensi kreatif yang

dimiliki individu. Secara psikologis, semua bentuk ekspresi artistik

memiliki kapasitas untuk memberi kepuasan kebutuhan akan ego

dasar dari individu, terutama untuk merasa memiliki, mencapai,

mengungguli, memuja, memimpikan, mengasihi dan dikasihi, dan

mengembangkan suatu citra diri yang positif. Terapi musik

menempati posisinya yang kuat di antara terapi- terapi seni kreatif

karena beberapa alasan. Pertama, musik secara tradisional dan secara

benar disebut sebagai “bahasa universal”.

Setiap kultur memiliki tradisi musikal yang mencakup seluruh

bidang kehidupan agama, sosial, estetika, dan komersial. Kedua,

musik merupakan seni yang serba guna dan dapat diperoleh. Hampir

setiap orang dapat terlibat dalam aktivitas musik dengan kadar


kemampuan yang sama. Akhirnya yang ketiga, musik, terutama musik

vokal dengan campuran musik dan puisi, mampu mengekspresikan

dan membangkitkan seluruh tangga nada emosi, nilai-nilai, aspirasi,

serta pengalaman manusia.

2. Musik sebagai Terapi Tingkah Laku

Terapi musik lebih dari sekadar penghiburan; lebih daripada

sekadar pengalaman yang mendidik atau suatu aktivitas sosial,

walaupun pada batas tertentu berfungsi sebagai penghiburan, bersifat

mendidik, dan maksud-maksud sosial. Secara teknis, terapi musik

telah didefinisikan sebagai “suatu sistem yang telah dikembangkan

secara maksimal untuk menstimulasi dan mengarahkan tingkah laku

untuk mencapai sasaran terapi yang benar-benar jelas”. Salah satu

penyajian yang terbaik dan paling singkat dari kerangka konseptual ini

adalah yang diberikan oleh William Sears dalam makalahnya yang

berjudul “Proces in Music Therapy”.

3. Musik memberikan pengalaman di dalam struktur

Sasarannya ialah untuk memperpanjang komitmen kepada

aktivitas, untuk membuat aneka ragam komitmen, dan menumbuhkan

kesadaran akan manfaat yang diperoleh. Dengan cara yang tidak

memaksa, musik menuntut tingkah laku yang sesuai dengan urutan

waktu, realitas yang teratur, kecakapan yang teratur, dan pengaruh

yang teratur. Musik menimbulkan gagasan dan asosiasi ekstramusikal.

Musik memberikan pengalaman dalam mengorganisasi diri.


Pengalaman memengaruhi sikap, perhatian, nilai-nilai, dan

pengertian seseorang. Sasaran harus memberikan kepuasan sehingga

seseorang akan berusaha untuk memperoleh lebih banyak pengalaman

serupa yang aman, baik, dan nikmat. Musik menyediakan kesempatan

untuk ekspresi diri dan untuk memperoleh kecakapan baru yang

memperkaya citra diri (terutama bagi yang memiliki keterbatasan

tubuh/cacat).

4. Musik memberikan pengalaman dalam hubungan antar pribadi.

Musik merupakan kesempatan untuk pertemuan kelompok di

mana individu telah mengesampingkan kepentingannya demi

kepentingan kelompok. Sasarannya ialah untuk memperbanyak

jumlah anggota dalam kelompok, menambah jangkauan dan variasi

interaksi, dan menyediakan pengalaman yang akan memudahkan

melakukan adaptasi terhadap kehidupan di luar lembaga. Pengalaman

kelompok memungkinkan seseorang berbagi rasa secara intens dalam

cara- cara yang secara sosial dapat diterima; musik memberikan

penghiburan dan rekreasi yang diperlukan bagi lingkungan terapi

secara umum. Juga bantuan pengalaman dalam pengembangan

kecakapan sosial secara realitis dan pola tingkah laku pribadi yang

dapat diterima secara lembaga dan kelompok sebaya dalam

masyarakat.

b. Stimulasi Persepsi

Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus

yang pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan


ditingkatkan pada tiap sesi. Dengan proses ini maka diharapkan respon

klien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif.

Aktifitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus yang disediakan :

seperti baca majalah, menonton acara televisi ; stimulus dari pengalaman

masa lalu yang menghasilkan proses persepsi klien yang mal adaptif atau

destruktif, misalnya kemarahan dan kebencian .

c. Orientasi Realitas

Klien diorientasikan pada kenyataan yang ada disekitar klien, yaitu diri

sendiri, orang lain yang ada disekeliling klien atau orang yang dekat

dengan klien, dan lingkungan yang pernah mempunyai hubungan dengan

klien. Demikian pula dengan orientasi waktu saat ini, waktu yang lalu,

dan rencana ke depan. Aktifitas dapat berupa : orientasi orang, waktu,

tempat, benda yang ada disekitar dan semua kondisi nyata.

d. Sosialisasi

Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada

disekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari

interpersonal (satu dan satu), kelompok, dan massa. Aktifitas dapat

berupa latihan sosialisasi dalam kelompok.


5. Peran Perawat dalam Terapi Aktivitas kelompok

No. Peran Tugas/Fungsi

Perawat

1. Leader  Menyusun rencana pembuatan proposal

 Memimpin jalannya therapi aktifitas kelompok

 Merencanakan dan mengontrol terapi aktifitas kelompok

 Membuka aktifitas kelompok

 Memimpin diskusi dan terapi aktifitas kelompok

 Leader memperkenalkan diri dan mempersilahkan anggota lainnya

untuk memperkenalkan diri.

 Membacakan tujuan terapi aktivitas kelompok

 Menutup kegiatan TAK

2. Co-Leader  Membantu leader mengorganisasi anggota

 Apabila terapi aktivitas pasif diambil oleh Co-leader

 Menggerakkan anggota kelompok

 Membacakan aturan main

 Mengambil alih posisi Leader jika Leader blocking

 Menyerahkan kembali posisi kepada leader

3. Fasilitator  Ikut serta dalam kegiatan kelompok untuk aktif jalannya permainan

 Memfasilitasi anggota dalam diskusi kelompok

4. Observer  Mengobservasi jalannya terapi aktifitas kelompok mulai dari persiapan,

proses dan penutup

 Mencari serta mengarahkan respon klien

 Mencatat semua proses yang terjadi


 Memberi umpan balik pada kelompok

 Melakukan evaluasi pada terapi aktifitas kelompok

 Membuat laporan jalannya aktivitas kelompok


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Komunikasi terapeutik adalah hubungan kerja sama yang ditandai
dengan tukar menukar perilaku, perasaan, fikiran dan pengalaman dalam
membina hubungan terapeutik. Komunikasi dengan lansia harus
memperhatikan faktor fisik, psikologi, (lingkungan dalam situasi individu
harus mengaplikasikan ketrampilan komunikasi yang tepat. disamping itu
juga memerlukan pemikiran penuh serta memperhatikan waktu yang tepat.
Sedangkan terapi modalitas adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengisi
waktu luang bagi lansia.
3.2 Saran
Seharusnya perawat melakukan komunikasi terapeutik dalam
melakukan asuhan keperawatan pada lansia untuk membina suatu hubungan
kerja sama antara perawat dan lansia. Untuk terapi modalitas harusnya
dilakukan kegiatan promosi atau penyuluhan kesehatan pada lansia tentang
bagaimana melakukan terapi modalitas untuk meningkatkan kualitas hidup
lansia.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Komunikasi terapeutik.pdf. (diakses tanggal: 10 Oktober 2014


pukul 15.00 WITA).
Http://dwaney.wordpress.com/2011/10/09/tak-lansia. (diakses 10 Oktober 2014
pukul 15.00 WITA).
Padila. 2013. Keperawatan Gerontik. Yokyakarta: Nuha medika.

Anda mungkin juga menyukai