Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa lepas dari kegiatan
komunikasi.Sehingga sekarang ilmu komunikasi berkembang pesat. Salah satu
kajian ilmu komunikasi ialah komunikasi kesehatan yang merupakan
hubungan timbal balik antara tingkah laku manusia masa lalu dan masa
sekarang dengan derajat kesehatan dan penyakit, tanpa mengutamakan
perhatian pada penggunaan praktis dari pengetahuan tersebut atau partisipasi
profesional dalam programprogram yang bertujuan memperbaiki derajat
kesehatan melaui pemahaman yang lebih besar tentang hubungan timbal balik
melalui perubahan tingkah laku sehat ke arah yang diyakini akan
meningkatkan kesehatan yang lebih baik.
Kenyataaanya memang komunikasi secara mutlak merupakan bagian
integral dari kehidupan kita, tidak terkecuali perawat, yang tugas sehariharinya selalu berhubungan dengan orang lain. Entah itu pasien, sesama
teman, dengan atasan, dokter dan sebagainya. Maka komunikasi sangatlah
penting sebagai sarana yang sangat efektif dalam memudahkan perawat
melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik.
Komunikasi pada lansia harus dilakukan dengan baik dan bersifat
traupetik, mengingat sifat lansia yang lambat laun kembali seperti anak kecil
lagi.
Proses komunikasi pada umumnya adalah kompleks dan jauh lebih
rumit karena faktor usia. Salah satu dari problem besar dokter adalah ketika
berhubungan dengan pasien lanjut usia, dimana mereka lebih heterogen
dibanding orang-orang yang lebih muda. Luasnya pengalaman hidup dan latar
belakang budaya sering mempengaruhi persepsi mereka tentang penyakitnya,
kepatuhan untuk mengikuti aturan-aturan medis dan kemampuan untuk
berkomunikasi efektif dengan penyedia layanan kesehatan. Komunikasi dapat
terganggu/terhambat karena proses penuan normal dan komunikasi yang tidak
jelas dapat menyebabkan keseluruhan pengobatan menjadi gagal sehingga
komunikasi yang efektif dengan pasien lanjut usia sangat diperlukan.

Komunikasi yang efektif dapat terjadi jika sebelumnya kita mengetahui latar
belakang dan kondisi pasien lansia tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas penulis dapat merumuskan masalah sebagai
berikut : Bagaimanakah komunikasi yang efektif pada lansia?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum mahasiswa mampu mengetahui komunikasi
1.3.2

efektif pada lansia.


Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu mengetahui definisi komunikasi.
2. Mahasiswa mampu mengetahui proses komunikasi.
3. Mahasiswa mampu memahami pendekatan perawatan lansia dalam
konteks komunikasi.
4. Mahasiswa mampu memahami teknik komunikasi pada lansia.
5. Mahasiswa mampu memahami hambatan berkomunkasi dengan
lansia.
6. Mahasiswa mampu memahami teknik perawatan lansia pada reaksi
penolakan.
7. Mahasiswa mampu memahami kondisi penurunan sensori pada
lansia.
8. Mahasiswa mampu memahami tahap-tahap komunikasi terapeutik.
9. Mahasiswa mampu memahami jenis-jenis komunikasi.
10. Mahasiswa mampu memahami pengkajian penurunan sensori pada
lansia.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Komunikasi
Komunikasi dengan lansia harus memperhatikan faktor fisik,
psikologi, (lingkungan dalam situasi individu harus mengaplikasikan

ketrampilan komunikasi yang tepat. Disamping itu juga memerlukan


pemikiran penuh serta memperhatikan waktu yang tepat.
Komunikasi dalam keperawatan gerontik adalah komunikasi yang
diaplikasikan dalam praktik asuhan keperawatan lansia. Komunikasi dengan
lansia adalah suatu proses penyampaian pesan/gagasan dari perawat atau
pemberi asuhan kepada lansia dan diperoleh tanggapan dari lansia, sehingga
diperoleh kesepakatan bersama tentang isi pesan komunikasi. Tercapainya
komunikasi berupa pesan yang disampaikan oleh komunikator (perawat) sama
dengan pesan yang diterima oleh komunikan (lansia).
Komunikasi yang efektif dapat menimbulkan pengertian, kesenangan,
pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan. Sementara
ada yang berpendapat bahwa komunikasi adalah pertukaran pikiran atau
keterangan dalam rangka menciptakan rasa saling mengerti dan saling percaya
demi terwujudnya hubungan yang baik antara seseorang dengan orang lain.
Komunikasi adalah pertukaran fakta, gagasan, opini emosi antara dua orang
atau lebih.
Komunikasi adalah Sebuah proses penyampaian pikiran-pikiran atau
informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu
sehingga orang lain tersebut mengerti betul apa yang

dimaksud oleh

penyampai pikiran-pikiran atau informasi.


Ciri hubungan atau komunikasi terapeutik adalah berpusat pada klien
lansia; menghargai klien lansia sebagai individu yang unik dan bebas;
meningkatkan kemampuan klien lansia untuk berpartisipasi dengan aktif
dalam mengambil keputusan mengenai pengobatan dan perawatannya;
menghargai keluarga, kebudayaan, kepercayaan, nilai-nilai hidup dan asasi
dari klien lansia; menghargai privasi dan kerahasiaan hubungan pemberi
asuhan atau perawat dengan klien lansia; dan saling percaya, menghargai dan
saling menerima.
Hubungan membantu ini akan menjadi lebih efektif apabila ada rasa
saling percaya dan saling menerima antara perawat atau pemberi asuhan dan
klien lansia. Selain itu perawat sebagai pemberi asuhan dan harus
menunjukkan rasa peduli pada kliennya (lansia) dan mau membatunya.
Seorang perawat atau pemberi asuhan yang mendengarkan klien lansia
tidak saja memakai telinganya tetapi seluruh eksistensi dirinya. Perawat atau

pemberi asuhan memfokuskan seluruh perhatiannya tidak hanya pada apa


yang disampaikan lansia, tetapi bagaimana lansia itu menyampaikannya.
Melalui sikap tubuh dari perawat atau pemberi asuhan, lansia dapat
merasakan apakah perawat atau pemberi asuhan siap dan berminat untuk
mendengarnya.
Perawat atau pemberi asuhan harus dapat menunjukkan kesiapan
mendengarkan klien lansia. Kesiapan ini ditunjukkan dengan:
1. Duduk tegak, rileks, dan menghadap lansia secara muka dengan muka.
Posisi ini menunjukkan Saya siap dan mau mendengarkan.
2. Mempertahankan kontak mata. Sebaiknya mata perawat sejajar dengan
mata klien lansia, tempat duduk perawat tidak lebih tinggi dari tempat
duduk lansia. Kontak mata harus spontan dan wajar.
3. Tubuh perawat sedikit membungkuk atau sikap menghormat ke arah
lansia. Biasanya secara spontan tubuh seseorang langsung bergerak sedikit
mendekat pada lansia yang sedang bicara bila ia ingin mendengarkan
dengan baik apa yang disampaikannya.
4. Mempertahankan sikap tubuh yang terbuka. Hindari duduk dengan kedua
kaki atau tangan bersilang, karena semacam menunjukkan sikap defensive.
Posisi tubuh perawat harus menunjukkanbahwa dirinya bersedia menerima
dan membantu, seperti pintu yang terbuka yang mengundang orang untuk
masuk tanpa mengetuk.
5. Mempertahankan posisi tubuh yang rileks. Memang sulit untuk
mempertahankan posisi tubuh yang rileks penuh karena mendengarkan
dengan seluruh dirinya perawat sudah mengeluarkan banyak tenaga.
Akan tetapi, suara tegang dapat dicegah dengan memberi sedikit waktu
sebelum perawat memberi tanggapannya, member waktu untuk berdiam
sejenak dan menggunakan isyarat yang tepat dan membantu.
2.2 Proses Komunikasi
1. Pembicara : Orang yang menyampaikan pesan.
2. Pendengar : Orang yang menerima pesan.
3. Pesan verbal : Kata kata yang secara aktual diucapkan atau disampaikan.
4. Pesan nonverbal: Kesan yang ditangkap saat kata kata tersebut diucapkan
termasuk ekspresi wajah, tekanan suara, postur dan sikap tubuh dan
pilihan kosa kata yang digunakan.
5. Umpan Balik : Respon berupa tanggapan baik verbal maupun non verbal.

6. Konteks : Fisik dan lingkungan sosial atau pengaturan dalam pesan yang
dikirim.
7. Persepsi : Kemampuan untuk memilih, mengatur, dan menafsirkan
informasi indrawi menjadi dimengerti dan bermakna.
8. Evaluasi : Kemampuan untuk menganalisa informasi yang diterima,
berdasarkan pengalaman dan pengetahuan masa lalu.
9. Transmisi : Ekspresi yang sebenarnya dari informasi dari pengirim kepada
penerima (pesan lisan dan pesan nonverbal).
2.3 Pendekatan Perawatan Lansia Dalam Konteks Komunikasi
1. Pendekatan fisik
Mencari informasi tentang kesehatan obyektif,

kebutuhan,

kejadian, yang dialami, peruban fisik organ tubuh, tingkat kesehatan yang
masih bisa di capai dan di kembangkan serta penyakit yang dapat di cegah
progresifitasnya. Pendekatan ini relative lebih mudah di laksanakan dan di
carikan solusinya karena rill dan mudah di observasi
2. Pendekatan psikologis
Karena pendekatan ini sifatnya absrak dan mengarah pada
perubahan prilaku, maka umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama.
Untuk melaksanakan pendekatan ini perawat berperan sebagai konselor,
advokat, supporter, interpreter terhadap sesuatu yang asing atau sebagai
penampung masalah-masalah yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrap
bagi klien.
3. Pendekatan sosial
Pendekatan ini di lakukan untuk menikatkan keterampilan
berinteraksi dalam lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran,
bercerita, bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok
merupakan implementasi dari pendekatan ini agar klien dapat berinteraksi
dengan sesama lisan maupun dengan petugas kesehatan.
4. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa membeikan kepuasan batin dalam hubunganya
dengan Tuhan atau agama yang dianutnya terutama ketika klien dalam
keadaan sakit.
2.4 Teknik Komunikasi Pada Lansia
Untuk dapat melaksanakan komunikasi yang efektif kepada lansia,
selain pemahaman yang memadai tentang karakteristik lansia, petugas

kesehatan atau perawat juga harus mempunyai teknik-teknik khusus agar


komunikasi yang di lakukan dapat berlangsung secara lancar dan sesuai
dengan tujuan yang dim inginkan.
Beberapa teknik komunikasi yang dapat di terapkan antara lain:
1. Teknik asertif
Asertif adalah sikap yang dapat menerima, memahami pasangan
bicara dengan menunjukan sikap peduli, sabar untuk mendengarkan dan
memperhatikan ketika pasangan bicara agar maksud komunikasi atau
pembicaraan dapat di mengerti. Asertif merupakan pelaksanaan dan etika
berkomunikasi. Sikap ini akan sangat membantu petugas kesehatan untuk
menjaga hubungan yang terapetik dengan klien lansia.
2. Responsif
Reaksi petugas kesehatan terhadap fenomena yang terjadi pada
klien merupakana bentuk perhatian petugas kepada klien. Ketika perawat
mengetahui adanya perubahan sikap atau kebiasaan klien sekecil apapun
hendaknya menanyakan atau klarifikasi tentang perubahan tersebut
misalnya dengan mengajukan pertanyaan apa yang sedang bapak/ibu
fikirkan saat ini, apa yang bisa bantu? berespon berate bersikap aktif
tidak menunggu permintaan bantuan dari klien. Sikap aktif dari petugas
kesehatan ini akan menciptakan perasaan tenang bagi klien
3. Fokus
Sikap ini merupakan upaya perawat untuk tetap konsisten terhadap
materi komunikasi yang di inginkan. Ketika klien mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan di luar materi yang di inginkan, maka perawat
hendaknya mengarahkan meksud pembicaraan. Upaya ini perlu di
perhatikan karena umumnya klien lansia senang menceritakan hal-hal
yang mungkin tidak relevan untuk kepentingan petugas kesehatan.
4. Supportif
Perubahan yang terjadi pada lansia, baik pada aspek fisikaupun
psikis secara bertahap menyebabkan emosi klien relatif menjadi labil
perubahan ini perlu di sikapi dengan menjaga kesetabilan emosi klien
lansia, mesalnya dengan mengiyakan , senyum dan mengagukan kepala
ketika lansia mengungkapkan perasaannya sebagai sikap hormat
menghargai selama lansia berbicara.
Sikap ini dapat menumbuhkan kepercayaan diri klien lansia
sehingga lansia tidak menjadi beben bagi keluarganya dengan demikaian
2

di harapkan klien termotovasi untuk menyadi dan berkarya sesuai dengan


kemapuannya selama memberi dukungan baik secara materiil maupun
moril, petugas kesehatan jangan terkesan menggurui atau mangajari klien
karena ini dapat merendahan keparecayaan klien kepada perawat atau
petugas kesehatan lainnya. Ungkapan-ungkapan yang bisa memberi
motivasi, meningkatkan kepercayaan diri klien tanpa terkesan menggurui
atau mengajari misalnya: saya yakin bapak/ibu lebih berpengalaman dari
saya, untuk itu bapak/ibu dapat melaksanakanya. dan bila diperlukan
kami dapat membantu.
5. Klarifikasi
Dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, sering proses
komunikasi tidak berlangsung dengan lancar. Klarifikasi dengan cara
mengajukan pertanyaan ulang dan memberi penjelasan lebih dari satu kali
perlu di lakukan oleh perawat agar maksud pembicaraan kita dapat di
terima dan di persepsikan sama oleh klien bapak/ibu bisa menerima apa
yang saya sampaikan tadi..? bisa minta tolong bapak/ibu untuk
menjelaskan kembali apa yang saya sampaikan tadi?
6. Sabar dan Iklas
Seperti di ketahui sebelumnya klien lansia umumnya mengalami
perubahan-perubahan yang terkadang merepotkan dan kekanak-kanakan
perubahan ini bila tidak di sikapai dengan sabar dan iklas dapat
menimbulkan perasaan jengkel bagi perawat sehingga komunikasi yang di
lakukan tidak terapeutik, solute namun dapat berakibat komunikasi
berlangsung emosional dan menimbulkan kerusakan hubungan antara
klien dengan petugas kesehatan.
2.5 Hambatan Berkomunkasi Dengan Lansia
Proses komunikasi antara petugas kesehatan dengan klien lansia akan
tergannggu apabila ada sikap agresif dan sikan nonasertif :
1. Agresif
Sikap agresif dalam berkomunikasi biasanya di tandai dengan
prilaku-prilaku di bawah ini:
a) Berusaha mengontrol dan mendominasi orang lain (lawan bicara)
b) Meremehkan orang lain
c) Mempertahankan haknya dengan menyerang orang lain

d) Menonjolkan diri sendiri


e) Pempermalukan orang lain di depan umum, baik dalam perkataan
maupun tindakan
2. Non asertif
Tanda tanda dari non asertif ini adalah :
a) Menarik diri bila di ajak berbicara
b) Merasa tidak sebaik orang lain (rendah diri)
c) Merasa tidak berdaya
d) Tidak berani mengungkap keyakinaan
e) Membiarkan orang lain membuat keputusan untuk dirinya
f) Tampil diam (pasif)
g) Mengikuti kehendak orang lain
h) Mengorbankan kepentingan dirinya untuk menjaga hubungan baik
dengan orang lain.
Adanya hambatan komunikasi kepada lansia merupkan hal yang wajar
seiring dengan menurunya fisik dan pskis klien namun sebagai tenaga
kesehatan yang professional perawat di tuntut mampu mengatasi hambatan
tersebut untuk itu perlu adanya teknik atau tip-tip tertentu yang perlu di
perhatikan agar komunikasi berjalan gengan efektif antara lain :
1. Selalu mulai komunokasi dengan mengecek pendengeran klien.
2. Keraskan suara anda jika perlu.
3. Dapatkan perhatian klien sebelum berbicara. Pandanglah dia agar dia
dapat melihat mulut anda.
4. Atur lingkungan sehinggga menjadi kondusif untuk komunikasi yang baik.
Kurangi. gangguan visual dan auditory. Pastikan adanya pencahayaan
yang cukup.
5. Ketika merawat orang tua dengan gangguan komunikasi, ingat
kelemahannya. Jangan menganggap kemacetan komunikasi merupakan
hasil bahwa klien tidak kooperatif.
6. Jangan berharap untuk berkomunikasi denagn cara yang sama dengan
orang yang tidak mengalami jangguan. Sebaliknya bertindaklah sebagai
partner yang tugasnya memfasilitasi klien untuk mengungkapkan perasaan
dan pemahamannya.
7. Berbicara dengan pelan dan jelas saat menatap matanya gunakan kalimat
pendek dengan bahasa yang sederhana.
8. Bantulah kata-kata anada dengan isyarat visual.
9. Serasikan bahasa tubuh anda denagn pembicaraan anda, misalnya ketika
melaporkan hasil tes yang di inginkan, pesan yang menyatakan bahwa
berita tersebut adalah bagus seharusnya di buktikan dengan ekspresi,

postur dan nada suara anda yang menggembirakan (misalnya denagn


senyum, ceria atau tertawa secukupnya).
10. Ringkaslah hal-hal yang paling penting dari pembicaraan tersebut.
11. Berilah klien waktu yang banyak untuk bertanya dan menjawab
pertanyaan anda.
12. Biarkan ia membuat kesalahan jangan menegurnya secara langsung, tahan
keinginan anda menyelesaikan kalimat.
13. Jadilah pendengar yang baik walaupun keinginan sulit mendengarkanya.
14. Arahkan ke suatu topic pada suatu saat.
15. Jika mungkin ikutkan keluarga atau yang merawat ruangan bersama anda.
Orang ini biasanya paling akrap dengan pola komunikasi klien dan dapat
membantu proses komunikasi.
2.6 Hal-Hal yang di Harus Perhatikan Saat Berkomunikasi dengan Lansia
Komunikasi yang efektif meliputi berbicara dengan intonasi yang
tepat, diutamakan berbicara saling berhadapan, menggunakan kalimat
sederhana, dan perlahan.
Kondisi dan latar belakang yang perlu diketahui pada pasien Lansia:
1. Perubahan Fisik
Beberapa perubahan fisik pada lansia dapat mempengaruhi
komunikasi diantaranya hilangnya pendengaran, berkurangnya ketajaman
penglihatan dan perubahan kemampuan bicara dan artikulasi. Perubahan
kemampuan bicara ini dapat diamati dari perubahan suara menjadi
bergetar, lemah, parau dan sulit untuk dimengerti.
a. Penurunan pendengaran
1) Tuli konduksi : karena serumen, dan tulang yang tidak berfungsi.
2) Tuli sensori : penurunan saraf pendengaran. Ini paling banyak
terjadi paa lansia karena adanya normal agging proses. Adanya
penurunan sensori atau prebikusis membuat lansia enggan untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
Solusinya adalah dengan menggunakan alat bantu dengar,
bicara langsung dengan jelas dan pelan pada telinga yang mengalami
gangguan

pendengaran,

gunanya

untuk

merangsang

stimulus,

minimalkan pembicaraan via telepon.


b. Penurunan penglihatan
Dapat mengganggu proses komunikasi karena gesture, ekspresi
wajah, gerak bibir (kompensasi lansia dengan gangguan penglihatan)
tidak dapat ditangkap secara maksimal.
2

Solusinya adalah dengan menggunakan gesture dan ekspresi


wajah dengan maksimal. berhadapan langsung ketika berkomunikasi,
pencahayaan yang cukup, hindari cahaya yang bersinar dan terlalu
menyilaukan, serta minimalkan komunikasi tertulis.
2. Perubahan Psikologis
Perubahan psikologis mayor yang berpengaruh

terhadap

komunikasi meliputi kemunduran/hilangnya memori dan daya tangkap


terhadap informasi lebih lambat. Hilangnya memori yang paling sering
adalah memori jangka pendek yang mengakibatkan pasien lansia ini
kesulitan untuk mengingat kejadian yang baru terjadi. Kedua hal tersebut
menyebabkan lambatnya proses komunikasi dan mengecilkan hati orang
muda untuk berbicara dengan orang lansia. Adanya penurunan sensori dan
penurunan memori adalah hal yang wajar bagi lansia. Penurunan memori
biasanya hanya dapat mengingat peristiwa yang lampau.
3. Perubahan Status dan Peran Sosial
perubahan sosial seperti pensiun dari pekerjaan

yang

mengakibatkan hilangnya pendapatan dan perubahan status dapat


mempengaruhi kondisi psikis terutama harga diri orang lanjut usia, Khusus
untuk kelompok yang berorientasi pada kerja kekuasaan akan hilang
karena tua, tidak produktif dan tidak kompeten. Hal-hal tersebut diatas
dapat mempengaruhi kemauan dan keengganan untuk berkomunikasi.
Rasa kehilangan, duka cita dan terpisahkan dari keluarga dan temantemannya dapat mengakibatkan kegelisahan, depresi, irritabilitas dan
agitasi yang mempengaruhi kemampuan untuk berkomunikasi
4. Latar Belakang
Kondisi politik dan social ekonomi pada zaman mereka dengan
kita berbeda. Beberapa diantaranya pernah mengalami kekurangan atau
kerugian dan memperoleh pendidikan formal yang rendah. Kondisi
tersebut akan menyebabkan ideologi dan pandangan mereka mungkin
tidak dapat kita pahami dan terima. Hal tersebut akan berpengaruh
terhadap komunikasi.
Sebelum kita berkomunikasi dengan pasien lansia, buatlah kontak baik
secara fisik maupun emosi dengan mereka. Jika kita sudah bisa melakukan
kontak dengannya maka selanjutnya kita dapat berkomunikasi tentang
beberapa informasi yang kita diperlukan dan sampaikan serta instruksi2

intruksi yang kita berikan. Untuk memperoleh hal tersebut ada beberapa hal
yang harus kita perhatikan dan kita lakukan yaitu:
1. Alokasikan waktu lebih untuk pasien lanjut usia
Penelitian menunjukkan bahwa pasien tua kurang menangkap
informasi

dibandingkan

kemungkinan

karena

dengan

gugup

pasien

atau

yang

lebih

berkurangnya

muda

fokus.

Hal

yang
ini

mengakibatkan perlunya tambahan waktu untuk pasien tua. Jika dokter


kelihatan sibuk dan kurang interest, meraka akan merasakannya sehingga
komunikasi menjadi tidak efektif.
2. Hindari gangguan
Pasien ingin merasakan bahwa dokter meluangkan waktu baginya
dan mereka dianggap penting. Penelitian menunjukkan bahwa jika dokter
memberikan perhatian utuh tanpa terbagi selama 60 menit akan
memberikan kesan betapa berartinya waktu bersama mereka. Kita harus
memberi perhatian penuh terhadap pasien selama mereka datang
berkunjung dan jika mungkin kurangi gangguan-gangguan visual dan
pendengaran seperti adanya orang lain atau suasana yang bising/gaduh.
3. Duduk berhadap-hadapan
Beberapa pasien lanjut usia mempunyai gangguan pendengaran
dan penglihatan dan membaca gerakan bibir dokter merupakan hal yang
penting agar dapat menerima informasi secara benar. Duduk didepannya
mungkin dapat mengurangi adanya gangguan. Tindakan ini memberikan
kesan bahwa apa yang akan dokter sampaikan ke mereka dan apa yang
mereka sampaikan ke dokter adalah sesuatu yang penting. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan pasien terhadap pengobatan
meningkat setelah dokter memberikan informasi tentang penyakitnya
dengan bertatap muka langsung dengan pasien.
4. Menjaga kontak mata
Kontak mata adalah salah satu bentuk komunikasi nonverbal yang
langsung dan penting. Kontak mata menunjukkan kepada pasien bahwa
anda perhatian terhadapnya dan mereka dapat mempercayai anda. Menjaga
kontak mata memberikan suasana yang nyaman dan positif yang dapat
membuat pasien membuka diri dan bersedia terhadap informasi tambahan.
5. Mendengarkan
Keluhan pasien yang paling sering mengenai dokternya adalah
bahwa mereka tidak mendengarkannya. Komunikasi yang baik tergantung
2

pada kesadaran kita untuk benar-benar mendengar apa yang pasien


katakan pada kita tanpa menyela. Beberapa problem yang berkaitan
dengan ketidakpatuhan dapat dikurangi dengan cara sederhana yaitu
dengan menyediakan waktu untuk mendengar apa yang pasien katakan.
6. Berbicara dengan perlahan, jelas dan cukup keras
Kecepatan bicara yang dapat dicerna pasien lanjut usia lebih
lambat dibanding dengan orang muda. Sehingga kecepatan bicara saat
menyampaikan informasi dapat memberikan efek yang besar pada
seberapa banyak informasi yang dapat diambil, dicerna dan diingat oleh
pasien lanjut usia. Jangan mendesak pasien terus menerus dengan
instruksi-intruksi. Berbicara secara jelas dan cukup keras untuk didengar
tetapi jangan berteriak.
7. Gunakan kata-kata dan kalimat yang singkat dan sederhana
Menyederhanakan informasi dan cara berbicara sehingga lebih
mudah dimengerti adalah salah satu cara terbaik untuk memastikan bahwa
pasien akan mengikuti instruksi kita. Jangan menggunakan istilah-istilah
medis atau teknis yang susah untuk dimengerti. Jangan berasumsi bahwa
pasien mengerti pada istilah-istilah medis dasar. Yakinkanlah bahwa kita
menggunakan kata-kata yang familiar pada pasien.
8. Fokuskan satu topik pada satu pertemuan
Informasi yang berlebihan akan membingungkan pasien. Untuk
menghindarinya, berilah penjelasan yang lama dan detail pada pasien.
Cobalah memberikan informasi dalam bentuk outline, yang dapat
mengarahkan kita untuk menerangkan informasi penting dalam tahapantahapan. Misalnya pertama bicara tentang jantung, kedua bicara tentang
tekanan darah, ketiga bicara tentang pengobatan tekana darah.
9. Menyederhanakan instruksi-instruksi dan menuliskan secara urut
Ketika memberikan instruksi pada pasien, hindari yang rumit dan
membingungkan. Oleh karena itu tulis urut instruksi yang mendasar dan
mudah untuk diikuti.
10. Gunakan kartu, model atau gambar
Bantuan visual akan membantu pasien untuk mengetahui lebih baik
tentang kondisinya dan pengobatan.
11. Sering meringkas dan mengulang informasi pada bagian yang paling
penting

Ketika kita membicarakan poin-poin paling penting dengan pasien,


mintalah padanya untuk mengulang pernyataan atau instruksi kita. Jika
setelah mendengar apa yang pasien katakan dokter berkesimpulan bahwa
dia belum mengerti terhadap pernyataan dan instruksi kita, pengulangan
sederhana dapat dilakukan karena pengulangan akan menambah ingatan.
12. Berikan pasien satu kesempatan untuk bertanya
Saat doker menerangkan tentang pengobatan dan memberikan
semua informasi yang diperlukan, berikan kesempatan untuk bertanya. Hal
ini akan mengarahkannya untuk mengungkapkan beberapa pemahaman
yang mereka miliki dan lewat pertanyaannya dokter dapat menentukan
apakah mereka memahami secara komplet instruksi dan informasi yang
diberikan dokter.
2.7 Teknik Perawatan Lansia Pada Reaksi Penolakan
Penolakan adalah ungkapan ketidakmampuan seseorang untuk
mengakui secara sadar terhadap pikiran, keinginan, perasaan atau kebutuhan
pada kejadiaan-kejadian nyata atau sesuatu yangmerupakan ancaman.
Penolakan merupakan reaksi ketidaksiapan lansia menerima perubahan yang
terjadi pada dirinya. Perawat dalam menjamin komunikasi perlu memahami
kondisi ini sehinggan dapat menjalin komunikasi yang efektif, tidak
menyinggung perasaan lansia yang relatif sensitif.
Ada beberapa langkah yang bisa di laksanakan untuk menghadapi
klien lansia dengan reaksi penolakan, antara lain :
1. Kenali segera reaksi penolakan klien
Membiarkan klien lansia bertingkah laku dalam tenggang waktu
tertentu. Hal ini merupakan mekanisme penyesuaian diri sejauh tidak
membahayakan klien, orang lain serta lingkunganya.
2. Orientasikan klien lansia pada pelaksanan perawatan diri sendiri
Langkah tersebut bertujuan untuk mempermudah

proses

penerimaan klien terhadap perawatan yang akan di lakukan serta upaya


untuk memandirikan klien.
3. Libatkan keluarga atau pihak keluarga terdekat dengan tepat
Langkah ini bertujuan untuk membantu perawat atau petugas
kesehatan

memperoleh

sumber

informasi

atau

data

klien

dan

mengefektifkan rencana / tindakan dapat terealisasi dengan baik dan tepat.

2.8 Kondisi Penurunan Sensori pada Lansia


Penurunan sensoris berupa gangguan pendengaran dapat berdampak
pada kehidupan lansia dari berbagai aspek, diantaranya dalam hal
berhubungan dengan orang lain, menghindari bahaya, ataupun dalam
mendengarkan musik dan suara (Miller, 2012). Perubahan sensori pada mata :
1. Perubahan lapang pandang.
2. Penurunan tajam penglihatan
3. Sensitivitas penglihatan kontras akibat berkurangnya persepsi kontur dan
jarak. Penurunan tajam penglihatan terjadi akibat katarak, degenerasi
makuler, dan penglihatan perifer menghilang.
2.9 Penggunaan Komunikasi Terapeutik Pada Lansia
Lansia sering mengalami gangguan komunikasi karena mengalami
penurunan pengliatan, pendengaran, wicara, dan persepsi. Semua ini
menyebabkan penurunan kemampuan lansia untuk menangkap pesan atau
informasi serta melakukan transfer informasi. Gangguan indra pada lansia
yang tinggal di rumah sendiri atau di lingkungan keluarga, di panti sosial
tresna werda atau di rumah sakit disebabkan oleh gangguan anatomik organ,
gangguan fisiologis organ, kematangan/maturasi, degenerasi, atau gangguan
kognitif-persepsi. Ada dua tingkat gangguan komunikasi, yaitu gangguan pada
sistem pengindraan dan tingkat integratif. Gangguan pengindraan meliputi
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran atau gangguan wicara.
Sedangkan gangguan yang melibatkan sistem integratif yang lebih tinggi
adalah gangguan mental, gangguan maturasi pikir (degenerasi proses pikir),
atau gangguan kesadaran.
Kemampuan komunikasi pada lansia dapat mengalami penurunan,
akibat penurunan fungsi berbagai sistem organ, seperti penglihatan,
pendengaran, wicara, persepsi dan lain-lain. Semua ini menyebabkan
penurunan kemampuan lansia untuk menangkap pesan atau informasi.
Penurunan kemampuan melakukan komunikasi berlangsung bertahap dan
bergantung pada seberapa jauh gangguan indera dan gangguan otak yang
dialami lansia.
1. Lansia dengan Gangguan Penglihatan
Gangguan penglihatan pada lansia dapat terjadi baik karena
kerusakan organ misalnya kornea, lensa mata, kekeruhan lensa mata
(katarak), atau kerusakan saraf penghantar impuls menuju otak. Semua ini
2

mengakibatkan penurunan visus hingga dapat menyebabkan kebutaan,


baik parsial maupun total.
Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan perawat atau pemberi
asuhan harus mengoptimalkan fungsi pendengaran dan sentuhan karena
fungsi penglihatan sedapat mungkin harus diganti oleh informasi yang
dapat ditransfer melalui indera yang lain. Ketika melakukan orientasi
tempat tidur, ruan tamu, ruang makan, ruang perawatan, ruang rekreasi,
kamar mandi, dan lain-lain, klien lansia harus mendapatkan keterangan
yang memvisualisasi kondisi tempat tersebut secara lisan. Misalnya,
menerangkan letak meja dan kursi makan, menerangkan berapa langkah
posisi tempat tidur dari pintu, letak kamar amndi dan sebagainya.
Berikut penggunaan teknik komunikasi yang perlu diperhatikan
selama berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan
penglihatan :
a. Perawat atau pemberi asuhan sedapat mungkin mengambil posisi yang
dapat dilihat oleh klien lansia bila ia mengalami buta parsial atau
memberi tahu secara verbal keberadaan/kehadirannya.
b. Perawat atau pemberi asuhan menyebutkan identitasnya dan
menyebutkan nama serta perannya.
c. Perawat atau pemberi asuhan berbicara dengan menggunakan nadan
suara normal karena kondisi lansia tidak memungkinkannya menerima
pesan non-verbal secara visual.
d. Nada suara perawat atau pemberi asuhan memegang peranan besar dan
bermakna bagi lansia.
e. Jelaskan alasan perawat dan pemberi asuhan menyentuh sebelum
melakukan sentuhan pada lansia.
f. Ketika perawat dan pemberi asuhan akan meninggalkan ruangan atau
hendak memutus komunikasi atau pembicaraan, informasikan kepada
lansia.
g. Orientasikan lansia pada suara-suara yang terdengar di sekitarnya.
h. Orientasikan lansia pada lingkungannya bila lansia dipindahkan ke
lingkungan yang asing baginya.

2. Lansia dengan Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran pada lansia dapat terjadi berupa penurunan


pendengaran hingga tuli (tuli lansia). Bentuk ketulian yang selama ini
dikenal ialah :
a. Tuli perspektif yaitu tuli yang terjadi akibat kerusakan sistem saraf
b. Tuli konduktif yaitu tuli yang terjadi akibat kerusakan struktur
penghantar rangsang suara.
Pada kien lansia dengan gangguan pendengaran, media komunikasi
yang paling sering digunakan adalah media visual. Klien lansia
menangkap pesan bukan berupa suara yang dikeluarkan perawat/orang
lain, tetapi dengan mempelajari gerak bibir lawan bicaranya. Kondisi
visual menjadi sangat penting bagi klien lansia ini sehingga dalam
melakukan komunikasi, upayakan agar sikap dan gerakan perawat dapat
ditangkap oleh indera visualnya.
Berikut penggunaan komunikasi yang dapat digunakan klien lansia
dengan gangguan pendengaran :
a. Orientasikan kehadiran perawat dnegan menyentuh lansia tau
memposisikan diri didepannya.
b. Usahakan mengg8unakan bahsa yang sederhana dan berbicara dengan
perlahan untuk memudahkan lansia membaca gerak bibir perawat.
c. Usahakan berbicara dengan posisi tepat di depan lansia dan
pertahankan sikap tubuh serta mimik wajah yang lazim.
d. Jangan melakukan pembicaraan ketika perawat sedang mengunyah
sesuatu (mis: menguyah permen).
e. Gunakan bahasa pantomim bila memungkinkan denan gerakan
sederhana dan perlahan.
f. Gunakan bahasa isyarat atau bahasa jari bila diperlukan dan perawat
mampu melakukan.
g. Apabila ada sesuatu yang sulit untuk dikomunikasikan, sampaikan
pesan dalam bentuk tulisan atau gambar.

3. Lansia dengan Gangguan Wicara


Lansia dapat mengalami gangguan wicara, yang dapat terjadi
akibat ompong, kerusakan organ lingual, kerusakan pita suara, atau
gangguan persyarafan. Berkomunikasi dengan lansia yang mengalami
gangguan wicara memerlukan kesabaran agar pesan dapat dikirim dan

ditangkap dengan benar. Lansia yang mengalami gangguan wicara


umumnya telah belajar komunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat
atau menggunakan tulisan.
Pada saat berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan
wicara, hal-hal yang perlu diperhatikan :
a. Perawat atau pemberi asuhan memperhatikan mimik dan gerak bibir
lansia.
b. Usahakan memperjelas hal yang disampaikan dengan mengulang
kembali kata-kata yang diucapkan lansia.
c. Mengendalikan pembicaraan supaya tidak membahas terlalu banyak
topik.
d. Mengendalikan pembicaraan sehingga menjadi lebih rileks dan
perlahan.
e. Memperhatikan setiap detail informasi sehingga pesan dapat diterima
dengan baik.
f. Bila perlu, gunakan bahasa tulis dan simbol.
g. Bila memungkinkan, hadirkan orang yang biasa berkomunikasi lisan
dengan lansia untuk menjadi mediator komunikasi.
4. Lansia yang Tidak Sadar
Ketidaksadaran mengakibatkan fungs sensorik dan motorik lansia
mengalami penururnan sehingga sering kali stimulus dari luar tidak dapat
diterima dan lansia tidak dapat merespon kembali stimulus tersebut.
Keadaan tidak sadar dapat terjadi akibat gangguan organik pada otak,
trauma otak yang berat, syok, pingsan, kondisi tidur, kondisi anastesi,
gangguan berat yang terkait dengan penyakit tertentu (koma diabetikum).
Seringkali timbal pertanyaan tentang perlu atau tidaknya perawat
atau pemberi asuhan berkomunikasi dengan lansia yang mengalami
gangguan kesadaran ini. Bagaimanapun, secara etis penghargaan dan
penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan mengharuskan penerapan
komunikasi pada lansia yang tidak sadar.
Pada saat berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan
kesadaran, hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
a. Perawat atau pemberi asuhan harus berhati-hati ketika melakukan
pembicaraan verbal dekat dengan lansia karena ada keyakinan bahwa
organ pendengaran merupakan organ terakhir yang mengalami
penurunan kemampuan menerima rangsangan pada individu yang
tidak sadar. Individu yang tidak sadar seringkali dapat mendengar
2

suara dari lingkungannya walaupun ia tidak mampu meresponnya


kembali.
b. Perawat atau pemberi asuhan harus mengambil asums bahwa lansia
dapat mendengar pembicaraan kita. Usahakan mengucapkan kata
dengan menggunakan nada normal dan memperhatikan materi ucapan
yang kita sampaikan di dekat lansia.
c. Perawat atau pemberi asuhan harus memberi ungkapan verbal sebelum
menyentuh lansia. Sentuhan diyakini dapat menjadi salah satu bentuk
komunikasi yang sangat efektif pada lansia dengan penurunan
kesadaran.
d. Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk
membantu lansia berfokus pada komunikasi yang dilakukan.
5. Lansia dengan Penurunan Daya Ingat
Lansia yang mengalami penurunan daya ingat atau demensia atau
kepikunan mengalami kesulitan untuk mengerti apa yang dikatakan orang
lain. Hal ini sangat mengecewakan dan membingungkan lansia maupun
pemberi asuhan. Perawat atau pemberi asuhan perlu :
a. Mengenali minimal 10 gejala berikut :
1) Lupa kejadian yang baru saja di alami.
2) Kesulitan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari.
3) Kesulitan dalam berbahasa.
4) Disorientasi waktu dan tempat.
5) Tidak mampu membuat pertimbangan dan keputusan yang tepat.
6) Kesulitan berpikir abstrak.
7) Salah menaruh barang (misalnya: setrika disimpan dalam kulkas).
8) Peubahan suasana hati.
9) Perubahan perilaku dan kepribadian.
10) Kehilangan inisiatif.
b. Menyiapkan mental. Perawat atau pemberi asuhan sebelum
berkomunikasi dan memberi asuhan keperawatan dan pelayanan sosial
kepada lansia terlebih dahulu sudah harus siap mental , yaitu :
1) Menyadari bahwa akan menghadapi situasi yang sulit.
2) Mengingat bahawa lansia yang mengalami penurunan daya ingat
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)

mungkin menderita demensia.


Siap untuk tidak dihargai
Mengabaikan nalar.
Kemarahan anda sebaiknya disalurkan ke tempat lain.
Memfokuskan pada saat yang menyenangkan.
Menghindari menganggap bahwa lansia selalu membuat ulah.
Mengupayakan selalu mengembangkan rasa humor.
Menghargai diri sendiri.

10) Bila perlu menggunakan jasa respite care.


c. Memberi asuhan keperawatan
1) Minta pertolongan orang lain :
a) Mengikutsertakan dalam kelompok pemberi bantuan.
b) Dapatkan bantuan dari keluarga atau sahabatnya.
c) Tidak menunggu sampai terjadi masalah.
d) Dapatkan orang yang dapat diandalkan dan dapat memberi
pertolongan.
e) Dapatkan keterangan mengenai sumber di masyarakat yang
dapat memberi pertolongan.
2) Perhatikan kebutuhan pribadi
a) Makanan yang cukup gizi.
b) Olahraga atau latihan fisik yang cukup dan teratur
c) Tidur yang cukup.
d) Meluangkan waktu untuk diri sendiri (mis: menjenguk teman).
e) Mengenali perasaan frustasi, sedih, marah, dan depresi.
Tentukan orang yang dapat dipercaya untuk membicarakan apa
yang Anda rasakan.
3) Hindari kesendirian :
a) Cari hobi atau aktivitas yang disukai
b) Aktif dalam kegiatan rohani atau sosial.
c) Menjalin komunikasi dengan orang yang dianggap masih
produktif dalam berpikir.
Penyakit demensia Alzheimer membutuhkan penanganan
yang menyeluruh dan melibatkan lingkungannya. Lingkungan
tersebut meliputi kerabat dan sahabat yang terdiri dati seluruh
anggota keluarga, orang dekat atau teman yang peduli dan menaruh
minat dalam lansia.
Perawat bertanggung jawab terhadap kebutuhan lansia
sehari-hari :
a) Makan
(a) Penuhi kebutuhan eliminasi sebelum makan.
(b) Kurangi kebisingan ruangan dan pengalih perhatian.
(c) Singkirkan benda-benda yang tidak perlu.
(d) Gunakan piring yang polos.
(e) Beri satun alat makan dan satu macam makanan
(f) Ingatkan cara makan.
(g) Sajikan makanan dalam potongan kecil agar tidak tersedak.
(h) Ingatkan pasien untuk makan secara perlahan.
(i) Perhatikan pasien bila tidak dapat membedakan rasa panas
atau dingin.

(j) Bila kesulitan menelan, konsultasikan ke dokter.


(k) Beri tahu tahap-tahap makan (mulai dari memegang sendok
sampai memasukkan makanan ke mulut).
b) Mandi
(a) Siapkan air mandi, handuk, pakaian pengganti sebelum
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)

mandi.
Periksa suhu air.
Pasang pengaman/pegangan.
Coba mandikan dengan shower
Pakai spon
Jaga privasinya.
Beri tahukan apa yang akan anda lakukan.
Bila lansia menolak mandi coba tawarkan lagi beberapa

waktu kemudian.
(i) Izinkan lansia melakukan tindakan tanpa bantuan.
(j) Pertahankan tentang keselamatan.
c) Berpakaian dan berhias
(a) Susun pakaian yang akan dipakai sesuai urutan.
(b) Gunakan pakaian yang nyaman dan dapat dicuci.
(c) Pilih pakaian yang mudah dipakai (hindari menggunakan
kancing), lebih baik yang menggunakan karet.
(d) Sebaiknya pakaian berkancing belakang bila pasien sering
membuka pakaiannya.
d) Eliminasi
(a) Kesulitan defekasi harus di konsultasikan ke dokter.
(b) Buat jadwal teratur ke toilet (mis: 3 jam sekali, sesudah
makan, sebelum makan).
(c) Perhatikan tanda yang menunjukkan adanya keinginan ke
toilet (mis: mondar-mandir atau menarik-narik retsluiting).
(d) Pastikan ia cukup mendapat cairan karena dehidrasi dapat
menyebabkan gejala demensia Alzheimer menjadi lebih
buruk dan mencegah konstipasi.
(e) Kurangi zat cai dan makanan bergas sesudah makan malam
(f) Pastikan makanan mengandung serat (sayuran dan buahbuahan).
(g) Tandai pintu toilet dengan tulisan yang menyolok dengan
huruf besar atau gambar/simbol.
(h) Biarkan toilet terbuka sehingga mudah ditemukan.
(i) Usahakan lantai kamar mandi di cat warna yang berbeda.

(j) Singkirkan ember, pot, dan benda yang menyerupai


dudukan toilet.
(k) Hindari sikap mempermalukan atau memarahi lansia.
(l) Pastikan pakaian mudah dibuka.
(m)Sediakan pispot di samping tempat tidur (bila perlu).
Lansia demensia Alzheimer mudah bingung terhadap suara atau
warna yang berlainan, dan bila berada dalam lingkungan yang menakutkan
timbul perasaan yang berlebihan. Semua ini dapat membuat marah dan
mencemaskan untuk menciptakan pearsaan aman dan senang bagi lansia,
perawat harus :
a. Berfokus pada pencegahan
1) Berusaha mencegah masalah.
2) Kecelakaan dapat terjadi bila seseorang terlalu diburu-buru.
3) Beri waktu yang cukup.
4) Jika lansia seorang perokok, awasi pemakaian rokok dan korek.
b. Pertahankan keamanan dan keselamatan
1) Pasang pintu di atas tangga dan alat untuk pegangan.
2) Pasang kunci pada lemari tempat alat-alat berbahaya (pisau, alat
pembersih).
3) Pasang penutup pada kenop pintu sehingga menghalangi lansia
keluyuran.
4) Ciptakan suasana sederhana. Keluarkan semua perabotan/mebel
yang tidak perlu serta Segala macam yang mengacaukan pikiran
termasuk perhiasan.
5) Simpan barang yang sering dipakai selalu di tempat yang sama.
6) Keluarkan barang-barang yang dapat menyebabkan kebingungan
(mis: krim cukur berdekatan dengan pasta gigi).
7) Singkirkan barang yang berbahaya, termasuk tanaman beracun
8) Singkirkan benda-benda kecil yang dapat ditelan dan simpan
semua alat-alat yang tajam.
9) Pastikan kabel listrik berada dalam keadaan aman.
10) Sediakan penerangan yang cukup. Pakai lampu yang tidak mudah
jatuh. Pasang lampu malam ditempat tidur, di gang, dan di kamar
mandi.
11) Pastikan ada penerangan yang cukup dan hindarti bayang-bayang
sehingga dapat mengakibatkan persepsi yang salah dari lansi.a
12) Amankan dapur. Pindahkan kenop oven bila kompor tidak dipakai.
Simpan alat-alat dapur dengan aman.
13) Ciptakan kamar tidur yang aman. Sediakan bangku untuk duduk.
Pastikan alat pengatur suhu pada alat pemanas air telah diturunkan

untuk menghindari kebakaran. Lantai harus selalu kering dan


gunakan keset antiselip agar tidak tergelincir.
c. Bersiap menghadapi keadaan darurat
1) Buat petunjuk tertulis untuk menghadapi kebakaran atau bentuk
lain keadaan darurat dan pasang dekat telepon, bersama telepon
polisi, pemadam kebakaran dan dokter.
2) Siapkan foto terbaru lansia tersebut agar dapat membantu polisi
bila lansia hilang.
3) Pasien harus memakai kalung identitas atau tanda memory lost.
4) Jangan biarkan lansia sendirian dirumah, walaupun untuk beberapa
menit.
6. Lansia dengan Perilaku Sulit
Lansia yang mengalami penurunan daya ingat atau kehilangan
memori, memperlihatkan tingkah laku yang sulit. Untuk menjamin
keamanannya dan memberinya martabat, perawat atau pemberi asuhan
harus bersikap :
a. Hindari sikap mengharapkan lansia ingat karena adanya penurunan
daya ingat membuat lansia tidak akan dapat mengingat banyak hal.
Bahkan lansia akan bingung bila kita mengajukan pertanyaan Apakah
bapak tidak ingat?.
b. Bila lansia menjadi gelisah mereka menunjukkan perilaku yang sulit.
Alihkan

perhatiannya

dengan

kegiatan

yang

lain,

misalnya

mengajaknya minum teh bersama bila lansia mondar-mandir atau


berjalan terus mengitari rumah.
c. Ciptakan kegiatan dan komunikasi yang sederhana. Kegiatan
hendaknya dibuat menjadi lebih sederhana dan bertahap. Pasien
demensia mampu memusatkan pikiran dan menyelesaikan kegiatannya
secara bertahap.
d. Ciptakan rutinitas dengan menetapkan aktivitas yang tetap dilakukan
setiap hari termasuk bangun pagi, makan, dan berbagai kegiatan lain
sehinga

dapat

mengembangkan

membantu
perasaan

mengurangi

gembira

bagi

kegelisahan
penderita

dan

demensia

Alzheimer.
e. Beri penentraman hati dan pujian yang akan meningkatkan harga diri
dan memperkuat perilakunya.
f. Hindari berdebat dengan pasien demensia.

g. Libatkan dalam kegiatan sosial yang dapat menjamin pasien demensia


kontak langsung dengan orang lain.
h. Ciptakan lingkungan tetap sederhana, aman, dan tenang.
Keterampilan tertentu diperlukan perawat untuk mencapai dan
mempertahankan hubungan terapeutik. Keterampilan ini menghubungkan
keterampilan verbal dan non-verbal sertas sikap dan perasaan perawat.
Keterampilan ini dibagi dalam dua dimensi, yakni:
a. Dimensi responsif
1) Keikhlasan (kesejatian)
2) Menghormati dan menghargai orang lain termasuk lansia dan
keluarganya
3) Empati
4) Konkret (member penjelasan dengan terminologi yang spesifik dan
tidak abstrak).

b. Dimensi tindakan
Dimensi ini termasuk didalamnya konfrontasi, kesegeraan
dalam memberikan bantuan kepada lanjut usia, pembukaan dan
bermain peran. Dimensi ini harus diimplementasikan dalam konteks
kehangatan, penerimaan dan pengertian dalam bentuk dimensi
responsif.
2.10 Tahap-tahap Komunikasi Terapeutik
Hubungan terapeutik memiliki tahapan yang meliputi tahap prainteraksi, pengenalan, tahap kerja dan terminal.
1. Tahap I ( pra-interaksi)
Pada tahap ini perawat sudah memiliki beberapa informasi tentang
klien lansia, seperti nama, alamat, umur, jenis kelamin, riwayat kesehatan,
dan lain-lain. Pertemuan pertama dengan lansia dapat membuat cemas
perawat yang belum mempunyai pengalaman. Ada baiknya apabila
perawat menyadari perasaan ini.
2. Tahap II (pengenalan)
Perawat dan klien lansia saling mengenal dan mencoba
menumbuhkan rasa percaya satu sama lain. Pada tahap pertemuan ini
perawat mengusahakan untuk membuat klien lansia merasa nyaman
dengan beberapa interaksi sosial seperti membicarakan tentang cuaca. Ada

kemungkinan perawat melihat sikap penolakan dari lansia. Hal ini


mungkin karena lansia belum siap untuk mengungkapkan dan
menghadapi masalahnya, ada rasa malu untuk mengakui bahwa lansia
memerlukan bantuan, tidak siap mengubah pola tingkah laku yang
menyebabkan masalah kesehatannya, dan lain sebagainya.
Kadang-kadang klien lansia juga ingin menguji ketulusan perawat
yang membantunya. Di sini perawat perlu menunjukkan sikap ketulusan
dan kepedulian. Sebenarnya sikap perawat sangat menentukan apakah
hubungannya dengan klien lansia terapeutis atau tidak.
Tahap pengenalan ini mempunyai tujuan menumbuhkan rasa
percaya klien lansia kepada perawat :
a. Lansia dapat mellihat perawat sebagai seorang professional yang
mampu membantunya.
b. Lansia dapat melihat perawat sebagai individu yang jujur, terbuka, dan
peduli lansia.
c. Lansia percaya bahwa perawat akan menghargai kerahasiaan hubungan
mereka, nilai, keyakinan, sosio-kulutralnya.
d. Lansia merasa aman dan nyaman dalam mengungkapkan perasaanya.
3. Tahap III (kerja)
Pada tahap ini perawat dank lien lansia menemukan, menghargai
dan menerima keunikannya masing-masing. Rasa peduli dan empati juga
akan timbul. Perawat membantu klien lansia melihat secara mendalam
perasaannya agar lansia dapat memperoleh insight tentang masalahnya.
Dengan memeriksa secara mendalam tentang perasaannya,
komunikasi dapat diperlancar apabila perawat menunjukkan:
a. Empati
Perawat akan mampu berempati dengan klien lansia bila
mereka merasakan apa yang dialami lansia. Semua teknik
komunikasi yang dipakai akan terjadi kaku, tidak spontan dan tidak
genume, tetapi sharing tentang kesulitan klien lansia akan membuat
perawat menjadi spontan dan tulus meresponnya dan sikap ini dapat
dirasakan oleh lansia.
b. Menghargai
Perawat perlu memiliki keyakinan tentang martabat setiap
manusia, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik,ia adalah ciptaan
Tuhan, dan cenderung menjadi manusia patut dihargai dan dicintai
tanpa memperhatikan perbuatannya melainkan dirinya. Keyakinan ini
2

akan membantu perawat menerima, mencintai dan menghargai lansia


tanpa syarat.

c. Genuiness
Perawat

sebagai

pemberi

asuhan

keperawatan

disebut

genuiness bila :
1) Tidak bersembunyi dalam peran, status, tingkat pendidikannya, dan
sebagainya.
2) Bersikap spontan
3) Tidak defensif, menerima, dan menanggapi kritikan dari lansia
tanpa membalas atau mencari alasan untuk membernarkan diri.
4) Konsisten dengan ekspresi wajah, nada suara, dan sikap tubuh
sesuai dengan apa yang dirasakannya.
5) Mampu membuka diri dan membagi pengalaman bila perlu.
d. Konkret/ spesifik
Perawat perlu terampil dalam member pertanyaan terbuka.
Melalui pertanyaan terbuka, perawat dapat membantu lansia yang
cenderung berbicara secara umum menjadi lebih konkret dan spesifik.
e. Konfrontasi
Konfirmasi bila perlu dipakai dengan hati-hati dan penuh
pengertoan. Konfrontasi akan lebih mudah diterima lansia bila ia
merasa bahwa ia dihargai dan diterima oleh perawat. Dengan
konfrontasi, perawat menunjukkan kepada lansia ketidakcocokkan
antara pikiran, kata-kata atau perbuatannya. Ketidakcocokan ini akan
menghambat pemeriksaaan dan penyadaran diri. Penyangkalan
terhadap perasaan dapat membuat lansia tidak mampu mengatur
tingkah lakunya.
4. Tahap IV (terminal)
Tahap ini dapat disertai bermacam-macam perasaan. Mungkin
lansia merasa kehilangan sesuatu, measa bimbang tentang kemampuannya
tanpa bantuan dari perawat, merasa ditinggalkan, dan lain sebagainya.
Pada tahap ini, perawat perlu mengungkapkan kesediannya membantu
bila diperlukan agar klien lansia merasa aman.
2.11 Jenis-jenis Komunikasi

Secara bahasa ada dua yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
1. Komunikasi verbal
Secara formal digunakan untuk menunjukkan maksud dan tujuan
tertentu. Secara informal untuk bersosialisasi. Komunikasi efektif harus
diawali dengan bahasa verbal yang tepat, seperti memanggil nama.
Teknik komunikasi verbal :
a. Teknik informing
Bahasa singkat dan jelas, mudah dimengerti. Pada teknik ini perawat
bersifat aktif dan pasien pasif, akan tetapi metode ini tidak efektif.
b. Bertanya
Bertanya langsung membantu untuk mendapat informasi spesifik. Jika
berlebihan dapat menyebabkan lansia defensif. (menggunakan
pertanyaan tertutup ya/tidak). Bertanya terbuka-tertutup : meliputi
pertanyaan reflektif, klarifikasi, parafrase, ex : anda sedang sedih,
mengapa?
c. Berhadapan langsung (confronting)
Ketika respon verbal dan non verbal pada lansia tidak sama, teknik ini
dapat dilakukan. Tidak dianjurkan pada klien lansia yang sedang
gelisah atau bingung.
d. Social communication
Tujuannya untuk lebih membina hubungan saling percaya dengan
lansia. untuk memperoleh informasi lain diluar info kesehatan lansia.
2. Komunikasi non verbal
1. Simbol, contohnya

cara

berpakaian

menentukan

identitas

pribadi

seseorang.
2. Nada

suara

(tone

voice), bisa

menunjukkan

emosi

seseorang,

mengindikasikan emosi pada lansia. Pada lansia saat kita berkomunikasi


hendaknya menggunakan nada yang rendah.
3. Body language, dapat digunakan untuk memvalidasi maksud atau tujuan
komunikasi. Body language pasien harus diperhatikan karena body
language yang tidak sesuai dapat menjadi barier komunikasi. Oleh karena
itu perawat harus menempatkan diri untuk berkomunikasi dengan lansia.
4. Space or distance, and position. Public space, area tidk ada hubungan
dengan orang lain (>12 kaki). Social space, komunikasi terjadi dalam

tahap interpersonal (4-12 kaki). Personal space, seberapa dekat orang


dapat berkomunikasi dengan kita dan kita merasa nyaman (18 inci-4 kaki).
Intimate space, hanya orang tertentu yang boleh masuk.
5. Gesture, digunakan untuk membantu menyampaikan maksud dari
komunikasi. Gesture sangat membantu pada orang yang tidak dapat
mendengar.
6. Ekspresi wajah, digunakan untuk komunikasi antarbudaya dan bangsa.
Karena ekspresi takut, marah, sedih, senang, dll bisa ditunjukkan lewat
ekspresi wajah.
7. Kontak mata, posisi sejajar menunjukkan respect terhadap lawan bicara.
8. Kecepatan komunikasi, jangn tergesa-gesa ketika berkomunikasi dengan
lansia, karena menyebabkan kebingingan dan frustrasi.
9. Waktu, terlalu menyampaikan di awal membuat lansia lupa. Dan
menyampaikan diakhir membuat stress atau frustrasi. Komunikasi di
malam hari mengganggu waktu tidur lansia.membutuhkan yang lebih lama
dan sabar untuk komunikasi dengan lansia.
10. Sentuhan, metode untuk mengungkapkan perhatian dan caring. Sentuhan
terapeutik dapat menurunkan ansietasn depresi, dapat meningkatkan
keberadaan dan rasa penghargaan bagi lansia.
11. Silence, bentuk komunikasi yang ditunjukkan ketika lansia berduka,
cemas, sakit.
2.12 Pengkajian Penurunan Sensori Pada Lansia
Miller (2012) mengelompokkan pengkajian berupa wawancara
menjadi empat kelompok yaitu berdasarkan faktor resiko, perhatian dan
pengetahuan lansia terjadinya gangguan pendengaran pada dirinya, dampak
psikososial dari penurunan pendengaran, dan perilaku yang mempengaruhi
intervensi promosi kesehatan seperti menarik diri, marah, frustasi. Selain
melalui wawancara, perawat juga memperhatikan petunjuk lain yang
menandakan gangguan pendengaran.
Pengkajian fisik khusus pada ganguan pendengaran dilakukan
menggunakan garpu tala, detak arloji, dan suara bisikan. Selain itu, juga
dilakukan pemeriksaan adanya akumulasi serumen, nyeri pada telinga,

tinnitus, dan vertigo (Miller 2012; Stanley & Beare, 2002; Touhy & Jett,
2010).
Pengkajian gangguan pendengaran umumnya berfokus pada masalahmasalah yang dapat muncul karena gangguan pendengaran seperti gangguan
fungsi dan peran di sosial, gangguan komunikasi, depresi, resiko jatuh, harga
diri rendah, gangguan keamanan, dan gangguan kognitif.
1. Pengkajian mata
Peralatan yang digunakan :
a. Kartu snellen
b. Pena senter
c. Optalmoskop, dll.
Pelaksanaan :
a. Kaji ketajaman penglihatan
Teknik :
1) Tempatkan kartu snellen 20 kaki dari klien pada cahaya terang
2) Tes setiap mata, minta klien utk menutup satu mata dg kartu buram
3) Mita klien utk membaca hurup pada lajur yg dapat dibaca klien
paling baik. Tentukan lajur paling kecil yang bisa dibaca.
4) Catat ketajaman pada lahur tesebut
5) Ulangi dengan dan tanpa kaca mata
Normal : 20/20 sampai 20/30 ou dengan lensa korektif .
Penyimpangan : adanya lajur diatas lajur 20/30 pada kartu.
b. Kaji reflek cahaya cornea
1) Teknik : minta klien menatap lurus ke depan saat pemeriksa
menyalakan pena senter pada jarak 12 15 inci.
2) Normal : sinar direfleksikan secara simetris dari kedua pupil
3) Penyimpangan : refleksi sinar asimetris pada masing-masing mata.
c. Ukur penglihatan dekat
d. Kaji lapangan pandang
e. Kaji otot ekstraokuler
f. Inspeksi alis mata : kuantitas, kondisi, distribusi rambut, gerakan
g. Inspeksi sklera dan konjungtiva : warna, pola vaskuler, lesi, edema
h. Pemeriksaan oftalmoskopik
2. Gangguan pada mata
Semua gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan
gangguan pengelihatan, seperti :
1. Gangguan pengelihatan yang dimaksud meliputi presbiop.
2. Kelainan lensa mata ( refleksi lensa mata kurang)
3. Kekeruhan pada lensa (katarak)
4. Tekanan dalam mata yang meninggi (glaukoma)

5. Radang saraf mata


3. Pengkajian pada telinga :
a. Inspeksi dan palpasi aurikel
b. Kaji struktur dalam dengan otoskop : kanalis, serumen, objek asing,
lesi
c. Kaji fungsi auditorius : tes suara dan tes detik-jam
d. Tes garpu tala (tes weber)
Teknik :
Tempatkan garpu tala vibrasi di dahi klien. Instruksikan klien
untuk menandakan bila bunyi terdengar seimbang pada kedua telinga
atau tidak atau lebih baik/buruk pada satu telinga
Hasil :
1) Bunyi seimbang scr bilateral
2) Dapat tjd beberapa derajat kehilangan perspektif
3) Kehilangan konduktif terhadap telingan yang lebih buruk

e. Garpu tala (tes Rine)


Teknik :
1) Tempatkan tulang garpu tala vibrasi pd tulang mastoid dalam mulai
perhatikan waktu dalam detik
2) Instruksikan klien untuk menandai kapan bunyi tak lagi terdengar.
Perhatikan putaran waktu dalam detik.
Hasil :
(1) Normal : Konduksi tulang 2 kali lebih besar dari konduksi udara
(2) Gangguan pada telinga
(3) Kelainanan degeneratif (otosklerusis) dan ketulian pada lanjut usia
yang seringkali dapat menyebabkan kekacauan mental.

BAB 4
PENUTUP
4.1 Simpulan
Komunikasi adalah Sebuah proses penyampaian pikiran-pikiran atau
informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu
sehingga orang lain tersebut mengerti betul apa yang

dimaksud oleh

penyampai pikiran-pikiran atau informasi. Komunikasi yang efektif meliputi


berbicara dengan intonasi yang tepat, diutamakan berbicara saling
berhadapan, menggunakan kalimat sederhana, dan perlahan.
Penurunan sensoris berupa gangguan pendengaran dapat berdampak
pada kehidupan lansia dari berbagai aspek, diantaranya dalam hal
berhubungan dengan orang lain, menghindari bahaya, ataupun dalam
mendengarkan musik dan suara (Miller, 2012).
Mengelompokkan pengkajian berupa wawancara menjadi empat
kelompok yaitu berdasarkan faktor resiko, perhatian dan pengetahuan lansia
terjadinya gangguan pendengaran pada dirinya, dampak psikososial dari

penurunan pendengaran, dan perilaku yang mempengaruhi intervensi promosi


kesehatan seperti menarik diri, marah, frustasi.
Teknik komunikasi yang digunakan mengarahkan lansia pada teknik
membaca bibir (lip reading). Lip reading merupakan salah satu program
rehabilitasi pada seseorang dengan gangguan pendengaran. Kemampuan
berfungsi secara optimal di masyarakat yaitu dengan membuat lansia
berpartisipasi secara aktif di masyarakat. Tindakan yang dapat dilakukan
secara garis besar yaitu kolaborasi menggunakan alat bantu dengar, melakukan
pembersihan akumulasi serumen, dan membentuk komunikasi yang efektif
bagi lansia.

3.2 Saran
Diharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
serta menambahkan informasi tentang bagaimana suatu komunikasi efektif
pada lansia.
Perawat atau pemberi asuhan harus mampu melakukan teknik
komunikasi secara baik dan efektif pada lansia. Komunikasi yang dijalin harus
bersifat terapeutik.

DAFTAR PUSTAKA
Gail Wiscart Stuart, Sandra J. Sundeen. (1995). Buku Saku Keperawatan Jiwa,
Edisi 3. Jakarta: EGC
Herawaty, Netty. (1999). Materi Kuliah Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta: FIK
Keliat, Budi Anna dan Akemat. (2005). Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas
Kelompok. Jakarta: EGC
Kurtz, S., Silverman, J. & Drapper, J. (1998). Teaching and Learning
Communication Skills in Medicine. Oxon: Radcliffe Medical Press
Nasir, abdul, dkk. 2009. Komunikasi Dalam Keperawatan Teori Dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Medika
Nugroho, wahyudi. 2009. Komunikasi Dalam Keperawatan Gerontik. Jakarta:
EGC
Robinson, TE. White, GL,. Houchins, JC, 2006. Improving Communication With
Older Patien: Tips from Literature. American Academi of Family
Physician
Miller, Carol A. (2012). Nursing for wellness in older adult Ed 6th. Lippincott:
Williams & Wilkins
Stanley, Mickey & Beare, Patricia G. (2002). Buku Ajar keperawatan Gerontik.
Jakarta: EGC

Touhy & Jett. (2010). Gerontological nursing & healthy aging. Elseiver Mosby:
St. Louis.

Anda mungkin juga menyukai