2019 M/1440 H
BAB V
Pemerian: Bahan padat putih atau kekuningan; rapuh dengan sedikit bau. (Depkes RI,
2014).
Titik leleh: 31-34°C (Depkes RI, 2014).
Kelarutan: Mudah larut dalam kloroform, eter dan petroleum spirit; larut dalam etanol
mendidih; sedikit larut dalam etanol 95%. (Depkes RI, 2014).
Stabilitas: Pemanasan >36°C selama persiapan supositoria dapat mengakibatkan
penurunan titik beku yang cukup besar karena terjadi pembentukan kristal
metastabil. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam pembentukan
supositoria (Rowe et all, 2009).
Kegunaan: Basis supositoria (Rowe et all, 2009).
Penyimpanan: Harus disimpan pada suhu <25°C. mudah tengik dan meleleh sehingga
harus disimpan ditempat sejuk dan kering terhindar dari cahaya
(Lachman, 2008).
2. Gliserol
Gambar 5.2.1 struktur kimia Gliserol
6.2. Ovula
Zat aktif yang digunakan adalah povidone yang berfungsi sebagai antiseptik,
tujuannya untuk mendapatkan efek local yaitu untuk mengobati vagina dengan cara
membunuh bakteri, jamur, virus dan infeksi mikroba yang mengandung lipid dengan
cara merusak membranlipid bakteri. Dibuat dalam bentuk ovula karena ovula adalah
sediaan padat yang digunakan sebagai otot luar khusus untuk vagina (H.A Syamsuni,
2004, hal : 164). Adapun keuntungan dari zat aktif povidone ini selain larut dalam
air, povidone sebagai antiseptik yang tidak merangsang, stabil karena tidak menguap.
Selain itu povidone juga dapat digunakan sebagai obat luka.
Basis yang digunakan adalah gelatin yang larut air panas. Bahan dasar ovula
harus larut air karena tidak melebur pada suhu tubuh tetapi melarut dalam cairan
sekresi tubuh sehingga digunakan basis ini. Saat proses peleburan diatas penangas air
povidone yang memiliki kelarutan dalam air larut dalam gelatin sehingga cocok
digunakan basis yang larut air ini.
Bahan lainnya yang digunakan adalah gliserin yaitu dapat digunakan sebagai
pengikat dan emolien dalam formulasi untuk mengatasi iritasi serta digunakan
sebagai agen terapeutik dalam berbagai aplikasi klinis (Rowe, hal : 289). Emolien
dibutuhkan dalam ovula atau supositoria vaginal untuk memudahkan penggunaan
ditambahkan emolien sebagai pelumas untuk mencegah hidrasi kulit pada daerah
vagina (Balsam,1975)
VIII. FORMULA
8.1.Formulasi Awal
Formula B (Ovula)
Formula A (Suppositoria)
R/ Povidone 10%
R/ Bisakodil 10 mg
Gliserin 70%
Ol.Cacao 100%
Gelatin 14%
m.f. suppo No. XII @4g
Aquadest ad. 100%
m.f. Ovula No. XII @4g
8.2.Formula Akhir
Formula A (Suppositoria) Formula B (Ovula)
Cara I
Cara II
Bobot basis 100% zat aktif = 2,2 gram
Bobot 10% zat aktif = 2,4 gram
Bobot basis 100%−(Bobot Basis+zat aktif)X100
𝑓= +1
Bobot basis zat aktif x 10
(2,2 gram−2,4 gram) X100
𝑓= + 1 = 0,17
2,4 gram x 10
Penimbangan Ovula
Ovula 1 2 3
Lubang eksudasi +++ ++ +
Keretakan - - -
Bengkak - - -
Kesimpulan:
Berdasarkan pengamatan, ovula 1, 2 dan 3 yang telah dievaluasi tidak memenuhi
persyaratan karena terdapat lubang eksudasi.
3. Keseragaman bobot Supositoria Bobot (g)
Ovula Bobot (g)
1 2,42
1 3,95
2 2,42
2 3,62
3 2,42
3 3,97
4 2,35
4 3,90
5 2,39
5 3,66
6 2,43
6 3,94
Rata-rata 2,405
Rata-rata 3,84
5% 0,120
5% 0,192
⸫ Rentang Batas Atas ⸫ Rentang Batas Atas
= 3,84 + 0,192 = 4,032 = 2.405 + 0,120= 2,525
⸫ Rentang Batas Bawah ⸫ Rentang Batas Bawah
= 3,84 – 0,192 = 3,648 = 2.405 – 0,120= 2,285
Kesimpulan :
Supositoria : Supositoria memenuhi syarat. Karena tidak ada dua sediaan
yang menyimpang dari >5% .
Ovula : Ovula memenuhi syarat. Karena tidak ada dua sediaan yang
menyimpang dari >5%.
4. Uji Kisaran dan Waktu Leleh
Supositoria Waktu Leleh Kisaran Leleh
T1 (detik) T2 (detik) T1 (℃) T2 (℃)
1 17.27 180 40 60
2 13.78 76.86 42 64
3 14.80 90.9 40 60
Kesimpulan
Waktu leleh semua sampel supositoria memenuhi syarat karena < 15 menit.
Dan kisaran leleh nya tidak memenuhi syarat, karena suhu nya > 37℃.
XII. PEMBAHASAN
12.1. Supositoria
Pada praktikum kali ini kami melakukan percobaan pembuatan supositoria.
Supositoria adalah sediaan padat yang biasa digunakan melalui dubur, umumnya
berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak, atau meleleh pada suhu tubuh. Bentuk
dan ukurannya harus sedemikian rupa sehingga dengan mudah dapat dimasukkan ke
dalam lubang atau celah yang diingankan tanpa menimbulkan kejanggalan dalam
penggelembungan begitu masuk dan harus bertahan untuk suatu waktu dan suhu
tertentu. Supositoria untuk rectum umumnya dimasukkan dengan jari tangan, tetapi
untuk vagina khususnya tablet vagina yang dibuat dengan cara kompresi dapat
dimasukkan lebih jauh ke dalam saluran vagina dengan bantuan alat khusus (Ansel,
1989).
Zat aktif yang digunakan yaitu bisakodil yang berkhasiat sebagai laksatif
stimulant dibuat supositoria sehingga diperoleh onset yang cepat. Onset kerja
bisakodil jika dibuat tablet salut enterik mencapai 6 jam sampai 12 jam, sedangkan
pada pemberian secara rektal onset nya 15 menit sampai 1 jam. Kekuatan sediaan
bisakodil 10 mg / 4 gr. Hal ini sudah sesuai dengan teori yang tercantum di dalam
Martindale (2008), bahwa bisakodil untuk pasien di atas 10 tahun sebanyak 10 mg.
Bisakodil praktis tidak larut air dan larut lemak bersifat non polar. Basis yang dipilih
adalah oleum cacao (basis lemak) dapat diabsorbsi oleh tubuh. Hal ini sesuai dengan
cara kerja basis yang dapat larut dalam lemak, sehingga dapat masuk ke dalam tubuh
karena terdapat pembuluh darah, memiliki titik leleh 30-36℃ sehingga ketika
digunakan secara rektal basis akan langsung meleleh dan membebaskan zat aktif.
Basis yang digunakan yaitu oleum cacao. Oleum cacao memiliki kelebihan cepat
membeku, mampu meleleh semurna, kompatibel dengan bisakodil, tidak berbahaya.
Oleum cacao tidak menimbulkan iritasi yaitu sesuai untuk mengurangi iritasi dari
bisakodil.
Agar supositoria dapat digunakan secara efektif, aman dan nyaman, maka
basis supositoria harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut (Voigt, 1971)
:
- Secara fisiologis netral (tidak menimbulkan rangsangan pada usus: hal ini
dapat disebabkan oleh masa yang tidak fisiologis atau tengik, terlalu keras,
juga oleh kasarnya bahan obat yang diracik),
- Secara kimia netral (tidak tak tersatukan dengan bahan obat),
- Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil),
- Interval yang sangat rendah antara titik lebur dan titik beku (dengan demikian
pembekuan masa berlangsung dengan cepat dalam cetakan,
- kontraksibilitasnya baik, mencegah pendinginan mendadak dalam cetakan),
- Interval yang rendah antara titik lebur mengalir dengan titik lebur jernih
(sangat penting artinya bagi kemantapan bentuk dan juga daya penyimpanan,
khususnya pada suhu tinggi).
Povidone dibuat dengan bentuk sediaan ovula karena dilihat dari fungsinya
sebagai pencegah keputihan, maka untuk mempercepat kerja obat dan lebih
memastikan obat bekerja pada target jadi dibuat sediaan ovula. Pada pembuatan ovula
ini menggunakan basis sebagai pembawa zat aktif. Basis memiliki peranan penting
dalam pelepasan zat aktif yang dikandungnya. Salah satu persyaratan pertama bagi
suatu basis yaitu basis yang selalu padat pada suhu ruangan dan akan melunak,
melebur, dan melarut dengan mudah pada suhu tubuh sehingga obat yang
dikandungnya dapat sepenuhya diproleh segera setelah dimasukan. Pada pembuatan
ovula ini, digunakan basis larut air yaitu gelatin tergliserinasi yang mengandung air
10%, gliserin 70% dan gelatin 20%. Ovula povidone ini memiliki efek local dengan
zat aktif yang larut air dan basis yang larut air.
Basis gelatin gliserin ini paling sering digunakan dalam Supositoria vagina atau
ovula dimana yang diharapkan efek setempat yang cukup lama dari unsur obatnya.
Basis gelatin gliserin lebih lambat melunak dan bercampur dengan cairan tubuh
daripada oleum cacao dan oleh karena itu waktu pelepasan obatnya lebih lama. Oleh
karena basis gelatin gliserin cenderung menyerapuap air, akibat sifat gliserin yang
higroskopis, maka basis ini harus dilindungi dari lembab, supaya terjaga bentuk dan
konsistensi sediaannya. Adanya air dalam formula supositoria akan mengurangi
kerjanya, tetapi jika perlu supositoria boleh dibasahi dengan air sebelum
pemakaiannya, untuk mengurangi kecenderungan basis tersebut menarik air dari
membran mukosa dan merangsang jaringan tubuh (Ansel, 1989).
Metode yang digunakan pada pembuatan ovula povidone ini adalah metode cetak
dengan cara penuangan. Metode ini memanfaatkan panas untuk pelelehan basis dan
pembuatan masa ovula dalam bentuk larutan. Bahan-bahan yang akan dibuat ovula
yaitu povidone, gelatin, gliserin dan aquadekst. Bahan-bahan tersebut ditimbang
sesuai dengan yang telah ditentukan dalam perhitungan. Kemudian gelatin, gliserin
dan aquadest dicampurkan dan dilebur hingga bahan melelh sempurna sambal diaduk.
Sebelum basis larut homogen, disiapkan alat cetak ovula dan dibersihkan agar ovula
yang terbentuk bersih dari pengotor dan didapat bentuk yang sempurna. Setelah alat
cetak dibersihkan, kemudian alat cetak dipanaskan diatas penangas air tujuannya agar
pada saat penuangan larutan obat kedalam cetakan, karena prosesnya yang lama
diharapkan basis tidak cepat membeku. kemudian diolesi alat cetak dengan paraffin
liquidum hal ini bertujuan untuk mempermudah proses pengeuaran ovula dari
cetakan, jadi paraffin liquidum berfungsi sebagai pelumas agar ovula tidak lengket
saat dikeluarkan dan didapat hasil yang diinginkan. Setelah alat dilumasi, kemudian
basis yang sudah melebur dicampurkan dengan povidone diatas penangas air
kemudian diaduk agar homogen dan masa ovula yan sudah melebur dengan homogen
dituangkan kedalam cetakan.
Setelah dimasukan kedalam cetakan, sediaan didiamkan disuhu ruangan hingga
mulai mengeras dan dipindahkan ke freezer agar ovula benar-benar memadat. Ovula
tidak dimasukan langsung kedalam freezer melainkan didiamkan dahulu pada suhu
kamar agar ovula tidak rusak karena perubahan suhu yang tiba-tiba.
Setelah ovula dimasukan kedalam freezer dan memadat, kemudian ovula
dikeluarkan dari cetakan dan dilakukan evaluasi untuk melihat seberapa baik ovula
yang telah dibuat dan melihat kelayakan ovula untuk digunakan sebagai obat. Pada
percoban ini ovula yang dicetak sebanyak 12 ovula, dan semua berhasil dicetak dan
memiliki bentuk ovula yang baik. Evalusi yang pertama dilakukan yaitu evaluasi uji
homogenitas zat aktif. 3 buah ovula yang digunakan uji homogenitas zat aktif. Pada
uji homogenitas ini lebih ditekankan pada kedistribusian zat aktif yang terkandung
didalam basis ovula. Pada uji ini parameter yang dilihat adalah ada/tidak adanya
penumpukan zat aktif (padatan) pada suatu tempat. Dimana pada sediaan baik tidak
akan ada tampak penumpukan zat aktif (padatan) pada suatu tempat. Berdasarkan
hasil evaluasi, sediaan ovula 1,2 dan 3 setelah dibelah secara vertical tidak terlihat
penumpukan zat aktif, jadi ovula ini memenuhi syarat karena tidak adanya
penumpukan zat aktif (padatan) pada suatu tempat.
Selanjutkan dilakukan evaluasi uji penampilan, Uji ini dilakukan bersamaan
dengan evaluasi homogenitas zat aktif. Uji ini dilakukan secara organoleptic untuk
melihat penampilannya apakah seragam atau tidak antara 1 dengan yang lainnya.
Parameter yang dilihat adalah ada atau tidaknya keretakan, lubang eksudasi cairan
dan pembengkakan basis. Pada sediaan yang baik tidak ditrmukan adanya keretakan,
lubang eksudasi cairan dan pembengkakan basis. Pada 3 ovula yang dievaluasi tidak
terdapat keretakan dana pembengkakan, namun terdapat lubang eksudasi cairan pada
ketiga ovula tersebut, dimana lubang eksudasi cairan adalah suatu keadaan adanya
rongga udara didalam sediaan, dimana didalamnya terdapat air yang terjerap. Hal ini
tidak boleh terjadi karena bobotnya bisa jadi tidak sesuai dan bisa jadi dapat
mengurangi zat aktifnya. sehingga ovula dikatakan tidak memenuhi persyaratan uji
penampilan.
Setelah dilakukan uji penampilan, selanjutkan dilakukan uji keseragaman bobot.
Tujuan dari evaluasi ini yaitu untuk mengetahui keseragaman bobot untuk menjamin
dosis yang seragam dari setiap sediaan sehingga menghasilkan efek terapeutik yang
seragam pula. Uji keseragaman bobot dilakukan pada 6 sediaan ovula dengan cara
menimbangnya satu persatu. Setelah penimbangan ovula, kemudian dihitung rata-rata
bobot ovula. Pada evaluasi keseragaman bobot ini sediaan ovula dinyatakan bobotnya
seragam apabila tidak lebih dari 2 sediaan yang bobotnya menyimpang dari bobot
rata-rata >5% dan tidak ada satupun sediaan yang bobotnya menyimpang >10%.
Setelah dilakukan perhitungan didapatkan bobot rata-rata ovula sebesar 3,84 gram,
dan telah dihitung pula standar deviasinya. Berdasarkan perhitungan dinyatakan tidak
boleh ada sediaan yang bobotnya <3,65 dan tidak boleh ada satupun supositosia yang
bobotnya >4,03. Berdasarkan hasil evaluasi, sediaan ovula memiliki keseragaman
bobot yang memenuhi persyaratan yaitu memiliki rata-rata 3,84 gram yang memasuki
rentang 3,65-4,03 sehingga memenuhi persyaratan. Dan tidak ada ovula yang lebih
dari 2 sediaan yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata >5% dan tidak ada
satupun sediaan yang bobotnya menyimpang >10%.
Evaluasi yang terakhir yaitu uji kisaran dan waktu leleh, kisaran leleh merupakan
rentang suhu zat padat dari mulai meleleh sampai melelh sempurna. Sedangkan
waktu meleleh adalah waktu dari mulai zat padat meleleh sampai meleleh sempurna.
Sediaan yang baik yaitu memiliki suhu dan waktu leleh yang sempurna yaitu pada
suhu tubuh (±37oC) selama ≤15 menit. Untuk evaluasi ini, dilakukan dengan cara
memasukkan ovula pada cawan penguap yang diletakan diatas penangas, kemudian
waktu leleh dan suhu leleh ovula dihitung dari mulai melelh hinga meleleh sempurna.
Ovula yang dievaluasi sebanyak 3 buah ovula, dari 3 ovula yang dievaluasi ovula 1
dan 3 tidak memenuhi syarat dari segi uji kisaran suhu karena suhu >37 oC namun
pada ovula 2 memenuhi syarat. Namun, dilihat dari evaluasi waktu leleh 3 ovula
memenuhi persyaratan karena waktunya <15 menit. Uji ini menunjukan bahwa
sediaan ketika dimasukan kedalam tubuh melalui rektal menuju organ tertentu dapat
mulai melelh dan meleleh sempurna pada selama waktu tersebut.
Balsam, M S., E.Sagarin. (1974). Cosmetic Science and Technology Vol II.
NewYork; John Wiley dan Sons, Icn.
Coben, L. J., dan Lieberman, H. A., (1994), Supositoria, Teori dan Praktek Farmasi
Industri II diterjemahkan oleh Siti Suyatmi, Hal 1147-1194, Jakarta
:Universitas Indonesia Press.
Rowe, R.C. et Al. (2006). Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 5th Ed. London :
ThePharmaceutical Press.
Tim Redaksi ISO. (2017). ISO Indonesia Volume 51. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan
Tim Depkes RI, (1995), Farmakope Indonesia Edisi IV, Jakarta: Dirjen POM.