Anda di halaman 1dari 2

Aku Pulang… Kekasihku

Cerpen Karangan: Ramadhanti Anasti


Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Penyesalan
Lolos moderasi pada: 9 May 2019

Teriknya matahari siang tak menyurutkan niatku untuk bertemu dengannya, kekasihku. Dia telah
menunggu berjam jam lamanya di sebuah perempatan jalan kota itu. Kini barulah aku bisa
menghadap kepadanya.

“Sayang kau dari mana saja? Aku telah menunggu lama di sini,” sapanya sembari mendaratkan
kecupannya di keningku.
“Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini, untuk itu aku tak bisa berlama-lama di sini
dan aku harus kembali bekerja.”
“Mengapa kau menjadi begitu sibuk padahal kurasa kau sudah bisa bahagia dengan hidupmu kini,”
kekasihku berkata dengan air muka yang keruh.
“Sampai mulut-mulut jahannam itu berhenti menghinaku, aku tak akan pernah bahagia dan
dengan sukseslah aku bisa menyumpal mulut busuk mereka,” balasku geram.
“Kembalilah pada pekerjaanmu, bahagiakan dulu dirimu dan soal aku usahlah cemas kau
memikirkan, aku akan baik-bak saja,” kekasihku berlalu meninggalkanku dan beranjak pergi dari
perempatan jalan tersebut.

Kekasihku begitu murung tampaknya, air mukanya tak sejernih saat aku masih bisa betemunya
setiap hari, pandangannya nampak sayu dan langkahnya pun tergopoh sekali. Kurang senangkah
ia melihat perjuanganku yang sedemikian? kekasihku, kusuruh saja dia kembali ke kampung
karena jika di kota ini lebih lama lagi kehidupan kota terlalu asing masuk ke dalam hidupannya
dan makanannya pun masih belum terbiasa ada di lidahnya.

Hari ini kekasihku mungkin menginap untuk beberapa malam di rumah kerabatnya yang tak
begitu banyak di kota ini. Lusa dia akan kembali ke kampung, katanya. Untuk itu ia ingin bertemu
lagi denganku di perempatan jalan seperti hari itu sebelum ia menuju ke terminal.

“Sayang, aku akan kembali ke kampung, bisa atau tidaknya kau sempatkanlah untuk singgah dan
sekedar berkunjung ke makam ibumu, meski bukan untukku kau pulang aku akan tetap senang
karena kau masih ada niat untuk kembali pada desa kecil tempat kau dibesarkan dulu,” sambil
menyandang tas yang berisi baju dan kardus yang kuisikan oleh-oleh kekasihku berkata demikian.
“Setelah semua pekerjaanku di sini selesai aku pasti akan pulang untuk menyumpal mulut busuk
orang-orang di kampung itu,” ucapku sembari berdiri di depan kekasihku.
“Jika kau pulang nanti apakah niatmu hanya untuk melagak kepada orang-orang kampung itu dan
bukan untuk menemui aku dan ke makam ibumu?” kekasihku tampak heran dengan ucapanku
yang belum juga diahami maksudnya itu.
“Kau sudah pasti kucari, tenang sajalah aku tak akan lupa perihal itu dan di sini ibu selalu
kudoakan di sepertiga malamku hingga telah banyak infak yang aku namakan atas nama ibu,”
ucapku.
“Baik, jika itu keputusanmu aku akan tetap berdoa yang terbaik untukmu semoga Tuhan
melindungi dan mewujudkan semua cita-citamu, aku berangkat dulu ke kampung,” kekasihku
pergi menaiki bus yang akan membawanya pulang ke kampung.

Seperginya kekasihku kembali ke kampung aku tetap menjalani rutinitas kehidupanku yang sangat
padat, aku bekerja sebagai seorang capthen kitchen di sebuah restoran ternama di kota Padang.
Karenanya pekerjaanku yang berat untuk dilakukan seorang wanita kekasihku sering kali
menyuruhku untuk berhenti dan mencari pekerjaan lain. Namun aku selalu menghiraukan
suruhannya karena aku menganggap hanya inilah jalan untuk membawaku sukses nantinya dan
yang pasti untuk membahagiakan kekasihkku.

“Farah, selama bulan puasa dan lebaran banyak event serta orderan yang harus kita kerjakan.
Jadi, saya harap kamu dapat membuat acaranya sukses,” ucapan manager tempatku bekerja saat
aku disuruh datang ke ruangannya.
“Huhhh..jika masih banyak pekerjaan seperti ini artinya aku belum bisa pulang kampung tahun ini
untuk ziarah ke makam ibu dan menemui kekasihku,” keluhku dalam hati saat keluar dari ruangan
itu.

Tepat dua hari lagi sudah masuk Hari Raya Idul Fitri sedangan aku masih dalam hiruk pikuk
pekerjaanku di dapur. Jangankan pulang kampung, untuk pulang ke kost saja aku terkadang tidak
sempat, adapun aku bisa pulang itu hanya untuk mengganti baju dan membersihkan badanku.

Selesainya pekerjaanku aku menelepon kekasihku di waktu istirahat.


“Assalamuailaikum kekasihku, apa kabarmu di kampung? Apa kau baik-baik saja? Bagaimana
dengan makam ibuku, sudahkah kau bantu aku untuk membersihkannya? Aku merindukanmu,”
beberapa pertanyaan kulontarkan sebelum kekasihku menjawab salamku.
“Waalaikum salam sayang, di kampung aku baik-baik saja, makam ibumu setiap minggu selalu
kubersihkan dan aku tak pernah lupa, bagaimana dengan kabarmu? Apa pekerjaanmu telah
selesai dan tahun ini kau akan pulang menemui aku dan berziarah ke makam ibumu?” jelas saja
pertanyaan itu membuatku tercengang.
“Tidak, kekasihku aku tak bisa pulang tahun ini karena aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku di
sini tapi aku berjanji akan pulang ketika pekerjaanku telah selesai,” aku menjawab dengan nada
yang sedih.
“Tak sempatkah kau sehari saja untuk pulang ke kampung halamanmu, terlalu nyamankah kau
dengan kehidupan di kota itu, tidakkah kau rindu dengan sejuknya udara perbukitan belakang
rumah yang sangat kau sukai di waktu dulu?” kekasihku berbicara dengan nada yang tampak
begitu kecewa.
“Jelas saja aku rindu akan hal itu. Namun aku punya kewajiban di sini yang tak mungkin bisa aku
tinggalkan, lagi pula aku di sini masih menjadi anak buah orang dan suksesku masih jauh dan apa
kata orang-orang kampung jika nanti aku pulang dengan keadaan yang masih sama seperti yang
dulu, kau bersabarlah dulu ada saatnya kita akan berkumpul lagi seperti dulu,” itu ucapanku
sebelum aku menutup telepon dengan kekasihku.

Anda mungkin juga menyukai