Anda di halaman 1dari 107

EVALUASI PENYEBAB HILANG SIRKULASI PADA SUMUR F-1 DI

LAPANGAN F

TUGAS AKHIR

Oleh

FADLI KHAIRULLAH

PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN

FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

2017
EVALUATION OF LOSS CIRCULATION PROBLEM ON WELL F-1 AT

FIELD F

FINAL ASSIGNMENT

Submited By

FADLI KHAIRULLAH

PETROLEUM ENGINEERING DEPARTMENT

FACULTY OF EARTH TECHNOLOGY AND ENERGY

TRISAKTI UNIVERSITY

JAKARTA

2017
EVALUASI PENYEBAB HILANG SIRKULASI PADA SUMUR F-1 DI

LAPANGAN F

TUGAS AKHIR

Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Teknik Perminyakan Pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi

Universitas Trisakti

Oleh

FADLI KHAIRULLAH

071.12.072

PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN

FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

2017
EVALUATION OF LOSS CIRCULATION PROBLEM ON WELL F-1 AT

FIELD F

FINAL ASSIGNMENT

To Fulfill The Requirement To Achieve S-1 At Petroleum Engineering

Department Faculty Of Earth Technology And Energy

Trisakti University

Submitted By

FADLI KHAIRULLAH

071.12.072

PETROLEUM ENGINEERING DEPARTMENT

FACULTY OF EARTH TECHNOLOGY AND ENERGY

TRISAKTI UNIVERSITY

JAKARTA

2017
RINGKASAN

Dalam setiap operasi pemboran, sering dijumpai masalah-masalah yang dapat

mempengaruhi jalannya proses pemboran. Salah satunya adalah yang terjadi pada

operasi pemboran Sumur “F-1” ini yaitu hilangnya sirkulasi atau biasa dikenal

dengan istilah loss circulation. Permasalahan ini menyebabkan tidak diperolehnya

serbuk bor, pipa terjepit hingga terjadinya semburan liar. Oleh karena itu,

permasalahan ini harus ditangani dengan cepat dan tuntas. Masalah hilang lumpur ini

sering terjadi pada sumur-sumur di Lapangan “F”. Berdasarkan pengumpulan data

dan analisa yang dilakukan, faktor yang menyebabkan terjadinya hilang lumpur

adalah adanya formasi yang cenderung memiliki zona gua-gua (cavernous) dan zona

vugular (bergrowong) sehingga membentuk ruang pori yang cukup besar sebagai

tempat mengalirnya fluida pemboran.

Pada pemboran Sumur “F-1” di Lapangan “F” ini, terjadi hilangnya sirkulasi

pada lubang bor 17-1/2” dan 8-1/2”. Loss circulation yang terjadi pada sumur ini

dikategorikan sebagai partial loss. Loss ini terjadi pada Formasi Cisubuh dan Parigi.

Maka dengan demikian, loss circulation pada Sumur “F-1” ini harus ditanggulangi

untuk melanjutkan pemboran agar dapat mencapai target yang diinginkan tepat waktu

dan juga sebagai upaya yang perlu dilakukan untuk dapat melakukan proses

pemboran selanjutnya di Lapangan “F” ini. Untuk menganggulangi masalah hilang

lumpur pada sumur di lapangan ini, dilakukan penyumbatan dengan menggunakan

penyumbatan LCM (Lost Circulation Material) dan juga penyumbatan dengan

i
ii

cementing plug. Penanganan hilang sirkulasi yang dilakukan pada sumur ini secara

keseluruhan telah dilakukan dengan baik sehingga permasalahan tersebut dapat

ditanggulangi dan pemboran berhasil mencapai target.


ABSTRACT

In every drilling operation, we often faced with problems that can affect

the process of the drilling itself. One of those problems, called lost circulation,

happen to be occurring in Well “F-1”, which cause the cutting that cannot be

obtained, stuck pipe and even blow out. Therefore, this problem has to be handled

quickly and thoroughly. Lost circulation often occurs on most wells at Field “F”.

According to the results of collecting and analyzing data, factors that caused loss

circulation to happen are cave zone and vugular zone that makes the pores volume

become bigger than usual.

While doing the drilling process on Well “F-1” at Field “F”, lost

circulation happened in both 17-1/2” and 8-1/2” hole section. The lost circulation

that occurred in this well is categorized as partial loss. This kind of loss occurred

in both Cisubuh and Parigi Formation. Therefore, the lost circulation on Well “F-

1” needed to be handled so that the drilling process can be continued to reach the

planned targets in time as an effort for another drilling processes at Field “F”. The

controlling method used to handle this problem is called Lost Circulation Method

(LCM) and also plugging with cementing plug. The method that was used to

handle this lost circulation was declared successful that the planned targets can be

reached in time.

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

limpahan rahmat dan hidayah-Nya yang tiada batas yang telah memberikan

nikmat berupa pikiran, kesehatan lahiriah dan jasmaniah sehingga penulisan

makalah Tugas Akhir ini dapat diselesaikan. Selain itu, penulis juga ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua

penulis, Agussanto R.S dan Mei Liana serta saudari penulis Difya Shavira atas

segala doa, kasih sayang, nasihat, dukungan dan semangat yang diberikan kepada

penulis sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan. Adapun Tugas Akhir ini

berjudul “EVALUASI PENYEBAB HILANG SIRKULASI PADA SUMUR

F-1 LAPANGAN F dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Strata-1 pada Program Studi Teknik Perminyakan di Univeristas Trisakti.

Dalam kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih

sedalam-dalamnya kepada seluruh pihak yang telah membantu secara langsung

maupun tidak langsung dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini, antara lain :

1. Bapak Ir. Abdul Hamid, MT, selaku dosen pembimbing Tugas Akhir

yang telah membantu memberikan arahan delam penulisan Tugas Akhir

ini.

2. Bapak Dr. Ir. H. Afiat Anugrahadi, MS., selaku Dekan Fakultas

Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti.

3. Ibu Ir. Onnie Ridaliani Prapansya, MT., selaku koordinator Tugas

Akhir.

iv
v

4. Ibu Dra. Inawati Notowibowo selaku Penasihat Akademik penulis

selama menjadi mahasiswa di Universitas Trisakti.

5. Apriandi Rizkina, ST atas arahan dan saran mengenai Tugas Akhir

sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

6. Seluruh Dosen beserta staff Teknik Perminyakan Universitas

Trisakti, yang telah banyak membantu penulis selama menjadi

mahasiswa di Universitas Trisakti.

7. Bapak Eko Prasetyo selaku pembimbing Tugas Akhir di PHE ONWJ.

8. Teknik Perminyakan 2012 yang telah menjadi saudara dan teman belajar

selama masa perkuliahan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa banyak kekurangan dalam penulisan

Tugas Akhir ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

positif untuk penyempurnaan dan semoga penulisan Tugas Akhir ini dapat

bermanfaat bagi semua rekan-rekan mahasiswa Teknik Perminyakan.

Jakarta, Juli 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ................................................................................................... i

ABSTRACT .................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iv

DAFTAR ISI .................................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .............................................................................................x

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN UMUM LAPANGAN .................................................... 3

2.1 Letak Geografis Lapangan ............................................................... 3

2.2 Gambaran Umum Lapangan ............................................................ 4

2.3 Stratigrafi Lapangan ......................................................................... 4

BAB III TEORI LUMPUR PEMBORAN ..................................................... 8

3.1 Lumpur Pemboran ............................................................................ 8

3.2 Komponen Lumpur Pemboran ........................................................10

3.3 Sifat-Sifat Lumpur Pemboran ........................................................ 10

3.3.1 Densitas............................................................................... 11

3.3.2 Rheology dan Gel Strength ...................................................12

3.3.3 Filtration Loss ......................................................................15

3.3.4 Derajat Keasaman (pH) ........................................................16

3.3.5 CL Content ............................................................................17

vi
vii

DAFTAR ISI

(Lanjutan)

Halaman

3.3.6 Sand Content .......................................................................17

3.3.7 Solid Control .......................................................................17

3.4 Fungsi Lumpur Pemboran .............................................................. 18

3.5 Hidrolika Lumpur Pemboran ......................................................... 21

3.6 Hilang Lumpur................................................................................26

3.6.1 Klasifikasi Kehilangan Lumpur ............................................. 26

3.6.2 Metode Untuk Mendeteksi Kehilangan Lumpur................ 27

3.6.3 Faktor-Faktor Penyebab Kehilangan Lumpur .....................32

3.6.4 Mekanisme Kehilangan Lumpur .........................................40

3.6.5 Metode Pencegahan Kehilangan Lumpur ...........................41

BAB IV EVALUASI DAN PERHITUNGAN PENYEBAB LOSS ............ 47

4.1 Operasi Pemboran Sumur “F-1”...................................................... 47

4.2 Data Hilang Lumpur Pada Sumur “F-1” ........................................ 49

4.3 Perhitungan Faktor Mekanis Pemboran.......................................... 49

4.3.1 Perhitungan Tekanan Formasi .............................................50

4.3.2 Perhitungan Tekanan Hidrostatik Saat Hilang Sirkulasi ......50

4.3.3 Perhitungan Tekanan Rekah Formasi ..................................51

4.3.4 Perhitungan Aliran Pada Sumur F-1 ....................................52

4.3.5 Perhitungan ECD dan BHCP ...............................................55

4.3.6 Perhitungan Pressure Surge .................................................56


viii

DAFTAR ISI

(Lanjutan)

Halaman

4.4 Evaluasi Penanggulangan Loss Circulation ................................. 61

4.4.1 Evaluasi Penanggulangan Loss Circulation Sumur F-1 .......61

BAB V PEMBAHASAN ................................................................................ 63

BAB VI KESIMPULAN ................................................................................ 67

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 69

DAFTAR SIMBOL ........................................................................................ 71

LAMPIRAN A ................................................................................................ 73

LAMPIRAN B ............................................................................................... 77

LAMPIRAN C ............................................................................................... 81

LAMPIRAN D ............................................................................................... 87
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Lokasi Lapangan F ........................................................................... 3

2.2 Stratigrafi Lapangan Z ..................................................................... 7

3.1 Skema Sistem Sirkulasi Lumpur Pemboran ...................................... 9

3.2 Spinner Survey ................................................................................. 29

3.3 Formasi Yang Menyebabkan Hilang Lumpur ............................... 33

3.4 Kurva Leak Of Test ........................................................................ 38

3.5 Material Fibrous............................................................................... 43

3.6 Material Flakes................................................................................. 44

3.7 Material Granullar ........................................................................... 45

4.1 Grafik Kedalaman vs Pf,Ph,BHCP,PS,Pfrac.................................... 60

ix
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Data Hilang Lumour Pada Sumur “F-1” ............................................ 49

4.2 Perhitungan Tekanan Formasi............................................................ 50

4.3 Perhitungan Tekanan Hidrostatik Lumpur Saat Hilang Sirkulasi ...... 51

4.4 Perhitungan Tekanan Rekah Formasi ................................................ 52

4.5 Kecepatan Aliran dan Kecepatan Kritis Sumur “F-1”

Pada 935 ft MD ................................................................................... 53

4.6 Kecepatan Aliran dan Kecepatan Kritis Sumur “F-1”

Pada 1119 ft MD ................................................................................. 54

4.7 Kecepatan Aliran dan Kecepatan Kritis Sumur “F-1”

Pada 3338 ft MD ................................................................................. 55

4.8 Perhitungan ECD dan BHCP Sumur “F-1” ....................................... 56

4.9 Perhitungan Pressure Loss Pada Trayek 17-½” Sumur “F-1” ........... 57

4.10 Perhitungan Pressure Loss Pada 8-½” Sumur “F-1” ......................... 58

4.11 Perhitungan Pressure Surge ............................................................... 59

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

A Perhitungan Estimasi Tekanan Rekah Formasi

Berdasarkan Leak Of Test Pada Kedalaman 1114

ft TVD dan 3060 ft TVD .............................................................. 73

B Perhitungan Tekanan Hidrostatik (Ph) dan Tekanan

Formasi (Pf) Pada Setiap Zona Hilang Sirkulasi .......................... 77

C Perhitungan Equivalent Circulating Density (ECD)

dan Bottom Hole Circulating Pressure (BHCP) .......................... 81

D Perhitungan Pressure Surge .......................................................... 87

xi
BAB I

PENDAHULUAN

Kegiatan operasi pemboran merupakan kegiatan produksi sumur dalam

menambah laju produksi suatu lapangan minyak dan atau gas dengan tujuan

mencapai target produksi serta menambah keuntungan dari suatu perusahaan. Namun,

pada pengerjaan pemboran sering terjadi kendala-kendala yang akhirnya berdampak

pada kegiatan pemboran tersebut.

Salah satu masalah yang terjadi pada kegiatan pemboran ini adalah hilang

lumpur (loss circulation). Loss Circulation atau hilang sirkulasi adalah hilangnya

sebagian atau seluruh dari fluida pemboran ke dalam formasi sehingga sirkulasi fluida

pemboran tidak sempurna. Pada umumnya loss circulation terjadi karena tekanan

hidrostatik lumpur lebih besar dari tekanan formasi sehingga lumpur masuk kedalam

formasi. Selain itu, loss circulation dapat terjadi juga karena permeabilitas formasi

yang besar dimana ukuran pori formasi lebih besar dari ukuran partikel fluida

pemboran. Adapun penyebab lainnya seperti rekahan alami, gerowong-gerowong

(vuggy), bergoa (cavernous), dan kesalahan dalam kegiatan pemboran.

Permasalahan hilang sirkulasi yang terjadi pada Lapangan “F” ini pada

pemboran Sumur “F-1”, terdapat tiga kali hilang sirkulasi pada trayek 17-½” di

kedalaman 935 ft MD dan 1119 ft MD, pada trayek 8-½” di kedalaman 3338 ft MD

permasalahan ini terjadi ketika menembus Formasi Cisubuh pada trayek 17-½”

dengan lithologi claystone dan sandstone yang memiliki pori yang besar serta

1
2

berhubungan sehingga memungkinkan fluida pemboran masuk dan hilang ke

dalamnya. Pada trayek 8-½” saaat menembus Formasi Parigi dengan lithologi

claystone dan limestone yang memiliki zona bergoa (cavernous) atau gerowong-

gerowong (vugular). Penanggulangan yang dilakukan untuk mengatasi hilang

sirkulasi lumpur pada trayek 17-½” dengan memompakan 50 bbl dengan konsentrasi

40 ppb (20 ppb fibroseal, 20 ppb CaCO3) dan 3 x 30 bbl LCM dengan konsentrasi 60

ppb (40 ppb fibroseal, 20 ppb CaCO3) sedangkan pada trayek 8-½” penanggulangan

dilakukan dengan memompakan 50 bbl LCM dengan konsentrasi 40 ppb (20 ppb

CaCO3, 20 ppb fibroseal) dan 2 kali cement plug 50 bbl 15.5 ppg. Setelah dilakukan

penanggulangan tersebut hilang sirkulasi dapat diatasi.

Maksud dari Tugas Akhir ini adalah untuk mengevaluasi apa yang menjadi

penyebab dari loss circulation yang terjadi pada sumur di Lapangan “F” ini.

Pengevaluasian ini dilihat berdasarkan faktor mekanis dan alamiah. Untuk faktor

mekanis seperti tekanan hidrostatik, Equivalent Circulating Density (ECD), Bottom

Hole Circulating Pressure (BHCP), dan pressure surge yang terjadi saat hilang

sirkulasi. Sedangkan faktor alamiahnya seperti lithologi dari formasinya. Serta

pengevaluasian penanggulangan agar pemboran selanjutnya dapat lebih efisien.


BAB II

TINJAUAN LAPANGAN

2.1 Letak Geografis Lapangan

Lapangan “F” adalah salah satu lapangan penghasil hidrokarbon minyak dan

gas, wilayah produksi dari Offshore North West Java dibagi menjadi 2 bagian yaitu

West Area dan East Area. Wilayah kerja berada di lepas pantai barat Laut Jawa.

Wilayah produksi minyak dan gas Lapangan “F” terletak dibagian West Area,

berjarak 70 km sebelah timur laut dari Jakarta di Laut Jawa. Dibawah ini peta

Lapangan “F”:

Gambar 2.1

Lokasi Lapangan “F”9

9
Angka menunjukkan nomor urut daftar pustaka

3
4

2.2. Gambaran Umum Lapangan

Lapangan ini memiliki 6 platform, 5 platform yang masih beroperasi adalah

A, B, C, D, dan E sedangkan platform F sudah tidak digunakan. Lapangan “F”

memiliki 55 sumur, 15 sumur explorasi dan 40 sumur development. Sumur pertama

Lapangan “F” ditemukan pada April 1972 kemudian mulai dikembangkan sejak

tahun 1974, dengan target potensi hidrokarbon pada Formasi Parigi dan target kedua

pada Formasi Cibulakan Atas. Produksi tertinggi yang dihasilkan dari Lapangan “F”

pada tahun 1976 dengan produksi minyak 19.714 bopd dan produksi gas sebesar 25.6

mmscfd.

2.3 Stratigrafi Lapangan

Stratigrafi merupakan salah satu cabang dari ilmu geologi, yang berasal dari

bahasa Latin, Strata (perlapisan, hamparan) dan Grafia (memerikan,

menggambarkan). Jadi pengertian stratigrafi yaitu suatu ilmu yang mempelajari

tentang lapisan-lapisan batuan serta hubungan lapisan batuan itu dengan lapisan

batuan yang lainnya yang bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan tentang sejarah

bumi.

1. Batuan Dasar (Basement)

Batuan dasar yang terdapat pada wilayah kerja PHE – ONWJ merupakan

batuan beku andesitic dan basaltic yang diperkirakan terendapkan dari periode

Eocene hingga Pre-Tertiary.


5

2. Formasi Jatibarang / Banuwati

Merupakan batuan yang diendapkan pada fasa Syn Rift, dan diperkirakan

terendapkan dari periode Eocene Akhir hingga Oligocene Awal. Formasi ini

didominasi oleh lacustrine dan terrestrial, fanglomerate, konglomerat, batu

pasir, dan shale.

3. Formasi Talang Akar

Formasi Talang Akar terendapkan pada fasa Syn Rift. Pada formasi ini

umumnya terdapat batuan shale dengan diselingi beberapa batuan lainnya seperti

batu pasir, siltstone, batubara, dan juga sedikit sisipan limestone. Formasi Talang

Akar dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu Lower Talang Akar (terendapkan pada

periode Oligosen awal) didominasi oleh batuan dengan lingkungan pengendapan

yang berasal dari sungai (fluvial) dan danau (lacustrine), dan Upper Talang Akar

(terendapkan pada periode awal Oligosen hingga awal Miocene) didominasi oleh

marine shale dengan sisipan limestone.

4. Formasi Baturaja

Formasi Baturaja terendapkan pada fasa Post Rift atau pada awal periode

transgressive (awal miocene). Formasi ini secara keseluruhan terdiri dari

limestone yang terendapkan pada lingkungan pengendapan marine.


6

5. Formasi Main – Massive

Formasi Main-Massive terendapkan berada selaras diatas formasi Baturaja,

dengan lingkungan pengendapan yang berasal dari shallow marine pada periode

sagging (pertengahan Miocene). Formasi ini terdiri dari batu pasir yang

mengandung glauconitic dengan perselingan claystone serta sisipan limestone.

Batu pasir pada formasi Main – Massive mempunyai penyebaran yang sangat

luas dan merupakan reservoir yang penting serta merupakan reservoir utama

pada Lapangan “F”.

6. Formasi PreParigi – Parigi

Formasi PreParigi – Parigi terendapkan pada lingkungan pengendapan

berupa shallow marine pada periode akhir miocene. Batuan limestone yang

terdapat pada formasi ini merupakan reservoir gas utama pada lapangan F.

7. Formasi

Formasi ini diperkirakan terendapkan pada periode Pliocene hingga

Pleistocene, dan juga merupakan bagian terakhir pada aktivitas tektonik yang

terjadi pada Northwest Java Basin. Formasi ini terdiri dari batu lempung yang

terendapkan dalam lingkungan pengendapan shallow marine sampai lagoon.

Pada beberapa wilayah terdapat sisipan batu pasir yang mengandung gas yang

keberadaannya diketahui dari uji seismiki Cisubuh.


7

Untuk lebih jelasnya, berikut merupakan gambar formasi yang ada di

Lapangan “F”:

Gambar 2.2

Stratigrafi Lapangan “F”9


BAB III

TEORI LUMPUR PEMBORAN

Pemboran adalah suatu kegiatan penting yang harus dilakukan dalam

industri perminyakan, untuk mendapatkan hidrokarbon dibawah permukaan.

Pemboran adalah suatu kegiatan membuat lubang dari permukaan menuju target

(reservoir) yang telah ditentukan. Kesuksesan operasi pemboran menentukan

kelanjutan industri minyak dan gas bumi. Banyak Hal-hal yang dapat

mempengaruhi gagalnya suatu pemboran.

Salah satu permasalahan dalam oprasi pemboran adalah masalah

kehilangan lumpur (mud loss) atau dapat kita kenal juga dengan kehilangan

sirkulasi (loss circulation), yang dapat mengakibatkan membengkaknya biaya

oprasi ataupun tidak adanya serbuk bor yang terangkat ke permukaan yang dapat

mengakibatkan terjepitnya rangkaian pipa bor.

3.1 Lumpur Pemboran

Pada mulanya yang digunakan sebagai media sirkulasi dalam sistem

operasi pemboran adalah air. Tetapi dengan semakin berkembangnya teknologi

pemboran, sifat-sifat fisik air tidak memadai lagi untuk digunakan. Maka dari itu,

digunakan lumpur pemboran dan untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur tersebut

ditambahkan zat-zat kimia.

Lumpur pemboran dapat didefinisikan sebagai fluida pemboran yang

merupakan suatu campuran cairan dari beberapa komponen yang dapat terdiri

dari: air (tawar atau asin), minyak, tanah liat (clay), bahan-bahan kimia, gas,

8
9

udara, busa maupun detergent. Di lapangan, fluida dikenal sebagai "lumpur"

(mud). Lumpur pemboran merupakan faktor yang penting serta sangat

menentukan dalam mendukung kesuksesan suatu operasi pemboran. Kecepatan

pemboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pemboran sangat tergantung pada

kinerja lumpur pemboran. Berikut merupakan gambar skema dari sistem sirkulasi

lumpur pada saat proses pemboran dari awal dipompakan hingga kembali lagi ke

mud pit :

Gambar 3.1

Skema Sistem Sirkulasi Lumpur Pemboran11


10

3.2 Komponen Lumpur Pemboran

Secara umum, lumpur pemboran dapat dipandang memiliki empat

komponen atau fasa, yaitu :

a. Fasa cair (air atau minyak): 75% lumpur pemboran menggunakan air. Istilah

oil-base digunakan apabila minyaknya lebih dari 95%.

b. Reactive solids, yaitu padatan yang bereaksi dengan air membentuk koloid

(clay), dalam hal ini clay dan air tawar seperti bentonite menghisap air dan

membentuk lumpur.

c. Inert solids, (zat padat yang tidak bereaksi): ini dapat berupa barite (BaSO4)

yang digunakan untuk menaikkan densitas lumpur. Selain itu, juga berasal

dari formasi-formasi yang dibor dan terbawa lumpur, seperti chert, pasir atau

clay-clay non swelling, sehingga akan menyebabkan abrasi atau kerusakan

pompa.

d. Fasa kimia: merupakan bagian dari sistem yang digunakan untuk mengontrol

sifat-sifat lumpur, misalnya dalam disperson (menyebarkan partikel-partikel

clay) atau flocculation (pengumpulan partikel-partikel clay). Efeknya

terutama tertuju pada pengkoloidan clay yang bersangkutan. Zat-zat kimia

yang mendispersi (menrunkan viskositas) misalnya: Quebracho, phospate dan

sodium tannate. Sedangkan zat-zat kimia untuk menaikkan viskositas,

misalnya: CMC, starch dan beberapa senyawa polimer.


11

3.3 Sifat-Sifat Lumpur Pemboran

Dalam suatu operasi pemboran semua fungsi lumpur pemboran haruslah

berada dalam kondisi yang baik sehingga operasi pemboran dapat berjalan dengan

lancar. Hal ini dapat dicapai apabila sifat lumpur selalu diamati dan dijaga secara

kontinyu dalam setiap tahap operasi pemboran. Selain itu pengukuran dan

pengamatan sifat-sifat kimia juga harus dilakukan dengan seksama. Hal ini

dimaksudkan untuk menjaga kestabilan sifat-sifat lumpur pemboran.

Pada sifat-sifat lumpur pemboran ada tujuh macam sifat yang sangat

berpengaruh dalam permasalahan kehilangan lumpur diantaranya adalah:

3.3.1 Densitas

Densitas atau berat jenis didefinisikan sebagai berat persatuan volume dari

padatan atau cairan, biasanya dinyatakan dalam ppg (pound per gallon). Berat

jenis lumpur harus dikontrol agar dapat memberikan tekanan hidrostatik yang

cukup untuk menahan tekanan formasi apabila tekanan hidrostatik terlalu kecil

dapat mengakibatkan masuknya cairan formasi kedalam lubang bor dan terjadinya

kick dan blow out, tetapi jika tekanan tersebut terlalu besar dan melebihi gradient

rekah formasi maka akan menyebabkan formasi pecah dan lumpur hilang ke

formasi. Oleh karena itu, berat jenis lumpur pemboran perlu direncanakan sebaik-

baiknya dan disesuaikan dengan keadaan tekanan formasi.

Di dalam teknik pemboran pada umumnya berat jenis lumpur dinyatakan

juga dalam bentuk specific gravity (SG) yaitu perbandingan antara berat relatif
12

suatu zat terhadap berat air pada volume zat itu. Persamaan dari specific gravity

dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :


𝜌
𝑆𝐺 = ............................................................................................ (3.1)
𝜌𝑊

Keterangan :

SG = specific grafity

 = Densitas Cairan, berat per volume

w = Densitas Air, berat per volume

Pengukuran berat jenis yang paling sederhana adalah menggunakan alat

“Mud Balance” yaitu semacam alat penimbang yang satu batang ujungnya

berskala dan ujung lainnya terdapat mangkuk tempat lumpur yang akan

ditentukan densitasnya. Persamaan yang digunakan untuk menghitung densitas

lumpur adalah:

𝑃ℎ
𝜌 = 0,052 𝑥 𝐷 .................................................................................................. (3.2)

Keterangan :

ρ = Massa jenis lumpur, ppg.

Ph = Tekanan hidrostatik, psi.

0,052 = konstanta

D = kedalaman tegak, ft.

3.3.2 Rheology dan Gel Strength

Sifat-sifat fisik pemboran harus diatur sedemikian rupa agar tidak

menimbulkan permasalahan pada saat proses pemboran berlangsung. Rheology


13

dan gel strength memiliki peranan penting pada lumpur pemboran sehingga harus

dijaga agar tidak terjadi perubahan-perubahan pada saat proses pemboran.

a. Viskositas

Viskositas suatu cairan adalah daya lawan terhadap gaya geseran yang

bekerja pada suatu benda cair dimana benda cair tersebut dalam keadaan bergerak,

dengan kata lain adalah suatu tahanan fluida terhadap suatu aliran. Dalam

penggunaan lumpur pemboran viskositas harus diatur secara tepat, karena jika

tidak diatur dapat menimbulkan masalah dalam proses pemboran. Viskositas yang

terlalu tinggi akan menyebabkan :

- Penetration rate turun

- Pressure loss tinggi terlalu banyak gesekan.

- Pressure surges yang berhubungan dengan Lost circulation dan swabbing yang

berhubungan dengan blow out.

- Sukar melepaskan gas dan cutting dari lumpur di permukaan Sedangkan

viskositas yang terlalu rendah menyebabkan :

- Pengangkatan cutting tidak baik

- Material-material pemberat lumpur diendapkan

b. Plastic Viscosity (PV)

Plastic viscosity merupakan tahanan terhadap aliran yang disebabkan oleh

gesekan antara sesama benda padat di dalam lubang bor dan merupakan salah satu

parameter kenaikan solid yang ada dalam lumpur.


14

c. Yield Point (YP)

Yield point merupakan tahanan terhadap aliran yang disebabkan oleh gaya

elektrokimia antara padatan-padatan, cairan-cairan dan padatan-cairan.

d. Gel Strength

Di waktu lumpur bersirkulasi yang berperan adalah viskositas. Sedangkan

diwaktu sirkulasi berhenti yang memegang peranan adalah gel strength. Lumpur

akan menjadi agar atau menjadi gel apabila tidak terjadi sirkulasi, hal ini

disebabkan oleh gaya tarik-menarik antara partikel-partikel padatan lumpur. Gaya

menjadi agar inilah yang disebut gel strength.

Di waktu lumpur berhenti melakukan sirkulasi, lumpur harus mempunyai

gel strength yang dapat menahan cutting dan material pemberat lumpur agar

jangan turun. Akan tetapi kalau gel strength terlalu tinggi akan menyebabkan

terlalu berat kerja pompa lumpur pemboran untuk memulai sirkulasi kembali.

Walaupun pompa mempunyai daya yang kuat, pompa tidak boleh

memompakan lumpur dengan daya yang besar, karena formasi bisa pecah.

Misalnya sirkulasi berhenti untuk penggantian bit. Agar formasi tidak pecah di

dasar lubang bor, maka sirkulasi dilakukan dengan secara bertahap, dan sebelum

melakukan sirkulasi, rotary table diputar terlebih dahulu untuk memecah gel.

Gel strength yang terlampau kecil akan menyebabkan terendapnya

cutting/pasir pada saat sirkulasi lumpur berhenti, sedangkan gel strength yang

terlampau tinggi mempersulit usaha pompa untuk memulai sirkulasi lagi.

Sifat yield point adalah sifat dinamis (ada aliran, gerak) sedangkan sifat

gel strength adalah sifat statis (tidak ada gerakan).


15

Seperti apa yang telah dapat diduga sebelumnya, viskositas yang tinggi

berhubungan dengan gel strength yang tinggi pula (pada umumnya), hal ini

dikarenakan baik sifat viskositas maupun gel strength dengan sifat tarik menarik

plate-plate pada clay.

3.3.3 Filtration Loss

Lumpur pemboran itu terdiri dari komponen padat dan komponen cair.

Karena pada umumnya dinding lubang sumur mempunyai pori-pori, komponen

cair dari lumpur akan masuk kedalam dinding lubang bor. Zat cair yang masuk ini

disebut filtrate. Padatan dari lumpur akan menempel pada permukaan dinding

lubang. Bila padatan dari lumpur yang menempel ini sudah cukup menutupi pori-

pori dinding lubang, maka cairan yang masuk ke dalam formasi juga berhenti.

Cairan yang masuk ke formasi pada dinding lubang bor akan

menyebabkan akibat negatif, antara lain :

a. Dinding lubang akan lepas atau runtuh.

Bila formasi yang dimasuki oleh zat yang masuk tersebut adalah air, maka

ikatan antara partikel formasi akan melemah, sehingga dinding lubang cenderung

untuk runtuh.

b. Interpretasi dari logging tidak akurat

Electric logging atau resistivity log mengukur resistivitas dari formasi

cairan atau fluida yang dikandung oleh formasi tersebut. Kalau filtration loss

banyak, maka yang diukur alat logging adalah resistivitas dari filtrate.
16

c. Water blocking

Filtrate yang berupa air akan menghambat aliran minyak dari formasi

kedalam lubang sumur jika filtrate dari lumpur banyak.

d. Differential sticking

Seiring dengan banyaknya filtration loss maka mud cake dari lumpur akan

tebal. Diwaktu sirkulasi berhenti ditambah lagi dengan berat jenis lumpur yang

besar, maka drill collar yang terbenam didalam mud cake serta lumpur akan

menekan dengan tekanan hidrostatik yang besar ke dinding lubang.

e. Channeling pada semen.

Di waktu penyemenan, mud cake yang tebal kalau tidak dibersihkan akan

menyebabkan ikatan antara semen dengan dinding lubang tidak baik.

3.3.4 Derajat Keasaman (pH)

pH lumpur pemboran dipakai untuk menentukan tingkat kebasaan dan

keasaman dari lumpur bor. pH dari lumpur yang dipakai berkisar antara 8,5

sampai 12, jadi lumpur pemboran yang digunakan adalah dalam suasana basa.

Kalau lumpur bor dalam suasana asam maka cutting yang keluar dari lubang bor

akan halus atau hancur, sehingga tidak dapat ditentukan batuan apakah yang

ditembus oleh mata bor. Dengan kata lain sulit untuk mendapatkan informasi dari

cutting. Selain dari pada itu peralatan-peralatan yang dilalui oleh lumpur saat

sedang sirkulasi atau tidak mudah berkarat.

Alat yang digunakan untuk mengukur pH lumpur adalah sebagai berikut :

a. pH indikator : Sering juga dikatakan kertas lakmus atau pH paper.


17

b. pH meter : Dengan mencelupkan alat pH meter maka akan diketahui berapa pH

dari lumpur tersebut.

3.3.5 Cl Content

Kandungan Cl ditentukan untuk mengetahui kadar garam dari lumpur.

Kadar garam dari lumpur akan mempengaruhi interpretasi logging listrik. Kadar

garam yang besar akan menyebabkan daya hantarnya besar pula. Pembacaan

resistivity dari cairan formasi akan terpengaruh. Naiknya kadar garam dari lumpur

disebabkan cutting garam yang masuk kedalam lumpur disaat menembus formasi

yang mengandung garam. Dengan kata lain lumpur terkontaminasi oleh garam.

3.3.6 Sand content

Yang dimaksud dengan sand content adalah kadar pasir di dalam lumpur.

Pasir tidak boleh terlalu banyak didalam lumpur bor, karena dapat merusak

peralatan yang dilaluinya pada saat sirkulasi, dan akan menaikkan berat jenis dari

lumpur bor itu sendiri. Maksimal kandungan pasir yang diperbolehkan adalah 2%

dari volume lumpur.

3.3.7 Solid Control

Kandungan solid di dalam lumpur bila tidak dikontrol dengan baik akan

mempunyai akibat-akibat yang buruk antara lain :

- Memperlambat penetration rate

- Susah mengatur sifat-sifat rheology

- Bit dan peralatan lain cepat aus


18

- Treatment menjadi lebih mahal

Solid dapat berasal dari penambahan weighting agent dan dapat pula

berasal dari serpihan pemboran.

3.4 Fungsi Lumpur Pemboran

Seperti yang kita ketahui lumpur pemboran adalah salah satu faktor yang

mempengaruhi dari keberhasilan pemboran, berikut adalah fungsi dari lumpur

pemboran:

1. Mengangkat cutting ke permukaan

Serbuk bor yang dihasilkan dari pengikisan formasi oleh pahat bor akan

mengisi pada lubang annulus, jika tidak dibersihkan maka akan terjadi

penyumbatan oleh cutting, sehingga cutting yang terbentuk perlu diangkat ke

permukaan. Proses tersebut dilakukan secara langsung apabila dilakukan sirkulasi

lumpur. Keefektifan dari pengangkatan cutting ini tergantung dari faktor-faktor,

antara lain: Kecepatan fluida, densitas, dan viskositas.

2. Mengontrol tekanan formasi

Tekanan fluida formasi umumnya adalah sekitar 0.433-0.465 psi/ft. Pada

tekanan yang normal, air dan padatan lumpur pemboran telah cukup untuk

menahan tekanan formasi ini. Untuk tekanan lebih kecil dari normal (subnormal),

densitas lumpur harus diperkecil agar tidak terjadi loss circulation ke formasi.

Sebaliknya untuk tekanan yang lebih besar dari normal, maka densitas lumpur

harus diperbesar agar tekanan lumpur dapat mengimbangi tekanan formasi,

sehingga kick atau blow out dapat dihindari.

3. Membersihkan Dasar Lubang (Bottom Hole Cleaning)


19

Ini merupakan fungsi yang sangat penting dari lumpur bor, lumpur

mengalir melalui corot pahat (bit noles) menimbulkan daya sembur yang kuat

sehingga dasar lubang dan ujung-ujung pahat menjadi bersih dari serpih atau

serbuk bor. Ini akan memperpanjang umur pahat dan akan mempercepat laju

pemboran. Laju sembur (jet velocity) minimum 250 fps untuk tetap menjaga daya

sembur yang kuat kedasar lubang. Laju sembur yang optimal sebaiknya harus

memperhitungkan tekanan formasi atau daya kemudahan formasi untuk di bor

(formation durability). Kalau laju sembur terlalu besar pada formasi yang lunak,

dan akan mengakibatkan pembesaran lubang (hole enlargement) karena kikisan

semburan. Sedangkan pada formasi keras akan terjadi pengikisan pahat dan

menyia-nyiakan horse power.

4. Membentuk mud cake

Lumpur yang baik adalah lumpur yang mampu menghasilkan mud cake

sehingga dapat mencegah aliran masuk kedalam formasi dan mengurangi invasi

lumpur ke dalam formasi. Cairan yang masuk kedalam formasi disebut filtrate.

Mud cake juga berperan dalam menjaga dinding lubang bor runtuh pada open

hole. Mud cake diharuskan tipis dikarenakan agar tidak mempersempit lubang

bor. Pembentukan mud cake ini dapat dilakukan dengan mengatur viskositas

lumpur.

5. Mendinginkan dan melumasi pahat dan rangkaian pipa

Dalam proses pemboran, panas yang timbul diakibatkan adanya gesekan

antara pahat dan rangkaian pipa yang kontak langsung dengan formasi. Konduksi

formasi umumnya kecil, sehingga sukar untuk menghilangkan panas yang timbul.
20

Dengan adanya sirkulasi lumpur ini, cukup untuk mendinginkan dan melumasi

rangkaian pipa bor. Sifat pelumas dan pendingin pada lumpur ini akan

mengurangi torsi pada pahat, meningkatkan umur pahat dan mengurangi tekanan

pompa.

6. Media logging dan evaluasi formasi

Pelaksanaan logging selalu menggunakan lumpur sebagai media

penghantar arus listrik dilubang bor. Pembacaan resistivitas yang berbeda antara

lumpur dengan fluida formasi dapat memudahkan dalam mengetahui posisi

hidrokarbon juga sejauh mana invasi terhadap formasi. Selain itu lumpur dapat

membawa informasi mengenai jenis formasi yang telah ditembus oleh pahat, yaitu

dengan cara membawa cutting ke permukaan. Cutting yang sudah dipermukaan

lalu dianalisa oleh geologist, sehingga dapat diketahui jenis formasinya.

7. Meneruskan hidrolika ke pahat

Lumpur pemboran merupakan media untuk mengantarkan daya hidrolika

lumpur dari permukaan ke pahat, hidrolika harus dipertimbangkan ketika

merencanakan program lumpur. Secara umum laju sirkulasi harus sedemikian

rupa sehingga mampu untuk membersihkan dasar lubang dan membantu memutar

pahat. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah berat jenis lumpur,

kekentalan, ukuran nozzle, kecepatan aliran lumpur dan sifat rheology lumpur.

8. Membantu menahan rangkaian pipa bor

Pada saat memasukan atau mencabut rangkaian pipa bor, sebagian berat

rangkaian pipa bor akan ditahan oleh gaya keatas (bouyancy factor) dari lumpur

yang sebanding dengan lumpur yang dipindahkan. Bertambah dalamnya formasi,


21

maka rangkaian pipa bor yang diperlukan juga bertambah banyak sehingga beban

rangkaian akan semakin berat.

9. Cutting Suspension

Suspensi serbuk bor merupakan kemampuan lumpur untuk menahan

cutting selama sirkulasi lumpur dihentikan, terutama dari gel strength. Cutting

perlu ditahan agar tidak turun ke bawah, karena jika mengendap ke bawah akan

mengakibatkan akumulasi cutting dan pipa akan terjepit selain juga akan

memperberat rotasi permulaan dan kerja pompa untuk memulai sirkulasi kembali.

Gel yang terlalu besar dapat memperburuk kondisi lumpur bor yaitu tertahannya

pembuangan cutting ke permukaan (selain pasir). Penggunaan alat-alat seperti

desander atau shale dapat membantu pengambilan cutting/pasir dari lumpur di

permukaan. Pasir harus dibuang dari aliran lumpur, karena sifatnya yang sangat

abrasive (mengikis) pipa pompa, fitting dan bit. Untuk ini biasanya kadar pasir

maksimal yang diperbolehkan adalah 2 %.

10. Mencegah dan menghambat laju korosi

Korosi adalah proses elektrokimia, karena itu semakin banyak jumlah ion

elektrolit di dalam lumpur atau semakin tinggi konduktivitas CO2 dan H2S akan

besar sekali menaikkan laju korosi, untuk mengurangi terlarutnya gas-gas tersebut

pH dari lumpur dijaga antara 9,5 – 11. Banyak jenis additive yang ditambahkan ke

dalam lumpur untuk menghambat laju korosi, misalnya zat pengikat oksigen

(oxygen scavenger) atau zat penghambat kerak (scale inhibitor), pembentuk

lapisan tipis (film forming agents).


22

3.5 Hidrolika Lumpur Pemboran

Hidrolika lumpur pemboran yang dibahas dalam penulisan ini adalah

sirkulasi lumpur pemboran. Pada saat lumpur disirkulasikan didalam annulus

akan mengakibatkan penambahan tekanan hidrostatik lumpur (disebut sebagai

Bottom Hole Circulation Pressure/BHCP). Faktor hidrolika ini meliputi hal hal

sebagai berikut : kecepatan aliran lumpur pemboran di annulus, kehilangan

tekanan dan Equivalent Circulation Density(ECD).

1. Kecepatan Aliran

Kecepatan aliran adalah debit pompa dibagi dengan luas penampang

aliran, sehingga didapatkan :

𝑄
𝑉 = 𝐴 ............................................................................................................... (3.3)

Keterangan :

V = Kecepatan aliran fluida, m/dt

Q = Debit pompa, m3/dt

A = Luas penampang aliran, m2

2. Kecepatan aliran lumpur pemboran di annulus

Kecepatan aliran rata-rata dari fluida di annulus, kecepatan aliran kritis,

dan kehilangan tekanan serta ECD (Equivalent Circulation Density), dapat

ditentukan menggunakan persamaan dari yield point (YP) dan plastic viscosity

(PV). Persamaannya sebagai berikut:

PV = 𝜃 600 − 𝜃 300 .................................................................................................... (3.4)


23

YP = 𝜃 300 − PV ................................................................................................ (3.5)

𝜃 600 = PV + 𝜃 300 .......................................................................................... (3.6)

𝜃 300 = YP + PV ................................................................................................ (3.7)

𝜃600
𝑛 = 3,32 𝑙𝑜𝑔 𝜃300.............................................................................................. (3.8)

𝜃600
k= [511𝑛] .............................................................................................................. (3.9)

Keterangan :

𝜃 300 = Dial reading pada 300, RPM

𝜃 600 = Dial reading pada 600, RPM

n = Indeks aliran, dimentionless

K = Indeks konsistensi, dimentionless

Kecepatan rata – rata ditentukan dengan persamaan berikut :

𝟐𝟒.𝟓 𝒙 𝑸
Va = (𝑫𝒊𝟐 − 𝑫𝒐𝟐 ) ................................................................................................... (3.10)

Keterangan :

Va = Kecepatan rata – rata diannulus, ft/min

Q = Debit pompa, gpm

Di = Diameter lubang bor/dalam casing, in

Do = Diameter luar drill string, in


24

24,5 = Faktor konversi

Sedangkan kecepatan kritisnya dapat di tentukan sebagai berikut:

1 𝑛
( ) ( )
3.878 𝑥 104 𝑥 𝐾 2−𝑛 2.4𝑥 (2𝑛+1) 2−𝑛
Vc = ( ) 𝑥 ((𝐷𝑖−𝐷𝑜) 𝑥 3𝑛) .............................................. (3.11)
𝑀𝑊

Keterangan :

Vc = Kecepatan aliran kritis, ft/min

MW = Densitas lumpur, ppg

Di = Diameter lubang bor/dalam casing, in

Do = Diameter luar pipa, in

K = Indeks konsistensi, dimentionless

n = Indeks aliran, dimentionless

Bila alirannya laminar (V<Vc), besarnya kehilangan dapat dicari dengan

persamaan :

2.4 𝑥 𝑉𝑎 2𝑛+1 𝑛 𝐾𝑥𝐿


∆𝑃 = [(𝐷𝑖−𝐷𝑜) 𝑥 ( )] 𝑥 ..................................................... (3.12)
3𝑛 300 𝑥 ( 𝐷𝑖−𝐷𝑜)

Dan bila alirannya turbulent (V>Vc), besarnya kehilangan tekanan dapat

dicari dengan persamaan :

8.91 𝑥 10−5 𝑥 𝑀𝑊 0.8 𝑥 𝑄 1.8 𝑥 (𝑃𝑉)0.2 𝑥 𝐿


∆𝑃 = ............................................................... (3.13)
(𝐷𝑖−𝐷𝑜)3 −(𝐷𝑖−𝐷𝑜)1.8

Keterangan :
PV = Plastic viscosity, cp

K = Indeks konsistensi, dimentionless

Va = Kecepatan rata – rata diannulus, ft/min

∆𝑃 = Kehilangan tekanan, psi

L = Panjang drill string, ft

MW = Densitas lumpur, ppg

n = Indeks aliran, dimentionless

Di = Diameter lubang bor/dalam casing, in

Do = Diameter luar drill string, in

Equivalent Circulating Density (ECD) adalah densitas lumpur pada saat

sirkulasi sedangkan Bottom Hole Circulating Pressure (BHCP) adalah tekanan

lubang bor pada saat sirkulasi lumpur yang besarnya sama dengan tekanan

hidrostatik lumpur ditambah dengan kehilangan tekanan annulus.

Equivalent Circulating Density (ECD) dapat dihitung dengan persamaan:

𝑃 ℎ𝑖𝑑𝑟𝑜𝑠𝑡𝑎𝑡𝑖𝑘 + ∆ 𝑃
𝐸𝐶𝐷 = ................................................................................... (3.14)
0.052 𝑥 𝑇𝑉𝐷

Sedangkan besarnya tekanan sirkulasi didasar lubang bor (BHCP) adalah:

𝐵𝐻𝐶𝑃 = (0.052 𝑥 𝐸𝐶𝐷 𝑥 𝑇𝑉𝐷) ...................................................................... (3.15)

Keterangan :

ECD = Equivalent circulating density, ppg

25
26

∆𝑃 = Kehilangan tekanan, psi

MW = Densitas lumpur, ppg

BHCP = Bottom hole circulating pressure, psi.

TVD = Kedalaman tegak, ft

3.6 Hilang Lumpur

Lost circlation didefinisikan sebagai hilangnya fluida pemboran sebagian

atau seluruhnya yang masuk kedalam formasi selama pemboran berlangsung.

Masuknya lumpur pemboran kedalam formasi bisa diakibatkan secara alamiah

dan secara mekanis yang disebabkan kesalahan dalam operasi pemboran.

Lost circulation pada umumnya terjadi karena tekanan hidrostatk lumpur

lebih besar dari tekanan rekah formasi sehingga akan mengakibatkan adanya

fract (rekahan) yang memungkinkan lumpur masuk ke dalamnya. Hilang

sirkulasi ini terjadi jika besarnya lubang pori lebih besar dari pada ukuran

partikel lumpur pemboran. Kerugian akibat terjadinya problem hilang lumpur ini

adalah penurunan permukaan lumpur di dalam lubang bor yang dapat

menyebabkan terjadinya semburan liar pada formasi lain yang bertekanan tinggi,

tidak diperoleh serbuk bor untuk sample log, bahaya terjepitnya pipa bor,

kehilangan waktu dan biaya serta menimbulkan kerusakan pada formasi.

3.6.1 Klasifikasi Kehilangan Lumpur

Tanda-tanda atau gejala terjadinya lost circulation akan berpengaruh

langsung terhadap fluida pemboran. Dalam hal ini akan terjadi selisih antara
27

jumlah lumpur yang masuk kedalam formasi dengan keluar ke pit. Jika lost

circulation besar maka bisa diindikasikan dengan tidak adanya lumpur yang

kembali dalam pit. Lost circulaton dapat diklasifikasikan menjadi seepage loss,

partial loss, dan total loss.

1. Seepage Loss

Seepage loss adalah hilang lumpur dalam jumlah yang relatif kecil,

kurang dari 10 bbl/jam pada saat sirkulasi lumpur. Biasanya terjadi pada formasi

yang terdiri dari pasir, porous dan gravel, rekah alami (natural fracture) dan

pada formasi yang terdapat rekahan (batu gamping) serta rekahan bukan alami.

2. Kehilangan Lumpur Sebagian (Partial Loss)

Partial loss adalah hilang lumpur dalam jumlah relatif besar dari 15

bbl/jam atau sekitar 10 - 500 bbl/jam. Partial loss ini dapat terjadi pada formasi

yang terdiri dari porous dan gravel, dan terkadang terjadi pada batuan yang

mengandung rekahan (natural fracture dan induced fracture).

3. Kehilangan Lumpur Total (Total Loss)

Total loss adalah hilang lumpur yang ditunjukkan dengan tidak

kembalinya lumpur dari lubang bor (tidak ada sirkulasi balik). Terjadi pada

formasi yang terdapat gua-gua maupun rekahan yang besar dan formasi dengan

gradien tekanan subnormal.

3.6.2 Metode Untuk Mendeteksi Kehilangan Lumpur

Zona tempat kehilangan lumpur harus diketahui dengan tepat ke

dalamannya agar masalah tersebut dapat ditanggulangi dengan cepat. Beberapa


28

metoda yang digunakan untuk mencari tempat hilang lumpur dapat dilakukan

dibawah dan dipermukaan.

1. Mendeteksi di Bawah Permukaan

Untuk dapat menanggulangi hilang lumpur dengan tepat maka perlu

diketahui letak dimana hilang lumpur terjadi. Ada beberapa metode yang dapat

dilakukan untuk mencari letak hilang lumpur, yaitu :

a. Drill Monitor

Suatu peralatan yang digunakan untuk memantau berbagai alat

perasa (sensor) yang diletakkan diatas rig. Sensor ini memantau

parameter pengeboran seperti kedalaman, tekanan pompa, kecepatan

berputar (rotary speed), weight on bit, dan sebagainya, Prinsip kerja

alat ini adalah menempatkan sensor pada peralatan bor, kemudian sensor

ini akan mengirim sinyal yang dihasilkan ke dalam unit logging,

sinyal-sinyal tersebut akan diproses dan kemudian hasilnya ditampilkan

di layar monitor dan dapat dilihat pada layar monitor mengenai keadaan

pemboran yang sedang berlangsung. Dalam hubungannya dengan sirkulasi,

metode ini lebih akurat bila digabungkan dengan pit level monitor. Adanya

hilang sirkulasi dapat ditunjukkan dengan turunnya tekanan pompa dan

naiknya kecepatan putar serta turunnya permukaan lumpur di tangki lumpur.

b. Spinner Survey

Peralatan spinner survey adalah bagian dari peralatan production logging

yang digunakan untuk mendeteksi jumlah fluida pada sumur injeksi yang masuk

ke dalam formasi. Penggunaan alat ini dilakukan dengan menurunkan alat spinner
29

yang kecil pada sebuah kabel konduktor ke dalam lubang sumur dan baling-baling

rotor akan berputar jika gesekan horizontal dari lumpur.

RPM motor akan mencatat pada film yang akan ada dipermukaan. Hasil

yang dicatat berupa fraksi fluida yang masuk ke formasi beserta kedalamannya.

Ada fluida yang masuk ke dalam formasi secara horizontal, maka zona formasi

yang dimasuki fluida pada laporan hasil spinner survey dapat diinterpretasikan

sebagai zona loss. Spinner survey tidak cocok digunakan pada fluida yang banyak

mengandung sealing agent (LCM). Material sealing agent akan menyumbat

peralatan dan memerlukan lumpur yang relatif banyak.

Gambar 3.2

Spinner Survey13

c. Temperatur Survey

Metode ini prinsipnya adalah membedakan temperatur lumpur

yang dipompakan kedalam sumur dengan temperatur formasi. Cara ini


30

dilakukan dengan menurunkan sebuah elemen yang sensitif yang akan

berubah tahanannya apabila terjadi perubahan temperatur. Temperatur survey

tersebut dilakukan dalam dua bagian. Pertama, mendapatkan gradient

temperatur yang diukur setelah temperatur seimbang dangan temperatur

formasi. Kedua, mendapatkan gradient temperatur lumpur setelah

penambahan lumpur baru yang masih dingin kedalam sumur. Kelebihan

metode ini dapat dilakukan pada lumpur yang banyak mengandung sealing agent

(LCM) dan hanya memerlukan sedikit lumpur.

d. Pressure Transducer Survey

Prinsip alat ini adalah mencatat perbedaan tekanan yang ada pada kedua

sisi membran dari peralatan tersebut. Perbedaan ini terjadi apabila alat tersebut

berada pada tempat hilangnya lumpur. Masalah dalam metode ini adalah

memerlukan jumlah lumpur yang besar yang harus selalu dipompakan kedalam

lubang bor.

e. Hot Wire Survey

Metode hot wire survey bekerja berdasarkan pengukuran perubahan

dalam lubang sumur oleh kawat bertahan, kawat ini sangat sensitif

terhadap temperatur yang berbeda-beda. Mula-mula peralatan hot wire

dimasukkan ke dalam lubang sumur dan tahanannya dicatat. Lumpur

kemudian dipompakan ke dalam lubang sumur, jika zona hilang sirkulasi berada

di bawah alat, maka aliran lumpur akan mengubah tahan kawat. Sebaliknya jika

zona hilang sirkulasi berada di atas alat, maka tahanan tidak akan berubah.
31

Metode ini dapat dilakukan pada semua jenis lumpur. Kekurangan dari metode ini

adalah banyak lumpur yang dilakukan untuk melakukan survey.

2. Mendeteksi di Permukaan

Jika hilang lumpur terjadi, maka pemboran mengalami masalah

berkurangnya volume sistem lumpur yang disirkulasikan. Hal ini dapat dideteksi

dengan melakukan pemeriksaan di permukaan berupa :

a. Tekanan Pompa

Tekanan pompa adalah tekanan yang diperlukan untuk mengatasi

friksi-friksi pada lumpur yang disirkulasikan selama operasi pemboran

yang besarnya sebanding dengan panjang pipa yang dilaluinya. Apabila

terjadi hilang sirkulasi lumpur maka tekanan pompa yang dibaca

dipermukaan akan menurun. Hal ini menunjukkan adanya indikasi

terjadinya hilang sirkulasi.

b. Analisa Serpihan Bor

Setiap operasi pemboran selalu menghasilkan cutting yang dibawa ke

permukaan oleh lumpur yang disirkulasikan secara kontinyu. Jika terjadi hilang

sirkulasi maka cutting tidak sampai ke permukaan karena tidak ada lumpur yang

membawanya ke permukaan melalui annulus, akibatnya tidak ada informasi apa-

apa mengenai lubang sumur.

c. Penurunan Volume Lumpur yang Disirkulasikan dan Mud Pit

Mud pit adalah salah satu alat untuk menampung lumpur berupa

container yang dilengkapi dengan suatu sensor yang dapat memberikan


32

signal alarm. Alat ini berfungsi sebagai penunjuk level fluida yang terdapat

dalam mud pit.

Saat pemboran menembus zona loss dan terjadi penurunan volume

lumpur didalam mud pit, sehingga alat yang dipasang akan memberikan

sinyal alarm karena terjadi perubahan level fluida di dalam mud pit.

3.6.3 Faktor-Faktor Penyebab Kehilangan Lumpur

Problem hilang lumpur saat pemboran dapat terjadi karena aspek

mekanis maupun aspek alamiah, dan berikut ini adalah beberapa faktor

yang dapat menyebabkan hilang lumpur diantaranya jenis formasi, tekanan,

dan sifat fisik lumpur pemboran.

1. Jenis Formasi

Ditinjau dari jenis formasinya, maka problem hilang lumpur saat

operasi pemboran dapat terjadi pada formasi yang memiliki permeabel

besar, formasi gua-gua dan formasi rekahan.

a. Formasi Kasar Permeabel (Coarsely Permeable Formation)

Jenis formasi ini terdiri dari batu pasir dan gravel, dengan keadaan

diameter lubang atau pori-pori batuan formasi sedikitnya tiga kali lebih

besar dari diameter butiran padat dari lumpur dan tekanan hidrostatis lumpur

lebih besar (>) 10 % dari tekanan formasi.

b. Formasi Gua

Formasi ini banyak terdapat pada reef, gravel maupun formasi

yang terdapatnya gua-gua misalnya formasi batuan kapur (limestone dan

dolomite).
33

c. Fissure, Fracture, Faults

Jenis formasi ini merupakan celah-celah atau retakan didalam

formasi yang terjadi secara alamiah maupun karena sebab-sebab mekanis

(induced fracture) misalnya, karena penekanan pada waktu masuk pahat atau

kenaikan tekanan pompa yang terlalu tinggi, lumpur yang terlalu berat dan

gel strength yang terlalu besar. Di bawah ini merupakan gambar formasi yang

dapat menyebabkan terjadinya hilang sirkulasi (loss circulation) pada saat proses

pemboran.

Gambar 3.3

Formasi Yang Menyebabkan Hilang Lumpur1


34

2. Tekanan

Tekanan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dan sangat

berpengaruh dalam kegiatan pemboran. Seperti penentuan tekanan hidrostatik

lumpur agar dapat mengimbangi tekanan formasi sehingga dapat mencegah

terjadinya hole problem seperti kick ataupun loss circulation. Berikut merupakan

jenis-jenis dari tekanan :

a. Tekanan formasi

Tekanan Formasi merupakan tekanan yang disebabkan oleh fluida

didalam formasi. Tekanan formasi dapat dikatakan normal apabila gradient

tekanan formasi berkisar antara 0,433 psi/ft sampai 0,465 psi/ft. Bila kurang

dari itu maka tekanan formasinya subnormal dan bila tekanan di atas

gradient tekanan normal maka tekanan formasinya abnormal. Tekanan

formasi yang rendah, bila lumpur yang digunakan mempunyai densitas

yang terlalu tinggi maka akan menyebabkan loss circulation. Demikian

pula halnya bila tekanan lumpur terlalu rendah, jauh lebih kecil dari

tekanan formasinya maka akan menyebabkan masuknya fluida

formasi ke dalam sumur dan bisa mengakibatkan terjadinya blow out

bila tidak segera ditanggulangi. Persamaan untuk memperkirakan tekanan

formasi adalah:

Pf = Gf x D ......................................................................................................(3.16)

Keterangan:

Pf = tekanan formasi, psi


35

Gf = gradient tekanan formasi, psi/ft

D = kedalaman, ft

Hubungan antara tekanan hodrostatik dengan kedalaman disebut dengan

gradient tekanan. Gradient tekanan untuk fresh wáter adalah 0,433 psi/ft,

sedangkan untuk salt water adalah 0,465 psi/ft. Penyimpangan dari harga tersebut

dianggap sebagai tekanan abnormal atau subnormal. Pada saat keadaan statik,

tekanan hidrostatik harus lebih besar sedikit dari tekanan formasi. Sedangkan pada

saat keadaan dinamis, maka perlu diperhitungkan parameter kehilangan tekanan di

annulus.

Selain itu yang digunakan untuk memperkirakan tekanan formasi dengan

memperhatikan parameter-parameter pemborannya yaitu persamaan “d-exponent”

yang berasal dari rumus Bingham dan telah di modifikasi oleh Jordan dan Shirley

sehingga menjadi seperti berikut :

𝑅
log( )
60 𝑁
𝑑= 12 𝑊 ............................................................................................. ....(3.17)
log( )
1000 𝑑𝑏

Keterangan :

d = d-exponent

R = Rotary Speed, Rpm

N = Rate of Penetration, ft/hrs

W = Weight On Bit, Klbs

db = Diameter Bit, In
36

Rhem dan McClendon menyempurnakan persamaan tersebut dengan

melihat bahwa, kenaikan berat lumpur akan menutupi perbedaan tekanan formasi

normal dan aktual. Mereka mengajukan suatu perbandingan dalam persamaan

3.19. Untuk menghitung pengaruh peningkatan berat lumpur sebagai berikut:

9
𝑑𝑐 = 𝑑 𝑀𝑊 ................................................................................................... (3.18)

Keterangan :

dc = d-exponent terkoreksi

d = Harga mula-mula dari persamaan (3.18)

MW = Berat lumpur, ppg

Tekanan formasi bisa dihitung dengan menggunakan persamaan :

9𝑑
𝐸𝑀𝑊 = − 0.3 ....................................................................................... (3.19)
𝑑𝑐

b. Tekanan Overburden

Tekanan overburden adalah tekanan yang diderita oleh formasi akibat

adanya gaya berat jenis batuan, yang merupakan kombinasi antara berat jenis

fluida yang terkandung didalam pori-pori batuan di atasnya. Persamaan tekanan

overburden adalah :

𝑃𝑜 = 𝐺𝑜 𝑥 𝐷 ................................................................................................. (3.20)

Keterangan :

Po = Tekanan Overburden, psi


37

Go = Gradien tekanan, psi/ft

D = Kedalaman, ft

c. Tekanan Hidrostatik

Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang diakibatkan oleh kolom fluida

pemboran, dalam keadaan statis merupakan fungsi dari tinggi kolom lumpur dan

berat jenis fluida. Pada saat pemboran, tekanan hidrostatik lumpur yang

digunakan harus melebihi tekanan formasi, kelebihan ini berkisar antara 2 – 10%

dari tekanan formasinya. Dan juga tekanan hidrostatik lumpur tidak lebih besar

dari tekanan rekah formasinya, jika tekanan hidrostatik lebih besar maka akan

menyebabkan formasi pecah sehingga akan menyebabkan loss circulation

(lumpur masuk ke dalam formasi). Jadi tekanan hidrostatik lumpur harus berada

diantara tekanan rekah formasi dan tekanan formasi. Persamaan yang digunakan

untuk menentukan tekanan hidrostatik adalah:

Ph = 0,052 x MW lumpur x D .........................................................................(3.21)

Keterangan:

Ph = tekanan hidrostatik, psi

MW = mud weight, ppg

D = kedalaman, ft

d. Tekanan Rekah Formasi

Tekanan rekah formasi adalah tekanan dimana formasi mulai rekah

apabila ada penambahan tekanan. Tekanan rekah formasi di lapangan

dapat diketahui dengan melakukan Leak Off Test (LOT). LOT dilakukan
38

dengan cara mengebor kira-kira 10-15 ft formasi dibawah casing shoe. Persamaan

tekanan rekah adalah sebagai berikut:

Pfr = Gfr x D .....................................................................................................(3.22)

Keterangan:

Gfr = gradien tekanan rekah formasi, psi/ft

Gf = gradien formasi, psi/ft

D = kedalaman, ft

Berikut merupakan ilustrasi kurva saat melakukan proses Leak Off Test

pada pemboran suatu sumur :

Gambar 3.4

Kurva Leak Off Test4

Prosedur dalam melakukan Leak Off Test (LOT) untuk menentukan

dimana formasi mulai retak adalah:


39

1. Bor casing shoe sampai menembus formasi baru sedalam ± 10 ft.

2. Sirkulasi dengan lumpur dan angkat bit sampai berada di atas casing shoe.

3. Isi lubang dan tutup BOP (Blow Out Preventer).

4. Mulai memompa dengan laju pemompaan yang rendah dan stabil, misalnya

0,25 BPM.

5. Pompakan dengan kecepatan stabil dan amati kenaikan tekanan sampai

formasi mulai rakah dan catat tekanan tersebut sebagai tekanan rekah formasi.

6. Periksa besarnya tekanan pada saat formasi mulai rekah dan catat volume

lumpur total yang dipompakan dengan kecepatan stabil.

Persamaan yang digunakan adalah:

- Tekanan rekah formasi :

𝑃𝑓𝑟 = (0,052 𝑥 𝑀𝑊 𝑥𝐷) + 𝑃𝑠𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 .......................................................... (3.23)

- Berat lumpur maksimum :

𝑃𝑓𝑟
𝑀𝑊𝑀𝐴𝑋 = ......................................................................................... (3.24)
0,052 𝑥 𝐷

- Gradien rekah formasi :

𝐺𝑓𝑟 = 𝑀𝑊𝑚𝑎𝑥 𝑥 0,052 ................................................................................... (3.25)

Keterangan:

Psurface = tekanan permukaan, psi

MWmax = Berat lumpur maksimum, ppg

MW = Berat Lumpur, ppg

D = Kedalaman tegak, ft

Pfr = Tekanan Rekah Formasi, psi


40

Gfr = Gradient rekah formasi, psi/ft

3.6.4 Mekanisme Kehilangan Sirkulasi

Hilang lumpur (Loss circulation) adalah peristiwa hilangnya

lumpur pemboran melalui lubang bor ke formasi yang mempunyai porositas

yang besar, gua-gua, rekahan dan adanya patahan. Hilang lumpur ini dapat

terjadi apabila adanya tekanan kejut yang mengakibatkan tekanan

hidrostatik lumpur melebihi tekanan formasi (Ph > Pf), sedangkan mud cake

yang terbentuk tidak mampu untuk menahan, sehingga lumpur mengalir

ke dalam formasi.

a. Tekanan Surge

Tekanan surge dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

𝟐𝟒.𝟓 𝒙 𝑸
𝑉 = (𝑫𝒊𝟐 − 𝑫𝒐𝟐 ) ...................................................................................................(3.26)

𝑉𝑚 = 1,5 𝑥 𝑉 ...................................................................................................(3.27)

2,4 𝑥 𝑉𝑚 2𝑛+1 𝑛 𝑘𝑥𝐿


𝑃𝑠 = ( 𝑥 ) 𝑥 ............................................................. (3.28)
𝐷𝑖−𝐷𝑜 3𝑛 300 (𝐷𝑖−𝐷𝑜)

𝑃 𝑠𝑢𝑟𝑔𝑒 = 𝑃ℎ𝑖𝑑𝑟𝑜𝑠𝑡𝑎𝑡𝑖𝑘 + 𝑃𝑠 ......................................................................(3.29)

Keterangan:

V = Fluid velocity, ft/min

Vm = Max pipe velocity, ft/min

Ps = Pressure loss, psi

Psurge = Pressure surge, psi

Di = Diameter lubang bor/dalam casing, in

Do = Diameter luar drill string, in


41

L = Panjang drill string, ft

n = Indeks aliran, dimentionless

K = Indeks konsistensi, dimentionless

b. Rekahan Alami atau Permeablitas yang besar

Tekanan overbalance lumpur ketika menembus formasi dapat

menyebabkan hilang lumpur, ini diakibatkan karena :

- Formasi tidak kompak

- Adanya rekahan

- Adanya patahan

- Adanya gua-gua

3.6.5 Metode Pencegahan Kehilangan Lumpur

Kebanyakan hilang sumur terjadi karena teknik pemboran yang tidak

sesuai, program pemboran yang dibuat harus dapat menghindari loss circulation.

Beberapa metode yang digunakan untuk menghindari kehilangan lumpur

(loss circulation):

1. Pada waktu masuk pahat

Pada saat memasukkan pahat perlu diukur kecepatannya untuk

menghindari kemungkinan terjadinya tekanan kejut (pressure surge), yang dapat

mengakibatkan bertambahnya tekanan hidrostatik sehingga membuat formasi

menjadi pecah. Sehingga perlu diukur kecepatan pada saat memasukkan pahat

agar tidak terjadi permasalahan kehilangan lumpur pemboran.

2. Pada saat dilakukan pemakaian casing protektor


42

Casing protektor adalah suatu alat yang terbuat dari karet dipasang pada

pipa bor (drill pipe) berfungsi untuk melindungi benturan antara drill pipe dengan

casing. Casing protektor harus benar-benar dalam kedaan baik, karena pada saat

rangkaian pipa bor diturunkan kedalam lubang bor akan ada penambahan pressure

loss di annulus yang dapat mengakibatkan bertambahnya tekanan pada dasar

lubang bor (berbentuk tekanan kejut).

3. Metode Penanggulangan Kehilangan Lumpur

Loss circulation dapat menimbulkan beberapa masalah kerugian misalnya,

hilang lumpur, bahaya terjepitnya pipa, formation demage, kehilangan waktu,

tidak diperolehnya cutting untuk sample, gas kick dan penurunan permukaan

lumpur yang dapat menyebabkan blow out pada formasi berikutnya. Beberapa

metode yang di lakukan untuk menanggulangi loss circulation, yaitu:

4. Penurunan Berat Lumpur

Penurunan berat lumpur ini dilakukan dengan memperhatikan besarnya

gradient tekanan formasi dan safety faktornya. Safety faktor dipakai untuk

menentukan besaranya tekanan hidrostatik lumpur agar tidak terlalu kecil maupun

terlalu besar dengan tekanan formasi.

5. Mensirkulasikan LCM (Loss Circulation Material)

Untuk menanggulangi loss circulation salah satunya dapat dilakukan

dengan memberikan material penyumbat berupa Loss circulation material (LCM)

yang dibagi dalam tiga klasifikasi, yaitu :


43

a. Material Fibrous

Material fibrous terdiri dari kapas kasar (raw cotton), ampas tebu,

serat rami, serbuk gergaji, bulu ayam (feathers) leather floc, fiber seal,

dan chip seal. Material jenis ini relatif sedikit kaku dan cenderung memaksa

masuk kedalam rekahan yang besar.

Material yang kasar dapat menutup celah rekahan 0,11 in, dan material

lembut bisa menutup rekahan 0,02 in. Jika lumpur mengandung material fibrous

dengan konsentrasi yang besar, kemudian dipompakan masuk kedalam lubang

bor, maka tahan gesekan yang cukup besar akan berkembang dan berfungsi

sebagai penyumbat atau penahan aliran lumpur masuk kedalam formasi. Pada

gambar 3.5 dibawah diperlihatkan contoh material fibrous.

Gambar 3.5

Material Fibrous14
44

b. Material flakes

Material flakes terdiri dari cellophane, mika (halus dan kasar), vermicullite

dan kwik seal (kombinasi serabut, bungkil dan kepingan-kepingan). Material ini

apabila disirkulasikan kedalam lubang bor akan terletak melintang lurus

di muka formasi, dan selanjutnya akan menutup rekahan yang ada. Material

fibrous mampu menutup rekahan sampai ukuran < 0,12 in. Jika cukup kuat

menahan tekanan kolom lumpur, maka material ini membentuk filter cake yang

luas dan kompak. Jika material tidak cukup kuat menahan tekanan kolom lumpur,

maka material ini akan terdorong masuk kedalam rekahan dan penutupan

rekahannya sama dengan material fibrous. Pada gambar 3.6 diperlihatkan contoh

matrial flakes.

Gambar 3.6

Material Flakes14
45

c. Material Granullar

Material granullar terdiri dari nut shells, nut plug, tuff plug, bubuk

batok kelapa (halus sedang, dan kasar) dan kulit kelapa sawit. Material

granular lebih besar dibandingkan jenis LCM lain. sebagai contoh nut shell

bisa menyumbat zona loss sampai ukuran 0,22 in. Pada gambar 3.7

diperlihatkan contoh matrial granullar.

Gambar 3.7

Material Granullar14

6. Teknik Penyemenan

Penggunaan semen dilakukan untuk mengatasi masalah kehilangan lumpur

total terutama pada formasi yang bergua-gua sebagaimana terdapat pada formasi

caarbonat dan merupakan langkah yang diambil ketika hilang lumpur sudah tidak

dapat diatasi dengan penyumbatan menggunakan LCM.

7. Blind Drilling
46

Blind Drilling adalah teknik pemboran yang dilakukan tanpa adanya

sirkulasi karena semua lumpur hilang ke formasi. Blind drilling bertujuan untuk

menyelesaikan penetrasi menembus zona kehilangan lumpur, setelah seluruh zona

kehilangan lumpur ditembus baru dilakukan penanganan terhadap permaslahan

kehilangan lumpur.

8. Aerated Drilling

Aerated drilling mud bertujuan untuk menurunkan densitas lumpur.

Metode ini biasanya digunakan pada saat menembus zona sub normal dan sangat

cocok diterapkan pada formasi cavernous, vugs yang besar. Dilakukan dengan

cara memompa campuran air dan udara ke dalam lubang bor. Setelah daerah

vugular dilewati, pipa dapat diset atau aerated water drilling dapat diteruskan.
BAB IV

EVALUASI DAN PERHITUNGAN PENYEBAB LOSS

Permasalahan loss circulation pada lapangan ini terjadi pada Sumur “F-1”

yang memiliki berbagai macam formasi yang ada pada lapangan tersebut. Loss

circulation pada lapangan ini bisa disebabkan karena berbagai macam kendala,

diantaranya terjadi karena jenis formasinya yang memiliki batuan yang butiran

penyusunnya kasar dan bisa juga terjadi karena faktor tekanan. Litologi batuan pada

sumur ini didominasi oleh limestone dan sandstone sehingga terdapat rekahan-

rekahan yang terbentuk secara alami (natural fracture), juga terdapat growong

(cavernous) dan mempunyai gradient tekanan formasi yang rendah. Penting untuk

dilakukannya evaluasi sifat-sifat fisik lumpur pemboran pada sumur ini.

4.1 Operasi Pemboran Sumur “F-1”

Proses pengeboran Sumur “F-1” dimulai pada 24 Maret 2015, dengan

metode pemboran berarah (directional drilling). Dengan rencana

pemboran hingga kedalaman 6318 ft MD yang menembus Formasi Cisubuh dan

Parigi. Pemboran dimulai dengan pemasangan casing conductor 30” sampai dengan

kedalaman 380 ft MD, menggunakan lumpur 9 ppg 5% KCL Polimer. Kemudian

dilakukan pembuatan lubang 17-1/2” menembus Formasi Cisubuh mulai dari

kedalaman 380 ft MD – 1290 ft MD dan pada kedalaman 935 ft MD terjadi hilang

sirkulasi berjenis partial loss sebesar 120 bph yang diatasi dengan pemompaan

LCM 50 bbl dengan konsentrasi 40 ppb (20 ppb fibroseal, 20 ppb CaCO3) masalah

ini dapat teratasi. Kemudian terjadi hilang sirkulasi yang berjenis partial loss pada

47
48

kedalaman 1119 ft MD sebesar 395 bph yang ditangulangi dengan memompa LCM

3 kali 30 bbl dan konsentrasinya 60 ppb (40 ppb fibroseal, 20 ppb CaCO3)

permasalahan loss dapat ditanggulangi.

Pembuatan lubang 17-1/2” dilanjutkan sampai kedalaman 1290 ft MD,

kemudian dilanjutkan dengan pemasangan casing 13-3/8” dengan posisi casing

shoe pada 1104 ft MD dan dilakukan cementing job, pemboran kembali dilanjutkan

dengan pembuatan lubang 12-1/4” menembus formasi yang baru yaitu Formasi

Parigi, berat lumpur diganti dari 9 ppg menjadi 9,2 ppg KCL Polymer, dilakukan

LOT pada kedalaman 1114 ft MD sebesar 10,9 ppg dengan tekanan permukaan 98

psia, pembuatan lubang 12-1/4” diteruskan sampai kedalaman 3050 ft MD, dan

dilakukan pemasangan casing 9-5/8” posisi casing shoe di kedalaman 3038 ft MD

kemudian dilakukan cementing job.

Pemboran dilanjutkan dengan pembuatan lubang 8-1/2”, pada kedalaman

3060 ft MD, dilakukan LOT dengan MW sebesar 12 ppg dan tekanan dipermukaan

278 psi. Terjadi hilang sirkulasi yang berjenis partial loss sebesar 450 bph pada

kedalaman 3338 ft MD. Hilang sirkulasi ini ditanggulangi menggunakan

penyumbatan LCM 50 bbl dengan konsentrasi 40 ppb (20 ppb fibroseal, 20 ppb

CaCO3) penyumbatan tersebut belum berhasil, loss masih terjadi sebesar 450 bph

kemudian dilakukan penanggulangan berikutnya dengan cement plug sebanyak 50

bbl dengan MW 15,5 ppg dengan kecepatan 3-4 Bph, masih terdapat loss sebesar

100 bph. Dilakukan cement plug kedua sebanyak 50 bbl dengan MW 15,5 ppg,

kemudian dilakukan monitoring triptank, loss sudah tidak terjadi. Setelah mencapai

target di 6318 ft MD maka dilakukan penyelesaian sumur.


49

4.2 Data Hilang Lumpur pada Sumur “F-1”

Selama pemboran berlangsung yang dapat dilihat pada tabel 4.1, terjadi

hilang sirkulasi di Sumur “F-1” pada pengerjaan lubang bor 17-1/2” dan lubang bor

8-1/2”. Formasi yang di tembus saat terjasi loss tersebut merupakan Formasi

Cisubuh dan juga pada Formasi Parigi, jumlah hilang sirkulasi Sumur “F-1” dapat

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.1

Data Hilang Lumpur Pada Sumur “F-1”

Kedalaman MW Rate Jenis


Sumur Trayek Formasi
Ft MD (ppg) (Bph) Loss

Partial
698-935 Cisubuh 9 120
Loss
17-1/2”
Partial
F-1 980-1119 Cisubuh 9 395
Loss

Partial
8-1/2” 3236-3338 Parigi 9,2 450
Loss

4.3 Perhitungan Faktor Mekanis Pemboran

Hilang sirkulasi dapat menghambat proses pemboran. Karena lumpur

pemboran merupakan faktor penting yang dapat menunjang keberhasilan pemboran

maka dari itu perlu diketahui apa yang menjadi penyebab hilangnya sirkulasi pada

sumur tersebut. Berikut merupakan perhitungan tekanan formasi, tekanan

hidrostatik, tekanan rekah, equivalent circulating density (ECD), bottom hole


50

circulating pressure (BHCP), dan pressure loss.

4.3.1 Perhitungan Tekanan Formasi

Tekanan formasi perlu diketahui, sehingga densitas lumpur yang akan

digunakan dapat direncanakan dengan baik. Tekanan formasi dicari dengan

menggunakan persamaan (3.17), (3.18) dan (3.19), hasil perhitungan tekanan

formasi dapat dilihat pada tabel 4.2:

Tabel 4.2

Perhitungan Tekanan Formasi

Tekanan
Kedalaman Kedalaman
Sumur Formasi
(ft) MD (ft) TVD
(psi)

935 928 419.82

F-1 1119 1104 499.44

3338 1972 912.64

4.3.2 Perhitungan Tekanan Hidrostatik Saat Hilang Sirkulasi

Pada Sumur “F-1” terjadi hilang sirkulasi pada pengerjaan pemboran

ditrayek 17-1/2” yang melewati Formasi Cisubuh, formasi tersebut memiliki

lithologi sandstone. Kemudian terjadi hilang sirkulasi pada pengerjaan pemboran

ditrayek 8-1/2” yang melewati formasi Parigi, formasi tersebut memiliki lithology
51

limestone. Berikut adalah perhitungan tekanan hidrostatik pada saat terjadi hilang

sirkulasi di sumur tersebut dengan menggunakan persamaan (3.21) dapat dilihat

pada tabel 4.3.

Tabel 4.3

Perhitungan Tekanan Hidrostatik Lumpur Saat Hilang Sirkulasi

Kedalaman Kedalaman MW Ph saat loss


Sumur
(ft) MD (ft) TVD (ppg) (psi)

935 928 9 434,30

F-1 1119 1104 9 528,15

3338 1972 9,2 922,89

4.3.3 Perhitungan Tekanan Rekah Formasi

Perhitungan tekanan formasi dilakukan agar kita dapat memperkirakan

berat lumpur yang akan kita gunakan. Sedangkan tekanan rekah formasi adalah

tekanan dimana formasi mulai rekah. Tekanan rekah sangat penting diketahui agar

lumpur yang kita gunakan tidak menyebabkan formasi menjadi rekah, karena

dengan rekahnya formasi merupakan salah satu hal yang menyebabkan loss

circulation. Penentuan tekanan rekah ini dilakukan berdasarkan data Leak Off Test

(LOT), dimana saat dilakukan LOT mud weight yang digunakan sebesar 10,9 ppg
52

pada kedalaman 1114 ft MD dengan tekanan pada surface sebesar 98 psi, dan LOT

selanjutnya menggunakan mud weight 12 ppg pada kedalaman 3060 ft MD

memiliki tekanan surface 278 psi. Dengan persamaan (3.23) dan (3.24) didapat

tekanan rekah formasi sebagai berikut:

Tabel 4.4

Perhitungan Tekanan Rekah Formasi

Kedalaman Kedalaman Tekanan Rekah EMW


Sumur
(ft) MD (ft) TVD (psi) (ppg)

935 928 608,52 12,61

F-1 1119 1104 723,93 12,61

3338 1972 1516,95 14,79

4.3.4 Perhitungan Aliran Pada Sumur “F-1”

Perhitungan yang dilakukan adalah perhitungan kecepatan aliran di annulus

(Va) dengan persamaan (3.10) dan kecepatan kritis (Vc) dengan persamaan (3.11).

perhitungan kehilangan tekanan (𝑝loss) total pada setiap section diannulus dengan

menggunakan persamaan (3.12) untuk aliran laminer dan persamaan (3.13)

digunakan untuk aliran turbulen. Pola aliran laminer atau turbulen dapat diketahui

dengan melihat perbandingan kecepatan aliran di annulus (Va) dengan kecepatan

kritis (Vc). Va < Vc adalah laminer sebaliknya Va > Vc adalah turbulen. Berikut

adalah hasil perhitungan Va dan Vc pada table 4.5, 4.6 dan 4.7:
53

Tabel 4.5

Kecepatan Aliran dan Kecepatan Kritis Sumur “F-1” Pada 935 ft MD

BHA Va (ft/min) Vc (ft/min) Jenis Aliran Ploss (psi)

Poney
101,14 282,32 Laminer 0,1787
Monel

ARC LWD 103,95 285,43 Laminer 0,2813

Power Pulse 103,95 285,43 Laminer 0,4078

NMDC 98,00 278,66 Laminer 0,4706

UBHO 101,14 282,32 Laminer 0,5234

XO sub 100,28 281,35 Laminer 0,5245

HWDP 90,66 268,92 Laminer 0,9597

JAR 92,80 271,98 Laminer 1,1394

HWDP 87,11 263,28 Laminer 1,8875

Δ𝑝 Total 6,37
54

Berikut merupakan perhitungan Va dan Vc pada Sumur “F-1” di kedalaman

1119 ft MD dari tiap BHA :

Tabel 4.6

Kecepatan Aliran dan Kecepatan Kritis Sumur “F-1” Pada 1119 ft MD

BHA Va (ft/min) Vc (ft/min) Jenis Aliran Ploss (psi)

Poney Monel 91,02 284,69 Laminer 0,162

ARC LWD 93,56 288,39 Laminer 0,257

Power Pulse 93,56 288,39 Laminer 0,372

NMDC 88,20 280,34 Laminer 0,426

UBHO 91,02 284,69 Laminer 0,476

XO sub 90,25 283,53 Laminer 0,477

HWDP 81,59 268,81 Laminer 0,859

JAR 83,52 272,42 Laminer 1,024

HWDP 78,40 262,16 Laminer 1,678

5,73
Δ𝑝 Total
55

Berikut merupakan perhitungan Va dan Vc pada Sumur “F-1” di kedalaman

3338 ft MD dari tiap BHA :

Tabel 4.7

Kecepatan Aliran dan Kecepatan Kritis Sumur “F-1” Pada 3338 ft MD

BHA Va (ft/min) Vc (ft/min) Jenis Aliran Ploss (psi)

NMDC 321,31 472,68 Laminer 4,226

LWD 336,74 478,84 Laminer 7,407

LWD 321,31 472,68 Laminer 9,471

NMDC 333,17 477,44 Laminer 13,408

HWDP 181,48 398,75 Laminer 11,7896

JAR 285,83 457,44 Laminer 33,228

HWDP 181,48 398,75 Laminer 14,507

Δ𝑝 Total 79,53

4.3.5 Perhitungan ECD dan BHCP

Equivalent Circulating Density (ECD) adalah densitas lumpur saat

melakukan sirkulasi, sedangkan Bore Hole Circulating Pressure (BHCP) adalah


56

tekanan bor saat dilakukan sirkulasi lumpur. Setelah menghitung total kehilangan

tekanan yang terjadi pada setiap rangkaian pemboran di zona hilang sirkulasi maka

dapat dihitung ECD dengan persamaan (3.14) dan dapat juga dihitung BHCP

dengan persamaan (3.15). Dari hasil perhitungan tersebut dapat diketahui apakah

ECD dan BHCP tersebut sebagai penyebab hilang sirkulasi atau tidak, ECD dan

BHCP yang melebihi dari tekanan rekah formasi akan menyebabkan formasi rekah

dan menyebabkan fluida pemboran masuk kedalam formasi.

Tabel 4.8

Perhitungan ECD dan BHCP Sumur “F-1”

ECD BHCP
Kedalaman
Sumur Trayek
(ft) TVD (ppg) (Psi)

928 9,13 440,67


17-1/2"
F-1 1104 9,29 533,88

8-1/2" 1972 9,77 1002,47

4.3.6 Perhitungan Pressure Surge

Pressure surge adalah tekanan yang terjadi saat memasukkan drill string ke

lubang bor. Kecepatan penurunan drill string harus dikontrol memastikan agar

tekanan tidak terlalu tinggi. Karena pressure surge yang terlalu tinggi dapat

menyebabkan formasi menjadi rekah dan masuknya lumpur pemboran ke formasi.

Perhitungan pressure surge pada Sumur “F-1” pada masing-masing zona dilakukan

dengan mementukan fluid velocity (V) dengan persamaan (3.26), menentukan


57

maximum pipe velocity (Vm) dengan persamaan (3.27), lalu menentukan pressure

loss (Ps) dengan persamaan (3.28). Berikut adalah kecepatan rata-rata saat

menurunkan drill string pada tabel 4.9 dan 4.10,:

Tabel 4.9

Perhitungan Pressure Loss Pada Trayek 17-1/2” Sumur “F-1”

935 ft MD 1119 ft MD

BHA Ps Ps
V Vm V Vm
(ft/min) (ft/min) (ft/min) (ft/min)
(psi) (psi)

Poney
101,14 151,702 0,210 91,02 136,532 0,196
Monel

ARC
103,95 155,925 0,331 93,56 140,332 0,310
LWD

Power
103,95 155,925 0,480 93,56 140,332 0,449
Pulse

NMDC 98,00 147 0,554 88,20 132,3 0,514

UBHO 101,14 151,702 0,616 91,02 136,532 0,574

XO sub 100,28 150,421 0,618 90,25 135,379 0,5752

HWDP 90,66 135,985 1,131 81,59 122,386 1,036

JAR 92,80 139,204 1,343 83,52 125,284 1,235

HWDP 87,11 130,66 2,225 78,40 117,6 2,024


58

Berikut merupakan perhitungan pressure loss pada Sumur “F-1” di

kedalaman 3338 ft MD dari tiap BHA :

Tabel 4.10

Perhitungan Pressure Loss Pada Trayek 8-1/2” Sumur “F-1”

3338 ft MD

BHA
Ploss
V (ft/min) Vm (ft/min)
(psi)

NMDC 321,31 481,967 4,958

LWD 336,74 505,116 8,690

LWD 321,31 481,967 11,112

NMDC 333,17 499,755 15,731

HWDP 181,48 272,222 13,832

JAR 285,83 428,75 38,985

HWDP 181,48 272,222 17,020

Dari hasil diatas dapat dihitung pressure surge yang timbul saat pemboran

menggunakan persamaan (3.39). Hasil dari pressure surge ini selanjutnya dianalisa
59

untuk mengetahui apakah menjadi penyebab hilang sirkulasi atau tidak. Untuk

pressure surge pada zona loss pada sumur F-1 dapat dilihat pada tabel 4.11.

Tabel 4.11

Perhitungan Pressure Surge Sumur “F-1”

Kedalaman Ps Total P Surge


Sumur n K
(ft) MD (psia) (psi)

935 0,41 2,79 7,512 441,81

F-1 1119 0,46 2,24 2,62 530,77

3338 0,39 3,94 93,31 1016,2

Berdasarkan tabel perhitungan di atas, penyebab terjadinya lost circulation

pada pemboran lubang bor 17-1/2” dan 8-1/2” ini bukan disebabkan karena

kesalahan desain lumpur pemboran melainkan disebabkan karena lithologi formasi

yang ditembusnya. Pada partial loss yang pertama di kedalaman 935 ft MD

memiliki tekanan hidrostatik sebesar 434,30 psi nilai tersebut berada di atas tekanan

formasi yang nilainya 419,82 psi, serta tekanan hidrostatik, bottom hole circulating

pressure (BHCP) dan pressure surge yang masing-masing nilainya 434,30 psi,

440,67 psi, dan 441,82 psi masih berada di bawah tekanan rekah formasi yang

nilainya 608,52 psi. Pada partial loss yang kedua dikedalaman 1119 ft MD

memiliki tekanan hidrostatik sebesar 516,67 psi nilai tersebut berada di atas tekanan

formasi yang nilainya 419,82 psi, serta tekanan hidrostatik, bottom hole circulating
60

pressure (BHCP) dan pressure surge yang masing-masing nilainya 516,67 psi,

522,40 psi dan 530,77 psi masih berada di bawah tekanan rekah formasi yang

bernilai 723,93 psi. Sedangkan, partial loss yang ketiga di kedalaman 3338 ft MD

memiliki tekanan hidrostatik sebesar 922.89 psi nilai tersebut berada di atas tekanan

formasi yang nilainya 419,82 psi, serta tekanan hidrostatik, tekanan bottom hole circulating

pressure (BHCP) dan pressure surge yang masing-masing nilainya 922,89 psi,

1022.93 psi dan 1016,20 psi masih berada di bawah tekanan rekah formasi yang

memiliki nilai 1516.95 psi yang dapat dilihat pada gambar 4.1 yaitu perbandingan

antara tekanan formasi, tekanan hidrostatik, bottom hole circulating pressure

(BHCP), pressure surge dan tekanan rekah formasi dari tiap kedalaman dari Sumur

“F-1” saat terjadi hilang sirkulasi.

Tekanan, psi
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600
0

500

1000
Kedalaman, ft

1500

2000

2500

3000

3500
Pf Ph BHCP Ps Pfrac

Gambar 4.1

Grafik Kedalaman vs Pf, Ph, BHCP, Ps, Pfrac


61

4.4 Evaluasi Penanggulangan Loss Circulation

Terjadinya hilang lumpur menyebabkan terhambatnya operasi pemboran

yang sedang berlangsung sehingga menyebabkan bertambahnya waktu dan biaya.

Maka dari itu perlu dilakukan penanggulangan yang efektif. Berikut ini adalah

penanggulangan yang dilakukan pada Sumur “F-1”.

4.4.1 Evaluasi Penanggulangan Loss Circulation Sumur “F-1”

Pada pemboran berarah ukuran pahat 17-1/2” tejadi 2 kali partial loss dan

pada ukuran pahat 8-1/2” terjadi 1 kali partial loss. Pada kedalaman 698-935 ft

MD, 980-119 ft MD, dan 3236-3338 ft MD. Jenis lumpur yang digunakan dalam

kedalaman ini adalah KCL Polymer. Penanggulangan yang dilakukan di lapangan

untuk mengatasi hilangnya lumpur pada kedalaman tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Dilakukan pemboran dari kedalaman 698 – 935 ft MD, terjadi partial loss

pada kedalaman 935 ft MD sebesar 120 bph pompa dihentikan.

2. Kemudian dipompakan 20 bbl Hi-vis ditambah dengan 50 bbl LCM dengan

konsentrasi 40 ppb (20 ppb Fibroseal, 20 ppb CaCO3) di susul dengan 10

bbl Hi-vis, loss dapat teratasi.

3. Pemboran dilanjutkan dari 980-1119 ft MD, terjadi partial loss sebesar 395

bph, laju alir pompa di turunkan dari 900 gpm – 300 gpm.

4. Rangkaian pipa bor diangkat dari kedalaman loss sampai kedalaman 518 ft

MD saat rangkaian diangkat dipompakan 3 kali 30 bbl LCM dengan

konsentrasi 60 ppb ( 60 ppb Fibroseal, 20 ppb CaCO3).


62

5. Rangkaian bor kemudian diturunkan kembali sampai kedalaman 1119 ft

MD monitor triptank loss berhasil ditanggulangi.

6. Pemboran dilanjutkan kelubang pemboran 8-1/2” sampai kekedalaman

3338 ft MD.

7. Terjadi partial loss pada kedalaman 3338 ft MD sebesar 450 bph.

8. Ditanggulangi dengan memompakan LCM 50 bbl dengan konsentrasi 40

ppb (20 ppb fibroseal, 20 ppb CaCO3), penyumbatan dengan LCM belum

berhasil jumlah loss masih tetap 450 bph.

9. Rangkaian diangkat 10 ft MD ke 3328 kemudian dilakukan penyumbatan

dengan cement plug sebanyak 50 bbl 15,5 ppg.

10. Lubang bor disirkulasikan dengan lumpur Hi-vis kemudian diganti dengan

9,2 ppg KCL Polymer, jumlah loss berkurang menjadi 100 bph.

11. Dilakukan lagi penyumbatan dengan cement plug yang ke 2 pada

kedalaman 3328 sebanyak 50 bbl 15,8 ppg.

12. Rangkaian pipa bor diangkat sampai kedalaman 2911 ft MD, tunggu semen

mengering kemudian lubang bor disirkulasikan dengan Hi-vis 50 bbl untuk

membersihkan lubang bor, monitor triptank loss sudah berhasil

ditanggulangi.
63
BAB V

PEMBAHASAN

Proses pemboran pada Sumur “F-1” dilakukan pada 24 Maret 2015.

Hilangnya sirkulasi lumpur pada sumur ini terjadi pada pengerjaan lubang bor 17-

1/2” dan 8-1/2”. Setelah dilakukannya analisis mengenai penyebab hilangnya lumpur

sirkulasi pada sumur ini dengan melakukan perhitungan Tekanan Formasi, Tekanan

Rekah Formasi, Tekanan BHCP, dan Tekanan Surge, maka dapat dinyatakan bahwa

desain lumpur yang digunakan pada Sumur “F-1” ini sudah sesuai. Jadi, penyebab

hilang sirkulasi diakibatkan oleh lithologi formasi yang terdapat pada sumur tersebut.

Hilang sirkulasi pada pengerjaan trayek 17-1/2” terjadi di Formasi Cisubuh pada

kedalaman 935 ft MD dan 1119 ft MD. Berdasarkan LOT pada kedalaman 1114 ft

MD sebesar 10.9 ppg tekanan permukaan 98 psi didapat gradient tekanan rekah

sebesar 0.567 psi/ft sehingga diketahui tekanan rekah pada 935 ft MD sebesar 608.52

dengan EMW 12.61 ppg dan pada kedalaman 1119 ft MD sebesar 723.93 psi dengan

EMW 12.61 ppg.

Pada kedalaman 935 ft MD didapat tekanan formasi dari persamaan d-

exponent sebesar 419.82 psi. Lumpur yang digunakan pada kedalaman 935 ft MD ini

adalah KCL Polymer dengan MW 9 ppg, sehingga diketahui tekanan hidrostatiknya

sebesar 434.30 psi. Dari perhitungan ECD di dapat sebesar 9.14 ppg, BHCP sebesar

440.67 psi dan dari hasil perhitungan didapat pressure surge sebesar 441.82 psi.

Dilihat dari tekanan formasi tidak melebihi tekanan hidrostatik, sedangkan dilihat dari

63
64

tekanan hidrostatik, BHCP maupun pressure surge tidak ada yang melewati tekanan

rekah formasi, dengan demikian penyebab hilang lumpur pada kedalaman 935 ft MD

karena formasi yang ditembusnya yang mengandung claystone (0%-100%) dan

sandstone (0%-15%). Pada formasi tersebut terdapat batuan yang memiliki pori yang

besar dan saling berhubungan sehingga lumpur pemboran masuk kedalam formasi

yang di tembus. Partial loss yang terjadi pada kedalaman ini sebesar 120 bph,

penanganan hilang sirkulasi pada kedalaman ini dengan sirkulasi 20 bbl Hi-vis di

tambah dengan 50 bbl LCM dengan konsentrasi 40 ppb (20 ppb Fibroseal, 20 ppb

CaCO3) disusul dengan 10 bbl Hi-vis, hilang sirkulasi berhasil ditanggulangi.

Pada kedalaman 1119 ft MD didapat tekanan formasi dari d-exponent sebesar

499.44 psi pada kedalaman ini digunakan mud weight dan jenis lumpur yang sama 9

ppg sehingga dapat dihitung tekanan hidrostatiknya sebesar 516.67 psi, selain itu

tekanan rekah berdasarkan data LOT didapat 723.93 psi dengan EMW 12.61 ppg.

Selanjutnya berdasarkan perhitungan didapat nilai ECD sebesar 9.10 ppg, BHCP

sebesar 522.71 psi dan besar pressure surge 519.66 psi. dilihat dari tekanan formasi

yang tidak melebihi tekanan hidrostatik serta tekanan hidrostatik, tekanan BHCP dan

pressure surge yang tidak melebihi tekanan rekah formasi. Hasil tersebut

menunjukkan faktor mekanis dari pemboran sudah tepat, jadi penyebab hilang

sirkulasi pemboran yang terdapat pada kedalaman ini karena lithologi formasinya

yang mengandung claystone (0%-100%) dan sandstone (0%-10%). Pada formasi

tersebut terdapat batuan yang memiliki pori yang besar dan saling berhubungan
65

sehingga lumpur pemboran masuk kedalam formasi yang di tembus. Loss yang terjadi

dikedalaman ini berjenis partial loss dengan besar loss 395 bph pada kedalman ini

hilang lumpur segera diatasi dengan memompakan 3 kali 30 bbl LCM dengan

konsentrasi 60 ppb (40 ppb Fibroseal, 20 ppb CaCO3) sehingga hilang lumpur

berhasil ditanggulangi.

Hilang sirkulasi pada pada pengerjaan trayek 8-1/2” terjadi di formasi Parigi

pada kedalaman 3338 ft MD. Berdasarkan LOT pada kedalaman 3060 ft MD sebesar

12 ppg tekanan permukaan 278 psi didapat gradient tekanan rekah sebesar 0.623

psi/ft sehingga diketahui tekanan rekah pada 3338 ft MD sebesar 1516.95 dengan

EMW 14.79 ppg. Pada kedalaman 3338 ft MD didapat tekanan formasi dari d-

exponent sebesar 912.64 psi pada kedalaman ini digunakan lumpur KCL Polymer

mud weight 9.2 ppg sehingga dapat dihitung tekanan hidrostatiknya sebesar 934.4 psi,

selain itu tekanan rekah berdasarkan data LOT didapat 723.93 psi dengan EMW

12.61 ppg. Selanjutnya berdasarkan perhitungan didapat nilai ECD sebesar 10.3 ppg,

BHCP sebesar 1029.15 psi dan besar pressure surge 1044 psi. dilihat dari tekanan

formasi yang tidak melebihi tekanan hidrostatik serta tekanan hidrostatik, tekanan

BHCP dan pressure surge yang tidak melebihi tekanan rekah formasi. Hasil tersebut

menunjukkan faktor mekanis dari pemboran sudah tepat, jadi penyebab hilang

sirkulasi pemboran yang terjadi pada kedalaman ini karena lithologi dari formasi

parigi yang mengandung claystone (0%-70%) dan limestone (0%-30%), batuan ini

memiliki zona begoa (cavernous) ataupun bergrowong (vugular) yang memiliki


66

porositas besar serta berhubungan yang dapat menghilangkkan sirkulasi lumpur dari

pemboran tersebut. Loss yang terjadi dikedalaman ini berjenis partial loss dengan

besar loss 450 bph pada kedalaman ini hilang lumpur segera diatasi dengan

penyumbatan 50 bbl LCM dengan konsentrasi 40 ppb (20 ppb fibroseal, 20 ppb

CaCO3), jumlah hilang lumpur masih tetap sama 450 bph kemudia dilakukan

penyumbatan 50 bbl cement plug 15.5 ppg dengan kecepatan 3-4 bph, setelah semen

mengering lubang bor disirkulasikan dengan lumpur Hi-vis kemudian diganti dengan

lumpur KCL Polymer 9.2 ppg, loss berkurang menjadi 100 bph, dilakukan

penyumbatan cement plug ke 2 pada kedalaman 3328 sebanyak 50 bbl 15.8 ppg

setelah monitoring di triptank hilang lumpur sudah tidak terdeteksi, pemboran dapat

di lanjutkan sampai ke total depth.


BAB VI

KESIMPULAN

Berdasarkan evaluasi metoda penanggulangan masalah kehilangan lumpur

(loss circulation) pada Sumur “F-1” Lapangan “F” di lubang bor 17-1/2” dan 8-1/2”,

didapat kesimpulan sebagai berikut :

1. Pemboran Sumur “F-1” merupakan sumur berarah, dimana operasi pemboran

sumur pada trayek 17-1/2” menembus Formasi Cisubuh dan Trayek 8-1/2”

menembus Formas Parigi yang menyebabkan terjadinya loss circulation.

2. Berdasarkan data Leak Of Test (LOT) yang dilakukan di kedalaman 1114 ft

MD, formasi akan rekah pada 722,61 psi dan LOT selanjutnya pada

kedalaman 3060 ft MD formasi akan rekah pada 1472,33 psi, data LOT ini

digunakan sebagai batasan evaluasi dari tekanan hidrostatik, ECD, BHCP

dan pressure surge

3. Pada pemboran Sumur “F-1” faktor mekanis seperti tekanan hidrostatik,

equivalent circulating density (ECD),bottom hole circulating pressure

(BHCP), maupun pressure surge masih berada di bawah tekanan rekah

formasi, sehingga faktor mekanis dari pemboran bukan penyebab dari

terjadinya hilang sirkulasi disumur tersebut.

4. Pada pengerjaan lubang bor 17-1/2” pada kedalaman 935 ft MD dan 1119 ft

MD penanggulangan loss circulation dilakukan dengan menyumbatkan 40

ppb LCM CaCO3 dan 60 ppb LCM CaCO3, pencegahan dengan LCM utuk

67
68

trayek 17-1/2” berhasil menanggulangi hilang lumpur.

5. Pada pengerjaan lubang bor 8-1/2” di kedalaman 3338 ft MD / 1972 ft TVD

penanggulangan loss circulation pada kedalaman tersebut dilakukan

pencegahan dengan LCM 40 ppb CaCO3, loss baru berhasil ditanggulangi

dengan penyumbatan cement plug sebanyak 50 bbl dengan 2 kali

penyemenan.
DAFTAR PUSTAKA

1. AADE. 2014. “Review of Lost Circulation Materials and Treatments with

an Updated Classification”, Guston, Texas.

2. Teknik Perminyakan, FTKE. Penuntun Praktikum Laboratorium Konservasi

Peralatan Bor & Produksi. Jakarta: Universitas Trisakti.

3. Jurusan Teknik Perminyakan. 2001. Penuntun Praktikum Teknik Lumpur

Pemboran, Laboratorium Teknik Pemboran dan Produksi. Jakarta.

4. Rabia H. 1985. Oil Well Drilling Engineering Principles and Practices,

Graham Trotman, Newcastle: University of New Castle Upon Tyne Graham

Trotman

5. Rubiandini, Rudi. 2012. Teknik Operasi Pemboran. Bandung: Departemen

Teknik Perminyakan, ITB.

6. Rubiandini, Rudi. 2012. Teknik Pemboran Lanjut. Bandung: Departemen

Teknik Perminyakan, ITB.

7. Schmidt, Don. 2010. Basic Drilling Technology. Tulsa, Oklahoma:

PetroSkill

8. Supriyanto, Joko. 2014. Evaluasi Problem Hilang Sirkulasi Lumpur Pada

Pemboran Sumur X Lapangan Y. Tugas Akhir. Jakarta.

9. PHE ONWJ. 2015. “Daily Drilling Report”, Unpublished, Jakarta,

Indonesia.

10. Drilling Formulas. Surge and Swab Calculation Method.

http://www.drillingformulas.com/surge-and-swab-calculation-method-1/

69
70

11. Candra, Doni. 2013. Lost Circulation.

http://kulitambangdsf.blogspot.co.id/2013/07/lost-circulation_22.html

12. SPE International. 2015. Lost Circulation.

http://petrowiki.org/Lost_circulation

13. Science for a Changing World. 2016. Vertical Flowmeter Logging.

https://water.usgs.gov/ogw/bgas/flowmeter/

14. Schlumberger Oilfield Glossary. Lost Circulation Material.

http://www.glossary.oilfield.slb.com/Terms/l/lost-circulation_material.aspx
DAFTAR SIMBOL

A = Luas Penampang Aliran, m2

BHCP = Bottom Hole Circulating Pressure, psi

D = Kedalaman, ft

Di = Diameter lubang bor/dalam casing, in

Do = Diameter luar pipa, in

ECD = Equivalent Circlating Density, ppg

Gf = Gradient Tekanan Formasi, psi/ft

Gfrac = Gradient Tekanan Rekah Formasi, psi/ft

K = Indeks Konsistensi, dimensionless

L = Panjang drill string, ft

MW = Densitas lumpur, ppg

MD = Measured Depth, ft

n = Indeks Aliran, dimensionless

Pf = Tekanan Formasi, psi

Pfr = Tekanan Rekah Formasi, psi

Ph = Tekanan Hidrostatik, psi

Ps = Pressure Loss, psi

Psurface = Tekanan Permukaan, psi

P surge = Tekanan Surge, psi

PV = Plastic Viscosity, cp

TVD = True Vertical Depth, ft

71
72

DAFTAR SIMBOL

(Lanjutan)

Q = Laju Alir, gpm

SG = Spesific Gravity

V = Fluid Velocity, ft/min

Va = Kecepatan Rata-Rata Annulus, ft/min

Vc = Kecepatan Kritis, ft/min

Vm = Kecepatan Pipa Maksimum, ft/min

YP = Yield Point, Lb/100 ft2

∆𝑝 = Kehilangan Tekanan, psi

𝜃300 = Dial Reading 300 RPM

𝜃600 = Dial Reading 600 RPM


LAMPIRAN A

PERHITUNGAN ESTIMASI TEKANAN REKAH FORMASI

BERDASARKAN LEAK OFF TEST PADA KEDALAMAN

1114 FT MD DAN 3060 FT TVD

73
74

LAMPIRAN A

PERHITUNGAN TEKANAN REKAH FORMASI BERDASARKAN

LEAK OFF TEST

Perhitungan tekanan rekah formasi dilakukan agar dapat mengetahui pada

tekanan berapa formasi akan mulai rekah, sehingga dapat dijadikan batasan

terhadap tekanan hidrostatik, ECD, BHCP maupun pressure surge agar tidak

melebihi tekanan rekah.

LEAK OFF TEST 1

Kedalaman : 1114 ft MD / 1102 ft TVD

Densitas Lumpur : 10,9ppg

Tekanan permukaan : 98 psi

 Perhitungan Tekanan rekah formasi

Pfr = (0,052 x MW x D) + Psurface

= (0,052 x 10,9 x 1102) + 98

= 722,62 psi

 Perhitungan berat lumpur maksimum (EMWmax)

EMWmax = Pfr / (0,052 x D)

= 722.62 / (0,052 x 1102)

= 12,61 ppg

 Perhitungan gradient tekanan formasi

Gfrac = EMWmax x 0,052

= 12,61 x 0,052
75

= 0,655 psi/ft

LEAK OFF TEST 2

Kedalaman : 3060 ft MD / 1914 ft TVD

Densitas Lumpur : 12 ppg

Tekanan permukaan : 278 psi

 Perhitungan Tekanan rekah formasi

Pfr = (0,052 x MW x D) + Psurface

= (0,052 x 12,2 x 1914) + 278

= 1472,34 psi

 Perhitungan berat lumpur maksimum (EMWmax)

EMWmax = Pfr / (0,052 x D)

= 1472,34 / (0,052 x 1914)

= 14,79 ppg

 Perhitungan gradient tekanan formasi

Gfrac = EMWmax x 0,052

= 14,79 x 0,052

= 0,76 psi/ft

 Perhitungan tekanan rekah pada Sumur “F-1”

a. Kedalaman 935 ft MD / 928 ft TVD

Pfr = Gfrac x D

= 0,655 x 928 = 608,51psi


76

EMW = Pfr / (0,052 x D)

= 608,51 / (0,052 x 928) = 12,61 ppg

b. Kedalaman 1119 ft MD / 1104 ft TVD

Pfr = Gfrac x D

= 0,655 x 1104 = 723,92 psi

EMW = Pfr / (0,052 x D)

= 723,92 / (0,052 x 1104) = 12,61 ppg

c. Kedalaman 3338 ft MD / 1972 ft TVD

Pfr = Gfrac x D

= 0,76 x 1972 = 1516,95 psi

EMW = Pfr / (0,052 x D)

= 1516,95 / (0,052 x 1972) = 14,79 ppg


LAMPIRAN B

PERHITUNGAN TEKANAN HIDROSTATIK (Ph) DAN TEKANAN

FORMASI (Pf) PADA SETIAP ZONA HILANG SIRKULASI

77
78

LAMPIRAN B

PERHITUNGAN TEKANAN HIDROSTATIK (Ph) DAN TEKANAN

FORMASI (Pf) PADA SETIAP ZONA HILANG SIRKULASI

Berikut merupakan perhitungan tekanan hidrostatik pada saat terjadi

hilang sirkulasi dan perhitungan tekanan formasi berdasarkan kedalaman saat

terjadi hilang sirkulasi yang dihitung dengan metode d-exponent.

Tekanan hidrostatik

Ph = 0,052 x MW x D

Tekanan formasi

Nilai d-exponent normal :

𝑅
log (60𝑥𝑁 )
𝑑=
12𝑥𝑊
log ( )
1000𝑥𝑑𝑏

Nilai d-exponent koreksi :

9
𝑑𝑐 = 𝑑
𝑀𝑊

Nilai equivalent mud weight tekanan formasi

9𝑑
𝐸𝑀𝑊 = − 0,3
𝑑𝑐

 Hilang sirkulasi pada Sumur “F-1”

 Kedalaman 935 ft MD / 928 ft TVD

a. Perhitungan tekanan hidrostatik (MW = 9)

Ph = 0,052 x 9 x 928
79

= 434,30 psi

b. Perhitungan tekanan formasi

Rotary speed = 40 Rpm ROP = 118.5 ft/hrs

WOB = 9 Klbs Diameter Bit = 9,625 Inch

40
log ( )
60𝑥119,5
𝑑= = 0,756
12𝑥9
log ( )
1000𝑥9,625

9
𝑑𝑐 = 0,756 𝑥 = 0,756
9

9 𝑥 0,756
𝐸𝑀𝑊 = − 0,3 = 8,7 𝑝𝑝𝑔
0,756

𝑃𝑓 = 0,052 𝑥 8,7 𝑥 928 = 419,82 𝑝𝑠𝑖

 Kedalaman 1119 ft MD / 1104 ft TVD

a. Perhitungan tekanan hidrostatik (MW = 9)

Ph = 0,052 x 9 x 1104

= 528,15 psi

b. Perhitungan tekanan formasi

Rotary speed = 40 Rpm ROP = 132,6 ft/hrs

WOB = 15 Klbs Diameter Bit = 9,625 in

40
log (60𝑥132,6)
𝑑= = 0,727
12𝑥9
log ( )
1000𝑥9,625

9
𝑑𝑐 = 0,756 𝑥 = 0,727
9
80

9 𝑥 0,727
𝐸𝑀𝑊 = − 0,3 = 8,7 𝑝𝑝𝑔
0,727

𝑃𝑓 = 0,052 𝑥 8,7 𝑥 1104 = 499,44 𝑝𝑠𝑖

 Kedalaman 3338 ft MD / 1972 ft TVD

a. Perhitungan tekanan hidrostatik (MW = 9,2)

Ph = 0,052 x 9,2 x 1972

= 943,40 psi

b. Perhitungan tekanan formasi

Rotary speed = 70 Rpm ROP = 130 ft/hrs

WOB = 10 Klbs Diameter Bit = 7,5 in

70
log (60𝑥130)
𝑑= = 0,84
12𝑥9,2
log ( )
1000𝑥7,5

9
𝑑𝑐 = 0,84 𝑥 = 0,82
9,2

9 𝑥 0,84
𝐸𝑀𝑊 = − 0,3 = 8,9 𝑝𝑝𝑔
0,82

𝑃𝑓 = 0,052 𝑥 8,9 𝑥 1972 = 912,64 𝑝𝑠𝑖


LAMPIRAN C

PERHITUNGAN EQUIVALENT CIRCULATING DENSITY (ECD)

DAN

BOTTOM HOLE CIRCULATING PRESSURE (BHCP)

81
82

LAMPIRAN C

Perhitungan Equivalent Circulating Density dan Bottom Hole Circulating

Pressure Pada Sumur F-1

Berikut merupakan perhitungan equivalent circulating density dan bottom

hole circulatinng pressure pada saat pemboran di zona hilang sirkulasi sehingga

dapat diketahui apakah ECD dan BHCP melewati tekanan rekah formasi atau

tidak.

*Dihitung dengan persamaan (3.10), (3.11), (3.12), (3.13), (3.14), dan (3.15).

 Sumur “F-1” kedalaman 935 ft MD

MW = 9 ppg Hole = 17,5”

PV = 12 cp

YP = 23 lb/100ft2

Q = 1000 gpm

1. Kecepatan aliran lumpur di annulus

a. Antara lubang bor dengan poney monel

24.5 𝑥 1000
𝑉𝑎 = = 101,14 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 82 )

b. Antara lubang bor dengan LWD

24.5 𝑥 1000
𝑉𝑎 = = 103,95 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 8,42 )

c. Anatara lubang bor dengan MWD

24.5 𝑥 1000
𝑉𝑎 = = 103,95 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 8,42 )
83

d. Antara lubang bor dengan NMDC

24.5 𝑥 1000
𝑉𝑎 = = 98 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 7,52 )

e. Antara lubang bor dengan UBHO

24.5 𝑥 1000
𝑉𝑎 = = 101,14 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 82 )

i. Antara lubang dengan XO sub

24.5 𝑥 1000
𝑉𝑎 = = 100,28 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 7,872 )

j. Antara lubang bor dengan HWDP

24.5 𝑥 1000
𝑉𝑎 = = 90,66 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 62 )

k. Antara lubang bor dengan drilling jar

24.5 𝑥 1000
𝑉𝑎 = = 92,80 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 6,52 )

l. Antara lubang bor dengan HWDP

24.5 𝑥 1000
𝑉𝑎 = = 87,11 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 52 )

2. Kecepatan kritis di annulus

a. Antara lubang bor dengan poney monel


1 0,4
( ) ( )
3.878 𝑥 104 𝑥 2,78 2−0,4 2.4𝑥 (2𝑥0,4 + 1) 2−0,4
𝑉𝑐 = ( ) 𝑥 ( ) = 282,32𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
9 (17,5 − 8) 𝑥 3𝑥0,4

b. Antara lubang bor dengan LWD


1 0,4
( ) ( )
3.878 𝑥 104 𝑥 2,78 2−0,4 2.4𝑥 (2𝑥0,4 + 1) 2−0,4
𝑉𝑐 = ( ) 𝑥 ( ) = 285,43𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
9 (17,5 − 8,4) 𝑥 3𝑥0,4
84

c. Anatara lubang bor dengan MWD


1 0,4
( ) ( )
3.878 𝑥 104 𝑥 2,78 2−0,4 2.4𝑥 (2𝑥0,4 + 1) 2−0,4
𝑉𝑐 = ( ) 𝑥 ( ) = 285,43𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
9 (17,5 − 8,4) 𝑥 3𝑥0,4

d. Antara lubang bor dengan NMDC


1 0,4
( ) ( )
3.878 𝑥 104 𝑥 2,78 2−0,4 2.4𝑥 (2𝑥0,4 + 1) 2−0,4
𝑉𝑐 = ( ) 𝑥 ( ) = 278,66𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
9 (17,5 − 7,5) 𝑥 3𝑥0,4

e. Antara lubang bor dengan UBHO


1 0,4
( ) ( )
3.878 𝑥 104 𝑥 2,78 2−0,4 2.4𝑥 (2𝑥0,4 + 1) 2−0,4
𝑉𝑐 = ( ) 𝑥 ( ) = 282,32𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
9 (17,5 − 8) 𝑥 3𝑥0,4

f. Antara lubang bor dengan XO sub


1 0,4
( ) ( )
3.878 𝑥 104 𝑥 2,78 2−0,4 2.4𝑥 (2𝑥0,4 + 1) 2−0,4
𝑉𝑐 = ( ) 𝑥 ( ) = 281,35𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
9 (17,5 − 7,87) 𝑥 3𝑥0,4

g. Antara lubang bor dengan HWDP


1 0,4
( ) ( )
3.878 𝑥 104 𝑥 2,78 2−0,4 2.4𝑥 (2𝑥0,4 + 1) 2−0,4
𝑉𝑐 = ( ) 𝑥 ( ) = 268,92𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
9 (17,5 − 6) 𝑥 3𝑥0,4

h. Antara lubang bor dengan drilling jar


1 0,4
( ) ( )
3.878 𝑥 104 𝑥 2,78 2−0,4 2.4𝑥 (2𝑥0,4 + 1) 2−0,4
𝑉𝑐 = ( ) 𝑥 ( ) = 271,98𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
9 (17,5 − 6,5) 𝑥 3𝑥0,4

i. Antara lubang bor dengan HWDP


1 0,4
( ) ( )
3.878 𝑥 104 𝑥 2,78 2−0,4 2.4𝑥 (2𝑥0,4 + 1) 2−0,4
𝑉𝑐 = ( ) 𝑥 ( ) = 263,28𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
9 (17,5 − 5) 𝑥 3𝑥0,4

3. Menentukan kehilangan tekanan

a. Antara lubang bor dengan poney monel

2.4 𝑥 101,14 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 41,76


∆𝑝 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,1787𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 8) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 8)

b. Antara lubang bor dengan LWD


85

2.4 𝑥 103,95 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 61,19


∆𝑝 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,2813𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 8,4) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 8,4)

c. Anatara lubang bor dengan MWD

2.4 𝑥 103,95 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 88,72


∆𝑝 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,4078𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 8,4) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 8,4)

d. Antara lubang bor dengan NMDC

2.4 𝑥 98 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 119,72


∆𝑝 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,4706𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 7,5) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 7,5)

e. Antara lubang bor dengan UBHO

2.4 𝑥 101,14 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 122,3


∆𝑝 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,5234𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 8) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 8)

f. Antara lubang bor dengan XO sub

2.4 𝑥 100,28 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 125,35


∆𝑝 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,5245𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 7,87) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 7,87)

g. Antara lubang bor dengan HWDP

2.4 𝑥 90,66 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 306,66


∆𝑝 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,9597𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 6) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 6)

h. Antara lubang bor dengan drilling jar

2.4 𝑥 92,8 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 338,81


∆𝑝 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 1,1394𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 6,5) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 6,5)

i. Antara lubang bor dengan HWDP

2.4 𝑥 87,11 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 689,23


∆𝑝 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 1,8875𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 5) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 5)

4. Kehilangan tekanan total di annulus

∆𝑃𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 0,0087 + 0,1865 + 0,1449 + 0,1787 + 0,2813 + 0,4078

+ 0,4706 + 0,5234 + 0,5245 + 0,9597 + 1,1394 + 1,8875

= 6,704 𝑝𝑠𝑖
86

5. Menentukan equivalent circulating density (ECD)

∆𝑃𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
𝐸𝐶𝐷 = + 𝑀𝑊
0,052 𝑥 𝑇𝑉𝐷

6,704
𝐸𝐶𝐷 = + 9 = 9,13 𝑝𝑝𝑔
0,052 𝑥 935

6. Menentukan bottom hole circulating pressure (BHCP)

𝐵𝐻𝐶𝑃 = 0,052 𝑥 9,13 𝑥 935 = 440,67 𝑝𝑠𝑖

Untuk selanjutnya perhitungan ECD dan BHCP pada kedalaman 1119 ft

MD dan 3338 ft MD menggunakan metode perhitungan yang sama dengan

kedalaman 935. Untuk data-data yang digunakan dan diperoleh dari daily mud

report sebagai berikut :

 Kedalaman 1119 ft MD

MW = 9 ppg Hole = 17,5 in

PV = 13 cp Q = 900 gpm

YP = 27 lb/100ft2

 Kedalaman 3338 ft MD

MW = 9,2 ppg Hole = 8,5 in

PV = 15 cp Q = 350 gpm

YP = 26 lb/100ft2
LAMPIRAN D

PERHITUNGAN PRESSURE SURGE

87
88

LAMPIRAN D

PERHITUNGAN PRESSURE SURGE SUMUR “F-1”

Berikut merupakan perhitungan pressure surge yang dilakukan pada saat

proses pemboran shingga dapat diketahui apakah tekanan surge ini melewati dari

tekanan rekah atau tidak. Dihitung dengan persamaan (3.8), (3.9), (3.26), (3.27),

(3.28), (3.29).

 Perhitungan pressure surge Sumur “F-1”

Depth = 935 ft MD

Θ 600 = 53

Θ 300 = 40

Hole = 17,5 in

1. Menghitung nilai n dan k

Θ 600
𝑛 = 3,32 log
Θ 300

53
𝑛 = 3,32 log = 0,40
40

Θ 600
𝑘=
5110,4

53
𝑘= = 2,78
5110,4

2. Menghitung fluid velocity (V) dan maximum pipe velocity (Vm)

a. Antara lubang bor dengan poney monel

24.5 𝑥 1000
𝑉= = 101,14 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 82 )

𝑉𝑚 = 1,5 𝑥 101,14 = 151,70 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛


89

b. Antara lubang bor dengan LWD

24.5 𝑥 1000
𝑉= = 103,95 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 8,42 )

𝑉𝑚 = 1,5 𝑥 103,95 = 155,92 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛

c. Anatara lubang bor dengan MWD

24.5 𝑥 1000
𝑉= = 103,95 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 8,42 )

𝑉𝑚 = 1,5 𝑥 103,95 = 155,92 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛

d. Antara lubang bor dengan NMDC

24.5 𝑥 1000
𝑉= = 98 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 7,52 )

𝑉𝑚 = 1,5 𝑥 98 = 147 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛

e. Antara lubang bor dengan UBHO

24.5 𝑥 1000
𝑉= = 101,14 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 82 )

𝑉𝑚 = 1,5 𝑥 101,14 = 151,70 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛

i. Antara lubang dengan XO sub

24.5 𝑥 1000
𝑉= = 100,28 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 7,872 )

𝑉𝑚 = 1,5 𝑥100,28 = 150,42 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛

j. Antara lubang bor dengan HWDP

24.5 𝑥 1000
𝑉= = 90,66 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 62 )

𝑉𝑚 = 1,5 𝑥90,66 = 135,98𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛

k. Antara lubang bor dengan drilling jar


90

24.5 𝑥 1000
𝑉= = 92,80 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 6,52 )

𝑉𝑚 = 1,5 𝑥92,80 = 139,20 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛

l. Antara lubang bor dengan HWDP

24.5 𝑥 1000
𝑉= = 87,11 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛
(17,52 − 52 )

𝑉𝑚 = 1,5 𝑥87,11 = 130,66 𝑓𝑡/𝑚𝑖𝑛

3. Menghitung kehilangan tekanan (Ploss)

a. Antara lubang bor dengan poney monel

2.4 𝑥 101,14 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 41,76


𝑃𝑠 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,1787𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 8) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 8)

b. Antara lubang bor dengan LWD

2.4 𝑥 103,95 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 61,19


𝑃𝑠 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,2813𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 8,4) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 8,4)

c. Anatara lubang bor dengan MWD

2.4 𝑥 103,95 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 88,72


𝑃𝑠 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,4078𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 8,4) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 8,4)

d. Antara lubang bor dengan NMDC

2.4 𝑥 98 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 119,72


𝑃𝑠 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,4706𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 7,5) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 7,5)

e. Antara lubang bor dengan UBHO

2.4 𝑥 101,14 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 122,3


𝑃𝑠 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,5234𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 8) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 8)

f. Antara lubang bor dengan XO sub

2.4 𝑥 100,28 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 125,35


𝑃𝑠 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,5245𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 7,87) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 7,87)

g. Antara lubang bor dengan HWDP


91

2.4 𝑥 90,66 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 306,66


𝑃𝑠 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 0,9597𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 6) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 6)

h. Antara lubang bor dengan drilling jar

2.4 𝑥 92,8 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 338,81


𝑃𝑠 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 1,1394𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 6,5) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 6,5)

i. Antara lubang bor dengan HWDP

2.4 𝑥 87,11 2𝑥0,4 + 1 0,4 2,78 𝑥 689,23


𝑃𝑠 = [ 𝑥 ( )] 𝑥 = 1,8875𝑝𝑠𝑖
(17,5 − 5) 3𝑥0,4 300 𝑥 ( 17,5 − 5)

4. Menghitung tekanan surge total

𝑃𝑠 = 0,010 + 0,219 + 0,170 + 0,210 + 0,33 + 0,48 + 0,55 + 0,62 + 0,61

+ 1,13 + 1,34 + 2,22 = 7,51 𝑝𝑠𝑖

5. Menghitung Pressure surge

𝑃 𝑆𝑢𝑟𝑔𝑒 = 𝑃 ℎ𝑖𝑑𝑟𝑜𝑠𝑡𝑎𝑡𝑖𝑘 + 𝑃𝑙𝑜𝑠𝑠 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

𝑃 𝑆𝑢𝑟𝑔𝑒 = 434,3 + 7,91 = 441,81 𝑝𝑠𝑖

Untuk perhitungan pressure surge pada kedalaman 1119 ft MD dan 3338

ft MD menggunakan metode perhitungan yang sama dengan Sumur “F-1”.

 Untuk kedalaman 1119 ft MD

Depth = 1119 ft MD Hole = 17,5 in

Θ 600 = 62

Θ 300 = 45

 Untuk kedalaman 3338 ft MD

Depth = 3338 ft MD Hole = 8,5 in

Θ 600 = 46

Θ 300 = 35

Anda mungkin juga menyukai