Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH MATA KULIAH

GEOFISIKA
MAGNETOTELURIK

Disusun oleh:
Chita A. U. Sipahutar 21100115120004
Senia Rahayu 21100115120018
Rinita Angraini Ginting 21100115120030
Arief Allam Mardani 21100115130052
Yoga Murbha Bhantala 21100115130064
Fanendra Priutama
Alamshah
Satria Dirgantara

DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG
OKTOBER 2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Survey geofisika terutama dimaksudkan untuk memperoleh informasi
mengenai distribusi parameter-parameter fisik bawah permukaan seperti
kecepatan gelombang elastik, rapat massa, kemagnetan, kelistrikan dan lain lain
dari hasil pengukuran efeknya di permukaan bumi atau tempat lain yang dapat
dijangkau (lubang bor atau tambang bawah tanah). Dalam survey geofisika
menggunakan metoda elektromagnetik (EM) sifat fisik yang relevan adalah
konduktivitas atau resistivitas (tahanan-jenis) batuan.
Beberapa studi menunjukkan adanya kaitan erat antara tahanan-jenis
dengan porositas, kandungan fluida (air atau gas) dan temperatur formasi batuan.
Pengaruh masing-masing faktor tersebut terhadap tahanan-jenis formasi batuan
sangat kompleks karena dapat saling tumpang-tindih (overlap). Namun secara
umum porositas tinggi yang disertai kandungan gas biasanya dicirikan oleh
tahanan-jenis yang relatif lebih tinggi. Sebaliknya jika fluidanya berupa air
dengan temperatur tinggi −seperti dijumpai di daerah prospek geotermal − maka
hal tersebut dapat berasosiasi dengan daerah bertahanan jenis rendah. Dengan
demikian pada taraf tertentu metoda EM dapat digunakan untuk keperluan
eksplorasi sumber daya alam seperti mineral, minyak dan gas bumi, geotermal
serta untuk keperluan studi permasalahan lingkungan.
Metoda magnetotellurik (MT) merupakan salah satu metoda eksplorasi
geofisika yang memanfaatkan medan elektromagnetik alam. Medan EM tersebut
ditimbulkan oleh berbagai proses fisik yang cukup kompleks sehingga spektrum
frekuensinya sangat lebar (10-5 Hz - 104 Hz). Pada frekuensi yang cukup rendah
(kurang dari 1 Hz), solar wind yang mengandung partikel-partikel bermuatan
listrik berinteraksi dengan medan magnet permanen bumi sehingga menyebabkan
variasi medan EM. Variasi pada jangkah frekuensi audio (audio frequency band,
di atas 1 Hz) terutama disebabkan oleh aktivitas meteorologis berupa petir. Petir
yang terjadi di suatu tempat menimbulkan gelombang EM yang terperangkap
antara ionosfer dan bumi (wave guide) dan menjalar mengitari bumi.
Kebergantungan fenomena listrik − magnet terhadap sifat kelistrikan
terutama konduktivitas medium (bumi) dapat dimanfaatkan untuk keperluan
eksplorasi menggunakan metoda MT. Hal ini dilakukan dengan mengukur secara
simultan variasi medan listrik (E) dan medan magnet (H) sebagai fungsi waktu.
Informasi mengenai konduktivitas medium yang terkandung dalam data MT
dapat diperoleh dari penyelesaian persamaan Maxwell menggunakan model-
model yang relatif sederhana. Pada dekade 50-an untuk pertama kali hal tersebut
dilakukan dan dibahas secara terpisah olehTikhonov (1950), Rikitake (1946),
Price (1950), Kato dan Kikuchi (1950), Cagniard (1953) dan Wait (1954) yang
kemudian menjadi dasar metoda MT. Dengan demikian metoda ini masih relatif
baru jika dibandingkan dengan metoda geofisika lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


 Apa yang dimaksud dengan metode geofisika magnetotelurik?
 Bagaimana prinsip dasar metode magnetotelurik dalam penggunaannya?
 Pada studi kasus dalam makalah ini, manfaat atau aplikasi dalam bidang apa
yang menggunakan metode magnetotelurik?

1.3 Maksud dan Tujuan


 Untuk mengetahui metode geofisika magnetotelurik secara umum dan secara
khusus
 Mengetahui prinsip kerja metode magnetotelurik
 Mengetahui aplikasi yang menggunakan metode magnetotelurik melalui
studi kasus
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Magnetotellurik (MT) adalah metode pasif yang mengukur arus listrik alami
dalam bumi, yang dihasilkan oleh induksi magnetik dari arus listrik di ionosfer.
Metode ini dapat digunakan untuk menentukan sifat listrik bahan pada
kedalaman yang relatif besar (termasuk mantel) di dalam bumi. Dengan teknik
ini, variasi waktu pada potensi listrik diukur pada stasiun pangkalan dan stasiun
survei. Perbedaan pada sinyal tercatat digunakan untuk memperkirakan distribusi
resistivitas listrik bawah permukaan. Teknik prospeksi tahanan listrik untuk
menentukan kedalaman formasi batuan sedimen yang berada jauh di dalam bumi
dengan cara mengukur tahanan jenis formasi batuan tersebut berdasarkan
pengukuran serempak medan listrik dan medan magnet yang berosilasi pada
lokasi yang sama, yaitu dengan mencatat rentang frekuensi yang tergantung dari
kedalaman sasaran.

2.2 Prinsip Pengukuran


Komponen-komponen yang digunakan pada pengukuran MT terdiri dari
sensor-sensor yang dapat digunakan untuk mengukur medan magnet dan medan
listrik. Sensor-sensor tersebut terdiri dari sensor magnetik (coil) dan sensor
elektrik (porospout). Sensor elektrik yang digunakan berjumlah 5 buah yang
masing-masing ditempatkan pada arah utara,selatan,timur, barat dan satu lagi
pada bagian tengah dari keempat tersebut. dan sensor magnetik berjumlah 3
buah dan diletakkan sejajar dengan sumbu x , sejajar dengan sumbu y dan
dikubur dengan arah vertikal.
Selain itu alat MT unit (Phoenix) yang dapat merekam data dan menyimpan
data dan ditambah dengan adanya GPS untuk sinkronisasi waktu pada saat
pengukuran (Lendra, 2003). Sebelum melakukan pengambilan data MT, terlebih
dahulu dilakukan survey geologi daerah prospek. Dalam kondisi ideal, jika
struktur 2D yang dominan diketahui melalui survey geologi atau geofisika
sebelumnya, maka porospout Ey dan Coil. Hy sebaiknya diarahkan tegak lurus
terhadap struktur, sedangkan asangan porospout Ex dan Hx disejajarkan dengan
struktur. Dalam penelitian ini, penulis tidak melakukan akuisisi data. Data yang
digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Tim Survey Non Navigasi
Seismik, Divisi Geosains, Elnusa.

2.3 Pengambilan Data Lapangan


Pada dasarnya pengambilan data di daerah survey (data acquisition) MT
dilakukan untuk mengetahui variasi medan EM terhadap waktu, yaitu dengan
mengukur secara simultan komponen horisontal medan listrik (Ex, Ey) dan
medan magnet (Hx , Hy). Sebagai pelengkap diukur pula komponen vertikal
medan magnet (Hz). Oleh karena itu, alat ukur MT terdiri dari tiga sensor sinyal
magnetik (magnetometer) dan dua pasang sensor sinyal listrik (elektroda) beserta
unit penerima yang berfungsi sebagai pengolah sinyal dan perekam data.
Magnetometer yang biasa digunakan adalah tipe induksi dengan sensitivitas
tinggi (~ 50 mV/nT) mengingat lemahnya sinyal magnetik. Elektroda potensial
sebaiknya dari jenis non-polarizable porous-pot Cu - CuSO4 dengan kestabilan
yang tinggi terutama terhadap perubahan temperatur karena pengukuran data MT
memerlukan waktu yang relatif lama dibanding dengan pengukuran potensial
pada survey geolistrik tahanan-jenis. Elektroda jenis Pb - PbCl2 atau Cd - CdCl2
jarang digunakan, disamping mahal juga dapat mencemari lingkungan.
Unit penerima terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian analog dan bagian
digital sesuai dengan bentuk data yang terdapat di dalamnya. Padabagian analog
terdapat dua jenis filter yaitu RFI (radio frequency interference) dan notch filters
masing-masing untuk mengeliminasi gangguan atau interferensi dari frekuensi
radio dan frekuensi jala-jala listrik dan harmonik-nya (50, 60, 150 dan 180 Hz
atau konfigurasi lain). Khusus kanal elektrik dilengkapi pula dengan
pengkompensasi SP (self-potential).
Band-pass filter pada bagian digital berguna untuk memilah sinyal kedalam
3 jangkah frekuensi (LF, MF dan HF masing-masing untuk low, medium dan
high frequency bands) yang saling tumpang-tindih. Hal ini dimaksudkan untuk
menerapkan amplifikasi dengan Gain yang sesuai dengan karaketristik sinyal
pada masing-masing jangkah frekuensi.
Sebelum direkam dalam bentuk numerik (digital), sinyal analog didigitasi
dengan frekuensi pencuplikan (sampling frequency) yang sesuai dengan jangkah
frekuensinya agar tidak terjadi aliasing pada saat rekonstruksi sinyal tersebut
untuk mendapatkan informasi yang dikandungnya. Oleh karena itu biasanya
digunakan frekuensi pencuplikan 2 sampai 4 kali frekuensi yang paling besar.
Setelah melalui Analog to Digital (A/D) converter, data direkam dalam
media penyimpanan data seperti pita magnetik atau magneto-optic disk dengan
menggunakan representasi 16 bit (binary digit) atau lebih untuk menjamin
ketelitian.
Unit penerima dilengkapi pula dengan alat monitor sinyal yang dapat
secara langsung (real time) mengontrol kualitas data yang direkam. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari perekaman data yang banyak mengandung
bising seperti pada saat adanya badai magnetik, gangguan lokal dan sebagainya.

2.4 Aplikasi Metode Magnetotelurik Berdasarkan Studi Kasus


a. Studi kasus I
Pada studi kasus ini mengangkat tema mengenai Aplikasi Metode
Magnetotelurik Untuk Pendugaan Reservoir Panas Bumi (Studi Kasus:
Daerah Mata Air Cubadak, Sumatera Barat).
Data hasil perekaman dengan metode magnetotellurik di daerah mata
air panas Cubadak, Sumatera Barat telah diolah dengan perangkat lunak
pengolahan data MT. Hasil pengolahan data berupa gambar sebaran
resistivitas pada lintasan yang dipilih terhadap kedalaman. Letak batuan
penudung, reservoir dan patahan dapat ditentukan pada gambar lintasan
tersebut. Hasil pengolahan data berupa pemodelan yang ditampilkan dalam
gambar nilai resistivitas terhadap kedalaman dan jarak antar titik ukur pada
lintasan yang telah ditentukan. Lintasan yang digunakan ada dua yaitu
lintasan Uutara-Selatan dengan 6 titik ukur dan lintasan Barat Daya-Timur
Laut dengan 7 titik ukur. Pada lintasan utara-selatan dapat diduga adanya
potensi panas bumi diantara titik ukur MTCB-16 dan MTCB-22 pada
kedalaman 1000 meter yang ditunjukkan dengan penurunan resistivitas dari
35-61 Ωm menjadi 15-27 Ωm. Pada lintasan barat daya timur laut terdapat
penurunan resistivitas dari 20-200 Ωm menjadi 5-12 Ωm di kedalaman
1000 meter yang diduga sebagai batuan penudung pada sistem panas bumi
di daerah mata air panas Cubadak.
Metode MT adalah metode sounding yang mengukur secara pasif
gelombang Elektromagnetik (EM) alami (Agung, 2009; Satrio dan
Koesuma 2012). Metode magnetotellurik memiliki jangkauan penetrasi
yang lebih dalam dibandingkan dengan metode geolistrik. Metode
magnetotelurik dapat mengetahui sebaran batuan dan lapisan di bawah
permukaan dengan melihat nilai resistivitasnya atau tahanan jenisnya
(Kadir, 2011). Selain itu model konseptual, luas dan batas reservoir panas
bumi dapat diketahui. Sumber sinyal untuk metode magnetotellurik adalah
medan magnetik yang berasal dari dalam dan luar bumi serta memiliki
rentang frekuensi yang bervariasi. Medan magnet yang berasal dari dalam
dikarenakan pergerakan antara mantel bumi terhadap inti bumi. Medan
magnet yang berasal dari luar bumi adalah medan magnet yang dihasilkan
di atmosfer dan magnetosfer (Agung, 2009; Kadir, 2011). Semua sumber
medan magnetik tersebut memiliki nilai yang bervariasi terhadap waktu,
tetapi yang dimanfaatkan pada Metode Magnetotellurik hanya medan
magnetik yang berasal dari luar bumi yang memiliki rentang frekuensi
lebih besar. Sumber magnetik yang berasal dari luar bumi yaitu seperti
peristiwa petir yang menyambar dan solar wind yang terjadi. Frekuensi
yang dihasilkan oleh peristiwa solar wind memiliki frekuensi lebih kecil
dari 1 Hz sehingga jarak tembus medan magnetic menjangkau kedalaman
yang cukup jauh (Simpson dan Bahr, 2005). Frekuensi yang dihasilkan
pada aktivitas petir atau kilat ialah diatas 1 Hz (Agung, 2009; Kadir, 2011).
Peristiwa ini terjadi di ionosfer dan menjalar hingga kepermukaan bumi.
Ketika mencapai permukaan bumi secara otomatis medan magnet bumi
akan mengalami perubahan. Jika perubahan medan magnet bumi terjadi
berulang kali maka akan menghasilkan fluks magnet yang menginduksi
arus listrik di bawah permukaan bumi dan menghasilkan medan magnet
sekunder yang akan direkam oleh alat MT (Kadir, 2011).
Gelombang EM yang masuk ke dalam permukaan bumi akan
mengalami peluruhan dari amplitudo awal yang disebut dengan istilah skin
depth. Skin depth adalah jarak (δ) sepanjang kuat medan listrik yang
teratenuasi oleh kuat medan listrik awal. Skin depth dapat dituliskan
dengan persamaan berikut (Kadir, 2011).
Hasil pengolahan data metode magnetotellurik satu dimensi berupa
grafik resistivitas semu dan fase terhadap frekuensi (grafik MT).
Berdasarkan gambar 3. Terlihat adanya gangguan pada data pengukuran
dengan melihat jarak antara grafik Rhoxy dan grafik Rhoyx yang cukup
jauh. Sehingga dilakukan pengolahan data pada grafik tersebut. Gambar 4.
merupakan hasil pengolahan data dengan gangguan pada data yang telah
berkurang.

Gambar 3. Grafik MT sebelum diedit: (a) Frekuensi terhadap


resistivitas semu; (b) Frekuensi terhadap
Fase

Data satu dimensi pada satu titik pengukuran tersebut akan di inversi
dan digabungkan dengan data titik pengukuran lainnya untuk menjadi satu
lintasan. Hasil pengolahan inversi data berupa gambar 2 dimensi nilai
resistivitas terhadap kedalaman.
Berdasarkan gambar 5. terlihat bahwa dari lapisan permukaan nilai
resistivitas berada pada rentang nilai 20 Ωm sampai dengan 200 Ωm.
Tetapi semakin dalam terdapat penurunan nilai resistivitas secara drastis.
Nilai resitivitas menurun menjadi 5 Ωm sampai dengan 12 Ωm pada
kedalaman kurang lebih 1000 meter. Ini menunjukkan pada kedalaman
tersebut terdapat dugaan sebaran batuan penudung panas bumi.
Berdasarkan susunan komponen panas bumi, maka di bawah sebaran
batuan penudung, diduga sebagai sebaran reservoir pada lintasan tersebut
dengan nilai resistivitas berada di antara 60 Ωm sampai dengan 180 Ωm.
Batuan dasar yang terdapat di bawah sebaran reservoir memiliki nilai
resistivitas 300 Ωm sampai dengan 700 Ωm
Lapisan penudung atau batuan penudung terbentuk karena adanya
proses hidrotermal yaitu proses yang terjadi akibat reaksi antara batuan asal
dengan fluida panas bumi (Saptaji, 2001). Semakin dalam nilai resistivitas
kembali naik dan semakin tinggi seiring bertambahnya kedalaman pada
pengukuran lintasan tersebut. Berdasarkan susunan lapisan pada sistem
panas bumi bahwa di bawah batuan penudung terdapat daerah reservoir
pada kedalaman kurang lebih 2000 sampai dengan 3000 meter. Pada
daerah reservoir terdapat perpindahan panas secara konveksi. Air akan
masuk ke bawah permukaan karena adanya gaya gravitasi dan ketika air
kontak dengan sumber panas maka akan terjadi perpindahan panas yang
menyebabkan temperatur air meningkat sehingga air menjadi lebih ringan
(Saptaji, 2001). Sumber panas berada di bawah reservoir sehingga air yang
megalir ke dalam daerah reservoir dapat meningkat suhunya dan bias
menjadi uap yang dapat keluar dari lapisan bawah permukaan tersebut.
Mata air panas Cubadak berada di dekat titik ukur MTCB-11, dimana
terlihat terdapat perbedaan nilai resistivitas dari arah barat daya ke timur
laut. Perbedaan nilai resistivitas ini dapat diduga bawah terdapat patahan di
bawah permukaan daerah tersebut. Ini didukung dengan munculnya mata
air panas Cubadak. Semakin kea rah timur laut nilai resistivitas di bawah
permukaan memiliki sebaran yang normal yaitu tidak terdapat penurunan
resistivitas terhadap kedalaman.

Berdasarkan gambar 6. terlihat bahwa dari lapisan permukaan nilai resistivitas


rendah berada di rentang 7 Ωm sampai dengan 20 Ωm. Semakin dalam terdapat
peningkatan nilai resistivitas secara perlahan. Tetapi pada lapisan bawah permukaan
antara titik ukur MTCB-16 dan MTCB-22 terdapat perbedaan resistivitas yang
menurun pada kedalaman sekitar 1000 meter. Resistivitas permukaan pada lintasan
antara titik ukur MTCB-16 dan MTCB-22 berada disekitar nilai 35 Ωm sampai
dengan 61 Ωm. Pada kedalaman 1000 meter di daerah tersebut terdapat penurunan
resistivitas menjadi antara nilai 15 Ωm sampai dengan 27 Ωm dan nilai resistivitas
tersebut merambat ke arah selatan (arah titik ukur MTCB-22). Ini bisa menjadi
dugaan awal mengenai sebaran panas bumi pada lintasan Utara-Selatan. Dugaan
batuan dasar pada lintasan ini memiliki nilai resistivtas sebesar 300 Ωm sampai
dengan 500 Ωm. Pada daerah sekitar titik ukur MTCB-22 juga muncul mata air panas
sawah mudik. Sehingga ini dapat diidentifikasi sebagai pengaruh dari keberadaan
mata air panas tersebut.
Pada lapisan bawah permukaan titik ukur MTCB-16 juga terdapat dugaan
sebaran dari batuan penudung dengan nilai resistivitas sebesar 9 Ωm sampai dengan
20 Ωm dan sebaran reservoir dengan nilai resistivitas sebesar 27 Ωm sampai dengan
80 Ωm. Dapat diduga bahwa bentuk batuan penudung tersebar hingga ke arah selatan.
Sebaran resistivitas dari utara-selatan juga memperlihatkan beberapa perbedaan nilai
resistivitas yang bervariasi. Pada lapisan bawah permukaan dititik ukur MTCB-22
juga terdapat dugaan patahan, yang mengakibatkan mata air panas muncul pada
daerah tersebut.
Maka, dari studi kasus mengnai aplikasi metode magnetotelurik dalam
pengaplikasian terhadap panas bumi pada Mata air panas Cubadak, Sumatera Barat
diperoleh kesimpulan bahwa Pada lintasan Barat Daya-Timur Laut terdapat 3 lapisan
yang teridiri dari batuan penudung, reservoir dan batuan dasar dengan nilai
resistivitas masing-masing adalah 5 Ωm sampai dengan 12 Ωm, 60 Ωm sampai
dengan 180 Ωm dan 300 Ωm sampai dengan 700 Ωm. Pada lintasan Utara-Selatan
terdapat 3 lapisan yang terdiri dari batuan penudung, reservoir dan batuan dasar
dengan nilai resistivitas masing-masing adalah 7 Ωm sampai dengan 20 Ωm, 30 Ωm
sampai dengan 100 Ωm dan 300 Ωm sampai dengan 500 Ωm.
b. Studi Kasus II
Aplikasi Metode Magnetotellurik dapat ditemukan
di daerah Blawan, Bondowoso, Jawa Timur yang memiliki potensi panas bumi.
Pengambilan data magnetotelurik dilakukan di 19 titik, dengan jarak antar titik
pengukuran sepanjang 250 m hingga 1200 m. Data yang didapatkan berupa nilai
resistivitas semu dan fase dalam domain frekuensi dengan rentang 0,01 Hz hingga
10.000 Hz. Seluruh titik pengambilan data dibagi menjadi 4 profil inversi 2D. Hasil
pemodelan menunjukkan bahwa sistem panasbumi pada daerah penelitian tersusun
atas zona lapisan penudung (≤32 𝛺.m), zona reservoar (>32𝛺.m - ≤512 𝛺.m), dan
zona sumber panas (>512 𝛺.m). Selain itu, berdasarkan hasil pemodelan juga
teridentifikasi adanya beberapa patahan yang mendukung sistem panasbumi Blawan.
Metode magnetotelurik merupakan metode pasif yang memanfaatkan sumber
dari alam berupa gelombang elektromagnetik untuk mengetahui konduktivitas dari
struktur bawah permukaan (Simpson dan Bahr, 2005). Pada metode magnetotelurik,
medan magnetik yang terukur di permukaan bumi merupakan sumber sinyal alami
yang berasal dari dalam maupun luar bumi dengan rentang frekuensi yang bervariasi
(Unsworth, 1999).

Metode magnetotelurik dianggap mampu memberikan gambaran sistem


panasbumi yang lebih detail dari permukaan hingga kedalaman tertentu karena
penetrasinya yang dalam. Metode magnetotelurik telah banyak digunakan di dalam
eksplorasi panasbumi, seperti pada penelitian Asaue et al., 2005, Bai et al ., 2001,
Barcelona et al., 2012, Patricia et al., 2002 dan Giani et al., 2003.
Pengambilan data dilakukan pada 21 Februari 2015 hingga 12 Maret 2015.
Data magnetotelurik merupakan hasil akuisisi dengan menggunakan alat Metronix
ADU-07e. Secara umum disetiap titik pengukuran magnetotelurik dipasang tiga koil
magnetik (𝐻𝑥, 𝐻𝑦 dan 𝐻𝑧) dan empat buah sensor medan listrik (2 untuk 𝐸𝑥 dan 2
untuk 𝐸𝑦). Tiga buah koil magnetik (𝐻𝑥, 𝐻𝑦 dan 𝐻𝑧) ditanam pada kuadran berbeda
sehingga setiap koil dapat merekam secara orthogonal komponen medan magnet 𝑥, 𝑦
dan 𝑧. Koil 𝐻𝑥 dan 𝐻𝑦 ditanam secara horizontal di tanah, sedangkan koil 𝐻𝑧
ditanam secara vertikal. Sementara itu sensor medan listrik 𝐸𝑥 ditanam dalam arah
Utara Selatan dengan jarak bentangan sejauh ±30 m disesuaikan dengan lokasi
pengukuran. Sensor medan listrik 𝐸𝑦 ditanam dalam arah Timur-Barat dengan jarak
bentangan sejauh ±30m juga. GPS diletakkan di dekat control unit pada ketinggian
±2m dan dihubungkan ke control unit.
Seluruh titik pengambilan data magnetotelurik yang berjumlah 19 titik dibagi
menjadi 4 profil inversi. Jarak antar titik pengukuran bervariasi antara 250 m hingga
1200 m. Pada proses akusisi, untuk tiap titik pengambilan data digunakan 3 frekuensi
sampling, yaitu 65 kHz, 4 kHz, dan 128 Hz. Adapun peta titik pengambilan data
magnetotelurik dapat dilihat pada Gambar 2.
Tahap awal pengolahan data magnetotelurik adalah transformasi Fourier yang
digunakan untuk mengubah data mentah yang masih dalam domain waktu menjadi
data dalam domain frekuensi. Data diubah ke dalam domain frekuensi agar lebih
mudah untuk dianalisis. Untuk data dengan frekuensi sampling 65 kHz, frekuensi
tertinggi yang dapat direkam sebesar 17 kHz. Data dengan frekuensi sampling 4 kHz,
memiliki frekuensi tertinggi hasil perekaman sebesar 1 kHz. Untuk data dengan
frekuensi sampling 128 Hz, frekuensi tertinggi yang dapat direkam sebesar 30 Hz.
Sebelum memasuki tahap pemodelan data, semua data hasil perekaman
dengan frekuensi sampling 65 kHz, 4 kHz, dan 128 Hz digabungkan kemudian
ditentukan data yang akan digunakan, untuk proses pemodelan adalah data dengan
rentang frekuensi 0,01 Hz hingga 10 kHz.

Gambar 2. Peta kontur elevasi titik pengambilan data magnetotelurik.


Pemodelan dilakukan dengan proses inversi yang bertujuan untuk
menampilkan distribusi resistivitas terhadap kedalaman dalam bentuk kontur.
Hasil pemodelan 2D menggunakan software WinGlink berupa penampang
2D resistivitas bawah permukaan untuk masing-masing lintasan. Hasil pemodelan 2D
yang ditampilkan merupakan hasil inversi dengan mempertimbangkan parameter
error floor, nilai α, dan nlai τ hingga didapatkan model 2D yang optimal dan memilki
kesesuaian yang baik antara nilai RMS error dengan roughness. Pemilihan model
yang tepat juga disesuaikan dengan informasi geologi lokasi penelitian. Adapun peta
geologi lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Kontur resistivitas profil 1
(Gambar 4) merupakan hasil inversi dengan menggunakan τ=5, α=1, iterasi sebanyak
136 kali dengan RMS error sebesar 4,455% dan roughness sebesar 1369,5. Kontur
resistivitas profil 2 (Gambar 5) merupakan hasil inversi dengan menggunakan τ=5,
α=1, iterasi sebanyak 152 kali dengan RMS error sebesar 3,005% dan roughness
sebesar 306,6. Kontur resistivitas profil 3 (Gambar 6) merupakan inversi dengan
menggunakan τ=5, α=1, iterasi sebanyak 154 kali dengan RMS error sebesar 3,788%
dan roughness sebesar 327,4.
Gambar 3. Peta geologi lokasi penelitian.
Pada kontur resistivitas profil 4 (Gambar 7) merupakan inversi dengan
menggunakan τ=3, α=1, iterasi sebanyak 164 kali dengan RMS error sebesar 1,967%
dan roughness sebesar 218,5. Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai resistivitas rendah
(≤32 𝛺.m) mendominasi hingga kedalaman sekitar 750 mdpl dan menebal ke arah
Timur, yakni disekitar BL-05, BL-04, dan BL-06. Berdasarkan data geologi, profil 1
didominasi atas endapan sedimen danau Blawan. Selain itu, resistivitas rendah (≤32
𝛺.m) juga berkaitan dengan proses alterasi hidrotermal yang didominasi oleh batu
lempung teralterasi. Pada daerah diantara titik BL-01 dan BL-02 terdapat terobosan
nilai resistivitas sedang (±64 𝛺.m) menuju ke permukaan, hal ini diduga berkaitan
dengan adanya patahan Blawan pada daerah tersebut sehingga menyebabkan fluida di
dalam reservoar bermigrasi ke permukaan yang merupakan indikasi adanya aktivitas
hidrotermal. Nilai resistivitas sedang (>32𝛺.m - ≤512 𝛺.m) .

Pada profil 1 berada pada kedalaman ±750 mdpl hingga ±750 m di bawah
permukaan laut dan menebal hingga kedalaman 3000 m di bagian Timur. Sementara
itu zona dengan nilai resistivitas tinggi (>512 𝛺.m) berada di bagian Barat pada
kedalaman ±750 m hingga 3000 m di bawah permukaan laut. Pada profil 1 ini
terdapat beberapa mataair panas yang berada pada zona dengan nilai resistivitas
rendah (≤32 𝛺.m), yakni mataair panas AP-01, AP-02, dan AP-03. Sementara itu,
mataair panas AP-04 berada pada zona dengan nilai resistivitas >32 𝛺.m hingga ≤64
𝛺.m. Gambar 5 menunjukkan bahwa zona dengan nilai resistivitas rendah (≤32 𝛺.m)
pada profil 2 cukup tebal yakni mulai dari permukaan 1250 m di bawah permukaan
laut. Berdasarkan data geologi, BL-15 dan BL-17 tersusun atas endapan jatuhan
piroklastik komplek Kaldera Ijen. Oleh karena itu resistivitas rendah di sekitar BL-15
dan BL-17 diduga didominasi oleh endapan piroklastik seperti abu vulkanik.
Sementara itu, BL-13, BL01, BL-02, BL-18, dan BL-19 pada peta geologi tersusun
atas endapan sedimen danau Blawan. Nilai resistivitas rendah (≤32 𝛺.m) berkaitan
dengan proses alterasi hidrotermal yang didominasi oleh batu lempung teralterasi.
Nilai resistivitas sedang (>32𝛺.m - ≤512 𝛺.m) pada profil 2 berada pada kedalaman
±1250 m hingga ±2500 m di bawah permukaan laut dan menebal hingga kedalaman
3000 m di sisi kanan. Sementara itu zona dengan nilai resistivitas tinggi (±1024 𝛺.m)
berada di sisi kiri pada kedalaman ±2500 m hingga 3000 m di bawah permukaan laut.
Gambar 6 menunjukkan bahwa zona dengan nilai resistivitas rendah (≤32 𝛺.m)
membentang sepanjang penampang profil 3 mulai dari permukaan hingga 250 mdpl.
Berdasarkan data geologi, BL-09 dan BL-13 tersusun atas endapan sedimen danau
Blawan. Sementara itu, BL-11, BL-12 dan BL-14 tersusun atas endapan jatuhan
piroklastik komplek Kaldera Ijen. Nilai resistivitas rendah (≤32 𝛺.m) berkaitan
dengan proses alterasi hidrotermal yang didominasi oleh batu lempung teralterasi.
Nilai resistivitas sedang (>32 𝛺.m - ≤512 𝛺.m) pada profil 3 berada pada kedalaman
±250 mdpl hingga ±1000 m di bawah permukaan. Sementara itu zona dengan nilai
resistivitas tinggi (>512 𝛺.m) berada Barat pada kedalaman ±1000 m hingga 3000 m
di bawah permukaan laut. Gambar 7 menunjukkan bahwa zona dengan nilai
resistivitas rendah (≤32 𝛺.m) pada profil 4 sangat tebal dan semakin menebal ke arah
BL-16. Sebaliknya, zona dengan nilai resistivitas sedang (>32𝛺.m - ≤512 𝛺.m)
semakin menebal ke arah BL-04. Sementara itu, pada profil 4 ini tidak terdapat zona
dengan resistivitas tinggi (>512 𝛺.m). Berdasarkan korelasi dengan data geologi,
zona resistivitas rendah (≤32 𝛺.m) di daerah BL 04, BL-05, BL-06, dan BL-07
diperkirakan berkaitan dengan endapan sedimen Pleistosen dari Danau Blawan dan
Sungai Kalisengon bersama dengan fluida panasbumi di lokasi tersebut.
Secara umum, salinitas dan konduktivitas dari batu lempung hasil alterasi
hidrotermal yang berkaitan dengan aktivitas panasbumi akan menghasilkan
resistivitas rendah secara keseluruhan dalam sistem panasbumi (Ussher et al., 2000).
Pada zona dengan nilai resistivitas rendah (≤32 𝛺.m) pada titik BL-16 diperkirakan
berkaitan dengan keberadaan material magmatik yang bersifat sangat konduktif. Nilai
resistivitas rendah hingga kedalaman ±3000 m di bawah permukaan laut. Gambar 8
menunjukkan gabungan nilai resistivitas dari ke-4 profil inversi. Pada Gambar 8
terlihat bahwa nilai resistivitas rendah (≤32 𝛺.m) tersebar merata di seluruh
permukaan pada daerah penelitian. Zona dengan nilai resistivitas rendah ini menebal
di bagian Timur. Zona resistivitas sedang (>32 𝛺.m hingga ≤ 512 𝛺.m) juga
ditemukan pada semua profil. Zona dengan resistivitas sedang ini diduga sebagai
reservoar tempat terakumulasinya fluida panas. Perpotongan antara profil 1 dan profil
2 memperlihatkan adanya rekahan hingga permukaan. Rekahan tersebut diduga
berkaitan dengan adanya patahan Blawan pada daerah tersebut sehingga
menyebabkan fluida di dalam reservoar bermigrasi ke permukaan yang merupakan
indikasi adanya aktivitas hidrotermal.
Rekahan ini diduga merupakan jalur dari zona outflow dari sistem panasbumi
Blawan. Sementara itu, zona dengan resistivitas tinggi (>512 𝛺.m) hanya terdapat
pada profil 1, 2, dan 3. Perpotongan antara profil 2 dan profil 3 memperlihatkan
adanya penurunan blok batuan yang diduga merupakan indikasi adanya patahan.
Secara geologi, daerah tersebut merupakan daerah kemenerusan dari patahan Blawan.
Patahan Blawan ini terbentuk akibat proses tektonik yang cukup besar pada masa
pasca kaldera. Persyaratan utama untuk pembentukan sistem panasbumi (hidrotermal)
adalah sumber panas yang besar (source rock), reservoar untuk mengakumulasi
panas, dan lapisan penudung terakumulasinya panas (caprock) (Kasbani, 2009).
Ditemukannya beberapa sesar pada Gambar 4 akan mendukung sistem panasbumi
Blawan. Sesar tersebut akan menjadi jalan keluar bagi fluida reservoar untuk
mengalir ke permukaan. Zona dengan resistivitas rendah (≤32 𝛺.m) tersebut diduga
berperan sebagai lapisan penudung. Lapisan penudung memiliki resistivitas rendah
dikarenakan keberadaan mineral lempung yang melimpah (Uchida dan Murakami,
1989). Lapisan penudung tersusun atas batuan yang bersifat impermeable, sehingga
mampu mencegah fluida panas pada reservoar keluar ke permukaan. Reservoar
panasbumi memiliki resistivitas yang cukup tinggi dikarenakan berkurangnya mineral
lempung (Asaue et al., 2005). Oleh karena itu, zona yang memiliki resistivitas
sedang (>32 𝛺.m hingga ≤512 𝛺.m) diduga merupakan zona reservoar. Reservoar
panasbumi merupakan tempat akumulasi fluida hidrotermal hasil pemanasan oleh
sumber panas (Gianni et al., 2003). Pada zona yang memiliki resistivitas tinggi (>512
𝛺.m) diduga merupakan sumber panas dari sistem panas bumi Blawan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Magnetotellurik (MT) adalah metode pasif yang mengukur arus listrik alami
dalam bumi, yang dihasilkan oleh induksi magnetik dari arus listrik di ionosfer.
Komponen-komponen yang digunakan pada pengukuran MT terdiri dari
sensor-sensor yang dapat digunakan untuk mengukur medan magnet dan medan
listrik. Sensor-sensor tersebut terdiri dari sensor magnetik (coil) dan sensor
elektrik (porospout). Sensor elektrik yang digunakan berjumlah 5 buah yang
masing-masing ditempatkan pada arah utara,selatan,timur, barat dan satu lagi
pada bagian tengah dari keempat tersebut. dan sensor magnetik berjumlah 3
buah dan diletakkan sejajar dengan sumbu x , sejajar dengan sumbu y dan
dikubur dengan arah vertikal. Selain itu alat MT unit (Phoenix) yang dapat
merekam data dan menyimpan data dan ditambah dengan adanya GPS untuk
sinkronisasi waktu pada saat pengukuran (Lendra, 2003).
Metode geofisika magnetoteurik dapat digunakan dalam beberapa aplikasi
seperti dalam studi kasus yang diangkat pada makalah ini. Metode
magnetotelurik digunakan dalam aplikasi geothermal. Metode magnetotelurik
digunakan untuk menentukan sistem geothermal melalui sifat resisitivitas yang
ada pada lapisan batuan. Selain geothermal, metode magnetotelurik juga dapat
digunakan dalam aplikasi lainya seperti menentukan cekungan minyak,
penentuan struktur geologi bawah permukaan, dalam bidang hidrogeologi, dan
pertambangan.

Anda mungkin juga menyukai