Anda di halaman 1dari 11

Nama Al Muhdil Karim

NIM 1406515904
Jurusan Ilmu Perpustakaan
Matakuliah Otomasi Perpustakaan

Analisis Tantangan dan Peluang Perkembangan Perpustakaan Digital Berdasarkan

Study Kasus

Pengembangan Perpustakaan Digital Perpustakaan Nasional

A. Pendahuluan

Era digital, era terkomputerisasi sologan tersebut seringkali terdengar disetiap aspek
kehidupan manusia di awal abad ke 20. Sistem tekhnologi informasi menjadi salah
satu ikon dari abad 20 dengan perkembangan yang sangat cepat. Dengan
perkembangan tersebut implementasi dari sistem tekhnologi informasi merambah
hampir ke seluruh aspek kehidupan, tidak terlepas dalam implementasi penggunaanya
di perpustakaan.

Penerapan teknologi informasi di dalam pepustakaan diterapkan dalam berbagai


bidang perkerjaan yang berhubungan dengan kepustakawanan. Bidang pekerjaan yang
diintegrasikan dalam sistem ini adalah akuisisi, katalogisasi, sirkulasi, preservasi dan
statistika bibliometrik bahan perpustakaan. Di samping sebagai alat bantu perkerjaan,
penerapan teknologi informasi juga dimanfaatkan sebagai sarana pendukung dalam
aktifitas mendapatkan, menyimpan, dan menyebarluaskan informasi.

Secara terminologis perpustakaan digital dimaknai sebagai organisasi yang


menyediakan berbagai sumber daya, termasuk staf yang mampu melakukan pekerjaan
menyeleksi, menata, menyediakan akses intelektual, menginterpretasikan,
mendistribusikan, melestarikan keutuhan koleksi berformat digital, termasuk
memastikan ketersediaannya dari waktu ke waktu, agar dapat diakses secara mudah
oleh pengguna (Digital Library Federation, 1995).

Namun dalam pengembangan perpustakaan digital masih banyak permasalahan yang


ditemukan dalam praktiknya. Untuk itu penulis berusaha untuk menganalisis
peramasalahan permasalahan yang seringkali terjadi dalam pengembangan
perpustakaan digital dengan mengambil study kasus permasalahan yang dihadapi
Perpustakaan Nasional dalam pengembangan perpustakaan digital.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Achmad Irwan Ardiyansah dan Al Muhdil

Karim dengan fokus riset terhadap kendala pengembangan perpustakaan digital yang

dilakukan oleh perpustakaan nasional. Kami mengidentifikasi beberapa permasalahan

yan dihadapi oleh Nasional dalam pengembangan perpustakaan digital di Indonesia.

Berikut ini adalah Gambaran umum dari permasalahan yang dihadapi oleh

perpustakaan Nasioanal dalam pengembangan Perpustakaan Digital di Indonesia,

a. Kendala pengembangan software aplikasi perpustakaan.


b. Kurangnya koordinasi dalam pemberian bantuan
c. Ketersedian SDM yang cakap
d. Minimnya dukungan pemerintah daerah

C. Analisis Masalah dan Konsep Resolusi Pemecahan Masalah

Dari beberapa masalah yang telah di uraikan sebelumnya, penulis ingin mengajukan
konsep pemecahan masalah yang mungkin dapat diimplementasikan dalam
menanggulangi hambatan pengembangan perpustakaan digital yang salah satunya
dipelopori oleh Perpustakaan Nasional,

1. Pengembangan Software Aplikasi perpustakaan.

Dalam usaha pengembangan Perpustakaan Digital Nasional, Perpustakaan

Nasional membuat software aplikasi perpustakaan bernama INLIS dan INLIS

Lite untuk penyeragaman antara pusat dan daerah. INLIS Lite adalah hasil

pengembangan dari INLIS dan yang sebelumnya adalah QALIS. INLIS tidak

sepenuhnya diterima di daerah karena beberapa perpustakaan umum daerah

sudah ada yang mengembangkan perpustakaan digital dengan menggunakan


software yang dikembangkan sendiri atau yang ada di pasaran. Penolakan ini

bukan disebabkan ke-engganan perpustakaan umum daerah untuk migrasi ke

software INLIS tapi karena kesulitan untuk konversi data. Hal ini sudah sering

kali disampaikan ke pihak Perpustakaan Nasional namun kurang diakomodir

dengan baik. Hingga saat ini, INLIS Lite yang merupakan hasil

pengembangan terakhir, konversi data masih menjadi kendala. Selain itu,

beberapa perpustakaan umum daerah menilai software yang sudah mereka

gunakan justru lebih baik dan enggan menggunakan INLIS.

Dalam penggunaannya pun masih ada kendala dalam pelatihan dan

pendampingan. Sebagian yang sudah mencoba menggunakan INLIS sangat

kesulitan ketika mereka mendapat permasalahan dan tidak tahu harus

berkonsultasi dengan siapa. Ada kesan saling lempar tanggung jawab antara

Perpustakaan Nasional dengan pihak rekanan dalam memberikan

pendampingan ke perpustakaan umum daerah. Adapun kegiatan sosialisasi

dan bimtek dari Perpustakaan Nasional tapi masih dirasakan sangat kurang

dari sisi waktu dan materi yang disampaikan.

Untuk masalah ini perpustakaan Nasional disarankan untuk mengevaluasi

kembali SDLC yang digunakan dalam membangun perpustakaan digital.

Dalam SDLC ada beberapa komponen dalam perancangan sebuah produk

digital, komponen komponen tersebut adalah , (1) Project planing, (2)

Requirement Defenition, (3) Design, (4) Development, (5) Integration and

Test, (6) Installation and Acceptance. Beradasarkan permasalahan dialami

oleh perpustakaan nasional dapat diambil sebuah hipotesa, perencanaan

pembangunan program yang dirancang oleh perpustakaan nasional gagal


dalam tahapan awal dari penggunaan SDLC sebagai landasan dalam

pembuatan program digital. Pepustakaan Nasional gagal dalam tahapan

“Requirement Defenition”. “Requirement Definition” adalah fase menentukan

kebutuhan dari program yang dikembangkan. Dengan kegagalan di tahapan

tersebut program perpustakaan nasional juga gagal dalam fase installasi dan

test. Idealnya perpustakaan nasional seharusnya melakukan riset awal yang

komprehensif mengenai perkembangan sistem perpustakaan digital yang telah

berkembang di indonesia sebelum melakukan pembangunan program.

Kegagalan ditahap “Requirement Defenition” membuat program susah untuk

berintegrasi dengan program lain ataupun melakukan konversi dari sistem

yang telah ada ke sistem yang dirancang oleh perpustakaan nasional.

2. Kurangnya Koordinasi Dalam Pemberian Bantuan.

Perpustakaan Nasional kurang melakukan proses „assessment‟ dalam memilih

perpustakaan umum daerah mana yang akan diberikan bantuan. Terkadang

perpustakaan umum daerah kaget ketika menerima bantuan tanpa ada

pemberitahuan sebelumnya. Kesanggupan/kesiapan perpustakaan umum

daerah masing-masing daerah berbeda-beda. Perpustakaan umum daerah

tingkat provinsi dan kabupaten/kota mungkinpunya permasalahan yang sama.

Padahal untuk operasional dan pemanfaatan bantuan perpustakaan digital

cukup tinggi dan belum lagi ketersediaan infrastruktur di daerah tertentu yang

masing cukup minim, terutama Indonesia bagian timur.

Dalam permasalahan ini seharusnya perpustakaan Nasional melakukan riset

awal kebutuhan perpustakaan yang akan diberikan bantuan. Menurut sudut

pandang penulis, kendala kendala yang ditemukan didalam pelaksanaan bukan


berasal dari infrastruktur yang minim, namun lebih kepada sistem SDLC

(Systems development life cycle) yang digunakan oleh perpustakaan nasional

dalam mengembangkan program perpustakaan digitalnya.

Paradigma perlunya kesamaan program untuk perpustakaan daerah menurut

penulis adalah sebuah pemborosan yang tidak efektif. Dalam hemat penulis

selama ini perpustakaan digital selalu diartikan sebagai perpustakaan yang

semua tugasnya telah dilakukan secara terkomputerisasi. Namun seringkali

melupakan aspek informasi sebagai sebuah objek yang berharga dengan

estimasi waktu tertentu. Dengan paradigma yang selama ini berkembang

seringkali perpustakaan berkutat pada sebuah sistem atau program yang

mumpuni sehingga perkerjaan pustakawan lebih mudah. Berpatokanya

asumsi pada sebuah program seringkali membuat perpustakaan lupa aspek

kebutuhan informasi permustaka dan jangka waktu penggunaan dari sebuah

iformasi.

Disamping itu ada beberapa konsep yang mungkin terlupa oleh perpustakaan

nasional dalam pembangunan sistem perpustakaan digital , pertanyaan yang

seharusnya dijawab dalam pengembangan perpustakaan digital oleh

perpustakaan nasional adalah, kenapa kita harus membuat banyak

perpustakaan digital? Satu hal karakteristik budaya digital adalah,

kemampuanya untuk diakases dari manapun dan oleh siapapun. Kenapa

perpustakaan nasional harus berkonsentrasi terhadap program bukan terhadap

program kerjasama yang bersifat relasional. Menurut asumsi penulis,

perpustakaan nasional seharusnya membangun sebuah sistem support yang

menjadi base dari informasi yang bersifat ke indonesian. Disini perpustakaan


nasional menjadi silo informasi. Seadangkan perpustakaan daerah adalah agen

agen yang bertugas sebagai agen yang memproduksi informasi yang bersifat

ke indonesian. Sehingga karakteristik perpustakaan nasional sebagai deposit

dari setiap informasi yang bersifat ke Indonesian dapat terwujud dan dapat

diakses minimal untuk setiap warga negara Indonesia. Untuk sistem tersebut

budgeting yang dibutuhkan juga dapat dihemat daripada pembangunan

program dari awal yang tidak menjanjikan hasil yang signifikan dalam aspek

pemenuhan informasi pemustaka.

Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang menguasai teknologi

informasi (TI) di daerah masih sangat dirasakan. Jangankan SDM yang

menguasai TI, jumlah personil yang dikaryakan di perpustakaan saja sudah

sangat minim. Jarang sekali pegawai perpustakaan umum daerah dengan

pendidikan S1 apalagi berlatar belakang TI. PNS di daerah biasanya hanya

menjadikan perpustakaan hanya sebagai batu loncatan sebelum dimutasikan ke

instansi yang lebih „basah‟ dari sisi penghasilan. Ini menjadikan bantuan-

bantuan hardware dan software kurang dimanfaatkan secara optimal bahkan

banyak yang belum dimanfaatkan sama sekali (baca: masih di dalam kardus).

Padahal anggaran yang dikucurkan untuk program Perpustakaan Digital

Nasional sangat besar.

Untuk permasalahan mengenai tenaga IT bisa kita ambil analogi sebagai

berikut. 2000 tahun lalu ketika setiap bangsa masih berusaha untuk

mendefensisikan sistem penulis, setiap orang yang mempunyai kemampuan

menulis menempati posisi penting, Sejarah tersebut kita temui dalam sejarah

mesir ataupun sejarah Mesopotamia kuno. Penulisan adalah sesuatu yang


dianggap sakral dan hanya orang orang pilihan tuhan yang mempunyai

kemampuan tersebut. Mari kita lihat kondisi saat sekarang ini, apa beda

programer dan orang yang menulis di kerajaan Mesir 2000 tahun silam?

Dalam asumsi penulis tidak ada perbedaan yang signifikan, media mereka

menulis dan kegunaan tulisan mereka yang membedakan. Selalu terbuka

kemungkinan bahasa pemograman dapat dikuasai oleh setiap orang layaknya

tulisan tangan yang kita gunakan saat sekarang ini. Kenapa kita harus

berpatokan pada pemograman adalah bagian dari cabang keilmuan lain, sudah

seharusnya pustakawan belajar bahasa pemograman seperti sejarah

pustakawan gereja yang berlajar menulis pada masa dahulunya untuk

melakukan preservasi. Sistem pendidikan terhadap pustakawan idealnya

memasukan materi ajar mengenai penulisan program komputer.

Ada juga permasalahan yang disebabkan kurangnya budaya „sharing

knowledge‟ antar generasi di perpustakaan daerah. Pernah ditemukan staf PNS

yang tidak mau berbagi pengetahuan tentang pengelolaan perpustakaan digital

dengan motif agar bisa dikaryakan kembali walau sudah memasuki masa

pensiun.

Motif “pelit ilmu” tersebut seharusnya dapat diminimalisir dengan

pembentukan standard operasional perpustakan digital. Dengan penerapan

sistem kerja rotasi yang disesuaikan maka ilmu-ilmu yang seharusnya berguna

dapat manjamen perpustakaan digital diserap oleh pustakawan. Konsep rotasi

ini merupakan konsep learning by doing. Dalam penerapan konsep ini

seharusnya juga berorientasi terhadap goal yang ditetapkan oleh stakeholder

perpustakaan digital. Dengan asumsi setiap bagian harus mengejar goal


tertentu maka setiap orang mau tidak mau harus berkerjasama,monopoli

keilmuan dapat diminimalisir dengan tekanan untuk pencapaian goal telah

ditetapkan sebelumnya.

3. Minimnya Dukungan Pemerintah Daerah.

Bantuan Perpustakaan Nasional berupa hardware dan software ke

perpustakaan umum daerah bersifat stimulan. Keberlangsungan dan

pemanfaatan bantuan tersebut sangat tergantung dengan dukungan pemerintah

daerah. Terkadang pemerintah daerah kurang memberikan perhatian yang

cukup untuk menyediakan anggaran yang cukup untuk operasional

perpustakaan digital. Hal ini bisa dipahami karena Pendapatan Asli Daerah

(PAD) di masing-masing daerah yang tidak merata. Ada perpustakaan umum

kabupaten/kota yang memiliki anggaran mencapai Rp 50 milyar/tahun dan ada

pula yang Rp 50 juta/tahun.

Perpustakaan dan bantuan, dua kata yang seringkali terdapat dalam sebuah

kalimat untuk sebuah pemaknaan. Seringkali perpustakaan memusatkan

perhatian pada bantuan untuk oprasionalnya. Banyak faktor yang menjadikan

perpustakaan begitu bertumpu pada bantuan, salah satunya adalah paradigma

yang menyatakan perpustakaan merupakan badan yang bersifat non profit.

Untuk pertama kali yang dapat dilakukan adalah memecah paradigma yang

telah mejadi kultus tersendiri dalam kepustakawanan di Indonesia. Dalam

melakukan ini yang pertama harus dilakukan adalah pembaharuan atau

reformasi paradigma. Paradigma yang menyatakan perpustakaan adalah badan

yang bersifat nonprofit berasal dari teks teks keilmuan perpustakaan,

pembaharuan dan kebulatan suara akademisi dalam memperbaharui paradigma


tersebut mejadi keharusan untuk perubahan paradigma secara mendasar. Ada

beberapa jalur untuk merubah paradigma tersebut, yang pertama bisa melalui

simposium nasional, setelah itu dilanjutkan pada focus group discusions serta

implementasi dari hasil simpusium dan group discussion dalam penulisan

buku didik ke ilmuan perpustakaan. Untuk perubahan paradigma dibutuhkna

kesadaran baru bagi para calon pustakawan dan pustakawan.

Kita tidak bisa menafikan kalau materi adalah subtansi dari mayoritas manusia

memandang kehidupan khususnya di zaman modern, idealisme profesi tanpa

profit adalah salah satu penyebab lemahnya effort kerja pustakawan dalam

membangun perpustakaan. Sudah saatnya perpustakaan merubah citranya,

realitas kompleks masyarakat modern adalah masyarakat yang mayoritas

menempatkan status sosial berdasarkan kesejahteraan yang diukur berdasarkan

materi.

Dengan perubahan paradigma tersebut, pustakawan dapat membuat kegiatan

yang berorientasi kepada profit. Kegiatan kegiatan seperti yang dilakukan oleh

organisasi informasi yang bersifat lainya seperto bioskop, media online, protal

informasi, dan juga pusat pusat hiburan seperti karoke family penyedian

layanan internet cafe.

Dengan dibukanya peluang tersebut, perpustakaan diharapkan dapat lepas dari

ketergantungan terhadap bantuan. Perpustakaan dapat berdiri sendiri.

Perpustakaan dapat menjalankan tugasnya dengan swadaya pendanaan hasil

dari penjualan informasi yang berisifat berbayar namun bukan menjadi tugas

pokok perpustakaan dalam pelestarianya.


Gagasan ini mungkin sedikit bertentangan dengan kode etik pustawakan yang

selama ini dianut sebagai kode etik dalam penyelenggaraan perpustakaan yang

meyatakan perpustakaan tidak bersifat profit. Namun sifat paradoks dari

kehidupan seharusnya membuat kita sama sama belajar, kode etik dan realitas

idealnya sejalan dan didasarkan kepada aspek kebutuhan. Belajar dari hukum

dasar ekonomi dimana demand akan berpengaruh kepada suply begitu juga

sebaliknya. Pepustakaan seharusnya memasuki babak baru, perpustakaan

seharusnya lebih memberikan perhatian terhadap kebutuhan pemustaka

berdasarkan riset dan trend informasi yang sedang berkembang ditengah

masyarakat.

Dengan adanya pembukaan informasi secara luas diharapkan ketergantungan

terhadap tenaga pustkawan yang seharusnya sudah purna tugas dapat

diminimalisir. Setiap perpustakaan dapat berkembang sesuai dengan

kebutuhan informasi pemustakanya bukan berpatokan kepada sebuah

perpustakaan terpusat.

D. Kesimpulan

a. Diperlukanya pemahaman mengenai tekhnologi informasi pada pustakawan


dalam pengembangan perpustakaan digital

b. Idealnya materi didik pustkawan mulai mengakomodasi materi pengembangan


sistem tekhnologi informasi dalam kurikullum pendidikan.

c. Diperlukan perubahan kultus perpustakaan sebagai badan yang bersifat


nonprofit

d. Sosok kepemimpinan yang cair dan inovatif adalah salah satu kunci
keberhasilan pengembangan pepustakaan digital.
Daftar Pustaka

Perpustakaan Nasional. (2014). Kebijakan Pengembangan Perpustakaan Digital Nasional


Dalam Rangka Peningkatan Kemudahan Akses Informasi Masyarakat. Jakarta.

Perpustakaan Nasional. (2014). Rencana Strategis Perpustakaan Nasional 2010-2014. Jakarta.

Waters, D. (July/August 1998). What are digital libraries?. Council on Library and
Information Services, 4. Diakses tanggal 20 Oktober 2014,
dari http://www.clir.org/pubs/issues/issues04.html

http://kelembagaan.pnri.go.id/Digital_Docs/pdf/about_us/official_archives/public/normal/PP
%20Nomor%2024%20Tahun%202014.pdf

Myers , Glenford J., The Art of Software Testing, Willey : Hoboken, 2011

www.tutorialspoint.com/sdlc/sdlc_tutorial.pdf. Diakses pada tanggal 19 Oktober 2014

Knox, Karen C. , Implementating Technology Solution in Libararies : Techniques, Tools, and


Tips From Treenches, Medford : New Jersey , 2011

Anda mungkin juga menyukai