Anda di halaman 1dari 272

Jawaban Ahlussunnah

Terhadap Rantai Tuduhan


Dari Para Pengekor Haddadiyyah
(Cetakan Kedua)

Diizinkan Penyebarannya Oleh Asy Syaikh Al 'Allamah:


Abu Abdurrohman Yahya bin Ali Al Hajuriy
Semoga Alloh menjaga beliau

Dengan Kata Pengantar Fadhilatusy Syaikhoin:


Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Fadhli Al Ibbiy
Dan Abu Abdirrohman Abdulloh bin Ahmad Al Iryaniy Al Ibbiy
Semoga Alloh menjaga beliau berdua

Ditulis Oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo
Al Indonesiy Al Jawiy
Semoga Alloh memaafkannya
2

‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬

Judul Asli:
"Dhorobatus Suyufil Batiroh 'Ala Salasil Hamlatil Jairoh
(Arofat Al Bashiriy, Abdulloh Al Bukhoriy dan Luqman Ba Abduh Warotsatil
Haddadiyyatil Fajiroh)"

Judul Terjemah Bebas:


“Jawaban Ahlussunnah Terhadap Rantai Tuduhan
Dari Para Pengekor Haddadiyyah”

Diizinkan Penyebarannya Oleh Asy Syaikh Al 'Allamah:


Abu Abdurrohman Yahya bin Ali Al Hajuriy
Semoga Alloh menjaga beliau

Dengan Kata Pengantar Shohibail Fadhilah:


Asy Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Fadhli
Dan Asy Syaikh Abu Abdirrohman Abdulloh bin Ahmad Al Iryaniy
Semoga Alloh menjaga beliau berdua

Ditulis Oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy
Semoga Alloh memaafkannya

Cetakan pertama: Malaysia, bulan Muharrom 1437 H


Cetakan kedua: Indonesia, bulan Muharrom 1437 H
Maktabah Fairuz Ad Dailamiy
3

‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬

Pengantar Fadhilatusy Syaikh Abu Abdillah Muhammad Bin Ali Bin


Hizam Al Fadhli Al Yamaniy semoga Alloh Menjaga Beliau

‫ وأشهد أن ال إله إال اهلل‬،‫احلمد هلل والصالة والسالم عىل رسول اهلل وعىل آله وصحبه ومن وااله‬
:‫وأشهد أن حممدا عبده ورسوله أما بعد‬
Sungguh aku telah melihat kitab saudara kita yang mulia, pemberi faidah,
penyeru ke jalan Alloh ‫عز وجل‬: Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy yang
diberinya nama dengan: “As Suyuful Batiroh ‘Ala Silsilatit Tahajjumatil Fajiroh,” (1) maka
aku melihat dirinya di dalam kitab tersebut telah mencurahkan kerja keras yang
diberkahi dalam membela sunnah dan Ahlussunnah.
Maka semoga Alloh membalas dirinya dengan kebaikan, memberikan manfaat
dengannya dan dengan tulisan-tulisannya.

Ditulis oleh:
Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Fadhli Al Ba’daniy
Pada hari Jum’at bertepatan dengan tanggal 24 Jumadal Akhiroh 1434 H

(1)
Demikianlah judul kitab ini sebelumnya, kemudian agar lebih sesuai dengan cakupan isinya, saya
menyempurnakan judul tadi sehingga menjadi: "Dhorobatus Suyufil Batiroh 'Ala Salasil Hamlatil Jairoh
(Arofat Al Bashiriy, Abdulloh Al Bukhoriy dan Luqman Ba Abduh Warotsatil Haddadiyyatil Fajiroh)".
Semoga Alloh melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua.
4

‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬

Pengantar Fadhilatusy Syaikh Abu Abdirrohman Abdulloh bin


Ahmad Al Iryaniy Al Yamaniy semoga Alloh Menjaga beliau

:‫ وبعد‬،‫احلمد هلل والصالة والسالم عىل نبينا حممد رسول اهلل وعىل آله وسلم‬
Aku telah melihat-lihat apa yang ditulis oleh saudara kita yang agung dan sunniy
yang kokoh dan pintar, penyeru ke jalan Alloh di atas bashiroh (ilmu dan keyakinan) dan
dalil(2): Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy -semoga Alloh menjaganya
dan menambahinya dari karunia-Nya- dalam risalah yang terkait dengan bantahan
terhadap para pelaku “serangan-serangan yang gagal” maka aku dapati dirinya telah
membungkam lawan dan memasukkan batu ke dalam mulut mereka.
Dan bantahan yang dilakukan olehnya itu hanyalah penghancuran terhadap
syubhat-syubhat yang dilariskan oleh orang-orang yang kosong dan pelaku kebatilan,
yang mana sebagian orang-orang yang mulia menjadi korban bagi syubhat-syubhat tadi.
Kita mohon pada Alloh agar mengembalikan mereka dengan bagus.
Dulu Syaikh kami Al Imam Al Wadi’iy –semoga Alloh merohmati beliau-
membantah Ikhwanul Muslimin dan para pemimpin mereka di negri Yaman, seperti Az
Zindaniy dan yang lainnya. Dan jika datang penyebutan Abdulloh Sho’tar –dan dia
termasuk dai mereka, para pelaku kebatilan dan orang-orang yang kosong-, dan dia itu
bermulut kotor terhadap Ahlussunnah, dan syaikh kami jika datang giliran beliau untuk
membantah orang ini, beliau berkata: “Adapun Abdulloh Sho’tar maka dia itu orang
tolol, tidak berhak untuk dibantah.” Dan demikian pula Luqman Ba Abduh.

Ditulis di Indonesia,
Oleh Abu Abdirrohman Abdulloh bin Ahmad Al Iryaniy
Pada bulan Rojab 1434 H

Asy Syaikh ‫ حفظه هللا‬telah berbaik sangka pada si penulis ‫عفا هللا عنه‬, dan yang demikian itu saya anggap
(2)

sebagai doa untuk kebaikan si penulis.


5

‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬

Pengantar Penulis

‫احلمد هلل وأشهد أن ال إله إال اهلل وأن حممدا عبده ورسوله اللهم صل وسلم عىل حممد وعىل آله‬
:‫أمجعني أما بعد‬
Maka sesungguhnya fitnah-fitnah itu terus-menerus menimpa umat terakhir ini
agar dengannya Alloh membersihkan orang-orang yang beriman dan membinasakan
orang-orang kafir, dan agar Alloh memisahkan antara yang buruk dari yang baik.
Abdulloh bin Amr ibnul Ash ‫ رضي هللا عنهما‬menceritakan bahwasanya Rosululloh ‫صلى هللا‬
‫ عليه وسلم‬bersabda:
‫ وإن أمتكم هذه جعل عافيتها يف أوهلا وسيصيب آخرها بالء وأمور تنكروهنا وجتيء فتنة فريقق بعضها‬...«
.‫ احلديث‬.»‫بعضها وجتيء الفتنة فيقول املؤمن هذه مهلكتي ثم تنكشف وجتيء الفتنة فيقول املؤمن هذه هذه‬
.))4411( ‫(أخرجه مسلم‬
"… dan sesungguhnya umat kalian ini, dijadikan keselamatannya pada generasi
awalnya. Dan generasi akhirnya akan tertimpa bencana dan perkara-perkara yang
kalian ingkari. Dan fitnah datang, sebagiannya menjadikan sebagian yang lain
menjadi tampak lemah, dan datang fitnah lagi, sehingga seorang mukmin berkata:
"Inilah kebinasaanku." Kemudian hilanglah fitnah itu. Kemudian datang lagi fitnah,
sehingga seorang mukmin berkata: "Inilah, inilah." Dst. (HR. Muslim (1844)).
Maka bagi orang yang menginginkan keselamatan, dia wajib untuk mengetahui
kebenaran di dalam fitnah yang gelap seperti ini, dengan cara mengikhlaskan niat untuk
Alloh ta'ala, dan membulatkan tekad untuk mengikuti perkara yang sesuai dengan Al
Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman salaful ummah, serta mencurahkan
kemampuan untuk meneliti dan merenungkan, tanpa taqlid (membebek) ataupun
ta'ashshub (fanatisme), dan juga dengan terus-menerus merasa amat memerlukan
Robbnya ‫ عزز وجزل‬dan berdoa kepada-Nya, karena sesungguhnya Alloh itu tidak akan
menyia-nyiakan kerja keras orang yang berbuat ihsan. Alloh ta'ala berfirman:

.]96 :‫ [العنكبوت‬.‫والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن اهلل ملع املحسنني‬
"Dan orang-orang yang berusaha keras untuk mencari jalan-jalan Kami, pastilah Kami
akan menunjuki mereka jalan-jalan keridhoan Kami. Dan sesungguhnya Alloh benar-
benar bersama orang-orang yang muhsinin."
6

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: "Maka apabila dibandingkan antara


pendapat-pendapat yang beraneka ragam dan ucapan-ucapan yang berbeda-beda, dan
itu semua dipaparkan kepada hakim yang tidak zholim, yaitu Kitabulloh dan Sunnah
Rosul-Nya, dan si peneliti memurnikan dirinya dari fanatisme dan kesukuan, dan dia
mencurahkan kemampuannya, dan menghendaki untuk taat pada Alloh dan Rosul-Nya,
maka sangat jarang sekali untuk tersembunyi dari dirinya kebenaran dari ucapan-
ucapan tadi dan apa yang lebih dekat kepada kebenaran, dan perkara yang keliru dan
apa yang lebih dekat kepada kekeliruan, karena sesungguhnya ucapan-ucapan yang
beragam itu tidak keluar dari kebenaran dan apa yang lebih dekat kepada kebenaran,
dan perkara yang keliru dan apa yang lebih dekat kepada kekeliruan. Dan derajat dekat
dan jauh itu bertingkat-tingkat." ("Ash Showa'iqul Mursalah"/1/hal. 172).
Ini, dan telah sampai kepada kami cercaan-cercaan baru –dan pada hakikatnya
itu bukanlah cercaan yang baru- dari Luqman Ba Abduh terhadap syaikh kami As Salafiy
Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dalam ceramah dirinya di awal bulan Jumadats Tsaniyyah
1434 H dengan judul: "Kupas Tuntas Fitnah Sururiyyah Hajuriyyah.” Dalam ceramah itu
Luqman merendahkan Asy Syaikh Abdulloh Al Iryaniy ‫ حفظه هللا‬. Dan para hizbiyyun itu
menyebarkan kebatilan-kebatilan ini secara audio dan tulisan dalam rangka
memperburuk citra para pembawa kebenaran dan melarikan manusia dari para
pembawa kebenaran.
Saya juga telah mendengar ceramah doktor Abdulloh bin Abdirrohim Al Bukhoriy
yang sampai kepada kami dengan judul: "Bayan Hal Yahya Al Hajuriy Wal Mudafi’ina
‘Anhu” (Penjelasan Tentang Keadaan Yahya Al Hajuriy dan Para Pembelanya), dia
mencerca Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy dan Asy Syaikh Abdul Hamid Al Hajuriy ‫حفظهما هللا‬.
Luqman dan Abdulloh Al Bukhoriy membebek kedustaan-kedustaan Arofat Al
Bushoriy terhadap Syaikh kami yang jujur Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dalam risalah
dia yang berjudul "Al Bayanul Fauriy." Dan banyak dari syubuhat dia itu hanyalah
mengambil dari tulisan-tulisan para pengikut haddadiyyah baru dari situs "Al Atsariy".
Dan bukan tidak mungkin bahwasanya sumber bahan serangan dari Luqman dan
syaikhnya adalah tulisan-tulisan para haddadiyyun tersebut. Jika tidak demikian, maka
hendaknya mereka menampilkan pada kami rantai sandaran mereka dan nama-nama
orang-orang yang baku tolong dengan mereka untuk menghasilkan syubuhat-syubuhat
tersebut.
Dan syubuhat-syubuhat mereka itu berdekatan dan mirip, seakan-akan mereka
datang dari lubang yang sama –dan memang demikian-. Alloh ta'ala berfirman:
ِ ِ ِْ ‫ْس َو‬ ِ ِ َ ِ‫﴿ َوك ََذل‬
ً ‫اْلن ُيوحي َب ْع ُض ُه ْم إِ َل َب ْعض زُ ْخ ُرفَ ا ْل َق ْول غُ ُر‬
‫ورا َو َل ْو‬ َ ‫ك َج َع ْلنَا لكُل َنبِي َعدُ ًّوا َش َياط‬
ِ ْ ‫ني‬
ِ ‫اْلن‬

.]441 :‫ون﴾ [األنعام‬ ُ َ ‫ك َما َف َع ُلو ُه َف َذ ْر ُه ْم َو َما َي ْف‬


َ ‫َت‬ َ ‫َش‬
َ ‫اء َر ُّب‬
"Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan
(dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada
sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).
7

Andai Robbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka


tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan."
Alloh subhanahu wata'ala berfirman:
ِ ِ ِ ِ ِ
.]414 :‫ُون﴾ [األنعام‬
َ ‫ْشك‬ ُ ‫ون إِ َل َأ ْول َيائ ِه ْم ل ُي َجاد ُلوك ُْم َوإِ ْن َأ َط ْعت ُُم‬
ِ ْ ‫وه ْم إِنك ُْم َُمل‬ َ ‫﴿ َوإِن الش َياط‬
ُ ‫ني َل ُي‬
َ ‫وح‬
"Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada para wali mereka agar mereka
membantah kamu; dan jika kalian menuruti mereka, sesungguhnya kalian tentulah
menjadi orang-orang yang musyrik."
Dan saya melihat bahwasanya sebagian dari mereka datang dengan tambahan
syubuhat yang lain terhadap sebagian yang lain. Saya lihat bahwa Luqman mewarisi
kedustaan-kedustaan hizbiy yang telah terpendam Sholih Al Bakriy, dan hizbiy yang
bersembunyi yang menamakan dirinya sebagai Abdulloh bin Robi’ As Salafiy.
Dan saya telah menjelaskan kemiripan-kemiripan yang mengerikan antara
mar'iyyin dengan haddadiyyin, di dalam risalah "Shifatul Haddadiyyah Fi Munaqosyatin
'Ilmiyyah." Dan sekarang ini mereka mewarisi senjata-senjata haddadiyyun.
Maka sebagaimana para Nabi memiliki pewaris yang membawa kebenaran dan
baku tolong di atas kebajikan dan taqwa, maka demikian pula para setan memiliki
pewaris yang membawa kebatilan dan baku tolong di atas dosa dan permusuhan.
Maka manakala saya mendapati rantai tipu daya ini mengandung banyak
kedustaan dan cercaan yang jahat, saya terpaksa untuk membantahnya dalam rangka
menolong orang yang zholim dan yang terzholimi, sebagaimana dalam hadits Anas bin
Malik rodhiyallohu 'anhu berkata:
ِ ً ‫اك َظ‬
ُ ُ ‫اول اهلل َذا َ ا َنن‬
‫ُها ُه‬ ً ‫املا َأ ْو َم ْظ ُل‬
َ ‫ َياا َر ُس‬:‫ َقاا ُلوا‬. »‫وماا‬ َ ‫ُْص َأ َخ‬ ْ ُ ‫ «ان‬- ‫ صىل اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اهلل‬ ُ ‫َق َال َر ُس‬
.»‫ « ت َْأ ُخ ُذ َف ْو َق َيدَ ْي ِه‬:‫اِلما؟ َق َال‬
ً ‫ُه ُه َظ‬ َ ‫ َف َك ُي‬، ‫َم ُظ ُلو ًما‬
ُ ُ ‫ف َنن‬

Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Tolonglah saudaramu baik dia itu
zholim atau dizholimi." Mereka berkata: "Wahai Rosululloh, orang ini akan kami tolong
jika dia terzholimi. Maka bagaimana kami menolongnya jika dia yang zholim?" Beliau
bersabda: "Engkau pegang tangannya dari atas (cegah dia dari berbuat zholim)." (HR.
Al Bukhory (2444)).

Dan saya menyebutkan dalam lipatan-lipatan risalah ini kriteria alim, faqih dan
mujtahid, dalam rangka membantah orang-orang tersebut di atas dan juga membantah
Muhammad Asy Syarbiniy yang di dalam risalahnya "Aina Tadzhabuna Bi Hadzihil
Fitnah" meremehkan dua syaikh Muhammad bin Hizam Al Ibbiy dan Abdul Hamid Al
Hajuriy ‫حفظهما هللا‬.
Maka saya berkata dengan memohon pertolongan kepada Alloh:
8

Bab Satu: Tuduhan "Ghuluw" dan Berlebihan Dalam


Membid'ahkan

Luqman berkata: "Yang kedua sebaliknya: Ekstrim dan berlebihan dalam


memvonis orang lain sebagai Ahlul bid'ah. Fitnah kedua ini sebenarnya sudah ada
beberapa contoh fitnah lainnya yang sebelumnya dan mendahuluinya. Yaitu fitnah
yang dimunculkan oleh Mahmud Al Haddad Abu Abdillah yang kemudian dikenal
dengan kelompok al haddadiyyah. Ternyata kelompok al haddadiyyah ini muncul
semisal dengannya dan lebih dahsyat lagi, dimunculkan oleh seorang yang bernama
Yahya bin Ali Al Hajuriy yang kemudian sebagian ulama di Yaman menyebutkan fitnah
al Hajuriyyah, memberikan nama untuknya sebagai fitnah al Hajuriyyah."
Maka jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:
Termasuk dari kebiasaan pengekor hawa nafsu yang lembek manhajnya dan
bermudah-mudah dalam agamanya adalah: mereka menuduh para penasihat yang
cemburu terhadap agamanya dan kokoh dalam manhajnya, bahwasanya mereka itu
adalah orang yang ekstrim, keras dan melampaui batas.
Abdul Majid Az Zindaniy menuduh para salafiyyin sebagai kelompok yang keras,
dikarenakan mereka mengkritik para tokoh. (rujuk "Tuhfatul Mujib"/karya Al Imam Al
Wadi'iy ‫ رحمه هللا‬/hal. 367/cet. Darul Atsar).
Para Ikhwaniyyun juga menuduh kita sebagai kelompok keras karena kita
memakai nama Ahlussunnah, dan yang demikian itu menurut mereka membuat larinnya
orang-orang. (rujuk "Maqtalusy Syaikh Jamilirrohman"/karya Al Imam Al Wadi'iy ‫رحمه هللا‬
/hal. 38/cet. Darul Atsar).
Abdulloh bin Gholib As Sururiy menuduh Al Imam Al Wadi'iy ‫ رحمه هللا‬bahwasanya
beliau itu keras dalam mengkritik, dan berlebihan dalam mengkritik para hizbiyyin.
(rujuk apa yang dinukilkan oleh Abu Hammam Al Baidhoniy ‫ وفقه هللا‬dalam "Nubdzatun
Yasiroh Min A'lamil Jaziroh, Tarjumatusy Syaikh Muqbil ‫رحمه هللا‬/hal. 115).
Abul Hasan Al Mishriy menuduh bahwa orang yang membid'ahkan Ikhwanul
Muslimin itu telah berlebihan. ("Majmu'ur Rudud 'Ala Abil Hasan"/karya Asy Syaikh
Robi’ ‫هداه هللا‬/hal. 387).
Ibrohim bin Hasan Asy Sya'biy mencerca para masyayikh: Ahmad An Najmiy,
Robi' Al Madkholiy, dan Zaid bin Muhammad Al Madkholiy bahwasanya beliau-beliau
tersebut adalah orang-orang keras." (rujuk "Ar Roddul Muhabbar"/karya Asy Syaikh
Ahmad An Najmiy ‫رحمه هللا‬/hal. 151).
Ukuran berlebihan dan pertengahan dan bermudah-mudah itu harusnya
dikembalikan kepada dalil-dalil dan argumentasi-argumentasi. Dan alhamdulillah, Asy
Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬sangat berhati-hati saat melihat kebatilan seseorang,
menasihatinya berkali-kali dan bersabar menanti hidayah untuknya. Jika dilihat
penentangannya terhadap kebenaran setelah ditegakkan dan ditunggu, maka barulah
diberikan hukum sesuai dengan haknya.
9

Luqman berkata –secara ringkas-: "Di antara yang diucapkan oleh Al Hajuriy
sebagaimana yang terekam di dalam kaset yang berjudul "Nashihatul Ahbab"
judulnya indah sekali –"nasihat untuk kawan-kawan yang tersayang"- apa kata dia?:
"Lajnah yang kalian bentuk terhadap kami, tidak ada salafnya. Kalian sekarang telah
memunculkan perkara yang muhdats, yakni amalan bid'ah." Kemudian Luqman
menuduh Asy Syaikh Yahya nyeleneh dan mudah memvonis bid'ah.
Jawabannya –dengan taufiq Alloh- adalah sebagai berikut-:
Sesungguhnya Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬tidak menilai bahwa asal ijtima' itu
adalah bid'ah. Hanya saja beliau menyebutkan bahwasanya kasus ini adalah kasus
pembelotan sebagian murid terhadap syaikh mereka, dan pembangkangan mereka
terhadap kebenaran, dan bersikerasnya mereka untuk berbuat zholim pada yang lain,
lalu syaikh mengusir mereka dalam rangka menjaga keteraturan markiz. Maka
bagaimana para masyayikh yang tadi ikut campur dan membuat seperti panitia untuk
mengurusi kasus tadi? Ini tidak dilakukan oleh As Salafush Sholih, maka Asy Syaikh
Yahya menghukumi bahwa yang demikian itu adalah muhdats (perkara baru).
Dulu para As Salafush Sholih mengusir orang-orang jelek dalam rangka menjaga
agama dan muslimin, sementara para imam yang lain tidak membuat pertemuan untuk
ikut campur urusan tadi.
Ini dia Washil bin 'Atho diusir oleh Al Imam Al Hasan Al Bashriy ‫ رحمزه هللا‬dari
majelis beliau. ("Al Ansab"/karya As Sam'aniy/5/hal. 338-339). Dan para imam yang lain
tidak membuat ijtima' terhadap perbuatan Al Hasan Al Bashriy terhadap para murid
beliau.

Qodariyyah juga terusir dari majelis Ikrimah bin Ammar ‫رحمزه هللا‬. Mu'adz bin
Mu'adz berkata: aku mendengar Ikrimah bin Ammar berkata pada orang-orang: "Aku
menyatakan keberatan terhadap orang yang bermadzhab qodariyyah, hendaknya dia
bangkit dan keluar dari majelisku, karena sungguh aku tak akan memberinya hadits."
("Siyar A'lamin Nubala"/7/hal. 138). Dan para ulama tidak berkata: "Anda harus
bermusyawarah dengan kami sebelum mengusir satu orangpun dari majelis Anda."

Imam muslimin di zamannya: Abu Abdillah Malik bin Anas ‫ رحمه هللا‬ketika ditanya
tentang bagaimana istiwa Alloh, beliau menjawab: "Istiwa itu telah diketahui.
Gambarannya itu tidak diketahui. Beriman dengan itu adalah wajib. Bertanya tentang
itu adalah bid'ah. Dan aku mengira bahwasanya engkau adalah seorang zindiq.
Keluarkanlah dia dari masjid." ("Thobaqotusy Syafi'iyyatil Kubro"/4/hal. 163).

Dan tiada ulama yang lain yang menyatakan bahwasanya harus dibentuk lajnah
untuk memeriksa perbuatan Al Imam Malik terhadap orang yang di majelis beliau.
Dan contoh dalam masalah ini banyak.
10

Bab Dua: Upaya Menempelkan Nama "Fitnah" Terhadap


Asy Syaikh Yahya ‫حفظه هللا‬

Luqman Ba Abduh berkata: "fitnah yang dimunculkan oleh Mahmud Al Haddad


Abu Abdillah yang kemudian dikenal dengan kelompok al haddadiyyah. Ternyata
kelompok al haddadiyyah ini muncul semisal dengannya dan lebih dahsyat lagi,
dimunculkan oleh seorang yang bernama Yahya bin Ali Al Hajuriy."

Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Seharusnya engkau menamai fitnah ini sesuai dengan penyebabnya, yaitu


Abdurrohman Al Adaniy Al Mar'iy. Seperti fitnah Timurlank.

Ibnu Katsir ‫ رحمه هللا‬berkata: "Watsilah menyaksikan perang Tabuk, kemudian


menghadiri penaklukan Damaskus dan tinggal di situ, dan masjid beliau ada di situ, di
samping Babush Shoghir dari arah kiblat. Aku katakan: masjid beliau terbakar pada
masa fitnah Timurlank, dan tidak tersisa darinya kecuali bekasnya saja. Dan di atas
pintunya dari arah timur ada semacam saluran air." ("Al Bidayah Wan Nihayah"/9/hal.
60).

Fitnah yang terjadi di Dammaj itu disebabkan oleh Abdurrohman Al Adaniy,


sebagaimana kenyataan yang kami lihat, dan diakui oleh para masyayikh itu sendiri,
bukan seperti yang dituduhkan oleh Luqman dan para hizbiyyun yang pura-pura buta
yang lain. Dan para masyayikh –semoga Alloh menjaga mereka- telah menetapkan
dalam ijtima' yang pertama bahwasanya Abdurrohman bin Mar'i keliru dalam
langkahnya. (rujuk "Al Barohinul Jaliyyah"/hal. 9), bahkan Asy Syaikh Abdulloh bin
Utsman ‫ حفظه هللا‬berkata padanya: "Fitnah-fitnah ini menyembur dari bawah telapak
kakimu." (rujuk "Haqoiq Wa Bayan"/hal. 36).

Dan sebagaimana ucapan Asy Syaikh Muhammad Al Imam ‫ هداه هللا‬kepada


Abdurrohman dalam majelis masyayikh: "Ini adalah Bakriyyah gaya baru." (rujuk
"Haqoiq Wa Bayan"/hal. 22).

Maka Abdurrohman Al 'Adaniy itulah sebab fitnah ini, maka dikatakan: "Fitnah Al
Adaniy."

Kecuali jika perkaranya jelas dan tidak terjadi kesamaran bagi orang-orang, maka
boleh untuk fitnah itu dinisbatkan kepada yang bukan penyebabnya, sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian ahli sejarah. Hanya saja Luqman Ba Abduh hanyalah
menginginkan bentuk yang pertama, yaitu dia menisbatkan fitnah ini kepada Asy Syaikh
Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬, sebagai bentuk penisbatan fitnah kepada penyebabnya –
menurut anggapan dia-.
11

Yang lebih menguatkan bahwasanya fitnah ini telah direncanakan oleh para
Mar'iyyun adalah data-data sebagai berikut:

Syaikh kami Abu Abdillah Muhammad Ba Jammal ‫ حفظه هللا‬: “Dan telah tetap juga
perkara yang menunjukkan makar dan khianat orang ini –yaitu Salim Ba Muhriz-. Maka
di antara perkara yang kami ketahui: Pertama: Berita yang dikabarkan kepada kami,
oleh saudara kami yang mulia Muhammad bin Sa’id bin Muflih dan saudaranya Ahmad,
dan keduanya adalah penduduk Dis Timur di pesisir Hadhromaut, yaitu: Bahwasanya
Salim Ba Muhriz berkata pada mereka di pertengahan tahun 1423 H: “Kita telah selesai
dari Abul Hasan. Dan giliran berikutnya akan datang menimpa Al Hajuriy!!!”
Ini adalah makar dan tipu daya yang nyata serta rencana untuk menimpakan
fitnah di barisan Ahlussunnah, di mata orang-orang yang inshof (adil/objektif). Akan
tetapi yang mengherankan adalah orang yang telah sampai padanya ucapan semacam
ini tapi dia diam saja tidak bergerak seakan-akan dia ridho dengan itu!”(3) (“Ad Dalailul
Qoth’iyyah ‘Ala Inhirofi Ibnai Mar’i”/hal. 13).
Abu Abdillah Muhammad bin Mahdi Al Qobbash Asy Syabwiy: Kami pernah
pulang dari muhadhoroh di So’dah bersama Abdurrohman Al ‘Adniy. Dan yang demikian
itu setelah pulangnya Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬dari perjalanan beliau ke ‘Adn yang
terakhir, maka berkatalah akh Shodiq Al ‘Abdiniy –dan dia termasuk teman dan orang
dekat Abdurrohman Al ‘Adniy- kepada Abdurrohman: “Yang menghadiri ceramah Asy
Syaikh Yahya Al Hajuriy di ‘Adn itu jumlahnya besar. Kami menyangka kerajaan kita akan
berdiri di sana –di ‘Adn-. Maka Abdurrohman Al 'Adniy berkata: “Tidak tahukah engkau
wahai akh Shodiq bahwasanya markiz –atau berkata: dakwah- akan pindah ke sana,
karena markiz ini –yaitu markiz Dammaj- itu terancam dari arah Rofidhoh.” Selesai
kisah. Dan yang demikian itu sebelum fitnah Abdurrohman Al 'Adniy dan sebelum fitnah
Hutsiyyin (Rofidhoh) (4).
Abdul Hakim bin Muhammad Al `Uqoiliy Ar Roimiy berkata: “Seorang saudara
dari Indonesia datang bermusyawarah dengan Abdurrohman Al 'Adniy dalam masalah
membeli tanah di Dammaj seharga empat juta real Yamaniy. Maka Abdurrohman Al
'Adniy berkata: “kunasihati engkau untuk tidak membelinya.” Lalu orang itu pergi. Maka
Abdurrohman Al 'Adniy berkata padaku: “Nasihatilah orang itu. Ini adalah harta yang
besar. Wallohu a’lam apakah Dammaj ini akan tetap ada setelah ini atau tidak. Bisa

(3)
Asy Syaikh Jammal berkata: Jika Salim Ba Muhriz atau yang lainnya mendustakan penukilan-penukilan
ini maka pendustaannya itu tak bisa diterima karena berita tadi tidaklah diterima dari jalanan atau dari
orang rendahan atau orang majhul semisal perserikatan Ibnu Mar’i Al Barmakiyyah, karena berita tadi
adalah penukilan dari orang-orang yang lurus agamanya yang terkenal dengan amanah dan kejujuran.
Tinggallah kewajiban Ibnu Muhriz untuk mengumumkan tobat secara terang.
(4)
Catatan baru: Bukan berarti Abdurrohman Al ‘Adeniy menginginkan kebaikan bagi dakwah Salafiyyah,
tapi dia memang tengah menjalankan makar orang yang mengendalikan dirinya untuk meruntuhkan
dakwah di Dammaj, maka dari itu dia tidak bermusyawarah baik-baik dengan Syaikhuna Yahya untuk
bersama-sama memindahkan pusat dakwah demi menghindar dari serangan rofidhoh terhadap Dammaj
yang saat itu masih belum nampak.
12

jadi hartanya tadi akan hilang.” Atau ucapan yang semakna dengan itu. Dan ucapan
tadi terjadi sebelum fitnah ini, dan Alloh menjadi saksi atas perkataanku ini.”
Abul Khoththob Thoriq Al Libiy –salah satu kepala gerombolan fitnah ini- berkata
pada Akh Aiman Al Libiy sebelum fitnah ini: “Abdurrohman bin Mar’i Al 'Adniy akan
membuka markiz besar di ‘Adn, fasilitas lengkap, dukungan juga kuat, dan akan
dinamakan “Kota ilmu.” Dan Insya Alloh akan ada jalan keluar bagi problem para
pelajar asing.” Lalu Abul khoththob berkata lagi: “Tak akan tersisa seorang pelajarpun
di Dammaj.”
Abdulloh Al Jahdariy –pengelola penertiban jadwal pelajaran di Dammaj, dan
dulunya termasuk orang dekat dan teman duduk Abdurrohman Al 'Adniy- berkata
bahwa dirinya dulu ingin membeli rumah di Dammaj, maka Abdurrohman Al 'Adniy
menasihatinya untuk tidak membeli rumah. Abdurrohman Al 'Adniy berkata: “Kita
tidak tapi bagaimana urusan ini nantinya, dan apa yang akan terjadi besok.” Ucapan
ini dilontarkannya pada akhir fitnah Abul Hasan.
Dan semisal dengan ini Abdurrohman Al 'Adniy menasihati orang lain dengan
dihadiri Abdulloh Al Jahdariy kurang lebih dua tahun setelah itu.
Abdurrohman bin Ahmad An Nakho’iy berkata: “Saya berkendara bersama
Abdurrohman Al 'Adniy di mobilnya dari Mudiyah ke Laudar, saya disertai Abdul Bari Al
Laudariy. Lalu Abdul Bari Al Laudariy menanyainya: “Wahai Syaikh Abdurrohman,
bagaimana kabar tentang markiz?” Abdurrohman berkata: “Kami masih berupaya untuk
itu.” Maka Abdul Bari Al Laudariy berkata: “Ini adalah upaya yang bagus agar mereka
mengakhiri makelar di Dammaj.” Lalu dia tertawa. Maka Abdurrohman Al 'Adniy diam.

(Rujuk “Mukhtashorul Bayan”/hal. 4-5/ditulis oleh sekelompok masyayikh Darul Hadits


Dammaj).

Ini jelas sekali bagi orang-orang yang berakal bahwasanya kasus ini bukanlah
sekedar pembukaan markiz baru seperti anggapan Luqman, bahkan ini adalah tipu
muslihat untuk mengacau markiz induk dan upaya menghilangkan kebaikan-kebaikan di
dalamnya.

Manakala makar mereka terbongkar, dan para masyayikh berkumpul di Darul


Hadits Dammaj –pertemuan yang pertama- Abdurrohman Al 'Adniy mengakui di
hadapan mereka bahwasanya ketika Sholih Al Bakriy telah jatuh, beberapa orang
mendatanginya seraya berkata: “Sesungguhnya Al Bakri telah jatuh, maka bangkitlah
Anda.” Demikianlah Asy Syaikh Abu Abdirrohman Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬mengabarkan
kepada kami.

Dan berita ini juga tersebut di risalah “Al Muamarotul Kubro” karya Abu
Basysyar Abdul Ghoni Al Qo’syamiy ‫ حفظه هللا‬hal. 16.

Lihatlah tipu muslihat yang besar sekali ini. Maka apakah setelah data-data
besar semacam ini engkau –wahai Luqman- masih menghukumi bahwasanya orang-
orang Mar'iyyun itu di atas sunnah dan salafiyyah?
13

Dan lihatlah pelaksanaan strategi mereka itu:

Ketika Abdurrohman Al Mar’iy mengumumkan permulaan pencatatan nama –


orang-orang yang akan membeli tanah di calon markiz Fuyusy- tersebut, dia
menebarkan berita di tengah-tengah penuntut ilmu bahwasanya tenggang waktu
pencatatan tidak lebih dari empat hari saja, dan bahwasanya pembangunan tanah
tersebut akan selesai dalam tempo satu tahun. Tentu saja tempo yang amat sempit dan
pembatasan yang telah dirancang tadi menunjukkan padamu besarnya bahaya impian
dan makar tadi. Orang ini tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi pelajar
untuk memikirkan tadi bahaya, efek dan akibat dari urusan ini. Dan dia tidak tahu tipu
daya tadi. Tapi Alloh ta’ala berfirman:
ِ
َ ‫ون َو َي ْمك ُُر اهلل َواهلل خَ ْ ُري املَْاك ِر‬
]03/‫ [األنفال‬‫ين‬ َ ‫ َو َي ْمك ُُر‬

“Mereka membuat tipu daya, dan Alloh membalas tipu daya mereka. Dan Alloh itu
sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al Anfal: 30).

Maka yang terjadi sebagai akibat dari tenggang waktu yang cukup mencekik
tersebut adalah: banyak pelajar yang tertimpa kesusahan. Sebagian dari mereka
akhirnya harus membuang rasa malu untuk mengemis dalam mencari uang. Ada
sebagiannya yang sibuk berpikir dan goncang hatinya dikarenakan waktu tidak
mengizinkan untuk terlambat.

Keadaan ekonomi para pelajar sudah diketahui bersama, dan jumlah uang yang
harus dibayarkan untuk membeli tanah itu tidak dimiliki oleh mayoritas mereka (5). Tentu
saja kondisi seperti ini telah benar-benar diketahui oleh Abdurrohman Al Mar’iy. Tapi
dia memanfaatkan kelemahan ekonomi para pelajar tersebut. Oleh karena itulah dia
menawarkan kepada mereka harga yang menurut orang lain cukup murah tersebut.
Akibatnya sebagian dari pelajar bagaikan orang gila yang goncang dalam upayanya
mendapatkan dana senilai harga tersebut.

Mestinya yang wajib dilakukan oleh Abdurrohman Al Mar’iy dalam kondisi


seperti ini adalah untuk tidak membuat sempit para pelajar, dan tidak membuat
pembatas waktu yang menjerumuskan mereka ke dalam kesusahan. Ini jika kita
menerima bahwasanya perbuatannya tadi benar(6).

(5)
Walaupun relatif murah menurut kalangan menengah.
(6)
Jika dia memang ikhlas hendak memajukan kualitas Yaman wilayah selatan dalam bidang ilmu dan
akhlaq dan sebagainya, mengapa dengan jalan mengobrak-abrik ketenangan belajar para pelajar di
Dammaj (markiz Salafiyyah terbesar di Yaman wilayah utara, dan bahkan se-Yaman secara mutlak) dan
merayu mereka agar menjual kamar dan rumah mereka yang di Dammaj. Bahkan ada sebagian pelajar asli
Abyan didatangi mereka sambil berkata,”Wahai Akhuna Fulan, bergabunglah, barangkali engkau
termasuk calon pasukan Aden-Abyan yang dijanjikan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam-.” Kalaupun
14

Engkau bisa melihat sebagian pelajar menjual emas istrinya, ada juga yang
berutang, ada juga bisa engkau lihat dia itu sedih karena tidak mendapatkan uang untuk
membeli tanah tadi, terutama dengan sempitnya waktu. Ada juga dari mereka yang
menghasung sebagian pelajar untuk menjual rumahnya yang di Dammaj sehingga bisa
memiliki dana untuk membeli tanah yang di kota perdagangan Fuyusy. Akibatnya
sebagian pelajar ada yang terjerumus ke dalam jebakan tadi, ada yang tertimpa
kesempitan, ada juga yang kesusahan.

Adapun orang yang telah membeli tanah tadi, mulailah dia setelah itu
memikirkan pembangunannya, dan darimana mendapatkan dana agar bisa mendirikan
bangunan di atas tanah tadi. Maka terjatuhlah orang tadi ke dalam kesusahan, yang
meyebabkan sebagiannya berkurang semangat belajarnya dan mulai condong kepada
dunia. (diringkas dari “Tadzkirotun Nubaha Wal Fudhola”/Asy Syaikh yang utama Abu
Hamzah Muhammad Al ‘Amudiy Al ‘Adniy ‫ حفظه هللا‬/hal. 3-9).

Abdurrohman bin Mar'i Al 'Adaniy dan para pengikutnya telah berupaya untuk
merobek barisan salafiyyun. Datang fitnah mereka –di tengah-tengah markiz induk-
untuk memukul dakwah Sunniyyah Salafiyyah, untuk mencerai-beraikan kesatuan
mereka dan memindahkan perjalanan mereka yang sesuai Al Qur'an dan As Sunnah dan
Salafiyyah menuju kepada perjalanan baru yang tidak dikenal di zaman As Salafush
Sholih. Mereka menaikkan syiar "Kami ingin markiz di Fuyush!" tapi mereka tidak
memulai dari sana, bahkan mereka justru membuat kegoncangan di markiz induk dan
mengacau pikiran para pelajar markiz induk. Dan syaikh markiz induk, Asy Syaikh Yahya
bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬tidak melarang mereka membangun markiz salafiy di bumi
Alloh di manapun, bahkan beliau mendukung mereka dan mendorong mereka untuk itu.

Akan tetapi kegaduhan macam apa ini yang terjadi di tengah-tengah Darul
Hadits di Dammaj? Kenapa mereka tidak keluar dengan tenang ke tempat yang mereka
inginkan, dan orang orang akan berdatangan insya Alloh tanpa membuat kekacauan di
markiz ini? Tidak, mereka itu memang ingin melarikan para murid markiz ini dan
merobek barisan penuntut ilmu di Darul Hadits ini.

Masih banyak orang yang belum mengaji di suatu markiz di luar sana, kenapa
yang sudah jadi murid Dammaj justru dibujuk dan diiming-imingi untuk keluar dari
Dammaj?

Silakan rujuk kembali kabar fitnah dan kegoncangan tersebut di “Zajrul ‘Awi”
(1/hal. 10), “Silsilatuh Tholi’ah” (4/hal. 12 dan 25), “Al Muamarotul Kubro” (Abdul Ghoni
Al Qo'syamiy/hal. 18), “Haqoiq Wa Bayan” (Kamal Al ‘Adaniy/ha. 31), dan “Nashbul
Manjaniq” (Yusuf Al Jazairiy/hal. 79).

perbuatannya tadi bisa dibenarkan, mengapa setelah berhasil merayu sebagian pelajar dari Dammaj lalu
dia membuat kesempitan terhadap mereka?
15

Asy Syaikh Muhammad Ba Jammal -hafizhohulloh- (pengajar di salah satu masjid


di Hadhromaut) berkata: “Di antara berita yang tersebar dan diketahui bersama adalah
bahwasanya Asy Syaikh Abdurrohman –Ashlahahulloh- punya para wakil yang
menjalankan proyek pencatatan nama-nama orang yang ingin membangun di tanah
markiz Lahj (Fuyusy). Dia sebelum itu punya iklan dan pengumuman besar yang tiada
tandingannya, bahkan menelpon si fulan dan si fulan di sana dan di sini, yang mana
kejadian tersebut membuat tersentaknya orang-orang yang berakal. Yang demikian itu
dikarenakan markiz-markiz Ahlussunnah tidak didirikan dengan karakter dan gaya
seperti itu, seperti yang diinginkan Asy Syaikh Abdurrohman –Ashlahahulloh- dalam
mendirikan markiz Lahj.

Semua orang tahu secara pasti bahwasanya tiada seorangpun pada zaman
Syaikhunal Imam Al Wadi’iy -‫رحمهه هللا‬u- bisa tinggal di Dammaj sambil mencatat para
pelajar yang ingin pindah ke markiz barunya –yang sampai sekarang masih berupa tanah
kosong!(7) Padahal dulu markiz-markiz itu didirikan setelah itu barulah orang yang
diwakilkan untuk mengajar di situ pindah ke markiz tersebut. Terkadang pada
permulaannya Syaikhuna -‫رحمههه هللا‬u- diminta untuk menentukan orang yang akan
mengajar di situ.

Maka mengapa perkara yang seperti ini terjadi di Darul Hadits di Dammaj dalam
keadaan pengganti bapak kita ada tapi tidak dimintai musyawarahnya !!? apakah kalian
pandang seperti ini bentuk bakti, bantuan dan pertolongan buat markiz Syaikhuna - ‫رحمه‬
‫هللا‬u-, ataukah hal itu merupakan suatu bentuk kedurhakaan dan permusuhan !!?

Aku merasa kagum dengan kecerdasan sebagian saudara kita dari pelajar asing
manakala dia bertanya kepada seorang teman: “Andaikata Asy Syaikh Muqbil masih
hidup, mungkinkah Asy Syaikh Abdurrohman melakukan perkara seperti ini, yaitu
mencatat nama pelajar Dammaj yang mau pindah ke Fuyusy?” Maka teman tadi
menjawab: “Nggak bisa.” Maka dia berkata,”Berarti ini nggak benar”.” (“Mulhaqun
Nadhor”/hal. 13).

Luqman Ba Abduh dalam ceramahnya yang berusaha menghantam Asy Syaikh


Yahya berkata: "Salafiyyun itu tidak bodoh." Maka kami jawab: "Iya benar, salafiyyun
tidak bodoh, mereka dengan taufiq dari Alloh bisa melihat racun yang mengerikan di
balik roti "Pendirian Pondok" yang disodorkan si Adaniy. Apalagi setelah mendengar
bisikan-bisikan para kokinya, tahulah salafiyyun apa maksud sebenarnya dari proyek
spektakuler tersebut. Alhamdulillah salafiyyun tidak bodoh meskipun Luqman berupaya
untuk membodohi mereka dengan gaya bahasa yang lembut dan mengundang
keharuan.

(7)
Risalah ini beliau sebarkan pada awal fitnah, sekitar tiga tahun yang lalu. Adapun sekarang markiz
Fuyusy telah berdiri.
16

Maka Abdurrohman Al 'Adaniy dan para pengikutnya itulah penyebab fitnah


secara sengaja, maka fitnah ini dinisbatkan kepada mereka, bukan kepada Asy Syaikh
Yahya Al Hajuriy ‫حفظه هللا‬.

Luqman Ba Abduh berkata: "Sebagian ulama di Yaman menyebutkan fitnah al


hajuriyyah, memberikan nama untuknya sebagai fitnah al hajuriyyah. MemberI
namanya dengan fitnah Al Hajuriyyah. Asy Syaikh Muhammad bin AbdilWahhab Al
Wushobiy, ulama Ahlussunnah yang tertua di Yaman dalam dakwah dan ilmu, guru
kebanyakan masyayikh di yaman yang ada sekarang ini, termasuk Yahya Al Hajuriy
sendiri sebagai salah satu muridnya menamakan fitnah ini dengan Al Hajawiroh.
Diambil dari kata Al Hajuriy."

Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- sebagai berikut:

Ulama Yaman itu banyak. Bagus juga jika Luqman menjaga kalimat dan tidak
meniru sebagian Mar’iyyun yang kalimat mereka sering menjurus pada pembatasan
ulama di Yaman hanya pada sebatas Muhammad Al Wushobiy, Muhammad Ar Roimiy,
Muhammad Ash Shoumaliy, Abdul Aziz Al Buro'iy, dan kedua anak Mar'i saja, karena
sesungguhnya yang demikian itu adalah kezholiman, pengurangan hak dan penghinaan.
Dan akan datang insya Alloh pembicaraan tentang masalah itu dalam bantahan kami
terhadap orang yang menganggap bahwasanya Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬ingin
menjatuhkan para ulama dan tidak menyisakan satu orang alimpun.

Banyak dari ulama Yaman dan yang selain Yaman yang tidak menilai Asy Syaikh
Yahya sebagai penyebab fitnah, dan akan datang insya Alloh penyebutan nama-nama
para ulama tersebut. Bahkan mereka menyetujui Asy Syaikh Yahya -berdasarkan ilmu
dan pandangan yang tajam- bahwasanya Abdurrohman Al Adaniy dan kelompoknya
itulah penyebab fitnah ini dan pengobarnya.

Adapun ucapanmu -wahai Luqman- bahwasanya Asy Syaikh Muhammad bin


AbdilWahhab Al Wushobiy itu paling tinggi ilmunya di Yaman, sebagaimana ucapanmu
ini, dan dalam ucapmu yang lain: "Asy Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab di
samping secara umur yang tertua juga secara ilmu yang paling senior, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Asy Syaikh Muhammad Al Imam… " mana ini perlu bayyinah.

Jika engkau berdalilkan dengan ucapan Muhammad Al Imam, maka kami


mengambil ucapan syaikh kalian semua –Al Imam Al Wadi'iy ‫ رحمه هللا‬- karena beliau
lebih tahu tentang murid-murid beliau, dan beliau menyelisihi ucapanmu.

Akhuna Abdulloh Mathir -waffaqohulloh- berkata: "Aku telah bertanya kepada


Syaikh –yaitu Imam Al Wadi'i- dan demi Alloh, saat itu tiada antara aku dan beliau
kecuali Alloh –azza wajalla-. Ketika aku berada di kamarnya di atas ranjang beliau (ketika
beliau sakit). Kukatakan,"Wahai Syaikh, kepada siapa para Ikhwah akan merujuk
17

(kembali) di Yaman ini ?, dan siapakah orang yang paling berilmu di Yaman?" beliau
diam sejenak, lalu berkata,"Asy Syaikh Yahya." Inilah yang kudengar dari Syaikh Muqbil,
dan ini tidaklah maknanya kita merendahkan ulama Yaman yang lain. Sungguh kita
benar-benar memuliakan dan mencintai mereka karena Alloh.. dst." ["Muamarotul
Kubro"/hal. 24]

Kami tidak mementingkan apakah seseorang itu paling berilmu ataukah tidak,
karena yang terpandang adalah kesesuaian dengan kebenaran, dengan dalil-dalilnya. Al
Imam Ibnu Abdil Barr ‫ رحمه هللا‬berkata dalam bantahan beliau terhadap para ahli taqlid:
"Jika dia berkata: "Aku membebek padanya karena dia adalah orang yang paling
berilmu." Maka dijawab untuknya: "Berarti dia itu lebih berilmu daripada para
Shohabat? Dan cukuplah ucapan macam ini sebagai suatu keburukan." Jika dia berkata:
"Aku hanyalah membebek pada sebagian Shohabat." Maka dijawab untuknya: "Apa
hujjahmu dalam meninggalkan sebagian Shohabat yang tidak engkau taqlidi? Dan bisa
jadi Shohabat yang engkau tinggalkan ucapannya itu lebih berilmu dan lebih utama
daripada Shohabat yang engkau ambil ucapannya. Walaupun perkataan itu tidaklah
benar dikarenakan keutamaan si pengucapnya, akan tetapi ucapan itu hanyalah benar
dengan penunjukan dalil terhadapnya." ("Jami' Bayanil Ilmi Wa Fadhlih"/3/hal. 234).

Hanyalah saya mendebat Luqman dalam perkataan tadi karena dia dan
tentaranya sering membanggakan para ulama mereka sambil meremehkan ulama lain
yang menjadi lawan mereka, lebih-lebih untuk mau memurnikan diri mencari kebenaran
dengan melihat kepada dalil-dalilnya.

Luqman Al Hizbiy berkata: "Fitnah Yahya Al Hajuriy ini muncul kurang lebih
tujuh tahun yang lalu dan kemudian fitnah ini muncul dalam bentuk kekuatan yang
mampu memecah belah salafiyyin, walaupun sebenarnya fitnah aqidah dan
penyimpangannya sudah muncul sejak awal-awal dia duduk di kursi Asy Syaikh
Muqbil ‫ رحمه هللا‬lebih dari sepuluh tahun yang lalu, atau kurang lebih sepuluh tahun
yang lalu."
Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:
Ini adalah kedustaan yang tersingkap. Bahkan awal-awal duduknya Asy Syaikh
Yahya ‫ حفظه هللا‬adalah pada masa hidup Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬, sepanjang selang
waktu dari kehidupan Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬, dan beliau memuji Asy Syaikh Yahya
dan menjelang wafat beliau beliau mewasiatkan agar orang jangan ridho untuk Asy
Syaikh Yahya turun dari kursi.
Banyak dari ahli ahwa menyebarkan racun-racunnya di tengah-tengah muslimin,
dan mereka tidak suka ada seorangpun yang menggugat mereka, maka jika ada seorang
penasihat, alim lagi jujur membantah mereka dan membongkar makar mereka, mereka
18

menuduhnya sebagai pemecah-belah jamaah muslimin, merobek keutuhan muslimin


dan sebagainya.
Hasan Al Malikiy dulu menuduh kitab-kitab aqidah –terutama karya Hanabilah-
menanamkan benih perpecahan, kebencian, dan perselisihan di antara muslimin, dan
robeknya barisan mereka. (rujuk “Al Intishor Li Ahlissunnah”/hal. 28/Darul Fadhilah).

Muhammad Al Alwiy Al Malikiy juga telah menuduh para dai tauhid bahwasanya
mereka memecah-belah jama'ah-jama'ah. (sebagaimana dalam kitabnya "Mafahim
Yajibu An Yushohhah"/hal. 31/rujuk kitab "Hadzihi Mafahimuna"/hal. 240/karya Sholih
bin Abdil Aziz Alisy Syaikh).
Dan orang-orang pergerakan masa kini menuduh salafiyyun bahwasanya mereka
mematahkan tongkat muslimin, karena salafiyyun tidak mau mengikuti pemikiran
orang-orang tadi. Ini diceritakan oleh Al Imam Muqbil ‫رحمه هللا‬. ("Tuhfatul Mujib"/hal.
115).
Para Ikhwaniyyun juga menuduh Asy Syaikh Jamilurrohman dan para sahabatnya
mematahkan tongkat muslimin, karena tidak mau bergabung dengan ikhwaniyyin."
(rujuk "Maqtalusy Syaikh Jamilirrohman"/karya Al Imam Al Wadi'iy ‫ رحمه هللا‬/hal. 46/cet.
Darul Atsar).
Termasuk dari alamat Ikhwanul Muslimin adalah: "Jika jamaah keliru di suatu
tempat, mereka berkata: "Kita harus selalu diam, jangan memecah-belah barisan.
Tatsabbut, tatsabbut, sibuklah dengan ilmu dan amal, dan serahkan urusan ini pada
ahlinya, dan janganlah kalian menyibukkan pikiran orang awwam. Kita menunggu dan
menghindar dari fitnah, … dst. (rujuk “Ar Roddul Muhabbir”/hal. 192/karya Asy Syaikh
Ahmad An Najmiy ‫رحمه هللا‬/cet. Darul Minhaj).
Ini juga dengungan hizb Mar'iyyah bahwasanya mereka menuduh Salafiyyun
yang menasihati itu menyebabkan perpecahan.

Ini tidak benar. Para Nabi ‫ عليه السالم‬dan para pewaris mereka mengajak kepada
ijtima’ di atas Al Kitab dan As Sunnah. Kemudian tentu saja terjadi perpecahan di antara
ahlul haq dengan ahlul batil ketika da’watul haq datang. Alloh ta’ala berfirman:

َ ‫َيت َِص ُم‬


.]14/‫ون﴾ [النمل‬ ِ ً ‫﴿و َل َقدْ َأرس ْلنَا إِ َل َثمود َأخَ اهم ص‬
ِ ‫اِلا َأ ِن ا ْع ُبدُ وا اهلل َفإِ َذا ُه ْم َف ِري َق‬
ْ َ ‫ان‬ َ ْ ُ َ ُ َ ْ َ

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada Tsamud saudara mereka Sholih yang
menyeru: “Beribadahlah kalian kepada Alloh” maka tiba-tiba saja mereka menjadi
dua kelompok yang yang bersengketa.” (QS. An Naml: 45).

Dalam hadits Jabir bin Abdillah ‫ رضي هللا عنهما‬:

‫ فرق بني الناس‬- ‫ صىل اهلل عليه وسلم‬- ‫وحممد‬


19

“Dan Muhammad -shollallohu ‘alaihi wasallam- itu memisahkan di antara manusia.”


(HR. Al Bukhoriy (Al I’tishom/Al Iqtida Bisunanir Rosul/(7281)/Darus Salam)).

Mulla ‘Ali Al Qoriy ‫ رحمزه هللا‬menukilkan maknanya: “Maknanya adalah: Rosululloh


-shollallohu ‘alaihi wasallam- itu pemisah antara orang yang beriman dan orang yang
kafir, orang yang sholih dan orang yang fasiq.” (“Mirqotul Mafatih”/1/hal. 496).

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Alloh telah mengutus Muhammad ‫صلى هللا عليه‬
‫ وسلم‬dengan petunjuk dan agama yang benar. Dengan beliau Alloh memisahkan antara
tauhid dan syirik, antara kebenaran dan kebatilan, antara petunjuk dan kesesatan,
antara pengamalan ilmu dan pembangkangan terhadap ilmu, dan antara ma’ruf dan
munkar.” (“Majmu’ul Fatawa”/27/hal. 442/Maktabah Ibnu Taimiyyah).

Maka barangsiapa menaati para Rosululloh, maka dia adalah termasuk ahli
jamaah dan ketaatan. Tapi barangsiapa mendurhakai mereka, maka dia itulah pelaku
perpecahan dan pemisahan diri serta kezholiman, maka dia itulah yang tertimpa celaan
dan cercaan. Maka sebab dari perpecahan adalah keluarnya seseorang dari mengikuti Al
Kitab Was Sunnah serta manhaj Salaf. Alloh ta’ala berfirman:

﴾‫الس ُب َل َف َت َفر َق بِك ُْم َع ْن َسبِيلِ ِه َذلِك ُْم َوصاك ُْم بِ ِه َل َعلك ُْم تَت ُقون‬ ِ ِ ِ ‫﴿و َأن ه َذا‬
ُّ ‫ِصاطي ُم ْستَق ًيًم َفاتبِ ُعو ُه َو ََل تَتبِ ُعوا‬
َ َ َ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah
Dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Alloh agar
kalian bertakwa.” (QS. Al An’am: 153).

Dan Alloh Yang Mahasuci berfirman:


]41/‫اء ُه ُم ا ْل ِع ْل ُم َب ْغ ًيا َب ْين َُه ْم﴾ [الشورى‬ ِ ِ
َ ‫﴿و َما َت َفر ُقوا إَِل م ْن َب ْعد َما َج‬
َ

"Dan tidaklah mereka tercerai-berai kecuali setelah datang kepada mereka ilmu,
disebabkan oleh kezholiman di antara mereka."
Asy Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad ‫ حفظه هللا‬dalam bantahannya terhadap Hasan
Al Malikiy berkata: “Adapun penyimpangan ahlul bida’ wal ahwa dari Al Kitab dan As
Sunnah, itulah sebab yang hakiki dari perpecahan mereka dan robeknya barisan
mereka…” dst. (rujuk “Al Intishor Li Ahlissunnah”/hal. 33/Darul Fadhilah).

Fadhilatusy Syaikh Sholih Al Fauzan ‫ حفظه هللا‬berkata: “Peringatan untuk umat


dari manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj salaf itu merupakan penyatuan kalimat
Muslimin, bukan pemecah-belahan terhadap barisan mereka, karena sesungguhnya
yang memecahbelah barisan Muslimin adalah manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj
20

salaf itu.” (“Al Ajwibatul Mufidah” milik Asy Syaikh Sholih Al Fauzan/ditulis oleh Jamal Al
Haritsiy/hal. 157/Maktabatul Hadyil Muhammadiy).

Dan siapakah yang menanggung dosa perpecahan ini? Dosanya ditanggung oleh
orang yang keluar dari kebenaran dan mengadu domba di antara salafiyyun. Maka
Abdurrohman Al 'Adniy dan para pengikutnya telah membuat makar yang besar di
markiz sunnah terbesar di Yaman, menghasung para murid untuk pindah, dan berusaha
membuat mereka tidak merasa perlu kepada markiz ini dan syaikhnya, bahkan sebagian
dari mereka terang-terangan menampakkan angan-angannya akan kosongnya markiz
Dammaj dari pelajar, dan berupaya untuk menjalankan strategi mereka. maka
bagaimana setelah perbuatan ini semua tidak terjadi perpecahan dan saling benci?

Dan ini adalah termasuk dosa besar. Dari Abu Huroiroh ‫ رضززي هللا عنززه‬bahwa
Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:

‫ليس منا من خبب امرأة عىل زوجها أو عبدا عىل سيده‬


"Bukanlah dari golongan kami orang yang merusak kecintaan dan ketaatan seorang
istri kepada suaminya atau ketaatan budaknya kepadanya." (HR. Abu Dawud (2175)
dengan sanad shohih).

Al 'Allamah Syamsul Haq ‫ رحمزه هللا‬berkata: ( ‫ )خبز‬yaitu mengelabui dan merusak.


merusak kecintaan dan ketaatan seorang istri kepada suaminya dengan cara
menyebutkan kejelekan sang suami di hadapan sang istri, atau kebaikan pria lain di
hadapan wanita tadi. Atau ketaatan sang budak, yaitu merusakan ketaatannya terhadap
tuannya dengan suatu cara perusakan. Dan masuk dalam makna ini adalah merusak
kecintaan suami kepada istrinya, dan merusak ketaatan seorang budak perempuan
kepada tuannya." ("Aunul Ma'bud"/6/hal. 159).

Syaikhul Islam ‫ رحمزه هللا عازالى‬ditanya tentang seorang imam muslimin merusak
kecintaan seorang wanita kepada suaminya sampai wanita tadi berpisah dengan
suaminya. Dan jadilah si imam tadi berhasil menyendiri dengan wanita tadi. Maka
apakah boleh untuk sholat di belakangnya? Dan apa hukumnya?

Maka beliau menjawab: "Dan di dalam "Al Musnad" dari Nabi ‫صزلى هللا عليزه وسزلم‬
bahwasanya beliau bersabda:

.»‫ أو عبدا عىل مواليه‬،‫«ليس منا من خبب امرأة عىل زوجها‬

"Bukanlah dari golongan kami orang yang merusak kecintaan dan ketaatan seorang
istri kepada suaminya atau ketaatan budaknya kepadanya."

Maka upaya orang itu dalam mencerai-beraikan antara perempuan dengan


suaminya adalah termasuk dosa yang besar, dan itu adalah termasuk perbuatan tukang
sihir, dan itu adalah termasuk perbuatan para setan yang paling besar. Terutama jika si
21

imam tadi membuat rusaknya kecintaan istri orang dalam rangka untuk dia
menikahinya, disertai dengan terus-terusannya dia menyepi dengan wanita tadi, lebih-
lebih lagi jika qorinah menunjukkan pada perkara yang lain lagi. Orang semisal itu tidak
pantas untuk memegang kepemimpinan muslimin, kecuali jika dia bertobat. Jika dia
bertobat, Alloh akan menerima tobatnya. Jika memungkinkan untuk sholat di belakang
orang yang lurus agamanya dan lurus jalan hidupnya, hendaknya kita sholat di
belakangnya, tidak sholat di belakang orang yang nampak kejahatannya, tanpa
keperluan. Wallohu a'lam."

(selesai dari "Majmu'ul Fatawa"/23/hal. 363).

Ini perusakan rasa cinta antara seseorang dengan istrinya –dan kecintaan
mereka hanyalah kecintaan alami-, maka bagaimana dengan orang yang merusak
kecintaan ribuan murid terhadap syaikh mereka yang sunniy salafiy –padahal kecintaan
mereka adalah syar’iyyah-?

Dan pengharoman perbuatan merusak rasa cinta tadi itu adalah umum. Dari Abu
Huroiroh ‫ رضي هللا عنه‬bahwa Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:

.)‫صحيح‬/)146(/ "‫ (أخرجه البخاري يف "األدب اِلفرد‬.»‫«املؤمن غر كريم والفاجر خب لئيم‬

"Mukmin itu mudah tertipu dan berhati mulia. Dan orang fajir itu tukang merusak
dan tercela." (HR. Al Bukhoriy dalam "Al Adabul Mufrod" no. 419/shohih).

Ibnul Atsir ‫ رحمزه هللا‬berkata: "Dan tentang itu hadits: "Mukmin itu mudah tertipu
dan berhati mulia." Yaitu: bukan pembuat makar, maka dia mudah ditipu karena
senang taat dan dan lunak. Dan ini adalah kebalikan dari Khobb. –sampai ucapan
beliau:- Nabi menginginkan: bahwasanya termasuk dari karakter mukmin yang terpuji
itu adalah dia mudah terpedaya dan kurang waspada terhadap kejelekan dan tidak mau
memeriksanya, dan yang demikian itu bukan karena kebodohannya, akan tetapi karena
kedermawanannya dan bagusnya akhlaqnya." ("An Nihayah Fi Ghoribil Atsar"/3/hal.
661).

An Munawiy ‫ رحمزه هللا‬berkata: "Dan khobb itu adalah orang yang suka membuat
tipu daya dan gemar mengusahakan terjadinya kerusakan dan kejelekan di antara
manusia." ("Faidhul Qodir"/6/hal. 254).

Hadits tentang celaan terhadap khobb ini dan yang semisalnya, cocok untuk para
mar'iyyun. Mereka itu sebagaimana telah lewat penyebutannya menampakkan
keinginan membangun markiz dan menyembunyikan maksud untuk merusak markiz
Dammaj, dan ini adalah karakter ahli takhbib, sebagaimana dalam "Al Mu'tashor Minal
Mukhtashor Min Musykilatil Atsar" (2/hal. 182): "Al Khobb adalah orang yang
menampakkan perkara yang dipuji oleh kaum muslimin, dan dia menyembunyikan
perkara yang dicela oleh kaum muslimin." Selesai.
22

Kemudian Luqman berkata tentang syaikhuna Yahya ‫حفظههه هللا‬: "Walaupun


sebenarnya fitnah aqidah dan penyimpangannya itu sudah muncul sejak awal-awal
dia duduk di kursi Asy Syaikh Muqbil ‫ رحمهه هللا‬lebih dari sepuluh tahun yang lalu, atau
kurang lebih sepuluh tahun yang lalu."

Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Ini adalah cercaan yang keras dari Luqman terhadap seorang Syaikh yang para
ulama yang jujur telah bersaksi tentang kelurusan jalan hidup dan aqidah beliau. Dan
akan datang insya Alloh pembicaraan tentang batilnya tuduhan ini ketika kami
membantah perincian yang disebutkan oleh Luqman. Orang ini dengki dan dendam. Dan
manakala dia tidak mendapatkan sesuatu untuk memukul pihak yang didengki, diapun
mengumpulkan sampah-sampah yang diharapkannya bisa membantunya menaburkan
abu ke mata-mata manusia (membuat pengkaburan hakikat).
23
24

Bab Tiga: Perencanaan Serangan Terhadap Ahlussunnah

Luqman berkata: "Sekarang ini kita di Ma'had Jember mencari waktu-waktu


luang di tengah-tengah kesibukan ikhwan dan asatidzah dalam kegiatan belajar
mengajar, berbicara tentang Al Hajuriy sudah kurang lebih empat kali pertemuan,
yang terekam, insya Alloh dalam waktu tidak lama lagi bisa antum dapatkan
programnya, dan harapannya ke depan Alloh bantu saya atau asatidzah yang lainnya
untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan…"
Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:
Ini adalah pengakuan dari Luqman bahwasanya mereka telah melancarkan
serangan-serangan terhadap dakwah Salafiyyah yang jernih ini sejak beberapa tahun
yang lalu, padahal mereka pada awal-awal kasus berupaya keras untuk
menyembunyikan serangan tadi, dan mereka melarang para murid mereka untuk
mengabari para pelajar Dammaj tentang apa yang dikerjakan oleh para ustadz hizbiyyun
tersebut.

Demikian pula syaikh dia: Abdulloh Al Bukhoriy, dulu dia melancarkan serangan-
serangan terhadap Asy Syaikh Yahya dan salafiyyun yang bersama beliau ‫ حفظهم هللا‬,
kemudian di akhir-akhir pembicaraan (kurang lebih sebelum bulan Romadhon 1430 H),
nampaklah ketakutannya seraya berkata: “Ini kalian rekam? Dialog ini kalian rekam?”
Usamah menjawab: “Iya wahai Syaikh kami, kami merekamnya.” Abdulloh berkata:
“Hendaknya kaset ini hanya ada di antara kalian saja, jangan sampai jatuh kepada
orang lain. Semoga Alloh memberkahi kalian, janganlah kaset ini disebarluaskan, dan
jangan sampai keluar.” Lihatlah betapa besarnya rasa takut Abdulloh Al Bukhoriy itu,
sehingga dirinya mengulang-ulang permintaannya untuk dialog tadi disembunyikan agar
tidak diketahui oleh para Salafiyyin Dammaj: “Hendaknya kaset ini hanya ada di antara
kalian saja,” “jangan sampai jatuh kepada orang lain,” “Semoga Alloh memberkahi
kalian, janganlah kaset ini disebarluaskan,” “dan jangan sampai keluar.”

Dan saya telah membantah tuduhan-tuduhan zholimnya di dalam risalah saya:


“Al Fathur Robbaniy Fir Roddi ‘Ala Abdillah Al Bukhoriy Al Muftari Al Jani”

(Dengan terjemah Bebas: “Bantahan Telak Atas Tuduhan Keji Yang Dilontarkan Oleh
Abdulloh Al Bukhori”).

Manakala mereka sukses mengadu domba Asy Syaikh Robi', sehingga beliau
berbicara dengan batil terhadap Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬, menjadi beranilah mereka,
dan bertambahlah kuatlah mental mereka. sikap Luqman dan Abdulloh Al Bukhoriy itu
mengingatkan kami pada karakter orang yang bangkit dalam rangka memenuhi hawa
nafsu dan maslahat dirinya.
25

Imam Al Wadi’y ‫ رحمه هللا‬berkata: ”Sesungguhnya seseorang itu bersembunyi dan


tidak menampakkan kehizbiyyahannya kecuali setelah menguat otot-ototnya dan
menyangka bahwanya ucapan manusia sudah tidak lagi berpengaruh terhadap dirinya.
Dan aku sangat heran, sebagian dari mereka bersumpah dengan nama Alloh
bahwasanya dirinya bukan hizbiy.” (“Ghorotul Asyrithoh”/2/ hal. 14-15/Maktabah
Shon'a Al Atsariyyah).

Adapun Ahlussunnah yang jujur, maka sungguh mereka itu bangkit karena Alloh
dan dengan pertolongan Alloh, bukan dalam rangka hawa nafsu, dan bukan pula dengan
kekuatan selain Alloh. Maka mereka tidak takut di jalan Alloh celaan orang yang
mencela. Maka mereka bergembira dengan pertolongan dari Alloh.

Dan dari Abu Sa’id Al Khudriy ‫ رضي هللا عنه‬bahwasanya Rasululloh ‫صلى هللا عليه وسهلم‬
bersabda:

.»‫«َل يمنعن أحدكم خمافة الناس أن يقول باِلق إذا شهده أو علمه‬

"Sungguh janganlah sampai rasa takut pada manusia itu menghalangi salah seorang
dari kalian untuk mengucapkan yang benar jika menyaksikannya atau
mengetahuinya."

Lalu Abu Sa’id berkata:

.‫فحملني عىل ذلك أين ركبت إل معاوية فمألت أذنيه ثم رجعت‬

“Maka aku menaiki kendaraanku berangkat kepada Mu`awiyah, kemudian aku penuhi
kedua telinganya, kemudian akupun pulang.”

(HR. Ahmad ((11793)/cet. Ar Risalah) dengan sanad shohih, dan dishohihkan pula oleh
Al Imam Al Albaniy dalam “Ash Shohihah” ((no. 168)/Maktabah Al Ma’arif), dan asal
hadits dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy dalam “Al Jami'ush Shohih” ((no. 414)/cet.
Darul Atsar).

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka kami tak akan meninggalkan agama Islam
karena cercaan orang yang mencerca, ataupun karena pengkafiran orang yang
mengkafirkan atau juga penyesatan orang yang menuduh kami sesat, karena
kembalinya para makhluk adalah kepada Alloh, dan perhitungan mereka adalah
tanggungan Alloh. Maka orang yang men-tauhidkan Alloh Yang Mahasuci akan
menampilkan kebenaran di manapun berada, secara khusus dan umum dan secara
tertulis, sampai walaupun dia diminta untuk menyembunyikan kebenaran di waktu
rasa takut yang amat sangat dia tidak menyembunyikannya.” (“Ar Roddu ‘Alal
Bakriy”/2/hal. 765-766).
26

Kemudian Luqman Al Hizbiy berkata: "Dengan tujuan agar salafiyyin di


Indonesia mengambil pelajaran, karena ini adalah pelajaran yang mahal sekali, telah
banyak berjatuhan korban-korban."
Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:
Sesungguh i'tibar (mengambil pelajaran) dari orang yang telah berlalu adalah
perkara yang penting agar pelakunya menempuh jalan orang-orang yang sukses
sehingga bisa sukses sebagaimana kesuksesan mereka, dan menghindari jalan-jalan
orang-orang yang binasa agar tidak binasa sebagaimana mereka binasa. Alloh ta'ala
berfirman tentang kisah pengusiran Banin Nazhir:
ِ ‫ول ْاألَ ْب َص‬
ِ ‫َِبوا َيا ُأ‬
.]1 :‫ار﴾ [احلرش‬ ُ ِ ‫اعت‬
ْ ‫﴿ َف‬
"Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang punya mata."
Al Imam Al Qurthubiy ‫ رحمه هللا‬berkata: "Ibroh (pelajaran) pada asalnya adalah
memisalkan sesuatu dengan sesuatu agar hakikatnya diketahui dari jalur keserupaan. Di
antaranya adalah: "Maka ambillah pelajaran." ("Al Jami' Li Ahkamil Qur'an"/10/hal.
123/surat Al An'am).
Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: "Dan i'tibar adalah: menggandengkan suatu
perkara dengan yang semisalnya sehingga diketahui bahwa hukumnya adalah semisal
dengan perkara tadi, sebagaimana ucapan Ibnu Abbas: "Kenapa kalian tidak menilai jari-
jemari dengan gigi-gigi?" maka jika Alloh berfirman: "Maka ambillah pelajaran wahai
orang-orang yang punya mata." Dan berfirman:
﴾‫﴿لقد كان يف قصصهم عِبة ألول األلباب‬
"Sungguh di dalam kisah-kisah mereka itu benar-benar ada pelajaran bagi orang-
orang yang punya mata hati."
Ini memberikan faidah bahwasanya barangsiapa beramal semisal amalan
mereka, dia akan dibalas semisal dengan balasan untuk mereka, agar dia menghindari
amalan semisal amalan orang-orang kafir, dan agar dia berminat untuk beramal seperti
amalan orang-orang mukmin para pengikut Nabi-nabi." ("Majmu'ul Fatawa"/13/hal. 20).
Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمه هللا‬berkata dalam tafsir kisah Banin Nazhir berkata:
"Yaitu: berfikirkan kalian tentang akibat orang yang menyelisihi perintah Alloh dan
menyelisihi Rosul-Nya, serta mendustakan Kitab-Nya, bagaimana dia tertimpa bencana
dari Alloh yang menghinakannya di dunia, bersamaan dengan hukuman yang
disimpankan untuknya di Akhirat, yang berupa siksaan yang pedih." ("Tafsirul Qur'anil
Azhim"/8/hal. 57).
Inilah hakikat pengambil pelajaran dari suatu perkara. Orang-orang yang
beruntung akan mengambil pelajaran dari apa yang dialami oleh orang lain dengan cara
penilaian yang benar. Dari Ibnu Mas'ud ‫ رضي هللا عنه‬yang berkata:
27

.))1914( ‫ (أخرجه مسلم‬.‫الشقي من شقي يف بطن أمه والسعيد من وعظ بغريه‬


"Orang yang celaka adalah orang yang ditaqdirkan celaka di perut ibunya. Dan orang
yang beruntung adalah orang yang mendapatkan petuah dengan kejadian orang lain."
(HR. Muslim (2645)).
Al Munawiy ‫ رحمه هللا‬berkata: "Yaitu: orang yang beruntung adalah orang yang
memeriksa perbuatan-perbuatan orang lain, lalu dia meneladani amalannya yang
terbaik, dan dia berhenti dari yang jeleknya." Beliau berkata: "Sesungguhnya orang yang
beruntung adalah orang yang mengambil petuah dari kejadian orang lain. Dan
percobaan-percobaan itu akan mendatangkan pemantapan ilmu yang amat bernilai."
("Faidhul Qodir"/2/hal. 175).
Inilah makna I’tibar yang sebenarnya.
Maka Luqman wajib mengambil pelajaran dari kasus pendahulunya dari
kalangan orang-orang yang menyeleweng dari dari jalan yang lurus dengan sebab tidak
puasnya mereka dengan jalan Salaf.
Hanya saja Luqman memutarbalikkan hakikat sehingga dia menjadikan para
tsabitin (salafiyyun yang kokoh) sebagai orang-orang yang berjatuhan.
Fadhilatusy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmiy ‫ رحمه هللا‬berkata: "Maka hizbiyyah
itu menjadikan yang pahit jadi manis, dan yang batil jadi benar. Dan ini adalah dalil
terbesar bahwasanya hizbiyyah itu kejahatan yang sangat besar." ("Al Mauridul 'Adzb
Waz Zulal"/hal. 123-124).
28

Bab Empat: Luqman Menyandarkan Berita Pada Bayan


Muhammad Ar Roimiy Yang Penuh Dengan Kebatilan

Luqman Al Hizbiy berkata: "Yang lebih berhak untuk berbicara dan


menjelaskannya tentunya adalah para ulama Yaman. Maka dari itu saya akan menukil
penjelasan para ulama Yaman khususnya, kemudian para ulama di Madinah,
kemudian Mekkah tentang fitnah Al Hajuriyyah ini. Asy Syaikh Muhammad bin
Abdillah Al Imam pengasuh pondok pesantren Darul Hadits di kota Ma'bar Yaman
kurang lebih pada tanggal 26 Jumadal Ula, yakni kurang lebih sepekan yang lalu
mengeluarkan sebuah fatwa dan nasihat terkait dengan fitnah Al Hajuriyyah ini, yang
ujung-ujungnya di akhir fatwa beliau mentahdzir salafiyyin dari Al Hajuriy dan
pengikutnya."
Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya termasuk dari terlantarnya Luqman dan tiadanya taufiq untuknya
adalah manakala dirinya bertopang pada Muhammad bin Abdillah Ar Roimiy yang dulu
sering terjatuh berkali-kali di banyak fitnah. Dan Muhammad Ar Roimiy ini punya peran
besar sekali untuk memasukkan pemikiran dan perbuatan Abul Hasan Al Mishriy di
tengah-tengah salafiyyin. Bersamaan dengan itu Muhammad Ar Roimiy menuduh Asy
Syaikh Yahya dan yang bersama dengan beliau bahwasanya fitnah mereka –menurut
anggapannya- itu semisal dengan fitnah Abul Hasan dengan sempurna. Maka silakan
disimak ringkasan mahkamah antara jalan Abul Hasan Al Mishriy dan jalan Asy Syaikh
Yahya serta Muhammad Ar Roimiy:
Pertama: Abul Hasan bergelimang dengan jam'iyyat
Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya jam'iyyat, bahkan
mereka mengangkat bendera pengingkaran terhadap jam'iyyat. Adapun Muhammad Al
Imam berapa kali dia terfitnah oleh para pengikut jam'iyyat?
Kedua: berlindung di balik taqlid kepada sebagian ulama (berkata: “Kami semata-
mata mengikuti ulama”) manakala kebatilan-kebatilannya tersingkap
Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak taqlid pada ulama, bahkan
mereka mengangkat bendera pengingkaran terhadap para ahli taqlid, dan mengulang-
ulang ucapan para imam seperti Ibnul Qoyyim, Asy Syaukaniy, Al Wadi'iy tentang
bid'ahnya taqlid, sementara Muhammad Al Imam mengulang-ulang dendangan:
"Bersamalah dengan masyayikh, Kalian harus bersama masyayikh". Dia juga
menyerukan kepada taqlid dengan ucapannya: “Jika kalian melihat ucapanku
menyelisihi ucapan masyayikh, maka ambillah ucapan masyayikh, dan tinggalkanlah
ucapanku.” Dan dengan ucapannya: “Bukanlah bagian dari keadilan jika ucapan satu
orang diambil sementara ucapan mayoritas orang ditinggalkan.”
29

Wahai Asy Syaikh Muhammad, seharusnya Anda membiasakan umat mengambil


perkataan yang didukung oleh dalil yang jelas, bukan sekedar banyaknya orang atau
ketinggian pamor orang itu.
Ketiga: membuat prinsip-prinsip yang rusak yang meruntuhkan dasar-dasar sunnah
dan menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah serta manhaj Salaf.
Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya prinsip-prinsip baru,
bahkan mereka mengajak manusia untuk merasa cukup dengan apa yang dulu para
Salaf Sholih ada di atasnya. Adapun Muhammad Al Imam dia telah memenuhi kitabnya
"Al Ibanah" dengan dasar-dasar yang baru yang diambil dari prinsip-prinsip Ikhwanul
Muslimin, Adnan Ar'ur, Ali Hasan Al Halabiy, dan Sururiyyin, sampai-sampai dia
membuat lelah Asy Syaikh Robi’ ‫ هداه هللا‬dalam menjawab serangan Ali Hasan Al Halabiy
yang berkata kurang lebih: "Wahai Syaikh, Anda menghukumi saya sebagai mubtadi'
dengan sebab apa yang saya sebutkan dalam kitab-kitab saya, padahal perkara itu
adalah seperti apa yang disebutkan oleh Muhammad Al Imam dalam kitabnya yang
Anda periksa."
Keempat: pelembekan masalah-masalah prinsipil yang besar, yang tegak di atasnya
agama ini pada sisi-sisi yang agung, lalu dia (Abul Hasan) menjadikannya sebagai
perkara yang masih diperselisihkan dan bersifat ijtihadiyyah, agar para Salafiyyun
diam dari mengkritik dirinya dalam masalah-masalah tadi, dan sehingga mereka
semua berada di atas kaidah Hasan Al Banna: "Saling menolong di atas perkara yang
kita sepakati dan saling memberikan udzur terhadap perkara yang kita perselisihkan."
Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya punya tamyi'
(pelembekan) macam ini, bahkan Muhammad Al Imam itu yang menempuh jalan Abul
Hasan di kasus-kasus prinsipil yang banyak lalu dia melembekkannya, seperti kasus:
menjauhi ahli bid'ah, kafirnya rofidhoh, menjaga barisan jangan sampai robek dari
dalam markiz, dan kasus-kasus prinsipil yang lain, dia melembekkannya dan
menjadikannya sebagai perkara-perkara yang masih diperselisihkan dan bersifat
ijtihadiyyah.
Yang kelima: pendaftaran para pelajar untuk memasukkan mereka ke dalam
kelompok Baroatudz Dzimmah, dan kelompok ini pada hakikatnya adalah kumpulan
yang siap pakai untuk memerangi Ahlussunnah
Inilah adalah jalan Sholeh Bakriy dulunya, yang kemudian dicontoh oleh hizb
baru, hizb Mar'iyyin yang dibela oleh Muhammad Al Imam, padahal dulu di ijtima'
pertama Muhammad Al Imam mengomentari langkah Abdurrohman Al Mar'i dengan
berkata: "Ini adalah Bakriyyah model baru," tapi sekarang dia membela mereka.
Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya punya gerakan
pendaftaran macam ini.
Yang keenam: pengingkaran Hasaniyyun terhadap Salafiyyin karena bersikap keras
terhadap mubtadi'ah.
30

Ini juga bagian dari prinsip-prinsip Muhammad Al Imam, sementara Asy Syaikh
Yahya dan yang bersama beliau tidak punya punya perbuatan macam ini.
Yang ketujuh: menyombongkan diri terhadap nasihat-nasihat yang benar,
membangkang setelah ditegakkannya hujjah.
Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak menyombongkan diri, hanya
saja beliau semua menuntut seluruh pihak untuk menjelaskan kekeliruan itu dengan
dalil-dalilnya. Lalu jika telah nampak kebenaran, beliau menerimanya sebagaimana
terjadi berkali-kali, dalam rangka tawadhu' pada Alloh dan bersyukur pada para hamba
Alloh yang menasihati. Adapun Muhammad Al Imam, berkali-kali telah dikirimkan surat
secara rahasia kepadanya dan dijelaskan padanya besarnya kesalahannya di dalam
ceramah-ceramahnya lalu dalam kitabnya "Al Ibanah" dengan sangat hormat dan
tenang, akan tetapi dia menyombongkan diri terhadap kebenaran, bersamaan dengan
itu dia tak sanggup membatalkan hujjah dengan hujjah.
Yang kedelapan: mengikuti hawa nafsu dalam menerapkan kaidah
Misalkan adalah: bahwasanya Abul Hasan dan orang yang bersamanya manakala
mereka dikritik karena sekian banyak perkara, dengan dalil-dalil dan bayyinah-bayyinah,
mereka tidak mau merunduk pada kebenaran, tapi mereka berteriak: "Kita menunggu
kibarul ulama!". Ketika kibarul ulama berbicara dengan perkara yang tidak sesuai
dengan hawa nafsu mereka, mereka berkata: "Kita bukan ahli taqlid."
Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya punya perbuatan macam
ini.
Sementara Muhammad Al Imam dia banyak mengucapkan: "Kalian harus ikut
ulama," "Sumber rujukan adalah para ulama!" "Jangan kalian menyelisihi para ulama,"
dan semisal itu. Manakala datang fitnah Rofidhoh terhadap Ahlussunnah, Muhammad
Al Imam berkata: "Kita tidak boleh menghalalkan darah Rofidhoh." Manakala kibarul
ulama menghukumi tentang kafirnya rofidhoh, Muhammad Al Imam tidak kembali
kepada ucapan ulama, bahkan dia berkata: "Sesungguhnya ulama itu berijtihad, …, jika
kita berkata bahwa kita mengambil ucapan satu orang alim, ambillah ucapan ulama
yang lebih banyak, dari kalangan orang yang tidak berpendapat dengan pendapat ini. Ini
adalah masalah-masalah ijtihad ulama, …, para pelajar tidak boleh tergesa-gesa
mengambil ucapan seorang alim dalam suatu masalah. Mungkin saja engkau membahas
masalah ini, … dst."
Yang kesembilan: mengais-ngais bantahan yang dipaksakan dan batil, yang bahkan
bantahan yang berdiri di atas kedustaan, pengkaburan, dan bongkar pasang tuduhan.
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ikhtishor Lima Fi Da'watil Hajuriy Minal
Adhror".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya punya
perbuatan macam ini.
31

Yang kesepuluh: mengangkat syiar “maslahat dan mafsadah” demi menolong ahli
bid'ah.
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun, dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalahnya "Al Ibanah", sekalipun menyebabkan runtuhnya
beberapa prinsip Salaf.
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya punya
perbuatan macam ini. Bahkan maslahat yang hakiki menurut beliau dan yang
bersamanya adalah: berpegang teguh dengan prinsip-prinsip salaf sekalipun terasa
pahit, dan meskipun dijauhi manusia. Dan mafsadah yang hakiki menurut beliau adalah
ditinggalkannya prinsip-prinsip salaf, sekalipun dihasilkan dengan itu harta yang banyak
dan keridhoan ahli bid'ah untuk mereka.
Yang kesebelas: Hasaniyyun menuduh orang yang bangkit membantah ahli bathil dan
melarang kemungkaran itu adalah mencari-cari kesalahan-kesalahan muslimin.
Muhammad Al Imam juga menuduh orang yang membantah kebatilan dan
melarang kemungkaran itu sebagai: “orang yang mencari-cari kesalahan-kesalahan
muslimin” dan “orang yang ingin meruntuhkan martabat muslimin.”
Ini bukanlah syiar Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau. Bahkan beliau
memerintahkan yang ma'ruf, melarang dari yang mungkar, menyebarkan nasihat-
nasihat, membantah perkara batil, dalam rangka setia pada Alloh dan nasihat bagi
mukminin. Mereka ingin memperbaiki jalan orang yang mereka bantah.
Yang kedua belas: prinsip muwazanat (menimbang) antara kebaikan dan kejelekan
demi melindungi para penyeleweng.
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah". Sementara Asy Syaikh Yahya dan
yang bersama beliau tidak punya punya perbuatan macam ini.
Yang ketiga belas: prinsip “Membawa ucapan yang mujmal (global) kepada kondisi
yang mufashshol (terperinci)” demi melindungi para penyeleweng.
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah". Sementara Asy Syaikh Yahya dan
yang bersama beliau tidak punya punya perbuatan macam ini.
Yang keempat belas: mengangkat syiar "baik sangka" untuk para penyeleweng, dalam
rangka meruntuhkan kritikan salafiyyin terhadap mereka
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah". Sementara Asy Syaikh Yahya dan
yang bersama beliau tidak punya punya perbuatan macam ini.
Yang kelima belas: menempuh manhaj "tabayyun" yang batil dalam rangka menolak
berita orang tsiqoh terhadap para penyeleweng.
32

Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam


menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah". Sementara Asy Syaikh Yahya dan
yang bersama beliau tidak punya punya perbuatan macam ini.
Yang keenam belas: membolak-balikkan perkara dan menggambarkannya dengan
kebalikannya
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ikhtishor". Al Mar'iyyun telah membuat
kegoncangan di Darul hadits di Dammaj sampai-sampai fitnah mereka mencapai seluruh
penjuru bumi dengan memperburuk citra ahli haq, mengadu-domba para ulama, tapi
Muhammad Al Imam membela mereka dan mengesankan kecilnya kebatilan mereka
serta menuduh Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau membuat fitnah dan
perpecahan dalam dakwah. Mar'iyyun telah menzholimi ahli haq akan tetapi
Muhammad Al Imam membalik fakta dan menjadikan orang-orang yang zholim sebagai
orang-orang yang terzholimi, dan sebaliknya. Muhammad Al Imam membuat fitnah
terhadap banyak sekali dari dasar-dasar salafiyyah, akan tetapi dia justru menuduh ahli
haq sebagai penyebab fitnah terhadap dakwah salafiyyah.
Sementara bagi kaum yang mampu melihat. Mereka mendapati bahwasaya Asy
Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak berbuat macam ini. Mereka tidak membalik
fakta.
Ketujuh belas: Abul Hasan Al Mishriy berupaya untuk menakut-nakuti ahli haq
bahwasanya mereka akan jatuh dikarenakan mereka menghukumi dirinya sebagai
mubtadi'. Dia menakut-nakuti mereka dengan menggambarkan bahwasanya di
hadapan mereka ada seorang syaikh yang besar dan para pelajar besar.
Teror psikologi ini juga ditempuh oleh Muhammad Al Imam yang mana dia
menakut-nakuti para salafiyyin tsabitin yang menghizbikan atau membid'ahkan
Abdurrohman Al Adaniy bahwasanya di hadapan mereka itu ada ulama dan masyayikh
yang menentang Asy Yahya, dan bahwasanya para masyayikh tersebut jika men-jarh
seseorang, maka jadilah orang itu majruh dan akibatnya tidak terpuji.
Adapun Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak menempuh metode
penakut-nakutan dan teror psikologi, bahkan mereka menempuh diskusi ilmiyyah dan
adu hujjah, bukannya membuang hujjah dengan mengedepankan karisma tokoh.
Yang kedelapan belas: Abul Hasan mengingkari manhaj imtihan (ujian) untuk
mengetahui hakikat aqidah seseorang.
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya punya
perbuatan macam ini.
Yang kesembilan belas: mencerca Ahlussunnah bahwasanya mereka itu tergesa-gesa
dan terlalu cepat memvonis.
33

Inilah celaan yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya punya
perbuatan macam ini.
Yang keduapuluh: mengesankan rujuk ketika merasa lemah berhadapan dengan hali
haq, tapi masih melanjutkan kebatilannya.
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini. Berapa kali dia terpeleset dalam fitnah bersama para hizbiyyun.
Manakala dia dikritik oleh Al Imam Al Wadi'iy ‫ رحمه هللا‬dia menampakkan rujuk dan
berkata: "Nasihatilah saya, arahkanlah saya," atau ucapan yang seperti itu, sementara
dia masih saja dalam manhajnya yang menyeleweng bersama para hizbiyyin ashabul
jam'iyyat. Ketika muncul fitnah Abul Hasan Al Mishriy, bangkitlah Muhammad Al Imam
untuk membelanya. Manakala dia merasa lemah di hadapan ahlul haq, diapun
menampakkan rujuk. Ternyata dia masih saja mengusung sejumlah besar pemikiran
Abul hasan dan manhajnya, dan menyebarkan di tengah-tengah salafiyyun, dengan cara
halus dan makar.
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya perbuatan
macam ini.
Yang keduapuluh satu: cercaan terhadap salafiyyun yang menasihati, bahwasanya
mereka itu adalah haddadiyyun
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun, dan Muhammad Al Imam
menyetujui tuduhan ini terhadap Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau, dalam
risalah dia "Al Ikhtishor".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak menuduh salafiyyin
sebagai haddadiyyun.
Yang keduapuluh dua: penggunaan para penulis tak dikenal (yang memakai identitas
samaran) untuk memukul Ahlussunnah
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun, dan ditempuh oleh Mar'iyyun yang
dibela oleh Muhammad Al Imam.
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya perbuatan
macam ini.
Yang keduapuluh tiga: menuduh orang yang memerintahkan yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar dan membantah ahli ahwa bahwasanya mereka itu ahli
tasyhir (suka mempopulerkan aib orang) wat tasywih (suka mencemarkan
kehormatan orang).
Inilah yang dituduhkan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam juga
menuduh macam ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak menuduh demikian.
34

Yang keduapuluh empat: bergaya adil dan menyerukan kepada keadilan dalam rangka
membela orang yang menyeleweng, tapi terhadap ahlul haq bersikap zholim.
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya perbuatan
macam ini.
Yang keduapuluh lima: bergaya mengikuti dalil, dalam keadaan dirinya ketika
mengikuti hawa nafsu justru berlindung di balik taqlid pada ulama, bukan setia pada
dalil yang jelas.
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya perbuatan
macam ini.
Yang keduapuluh enam: mencari udzur-udzur untuk ahli hawa dalam rangka
meruntuhkan kritikan-kritikan Ahlussunnah terhadap mereka.
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya perbuatan
macam ini.
Yang keduapuluh tujuh: memerangi orang-orang yang memegang teguh kebenaran
dengan nama "ghuluw" atau "melampaui batas".
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya perbuatan
macam ini.
Yang keduapuluh delapan: memelintir leher dalil agar sesuai dengan prinsip mereka
yang rusak.
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya punya
perbuatan macam ini.
Yang keduapuluh Sembilan: membatalkan jarh yang terperinci dari seorang kritikus
sunniy yang alim, dengan alasan dia lebih muda daripada orang yang di-jarh.
Inilah yang dilakukan oleh para Hasaniyyun. Dan Muhammad Al Imam
menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
35

Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya perbuatan
macam ini.
Yang ketiga puluh: banyak mencerca pelajar yang menerima berita jarh dari seorang
alim terhadap ahli ahwa padahal mereka menerimanya berdasarkan hujjah-hujjah,
bukti-bukti dan dalil-dalil.
Jika seseorang menyeleweng dari kebenaran, lalu dia dinasihati tapi tak mau
menerima nasihat, lalu seorang dari ulama –yang masih muda ataupun yang sudah tua-
men-jarh dia dengan jarh yang diperkuat dengan bukti-bukti, Alloh menjadikan jarh
beliau tadi diterima dan diberkahi di kalangan para pencari ilmu dan kebenaran yang
bersikap adil, lalu mereka menyebarkan jarh tadi dan membantunya, dan
memperingatkan manusia dari orang yang di-jarh tadi.
Ternyata Abul Hasan Al Mishriy demi membela orang yang di-jarh tadi marah
terhadap para pelajar tadi, dan dia memperbanyak cercaan terhadap mereka.
Muhammad Al Imam menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya perbuatan
macam ini.
Asy Syaikh Robi' ‫ وفقه هللا‬telah membantah Abul Hasan tentang perbuatannya tadi,
dan hal itu pada hakikatnya adalah bantahan terhadap Muhammad Al Imam yang
membawa pemikiran Hasaniyyin. Asy Syaikh Robi' berkata: "Jika para pemuda tadi
berbicara secara batil terhadap orang tadi (yang engkau bela), maka jelaskanlah pada
mereka dan nasihatilah mereka. jika mereka berbicara tentangnya dengan kebenaran,
maka kenapa engkau mengkhawatirkan mereka dan menakut-nakuti mereka? justru
yang sangat dikhawatirkan adalah para pemuda yang memerangi mereka secara batil,
dan di antaranya adalah para pembela Al Maghrowiy. Para penolong mereka itulah yang
paling perlu untuk ditakut-takuti dan dinasihati." ("Majmu'u Rududisy Syaikh Robi' 'Ala
Abil Hasan"/hal. 41/cet. Darul Imam Ahmad).
Yang ketigapuluh satu: ajakan kepada manhaj yang luas yang bisa menampung
mayoritas para mubtadi'ah.
Muhammad Al Imam menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya perbuatan macam
ini.
Dan bercabang dari ini poin:
Yang ketigapuluh dua: membuat lemah keperluan orang kepada bantahan-bantahan
ilmiyyah, kritikan terhadap kebatilan dan jarh terhadap para penyeleweng.
Muhammad Al Imam menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya perbuatan macam
ini.
36

Yang ketigapuluh tiga: seruan untuk mendekatkan antara Ahlussunnah dan ahlul
ahwa.
Muhammad Al Imam menempuh jalan ini dalam risalah dia "Al Ibanah".
Sementara Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau tidak punya perbuatan macam
ini.
Yang ketigapuluh empat: banyak mengaku sebagai salafiy dalam keadaan dia
memerangi banyak prinsip-prinsip salaf.
Begitulah Abul Hasan dan anak buahnya. Sementara Muhammad Ar Roimiy
bergaya sebagai salafiy dan mengajak pada jalan salaf, dalam keadaan dia berupaya
meruntuhkan banyak prinsip-prinsip salaf dengan metode yang penuh tipu daya, yang
tidak diwaspadai kecuali oleh orang yang diberi taufiq oleh Alloh dari kalangan ulama
yang berpandangan tajam, dan orang-orang yang lainnya yang dikehendaki oleh Alloh.

Ini adalah ringkasan dari sebagian karakter fitnah Abul hasan Al Mishriy, dan
kebanyakannya telah saya sebutkan di dalam risalah "At Tajliyah Li Amarotil Hizbiyyah",
dan disebutkan oleh saudara kita Abu Hatim Yusuf bin 'Id Al jazairiy ‫ حفظه هللا‬dalam
risalahnya "Mishbahuzh Zholam", Asy Syaikh Al Alim Abu Hatim Sa'id bin Da'as Al Yafi'iy
‫ رحمه هللا‬dalam risalah beliau "Tanzihus Salafiyyah", dan Asy Syaikh Abu Bakr Al
Hammadiy ‫ حفظه هللا‬dalam risalah beliau "Al I'anah".
Lihatlah –semoga Alloh menjaga kalian- kepada perbedaan yang sangat besar
antara fitnah Abul Hasan Al Mishriy dengan thoriqoh Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy dan
yang bersama beliau. Maka thoriqoh itu thoriqoh Qur'aniyyah Sunniyyah Salafiyyah
dengan taufiq dari Alloh ta'ala.
Sementara thoriqoh Abul Hasan Al Ma'ribiy dan pengikutnya adalah thoriqoh
mubtadi'ah besar yang berlindung di balik jubah salafiyyah dalam rangka membuat
makar terhadap Salafiyyun.
Maka penyamaan yang dilakukan oleh Muhammad Ar Roimiy terhadap kedua
thoriqoh ini merupakan kezholiman yang sangat besar.
Bahkan Muhammad bin Abdillah Ar Roimiy itulah pembawa banyak –saya tidak
menyatakan: semua- kebatilan Abul Hasan Al Mishriy. Ibaratnya: "Dia menuduhku
dengan penyakitnya lalu dia berusaha meloloskan diri."
Jika tokoh macam ini yang menjadi rujukan Luqman, maka alangkah ruginya dia.

Adapun banyaknya kedustaan dan pemutarbalikan fakta yang dilakukan oleh


Muhammad Ar Roimiy dalam “Al Ikhtishor” yang kemudian diadopsi oleh Luqman, telah
dibantah secara terperinci oleh Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dalam risalah beliau
"At Tabyin Wal Inkar 'Ala Ma Tadhommanahu Kalam Muhammad Al Imam Al
Musamma Bil Ikhtishor" (Terjemah bebas: "Penjelasan Dan Bantahan Terhadap
Kandungan Tulisan Muhammad Al Imam Yang Berisi Tuduhan").
37

Kemudian Luqman membacakan wasiat Asy Syaikh Muqbil, lalu memberikan


komentar: "Beliau –Asy Syaikh Muqbil- sebutkan –menyebutkan Asy Syaikh
Muhammad Al Wushobiy- pada urutan pertama ya karena memang Asy Syaikh
Muhammad bin Abdulwahhab di samping secara umur yang tertua juga secara ilmu
yang paling senior, sebagaimana yang dinyatakan oleh Asy Syaikh Muhammad Al
Imam dalam salah satu ceramahnya yang kemudian ditranskrip ke dalam tulisan
beliau mengatakan: "Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau telah menjadi
alim menjadi ulama sebelum saya sendiri memulai tholabul ilmi." Barokallohu fikum.
Maka Asy Syaikh Muhammad Al Imam memanggil beliau dan menyebut Asy Syaikh Al
Wushobiy ini dengan sebutan "Al Walid", ayahanda, ayah kita. Beliau itu lebih senior
dari saya dari segi umur dan dari segi ilmu."
Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:
Bukanlah awal penyebutan itu mengharuskan adanya pengakuan tentang
senioritas ilmu. Telah lewat ucapan yang jelas sekali dari Al Imam Al Wadi'iy ‫رحمه هللا‬
bahwasanya Asy Syaikh Yahya itu adalah orang yang paling berilmu di Yaman. Maka
lafazh "dan" (Huruf wawu) itu tidak mengharuskan adanya urutan, kecuali dengan
qorinah (faktor penyerta).
Ibnu Malik ‫ رحمه هللا‬dalam "Syarhul Kafiyyah" berkata: "Sebagian orang Kufah
beranggapan bahwasanya huruf wawu itu untuk menunjukkan urutan. Dan para ulama
Kufah berlepas diri dari yang demikian itu. Dan dinukilkan oleh Ibnu Burhan An Nahwiy
dari Quthrub dan Ar Rib'iy, dan beliau mendatangkan dalil untuk keduanya dengan
firman Alloh ta'ala:
﴾‫﴿شهد اهلل أنه َل إله إَل هو واملالئكة وأولو العلم‬
"Alloh bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang benar selain Dia, dan para
malaikat-Nya dan para ulama."
Dan firman-Nya:
﴾‫﴿إذا زلزلت األرض زلزاهلا وأخرجت األرض أثقاهلا‬
"Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah
mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya,"
Lalu beliau membantahnya. Dan beliau berdalilkan bahwasanya wawu itu bukan untuk
urutan, dengan firman Alloh ta'ala:
﴾‫﴿فكيف كان عذايب ونذر‬
"Maka bagaimana siksaan-Ku dan peringatan-Ku."
Beliau berkata: "Dan peringatan itu sebelum datangnya siksaan, dengan dalil:
38

.﴾‫﴿وما كنا معذبني حتى نبعث رسوَل‬


"Dan tidaklah Kami menyiksa sampai Kami mengirimkan utusan."
(selesai penukilan dari "Al Bahrul Muhith"/Az Zarkasyiy/3/hal. 6-7).
Dan inilah yang telah dikenal, bahwasanya wawu ‘athof itu menuntut
persekutuan dalam hukum, bukannya mengharuskan urutan, kecuali dengan qorinah.
39

Bab Lima: Pura-pura Tidak Tahunya Luqman Akan Hujjah-hujjah


Ahlussunnah Tentang Hizbiyyah Al 'Adaniy, dan Dia Menuduh
Ahlussunnah Itu Berdusta Dan Tidak Mengetahui Dalil

Luqman menceritakan kasus pendaftaran yang dilakukan oleh Abdurrohman Al


Adniy, dan menyebutkan bahwasanya para salafiyyin berebut untuk mendaftar untuk
memesan kaplingan. Maka didaftar siapa yang ingin memesan. Dan nampaknya
kondisi ini menyebabkan Asy Syaikh Yahya marah, lalu berjalanlah proses sampai
akhirnya muncul vonis bahwa Abdurrohman Al Adniy adalah hizbiy. Lalu Luqman
berkata: "Kita nggak tahu kenapa ini kok muncul vonis hizbiy. Vonis ini vonis yang
memiliki posisi dalam syariat yang harus didirikan di atas dalil. Nggak boleh kita
kenapa hizbiy? Kita nggak tahu, pokoknya hizbiy. Kenapa hizbiy? Ya dia buat
kekacauan di ma'had kita. Lho buat kekacauan di ma'had itu apakah dalil bahwa
seseorang itu boleh dikatakan sebagai hizbiy?"
Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut-:
Setelah keluarnya lebih dari dua ratus risalah dan puluhan kaset tentang
penjelasan akan hizbiyyah Mar'iyyin, Luqman Ba Abduh bersikeras untuk pura-pura
buta, sehingga dia dihukum dengan kebutaan dan menuntut adanya dalil. Orang yang
mata hatinya buta itu memang membuat capek para penasihat.
Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata:

‫ أن ال يرى ضوءذا من ليس ذا به‬... ‫ما رض شمس الضحى والشمس طالعة‬

"Tidaklah membahayakan matahari dhuha, dalam keadaan matahari terbit, bahwasanya


orang yang tak punya mata tidak melihat cahayanya." ("I'lamul Muwaqqi'in"/2/hal.
368/cet. Darul hadits).
Al 'Allamah Mahmud Syukriy Al Alusiy ‫ رحمه هللا‬berkata: "Maka siapakah orang
yang mengingkari cahaya matahari, atau meragukan purnama di malam
kesempurnaannya selain orang yang Alloh ta'ala butakan mata hatinya, bingung dalam
kegelapan kesesatannya?

‫ وال نب للطرف ال للنجم يف الصغر‬... ‫والنجم تستصغر األبصار رؤيته‬

"Dan bintang itu pandangan mata membuatnya tampak kecil, padahal kesalahan itu ada
pada mata yang melihat, bukan pada bintang itu, sehingga tampak kecil."
("Shobbul 'Adzab 'Ala Man Sabbal Ashhab"/hal. 377).
Maka sekedar pendaftaran itu bukanlah sebab jatuhnya vonis hizbiyyah, akan
tetapi perencanaan makar terhadap Ahlussunnah, fanatisme terhadap tokoh-tokoh atau
tanah air atau pemikiran, penentangan terhadap nasihat-nasihat yang bertujuan
memelihara markiz sunnah, merebut masjid-masjid sunnah, merusak kecintaan para
40

pelajar terhadap syaikh mereka dengan kedustaan dan pengkaburan fakta, dan yang
selain itu, itulah yang menyebabkan jatuhnya vonis hizbiyyah. Al Imam Al Wadi'iy ‫رحمه‬
‫ هللا‬berkata: "… karena hizbiyyah itu tegak di atas kedustaan, tipu daya dan pengkaburan
fakta." ("Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah"/Al Imam Al Wadi'iy ‫ رحمه هللا‬/hal. 3/Darul
Atsar).

Luqman berkata: "Maka ternyata muridnya juga ikut-ikutan, maka akhirnya


bongkar-bongkaran aib, yang mayoritasnya dusta."
Jawabannya –dengan taufiq Alloh- sebagai berikut:
Sesungguhnya kebanyakan orang yang bersalah itu tidak suka untuk
kesalahannya itu kelihatan, maka mereka berupaya untuk mendustakan para saksi. Dan
ini tidak menghalangi seorang penasihat yang jujur untuk berbicara tentang mereka
kalaupun mereka tak mau menerima nasihat.

Al Imam Ibnu Rojab ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka ketika itulah maka bantahan
terhadap ucapan yang lemah, dan penjelasan kebenaran yang menyelisihinya dengan
dalil-dalil syar’iyyah itu bukanlah perkara yang dibenci oleh para ulama itu, bahkan
hal itu merupakan perkara yang mereka cintai dan mereka memuji pelakunya dan
menyanjungnya. Maka hal itu tidak masuk ke dalam bab ghibah secara keseluruhan.
Seandainya ada orang yang membenci untuk ditampilkannya kesalahannya yang
menyelisihi kebenaran, maka kebenciannya tadi tidaklah teranggap, karena kebencian
dimunculkannya kebenaran jika menyelisihi ucapan orang tadi bukanlah sifat yang
terpuji. Bahkan wajib bagi seorang muslim untuk mencintai munculnya kebenaran, dan
mencintai agar para Muslimin mengetahui kebenaran tadi, sama saja apakah hal itu
mencocoki dirinya ataukah menyelisihinya. Dan ini termasuk dari bagian nasihat untuk
Alloh, untuk kitab-Nya, Rosul-Nya, agama-Nya, dan pemimpin Muslimin dan orang
awamnya. Dan yang demikian itulah agama ini sebagaimana diberitakan oleh Nabi ‫صلى‬
‫هللا عليه وسلم‬. (dalam “Al Farqu Bainan Nashihah Wat Ta’yiir” /3/hal. 467/Majmu’ Rosail
Ibni Rojab).

Maka orang yang mendapatkan taufiq adalah orang yang diberi Alloh taufiq
untuk mau menerima kritikan yang benar, sementara orang yang telantar adalah orang
yang marah terhadap yang demikian itu dan berupaya untuk membatalkannya dengan
cara mendustakan para saksi dan penasihat, dan mencerca mereka. Dan yang demikian
itu adalah termasuk dari warisan musuh para Nabi. Alloh ta'ala berfirman:
ِ ‫ون َف َقا ُلوا س‬ َ ‫وسى بِ َآ َياتِنَا َو ُس ْل َطان ُمبِني إِ َل فِ ْر َع ْو َن َو َه َام‬
،12/‫ااحر كَاذاب﴾ [غاافر‬ َ َ ‫ان َو َق ُار‬ َ ‫﴿ َو َل َقدْ َأ ْر َس ْلنَا ُم‬
]11
41

"Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan
keterangan yang nyata, kepada Fir'aun, Haman dan Qarun; maka mereka berkata:
"(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta".
Dan ini adalah warisan para mubtadi'ah. Dari Abuz Zubair bahwasanya beliau
pernah bersama Thowus berthowaf di Baitulloh. Lalu lewatlah Ma'bad Al Juhaniy, maka
seseorang berkata pada Thowus: "Ini ada Ma'bad Al Juhaniy." Maka beliau menuju ke
arahnya seraya berkata padanya: "Apakah engkau itu orang yang berdusta atas nama
Alloh? Orang yang berbicara tentang perkara yang tidak diketahuinya?" Dia menjawab:
"Sungguh, itu dusta atas nama saya." (diriwayatkan oleh Al Ajurriy ‫ رحمه هللا‬dalam "Asy
Syari'ah" no. 458/shohih).
Al Imam Az Zuhriy ‫ رحمه هللا‬berkata: "Umar bin Abdil Aziz ‫ رحمه هللا‬memanggil
Ghoilan seraya berkata: "Wahai Ghoilan, sampai kepadaku berita bahwasanya engkau
berbicara tentang taqdir." Maka dia menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, sungguh
mereka itu bohong atas nama saya." (diriwayatkan oleh Al Ajurriy ‫ رحمه هللا‬dalam "Asy
Syari'ah" no. 522/hasan).
42

Bab Enam: Abdurrohman Al 'Adaniy Bergaya Tampil Dengan


Akhlaq yang bagus

Luqman berkata: "Asy Syaikh Abdurrohman yang memang dikenal sabar,


tawadhu'. Ustadz-ustadz kita yang dari Yaman tahu menyaksikan itu secara langsung.
Beliau menerima nasihat masyayikh, maka dihentikanlah pendaftaran itu menurut
keterangan Asy Syaikh Al Imam dalam fatwanya yang terakhir. Asy Syaikh
Abdurrohman mendengarkan nasihat dan menjalankan permintaan masyayikh. Di sisi
lain para masyayikh meminta Yahya Al Hajuriy untuk mencabut kembali vonis-
vonisnya dan celaan-celaannya kepada Asy Syaikh Abdurrohman. –sampai pada
ucapan dia:- kata Asy Syaikh Al Imam: sementara Yahya Al Hajuriy tidak mau
mencabut ucapan-ucapannya itu dengan berbagai alasan yang dipaksakan dan dibuat-
buat, …dst."
Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:
Abdurrohman Al Adaniy punya akhlaq palsu, nampak jati dirinya ketika ada
bencana. Dan demikianlah orang yang bergaya bukan dengan hakikatnya, maka cepat
sekali terbongkarnya ketika terjadi ujian-ujian. Kita mohon pada Alloh keselamatan.
Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: "Ujian-ujian itu menampakkan jati diri
orang-orang, dan langkap cepatnya si pengaku-aku itu terbongkar." ("Badai'ul
Fawaid"/3/hal. 751).
Adapun Abdurrohman bin Mar'i Al Adaniy maka dia itu sebagaimana kata
saudara kita Abdul Ghoni Al Qo'syamiy ‫حفظه هللا‬: "Sesungguhnya dia itu akan
menampilkan gaya tawadhu' dan kebaikan pada orang yang datang kepadanya, dan
bahwasanya dirinya tidak mencerca seorangpun." Kemudian beliau menyebutkan kisah
saudara kita Muhsin Ziyad ‫ حفظه هللا‬bahwasanya dirinya pergi ke Abdurrohman Al Adaniy,
dan Abdurrohman berkata padanya: "Hati-hati, janganlah engkau mengkritik Asy Syaikh
Yahya dan Dammaj." Maka dia –yaitu Muhsin- menjawab: "Kalaupun Asy Syaikh Yahya
memukulku dengan kursi, aku tak akan mengkritik beliau." Demikianlah ahli ahwa,
mendatangkan kalimat yang diperindah macam tadi untuk mengumpulkan orang-orang
di sekitar mereka sampai mereka menjadi pelindung dan penolong mereka." dst. ("Al
Muamarotul Kubro"/hal. 34).
Silakan buka risalah “Haqoiq Wa Bayan” karya Asy Syaikh Kamal Al Adaniy,
beliau menyebutkan persaksian-persaksian tentang kasarnya Abdurrohman Al Adaniy
pada orang yang menyelisihinya, pada awal-awal kasus ini, sebelum Asy Syaikh Yahya
mengkritik Adaniy di depan umum.
Sebagian pengikut Abdurrohman Al Adaniy telah menempuh jalan bersandiwara
dengan akhlaq yang mulia dan perhatian yang lebih terhadap orang yang hendak
mereka gaet. Bacalah persaksian sebagian orang-orang yang bertobat, di dalam risalah:
43

"Al Barohinul Jaliyyah" (hal. 29/Mu'afa Al Hudaidiy) dan juga "Nashbul Manjaniq" (hal.
98/Yusuf Al Jazairiy).
Demikian pula sebagian pengikut Abdulloh bin Mar'i digambarkan oleh syaikh
kami Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬bahwasanya ucapannya itu lebih
manis daripada madu bersamaan dengan buruknya tipu daya dia.
Dan telah saya sebutkan di dalam risalah "At Tajliyah Li Amarotil Hizbiyyah"
sandiwara banyak sekali dari para mubtadi'ah dengan akhlaq yang bagus dalam rangka
mempedaya manusia.
Adapun tidak maunya syaikh kami Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berhenti dari
memperingatkan umat tentang bahaya kelompok tadi sementara keadaan mereka
masih seperti tadi, maka itu adalah hak beliau, karena shulh (perdamaian) itu tidak
berlangsung kecuali dengan keridhoan kedua belah pihak, dan orang yang terzholimi
berhak untuk menuntut haknya. Alloh ta'ala berfirman:
.]414 :‫َان اهلل َس ِمي ًعا َعلِ ًيًم﴾ [النساء‬
َ ‫وء ِم َن ا ْل َق ْو ِل إَِل َم ْن ُظلِ َم َوك‬
ِ ‫اْلهر بِالس‬
ُّ َ ْ َْ ‫ب اهلل‬
ِ
ُّ ‫﴿ ََل ُُي‬
"Alloh tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali
oleh orang yang dianiaya. Dan Alloh adalah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui."
Alloh subhanah berfirman:
‫اُها َع َىل ْاألُخْ َرى َف َقاتِ ُلوا التِي َتبْ ِغي َحتى‬ ْ ‫ني ا ْقتَ َت ُلوا َف َأ ْصلِ ُحوا َب ْين َُه ًَم َفإِ ْن َبغ‬
َ ُ َ‫َت إِ ْحد‬
ِِ ِ ِ ‫﴿وإِ ْن َطائِ َفت‬
َ ‫َان م َن ا ُْمل ْؤمن‬ َ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
.]6 :‫ني﴾ [احلجرات‬ َ ‫ب ا ُْمل ْقسط‬ُّ ‫اء ْت َف َأ ْصل ُحوا َب ْين َُه ًَم بِا ْل َعدْ ِل َو َأ ْقس ُطوا إِن اهلل ُُي‬َ ‫يء إِ َل َأ ْم ِر اهلل َفإِ ْن َف‬
َ ‫تَف‬
"Dan kalau ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu berperang
hendaklah kalian damaikan antara keduanya. Tapi kalau yang satu menzholimi
terhadap yang lain, hendaklah yang menzholimi itu kalian perangi sampai kembali
pada perintah Alloh. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut
keadilan, dan hendaklah kalian berlaku adil; Sesungguhnya Alloh mencintai orang-
orang yang berlaku adil."
Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: "Dan Alloh subhanah telah
memerintahkan untuk mendamaikan kedua kelompok yang saling berperang, pertama
kali. Maka jika yang satu menzholimi terhadap yang lain, maka ketika itu Alloh
memerintahkan untuk memerangi pihak yang zholim, bukan berdamai, karena pihak
tadi telah berbuat zholim, karena di dalam perdamaian yang disertai dengan kezholiman
pihak tadi ada unsur merugikan hak pihak yang dizholimi . Dan kebanyakan orang-orang
yang zholim mendamaikan antara pihak yang kuat yang zholim dan lawan yang lemah
yang terzholimi, dengan bentuk perdamaian yang diridhoi oleh orang yang kuat yang
memiliki kebesaran, dan dirinya mendapatkan keuntungan di dalam bentuk perdamaian
tadi, dan jadilah kecurangan itu diderita oleh pihak yang lemah, dalam keadaan diduga
bahwasanya dirinya telah membuat perdamaian, dan dia tidak memberikan
44

kesempatan pada orang yang terzholimi untuk mengambil haknya. Dan ini adalah
kezholiman. Bahkan seharusnya dia memberikan kesempatan pada orang yang
terzholimi untuk mengambil haknya secara penuh, kemudian si pendamai tadi meminta
pada orang yang terzholimi untuk meninggalkan sebagian haknya, dengan kerelaannya,
tanpa bersikap condong kepada pemilik kebesaran, dan tidak tersamarkan dengan
pemaksaan kepada pihak lain dengan kecondongan dan sebagainya." ("I'lamul
Muwaqqi'in"/1/hal. 109).
45

Bab Tujuh: Luqman Menuduh Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬Tak Punya
Kasih Sayang dan Tidak Tahu Persaudaraan

Luqman berkata tentang Asy Syaikh Yahya ‫حفظه هللا‬: "Tidak mengerti mahalnya
ukhuwwah, mahalnya para murid belajar ke sana, jauh-jauh datang sibuk dengan:
hizbiy, hizbiy, hizbiy, hizbiy. Satu pondok."
Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:
Dan termasuk dari sikap sayang kaum mukminin pada saudara mereka adalah:
tidak membiarkan saudara mereka di dalam kedurhakaan, bahkan mereka
menasihatinya dan membimbingnya. Yang demikian itu karena mereka menyukai untuk
saudara mereka perkara yang mereka sukai untuk diri mereka sendiri. Dari Anas ‫رضي هللا‬
‫ عنه‬dari Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬yang bersabda:

»‫ حتى ُيب ألخيه ما ُيب لنفسه‬،‫«َل يؤمن أحدكم‬

“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya
apa yang dicintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Al Bukhoriy (13) dan Muslim (45)).

Dan termasuk perkara yang dicintai kaum mukminin untuk saudara-saudara


mereka apa yang mereka cintai untuk diri mereka sendiri adalah: kekokohan mereka di
atas kebenaran, dan jauhnya mereka dari kebatilan. Maka dalam rangka inilah sebagian
dari mereka saling menasihat dengan yang lain. Alloh ta'ala berfirman:
ِ ِ ‫ان ا ُْملنْك‬ ِ ‫ون بِا َْملعر‬ ِ ُ ‫ُون َوا ُْمل ْؤ ِمن‬
َ ‫َوا ُْمل ْؤ ِمن‬
‫ُاون‬ َ ‫اون الص‬
َ ‫اال َة َو ُي ْؤت‬ َ ‫يم‬ُ ‫َار َو ُيق‬ ِ ‫وف َو َين َْه ْو َن َع‬ ُ ْ َ ‫اء َب ْعض َي ْأ ُم ُر‬ ُ ‫َات َب ْع ُض ُه ْم َأ ْول َي‬
]17/‫َح ُه ُم اهلل إِن اهلل َع ِزيز َحكِيم [التوبة‬ ُ َ ‫ك َس َ ْري‬َ ِ‫ون اهلل َو َر ُسو َل ُه ُأو َلئ‬
َ ‫الزكَا َة َو ُيطِي ُع‬

"Dan orang-orang mukminin dan mukminat itu sebagian dari mereka adalah wali
bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang mungkar, menegakkan sholat dan menunaikan zakat serta menaati Alloh
dan Rosul-Nya. Mereka itulah yang akan dirohmati Alloh, sesungguhnya Alloh itu
'Aziz (Maha Perkasa) lagi Hakim (Maha Penuh Hikmah)" (QS At Taubah 71).

Maka rohmat itu tidak mengharuskan diam terhadap kemungkaran. Justru diam
terhadap kemungkaran adalah sebab kebinasaan, dan sikap diam itu bukan menjadi
dalil tentang adanya rohmat. Dari An Nu'man bin Basyir ‫ رضي هللا عنهما‬: dari Nabi ‫صلى هللا‬
‫ عليه وسلم‬berkata:

‫«مثل القائم عىل حدود اهلل والواقع فيها كمثل قوم استهموا عىل سفينة فأصاب بعضهم أعالها وبعضهم‬
‫أسفلها فكان الذين يف أسفلها إذا استقوا من املاء مروا عىل من فوقهم فقالوا لو أنا خرقنا يف نصيبنا خرقا ومل‬
46

‫ (أخرجه‬.»‫نؤذ من فوقنا فإن يَتكوهم وما أرادوا هلكوا مجيعا وإن أخذوا عىل أيدهيم نجوا ونجوا مجيعا‬
.))1162( ‫البخاري‬

"Permisalan orang yang menegakkan hukum-hukum Alloh dan orang yang terjatuh ke
dalam pelanggaran hukum Alloh adalah seperti suatu kaum yang berundi di kapal,
maka sebagian dari mereka mendapatkan bagian atas, dan sebagian yang lain
mendapatkan bagian bawah. Orang-orang yang di bagian bawah jika mau
mengambil air, mereka melewati orang yang di atas mereka. maka mereka berkata:
"Seandainya kita benar-benar melobangi bagian kita ini dan kita tidak mengganggu
orang yang di atas kita saja." Maka jika orang-orang yang di atas membiarkan
mereka (yang di bawah) melakukan apa yang mereka inginkan, pastilah mereka
semua akan binasa. Dan jika orang-orang yang di atas mencegah tangan-tangan
mereka, mereka akan selamat, dan semuanya akan selamat." (HR. Al Bukhoriy
(2493)).

Al Hafizh Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬berkata: "Dan demikianlah penegakan hukum,


dihasilkanlah dengannya keselamatan bagi orang yang menegakkannya dan orang yang
dikenai hukum tadi. Jika tidak demikian, maka si pelaku maksiat akan binasa dengan
kemaksiatannya, dan orang yang diam juga binasa karena ridho dengan maksiat tadi."
("Fathul Bari"/Ibnu Hajar/5/hal. 296).

Dan terkadang sebagian orang tidak tersadar kecuali dengan semacam sikap
keras, maka metode ini tidak boleh diingkari karena jelasnya dalil-dalil tentang itu, dan
langkah tadi tidak menunjukkan kecilnya rohmat pelaksananya sebagaimana yang
diduga oleh Al Wushobiy. Dari Anas ‫ رضي هللا عنه‬:

‫ إهنا‬:‫ «اركبها» قال‬:‫ قال‬.‫ إهنا بدنة‬:‫ «اركبها» قال‬:‫أن النبي صىل اهلل عليه وسلم رأى رجال يسوق بدنة فقال‬
.))4211( ‫) ومسلم‬9446( ‫ (أخرجه البخاري‬.»‫ «اركبها ويلك‬:‫ قال‬.‫بدنة‬

"Bahwasanya Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬melihat seseorang menggiring badanah (binatang
untuk disembelih dalam haji). Maka beliau bersabda: "Naikilah dia." Maka dia berkata:
"Dia itu badanah." beliau bersabda: "Naikilah dia." Maka dia berkata: "Dia itu
badanah." beliau bersabda: "Naikilah dia, celaka kamu." (HR. Al Bukhoriy (6159) dan
Muslim (1322)).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬berkata: "… dan hanyalah perkara ini
termasuk dalam kemaslahatan-kemaslahatan kaum mukminin yang dengannya Alloh
memperbaiki sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain, karena sesungguhnya
mukmin yang satu bagi mukmin yang lain adalah bagaikan dua tangan, yang satu
mencuci yang lain. Dan terkadang kotoran tidak lepas kecuali dengan semacam
47

kekasaran, akan tetapi yang demikian itu akan menghasilkan kebersihan dan
kelembutan yang dengannya kekasaran tadi dipuji." ("Majmu'ul Fatawa"/28/hal. 53-54).

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمززه هللا‬berkata: "Dan termasuk perkara yang harus
diketahui: bahwasanya rohmat itu adalah suatu sifat yang menuntut disampaikannya
manfaat-manfaat dan kemaslahatan-kemaslahatan kepada sang hamba. Sekalipun
dirinya tidak menyukainya dan kebaikan tadi terasa berat baginya. Maka inilah rohmat
yang hakiki. Maka orang yang paling menyayangimu adalah orang yang berat bagi
dirimu dalam menyampaikan kemaslahatan-kemaslahatanmu dan membela dirimu dari
mara bahaya. Maka termasuk dari rohmat bapak kepada anaknya adalah: dia
memaksanya untuk beradab dengan ilmu dan amal, dan memberati dirinya untuk itu
dengan pukulan dan sebagainya, dan menghalanginya dari syahwat-syahwatnya yang
bisa membahayakan dirinya. Dan kapan saja dia menyepelekan itu dari anaknya, maka
yang demikian itu adalah karena kecilnya rohmat dirinya terhadap anaknya, sekalipun
dia menyangka dirinya sayang padanya, memberinya kemewahan dan memberinya
ketenangan. Maka ini adalah rohmat yang disertai dengan kebodohan, …dst." (lihat
selengkapnya di "Ighotsatul Lahfan"/hal. 523-524/Dar Ibni Zaidun).

Maka rohmat Ahlussunnah adalah rohmat sejati, tidak seperti rohmat khayalan
para hizbiyyin seperti Luqman Ba Abduh. Dari Abu Sholih Al Faro yang berkata: “Aku
ceritakan pada Yusuf bin Asbath tentang Waki’ tentang suatu perkara fitnah. Maka
Yusuf berkata: “Orang itu seperti ustadznya –yaitu: Hasan bin Hayy- maka kukatakan
pada Yusuf: “Apakah Anda tidak takut bahwasanya ini adalah ghibah?” maka beliau
menjawab: “Memangnya kenapa wahai orang tolol? Aku lebih baik untuk mereka
daripada ayah ibu mereka. aku melarang manusia dari melakukan apa yang mereka
buat yang bisa menyebabkan dosa-dosa mereka mengikuti mereka. dan orang yang
berlebihan memuji mereka itu lebih berbahaya terhadap mereka.” (“Adh
Dho’afa”/karya Al ‘Uqoiliy ‫رحمه هللا‬/1/hal. 232/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Penjelasan ini cukup dalam membantah tuduhan Luqman terhadap syaikh kami
bahwasanya beliau tak punya rohmat, dan juga ucapan dia tentang Asy Syaikh Yahya
‫حفظه هللا‬: "Tidak mengerti mahalnya ukhuwwah."

Luqman telah membuat kedustaan besar atas nama syaikh kami, karena
termasuk dari hak-hak persaudaraan adalah sebagaimana sabda Rosululloh ‫صزلى هللا عليزه‬
‫ وسلم‬:

.))1491( ‫ (أخرجه مسلم‬.»‫«وإذا استنصحك فانصح له‬


"Dan jika dia meminta nasihat maka berilah dia nasihat." (HR. Muslim (2162)).

Dan telah lewat penyebutan makar Abdurrohman Al Adaniy terhadap markiz


induk ini, dan dia itu menyebabkan rusaknya hubungan antar ikhwah, saling membenci,
dan saling membelakangi, sebelum Asy Syaikh Yahya ‫ حفظزززه هللا‬membicarakan
48

Abdurrohman Al Adaniy. Manakala Asy Syaikh melihat keadaan seperti ini, beliau
mengirimkan para penasihat kepada Al Adaniy berulang kali, tapi hal itu tidak
menambahi dirinya kecuali pembangkangan.

Maka perbuatan syaikh kami Yahya ‫ حفظزه هللا‬yang berupa penebaran nasihat-
nasihat dan hardikan terhadap pelaku kerusakan dari perusakan yang mereka lakukan
adalah dalam rangka melindungi ukhuwwah (persaudaraan).

Dan bagaimana jika para perusak yang di dalam markiz ini tidak menerima
nasihat, bahkan mereka bersikeras merusak akal para pelajar? Apakah pengelola urusan
markiz boleh untuk berkata: "Aku telah menunaikan kewajibanku, maka silakan mereka
berbuat terhadap para murid kami sesuka mereka"? Ini tidak benar. Bahkan dia harus
menghardik para perusakan dengan metode yang dipandangnya bermanfaat bagi sisa-
sisa para pelajar yang sehat selama kemampuan masih ada. Maka mukmin yang kuat itu
lebih baik dan lebih dicintai Alloh daripada mukmin yang lemah, bersamaan dengan
bersekutunya mereka dalam asal kebaikan karena bersekutunya mereka dalam asal
keimanan. Dan jika si sakit tidak mengambil manfaat dengan suatu resep obet, maka
hendaknya si dokter memakai resep yang lebih kuat dari itu, dan dokternya jangan
melemah.

Dan perbuatan ini tidak keluar dari penjagaan ukhuwwah dan keselamatan
agama.
49

Bab Delapan: Luqman Menuduh Para Pelajar Tersibukkan Dengan


Pembicaraan Tentang Hizbiyyah

Luqman berkata: "Mahalnya para murid belajar ke sana, jauh-jauh datang


sibuk dengan: hizbiy, hizbiy, hizbiy, hizbiy. Satu pondok."
Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Segala puji bagi Alloh, kami para pelajar sibuk dengan ilmu-ilmu syar’iyyah,
belajar, mengajar, muroja’ah. Dan di waktu yang diperlukan untuk menolong kebenaran
dalam rangka menghadapi kebatilan, bangkitlah para pencemburu untuk menegakkan
kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan menyebarkan fatwa-fatwa tahdzir terhadap
kebatilan sesuai dengan kemampuan.

Al Imam Ibnu Baz ‫ رحمه هللا‬berkata: "Kemudian penuntut ilmu setelah itu
hendaknya sangat bersemangat untuk tidak menyembunyikan sedikitpun dari apa yang
dia ketahui, dia bersemangat untuk menjelaskan kebenaran, membantah para musuh
agama Islam, tidak meremehkan, dan tidak menepi. Dia itu selalu tampil di medan juang
sesuai dengan kemampuannya. Maka jika lawan dari Islam muncul membuat syubuhat
dan mencerca, tampillah si pelajar ini untuk membantah mereka secara tulisan ataupun
lisan dan cara yang lain. Dia tidak meremehkan dan tidak berkata: "Ini diurusi oleh
orang lain." Bahkan dia berkata: "Akulah yang akan mengurusinya, akulah yang akan
mengurusinya." Jika di sana ada para imam yang lain tapi dia khawatir masalah ini akan
luput, maka dia tetap tampil selalu dan tidak menepi. Bahkan dia tampil di waktu yang
sesuai untuk menolong kebenaran, membantah lawan-lawan Islam dengan tulisan yang
yang lainnya –sampai pada ucapan beliau:-

Dia juga tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya, bahkan dia menulis,
berkhothbah, berbicara, membantah ahli bida', dan membantah lawan Islam yang lain
dengan kekuatan yang Alloh berikan untuknya, sesuai dengan ilmunya, dan dengan apa
yang Alloh mudahkan untuknya dengan berbagai kemampuan. Alloh ta'ala berfirman:

َ ِ‫َاب ُأو َلئ‬


‫ك َي ْل َعن ُُه ُم اهلل َو َي ْل َعن ُُه ُم‬ ِ ‫اس ِيف الْكِت‬
ِ ‫َات َو ُْاهلدَ ى ِم ْن َب ْع ِد َما َبينا ُه لِلن‬ِ ‫ون ما َأ ْنزَ ْلنَا ِمن ا ْلبين‬
َ َ َ َ ‫ين َي ْكت ُُم‬
ِ
َ ‫﴿إِن الذ‬
ِ َ ِ‫ين تَا ُبوا َو َأ ْص َل ُحوا َو َبينُوا َف ُأو َلئ‬ ِ ِ
.﴾‫يم‬ ُ ‫اب الرح‬ ُ ‫ُوب َع َل ْي ِه ْم َو َأنَا التو‬
ُ ‫ك َأت‬ َ ‫ُون إَِل الذ‬
َ ‫الالعن‬

"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan


berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Alloh dan
dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati, kecuali mereka yang telah
taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap
mereka Itulah aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi
Maha Penyayang."
50

Maka kita harus berdiri di kedua ayat ini dengan pendirian yang agung. Robb kita
memperingatkan kita dari menyembunyikan ilmu dan mengancam perbuatan tadi, dan
melaknat orang yang melakukan itu. Kemudian Alloh menjelaskan bahwasanya tidak
ada keselamatan dari ancaman dan kutukan ini kecuali dengan tobat, perbaikan dan
penjelasan.” (selesai dari "Majmu' Fatawa Wa Maqolat Ibnu Baz"/7/hal. 194).
51

Bab Sembilan: Membongkar Makar Sebagian Orang Yang


Menisbatkan Diri Pada Ilmu

Luqman berkata: “Akhirnya para masyayikhpun tidak putus asa sejak


munculnya peristiwa itu sejak tujuh tahun yang lalu, para masyayikh tidak putus asa
mencoba dan mencoba lagi.”

Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Bahkan sebagian dari para masyayikh tersebut punya andil dalam membuat
makar dalam kasus ini. Syaikh kami Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata: "Beberapa waktu
sebelum ini, akh Ali Ja'dan mengunjungi Asy Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab ‫وفقه‬
‫( هللا‬8) maka Asy Syaikh Muhammad berkata padanya: "Akan berdiri sekarang ini markiz
yang menyerupai markiz Dammaj. Jangan kabarkan ini pada seorangpun!!"

Baiklah, markiz-markiz jika berdiri tanpa ada kerahasiaan, maka kami ucapkan
selamat atas berdirinya markiz apapun, dan kami akan membantunya. Dan aku, jika
dikumpulkan tazkiyyah-tazkiyyah yang aku tulis untuk (membantu) mendirikan markiz-
markiz untuk Ahlussunnah pastilah datang dalam bentuk malzamah. Akan tetapi
kerahasiaan macam apa yang mereka perbuat itu?

Di belakang penyembunyian tersebut ada "perbuatan-perbuatan" yang Alloh


lebih tahu apa yang ada di belakang maksud ini. Saksinya ada dan dia mendengar.

Tambahkan lagi dengan perbuatan Asy Syaikh Muhammad membuat adu domba
dan pemberontakan terhadap dakwah, penentangan terhadap dakwah, membuat
kerumitan terhadap dakwah, membuat kerumitan terhadapku dan terhadap saudara-
saudaraku di Darul Hadits di dammaj tanpa alasan yang benar. Demi Alloh itu adalah
kezholiman, dan permusuhan. Tiada sebab yang demikian itu kecuali wala (loyalitas)
dan baro (perlepasdirian) yang sempit.

(selesai penukilan dari risalah "Al Wala Wal Baroudh Dhoyyiq"/Asy Syaikh Yahya/hal. 6).

Asy Syaikh Yahya ‫ حفظزه هللا‬juga berkata: “Dia menukilkan padaku –dan kita, aku
dan masyayikh, di majelis di Hudaidah- bahwasanya Asy Syaikh Robi' berkata: "Seretlah
Yahya dari atas kursi, dan penggantinya telah siap."

Demi Alloh, dadaku menjadi sempit dengan sebab ini. Dan aku berhak untuk
merasa sempit. Aku mengajak kepada Al Kitab dan As Sunnah, aku wajib untuk ditolong,
bukannya ditelantarkan, lebih-lebih lagi untuk diseret, lebih-lebih lagi hal ini bisa

(8)
Beliau telah meninggal sebelum kitab ini ana cetak secara resmi. Sekalipun beliau tidak rujuk dari
kezholimannya terhadap dakwah Salafiyyah, kita doakan: semoga Alloh mengampuninya.
52

menyebabkan pembunuhan, peperangan, kejahatan dan fitnah. Aku di atas wasiat.


Alloh ta'ala berfirman:

.]444:‫ين ُي َبد ُلو َن ُه إِن اهللَ َس ِميع َعلِيم﴾ [البقرة‬ ِ ِ


َ ‫﴿ َف َم ْن َبد َل ُه َب ْعدَ َما َسم َع ُه َفإِن ًَم إِ ْث ُم ُه َع َىل الذ‬
"Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka
sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui."

Dan perbuatan itu bukanlah metode Ahlussunnah, dan bukan pula dari dakwah
Ahlussunnah sama sekali. Dan Asy Syaikh Muhammad mampu untuk berkata padanya:
"Wahai Syaikh Robi' ucapan ini tidak kami terima dari Anda dan tidak kami ridhoi.” Jika
memang seperti yang diucapkannya dan tidak perlu dinukilkan kepadaku. Dan aku
dikabari bahwasanya dia menukilkan pada Asy Syaikh Robi' di sana perkataan dariku
dan membuat guncang dadanya terhadapku sebagaimana dia menggoncang dadaku
terhadap Asy Syaikh Robi'.

Kemudian setelah itu Asy Syaikh Muhammad mengunjungi kami ke sini dan
berkata: "Aku duduk bersama Abu Malik Ar Riyasyiy, ternyata Asy Syaikh Robi' juga
berkata kepadanya sebagaimana perkataannya kepadaku: "Seretlah Yahya dari atas
kursi." Mahasuci Alloh!! Kukatakan padanya: "Aku akan menelpon Asy Syaikh Robi'
sekarang juga." Wahai saudaraku, kami ini di atas dakwah salafiyyah ataukah kami ini di
atas alur sosialis? Kami menganggap beliau sebagai bapak. Seorang mukmin bagi
mukmin yang lain adalah bagaikan satu bangunan, tapi dia menggali lubang untuk
kami!!”

Asy Syaikh Muhammad berkata: "Jangan, jangan, jangan engkau telpon beliau,
nanti beliau akan berkata: "Demi Alloh, demi Alloh, demi Alloh, aku tidak mengatakan
itu." Demikianlah Asy Syaikh Muhammad berkata. Dan semoga kutukan Alloh menimpa
orang-orang yang dusta.

Aku harus berkata terang-terangan. Kami ini ada di atas dakwah yang jelas, tidak
sepantasnya digalikan lubang di belakangku semisal ini sejak sekian tahun. Dengan hak
apa? Aku mengajak orang kepada Alloh ‫ عز وجل‬.

(selesai penukilan dari "Al Wala Wal Baroudh Dhoyyiq"/Asy Syaikh Yahya/hal. 4-5).

Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬juga berkata: "Dan termasuk dari taktik dan kezholiman
terhadap dakwah yang terus berjalan tersebut adalah: Asy Syaikh Muhammad
mengunjungi kita di sini dalam keadaan mereka dimuliakan dan dihormati. Dan di akhir
ceramah sebagian masyayikh, bangkitlah dia dari sana dengan lari-lari kecil di waktu
terakhir, dan dia mengadu domba para pelajar dengan ucapan yang menusuk seperti
jarum, dan jadilah orang-orang yang aku pegangi mereka, dan aku terus-menerus
menasihati mereka, dari kalangan murid-muridku di markiz ini, mereka "berhamburan
53

menyerang" saudara-saudara mereka. Yang ini berkata: "Asy Syaikh Muhammad pada
malam ini menghantam mereka dan berbuat demikian dan demikian." Dan hampir saja
mereka baku pukul di jalan-jalan, dan hampir terjadi fitnah di sini di dalam ruang
Dewan, pengaruh permusuhan itu disebabkan oleh adu domba Asy Syaikh Muhammad.
Maka dia juara dalam adu domba, dan dia berhak mendapatkan gelar "doktor
internasional" dalam adu domba.

(selesai penukilan dari "Al Wala Wal Baroudh Dhoyyiq"/Asy Syaikh Yahya/hal. 6-7).
54

Bab Sepuluh: Luqman Tidak Paham Kasus Maaf Dan Tobat

Luqman berkata: “Yahya Al Hajuriy menuntut (dan menyatakan): saya tidak


setuju hasil pertemuan itu sampai Abdurrohman datang ke Dammaj dan minta maaf.
Kalau minta maaf, selesai hizbiyyahnya. Jadi vonis hizbiyyah itu tadi selesai dengan
minta maafnya Syaikh Abdurrohman. Sampai keluarlah kaset muhadhoroh Al Hajuriy
yang berjudul “Mutholabatu Abdurrohman Bil I’tidzar” , Tuntutan Abdurrohman Al
Adaniy Untuk Minta Maaf.” Ya akhi Ini salah satu bentuk dakwah dan manhaj baru.”

Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Ini adalah kisah yang gambarannya keliru, yang diambil oleh Luqman dari
Muhammad Ar Roimiy. Silakan rujuk pelurusannya dalam bantahan Asy Syaikh Yahya
terhadap Muhammad Ar Roimiy.

Adapun kebingungan Luqman tentang masalah tuntutan agar si Adaniy minta


maaf, dan masalah status hizbiyyah dia, kita katakan:

Yahya bin Kholid Al Barmakiy ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Barangsiapa tidak tahu suatu
perkara, dia akan memusuhi perkara itu.” (“Al Adzkiya”/Ibnul Jauziy/hal. 22).

Manakala Luqman tidak memahami hakikat kasus ini, maka dia merasa aneh
dengan perkataan Asy Syaikh Yahya ‫ رحمه هللا‬dan memusuhi beliau dengan ucapan tadi.

Maka ketahuilah bahwasanya kezholiman-kezholiman Abdurrohman Al Adaniy


itu bermacam-macam, di antaranya adalah: yang terkait dengan hak Syaikh kami Yahya
‫ حفظزه هللا‬, maka Al Adaniy wajib minta maaf dan minta dihalalkan. Dan kezholiman yang
kedua: terkait dengan perkara-perkara manhajiyyah, maka dia wajib bertobat darinya
dan kembali kepada jalan Salafiyyah. Inilah yang diinginkan oleh Asy Syaikh Yahya ‫حفظزه‬
‫ هللا‬sebagaimana yang beliau sebutkan di dalam ucapan-ucapan beliau, akan tetapi
kebanyakan hizbiyyin ingin orang-orang terkaburkan akan hakikat yang sebenarnya.

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Hak-hak itu ada dua macam: hak Alloh
dan hak manusia. Maka hak Alloh itu tidak dimasuki oleh perdamaian, seperti hudud
(hukum-hukum potong tangan dsb), zakat-zakat, kaffarot dan semisalnya. Perdamaian
antara hamba dengan Robbnya hanya boleh dilakukan dalam bentuk dia menunaikan
hak-hak Alloh, bukan dalam bentuk menyia-nyiakannya. Oleh karena itulah maka
perdamaian itu tidak diterima dalam kasus hudud. Dan jika kasus hudud itu telah
sampai kepada penguasa, Alloh melaknat sang pemberi syafaat dan orang yang diterima
syafaatnya.

Adapun hak-hak kemanusiaan, maka dia itulah yang boleh menerima


perdamaian, pengguguran hak dan penggantiannya. Dan perdamaian yang adil itulah
yang diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya ‫ صلى هللا عليه وسلم‬sebagaimana firman Alloh:
55

‫فأصلحوا بينهًم بالعدل‬

“Maka damaikanlah kedua kelompok itu dengan adil.”

Dan perdamaian yang berat sebelah itu adalah kezholiman itu sendiri. Dan
kebanyakan manusia tidak bertopang pada keadilan dalam perdamaian, bahkan
membuat perdamaian dengan perdamaian yang mengandung kezholiman dan berat
sebelah. Maka hendaknya dia mendamaikan kedua belah pihak yang saling menuntut
tanpa bersikap curang terhadap hak salah satu pihak.”

(selesai dari “I’lamul Muwaqqi’in”/1/hal. 108-109).


56

Bab Sebelas: Tuduhan Bahwasanya Asy Syaikh Yahya Berlidah


Kotor

Luqman menyebutkan bahwasanya Asy Syaikh Yahya punya ucapan-ucapan


kotor yang tidak diucapkan oleh orang-orang pasar.

Seperti ini pula ucapan Abdulloh Al Bukhoriy tentang Asy Syaikh Yahya –
semoga Alloh menjaganya- : “Cacian, cercaan, cercaan, cercaan, kita berlindung pada
Alloh.”

Ucapan ini juga persis dengan dengungan Arofat Al Bashiriy.

Jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Kenapa mereka tidak mengkritik syaikh mereka Ubaid Al Jabiriy yang keburukan
lidahnya tidak terbatas pada ahli ahwa saja, bahkan mencapai penduduk suatu negri
secara luas? Aku telah mendengar dialog dia, lalu dia mencaci dengan cacian yang
sangat buruk terhadap penduduk Aljazair, dan mencerca penduduk Libia dengan
cercaan yang memalukan untuk disebutkan. Itu juga dinukilkan di dalam risalah “Al
Bayanul Mufid Li Ba’dhi Ma Ashsholahu Wa Naqodhohu Syaikhuna ‘Ubaid” (hal.
26/karya Syaikh kami Muhammad Ba Jammal ‫)حفظه هللا‬: seorang penanya dari Aljazair
bertanya pada Ubaid tentang sebagian perkara yang terkait dengan Lajnah Daimah dan
Ali bin Hasan Al Halabiy, lalu terjadi sedikit pemotongan pembicaraan sehingga Syaikh
kami Ubaid berkata pada si penanya: “Kamu adalah sapi! Jika bukan sapi, maka kamu
adalah keledai!”

Dan pada telpon yang kedua dia berkata pada si penanya: “Apakah kamu sudah
gila? Kamu gila? Kamu sapi, sapi, sapi.”

Dan pada telpon yang ketiga dia berkata pada si penanya –dan sebenarnya si
penanyanya memang beradab jelek dan sok tahu: “Orang-orang Aljazair dan Libia itu
adalah keledai-keledai, kecuali orang yang dirohmati Alloh.”

Aku –Asy Syaikh Muhammad Ba Jammal-: akan tetapi apa dosa orang-orang
Aljazair dan Libia yang lain (yang bukan penanya)?

Jika ada yang berkata: beliau berkata: kecuali orang yang dirohmati Alloh.

Beliau menjawab: akan tetapi ini dinamakan apa jika diteliti? “Keledai-keledai!”
“sapi!” “orang gila!” Apakah ini termasuk ungkapan yang lembut dan adab yang tinggi,
ucapan yang bagus, perkataan yang indah?! (yang Ubaid menganggap bahwasanya Asy
Syaikh Yahya tak punya ketinggian akhlaq itu, ternyata Ubaid sendiri demikian).

Selesai penukilan.
57

Adapun syaikh kami Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬jika beliau mencaci, maka beliau itu
hanyalah mencaci –sebagaimana yang kalian dengar- para pembangkang terhadap
hujjah, karena marah untuk Alloh.

Maka ketahuilah bahwasanya caci-makian telah terjadi dari kedua belah pihak.
Pihak Ahlussunnah dan pihak ahli bid'ah. Akan tetapi Ahlussunnah jika mencaci, maka
mereka itu mencaci dengan jujur, adil dan dengan adanya bukti, berbeda dengan ahli
bid'ah. Al Imam Ibnul Qoyyim berkata dalam "Qoshidah Nuniyyah" (1/hal. 91):

‫وإذا سببتم باِلحال فسبنا*** بأدلة وحجج ذي برذان‬

‫تبدي فضائحكم وهتتك سرتكم*** وتبني جهلكم مع العدوان‬

‫ما ُبعد ما بني السباب ب اكم*** وسبابكم بالك ب والطغيان‬

‫من سب بالربذان ليس بظامل*** والظلم سب العبد بالبهتان‬

“Dan jika kalian mencaci dengan kemustahilan, maka cacian kami adalah dengan dalil-
dalil dan argumentasi yang punya bukti, yang bisa menyingkap aib-aib kalian dan
membongkar tabir kalian serta menjelaskan kebodohan kalian yang disertai dengan
permusuhan. Alangkah jauhnya perbedaan antara cacian-cacian yang itu, sementara
cacian kalian adalah dengan kedustaan dan sikap melampaui batas. Barangsiapa
mencela dengan disertai bukti maka dia itu bukanlah termasuk orang yang zholim. Dan
kezholiman itu adalah celaan seseorang dengan kedustaan."

Asy Syaikh Al Harrosh -rahimahulloh- berkata: "Sesungguhnya barangsiapa yang


mencela lawan bicaranya dengan dalil maka dia itu bukanlah termasuk orang yang
zholim. Dan bukan termasuk orang yang meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Akan tetapi kezholiman itu adalah celaan seseorang dengan kepalsuan dan
kebohongan."

(selesai dari"Syarh Nuuniyyah Ibnul Qoyyim" 2/ hal. 340).

Telah lewat isyarat bahwasanya kekerasan jika diletakkan pada tempatnya maka
itu boleh. Dan langkah ini punya dalil dari Al Qur'an. Alloh ta'ala berfirman:
ِ َ ‫ض بصائِر وإِين َألَ ُظن‬ ِ ِ َ ‫﴿ َق َال َل َقدْ َعلِ ْم‬
ً ‫ُّك َيا ف ْر َع ْو ُن َم ْث ُب‬
﴾‫ورا‬ َ َ َ َ ِ ‫ت َما َأ ْنزَ َل َه ُؤ ََلء إَِل َر ُّب الس ًَم َوات َو ْاألَ ْر‬

“Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang


menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi
58

sebagai bukti-bukti yang nyata; dan Sesungguhnya aku mengira kamu, Hai Fir'aun,
seorang yang akan binasa". (QS. Al Isro: 102)

Alloh ta’ala berfirman:

]6 :‫ني َواغْ ُل ْظ َع َل ْي ِه ْم َو َم ْأ َو ُاه ْم َج َهن ُم َوبِئ َْس ا َْمل ِص ُري﴾ [التحريم‬ ِِ ِ ِ


َ ‫﴿ َيا َأ ُّ َهيا النبِ ُّي َجاهد الْكُف َار َوا ُْملنَافق‬

“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap
keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-
buruknya tempat kembali”. (QS. At Tahrim: 9)

Termasuk dari contoh sikap keras Rosululloh ‫ صهلى هللا عليهه وسهلم‬terhadap orang
yang berhak mendapatkannya, sekalipun bukan orang munafiq, adalah dalam hadits
Abu Huroiroh ‫ رضي هللا عنه‬yang berkata:
‫ َق ََض مِف امر َأت م م‬- ‫ صىل اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اهلل‬
، ‫ار‬ َ ُ َ‫ َف َر َم ُت إم ُحد‬، ‫َني م ُن ُذ َ ُي ٍل ا ُق َت َت َلتَا‬
ٍ ‫اُها األُ ُخ َارى بم َح َج‬ ُ َُ َ ‫َأ َّن َر ُس‬
- ‫ صاىل اهلل علياه وسالم‬- ‫اموا إم َى النَّبماى‬ ُ ‫اخت ََص‬ ُ ‫ َف َق َت َل ُت َو َلدَ َذا ا َّل م ى مِف َب ُطن م َها َف‬، ‫اب َب ُطن ََها َو ُذ َى َح مام ٌل‬
َ ‫َف َأ َص‬
‫ول اهلل َم ُن الَ َ م‬
، ‫َش َب‬ َ ‫ َف َق َال َو م ُّى ا َُِل ُر َأ مة ا َّلتمى َغ مر َم ُت َك ُي‬، ‫َف َق ََض َأ َّن مد َي َة َما مِف َب ُطن م َها ُغ َّر ٌة َع ُبدٌ َأ ُو َأ َم ٌة‬
َ ‫ف َأ ُغ َر ُم َيا َر ُس‬
ِ ‫او‬ ِ ‫م‬ ‫م‬
‫ان‬ َ ‫ « إِن ًَم َه َذا م ْن إِ ْخ‬- ‫ صىل اهلل عليه وسلم‬- ‫ َفم ُث ُل َذل َك ُي َط ّل َف َق َال النَّبم ُّى‬، ‫است ََه َّل‬ ُ َ‫ َوال‬، ‫ َوالَ َن َط َق‬، ‫َوالَ َأك ََل‬
ِ ‫ا ْلكُه‬
» ‫ان‬

"Bahwasanya Rosululloh ‫ صهلى هللا عليهه وسهلم‬pernah memutuskan kasus dua orang wanita
dari Hudzail yang baku bunuh, salah satunya melempar lawannya dengan batu dan
mengenai perutnya –dalam keadaan dia hamil-. Maka dia membunuh janin yang ada di
dalam perut wanita yang satunya itu. Merekapun berselisih di hadapan Nabi ‫صلى هللا عليه‬
‫وسههلم‬. Beliau memutuskan kewajiban untuk membayar diyat janin tersebut berupa
pembayaran dengan budak laki-laki atau perempuan. Maka berkatalah wali perempuan
yang terkena denda,"Wahai Rosululloh, bagaimana janin yang belum mampu minum itu
mendatangkan denda? Dia itu belum mampu makan, belum mampu bicara ataupun
melengking. Dan yang seperti itu adalah batal." Maka Nabi ‫ صهلى هللا عليهه وسهلم‬bersabda
tentang orang itu: "Orang ini hanyalah saudaranya dukun." (HR. Al Bukhori (5758) dan
Muslim (4485)).

Ya'la bin Umayyah ‫ رضي هللا عنه‬berkata:

‫ فكان‬:‫ وقال‬.‫غزوت مع النبي صىل اهلل عليه وسلم العرسة قال كان يعىل يقول تلك الغزوة أوثق أعاميل عندي‬
‫ فانتزع اِلعضوض يده من يف العاض فانتزع إحدى ثنيتيه‬:‫يل أجري فقاتل إنسانا فعض أحدُها يد اآلخر قال‬
59

‫ «أفيدع يده يف فيك تقضمها كأهنا‬:‫ قال النبي صىل اهلل عليه وسلم‬.‫فأتيا النبي صىل اهلل عليه وسلم فأذدر ثنيته‬
.»‫يف يف فحل يقضمها‬

"Aku pernah berperang bersama Rosululloh ‫ صززلى هللا عليززه وسززلم‬perang 'Usroh (perang
Tabuk). Dan perang itu adalah amalan yang paling aku percaya di sisiku. Aku punya
pekerja, lalu pekerjaku itu berkelahi dengan seseorang, lalu salah satunya menggigit
tangan lawannya. Lalu orang yang tangannya digigit itu mencabut tangannya dari mulut
orang yang menggigit sehingga tanggallah salah satu gigi serinya. Maka keduanya
mendatangi Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬, lalu beliau membatalkan nilai gigi tadi. Nabi ‫صلى‬
‫ هللا عليه وسلم‬bersabda: "Apakah dia akan membiarkan tangannya ada di mulutmu untuk
kamu kunyah seakan-akan tangannya ada di mulut onta jantan agar dikunyahnya?"
(HR. Al Bukhoriy (4417) dan Muslim (1674)).

Dari 'Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬yang bercerita:

:‫ «ما لك يا عائشة أغرت ؟» فقلت‬:‫ِلا رأى رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم غرية عائشة ريض اهلل عنها قال هلا‬
‫ يا‬:‫ «أقد جاءك شيطانك ؟» قالت‬:‫وما يل ال يغار مثيل عىل مثلك ؟ فقال رسول اهلل صىل اهلل عليه و سلم‬
‫ ومعك يا رسول اهلل؟‬:‫ قلت‬.»‫ «نعم‬:‫ ومع كل إنسان ؟ قال‬:‫ قلت‬.»‫ «نعم‬:‫رسول اهلل أو معي شيطان ؟ قال‬
.))1444( ‫ (أخرجه مسلم‬.»‫ «نعم ولكن ريب أعانني عليه حتى أسلم‬:‫قال‬

Ketika Rosululloh ‫ صزلى هللا عليزه وسزلم‬melihat api kecemburuan A'isyah rodhiyallohu ‘anha,
beliau bersabda: "Ada apa denganmu wahai Aisyah? Apakah engkau cemburu?" maka
aku berkata bagaimana orang semisal saya tidak cemburu pada orang semisal Anda?"
maka Rosululloh bersabda: "Apakah setanmu telah mendatangimu?". Aku bertanya:
"Wahai Rosululloh, apakah bersama saya ada setan?" Beliau menjawab: "Iya." Saya
bertanya: "Dan bersama setiap orang juga?" Beliau menjawab: "Iya." Saya bertanya:
"Dan bersama Anda wahai Rosululloh?" Beliau menjawab: "Iya. Akan tetapi Robbku
menolongku menghadapinya hingga dia masuk Islam." (HR. Muslim (2815)).

Dari Jabir bin Abdillah ‫ رضي هللا عنهما‬yang berkata:

‫كان معاذ بن جبل يصيل مع النبي صىل اهلل عليه و سلم ثم يرجع فيؤم قومه فصىل العشاء فقرأ بالبقرة‬
‫ ثالث مرار أو‬.»‫ «فتان فتان فتان‬:‫فانهف الرجل فكان معاذا تناول منه فبلغ النبي صىل اهلل عليه و سلم فقال‬
.))104( ‫ (أخرجه البخاري‬.‫ «فاتنا فاتنا فاتنا» وأمره بسورتني من أوسط اِلفصل‬:‫قال‬

"Dulu Mu'adz bin Jabal sholat bersama Nabi ‫ صزلى هللا عليزه وسزلم‬kemudian di kembali lalu
mengimami kaumnya sholat Isya. Maka dia membaca Al Baqoroh. Maka ada orang yang
60

berpaling pergi. Maka Mu'adz mencelanya. lalu berita itu sampai kepada Nabi ‫صزلى هللا‬
‫ عليزه وسزلم‬maka beliau berkata: "Tukang membuat fitnah, Tukang membuat fitnah,
Tukang membuat fitnah," sebanyak tiga kali. Atau beliau berkata: "Pembuat fitnah,
pembuat fitnah, pembuat fitnah," lalu beliau memerintahkannya untuk membaca dua
surat saja dari pertengahan Mufashshol." (HR. Al Bukhoriy (701)).

Dan para shahabatpun terkenal punya kecemburuan yang tinggi untuk agama
Alloh dan Rasul-Nya, dan bersikap keras terhadap orang yang melakukan pelanggaran,
untuk mencegahnya berbuat itu. Misalnya adalah:

‫ «َلَ َي ْمن َُع َجار َج َار ُه َأ ْن َيغ ِْرزَ َخ َشا َب ُه‬:‫ صىل اهلل عليه وسلم – َق َال‬- ‫ول اهلل‬ َ ‫َع ُن َأبمى ُذ َر ُي َر َة رىض اهلل عنه َأ َّن َر ُس‬
.‫ني َأ ُكتَافمك ُُم‬ َّ َ ‫ني َواهلل ألَ ُر مم‬
َ ُ ‫ني م َِبا َب‬ ُ ‫ ُث َّم َي ُق‬.»‫ِِف ِجدَ ِار ِه‬
َ ‫ول َأ ُبو ُذ َر ُي َر َة َما مى َأ َراك ُُم َعن َُها ُم ُع مر مض‬

Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anha berkata bahwasanya Rosululloh ‫صههلى هللا عليههه وسههلم‬
bersabda: "Janganlah seorang tetangga menghalangi tetangganya untuk memasang
kayunya di dindingnya." Lalu Abu Huroiroh berkata,"Kenapa kulihat kalian berpaling
darinya? Demi Alloh sungguh aku akan melemparkan kayu tadi di antara kedua pundak
kalian." (HR. Al Bukhori (996) dan Muslim (4215)).

‫او‬ َ ‫َ مائ‬
َ ‫ إمن ََّاام ُذ‬، ‫يال‬ ‫م م‬ َ ‫وسى َل ُي َس بم ُم‬
َ ُ ‫وساى َبناى إ‬ ٍ ‫َس معيدُ ُب ُن ُج َب ُ ٍري َق َال ُق ُل ُت مال ُب من َع َّب‬
َّ ‫اس إم َّن ن َُو ًفا ا ُلبمك م‬
َ ‫َاى َي ُز ُع ُم َأ َّن ُم‬
‫ َف َق َال َك َ َب َعدُ ُّو اهلل‬. ‫آخ ُر‬
َ ‫وسى‬
َ ‫ُم‬

Sa'id bin Jubair -rahimahulloh- berkata,"Aku berkata kepada Ibnu Abbas rodhiyallohu
‘anha: "Sungguhnya Nauf Al Bikali menyangka bahwasanya Musa - yang bersama
Khidhr- bukanlah Musa Bani Isroil, akan tetapi hanya dia itu Musa yang lain." Maka
beliau berkata,"Musuh Alloh itu bohong." (HR. Al Bukhori (112) dan Muslim (6313)).

Muhammad bin Wasi' ‫ رحمه هللا‬berkata:

‫ فرأيته يانفض ثوباه‬، ‫ يتجادلون‬، ‫ وشببة قريب منه‬، ‫رأيت صفوان بن حمرز وأشار بيده إى ناحية من اِلسجد‬
‫ إنام أنتم جرب إنام أنتم جرب‬: ‫وقام وقال‬

"Aku melihat Shofyan bin Muhriz –dan mengisyaratkan ke salah satu sisi masjid-
sementara itu beberapa pemuda berdebat di dekatnya. Maka kulihat beliau
mengibaskan bajunya dan berdiri seraya berkata," Kalian itu hanyalah penyakit kudis."
("Asy Syari'ah"/ Imam Al Ajurri /114).

Abu Ishaq Ibrohim bin Isa Ath Tholiqoni ‫ رحمه هللا‬berkata:


61

‫اْلنَّ َة َف َل َّام َر َأ ُي ُت ُه‬


َ ُ ‫ت َأ ُن َأ ُل َقا ُه ُث َّم َأ ُد ُخ َل‬ ُ َ ‫ني َأ ُن َأ ُل َقى َع ُبدَ اهلل ُب َن ُحم ََّر ٍر الَ ُخ‬
ُ ‫رت‬ َ ُ ‫ني َأ ُن َأ ُد ُخ َل‬
َ ُ ‫اْلنَّ َة َو َب‬ ُ ‫ول َل ُو ُخ ُري‬
َ ُ ‫ت َب‬ ُ ‫َس مم ُع ُت ا ُب َن اِلُ َب َار مك َي ُق‬
.‫ب إم َ َّى ممنُ ُه‬
َّ ‫َت َب ُع َر ٌة َأ َح‬
ُ ‫كَان‬

Aku mendengar Ibnul Mubarok berkata,"Andaikata aku diberi pilihan antara masuk ke
dalam jannah ataukah berjumpa dengan Abdulloh bin Muharror, niscaya aku akan
memilih untuk berjumpa dengannya baru kemudian aku masuk Jannah. Ketika aku
melihatnya ternyata kotoran hewan lebih aku sukai daripadanya." (Muqaddimah
"Shohih Muslim"/1/hal. 104).

Imam Asy Syafi'iy ‫ رحمه هللا‬berkata:

:‫ حدثني ابن أيب ذئب عن اِلقربي عن بن َشيح الكعباي‬:‫أخربين أبو حنيفة بن سامك بن الفضل الشهايب قال‬
‫ قاال‬.»‫ «من قتل له قتيل فهو بخري النظرين إن أحب أخذ العقل وإن أحب فله القود‬:‫أن النبي قال عام الفتح‬
‫ وناال‬،‫ وصاح عيل صياحا كثريا‬،‫ أتأخ ِب ا يا أبا احلارث؟ فرضب صدري‬:‫ فقلت البن أيب ذئب‬:‫أبو حنيفة‬
‫ إن‬.‫ وذلك الفرض عيل وعىل من سامعه‬،‫ تأخ به؟ نعم آخ به‬:‫ وتقول‬،‫ أحدثك عن رسول اهلل‬:‫ وقال‬،‫مني‬
‫ فعىل اخللق أن يتبعوه‬،‫ واختار هلم ما اختار له وعىل لسانه‬،‫ وعىل يديه‬،‫ فهداذم به‬،‫اهلل اختار حممدا من الناس‬
.‫ وما سكت حتى متنيت أن يسكت‬:‫ قال‬.‫ ال خمرج ِلسلم من ذلك‬.‫طائعني أو داخرين‬

"Abu Hanifah bin Simak ibnul Fadhl Asy Syihabiy mengabariku: Ibnu Abi Dzi'b
memberiku hadits dari Al Maqburi dari Abu Syuroih Al Ka'biy bahwasanya Rosululloh
‫ صهلى هللا عليهه وسهلم‬bersabda pada tahun fathu Makkah: "Barangsiapa yang salah satu
keluarganya terbunuh, maka dia bisa memilih yang terbaik dari dua pilihan: Kalau
senang, dia bisa mengambil denda. Dan kalau suka dia bisa memilih qishshosh". Abu
hanifah berkata,"Kukatakan pada Ibnu Abi Dzi'b:"Apakah anda mengambil pendapat ini,
wahai Abul Harits?" Maka beliau memukul dadaku dan meneriaki aku banyak sekali, dan
mencaci maki aku, serta berkata,"Aku memberimu hadits dari Rosululloh dan engkau
berkata: "Apakah anda mengambil pendapat ini?" Yang demikian itu adalah wajib
bagiku, dan bagi orang yang mendengarnya. Sesungguhnya Alloh ta'ala telah memilih
Muhammad ‫ صهلى هللا عليههه وسههلم‬dari kalangan manusia dan memberikan hidayah pada
mereka melalui beliau dan dengan perantaraan tangan beliau. Dan Dia telah
memilihkan untuk mereka apa yang dipilihkan-Nya untuk beliau melalui lisan beliau.
Maka wajib atas seluruh makhluk untuk mengikuti beliau dalam keadaan taat atau
terhinakan. Tiada jalan keluar bagi seorang muslim dari yang demikian itu."

Abu Hanifah berkata,"beliau tidak mau diam sampai-sampai aku berangan-angan agar
beliau diam." ("Ar Risalah" /no. (1234)/cet. Darun Nafais).

Imam Ar Robi' bin Sulaiman -rahimahulloh- berkata:


62

‫ ونااظره‬، ‫ حفص القارد‬: ‫ وكان الشافعي يقول‬، ‫سمعت الشافعي يقول وذكر القرآن وما يقول حفص الفرد‬
‫ ثم قاموا‬، ‫ كفرت واهلل ال ي ال إله إال ذو‬: ‫بحرضة وال كان بمه فقال له الشافعي ريض اهلل عنه يف اِلناظرة‬
‫ وسامعت‬: ‫ أشاط واهلل ال ي ال إله إال ذو الشافعي بدمي قاال الربياع‬: ‫ فسمعت حفصا يقول‬، ‫ فانهفوا‬،
‫ خملوق فهو كافر‬: ‫ ومن قال‬، ‫ القرآن كالم اهلل غري خملوق‬: ‫الشافعي رمحه اهلل تعاى يقول‬

"Aku mendengar Asy Syafi’iy berkata, dan menyebutkan tentang Al Qur'an dan apa yang
diucapkan Hafsh Al Fard. Dulu Asy Syafi’iy menyebutnya:"Hafsh Al Qird (Monyet)(9)".
Beliau berdebat dengan Hafsh dihadiri dengan seorang wali yang ada di Mesir. Beliau
berkata pada Hafsh,"Engkau telah kafir, demi Alloh Yang tiada sesembahan yang benar
selain Dia." Kemudian mereka berdiri dan bubar. Lalu aku mendengar Hafsh
berkata,"Asy Syafi'iy ingin menumpahkan darahku, demi Alloh Yang tiada sesembahan
yang benar selain Dia."

Ar Robi' berkata,"Aku mendengar Asy Syafi’iy berkata,"Al Qur'an adalah kalamulloh dan
bukan makhluk. Dan barangsiapa mengatakan bahwasanya Al Qur'an itu makhluk,
maka dia itu kafir." ("Asy Syari'ah" no. 127).

‫ وكان الشافعي ريض اهلل عنه شديدا عىل أذال اإلحلااد وأذال البادع‬:‫وقال اإلمام البيهقي رمحه اهلل‬
.‫جماذرا ببغضهم وذجرذم‬

“Al Imam Al Baihaqiy ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Asy Syafi’iy ‫ رضزي هللا عنزه‬itu keras terhadap para
penyeleweng dan ahli bida’, beliau terang-terangan menampilkan kebencian pada
mereka dan memboikot mereka.” (“Manaqibusy Syafi’iy”/1/hal. 469/ karya Al
Baihaqiy/sebagaimana dalam “Ijma’ul Ulama ‘Alal Hajri Wat Tahdzir Min Ahlil
Ahwa”/hal. 45/cet. Maktabatul Asholatil Atsariyyah).

Luqman Ba Abduh dan yang semisalnya bergaya dengan akhlaq yang mulia, dan
menjadikan Al Imam Asy Syafi’iy ‫ رحمزه هللا‬sebagai tangga untuk “memukul” Asy Syaikh
Yahya ‫حفظزه هللا‬, maka sekarang silakan para pembaca melihat, kelompok yang manakah
yang lebih berhak dengan Asy Syafi’iy dan para pendahulu beliau yang sholih: para
salafiyyun dan pemimpin mereka Asy Syaikh Yahya ‫حفظهم هللا‬, ataukah para hizbiyyun dan
ekor mereka Luqman Ba Abduh.

Dan dari Ibrohim bin Muhammad Al Kufiy yang berkata: Aku melihat Asy Syafi’iy
di Mekkah memberikan fatwa pada orang-orang. Dan aku melihat Ahmad dan Ishaq
hadir. Asy Syafi’iy berkata: Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:

(9)
Dalam naskah lain:"Al Munfarid (yang menyendiri)"
63

»‫«وهل ترك لنا عقيل من دار‬

“Dan apakah Aqil meninggalkan satu rumahpun untuk kita?”

Ishaq berkata: “Yazid memberiku hadits, dari Hasan. Dan Abu Nu’aim dan Abdah
mengabariku dari Sufyan, dari Manshur, dari Ibrohim, bahwasanya keduanya tidak
berpendapat demikian. Atho dan Thowus juga tidak berpandangan demikian.” Maka
Asy Syafi’iy berkata: “Siapa dia ini?” dijawab: “ Ishaq bin Ibrohim Al Hanzholiy Ibnu
Rohawaih.” Maka Asy Syafi’iy berkata: “Engkaukah yang penduduk Khurosan
menganggap bahwasanya engkau adalah ahli fiqih mereka? Alangkah perlunya aku
untuk orang yang lain itu menduduki posisimu, lalu aku akan memerintahkan agar
kedua telingamu digaruk. Aku katakan: ”Rosululloh ‫ صزلى هللا عليزه وسزلم‬bersabda,” tapi
engkau berkata: “Atho, Thowus, Manshur meriwayatkan dari Ibrohim dan Al Hasan.”
Dan apakah ada orang yang punya hujjah untuk bertentangan dengan Rosululloh ‫صهى‬
‫”?هللا عىيه وسىم‬

(“Manaqibusy Syafi’iy”/1/hal. 214-215/ karya Al Baihaqiy/sebagaimana dalam “Siyar


A’lamin Nubala”/10/hal. 68-69).

Al Imam Asy Sya’biy ‫ رحمه هللا‬berkata:

.‫ وما قالوا فيه برأهيم فبل عليه‬، ‫ما حدثوك عن أصحاب رسول اهلل فخ به‬
“Apa yang mereka ceritakan dari para Shohabat Rosululloh, maka ambillah dia. Dan apa
yang mereka ucapkan dalam masalah itu dengan pendapat mereka, maka kencingilah
pendapat mereka itu.” (“Jami’ Bayanil Ilmi”/Ibnu Abdil Barr/no. (912)/shohih).

Al Imam Al Wadi'y ‫ رحمه هللا‬berkata:


‫ ليتقوااهلل وليتعاونوا ماع‬:‫ فلي ذب إليهم وليقل هلم‬:‫فمن كان يشفق عىل اإلخوان اِلفلسني فقد قلت لكم‬
‫ إلخ‬...‫ ودعوة إى الكتاب والسنة‬،‫ وذك ا غريذم‬،‫إخواهنمم اذل السنة وليبولوا عىل احلزبية‬

"Maka barangsiapa merasa kasihan pada Ikhwanul Muflisin maka aku telah berkata
pada kalian,"Pergilah kamu kepada mereka dan katakan pada mereka,"Bertaqwalah
kalian pada Alloh dan saling menolonglah dengan saudara-saudara mereka
Ahlussunnah, dan kencingilah hizbiyyah. Dan demikian pula yang lain. Dan menyerulah
ke Al Kitab dan As Sunnah." ("Qom'ul Mu'anid" 1/hal. 73)
Ini adalah bantahan terhadap Luqman yang mencerca Asy Syaikh Yahya dengan
anggapan bahwa beliau itu keras dan kasar. Luqman berkata: “Harus dengan
kelembutan,… ketenangan, … dst.”
64

Bab Dua Belas: Luqman Menggali Lagi Kasus Istiwa Alloh Di Atas
Arsy Tanpa Bersentuhan

Luqman menyatakan bahwasanya Asy Syaikh Yahya belum bertobat dari


perkataan bahwasanya Alloh istiwa di atas Arsy tanpa bersentuhan. Kemudian
Luqman mulai menyebutkan kasus tersebut sambil menghinakan Asy Syaikh Yahya
‫حفظه هللا‬.

Jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Ini adalah termasuk dari kebiasaan Luqman dan kebanyakan hizbiyyin,


bahwasanya mereka menggali ulang kasus-kasus masa lalu yang telah dikubur oleh
Ahlussunnah. Hizbiyyun berbuat itu dalam rangka menjatuhkan para ulama yang berdiri
berhadapan dengan hizbiyyin. Sementara para hizbiyyun sendiri –termasuk Luqman-
menuduh para ulama tersebut bahwasanya mereka ingin menjatuhkan mereka.

Sesungguhnya pendapat bahwasanya Alloh istiwa di atas Arsy sambil


bersentuhan ataukah tidak bersentuhan, ucapan ini dimasukkan oleh sebagian Asya’iroh
di tengah-tengah Ahlussunnah, dan sebagian ulama terpedaya dengan itu, maka mereka
terkena sedikit debu Asya’iroh tadi. Dan Syaikh kami Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dulu sudah
menjelaskan bahwasanya madzhab beliau dalam masalah ini adalah seperti madzhab
Asy Syaikh Robi’ dan Ahlussunnah yang lainnya, bahwasanya lafazh “bersentuhan” itu
tidak datang dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah untuk haknya Alloh, dalam bentuk
peniadaan ataupun penetapan, hanya saja Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬manakala sebagian
pembahas menyebutkan di hadapan beliau bahwasanya pendapat “Tanpa bersentuhan”
itu telah diucapkan oleh sebagian imam sunnah, maka Asy Syaikh Yahya bersikap hati-
hati dan tidak sembarangan mengingkarinya. Manakala Asy Syaikh Robi’ ‫هداه هللا‬
menjelaskan bahwasanya itu adalah lafazh muhdats dalam masalah nama dan sifat
Alloh, dan beliau menyingkap hakikat urusan para imam tadi, Asy Syaikh Yahya
bersyukur pada beliau dan menerima nasihat beliau, dan membacakan penjelasan Asy
Syaikh Robi’ tadi di majelis beliau, lalu membacakan penjelasan Asy Syaikh Yahya ‫حفظه هللا‬
kepada hadirin semua.

Kami telah menyebarkan ini di negri kami kurang lebih enam tahun yang lalu,
manakala Luqman menggali ulang kasus ini untuk memperburuk citra Asy Syaikh Yahya.

Dan sekarang, setelah berlalu enam tahun, lagi-lagi Luqman mengulang


penyebutan kasus ini. Demikianlah ahli ahwa seperti Luqman dan para pendahulunya,
mereka itu tidak ridho dengan rujuknya seorang alim kepada kebenaran yang jelas, agar
mereka mampu melanjutkan memukul beliau dan menjatuhkan beliau. Maka mereka
itu memang orang-orang fasiq dan jahat.
65

Bab Tiga Belas: Kasus Ketergelinciran Sebagian Penyair

Luqman Ba Abduh dan Abdulloh Al Bukhoriy mencerca Asy Syaikh Abdul


Hamid Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬bahwasanya beliau dalam risalah beliau “Al Khiyanatud
Da’awiyyah” menyebutkan ucapan penyair: “Imamuts tsaqolain.” Dan mereka
berkata: “Termasuk dari sikap ghuluw mereka adalah ucapan mereka: “Seandainya
mereka mencairkan dagingnya niscaya menjadi sunnah.” Kedua orang tadi dan Arofat
Al Bashiriy memanfaatkan kasus ini untuk menetapkan bahwasanya pada Asy Syaikh
Yahya dan orang yang bersama beliau itu ada sikap ghuluw yang tiada taranya.”

Jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Telah kami sebarkan sebagian taroju’ penyair pada tanggal 2 Robi'uts Tsani 1430
H. Dan saya jelaskan masalah itu dalam syair “Buku Kak Sarbini Nikam Dengan Ganas”
(tertanggal 6 Robi'uts Tsani 1430 H), dan saya jawab lagi sebagian syubuhat tersebut
dalam risalah “Shifatul Haddadiyyah Fi Munaqosyatin ‘Ilmiyyah” (dengan judul
terjemah: “Sifat Haddadiyyah dalam Diskusi Ilmiyyah,” tertanggal 9 Jumadal Ula 1432
H), dan “Kasru Alwiyati Ulil Idhror,” (tertanggal 26 Jumadal Ula 1434 H),dan yang
lainnya. Akan tetapi ahli ahwa memang fasiq, menyukai pengulangan serangan dengan
memakai kasus tadi, maka terkadang Ahlussunnah terpaksa untuk mengulang untuk
mematahkan dan memukul mereka, karena banyaknya korban-korban dari syubuhat ini.
Dan risalah ini “Dhorobatus Suyufil Batiroh ‘Ala Salasilil Hamlatil Jairoh” (dengan judul
terjemah: “Pedang Tajam Membabat Rantai Serangan Yang Jahat,” tertanggal 17
Jumadats Tsaniyah 1434 H) termasuk akhir dari pengulangan tadi(10).

Arofat Al Bashiriy, Abdulloh Al Bukhoriy dan Luqman Ba Abduh sangat


memanfaatkan kasus ketergelinciran sebagian penyair dalam memuji Syaikhuna Yahya
tadi, padahal mereka tahu bahwasanya para penyair tadi telah bertobat dan rujuk.
Hanya saja para hizbiyyun memang orang-orang yang sesat, maka mereka suka agar
orang lain juga tersesat, dan mereka tidak suka orang lain mendapatkan petunjuk dan
bertobat, agar dengan ketersesatan orang lain tadi mereka mampu meraih hasrat-
hasrat mereka yang rusak untuk menjatuhkan seorang sunniy yang pencemburu dan
gemar menasihati, menjatuhkannya dengan alasan: “Dia suka untuk orang memujinya
dengan melampaui batas.”

Dan syaikh kami Yahya ‫ حفظه هللا‬mengulang-ulang di hadapan para murid:


“Sungguh aku dari dalam hatiku benci sikap ghuluw.”

(10)
Dan pada masa sekarang para hizbiyyun pengikut Luqman Ba Abduh Dan para hizbiyyun pengikut Dzul
Qornain kembali mendengungkan cercaan dan tuduhan keji pada Syaikhuna Yahya dan para Salafiyyin
yang bersama beliau. Maka saya dengan memohon pertolongan pada Alloh mencetak risalah ini secara
resmi (cetakan pertama di awal Muharrom 1437 H) dengan judul terjemah bebas: “Jawaban
Ahlussunnah Terhadap Rantai Tuduhan Dari Para Pengekor Haddadiyyah”.
66

Demikian pula masalah pujian, syaikh kami ‫ حفظه هللا‬tidaklah menyukainya.


Manakala sebagian penyair banyak memuji beliau, beliaupun berkata pada mereka:
“Semoga Alloh membalas dirimu dengan kebaikan, dan memaafkan diriku dan dirimu.
Kuingatkan kalian dengan Alloh, kuingatkan kalian dengan Alloh, kami itu lebih rendah
dari yang demikian itu. Kami ini adalah penuntut ilmu. Kami mohon Alloh untuk
memaafkan kami. Demi Alloh kami mengakui pada Alloh ‫ عز وجل‬akan kelemahan dan
kekurangan kami. Dan kami mohon pada Alloh agar menerima taubat kami. Dan kami
itu kurang dan banyak dosa, sementara saudara-saudara kami ‫ حفظهم هللا‬banyak berbaik
sangka kepada kami padahal kami tidaklah seperti itu sama sekali. Aku kasih tahu kalian,
ambillah pengetahuan ini dariku dengan sanad yang pendek: bahwasanya kami itu –
demi Alloh- tidaklah seperti itu sama sekali. Kami adalah penuntut ilmu yang lemah dan
patut dikasihani. Kami mohon pada Alloh Robbul ‘alamin agar memaafkankan kami dan
memaafkan saudara-saudara kami. Hanya pada Alloh sajalah kami mohon pertolongan.
Dan semoga Alloh membalas kalian dengan kebaikan.”

Demikianlah saya dengar ucapan beliau itu di hadapan kami semua. Dan
pernyataan ini juga disebutkan dalam program “Fitnatul ‘Adniy” (karya Husain bin
Sholih At Tarimiy dan Faroj bin Mubarok Al Hadriy ‫)حفظهما هللا‬.

Orang yang membuat syair yang mengandung keghuluwan tadi telah tobat,
menulis pengumuman tobatnya dan menyebarkannya, dalam keadaan dia tidak
memaksudkan makna yang hizbiyyun ucapkan.

Adapun tentang ucapan “Seandainya mereka meluluhkan dagingnya pastilah


menjadi sunnah,” sang penyair Abu Muslim Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata:

"Sebenarnya aku hanyalah memaksudkan dengan bait syair tadi untuk menggambarkan
kerasnya Syaikh Yahya -hafizhahulloh- dalam memegang teguh Al Kitab dan As Sunnah,
dan kebencian beliau terhadap orang yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah. Dan
yang demikian itu di dalam bab sabda Nabi -shalallohu 'alaihi wa sallam- tentang
Salman(11):

‫ملئ إيامنا إى مشاشه‬

"Dia itu penuh dengan keimanan hingga ke ujung tulang rawannya."

Dan tidaklah aku menginginkan hal itu untuk ghuluw (berlebih-lebihan) kepada Syaikh.
Dan tidaklah aku memaksudkan bahwasanya beliau menjadi Qur'an. Na'udzu billahi min
dzalik.

(11)
Yang benar adalah: “Ammar bin Yasir rodhiyallohu ‘anhuma, sebagaimana dalam Sunan Ibni Majah
(147) dan Sunanun Nasaiy (5022). Dan itu adalah hadts shohih.
67

Dan dengan mempertimbangkan bahwasanya bait syair tadi telah menyebabkan


makna yang salah dan telah dimanfaatkan oleh sebagian orang-orang yang terfitnah
untuk mencerca Dammaj dan mencerca Syaikh Yahya -hafizhahulloh-, maka aku taroju'
darinya, aku mohon ampunan pada Alloh dan bertobat kepada-Nya.

Walhamdu lillahi robbil 'alamin.

Ditulis oleh:

Abu Muslim Ahmad bin Muhammad ibnul Husain

Az Za'kari Al Hajuri

Darul Hadits Di Dammaj

2 Robi'uts Tsani 1430 H(12)

Demikian pula ucapan: “Imamuts tsaqolain”, sang penyair juga telah rujuk
darinya, sebagaimana ucapan dia dalam syairnya –semoga Alloh memberinya taufiq-:

‫مستغفر **** من ذلك القول ال ي يستنكروا‬


ُ ‫مرتاجع‬
ُ ‫ب‬
ٌ ‫أنا تائ‬

ٍ ‫نرشت تراجعي من‬


‫فرتة **** وأنا عليه وتائب ُم أنكروا‬ ُ ‫ولقد‬

“Saya tobat dan rujuk dan mohon ampun

Dari ucapan yang mereka ingkari tersebut

Dan sungguh saya telah menyebarkan rujuk saya sejak selang waktu

Dan saya bertobat sejak mereka mengingkari.”

Secara keumuman para pelajar dan sahabat Asy Syaikh Yahya berjalan bersama
beliau dengan penghormatan pada beliau tanpa ghuluw. Maka barangsiapa
menisbatkan syaikh Yahya dan yang bersama beliau kepada sifat ghuluw kepada
pemimpin, maka sungguh dia telah menzholimi mereka dan mencaci mereka.

Syaikh kami Yahya ‫ حفظه هللا‬membaca sebuah soal: “Mereka menyatakan


bahwasanya Anda gembira dengan pujian, dan gembira dengan orang yang berkata
bahwasanya Anda adalah imam jin dan manusia.”

(12)
Fadhilatusy Syaikh Yahya -hafizhahulloh- maka beliau mengomentari tobat tadi dengan ucapan:
"Ucapan yang bagus. Dan sungguh aku telah berkata pada hari itu –saat syair itu dibacakan- bahwasanya
aku tidak suka sikap berlebihan dalam pujian. Wallohul musta'an."
68

Maka beliau ‫ حفظه هللا‬menjawab: “Demi Alloh wahai saudaraku, saya tidak
gembira dengan pujian, sejak dulu sampai sekarang. Alloh sebagai saksi, dan Alloh
mengetahui isi hati. Akan tetapi ada sebagian penyair datang dengan membawa
qoshidahnya, saya periksa isinya, saya hapus, saya tambahi, yang pantas untuk dihapus.
Tapi ada sebagian penyair yang saya malu untuk mengatakan: “Kemarilah, aku mau
memeriksa qoshidahmu,” karena terkadang dia itu adalah penyair senior, dia punya
pembelaan terhadap sunnah, dan seterusnya. Dan terkadang dia memang mengalami
ketergelinciran dan kesalahan. Dan setiap jiwa itu tidak berbuat kecuali balasannya itu
akan kembali pada dirinya sendiri. Kita wajib menasihati, dan kita wajib menjauh dari
pujian yang melampaui batas.

Dan kami beriman pada sabda Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬:

.‫َل تطروين كًم أطرت النصارى ابن مريم فإنًم أنا عبد فقولوا عبد اهلل ورسوله‬

“Janganlah kalian berlebihan memujiku sebagaimana Nashoro berlebihan dalam


memuji Ibnu Maryam. Aku itu hanyalah hamba, maka ucapkanlah: Hamba Alloh dan
Utusan-Nya.”

Jika itu tentang Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬yang bersabda:

‫أنا سيد الناس يوم القيامة وَل فخر‬

“Aku adalah pemimpin manusia pada Hari Kiamat, dan aku ucapkan ini tanpa
membanggakan diri,”

Dan beliau adalah pemilik bendera “Al Hamd” (pujian) dan telaga yang
dikunjungi. Dan telah tetap dari Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bahwasanya ada orang yang
berkata: “Wahai pemimpin kami dan anak pemimpin kami, wahai orang terbaik kami
dan anak dari orang terbaik kami.” Maka beliau bersabda:

.‫ إنًم أنا عبد فقولوا عبد اهلل ورسوله‬.‫يا أهيا الناس قولوا بقولكم األول وَل يستجرينكم الشيطان‬

“Wahai manusia, ucapkanlah dengan perkataan kalian yang pertama (yang biasa
diucapkan), dan jangan sampai setan mengalahkan kalian dan menjadikan kalian
sebagai utusannya. Aku itu hanyalah hamba, maka ucapkanlah: Hamba Alloh dan
Utusan-Nya.”

Dan contoh dalam masalah ini banyak,

.‫ وإياكم والغلو‬،‫فمثل هذا فارموه‬


69

“Maka dengan seukuran seperti inilah kalian melempar (lempar jumroh), dan
hindarilah ghuluw (berlebihan).”

Alloh ta’ala berfirman:

]414 :‫َاب ََل َت ْغ ُلوا ِيف ِدينِك ُْم﴾ [النساء‬


ِ ‫﴿ َيا َأ ْه َل الْكِت‬

“Wahai Ahlul Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian.”

Dan demikian pula ghuluw kepada orang-orang sholih: “Termasuk lembah


kebatilan yang paling luas adalah ghuluw kepada orang-orang mulia.” Sebagaimana
ucapan ini terkenal dari perkataan Al Mu’allimiy ‫رحمه هللا‬. Inilah agama kami dan aqidah
kami: kebencian pada ghuluw, kebencian pada pujian yang berlebihan, kebencian pada
penyelisihan terhadap syariat, kebencian kepada kaliamat-kalimat yang keluar dari
kebenaran. Dan sungguh kami menasihati diri kami sendiri untuk setia pada kebenaran
dengan ucapan dan perbuatan. Dan kami mencela orang yang berkata: “Syair itu yang
paling enaknya adalah yang paling bohong.” Ini tidak benar. Bahkan yang paling
enaknya adalah yang paling benarnya. Dan wajib untuk bersungguh-sungguh menetapi
kebenaran dan keadilan dalam syair. Hendaknya bersungguh-sungguh menetapi
kebenaran dalam syair dan prosa. Syair itu yang bagusnya adalah bagus, dan yang
jeleknya adalah jelek. Dan Alloh ‫ عز وجل‬berfirman:

.﴾‫ان َعدُ ًّوا ُمبِينًا‬ ِ ْ ِ‫َان ل‬


ِ ‫ْلن َْس‬ َ ‫ادي َي ُقو ُلوا التِي ِه َي َأ ْح َس ُن إِن الش ْي َط‬
َ ‫ان َينْزَ ُغ َب ْين َُه ْم إِن الش ْي َط‬
َ ‫ان ك‬ ِ ‫﴿و ُق ْل لِ ِعب‬
َ َ

“Dan katakanlah kepada para hamba-Ku agar mereka berkata-kata dengan yang
lebih baik, sesungguhnya setan itu menghasung permusuhan di antara mereka,
sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al Isro: 53).

Maka aku membenci sikap ghuluw terhadapku, dan aku tidak pantas untuk
diperlakukan ghuluw terhadapku. Demi Alloh aku tidak ridho dengan itu, dan aku
membenci ghuluw terhadap orang-orang sholih, dan aku membenci ghuluw di manapun
dia berada. Dan ini termasuk dari aqidah Ahlussunnah dan dakwah di kalangan mereka.
Dan alangkah banyaknya kaset kami –dan segala pujian hanya bagi Alloh- yang
memperingatkan dari ghuluw dan ahli ghuluw, dan kebatilan dan dari ahli kebatilan.
Dan itu semua adalah agama kami dan keyakinan kami, dalam rangka beragama untuk
Alloh, demi Alloh. Maka aku tidak menyetujui sikap berlebihan.

Aku bukanlah imam jin dan manusia, aku mengajar saudara-saudaraku, aku
menjalankan kerja keras, aku mohon pada Alloh agar mencatat pahala dan ganjaran
untukku, dan agar mengampuni ketergelinciran dan kesalahanku.
70

Dan perkataan tersebut telah kami ingkari, dan akan kami ingkari juga terhadap
orang lain dari orang yang tergelincir. Dan saudara-saudara kami yang melihat
bagaimana aku memeriksa sebagian syair mereka akan melihat betapa seringnya aku
menghapus sebagian kalimat, sampai –demi Alloh- sebagian perkara aku bilang pada
penyairnya: “Kalimat ini ditinggalkan saja (tidak ditulis dalam syair), tidak ada di
dalamnya ucapan yang berlebihan. Sekalipun demikian hapus saja kalimat itu dalam
rangka menjauh dari perkara yang meragukan.

.‫دع ما يريبك إل ما َل يريبك‬

“Tinggalkanlah perkara yang meragukan dirimu kepada perkara yang tidak


membuatmu ragu.”

Ucapan tadi tidak diperlukan.” Dan seterusnya. Dan para penyair itu, syair itu punya
keledzatan sebagaimana yang mereka katakan di sebagian kalimat.

Kemudian orang-orang yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi, mereka telah


rujuk darinya, dan mereka adalah Ahlussunnah, dan telah rujuk darinya dan
meninggalkannya. Dan aku bukan imam jin dan manusia. Aku pengajar murid-muridku,
dan Asy Syaikh ‫ رحمه هللا‬memilihku sebagai pengganti beliau untuk mengurus markiz ini.
Kami mohon pada Alloh barokah.

Dan setiap orang itu amalannya akan menjelaskan siapa dirinya di dunia dan
akhirat. Dan setiap orang akan menemui apa yang telah dia amalkan.

ِ ِ
ًّ َ ‫﴿ َف َم ْن َي ْع َم ْل م ْث َق َال َذرة َخ ْ ًريا َي َر ُه * َو َم ْن َي ْع َم ْل م ْث َق َال َذرة‬
]4 ،1 :‫َشا َي َر ُه﴾ [الزلزلة‬

“Maka barang siapa beramal dengan kebaikan seukuran dzarroh, pasti dia akan
melihatnya dan barangsiapa beramal dengan kejelekan seukuran dzarroh, pasti dia
akan melihatnya.” (QS. Al Zalzalah:7-8)

Dan segala puji bagi Alloh, barokah dihasilkan, dan aku tidak perlu pada suatu
pujian berlebihan. Dan segala puji bagi Alloh saja. Keberkahan dihasilkan dalam
pengajaran, keberkahan dihasilkan dalam dakwah. Keberkahan dihasilkan dalam
sunnah, keberkahan dihasilkan dalam pembelaan terhadap kebaikan dan menolak dari
kami kejelekan, keberkahan dihasilkan dalam banyak sisi. Akan tetapi aku tidak tahu apa
maksud mereka dengan perkara ini bahwasanya kami menyetujui pujian berlebihan ini
pada diri kami. Kami berlindung pada Alloh.

Sebagian kalimat terkadang dibaca dalam keadaan aku sibuk dengan kertas-
kertas, sibuk dengan orang-orang yang minta idzin, sibuk dengan beberapa perkara.
Demi Alloh, sebagian orang yang membaca tidak aku perhatikan, lalu dia menyelesaikan
71

bacaan qoshidahnya dan pergi. Dan aku mengingatkannya tentang kesalahan tadi, atau
aku diingatkan tentang kesalahan tadi maka akupun mengingatkan dirinya tentang itu.”

Selesai penukilan.

Maka lafazh “imam tsaqolain” itu adalah kekeliruan dari si penyair dalam
kalimatnya. Manakala dia diingatkan diapun tersadarkan, dan mengumumkan tobat dan
tidak bersikeras terhadap kesalahannya. Alloh ta'ala berfirman:
ِ ِ ِ ‫اس َت ْغ َف ُروا لِ ُذن‬ ِ ِ
ُّ ‫ُوب إَِل اهلل َو َمل ْ ُي‬
‫ُصوا‬ َ ‫ُوِبِ ْم َو َم ْن َيغْف ُر ا ُّلذن‬ ْ ‫ين إِ َذا َف َع ُلوا َفاح َش ًة َأ ْو َظ َل ُموا َأ ْن ُف َس ُه ْم َذك َُروا اهلل َف‬
َ ‫َوالذ‬
َ ‫َع َىل َما َف َع ُلوا َو ُه ْم َي ْع َل ُم‬
]701/‫ون [آل عمران‬

"Dan mereka adalah orang-orang yang jika melakukan kekejian atau menzholimi
dirinya sendiri mereka segera mengingat Alloh lalu memohon ampunan atas dosa-
dosa mereka. Dan siapakah yang mengampuni dosa selain Alloh? Dan mereka tidak
meneruskan apa yang mereka kerjakan dalam keadaan mereka mengetahui. Mereka
itu pahala mereka adalah ampunan dari Robb mereka dan Jannah-jannah yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selamanya, dan itu
adalah sebagus-bagus pahala bagi orang-orang yang beramal." (QS Ali Imron 135).

Alloh Yang Mahasuci berfirman:


ِ ِ ِ ِ ِ
.]104 :‫ون﴾ [األعراف‬ ُ ْ‫ين ات َق ْوا إِ َذا َمس ُه ْم َطائف م َن الش ْي َطان ت ََذك ُروا َفإِ َذا ُه ْم ُمب‬
َ ‫ُص‬ َ ‫﴿إِن الذ‬

"Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu jika tertimpa gangguan dan godaan
dosa dari setan mereka segera ingat dan sadar lalu bertobat. Maka tiba-tiba saja
mereka jadi bermata tajam" (QS. Al A'rof: 201).

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata tentang hadits perdebatan antara Adam dan
Musa ‫ عليهما السالم‬: “Karena Adam ‫ عليه السالم‬telah bertobat dari dosa tersebut. Dan orang
yang telah bertobat dari dosa itu bagaikan orang yang tidak berdosa. Dan tidak boleh
mencela orang yang telah bertobat, dengan kesepakatan manusia.” (“Majmu’ul
Fatawa”/8/hal. 178-179).

Dan saya mengingatkan kalian dengan nama Alloh agar jangan bermudah-
mudah menyelisihi nash ataupun ijma’. Syaikhul Islam ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Bahwasanya
ijma’ yang telah diketahui, maka orang yang menyelisihinya itu kafir, sebagaimana
orang yang menyelisihi nash dengan meninggalkannya –sampai pada ucapan beliau:-
adapun ijma’ yang belum diketahui, maka tidak boleh orang yang menyelisihinya itu
dikafirkan.” (“Majmu’ul Fatawa”/19/hal. 270).

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Bahwasanya Musa itu lebih kenal Alloh
Yang Mahasuci dan lebih kenal perintah-Nya dan agama-Nya untuk sampai mencela
72

suatu dosa yang Alloh Yang Mahasuci telah mengabarinya bahwasanya Dia telah
menerima tobat pelakunya dan memilihnya setelah itu dan membimbingnya, karena
sesungguhnya pencelaan tadi itu tidak boleh bagi seorang mukmin untuk
melakukannya, lebih-lebih lagi bagi Kalimurrohman.” (“Syifaul ‘Alil”/hal. 14).

Maka bagaimana mereka (para hizbiyyun dan pembela mereka) mencerca orang
yang telah bertobat dengan dosa yang dia telah bertobat darinya? Ini merupakan sikap
gembira dengan musibah seorang muslim, dan itu adalah harom, sebagaimana telah
diketahui bersama. Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka di dalam cercaan tadi
ada sikap gembira yang tersembunyi terhadap musibah seorang muslim yang dicerca
tadi.” (“Madarijus Salikin”/1/hal. 177).

Bukankah yang lebih baik bagi kalian adalah untuk kalian bersyukur pada Alloh
bahwasanya Dia tidak menimpakan bala pada kalian dengan dosa tadi, lalu jika saudara
kalian tadi bertobat maka mestinya kalian bergembira dengan tobat dia? Maka siapakah
yang menjamin bahwasanya kalian jika diuji dengan bala tadi kalian mendapatkan taufiq
untuk bertobat sebagaimana saudara kalian untuk menerima nasihat lalu dia merunduk
pada Alloh dan bertaubat kepada-Nya?

Adapun cercaan kalian pada saudara kalian yang telah bertobat dengan dosanya
yang dia diuji dengannya, padahal dia telah bertobat darinya, maka bisa jadi itu adalah
dalil tentang perasaan ‘ujub (kekaguman pada diri sendiri) pada diri kalian, maka
waspadalah.

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan bahwasanya saudaramu telah


kembali dengan dosa tadi, dan bisa jadi engkau mematahkan hatinya dengan dosanya
dan perkara yang timbul pada dirinya yang berupa kehinaan, kerundukan dan
perendahan pada dirinya, dan bebas dari penyakit suka mengaku-aku, kesombongan
dan kekaguman pada diri sendiri, dan dia berdiri di hadapan Alloh dengan
menundukkan kepala, merundukkan mata, patah hati, itu semua lebih baik untuknya
dan lebih bagus daripada berkuasanya ketaatanmu dan seringnya engkau menyebut-
nyebut ketaatanmu, dan banyaknya dirimu menghitung-hitung ketaatanmu, dan
bergaya telah berjasa kepada Alloh dan berakhlaq dengannya.

Maka alangkah dekatnya pelaku maksiat (yang telah bertobat) tadi kepada
rohmat Alloh, dan alangkah dekatnya penyebut-nyebut ketaatan tadi kepada
kemurkaan Alloh. Maka dosa yang menghinakan pelakunya itu lebih dicintai Alloh
daripada ketaatan yang pelakunya menyebut-nyebutnya di hadapan-Nya. Dan
bahwasanya engkau bermalam dalam keadaan tidur lalu masuk waktu pagi dalam
keadaan menyesal itu lebih baik daripada engkau bermalam dalam keadaan sholat
malam lalu masuk waktu pagi dalam keadaan terkagum-kagum, karena sesungguhnya
orang yang mengagumi dirinya sendiri itu amalannya tidak akan naik ke langit.”

(selesai dari “Madarijus Salikin”/1/hal. 177).


73

Kemudian banyak sekali pelajar yang waktu itu tidak menyadari adanya ucapan
tadi “imamuts tsaqolain” ketika sang penyair mengumandangkannya, karena tidaklah
setiap kata yang keluar darinya itu –di sela-sela panjangnya bait syair tadi- kami
dengarkan benar-benar dengan seksama, karena terkadang –di sela-sela pembacaan
syair itu- kami memusatkan perhatian pada kitab yang hendak diajarkan oleh Asy Syaikh
Yahya ‫ حفظه هللا‬, dan terkadang kami sibuk mengingatkan sebagian anak-anak yang main-
main di majelis, lalu kami kembali mendengarkan syair itu.

Beberapa waktu kemudian manakala kami mengetahui adanya kesalahan tadi,


tidaklah kami itu diam, bahkan kami berupaya untuk memperbaikinya dengan tetap
menekuni adab-adab syar’iyyah. Saya dan saudara yang mulia (Abu Turob Al Indonesiy)
berjalan ke rumah Asy Syaikh Abdul Hamid Al Hajuriy dan kami menyampaikan pada
beliau masalah ini, maka kemudian Alloh memudahkan perbaikan kesalahan tadi tanpa
penundaan.

Inilah yang kami lakukan dan dilakukan oleh pelajar yang lain. Asy Syaikh Yahya
dan Asy Syaikh Abdul Hamid ‫ حفظهما هللا‬adalah seperti yang lainnya dalam kasus tersebut:
tidak menelusuri masing-masing kata dari syair yang dikumandangkan para penyair, dan
alangkah banyaknya syair-syair tersebut. Dan hanyalah beliau-beliau itu memandangnya
bagus secara global, lalu menyetujuinya tanpa menyadari adanya ketergelinciran tadi.
Alloh ta’ala berfirman:

.]4 :‫ورا َر ِح ًيًم﴾ [األحزاب‬ َ ‫﴿ َو َل ْي َس َع َل ْيك ُْم ُجنَاح فِ َيًم َأخْ طَ ْأت ُْم بِ ِه َو َلكِ ْن َما َت َعمدَ ْت ُق ُلو ُبك ُْم َوك‬
ً ‫َان اهلل غَ ُف‬

“Kalian tidak berdosa di dalam perkara yang kalian tidak sengaja melakukannya,
akan tetapi dosa itu adalah apa yang disengaja oleh hati-hati kalian, dan Alloh itu
senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Maka perkaranya itu bukanlah seperti yang kalian dakwakan –wahai ahli hasad-
bahwasanya kami diam terhadap kemungkaran dan membebek dan condong pada
orang yang keliru. Justru termasuk dari alamat kecintaan yang jujur adalah: menolong
orang yang benar dengan haknya, dan memperbaikinya dari kekeliruannya, untuk Alloh
ta’ala.

Dan janganlah kalian mengira bahwasanya Asy Syaikh Yahya diam terhadap
kemungkaran yang beliau ketahui, atau berhias dengan pujian, atau memperkuat diri
dengan ghuluw orang pada beliau. Tidak demikian. Tidak seperti ucapan bohong si
dajjal Arofat Al Bashiriy yang menggambarkan bahwasanya Asy Syaikh Yahya sengaja
mendukung syair ghuluw tadi dengan alasan untuk menaikkan pamor beliau.

Tidak diragukan bahwasanya kami mengakui kepada Alloh akan kelemahan dan
sikap kurang kami, akan tetapi kami meyakini hadits Abu Sa’id Al Khudriy ‫رضهي هللا عنهه‬
bahwasanya Rasululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:
74

.»‫«َل يمنعن أحدكم خمافة الناس أن يقول باِلق إذا شهده أو علمه‬

"Sungguh janganlah sampai rasa takut pada manusia itu menghalangi salah seorang
dari kalian untuk mengucapkan yang benar jika menyaksikannya atau
mengetahuinya."

Lalu Abu Sa’id berkata:

.‫فحملني عىل ذلك أين ركبت إل معاوية فمألت أذنيه ثم رجعت‬

“Maka aku menaiki kendaraanku berangkat kepada Mu`awiyah, kemudian aku penuhi
kedua telinganya, kemudian akupun pulang.”

(HR. Ahmad ((11793)/cet. Ar Risalah) dengan sanad shohih).

Sekalipun demikian insya Alloh kami tidaklah lebih lemah daripada kalian ketika
terjadi kemungkaran yang kami tahu, untuk kami ingkari dan kami perbaiki, dengan
tetap menekuni adab-adab syar’iyyah, tanpa kami mengabari kalian tentang apa yang
telah kami lakukan dalam memperbaiki kekeliruan.

Kesimpulan: orang yang telah bertobat dari dosanya, tidak boleh untuk dicerca
dan dijaroh dengan sebab dosa tadi. Dan kalian telah mengetahui bahwasanya jika si
pen-jarh menyebutkan sebab kritikan tadi, lalu si pen-ta’dil meniadakan itu melalui jalan
yang terpandang, maka ta’dil didahulukan daripada jarh. Demikian pula jika si pen-jarh
menyebutkan sebab kritikan tadi, lalu si pen-ta’dil berkata: “Dia telah tobat dari itu, dan
bagus tobatnya,” maka ta’dil didahulukan daripada jarh karena si penta’dil punya
tambahan ilmu.

Al Imam Ibnu Amir Haj ‫ رحمه هللا‬berkata: “Iya, dalam dua sisi tadi, maka ta’dil itu
lebih menang daripada jarh, sebagaimana hal itu tidak tersamarkan insya Allohu ta’ala.
Wallohu subhanahu a’lam.” (“At Taqrir Wat Tahbir”/4/hal. 156).

Akan tetapi keadaan Luqman, Abdulloh Al Bukhoriy, Arofat dan para pendahulu
mereka memang seperti keadaan apa pengekor hawa nafsu yang tidak menghargai
tobatnya seorang sunniy yang keliru, bahkan mereka melanjutkan serangan dan cercaan
kepadanya dengan kekeliruan tadi.

Mencermati sikap ghuluw pengikut Asy Syaikh Robi’ ‫هداه هللا‬


Berdasarkan madzhab kami yang sesuai dengan Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’:
bahwasanya orang yang bertobat dari dosa itu –dan di antaranya adalah sikap ghuluw-
maka tobatnya itu diterima, dan dirinya lepas dari dosa tadi, dan tidak boleh dicerca dan
tidak boleh dosa tadi dinisbatkan pada dirinya lagi.
75

Adapun berdasarkan madzhab kalian yang bid’ah dan jahat itu: bahwasanya
orang yang telah tobat dari ghuluw –dan dosa yang lainnya- tobatnya itu tidak diterima,
dan dirinya belum bebas dari dosa tadi, dan boleh dicerca dan boleh dosa tadi
dinisbatkan pada dirinya lagi.

Maka sekarang aku bertanya pada kalian: kenapa kalian bersikap ghuluw pada
Asy Syaikh Robi’? atau kenapa kalian diam saja terhadap sikap ghuluw sebagian dari
teman kalian terhadap beliau?

Aku akan menyebutkan beberapa contoh untuk kalian, yang aku ambil dari apa
yang disebutkan oleh saudara kita yang mulia Kholid Al Ghirbaniy dan saudara-saudara
beliau para anggota situs “Al Ulumus Salafiyyah” ‫ حفظهم هللا‬dan semoga Alloh membalas
mereka dengan kebaikan, dalam risalah: “Namadzij Min Ghuluw Thullabisy Syaikh Robi’
Fisy Syaikh Robi” (contoh-contoh dari sikap ghuluw Asy Syaikh Robi’ terhadap Asy
Syaikh Robi”. Disertai dengan sumber pengambilan datanya.

Contoh yang pertama: apa yang diucapkan oleh Ahmad Ba Zemul dalam
artikelnya yang berjudul: ”Hal Yus’al ‘an Mitslisy Syaikh Robi’” (Apakah semisal Asy
Syaikh Robi’ itu masih dipertanyakan?): “Kita para salafiyyin wajib untuk berkata
tentang syaikh kami Robi’us sunnah, pembawa bendera jarh wat ta’dil pada zaman
ini: “Bahwasanya Anda telah jawaztal qonthoroh (melampaui jembatan), maka yang
semisal Anda tak perlu lagi dipertanyakan. Kami mengatakannya dengan benar,
dengan jujur dan dengan adil.”

Saya –Abu Fairuz ‫ – عفا هللا عنه‬menjawab: apa yang dimaukan dengan ungkapan
ini: (telah melampaui jembatan)? Al Hafizh Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dulu Asy Syaikh
Abul Hasan Al Maqdasiy berkata tentang rowi yang haditsnya diriwayatkan dalam “Ash
Shohih”: “Dia ini telah melampaui jembatan” dimaksudkan dengan itu: bahwasanya
kita tak perlu memperhatikan kritikan yang ditujukan kepadanya.” (“Fathul
Bari”/1/hal. 384).

Akan tetapi siapakah dari para imam yang memberikan tazkiyyah yang agung ini
pada Asy Syaikh Robi’ ‫ ?هداه هللا‬Dan apakah maknanya bahwasanya beliau tidak mungkin
keliru dan kita tidak boleh mengkritik kekeliruannya? Ini tidak benar! Semua orang
boleh diambil ucapannya dan boleh pula ditinggalkan, kecuali Rosululloh ‫صلى هللا عليه وسلم‬
Dan kami katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syaikh Robi’ sendiri:
“Maka kritikan itu wahai ikhwan, tidak boleh pintunya ditutup, karena kita berarti akan
mengatakan ditutupnya pintu ijtihad –semoga Alloh memberkahi kalian-. Dan kita tidak
memberikan pensucian pada pemikiran seorangpun sama sekali. Maka kesalahan itu
harus dibantah, dari siapapun datangnya, sama saja apakah dia itu seorang salafiy
ataukah bukan salafiy. –sampai pada ucapan beliau:- Kritikan adalah termasuk dalam
bab ingkarul mungkar. Maka kritikan terhadap individu-individu besar Salafiyyin jika
berbuat salah, dan penjelasan tentang kesalahan mereka ini termasuk bab amar ma’ruf
nahi munkar, dan termasuk dalam bab penjelasan yang diwajibkan oleh Alloh, dan
76

termasuk bab nasihat yang diwajibkan oleh Alloh dan diharuskan-Nya terhadap kita.”
(Al-Ajwibah As-Salafiyah ‘Ala As'ilah Abi Rowahah Al-Manhajiyah: 16-19/Majalisul
Huda).

Saya telah menukilkan ini secara lebih lengkap di kitab "Shifatul Haddadiyyah."

Maka seseorang itu seagung apapun kedudukannya, dan telah melampaui


jembatan ujian, jika keliru dan kita punya bayyinah tentang itu, kita tidak boleh
mendiamkan kesalahannya, terutama jika dirinya bersikeras di atas kebatilannya itu dan
tidak mau rujuk. Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬berkata: "Asy Syaikh Abul Fath Al Qusyairiy berkata
dalam "Mukhtashor" beliau: "Dan demikianlah kami meyakini, dan dengan itu kami
berpendapat, kecuali jika kritikan tadi disertai dengan hujjah yang jelas dan penjelasan
yang memuaskan dan menambahi dugaan kuat melebihi makna yang kami sebutkan
bahwasanya orang-orang telah bersepakat setelah dua syaikh (Al Bukhoriy dan Muslim)
untuk menamai kedua kitab itu sebagai "Shohihain", dan konsekuensi dari itu adalah
ta’dil untuk para perowi yang ada di dalamnya." Aku (Ibnu Hajar) katakan: maka cercaan
terhadap seorangpun dari mereka tidak diterima kecuali dengan faktor pencacat yang
jelas, karena sebab-sebab jarh itu berbeda-beda." ("Fathul Bari"/1/hal. 384).

Adapun ucapan mutlak bahwasanya kritikan kepadanya itu tidak perlu


diperhatikan, maka ini tidak benar.

Al Imam Ibnu Abdil Hadi ‫ رحمه هللا‬berkata: “Yang benar adalah: bahwasanya
ucapan tadi itu tidak boleh diterima secara mutlak. Bahkan kritikan kepada para rowi
"Shohih" itu terkadang tidak berpengaruh, seperti kritikan An Nasaiy terhadap Ahmad
bin Sholih Al Mishriy, dan terkadang berpengaruh seperti Yahya bin Ayyub Al Mishriy,
dan Nu’aim bin Hammad, Suwaid bin Sa’id, dan yang lainnya. Maka jika salah seorang
dari mereka menyendiri, dan kritikan terhadapnya itu terkenal, atau dihukumi lemah
oleh kebanyakan para imam dalam periwayatan hadits tentang halal dan harom, maka
dia tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Dan para penulis kitab "Shohih" jika
meriwayatkan dari rowi yang terkena kritikan dan dilemahkan, maka mereka itu
menetapkan dari haditsnya tadi yang rowi tadi tidak menyendiri dengannya, tapi yang
riwayatnya itu mencocoki para tsiqot, dan telah tegak pendukung-pendukung yang
menunjukkan kebenaran riwayatnya tadi." (sebagaimana dalam "An Nukat ‘Ala
Muqoddimah Ibnish Sholah"/Az Zarkasyiy/3/hal. 349-351).

Al Imam Muhammad Ibnul Amir Ash Shon’aniy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka ucapan
Asy Syaikh Abul Hasan Al Maqdasiy berkata tentang rowi yang haditsnya diriwayatkan
dalam “Ash Shohih”: “Dia ini telah melampaui jembatan” sehingga kita tak perlu
memperhatikan kritikan yang ditujukan kepadanya, sepertinya beliau menginginkan
bahwasanya kebanyakan dari mereka itu telah melampaui jembatan ujian tadi. Jika
tidak demikian, maka bagaimana para Nawashib, Ghulatusy Syi’ah, dan Murjiah dan
para mubtadi’ah bisa melampauinya, sementara mereka ada di "Ash Shohih” ?"
("Tsamrotun Nazhor"/Muhammad Ash Shon’aniy/hal. 117).
77

Asy Syaikh Robi’ telah terjatuh ke dalam ketergelinciran yang besar –dan kami
amat menyesalkan itu- dengan perbuatan beliau mengadu domba para pelajar Dammaj
terhadap syaikh mereka Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬sejak lebih dari tujuh tahun, dan saling
bantunya Asy Syaikh Robi’ dengan hizb Al Adaniy dalam kebatilan tanpa sanggup
membatalkan hujjah dengan hujjah pula. Maka kritikan terhadap kesalahan-kesalahan
Asy Syaikh Robi’ dengan bukti-bukti, dan pembelaan kami terhadap diri kami sendiri
dari serangan-serangan Asy Syaikh Robi’ dengan bayyinah-bayyinah kami itu harus
dipandang dan tidak boleh dibatalkan dengan percuma.

Maka pemutlakan ungkapan tadi "telah melampaui jembatan" untuk Asy Syaikh
Robi’ ‫ هداه هللا‬merupakan sikap ghuluw terhadap beliau.

Contoh kedua: apa yang dinukilkan oleh saudara yang mulia Abu Abdillah
Ahmad bin Ali Al ‘Iwadhiy ‫حفظه هللا‬: sebagian bait syair telah diucapkan tentang Asy
Syaikh Robi’ ‫ وفقه هللا‬, dan di antaranya adalah ucapan:

.)‫ فإنكم منها أذل وأحقر‬...... ‫(جعلتم فدا ًء أمجعني لنعله‬

“Kalian semua dijadikan sebagai tebusan bagi sandal beliau (Asy Syaikh Robi’), karena
sungguh kalian itu lebih hina dan lebih rendah daripada sandal beliau.”

Saya –Abu Fairuz ‫ – عفزا هللا عنزه‬menjawab: apakah boleh dikatakan seperti ini? Di
dalamnya ada sikap ghuluw yang besar sekali tentang pribadi Asy Syaikh Robi’. Dan
apakah seluruh manusia memang menjadi tebusan buat sandal Asy Syaikh Robi’ karena
mereka semua memang lebih rendah dan lebih hina daripada sandal beliau? Padahal
muslim yang pendurhaka itu masih lebih mulia di sisi Alloh daripada Masjidil Harom.
Nafi’ -‫رحمه هللا‬- berkata:

‫ ما أعظمك وأعظم حرمتك واملؤمن أعظم حرماة عناد اهلل‬:‫ونظر ابن عمر يوما إل البيت أو إل الكعبة فقال‬
‫منك‬

“Pada suatu hari Ibnu ‘Umar -rodhiyallohu 'anhuma- memandang ke Al Baitul Harom,
atau ke Ka’bah, lalu berkata: “Alangkah agungnya engkau, dan alangkah agungnya
kehormatanmu. Tapi Mukmin itu lebih agung kehormatannya daripada engkau.” (HR.
At Tirmidzy (2032), dihasankan oleh Al Imam Al Wadi’iy -‫رحمهه هللا‬- dalam “Al Jami’ush
Shohih” (3601)).

Contoh ketiga: : saudara yang mulia Abu Abdillah Ahmad bin Ali Al ‘Iwadhiy
‫ حفظه هللا‬menukilkan ucapan yang lain:

.)‫ وتعجز إن أردت له مثيال‬...... ‫(ربيع ليس يشبهه ربيع‬


78

“Robi’ tidak ada Robi’ yang menyerupainya, dan engkau tak akan sanggup mencari
jika engkau ingin ada yang semisal dengan beliau.”

Bait ini disebutkan oleh Al Jabiriy, Asy Suhaimiy dan Ash Sho’idiy dalam nasihat
mereka yang mereka tujukan pada Asy Syaikh Robi’, mereka menyeru beliau untuk
berlepas diri dari pujian yang berlebihan dari para pemilik bait-bait syair ini. Ada yang
mengatakan bahwasanya si pengucapnya telah rujuk.

Saya –Abu Fairuz ‫ – عفا هللا عنه‬menjawab: Di dalamnya ada sikap ghuluw yang
besar sekali tentang Asy Syaikh Robi’. Maka apakah Asy Syaikh Robi’ menerima rujuk
orang tadi lalu beliau diam darinya tanpa menghardiknya? Tapi beliau tidak menerima
ucapan syair yang telah rujuk dari ucapannya “Imamuts Tsaqolain”, bahkan beliau
mengharuskan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬untuk menghardik penyair tadi, lalu terus-
menerus memperbincangkan kasus tadi sepanjang tahun demi tahun. Ada apa kalian
ini? Bagaimana kalian menghukumi?!

Contoh yang keempat: saudara kita yang mulia Kholid bin Muhammad Al
Ghirbaniy Al Hasyimiy ‫ حفظه هللا‬menukilkan menukilkan ucapan Sami Uwaid Ahmad,
pengajar bidang ilmu Al Qur’an –kuliah tarbiyah- di Universitas Tikrit yang di situ
campur baur lelaki dan perempuan, dalam perkataan dia yang termuat di situs
“Sahab” dengan judul: “Al Matholibul ‘Aliyyah Fi Tazkiyatil Imam Robi’ Lisy Syaikh
Abdullathif Al Kurdiy Wa Shoddi ‘Udwanil Bughoh” (bagian pertama):

‫ والتقدم عىل غريه يف باب‬،‫ وعلامء الدعوة السلفية إى أن يشهدوا للشيخ ربيع باإلمامة‬،‫كل ذلك حدى بأئمة‬
‫ واحلصن اِلتني ال ي ال‬،‫ فهو الركن اِلنيع ال ي ال يصدع‬،‫ والتمييز بني األصيل والدخيل‬،‫اْلرح والتعديل‬
.‫يردع‬

“Dan itu semua menggiring para imam dan ulama dakwah salafiyyah untuk bersaksi
bahwasanya Asy Syaikh Robi’ adalah imam dan mendahului yang lainnya dalam bab
jarh wat ta’dil, dan membedakan antara yang asli dengan yang tercemar. Maka beliau
adalah rukun (penopang terkuat) yang sangat bisa melindungi, yang tidak retak, dan
benteng kokoh yang tidak terruntuhkan.”

Saya –Abu Fairuz ‫ – عفا هللا عنه‬menjawab: lihatlah sikap ghuluw yang besar sekali
tentang Asy Syaikh Robi’ ini: “Maka beliau adalah rukun (penopang terkuat) yang
sangat bisa melindungi, yang tidak retak, dan benteng kokoh yang tidak
teruntuhkan.”

Rukun pada suatu benda adalah sisinya yang terkuat. (“Lisanul Arob”/13/hal.
185).

Alloh ta’ala berfirman:


79

[40 :‫﴿ َق َال َل ْو َأن ِل بِك ُْم ُقو ًة َأ ْو َآ ِوي إِ َل ُركْن َش ِديد﴾ [ذود‬

“Luth berkata: seandainya aku punya kekuatan menghadapi kalian atau aku
bernaung pada ruknun syadid (sisi penopang yang kuat).”

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمه هللا‬berkata: “Alloh ta’ala berfirman mengabarkan


tentang Nabi-Nya Luth ‫ عليه السالم‬bahwasanya Luth mengancam mereka dengan
perktaannya: “Luth berkata: seandainya aku punya kekuatan menghadapi kalian atau
aku bernaung pada ruknun syadid (sisi penopang yang kuat).” Yaitu: niscaya aku akan
menghukum kalian dan berbuat sesuatu terhadap kalian berupa siksaan, hukuman dan
menimpakan kekerasan dengan diriku dan keluargaku terhadap kalian.” (“Tafsirul
Qur’anil ‘Azhim”/4/hal. 338).

Dan Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬berkata: “Firman Alloh: ruknun syadid (sisi penopang
yang kuat) yaitu keluarga. Dan begitu pula firman-Nya: (‫“ )وعولى بركنه‬Dia berpaling
dengan rukunnya.” Yaitu: dengan orang-orang yang bersamanya. Dan asal dari “rukun”
adalah sisi dari gunung, dan diletakkan pada posisi kekuatan.” (“Fathul Bari”/1/hal.
125).

Dan dari Abu Huroiroh ‫ رضي هللا عنه‬: Bahwasanya Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:

.))444( ‫) ومسلم‬2211( ‫ (أخرجه البخاري‬.»‫َان َل َي ْأ ِوي إِ َل ُركْن َش ِديد‬


َ ‫« َيغ ِْف ُر اهلل لِ ُلوط إِ ْن ك‬
“Semoga Alloh mengampuni Luth, sesungguhnya beliau itu bernaung pada ruknun
syadid.” (HR. Al Bukhoriy (3372) dan Muslim (151)).

Al Imam An Nawawiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Adapun sabda Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬:
“Semoga Alloh merohmati Luth, sesungguhnya beliau itu bernaung pada ruknun
syadid.” Maka yang dimaksudkan dengan ruknun syadid itu adalah Alloh ‫ سبحانه وتعال‬,
karena sungguh Alloh itu adalah rukun yang paling keras, paling kuat dan paling
mampu melindungi. Dan makna hadits tadi walloh a’lam: bahwasanya Luth ‫صلى هللا عليه‬
‫ وسلم‬manakala mengkhawatirkan keselamatan para tamu beliau, dan beliau tak punya
keluarga yang mampu melindungi mereka dari orang-orang yang zholim, menjadi
sempitlah hati beliau, dan semakin keraslah kesedihan beliau tentang nasib tamu-tamu
tadi. Maka beliau terdominasi keadaan tadi sehingga dalam suasana seperti itu beliau
berkata: “Andaikata aku punya kekuatan untuk menghadapi kalian dengan diriku atau
aku bernaung pada keluarga yang melindungi diriku niscaya aku akan bisa mencegah
kalian.” Luth ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bermaksud menampakkan udzur pada para tamu beliau
dan bahwasanya andaikata beliau mampu menolak keburukan agar tidak menimpa para
tamu tadi dengan suatu cara pastilah beliau telah melakukannya, dan bahwasanya
beliau telah mencurahkan kemampuan untuk memuliakan mereka dan membela
mereka, dan bukanlah yang demikian itu dalam rangka beliau ‫ صلى هللا عليه وسلم‬berpaling
dari bertopang pada Alloh ta’ala. Dan hanyalah itu terjadi dalam rangka apa yang telah
80

kami sebutkan, yaitu menghibur hati para tamu beliau. Dan boleh jadi beliau ‫صلى هللا عليه‬
‫ وسلم‬lupa berlindung pada Alloh ta’ala dalam menjaga mereka. Dan boleh jadi pula
beliau telah berlindung pada Alloh ta’ala, tapi beliau menampakkan pada para tamu tadi
rasa sakit hati dan sempit dada (terhadap musibah mereka). Wallohu a’lam.” (“Syarhun
Nawawiy ‘Ala Shohih Muslim”/2/hal. 184-185).

Maka bagi kami: Alloh itulah rukun kami yang kuat. Adapun menurut Sami
Uwaid: Asy Syaikh Robi’ itulah rukun (penopang terkuat) yang sangat bisa melindungi,
yang tidak retak, dan benteng kokoh yang tidak teruntuhkan. Kami berlindung pada
Alloh dari ghuluw.

Kami tidak mengatakan bahwasanya termasuk dari nama Alloh adalah: Ar


Ruknusy Syadid, akan tetapi kami tidak bertawakkal ataupun bertopang kecuali pada
Alloh. Dan kami tidak berlindung kecuali kepada-Nya. Dan bab pengabaran itu lebih luas
daripada bab nama dan sifat. Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Sesungguhnya
yang masuk ke dalam bab pengabaran tentang Alloh ta’ala itu lebih luas daripada apa
yang masuk kepada bab nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, seperti: Asy Syai, Al
Maujud, Al Qoim bi nafsih, karena boleh kita mengabarkan tentang Alloh dengan lafazh-
lafazh tadi tapi tidak masuk ke dalam nama-nama-Nya yang husna (terbagus) dan sifat-
sifat-Nya yang ‘ulya (tertinggi).” (“Badai’ul Fawaid”/1/hal. 284/cet. Dar Alamil Kutub).

Contoh yang kelima: saudara kita yang mulia Abu Muhammad bin Muhammad
Adil Az Zahrowiy ‫ حفظه هللا‬menukilkan ucapan penyair mereka yang memuji Asy Syaikh
Robi’:

ً ‫ال وسه‬
.)‫ال باإلمام اِلحتمى بحامئه من صولة األوغاد‬ ً ‫(أذ‬

“Selamat datang bagi sang imam yang wilayah perlindungannya dijadikan sebagai
tempat berlindung dari serangan orang-orang tolol.”

Saya –Abu Fairuz ‫ – عفا هللا عنه‬menjawab: lihatlah sikap ghuluw yang besar sekali
tentang Asy Syaikh Robi’ ini. Adapun kami ahli tauhid, kami bertawakkal pada Alloh, dan
berlindung pada-Nya dari serangan ahli batil, maka kami tidak berlindung pada Asy
Syaikh Robi’ ataupun makhluk Alloh yang lain. Alloh ta’ala berfirman:

،]71 :‫ْت ت َِق ًّيا﴾ [مريم‬


َ ‫َح ِن ِمن َْك إِ ْن ُكن‬
َ ْ ‫ت إِين َأ ُعو ُذ بِالر‬
ْ ‫﴿ َقا َل‬

“Maryam berkata: sesungguhnya aku berlindung pada Ar Rohman dari dirimu, jika
engkau adalah orang yang bertaqwa.”

Alloh subhanah juga berfirman:

ِ ‫ُي ُُض‬
،]71 ،71 :‫ون﴾ [املؤمنون‬ َ ِ ِ‫زَات الش َياط‬
َ ِ‫ني * َو َأ ُعو ُذ ب‬ ِ ‫ك ِمن َُه‬
َ ْ َ ِ‫﴿ َو ُق ْل َرب َأ ُعو ُذ ب‬
ُ ْ َ ‫ك َرب أ ْن‬
81

“Dan katakanlah: Wahai Robbku, saya berlindung kepada-Mu dari dorongan setan,
dan saya berlindung kepada-Mu wahai Robbku dari kehadiran mereka.”

Dan Alloh jalla dzikruhu berfirman:

.]2 ،7 :‫﴿ ُق ْل َأ ُعو ُذ بِ َرب ا ْل َف َل ِق * ِم ْن ََش َما َخ َل َق﴾ [الفلق‬

“Katakanlah: aku berlindung kepada Robb waktu subuh, dan kejelekan para makhluk
(yang punya kejelekan).”

Alloh ta’ala berfirman:


ِْ ‫﴿و َق َال موسى إِين ع ْذ ُت بِريب وربكُم ِمن كُل متَكَِب ََل ي ْؤ ِمن بِيو ِم‬
ِ ‫اِل َس‬
.]21 :‫اب﴾ [غافر‬ َْ ُ ُ ُ ْ ْ ََ َ ُ َ ُ َ

“Dan Musa berkata: sungguh aku berlindung pada Robbku dan Robb kalian dari
setiap orang yang sombong dan tidak beriman dengan Hari Perhitungan.”

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: Alloh ta’ala berfirman:

[730 : ‫﴿واعتصموا بحبل اهلل مجيعا وَل تفرقوا﴾ ]آل عمران‬

“Dan berlindunglah kalian semua kepada tali Alloh dan janganlah kalian bercerai
berai.”

Dan berfirman:

[11 : ‫﴿واعتصموا باهلل هو موَلكم فنعم املول ونعم النصري﴾ ]اِلج‬

“Dan berlindunglah kalian kepada Alloh, Dialah pelindung kalian, maka Dialah
sebaik-baik Pelindung dan Dialah sebaik-baik Penolong.”

I’tishom adalah ifti’al dari ‘ishmah (perlindungan/penjagaan). Maknanya adalah:


berpegang teguh dengan sesuatu yang melindungi dirimu dan menghalangi dirimu dari
perkara yang dihindari dan ditakutkan. Al ‘ishmah adalah al himyah (penjagaan). Al
I’tishom adalah al ihtima (mencari perlindungan atau penjagaan). Dan dari istilah itulah
dinamakan qila’ (benteng-benteng) itu ‘awashim (penjagaan dan perlindungan), karena
dia menjaga dan melindungi. Dan poros peredaran keberuntungan dunia dan akhirat
adalah berlindung pada Alloh, dan berlindung pada tali-Nya. Dan tiada keselamatan
kecuali untuk orang yang berpegang teguh dengan dua perlindungan ini. Adapun
berlindung pada tali-Nya: maka hal itu melindunginya dari kesesatan. Dan berlindung
pada-Nya: maka itu melindunginya dari kebinasaan.” (“Madarijus Salikin”/1/hal. 460).
82

Maka cukuplah bagi kami Alloh, dan Dialah sebaik-baik pelindung. Kami tidak
berlindung pada yang selain Dia, yang tidak ada ditangannya manfaat ataupun bahaya,
dan tidak kuasa menjaga istiqomah dirinya, dan tidak aman dari berbolak-baliknya hati.

Jika kalian berkata: “Maksud kami dengan ungkapan tadi adalah demikian, dan
demikian.” Maka jawab kami: sebagaimana kalian tidak menerima ta’wilan para penyair
kami dan tidak menerima udzur mereka, maka kami juga tidak menerima ta’wil dan
udzur dari kalian. Penyair kami mendapatkan taufiq untuk tawadhu’ dan menerima
nasihat dan bersegera bertobat dan kembali mengikat diri dengan lafazh-lafazh
syar’iyyah, berbeda dengan para hizbiyyun yang sombong dan membangkang pada
kebenaran setelah datang penjelasan. Dan segala pujian adalah bagi Alloh semata.

Contoh keenam: saudara kita yang mulia Abu Muhammad bin Muhammad
Adil Az Zahrowiy ‫ حفظه هللا‬menukilkan ucapan penyair mereka yang membandingkan
Asy Syaikh Robi’ dengan Kholid ibnul Walid ‫ رضي هللا عنه‬dan Thoriq bin Ziyad, dia
berkata –karena kagum-:
‫طارق بن م‬
.)!‫زياد؟‬ ُ ‫(أذ ا خالدٌ يف بأسه أم‬

“Apakah ini adalah Kholid dalam masalah keganasan beliau ataukah Thoriq bin
Ziyad!?”

Saya –Abu Fairuz ‫ – عفا هللا عنه‬menjawab: sebagian dari kalian tertawa ketika
mendengar bahwasanya dulu salah seorang penyair ‫ وفقهم هللا‬membandingkan antara Asy
Syaikh Yahya dengan sebagian Shohabat dan para imam, dan kalian menjadikan
perbandingan itu sebagai bentuk ghuluw. Dan Asy Syaikh Yahya telah menasihati
mereka untuk meninggalkan kalimat semacam ini. Maka apakah Asy Syaikh Robi’
menasihati para penyair yang berlebihan menyanjung beliau tersebut? Dan apakah Asy
Syaikh Robi’ telah menghardik mereka sebagaimana beliau mengharuskan Asy Syaikh
Yahya untuk menghardik para penyair yang berlebihan menyanjung beliau tersebut?

Segala pujian bagi Alloh, para penyair Ahlussunnah diberi taufiq untuk tawadhu’
dan menerima nasihat sekalipun tanpa hardikan. Adapun pihak yang lain, saya khawatir
pada diri mereka ada kesombongan terhadap kebenaran, sengaja berbuat dosa dan
berlama-lama dalam kebatilan, dan tidak waro untuk berdusta dan curang (tidak adil).
Cocoklah untuk sebagian orang yang seperti itu firman Alloh ta’ala:
ِ ‫ون السمع و َأ ْك َثرهم ك‬ َ ‫ني * َتنَز ُل َع َىل كُل َأفاك َأثِيم * ُي ْل ُق‬ ِ
ُّ ‫ون * َو‬
‫الش َع َر ُاء‬ َ ‫َاذ ُب‬ ْ ُ ُ َ َ ْ ُ ‫﴿ َه ْل ُأنَب ُئك ُْم َع َىل َم ْن َتنَز ُل الشيَاط‬
.]119 - 114 :‫ون﴾ [الشعراء‬ َ ‫ون * َو َأهنُ ْم َي ُقو ُل‬
َ ‫ون َما ََل َي ْف َع ُل‬ ُ ِ‫ون * َأ َمل ْ ت ََر َأهنُ ْم ِيف كُل َواد َهي‬
َ ‫يم‬ ُ ‫َيتبِ ُع ُه ُم الْغ‬
َ ‫َاو‬

“Maukah kukabarkan pada kalian, kepada siapakah para setan itu turun? Mereka
turun pada setiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa. Setan-setan tadi
83

mencuri pendengaran, dan kebanyakan mereka itu pendusta. Dan para penyair itu
diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwasanya mereka
itu menggunjing di setiap kesia-siaan, dan bahwasanya mereka itu mengatakan apa
yang tidak mereka kerjakan?”

Adapun para penyair Ahlussunnah, maka mereka itu berusaha keras untuk
menetapi kebenaran, membela orang-orang yang benar, dan jika kaki mereka tergelincir
–karena bukan ma’shum- lalu mereka diingatkan, merekapun bertobat dan tidak terus-
menerus di atas kebatilan, maka sesuailah untuk mereka firman Alloh ta’ala:

‫ين َظ َل ُموا َأي‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َِ ‫﴿إَِل ال ِذين آمنُوا وع ِم ُلوا الص‬


َ ‫َُصوا م ْن َب ْعد َما ُظل ُموا َو َس َي ْع َل ُم الذ‬
ُ َ ‫اِلات َو َذك َُروا اهلل كَث ًريا َوا ْنت‬ َ َ َ َ
.]111 :‫ون﴾ [الشعراء‬ َ ‫ُمنْ َق َلب َينْ َقلِ ُب‬

“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholih, dan banyak mengingat Alloh,
dan membela diri setelah dizholimi. Dan orang-orang yang zholim akan mengetahui,
ke tempat kembali yang manakah mereka itu akan kembali.”

Contoh yang ketujuh: saudara kita yang mulia Abu Muhammad bin
Muhammad Adil Az Zahrowiy ‫ حفظه هللا‬menukilkan ucapan penyair mereka:
ٍ
.)‫كجيد َت َع َّط َل منه احلُيل‬ * ‫فالناس دون الربيع‬ ‫(تأ َّل َق‬
ُ

“Dia menjadi linglung atau gila, karena manusia tanpa Robi’ itu bagaikan leher yang
kosong darinya perhiasaan.”

Saya –Abu Fairuz ‫ – عفا هللا عنه‬menjawab: ini juga termasuk dari ghuluw.
Senantiasa Alloh mendatangkan untuk agama ini sekelompok ulama sunnah yang
memperbaharui untuk umat ini agama mereka, dan menghilangkan darinya campuran-
campuran ahli batil. Dan setiap kali ada alim yang meninggal akan digantikan oleh orang
alim yang lain, sebagai pembenaran untuk firman Alloh ta’ala:

َ ‫﴿إمنَّا ن َُح ُن ن ََّز ُلنَا ال ك َُر َوإمنَّا َل ُه َحلَافم ُظ‬


.]6 :‫ون﴾ [احلجر‬

“Sesungguhnya Kami menurunkan Adz Dzikr ini, dan sungguh Kami benar-benar
sebagai penjaganya.”

Barangsiapa menyembah Muhammad ‫ صلى هللا عليه وسلم‬maka sungguh beliau


telah meninggal. Tapi barangsiapa menyembah Alloh, maka sungguh Alloh itu
Mahahidup dan tidak mati, sebagaimana ucapan Abu Bakr Ash Shiddiq ‫رضي هللا عنه‬.
Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬telah meninggal, dan agama beliau tetap lestari. Maka
bagaimana jika Asy Syaikh Robi’ meninggal? Kita sedih, akan tetapi agama ini tetap
lestari, dan manusia itu kokoh dengan pengokohan dari Alloh, kemudian dengan
84

berpegang teguhnya mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah di atas manhaj Salaf, bukan
seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang ghuluw:

ُ ‫فالناس دون الربيع * كجيد َت َعط َل منه‬


.)‫اِليل‬ ُ ‫(تأل َق‬

“Dia menjadi tolol/gila, karena manusia tanpa Robi’ bagaikan leher yang kosong darinya
perhiasan.”

Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh: “Karena sesungguhnya umat ini adalah


umat yang paling sempurna, dan umat yang paling baik yang dikeluarkan untuk
manusia, dan Nabinya adalah penutup para Nabi, tiada nabi setelah beliau. Maka Alloh
jadikan para ulama di dalam umat ini setiap kali seorang alim meninggal, dia digantikan
oleh orang alim yang lain agar alamat-alamat agama ini tidak pupus dan tidak
tersamarkan tanda-tandanya.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 143).

Tiada keraguan bahwasanya kematian seorang alim dari para ulama adalah
suatu musibah, akan tetapi tidaklah seperti yang digambarkan oleh orang-orang yang
berlebihan dan suka taqlid. Alloh penjaga agama-Nya. Al Imam Ibnul Qoyyim ‫رحمه هللا‬
berkata: “… dan ini dikarenakan Alloh subhanah telah menjamin penjagaan hujjah-
hujjah-Nya dan bayyinah-bayyinah-Nya, dan Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬mengabarkan
bahwasanya akan senantiasa ada sekelompok dari umat beliau yang tegak di atas
kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menelantarkan mereka, ataupun
orang yang menyelisihi mereka, sampai hari Kiamat. Maka senantiasa Alloh menanam
orang-orang yang ditanam-Nya di dalam agama-Nya, mereka menanamkan ilmu di
dalam hati-hati orang-orang yang Alloh beri kemampuan untuk itu dan diridhoi-Nya
untuk itu, maka jadilah mereka itu pewaris bagi para ulama sebelumnya, sebagaimana
para ulama sebelumnya pewaris bagi para ulama sebelumnya lagi, maka hujjah-hujjah
Alloh tidak terputus. Dan yang menegakkannya juga tidak terputus di bumi. Dan di
dalam atsar yang terkenal:

»‫«َل يزال اهلل يغرس يف هذا الدين غرسا يستعملهم بطاعته‬

“Senantiasa Alloh menanam di dalam agama ini tanaman yang mereka itu Alloh
jadikan beramal dengan ketaatan pada-Nya.”

Dan dulu termasuk doa sebagian orang terdahulu adalah:

.)‫(اللهم اجعلني من غرسك ال ين تستعملهم بطاعتك‬


85

“Ya Alloh jadikanlah saya termasuk dari tanaman-Mu yang Engkau jadikan mereka
beramal dengan ketaatan pada-Mu.”

Dan karena itulah tidaklah Alloh tegakkan untuk agama ini orang yang
menjaganya kemudian Dia mengambilnya kepada-Nya (mewafatkannya) kecuali dalam
keadaan Alloh telah menanamkan apa yang diketahuinya dari ilmu dan hikmah, bisa jadi
dalam hati-hati orang yang semisal dengannya, dan bisa jadi di dalam kitab-kitab yang
dimanfaatkan oleh manusia sepeninggalnya.”

(selesai dari “Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 147-148).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬: Sesungguhnya umat ini –segala pujian
bagi Alloh- senantiasa ada di kalangan mereka orang yang tanggap terhadap kebatilan
yang ada di dalam perkataan ahli batil, lalu membantahnya. Dan mereka itu manakala
Alloh memberi mereka hidayah bersepakat untuk menerima kebenaran dan menolak
kebatilan baik secara ro’yu ataupun berdasarkan riwayat, tanpa saling memberi tahu
ataupun kesengajaan untuk bersepakat.” (Majmu’ul Fatawa”/9/hal. 233/Maktabatu Ibni
Taimiyyah).

Penjelasan ini cukup untuk mengingatkan orang-orang yang ghuluw terhadap


Asy Syaikh Robi’ ‫هداه هللا‬.

Contoh kedelapan: saudara kita yang mulia Abu Muhammad bin Muhammad
Adil Az Zahrowiy ‫ حفظه هللا‬menukilkan ucapan penyair mereka:

)‫الشفاء ومن سواك مداوي‬


ُ َ‫الشباب بحب ِخب ماكر * كيف‬
ُ ‫( َم ِر َض‬

“Para pemuda sakit dengan kecintaan pada perusak dan pembuat tipu daya.
Bagaimana kesembuhannya? Dan siapakah selain dirimu yang menjadi pengobat?”

Saya –Abu Fairuz ‫ – عفا هللا عنه‬menjawab: Asy Syafi (Penyembuh) yang sebenarnya
adalah Alloh. Ath Thobib (pengobat) yang sebenarnya adalah Alloh. Dan Dialah yang
menurunkan penyakit dan obatnya. Alloh ta’ala berfirman menukilkan ucapan Ibrohim
‫عليه الصالة والسالم‬:

ِ ‫ت َف ُه َو َي ْش ِف‬
.]40 :‫ني﴾ [الشعراء‬ ُ ‫﴿ َوإِ َذا َم ِر ْض‬

“Dan jika aku sakit, maka Dialah (Alloh) yang menyembuhkan aku.”

Dan dari ‘Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬yang berkata:


86

‫ «أذهب الباس رب الناس واشف أنت الشايف َل‬:‫كان النبي صىل اهلل عليه وسلم يعوذ بعضهم يمسحه بيمينه‬
.))1464( ‫) ومسلم‬4140( ‫ (أخرجه البخاري‬.»‫شفاء إَل شفاؤك شفاء َل يغادر سقًم‬

“Dulu Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬mendoakan perlindungan untuk sebagian dari mereka,
mengusap mereka dengan tangan kanannya: “Hilangkanlah penyakit wahai Robb
manusia, dan sembuhkanlah, Engkaulah penyembuh, tiada kesembuhan kecuali
kesembuhan darimu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit.” (HR. Al Bukhoriy
(5750) dan Muslim (2191)).

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata dalam syaroh hadits ini: “Maka di dalam
ruqyah ini ada tawassul (mencari perantara) kepada Alloh dengan kesempurnaan
rububiyyah-Nya dan kesempurnaan rohmat-Nya dengan dengan sifat kesembuhan, dan
bahwasanya Dia itulah satu-satunya penyembuh, dan bahwasanya tiada kesembuhan
kecuali kesembuhan dari-Nya. Maka ruqyah ini mengandung tawassul (mencari
perantara) kepada Alloh dengan tauhid-Nya, kebaikan-Nya dan rububiyyah-Nya.”
(“Zadul Ma’ad”/4/hal. 172).

Kita tidak berbicara tentang nama-nama Alloh semata-mata, akan tetapi tentang
makna-makna yang dikandung oleh kalimat ini. Maka katakanlah padaku –wahai
Luqman, Abdulloh Al Bukhoriy, dan Arofat-: “Apakah Asy Syaikh Robi’ itulah sang
pengobat sehingga sang penyair datang dengan pertanyaan yang bersifat pengingkaran
akan adanya kesembuhan dari selain beliau? Ataukah Alloh subhanahu wata’ala itulah
Sang Penyembuh? Maka bagaimana si penyair mendatangkan pembatasan pengobat
hanya pada Asy Syaikh Robi’ saja?

Kemudian sungguh kami telah menjelaskan kerasnya makar Mar’iyyin dan


buruknya tipu daya dan perusakan yang mereka lakukan. Maka mereka adalah
termasuk orang-orang yang paling berhak mendapatkan ucapan kalian: “Para pemuda
sakit dengan kecintaan pada perusak dan pembuat tipu daya.” Dan kami tidak dapati
Asy Syaikh Robi’ sanggup mengobati mereka, dan bahkan beliau terpengaruh oleh
mereka.

Contoh kesembilan: saudara kita yang mulia Abu Muhammad bin Muhammad
Adil Az Zahrowiy ‫ حفظه هللا‬menukilkan ucapan penyair mereka tentang Asy Syaikh
Robi’:

)‫خبري سواك ُُم * يدري بأمراض اهلوى ويداوي‬


َ ‫الطبيب وَل‬
ُ ‫(أنت‬

“Engkaulah Sang Thobib, tiada yang ahli selain Anda, yang mengetahui penyakit-
penyakit hawa dan mengobati.”
87

Saya –Abu Fairuz ‫ – عفا هللا عنه‬menjawab: jawaban kami sama dengan
sebelumnya. Sesungguhnya Alloh itulah Ath Thobib (Sang Penyembuh). Dari Abu
Rimtsah ‫ رضي هللا عنه‬:

‫ «اهلل الطبيب بل أنت‬:‫ أرين ذ ا ال ي بظهرك فإين رجل طبيب قال‬:‫أن أباه قال للنبي صىل اهلل عليه وسلم‬
.)‫صحيح‬/)1101( ‫ (أخرجه أبو داود‬.»‫رجل رفيق طبيبها الذي خلقها‬

Bahwasanya ayahnya berkata pada Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬: “Perlihatkanlah padaku apa
yang di tulang belakang Anda, karena sungguh saya ini adalah seorang thobib. Maka
beliau menjawab: “Alloh itulah Thobib. Bahkan engkau adalah seorang yang bersikap
lembut dan lunak pada si sakit. Thobibnya adalah yang menciptakannya.” (HR. Abu
Dawud (4207)/shohih).

Dan bagaimana dia meniadakan keahlian akan penyakit-penyakit hawa dan


pengobatan dari yang selain Asy Syaikh Robi’? Bahkan ini adalah ghuluw melampaui apa
yang tergambarkan bagi kita pada orang-orang yang yang menisbatkan diri pada ilmu
dan sunnah semisal kalian.

Kalian telah mencerca orang-orang yang bertobat dari suatu dosa, tapi kalian
terjatuh pada yang lebih buruk yaitu syirik pada Alloh Yang Mahaagung.

Contoh kesepuluh: saudara kita yang mulia Abu Muhammad bin Muhammad
Adil Az Zahrowiy ‫ حفظه هللا‬menukilkan ghuluw yang lain dari mereka tentang Asy Syaikh
Robi’:

ْ ‫نجم الربي ِع عىل ال ُّثريا * فجاوزها وقد َر ِض َي‬


.)‫ت ُس ُفوَل‬ ُ ‫(عال‬

“Bintang Robi’ tinggi di atas bintang Tsuroyya, lalu melampauinya dalam keadaan
Tsuroyya rela dengan kerendahan.”

Saya –Abu Fairuz ‫ – عفا هللا عنه‬menjawab: “Asy Syaikh Robi’ marah terhadap Asy
Syaikh Yahya dan yang bersama beliau ‫ حفظهم هللا‬dikarenakan ucapan yang sampai pada
beliau –sebagaimana anggapan beliau-: “Ubaid, Ubaid, Yahya, Yahya, Yahya di langit,
Ubaid mubtadi’.”

Maka bagaimana sekarang: “Bintang Robi’ tinggi di atas bintang Tsuroyya, lalu
melampauinya dalam keadaan Tsuroyya rela dengan kerendahan.”?

Apakah Asy Syaikh Robi’ ridho dengan ucapan ini dan berkeyakinan bahwasanya
dirinya lebih tinggi daripada yang lain?
88

Dari ‘Iyadh bin Himar saudara Bani Mujasyi’, dari Rosululloh ‫صلى هللا عليه وسلم‬
maka di antara yang beliau sabdakan:

.»‫«وإن اهلل أوحى إل أن تواضعوا حتى َل يفخر أحد عىل أحد وَل يبغي أحد عىل أحد‬

“Dan sesungguhnya Alloh mewahyukan padaku agar kalian tawadhu’ sampai tiada
seorangpun yang membanggakan diri terhadap yang lain, dan tiada seorangpun yang
menzholimi orang lain.” (HR. Muslim (2865)).

Maka apakah Asy Syaikh Robi’ telah menghardik si penyair sebagaimana beliau
mengharuskan Asy Syaikh Yahya untuk menghardik para penyair yang berlebihan
menyanjung beliau? Dan di manakah kecemburuan kalian bertiga dan keadilan kalian
bertiga –wahai Luqman, Abdulloh Al Bukhoriy, dan Arofat- terhadap kasus-kasus ini?
Atau apakah hawa nafsu itu membutakan dan menulikan kalian?

Kemudian ketahuilah bahwasanya keinginan untuk meninggi di bumi itu adalah


perkara yang berbahaya. Dari Anas ‫ رضي هللا عنه‬yang berkata:

‫ فجاء أعرايب عىل‬،‫ أو ال تكاد تسبق‬:‫ قال محيد‬.‫كان للنبي صىل اهلل عليه وسلم ناقة تسمى العضباء ال تسبق‬
‫ «حق عىل اهلل أن َل يرتفع يشء من الدنيا إَل‬:‫ فقال‬،‫ فشق ذلك عىل اِلسلمني حتى عرفه‬،‫قعود فسبقها‬
.))1411( ‫ (أخرجه البخاري‬.»‫وضعه‬

“Dulu Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬punya onta betina yang dinamai: Al ‘Adhba, tak pernah
terkalahkan dalam balapan.” Humaid –rowi- berkata: “Atau hampir tak pernah
terkalahkan dalam balapan.” Maka datanglah seorang baduwi di atas qo’ud (onta
tunggangan yang memasuki usia enam tahun), bisa mengalahkan Al ‘Adhba. Maka hal
itu membuat susah muslimin, sampai Nabi mengetahui hal itu. Maka beliau bersabda:
“Menjadi keharusan bagi Alloh untuk tidaklah sesuatu itu meninggi di dunia kecuali
Dia akan merendahkannya.” (HR. Al Bukhoriy (2872)).

Al Munawiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Sesungguhnya manusia tidaklah mereka itu


mengangkat sesuatu” yaitu: tanpa kebenaran, atau melebihi kedudukannya yang dia
berhak mendapatkannya.” (“Faidhul Qodir”/no. (2140)).

Al Hafizh Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬berkata: “Karena sesungguhnya di dalam hadits tadi
ada dorongan untuk tidak meninggikan diri, dan anjuran untuk tawadhu’, dan di
dalamnya ada pemberitahuan bahwasanya urusan-urusan dunia itu cacat, tidak
sempurna. Ibnu Baththol berkata: di dalam hadits ini ada ajaran tentang hinanya dunia
di hadapan Alloh, dan peringatan untuk meninggalkan saling berbangga-bangga, dan
bahwasanya segala sesuatu yang hina di hadapan Alloh, maka dia itu adalah tempat
89

untuk direndahkan. Maka wajib bagi setiap orang yang berakal untuk zuhud di
dalamnya, dan menyedikitkan perlombaan mencari perkara tadi.” (“Fathul Bari”/11/hal.
431).

Maka barangsiapa meninggikan diri, Alloh akan merendahkannya –termasuk


dalam bab: memperlakukan pelaku kebatilan dengan kebalikan dari maksud dia-, dan
barangsiapa bertawadhu’ untuk Alloh, Alloh akan mengangkatnya. Dan barangsiapa
menzholimi saudaranya, Alloh akan menelantarkannya dan menolong orang yang
dizholimi. Dan kami takut pada orang yang terbentuk di dalam dirinya kekaguman pada
diri sendiri dan kesombongan, lalu menzholimi hamba-hamba Alloh, dan memaksa
mereka untuk tunduk di hadapan keagungan sandalnya, dan orang ini berupaya melalui
metode makar –menampakkan pujian sambil menyembunyikan tipu daya- untk
menjatuhkan orang yang disangkanya akan menyainginya dalam kedudukannya. Kami
mengkhawatirkan dirinya akan terkena kekalahan demi kekalahan, dan kehinaan demi
kehinaan, Alloh menjadikan itu sebagai hukuman bagi pelakunya, dan pelajaran bagi
orang-orang yang bertaqwa.

Dan cukuplah kasus Hisyam ibnul Ghoz ‫ رحمه هللا‬sebagai pelajaran bagi orang-
orang yang punya mata hati. Orang yang zholim berupaya untuk melemahkan riwayat
seorang Atba’ut Tabi’in besar yaitu Hisyam ibnul Ghoz ‫ رحمه هللا‬tanpa alasan yang benar,
dan mencurahkan kerja kerasnya untuk memelintir kaidah-kaidah haditsiyyah dalam
rangka menundukkan ahlil haq dan baku tolong dengan hizb Adaniy, lalu dirinya
menempuh jalan Hamzah Al Millibariy. kemudian, ternyata keadaan berbalik, dan hujjah
dirinya melemah, dan nampaklah kelemahannya di hadapan dominasi tentara kejujuran
dan kebenaran, maka kembalilah dirinya dalam keadaan terkalahkan. Inna lillahi wa
inna ilaihi roji’un. kita merasa iba akan kondisi orang yang dulu di atas kebenaran
sehingga dimuliakan dan dicintai ahlil haq, lalu berbalik menyerang ahlil haq tanpa
alasan yang haq, sehingga membuat mereka kaget, dan mau tidak mau mereka
membela diri dengan jujur dan adil, akhirnya kalahlah orang tadi, dan lunturlah nilainya
karena kezholimannya sendiri.

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Karena sesungguhnya Alloh tidak


menolong kecuali kebenaran.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/2/hal. 178).

Al Imam Asy Syaukaniy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan kebenaran itu tertolong, kebatilan
itu telantar. Dan hanya milik Alloh saja segala pujian.” (“Adabuth Tholab”/hal. 142/cet.
Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Contoh kesebelas: saudara kita yang mulia Abu Muhammad bin Muhammad
Adil Az Zahrowiy dan Abu Abdillah Hisyam bin Husain Al Bair ‫ حفظهما هللا‬menukilkan
bahwasanya termasuk dari ghuluw mereka adalah mereka memandang bahwasanya
Asy Syaikh Robi’ itu satu-satunya yang berjalan di jalan jihad ini. Mereka berkata:
90

)‫مفرد ًا * وإن رافقوه ففي األو ِل‬


َ ‫يسري لدحر العدا‬
ُ (
“Beliau berjalan untuk menghancurkan musuh-musuh seorang diri. Sekalipun orang-
orang menyertai beliau, maka beliau tetap yang pertama.”

Saya -Abu Fairuz ‫عفا هللا عنه‬- berkata: Ini adalah kezholiman terhadap kerja keras
para ulama yang lain. Di manakah belasan imam dan ulama di zaman ini sampai-sampai
si penyair meniadakan mereka dan menjadikan Asy Syaikh Robi’ berjalan sendirian
dalam jihad yang agung ini? Dan apakah Asy Syaikh Robi’ ridho dengan ucapan ini dan
berkeyakinan bahwasanya beliau seorang diri dalam jalur ini? apakah Asy Syaikh Robi’
telah menghardik si penyair sebagaimana beliau mengharuskan Asy Syaikh Yahya untuk
menghardik para penyair yang berlebihan menyanjung beliau? Dan di manakah
kecemburuan kalian bertiga dan keadilan kalian bertiga –wahai Luqman, Abdulloh Al
Bukhoriy, dan Arofat- terhadap kasus-kasus ini? Atau apakah kalian menerapkan kaidah
Hasan Al Banna: "Kita saling menolong di atas perkara yang kita sepakati dan kita
saling memberikan udzur terhadap perkara yang kita perselisihkan."?
Contoh keduabelas: saudara kita yang mulia Abu Muhammad bin Muhammad
Adil Az Zahrowiy ‫ حفظه هللا‬menukilkan ucapan si penyair tentang Asy Syaikh Robi’:

.)‫ولكن له من ربه خري موئل‬.... ‫(ُيارب أرباب الضاللة واحد ًا‬

“Beliau memerangi para pelaku kesesatan seorang diri, akan tetapi beliau punya
kebaikan yang diharapkan dari Robbnya.”

Saya -Abu Fairuz ‫عفا هللا عنه‬- jawab: komentar saya sama dengan sebelumnya. Di
manakah para imam seperti Ibnu Baz, Al Albaniy, Ibnu Utsaimin, Ahmad An Najmiy,
Muhammad Aman Al Jamiy, Muqbil Al Wadi’iy, Sholih Al Fauzan, dan yang lainnya?
Kami menghormati Asy Syaikh Robi’, dan kami mengakui bagusnya jasa beliau dalam
sunnah, akan tetapi tanpa ghuluw. Dan apakah Asy Syaikh Robi’ ridho dengan ucapan ini
dan berkeyakinan bahwasanya beliau seorang diri dalam jalur ini? apakah Asy Syaikh
Robi’ telah menghardik si penyair sebagaimana beliau mengharuskan Asy Syaikh Yahya
untuk menghardik para penyair yang berlebihan menyanjung beliau? Dan di manakah
kecemburuan kalian bertiga dan keadilan kalian bertiga –wahai Luqman, Abdulloh Al
Bukhoriy, dan Arofat- terhadap kasus-kasus ini? Ataukah hawa nafsu membuat kalian
buta dan tuli?

Contoh ketigabelas: saudara kita yang mulia Abu Muhammad bin Muhammad
Adil Az Zahrowiy ‫ حفظه هللا‬menukilkan ucapan si penyair tentang Asy Syaikh Robi’:

.)‫الوقاد‬
َ ‫نجم اهلدى‬
ُ ‫بدر الدُّ جى‬
ُ * ‫الضحى‬
ُّ ‫شمس‬
ُ ‫زين الورى‬
ُ ‫حِب التُّقى‬
ُ (
“Orang alim bagi ketaqwaan, perhiasan para makhluq, matahari dhuha, purnama
dikelamnya malam, bintang petunjuk yang menyala terang.”
91

Saya -Abu Fairuz ‫عفا هللا عنه‬- jawab: lihatlah ghuluw yang mendalam ini. Dan
apakah Asy Syaikh Robi’ ridho dengan ucapan ini? Dan apakah Asy Syaikh Robi’ telah
menghardik si penyair sebagaimana beliau mengharuskan Asy Syaikh Yahya untuk
menghardik para penyair yang berlebihan menyanjung beliau? Adapun para penyair
kami –dan hanya milik Alloh saja segala pujian- diberi taufiq untuk tawadhu’ dan
menaati peringatan tanpa dihardik. Adapun para penyair kalian: alangkah banyaknya
kalimat yang dengannya mereka berlebihan menyanjung Asy Syaikh Robi’. Maka di
manakah hardikan beliau pada mereka? Bukankah dengan kalimat-Kalimat ghuluw yang
sedemikian banyak tadi mereka berhak untuk mendapatkan apa yang lebih besar
daripada hardikan, yaitu: ditaburi pasir di wajah-wajah mereka, dalam rangka
melaksanakan perintah Rosululloh ‫ ?صلى هللا عليه وسلم‬Ini jika benar bahwasanya beliau itu
–menurut mereka- adalah imam Ahlussunnah yang manusia tidak sanggup untuk
mencari yang semisal dengannya, dan bahwasanya manusia semuanya itu lebih hina
daripada sandal beliau.

Dan di manakah kecemburuan kalian bertiga dan keadilan kalian bertiga –wahai
Luqman, Abdulloh Al Bukhoriy, dan Arofat- terhadap kasus-kasus ini? Ataukah hawa
nafsu membuat kalian buta dan tuli?

Contoh keempat belas: saudara kita yang mulia Kholid Ba Jammal ‫حفظه هللا‬
menukilkan pensifatan sebagian penulis situs Al Wahlain untuk Asy Syaikh Robi’
bahwasanya beliau adalah: Nashihun Amin kita. Penyair mereka berkata:

‫ربياع *** وأنت اليوم ناصحنااا األمينااا‬


ٌ ‫(ربياااااع أنت للاااادنيا‬
ٌ

)‫أساار العاِلينااااااا‬
َّ ‫فاقد أذداكام نصحا ًا ساااديد ًا *** وتوجيهاااا ًا‬

“Robi’, Anda bagi dunia adalah robi’ (musim semi), dan Anda pada hari ini adalah
Nashih Amin kami. Maka sungguh beliau telah memberikan nasihat yang lurus pada
kalian, dan pengarahan yang menyenangkan alam semesta.”

Saya -Abu Fairuz ‫ عفا هللا عنه‬jawab: apakah kalian ingat apa yang diucapkan oleh
Asy Syaikh Robi’ pada malam Rabu tanggal pertama dari bulan Jumadal Ula 1434 H saat
mengirimkan serangan terhadap Asy Syaikh Yahya: “… semua yang kami dengar:
imamuts tsaqolain, an nashihul amin. Wahai saudaraku! an nashihul amin itu
hanyalah para Nabi, bukankah mereka itu para Nabi?!”

Sekarang apa ini wahai Syaikh? “dan Anda pada hari ini adalah Nashih Amin
kami.” Saya katakan seperti yang Anda katakan: “An nashihul amin itu hanyalah para
Nabi, bukankah mereka itu para Nabi?!” Apakah Asy Syaikh Robi’ ridho dengan
perkataan tadi? Dan apakah Asy Syaikh Robi’ telah menghardik mereka sebagaimana
beliau mengharuskan Asy Syaikh Yahya untuk menghardik para penyair yang berlebihan
menyanjung beliau tersebut? Sekarang di manakah nasihat beliau dan amanah beliau di
92

hadapan ghuluw yang besar ini semua jika beliau memang Nashih Amin seperti yang
dikatakan oleh hizbiyyun situs Wahlain? Sesungguhnya pemilik hak punya hak berbicara,
dan kalian telah menzholimi kami, maka dengarkanlah kerasnya ucapan kami sekarang,
dan janganlah kalian mencela kecuali diri kalian sendiri.

Dan di manakah kecemburuan kalian bertiga dan keadilan kalian bertiga –wahai
Luqman, Abdulloh Al Bukhoriy, dan Arofat- terhadap kasus-kasus ini? Atau apakah hawa
nafsu itu menjerumuskan kalian untuk berbuat curang?

Contoh kelimabelas: saudara kita yang mulia Abu Abdillah Hisyam bin Husain
Al Bair ‫ حفظه هللا‬menukilkan ucapan mereka:
‫جال * إى مذروة ا َِل م‬
.) ‫اجد كاام يعتيل‬ ُ ‫يطايق الر‬
ُ ‫(حتام َل ما ال‬
َ ُ َّ

“Anda memikul apa yang tak mampu dipikul oleh para pria, sampai ke puncak
kemuliaan. Alangkah banyaknya beliau meninggi.”

Saya –Abu Fairuz ‫ –عفا هللا عنه‬berkata: lihatlah kepada pujian yang berlebihan yang
dusta ini. Dan apakah Asy Syaikh Robi’ ridho dengan ini? Dan apakah Asy Syaikh
meyakini bahwasanya yang beliau pikul itu tak mampu dipikul oleh para pria (tokoh)?
Dan beliau meninggi jauh sekali sampai kepada puncak kemuliaan? Apakah kemuliaan
tadi tak mampu dicapai oleh Al Imam Al Albaniy, Al Imam Ibnu Baz dan yang lainnya?
Mahasuci Alloh. Kami mencintai Asy Syaikh Robi’, memuliakannya dan
menghormatinya, akan tetapi di dalam batasan-batasan syariat.

Contoh keenambelas: saudara kita yang mulia Abu Abdillah Hisyam bin Husain
Al Bair ‫ حفظه هللا‬menukilkan ucapan mereka:

.)‫ربياع اهلُدى اِلدخيل‬ ‫عااة ال ُغ م‬


‫اواة * وذاك‬ ‫(ف اك طبياب الدُّ م‬
ُ ُ

“Maka itulah thobib para duat yang tersesat. Dan itulah Robi’ul huda Al Madkholiy.
Alangkah banyaknya beliau meninggi.”

Saya –Abu Fairuz ‫ –عفا هللا عنه‬berkata: “Ath Thobib adalah Alloh, dan Dialah yang
memberikan petunjuk pada orang yang dikehendaki-Nya dari para hamba-Nya. Alloh
ta’ala berfirman menukilkan ucapan Ibrohim ‫عليه الصالة والسالم‬:

‫﴿وإم َذا َم مر ُض ُت َف ُه َو َي ُش مف م‬
.]40 :‫ني﴾ [الشعراء‬ َ

“Dan jika aku sakit, maka Dialah (Alloh) yang menyembuhkan aku.”

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمه هللا‬berkata: “Ibrohim berkata: “Dan jika aku sakit, maka
Dialah (Alloh) yang menyembuhkan aku.” Yaitu: jika aku terjatuh dalam suatu sakit,
93

maka sungguh tak ada satupun yang sanggup menyembuhkan diriku selain Dia, dengan
apa yang disanggupi dari sebab-sebab yang menyampaikan pada kesembuhan tadi.”
(“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/6/hal. 147).

Dan dari ‘Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬yang berkata:

‫ «أذهب الباس رب الناس واشف أنت الشايف َل‬:‫كان النبي صىل اهلل عليه وسلم يعوذ بعضهم يمسحه بيمينه‬
.))1464( ‫) ومسلم‬4140( ‫ (أخرجه البخاري‬.»‫شفاء إَل شفاؤك شفاء َل يغادر سقًم‬

“Dulu Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬mendoakan perlindungan untuk sebagian dari mereka,
mengusap mereka dengan tangan kanannya: “Hilangkanlah penyakit wahai Robb
manusia, dan sembuhkanlah, Engkaulah penyembuh, tiada syifa (kesembuhan)
kecuali kesembuhan darimu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit.” (HR. Al
Bukhoriy (5750) dan Muslim (2191)).

Al Hafizh Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬berkata: “Sabda beliau: “Tiada syafi (penyembuh)
selain Engkau” isyarat kepada bahwasanya seluruh apa yang terjadi, yang berupa dawa
(obat) dan tadawi (pengobatan) itu jika tidak bertepatan dengan taqdir Alloh ta’ala tidak
akan manjur.” (“Fathul Bari”/10/hal. 207).

Dari Abu Rimtsah ‫ رضي هللا عنه‬:

‫ «اهلل الطبيب بل أنت‬:‫ أرين ذ ا ال ي بظهرك فإين رجل طبيب قال‬:‫أن أباه قال للنبي صىل اهلل عليه وسلم‬
.)‫صحيح‬/)1101( ‫ (أخرجه أبو داود‬.»‫رجل رفيق طبيبها الذي خلقها‬

Bahwasanya ayahnya berkata pada Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬: “Perlihatkanlah padaku apa
yang di tulang belakang Anda, karena sungguh saya ini adalah seorang thobib. Maka
beliau menjawab: “Alloh itulah Thobib. Bahkan engkau adalah seorang yang bersikap
lembut dan lunak pada si sakit. Thobibnya adalah yang menciptakannya.” (HR. Abu
Dawud (4207)/shohih).

An Munawiy ‫ رحمه هللا‬berkata: "Alloh itulah Thobib” yaitu: Dia itulah Al Mudawi
(pengobat) yang hakiki dengan obat yang menyembuhkan dari penyakit –sampai pada
ucapan beliau:- yaitu: bukanlah itu tadi obat, bahkan ucapanmu itu sangat perlu untuk
diobati yang mana engkau menamakan dirimu sebagai thobib, padahal Alloh itulah
Thobib. Dan hanyalah engkau itu rofiq, yang bersikap lembut dan lunak pada si sakit.
Maka ini adalah termasuk al uslubul hakim(13) dalam cabang ilmu badi’. Yang demikian

(13)
Al Uslubul Hakim adalah: menyambut orang yang diajak bicara bukan dengan jawaban yang
diharapkan, dengan membawa ucapannya tadi kepada yang berlainan dengan keinginannya, sebagai
peringatan bahwasanya yang itu adalah lebih utama untuk diinginkan, atau bertanya dengan bukan yang
diinginkan, dengan memposisikan pertanyaannya pada posisi yang lain, sebagai peringatan bahwasanya
94

itu adalah karena thobib adalah yang alim tentang hakikat obat dan penyakit, dan
mampu membuat kesehatan dan sakit. Dan yang demikian itu tidak ada kecuali Alloh.”
(“Faidhul Qodir”/no. (1445)).

Dan hidayah orang-orang yang tersesat itu di tangan Alloh, bukan di tangan Asy
Syaikh Robi’ ataupun yang lainnya, hidayah taufiq dan ilham. Alloh ta’ala berfirman:
ِ ِ ِ َ ‫ك ََل َ َْت ِدي َم ْن َأ ْح َب ْب‬
َ ‫اء َو ُه َو َأ ْع َل ُم بِا ُْمل ْهتَد‬
،]15 :‫ين﴾ [القصص‬ ُ ‫ت َو َلكن اهلل َ ْهيدي َم ْن َي َش‬ َ ‫﴿إِن‬

“Sesungguhnya engkau tidak mampu memberikan petunjuk kepada orang yang


engkau cintai, akan tetapi Alloh itulah yang memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Dia itu lebih tahu tentang orang-orang yang mengikuti
petunjuk.” (QS. Al Qoshshosh: 56).

Alloh subhanah berfirman:

.]01 :‫ين﴾ [النحل‬ ِ ِ ‫﴿إِ ْن َ َْت ِر ْص َع َىل ُهدَ ُاه ْم َفإِن اهلل ََل َ ْهي ِدي َم ْن ُي ِض ُّل َو َما َُهل ْم ِم ْن ن‬
َ ‫َاِص‬

“Jika engkau ingin sekali agar mereka mendapatkan hidayah, maka sesungguhnya
Alloh tidak memberikan petunjuk pada orang yang disesatkan-Nya. Dan mereka itu
tidak mendapatkan penolong.”

Adapun hidayah bimbingan dan penjelasan, maka bersekutu di dalamnya para


Nabi, ulama dan yang lainnya, -tidak khusus di tangan Asy Syaikh Robi’-, sebagaimana
inilah keyakinan Ahlussunnah.

Lihatlah betapa ghuluwnya para penolong Asy Syaikh Robi’. Dan apakah Asy
Syaikh Robi’ ridho dengan ucapan ini? Apakah Asy Syaikh Robi’ telah menghardik si
penyair sebagaimana beliau mengharuskan Asy Syaikh Yahya untuk menghardik para
penyair yang berlebihan menyanjung beliau? Dan di manakah kecemburuan kalian
bertiga dan keadilan kalian bertiga –wahai Luqman, Abdulloh Al Bukhoriy, dan Arofat-
terhadap kasus-kasus ini? Jika Asy Syaikh Robi’ itulah Thobib dan tidak ada yang tahu
akan penyakit dan pengobatannya selain beliau, maka hendaknya beliau mengobati
penyakit kaidah Hasan Al Banna di tengah-tengah kalian.

Contoh yang ketujuh belas: saudara kita yang mulia Abu Muhammad bin
Muhammad Adil Az Zahrowiy ‫ حفظه هللا‬menukilkan ucapan penyair mereka yang
memuji Syaikh Asy Robi’:

‫مان عاالاام ماااأل الاادنا بعلاااوماه * حتااى غاادت بحار ًا بااال شطااآن‬

itulah yang lebih utama dengan keadaannya, atau yang lebih penting untuknya. (seperti dalam “Al Idhoh
Fi Ulumil Balaghoh”/hal. 76).
95

‫أسفاااااره فاااي كاااال فااان ألافاات * منثااااورة كاآللاااي اِلاااارجاااان‬

“Dari seorang alim yang memenuhi dunia dengan ilmu-ilmunya, sampai jadilah
ilmunya tadi lautan yang tak bertepi. Kitab-kitab tebalnya di setiap bidang beliau
karang tersebar seperti mutiara dan marjan.”

Saya –Abu Fairuz ‫ – عفا هللا عنه‬menjawab: lihatlah sikap ghuluw yang mendalam
ini. Dan apakah Asy Syaikh Robi’ meyakini bahwasanya ilmu-ilmu beliau itu bagaikan
lautan yang tak bertepi? Apakah Asy Syaikh Robi’ telah menghardik si penyair
sebagaimana beliau mengharuskan Asy Syaikh Yahya untuk menghardik para penyair
yang berlebihan menyanjung beliau? Dan di manakah kecemburuan kalian bertiga dan
keadilan kalian bertiga –wahai Luqman, Abdulloh Al Bukhoriy, dan Arofat- terhadap
kasus-kasus ini? Ataukah hawa itu membuat buta dan tuli.

Dari Abu Ma’mar ‫ رحمه هللا‬yang berkata:

‫ أمرنا رسول اهلل صىل اهلل عليه و‬:‫قام رجل يثني عىل أمري من األمراء فجعل اِلقداد حيثي عليه الرتاب وقال‬
.))2001( ‫ (أخرجه مسلم‬.‫سلم أن نحثي يف وجوه املداحني الَتاب‬

“Ada seseorang yang memuji seorang amir, lalu Al Miqdad mulai menaburkan pasir kepada si
pemuji tadi dan berkata: Rosululloh ‫ صى هللا عىيه وسىم‬memerintahkan kami untuk menaburkan
pasir ke wajah-wajah para tukang puji.” (HR. Muslim (3002)).

Contoh kedelapan belas: saudara yang mulia Abu Hassan Marwan Al ‘Usyairiy
‫ حفظه هللا‬menukilkan syair mereka:

)‫(رجال غياور ماا رأيانا ماثالاه * فااي نصار أذال احلاااق واإليامن‬

“Seorang yang sangat cemburu, tidak pernah kami melihat semisal beliau dalam
menolong ahlil haq wal iman.”

Saya –Abu Fairuz ‫ – عفا هللا عنه‬menjawab: lihatlah sikap ghuluw yang mendalam
ini. Dan apakah Asy Syaikh Robi’ meyakini bahwasanya tiada yang semisal dengannya?
Apakah Asy Syaikh Robi’ telah menghardik si penyair sebagaimana beliau mengharuskan
Asy Syaikh Yahya untuk menghardik para penyair yang berlebihan menyanjung beliau?
Dan di manakah kecemburuan kalian bertiga dan keadilan kalian bertiga –wahai
Luqman, Abdulloh Al Bukhoriy, dan Arofat- terhadap kasus-kasus ini? Kenapa kalian
memperbanyak penerapan kaidah Hasan Al Banna?

Maka ketahuilah bahwasanya contoh-contoh itu belum semuanya. Kami tidak


ingin mencerca Asy Syaikh Robi’ ‫ هداه هللا‬, dan kami mencintai beliau karena Alloh. Akan
tetapi beliau dan hizb Mar’iyyin telah memperbanyak serangan terhadap Ahlul haq
96

tanpa haq, maka kami menjawab mereka dengan mohon pertolongan pada Alloh, dan
kami kembalikan panah-panah mereka ke tempat asalnya. Dan kami haruskan mereka
dengan konsekuensi yang mereka buat sendiri, dan agar para saksi Alloh di bumi –dalam
kasus-kasus ini- membedakan ahli batil, jaur (curang/tidak adil), kesombongan, dari ahlil
haq wal inshof wat tawadhu’.

Maka bukanlah celaan itu dipikulkan pada orang yang terzholimi yang membela
dirinya sendiri, akan tetapi celaan itu ditimpakan pada orang yang memulai yang
menzholimi. Dan tidak bermanfaat bagi orang-orang yang zholim banyaknya jumlah
mereka dan besarnya karisma mereka, karena Sang Hakim telah mengharomkan pada
diri-Nya sendiri kezholiman, dan menjadikan kezholiman tadi harom di antara para
hamba-Nya.

‫جنوده ضاق عنها السهل واْلبل‬ ‫ال يأمن الدذر ذو بغي ولو ملكا‬

"Tak akan bisa aman selamanya pelaku kezholiman meskipun dia itu seorang raja yang
tentaranya membuat sempit pesisir dan gunung." ("Mughnil Labib"/261)

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan telah lewat sunnatulloh


bahwasanya jika ada gunung berbuat baghyu (zholim) kepada gunung yang lain, maka
Alloh akan menjadikan gunung yang zholim tadi hancur.” (lihat kelengkapannya dari
"Badai'ul Fawaid"/2/hal. 238-246/cet. Darul Kitabil 'Arobiy).
97

Bab Enam Belas: Kedustaan Bahwasanya Asy Syaikh Yahya


Mencerca Sebagian Shohabat ‫رضي هللا عنهم‬

Luqman berkata: “Dan belum lagi pernyataan Al Hajuriy dan tuduhannya


bahwa sebagian Shohabat itu berandil dalam pembunuhan Kholifah Utsman. Masya
Alloh.”
Abdulloh Al Bukhoriy berkata menukilkan ucapan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬:
(Dan bahwasanya di antara Shohabat ada yang bersekutu dalam membunuh Utsman”
lalu si Bukhoriy ini mencaci Asy Syaikh Yahya dengan berkata: “Dia dusta dan fujur
dan mulutnya dimasuki batu.”
Jawab kami –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut: tuduhan ini
sebagaimana yang lainnya, diwarisi Luqman Ba Abduh dan Abdulloh Al Bukhoriy dari
para ahli ahwa yang fasiq seperti Arofat Al Bashiriy. Dan sejumlah harimau salafiyyin
telah bangkit membantah syubuhat dan tuduhan-tuduhan tersebut -baik secara total,
ataupun sebagiannya-, seperti:
1- Asy Syaikh Abu Hatim Sa’id bin Da’as Al Yafi’iy ‫ رحمه هللا‬, (Ar Rodd ‘Ala ‘Arofat),
2- Abu Abdillah Rosyid ibnul Hadhr Al Jazairiy (Ad Dalailul Bayyinat Fi Anna Ma
Nasabahul Muftari Arofat Wa Ghoiruhu Li Syaikhina Yahya Kadzib Waftiyat),
3- Abu Yusuf Najib bin Abdah Asy Syir’abiy
4- Abu Umaimah Abdush Shomad Al Maghribiy (“Al Burkan Li Nasfi Iftiroat Arofat
Wama Fil Bayanil Fauriy Minal Jahl Wal Batr Wal Buhtan”),
5- Yasir bin Mas’ud Al Jaijaliy (“Shoddu ‘Udwanil Barmakiy” dan “Ar Roddul
Mukhtashor”),
6- Abu Isa Ali bin Rosyid Al ‘Afariy (“Muhadditsun Khothir”),
7- Abu Mush’ab Ali bin Nashir Al ‘Adaniy (“Rodd Zhulmi ‘Arofat Al Barmakiy Al
Murjif Fisy Syaikhil Allamah Yahya Al Hajuriy Wa Bayan Buhtanih ‘Ala Thullab
Daril Hadits Bi Dammaj”),
Dan yang selain mereka, semoga Alloh membalas mereka dengan kebaikan dan
menjaga mereka semua.
Dan kami mewarisi senjata-senjata para harimau tadi untuk menyembelih
syubuhat-syubuhat serigala ahlil ahwa, disertai dengan petunjuk ilmu yang Alloh
anugerahkan pada kami, sebagai karunia dan rohmat dari-Nya. Maka setiap kaum itu
punya pewaris. Akan tetapi bukanlah pewaris yang ini sama seperti pewaris yang itu. Al
Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan tidaklah sama antara orang yang mewarisi
Rosul dengan orang yang mewarisi para munafiqin.” (“Madarijus Salikin”/1/hal. 289/cet.
Darul hadits).
98

Adapun ucapan Luqman Ba Abduh: “Dan belum lagi pernyataan Al Hajuriy dan
tuduhannya bahwa sebagian Shohabat itu berandil dalam pembunuhan Kholifah
Utsman. Masya Alloh.” Dan senada dengan itu ucapan syaikh dia Abdulloh Al Bukhoriy.
Maka hendaknya dia tahu bahwasanya tiada seorang alimpun kecuali pasti telah
pernah melewati beberapa riwayat yang tidak shohih dan tidak hasan. Dan tidaklah
setiap riwayat yang lewat itu si alim punya kesempatan untuk memeriksa tentang
keshohihannya.
Dan engkau sendiri, berapa banyak dirimu melewati atsar-atsar yang engkau kira
shohihah atau hasanah padahal dia itu lemah? Sepanjang seseorang itu jika diingatkan
tentang tidak shohihnya atsar, lalu dia meninggalkannya setelah itu dan memperbaiki
pendapatnya, maka dia itu tidak tercela. Hanyalah celaan itu menimpa orang yang
jahat dalam perdebatan semisal dirimu dengan berlama-lama di atas kesalahan
setelah datangnya peringatan kepadanya dan masih saja engkau mencerca orang yang
telah bertobat, dengan kesalahannya yang dulu.
Maka Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬dulu memang bertopang pada sebagian riwayat yang
tersebut di dalam kitab “Ath Thobaqot” karya Ibnu Sa’d (3/hal. 72), dan kitab “Tarikhul
Madinah” karya Ibnu Syabah (4/hal. 1227). Manakala jelas bagi syaikh kami ‫حفظه هللا‬
tentang lemahnya riwayat-riwayat, beliaupun menghapusnya dari kitab beliau “Al
Jum’ah” pada cetakan kedua.
Maka untuk apa teror dan pembesaran kasus macam ini wahai Luqman? Dan juga
Abdulloh Al Bukhoriy? Dan juga Arofat?

Dan tidaklah setiap riwayat itu nampak penyakitnya seketika. Al Khothib Al


Baghdadiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka ada di antara hadits-hadits yang penyakitnya itu
tersamarkan sehingga tidak diketahui kecuali setelah penelitian yang mendalam dan
berlalunya masa yang panjang.” (“Al Jami’ Li Akhlaqir Rowi”/5/hal. 48).

Kesalahan semacam ini terjadi pada ulama lebih-lebih yang selain ulama. Maka
seorang mujtahid itu kekeliruannya diampuni dalam keadaan dia tidak menyengaja
berbuat keliru. Lebih-lebih lagi jika telah nampak baginya kebenaran setelah itu lalu dia
bertobat dan memperbaiki diri.

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Bahkan terkadang orang yang menginginkan


kebenaran itu tersesat dari kebenaran dalam keadaan dia telah bersungguh-sungguh
mencarinya tapi tidak berhasil. Maka dia tidak dihukum. Dia telah mengerjakan
sebagian perkara yang diperintahkan, maka dia mendapatkan pahala atas ijtihad dia,
sedangkan kekeliruannya yang dia tersesat di dalamnya dari hakikat perkara tadi akan
diampuni. Dan banyak dari mujtahidin salaf dan kholaf telah mengatakan sesuai atau
melakukan sesuatu yang ternyata hal itu adalah bid’ah dalam keadaan mereka tidak
mengetahui bahwasanya itu adalah bid’ah, bisa jadi karena hadits-hadits yang lemah
99

dan mereka mengiranya shohih, atau bisa jadi karena adanya ayat-ayat yang mereka
memahaminya dengan pemahaman yang tidak Alloh inginkan, dan bisa jadi karena
suatu pendapat yang dipandangnya, sementara dalam masalah tadi ada nash-nash yang
tidak sampai pada mereka.

Jika seseorang itu bertaqwa pada Robbnya sesanggupnya, dia masuk di dalam
firman Alloh ta’ala:

] 149 : ‫﴿ربنا َل تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا﴾ [ البقرة‬

“Wahai Robb kami janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau keliru.”

Dan dalam hadits shohih Alloh ta’ala menjawab:

"‫"قد فعلت‬

“Aku telah mengerjakannya.”

Dan penjabaran ini ada di tempat yang lain.”

(selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/19/hal. 192).

Perhatikanlah adab-adab para imam bersama ulama yang lain yang keliru
dengan sebab riwayat yang lemah. Ibnu Hajar dan sebagian ulama ‫ رحمهم هللا‬meski luas
ilmu mereka, mereka berpendapat dengan kandungan kisah Ghoroniq yang palsu itu.
Dan kami tidak mendengar ada seorangpun dari ulama yang mencerca mereka padahal
di dalam kisah tadi ada kebatilan-kebatilan yang sangat besar.

Al Imam Al Albaniy ‫ رحمه هللا‬setelah menyebutkan lemahnya sanad-sanad kisah


tadi beliau berkata: “Penjelasan tentang batilnya kisah tadi secara matan (isinya). Itu
adalah riwayat-riwayat kisah, dan semuanya sebagaimana yang engkau lihat mu’allah
(berpenyakit) dengan irsal (putus yang di atas tabi’iy), lemah, dan jahalah (ada rowi
yang tak dikenal). Maka tidak ada di dalamnya riwayat yang pantas untuk menjadi
pendukung, terutama dalam perkara yang berbahaya ini.

Kemudian termasuk perkara yang menguatkan lemahnya riwayat tadi dan


bahkan batilnya dia adalah terjadinya perselisihan dan kemungkaran dalam
kandungannya, yang tidak sesuai dengan posisi kenabian dan kerosulan. Penjelasannya
adalah sebagai berikut:

Yang pertama: dalam riwayat-riwayat tadi semua atau kebanyakannya,


disebutkan bahwasanya setan itu berbicara melalui lisan Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬dengan
100

kalimat yang batil tadi, yang memuji patung-patung musyrikin: “Itu adalah ghoroniq
yang tinggi, dan syafaatnya diharapkan.”

Yang kedua: di dalam sebagiannya, seperti riwayat yang keempat: “Dan kaum
mukminun membenarkan Nabi mereka terhadap apa yang beliau datangkan dari
Robb mereka, dan mereka tidak menuduh beliau terhadap kekeliruan dan kesalahan.”
Maka di dalam riwayat ini, kaum mukminun mendengar tersebut dari beliau ‫صلى هللا عليه‬
‫ وسلم‬dan mereka tidak menyadari bahwasanya hal itu adalah dari lemparan setan,
bahkan mereka meyakini bahwasanya itu adalah wahyu dari Ar Rohman. Sementara
riwayat yang keenam berkata: “Dan kaum muslimin tidak mendengar apa yang
dilemparkan oleh setan.” Ini menyelisihi riwayat yang tadi.

Yang ketiga: di sebagiannya, seperti riwayat (1, 4, 7, 9): “Bahwasanya Nabi ‫صلى‬
‫ هللا عليه وسلم‬tinggal sementara waktu dalam keadaan beliau tidak tahu bahwasanya yang
demikian itu dari setan, sampai Jibril berkata pada beliau: “Aku berlindung pada Alloh,
aku tidak mendatangkan padamu perkataan ini. Ini adalah dari setan.”

Yang keempat: dalam riwayat kedua: bahwasanya beliau ‫ صلى هللا عليه وسلم‬lupa
sampai mengucapkan yang demikian itu. Seandainya memang terjadi demikian kenapa
beliau tidak sadar dari lupanya setelah itu?

Yang kelima: dalam riwayat kesepuluh: jalan yang keempat: “Bahwasanya yang
demikian itu dilemparkan pada beliau dalam keadaan beliau sholat.”

Yang keenam: dalam riwayat (4, 5, 9) bahwasanya beliau ‫صى هللا عىيه وسىم‬
berharap tidak diturunkan pada beliau sesuatu dari wahyu yang menjelek-jelekkan
sesembahan-sesembahan musyrikin agar mereka tidak lari dari beliau. Dan lihatlah
pembahasan keempat dari ucapan Ibnul Arobiy yang akan datang (pada hal. 50).

Yang ketujuh: di dalam riwayat (4, 6, 9) bahwasanya beliau ‫صلى هللا عليه وسلم‬
bersabda ketika Jibril mengingkari beliau tentang kalimat tadi: “Aku telah membuat
kedustaan atas nama Alloh, dan aku berkata atas nama Alloh apa yang tidak
difirmankan-Nya, dan setan menyekutuiku dalam urusan Alloh.”

Ini semua adalah bencana-bencana yang kita wajib mensucikan Rosul dari hal
tadi, lebih-lebih riwayat yang terakhir ini, karena jika hal itu benar, niscaya benarlah apa
yang ada pada Nabi ‫– عليه السالم‬dan itu jauh sekali- firman Alloh ta’ala:

.[‫﴿ولو تقول علينا بعض األقاويل ألخذنا منه باليمني ثم لقطعنا من الوتني﴾ [ احلاقة‬

“Dan andaikata dia berkata atas nama Kami dengan sebagian perkataan, pastilah
kami akan mengambilnya dengan tangan kanan, kemudian Kami akan memotong
urat nadi jantungnya.”
101

Maka pastilah dengan penjelasan tadi semua tentang batilnya kisah ini secara
sanad dan matan. Dan segala puji hanya bagi Alloh atas taufiq-Nya dan hidayah-Nya.”

(selesai dari “Nashbul Majaniq”/Al Imam Al Albaniy/hal. 35-36).

Bersamaan dengan besarnya keburukan kisah ini, kami tidak mendengar ada
seorangpun dari para imam yang berkata bahwasanya Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬mencerca
sisi kenabian atau yang seperti itu. Paling-paling mereka hanya menyebutkan
bahwasanya riwayat yang dipakai bertopang oleh Al Hafizh Ibnu Hajar itu lemah.

Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬telah mengetahui sisi pelemahan para ulama terhadap
riwayat-riwayat ini, tapi beliau membantah mereka dan merojihkan bahwasanya kisah
ini punya asal yang pasti. (lihat “Fathul Bari”/8/hal. 439).

Dan tiada seorangpun dari mereka berkata bahwasanya Ibnu Hajar mencerca
Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬sementara perkara besar tadi lebih buruk daripada riwayat
tentang andil Muhammad bin Abi Bakr dalam pembunuhan terhadap Utsman ‫رضي هللا‬
‫عنهم‬.

Memang ada perbedan besar antara ulama yang mumpuni yang adil dalam
menimbang kadar suatu kasus, dengan para ahli ahwa yang curang dan zholim
semacam Luqman Ba Abduh, Abdulloh Al Bukhoriy dan Arofat Al Bashiriy.

Contoh kedua: bertopangnya sebagian mujaddidin kepada kisah penamaan


Adam dan Hawa anak mereka dengan: “Abdul Harits”. Lihatlah bagaimana Al Imam
Muhammad Ibnul Amir Ash Shon’aniy ‫ رحمه هللا‬bertopang dengan kisah ini dan berkata:
“Bahkan Alloh menamakan penamaan Abdul Harits itu adalah kesyirikan.” Kemudian
beliau menyebutkan hadits Samuroh dari Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬yang diriwayatkan oleh Al
Imam Ahmad dan At Tirmidziy. (“Tathhirul I’tiqod”/hal. 17).

Itu adalah kisah yang lemah, menyentuh sisi kehormatan Nabi Adam ‫ عليه السالم‬.
Bersamaan dengan itu para Imam tidak tidak mengatakan bahwasanya Al Imam Ash
Shon’aniy ‫ رحمه هللا‬men-tho’n Adam dan Hawwa.

Dan kalian sendiri wahai Luqman, Bukhori dan Arofat, bisa jadi kalian mengajari
orang-orang kitab “At Tauhid” karya Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab An Najdiy
‫ رحمه هللا‬, padahal beliau berdalilkan dengan kisah ini. Maka kenapa kalian tidak men-
tho’n beliau sebagaimana kalian berbuat pada Asy Syaikh Yahya? Yang demikian itu
adalah dikarenakan yang benar adalah: memberikan udzur pada perkara semacam itu.
Hanya saja para ahli ahwa menakar dengan dua takaran (curang dalam menghukumi).

Dan dalam tafsir firman Alloh ta’ala:


102

،‫﴿ومنهم من عاهد اهلل لئن آتانا من فضله لنصدقن ولنكونن من الصاِلني﴾ اآلية‬

“Dan di antara mereka ada orang yang berjanji pada Alloh: benar-benar jika Alloh
memberikan pada kami sebagian dari karunia-Nya, pastilah kami akan bershodaqoh
dan pastilah kami akan menjadi orang-orang yang sholih.”

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمه هللا‬menyebutkan bahwasanya banyak ahli tafsir, di


antaranya adalah Ibnu Abbas, Al Hasan Al Bashriy, berkata: “Sesungguhnya sebab
turunnya ayat yang mulia ini adalah tentang Tsa’labah bin Hathib Al Anshoriy.” Lalu
beliau menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di sini,
tanpa mengingkarinya. (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/4/hal. 183).

Kisah itu lemah, menyentuh sisi agung seorang shohabiy. Bersamaan dengan itu,
para ulama tidak berkata bahwasanya mereka tadi men-tho’n shohabat ‫رضي هللا عنهم‬.

Luqman berkata dalam menuduh Asy Syaikh Yahya men-tho’n Shohabat:


“Tuduhan Al Hajuriy yang mengatakan bahwasanya aqidah murjiah telah muncul
pada masa Shohabat, dan yang pertama kali yang mengucapkan atau beraqidah
dengan aqidah murji’ah adalah Qudamah bin Madz’un.” Juga Ucapan Abdulloh Al
Bukhoriy tentang Asy Syaikh Yahya: “Dan bahwasanya yang pertama kali
mengucapkan pendapat Irja adalah Utsman bin Mazh’un ‫رضي هللا عنه‬.”

Jawab kami –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Sampah berita ini juga diwarisi Luqman dan Abdulloh Al Bukhoriy dari ahli Ahwa
semacam Arofat Al Bashiriy, dan kami mewarisi senjata para harimau salafiyyin untuk
melenyapkan sampah tadi dengan seidzin Alloh. Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata
tentang keadaan para Rosul dan musuh-musuh mereka:

‫يف الناس طائفتان خمتلفتان‬ ‫ال بد أن يرث الرسول وضدّ ه‬

‫والوارثون لضدّ ه فئتان‬ ‫فالوارثون له عىل منهاجه‬

‫ما عندذم يف يف ذاك من كتامن‬ ‫أحداُها حرب له وحلزبه‬

‫ذم أذلها ال خرية الرمحن‬ ‫فرموه من ألقاِبم بعظائم‬

‫وراثه بالبغي والعدوان‬ ‫فأتى األى ورثوذم فرموا ِبا‬


103

‫فاسمع وعه يا من له أذنان‬ ‫ذ ا حيقق إرث كل منهام‬

‫شيئا وقالوا غريه بلسان‬ ‫واآلخرون أولوا النفاق فأضمروا‬

“Pastilah ada dua kelompok di tengah manusia yang saling berlawanan, yang mereka itu
mewarisi Rosul dan lawannya. Maka para pewaris Rosul itu ada di atas manhaj beliau,
sementara pewaris lawan beliau itu ada dua golongan. Yang pertama: memerangi beliau
dan memerangi kelompok beliau. Mereka tidak menyembunyikan permusuhan tadi.
Maka mereka menuduh para pengikut Rosul tadi dengan gelar-gelar mereka dengan
keburukan yang mereka sendirilah yang sebenarnya pantas mendapatkannya, bukannya
kelompok pilihan Ar Rohman. Maka kelompok pertama datang dan mewarisi mereka,
maka mereka menuduhkan gelar-gelar buruk tadi terhadap para pewaris Rosul, dengan
kezholiman dan permusuhan. Ini merealisasikan bahwasanya masing-masing dari
kelompok tadi mewarisi pendahunya. Maka dengarkanlah dan hapalkanlah wahai orang
yang punya dua telinga. Dan yang lain adalah: para munafiqin yang menyembunyikan
sesuatu, tapi mengucapkan yang lain lagi dengan lidahnya.”

(“Qoshidah Nuniyyah”/1/hal. 401/syarh Al Harros/cet. Darul Kutubil Ilmiyyah).

Sampah ini dipungut oleh Arofat Al Bashiriy selepas fitnah Abul Hasan ketika
Syaikh kami Yahya ‫ حفظه هللا‬termasuk orang yang terdahulu membongkar kebatilan-
kebatilan Abul Hasan dan menjelaskan kebusukannya. Maka mereka memperbanyak
tuduhan dusta terhadap Asy Syaikh Yahya. Maka beliau menjelaskan kebatilan dari apa
yang dinisbatkan pada beliau. Di dalam kaset yang berjudul: “Tabyyinul Kadzib Wal
Miin” yang direkam hari Senin tanggal 11 Romadhon 1422 H beliau menjelaskan
kepalsuan tuduhan tadi.

Kemudian Arofat mewarisi mereka dan mengambil lafazh-lafazh yang terpotong-


potong, lalu dia menghiasinya dengan baju baru barangkali bisa laku di tengah-tengah
manusia. Dan memang dia laku dibeli oleh Luqman Ba Abduh yang dulu sibuk dengan
sampah di hari-hari belajarnya di Darul hadits di Dammaj. Dan kami tidak tahu ternyata
Abdulloh Al Bukhoriy yang rajin fitness di klub bina raga itu juga punya kesempatan
untuk memungut sampah tadi dan bangga dengannya. Barangkali mereka
melaksanakan petuah Al Jahizh:

‫ ولكل ثوب البس‬،‫ولكل ساقط القط‬

“Dan setiap benda jatuh itu ada yang memungutnya. Dan setiap baju itu ada yang
memakainya.” (sebagaimana dalam “Hayatul Hayawanil Kubro”/Ad Damiriy/2/hal. 164).
104

Maka orang yang adil dan jujur ketika kembali kepada kaset tadi, dia akan
mendapati dengan taufiq Alloh bahwasanya Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬tidak men-tho’n
Shohabiy tersebut. Beliau hanya membaca ucapan Ibnu Abil ‘Izz ‫ رحمه هللا‬yang mengambil
dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫رحمه هللا‬.

Ketika sampai pada beliau tuduhan hizbiyyun terhadap beliau tadi, beliau
menyebutkan ayat ifk, mengambil cahaya darinya bahwasanya tuduhan tadi adalah
batil. Dan beliau ‫ حفظه هللا‬membaca firman Alloh ta’ala:

،]4 :‫ون إَِل ك َِذ ًبا﴾ [الكهف‬ ِ ‫﴿كَِب ْت كَلِم ًة ََتْرج ِمن َأ ْفو‬
َ ‫اه ِه ْم إِ ْن َي ُقو ُل‬ َ ْ ُ ُ َ َُ

“Alangkah besarnya kalimat yang keluar dari mulut-mulut mereka, tidaklah mereka
berkata kecuali kedustaan.”

Ini dalam rangka menjelaskan bahwasanya perkara yang dinisbatkan pada beliau
tadi adalah dusta dan bohong. Dan beliau ‫ حفظه هللا‬berkata: “Alloh membersihkan
Syaikhul Islam untuk mengucapkan igauan tadi,” sebagai bantahan terhadap orang yang
mengatakan bahwasanya Asy Syaikh Yahya menisbatkan ucapan tadi (tuduhan
bahwasanya yang pertama kali yang mengucapkan atau beraqidah dengan aqidah
murji’ah adalah Qudamah bin Madz’un) pada Syaikhul Islam.

Kemudian ketahuilah bahwasanya pembacaan beliau terhadap ucapan Ibnu Abil


Izz itu hanyalah penukil belaka dari Ibnu Abil Izz dan dari Syaikhul Islam. Beliau ‫حفظه هللا‬
berkata: Ibnu Abil ‘Izz ‫ رحمه هللا‬berkata dalam “Syarhuth Thohawiyyah” hal. 324 cet. Al
Maktabul Islamiy, dan yang beliau nukilkan dari Syaikhul Islam (11/hal. 403):

‫ وشبهتهم كانت‬.‫ (وال نقول ال يرض مع اإليامن ذنب ِلن عمله) خمالفة اِلرجئة‬:‫(وأراد الشيخ رمحه اهلل بقوله‬
‫ فإن قدامة بن عبد اهلل‬،‫ فاتفق الصحابة عىل قتلهم إن مل يتوبوا من ذلك‬،‫قد وقعت لبعض األولني‬
ِ
َ ‫ ﴿ َل ْي َس َع َىل الذ‬:‫ وتأولوا قوله تعاى‬،‫ ابن مظعون) َشب اخلمر بعد حتريمها ذو وطائفة‬:‫(والصواب‬
‫ين َآمنُوا‬
‫ فلام ذكروا ذلك لعمر بن‬.‫ات﴾ اآلية‬ ِ ‫اِل‬
َِ ‫ات جنَاح فِيًم َط ِعموا إِ َذا ما ات َقوا وآمنُوا وع ِم ُلوا الص‬
ِ ‫اِل‬
َِ ‫وع ِم ُلوا الص‬
َ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ َ َ
،‫ اتفق ذو وعيل بن أيب طالب وسائر الصحابة عىل أهنم إن اعرتفوا بالتحريم جلدوا‬،‫اخلطاب ريض اهلل عنه‬
‫ أما إنك لو اتقيت وآمنت‬،‫ أخطأت إستك احلفرة‬:‫ وقال عمر لقدامة‬.‫وإن أرصوا عىل استحالهلا قتلوا‬
‫ فليس ذو يطعن يف قدامة وال‬،‫ ذ ا ال ي ذكره الشيخ حييى حفظه اهلل‬.)‫وعملت الصاحلات مل ترشب اخلمر‬
.)‫ (إن أول من قال باْلرجاء قدامة بن مذعون‬:‫يقول ما اهتمه لقامن وقدماؤه‬
105

“Dan Asy Syaikh (Ath Thohawiy) ‫ رحمه هللا‬menginginkan dengan ucapan beliau: “Dan kami
tidak mengatakan bahwasanya tidaklah dosa itu berbahaya jika disertai dengan
keimanan, bagi orang yang melakukannya” dalam rangka menyelisihi murjiah. Dan
syubhat mereka itu telah terjadi di sebagian para pendahulu. Maka para Shohabat
bersepakat untuk membunuh mereka jika mereka tidak bertobat dari itu, karena
sesungguhnya Qudamah bin Abdillah (yang benar adalah: Ibnu Mazh’un) dan
sekelompok orang meminum khomr setelah diharomkannya khomr tadi. Dan mereka
mentakwilkan firman Alloh ta’ala:

ِ ‫اِل‬
﴾‫ات‬ َِ ‫ات جنَاح فِيًم َط ِعموا إِ َذا ما ات َقوا وآمنُوا وع ِم ُلوا الص‬
ِ ‫اِل‬
َِ ‫﴿ َليس ع َىل ال ِذين آمنُوا وع ِم ُلوا الص‬
َ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ َ َ َ َ َ َ ْ

“Tiada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholih terhadap apa yang
mereka makan jika mereka bertaqwa dan beriman dan beramal sholih.”

Sampai akhir ayat. Manakala dia menyebutkan itu kepada Umar ibnul Khoththob ‫رضي‬
‫ هللا عنه‬beliau dan Ali bin Abi Tholib dan seluruh Shohabat bersepakat bahwasanya
kelompok Qudamah tadi jika mengakui haromnya khomr, mereka akan dicambuk, dan
jika mereka bersikeras untuk menghalalkannya, maka mereka akan dibunuh. Dan Umar
berkata pada Qudamah:

‫ أما إنك لو اتقيت وآمنت وعملت الصاحلات مل ترشب اخلمر‬،‫أخطأت إستك احلفرة‬

“Bontotmu salah memasuki lubang. Andaikata engkau bertaqwa, beriman dan beramal
sholih niscaya engkau tidak akan minum khomr.”

Selesai penukilan Asy Syaikh Yahya dai Ibnu Abil ‘Izz.

Inilah penukilan yang disebutkan oleh Asy Syaikh Yahya ‫حفظه هللا‬, bukan beliau itu
men-tho’n Qudamah atau mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Luqman dan
para pendahulunya: yang pertama kali yang mengucapkan atau beraqidah dengan
aqidah murji’ah adalah Qudamah bin Mazh’un.

Dan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬berkata: “Andaikata dia mau merujuk kepada
sumber penukilan yang kami nukilkan darinya, jika dia setelah itu mau membantah
(membantah syaikhul Islam) silakan dia membantahnya.” Maka ini untuk menjelaskan
bahwa beliau itu sekedar menukilkan, dan hakikat perkara ini menjadi jelas dengan
merujuk pada sumber yang diisyaratkan tadi.

Dan aku akan menukilkan apa yang diucapkan oleh Syaikhul Islam ‫رحمه هللا‬:
106

‫ فإن قدامة‬،‫ فاتفق الصحابة عىل قتلهم إن مل يتوبوا من ذلك‬،‫وذ ه [ الشبهة ] كانت قد وقعت لبعض األولني‬
‫ ﴿ليس عىل الذين آمنوا وعملوا الصاِلات جناح فيًم‬: ‫بن عبد اهلل َشِبا ذو وطائفة وتأولوا قوله تعاى‬
‫ فلام ذكر ذلك لعمر بن اخلطاب اتفق ذو‬، ] 62 : ‫طعموا إذا ما اتقوا وآمنوا وعملوا الصاِلات﴾ [اِلائدة‬
.‫ وإن أرصوا عىل استحالهلا قتلوا‬،‫وعيل بن أيب طالب وسائر الصحابة عىل أهنم إن اعرتفوا بالتحريم جلدوا‬

‫ أما أنك لو اتقيت وآمنت وعملت الصاحلات مل ترشب‬. ‫ أخطأت إستك احلفرة‬: ‫وقال عمر لقدامة‬
‫ أن اهلل سبحانه ِلا حرم اخلمر وكان حتريمها بعد وقعة أحد قال‬: ‫ وذلك أن ذ ه اآلية نزلت بسبب‬،‫اخلمر‬
‫ فكيف بأصحابنا ال ين ماتوا وذم يرشبون اخلمر ؟ فأنزل اهلل ذ ه اآلية يبني فيها أن من‬: ‫بعض الصحابة‬
.‫طعم اليشء يف احلال التي مل حترم فيها فال جناح عليه إذا كان من اِلؤمنني اِلتقني اِلصلحني‬

.)101-102‫ص‬/44/"‫(انتهى من "جمموع الفتاوى‬

“Dan (syubhat) ini dulu telah terjadi pada sebagian generasi terdahulu, Maka para
Shohabat bersepakat untuk membunuh mereka jika mereka tidak bertobat dari itu,
karena sesungguhnya Qudamah bin Abdillah dan sekelompok orang meminum khomr
setelah diharomkannya khomr tadi. Dan mereka mentakwilkan firman Alloh ta’ala:

ِ ‫اِل‬
﴾‫ات‬ َِ ‫ات جنَاح فِيًم َط ِعموا إِ َذا ما ات َقوا وآمنُوا وع ِم ُلوا الص‬
ِ ‫اِل‬
َِ ‫﴿ َليس ع َىل ال ِذين آمنُوا وع ِم ُلوا الص‬
َ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ َ َ َ َ َ َ ْ

“Tiada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholih terhadap apa yang
mereka makan jika mereka bertaqwa dan beriman dan beramal sholih.”

Manakala dia menyebutkan itu kepada Umar ibnul Khoththob ‫ رضي هللا عنه‬beliau dan Ali
bin Abi Tholib dan seluruh Shohabat bersepakat bahwasanya kelompok Qudamah tadi
jika mengakui haromnya khomr, mereka akan dicambuk, dan jika mereka bersikeras
untuk menghalalkannya, maka mereka akan dibunuh. Dan Umar berkata pada
Qudamah: “Bontotmu salah memasuki lubang. Andaikata engkau bertaqwa, beriman
dan beramal sholih niscaya engkau tidak akan minum khomr.”

Yang demikian itu adalah karena ayat ini turun dengan sebab: bahwasanya Alloh
subhanah ketika mengharomkan khomr, dan pengharomannya itu terjadi setelah
perang Uhud, sebagian Shohabat berkata: “Maka bagaimana dengan sahabat-sahabat
kita yang meninggal dalam keadaam mereka minum khomr?” maka Alloh menurunkan
ayat ini yang di dalamnya menjelaskan bahwasanya barangsiapa memakan sesuatu
dalam kondisi yang tidak diharomkan, maka tiada dosa baginya jika dia termasuk dari
mukminin muttaqin mushlihin.”
107

(selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/11/hal. 403-404).

Kemudian ketahuilah bahwasanya syarh Ibnu Abil ‘Izz ‫ رحمه هللا‬terhadap “Al
Aqidatuth Thohawiyyah” itu adalah sumber rujukan yang telah dikenal di kalangan
salafiyyin di zaman kita ini, dan telah diajarkan dan disyarh oleh sejumlah imam besar,
dan mereka tidak menjadikan ungkapan tadi sebagai bentuk tho’n terhadap para
shohabat ‫رضي هللا عنهم‬.

Dan jika kalian bersikeras untuk mengkritik, maka kritiklah Ibnu Abil ‘Izz dan yang
sebelumnya yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمهما هللا‬, dan jangan yang kalian kritik
adalah Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬karena beliau itu hanyalah menukilkan dari keduanya.
Dan yang menukilkan adanya kemaksiatan itu bukanlah pelaku maksiat, dan yang
menceritakan adanya kekufuran itu tidak kafir, jika dia tidak meridhoi itu. Al Imam Ibnu
Utsaimin ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan para ulama berkata: “Sesungguhnya orang yang
menukilkan kekufuran itu tidak kafir.” (“Al Qoulul Mufid”/2/hal. 207).

Dan gugatlah juga Umar ibnul Khoththob ‫ رضي هللا عنه‬yang mana beliau telah
berkata keras terhadap Qudamah bin Mazh’un ‫ رضي هللا عنه‬. Dan gugatlah juga seluruh
Shohabat ketika mereka hendak membunuh Qudamah dan teman-temannya jika
mereka tidak mengakui haromnya khomr.

Dan mirip dengan perbuatan Syaikhul Islam adalah apa yang ditulis oleh
Fadhilatusy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Aman Al Jami ‫ رحمه هللا‬dengan judul: “At
Tashowwuf Min Showaril Jahiliyyah”:

“Demikianlah nampak kejahilan tashowwuf, dan dari kota ini dia itu tersebar.
Seandainya kita kembali ke belakang pada sejarah kita yang panjang, niscaya kita
dapatkan bahwasanya bid’ah ini, yang dinamakan dengan tashowwuf pada hari ini,
telah memanjang dengan kepalanya pada zaman Rosul ‫ عىيه الصالة والسالم‬, hanya saja
dia itu terhantam sejak awal kemunculannya atau pemikirannya. Dan yang demikian itu
ketika sebagian orang condong kepada sejenis rohbaniyyah (hidup membujang untuk
konsentrasi ibadah), maka ada tiga orang dari Shohabat yang pergi ke salah satu rumah
Rosul ‫ صلى هللا عليه وسلم‬lalu mereka menanyakan tentang ibadah beliau ‫ عليه الصالة والسالم‬.
Manakala mereka dikabari, seakan-akan mereka menganggapnya sedikit, yaitu mereka
memandang bahwasanya ibadah yang dikerjakan Rosul itu sedikit. Mereka ingin lebih
banyak dari itu. Maka salah seorang dari mereka berkata: “Adapun aku, aku akan
berpuasa sepanjang masa dan tidak berbuka.” Yang kedua berkata: “Adapun aku maka
aku akan sholat malam dan tidak tidur.” Yang ketiga berkata: “Adapun aku, aku tidak
akan menikahi wanita.” Manakala hal itu sampai pada Rosululloh ‫عليه الصالة والسالم‬
beliapun mencari mereka, maka merekapun didatangkan. Maka beliau bertanya:
“Kaliankah yang berkata demikian dan demikian?” maka mereka tidak bisa kecuali
berkata: “Iya.” Maka Rosul ‫ عليه الصالة والسالم‬bersabda: “Adapun aku, maka demi Alloh,
sungguh aku adalah orang yang paling beribadah dan paling takut pada Alloh akan
108

tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku sholat dan aku tidur, dan aku menikahi para
wanita. Maka barangsiapa membenci sunnahku, maka dia bukanlah dari
golonganku.”

Kejadian ini kami riwayatkan dengan makna dengan pendekatan, dan dia ada di
Al Bukhoriy dan Muslim dan sebagian penulis Sunan. Dan termasuk yang perlu dicermati
adalah: bahwasanya Rosul ‫ عليه الصالة والسالم‬dalam mengingkari kebid’ahan ini
mempergunakan metode yang tidak kita ketahui bahwasanya beliau memakainya ketika
sampai berita pada beliau bahwasanya ada orang melakukan suatu penyelisihan atau
berbuat durhaka. Bahkan kebiasaan beliau yang mulia yang terkenal adalah beliau itu
dalam kondisi seperti ini mengumpulkan orang, lalu mengarahkan pada mereka kalimat
yang umum, pengingkaran dan cercaan tanpa berhadapan langsung di situ (dengan
pelakunya), seperti ucapan beliau:

»‫«ما بال أقوام يفعلون كذا وكذا ؟‬

“Ada apa dengan beberapa kaum berbuat demikian dan demikian?”

Dulu metode tersebut cukup untuk menghardik dan mengingkari, disertai dengan apa
yang dikandungnya yang berupa perahasiaan identitas orang yang berbuat maksiat tadi.

Akan tetapi kami melihat Rosul ‫ عليه الصالة والسالم‬pada kali ini menuntut kehadiran
tiga orang tadi yang condong kepada apa yang dinamakan sebagai tashowwuf pada
hari ini. Kemudian beliau bertanya pada mereka: “Kaliankah yang mengatakan
demikian dan demikian?” kemudian beliau mengumumkan pada mereka bahwasanya
beliau itu paling beribadah dan paling takut pada Alloh di antara mereka,
menguatkannya dengan sumpah, seakan-akan mereka tidak tahu yang demikian itu,
dalam rangka menghardik dan mencerca mereka. Maka beliau mengajari mereka
bahwasanya asas di dalam ibadah adalah ittiba’ (ikut syariat Nabi), bukan ibtida’
(membuat perkara baru dalam agama), dan bahwasanya tata cara itu lebih diutamakan
daripada jumlah yang menyelisihi sunnah. Kemudian beliau menutup cercaan tadi
dengan baroah (pemutusan), yaitu: mengabarkan bahwasanya barangsiapa membenci
sunnah beliau dan jalan beliau, maka dia bukan termasuk dari golongan beliau, dan
tidak di atas agama beliau yang beliau bawa dari sisi Alloh.

Dan termasuk perkara yang harus tampilkan adalah bahwasanya niat yang baik
dan maksud yang bersih serta minat untuk memperbanyak ibadah, semua makna tadi
tidak bisa mensyafaati pelaku bid’ah untuk bid’ahnya itu diterima, atau bid’ahnya
menjadi kebaikan dan amal sholih. Ini dikarenakan mereka bertiga itu, tidaklah
membawa mereka kepada tekad mereka tadi kecuali minat mereka pada kebaikan dan
memperbanyak ibadah pada Alloh dalam rangka bersemangat untuk mendapatkan
karunia di sisi Alloh. Maka niat mereka itu sholihah, dan maksud mereka itu baik, hanya
109

saja perkara yang luput dari mereka, yaitu mengikatkan diri dengan sunnah yang mana
mencocokinya adalah asas diterimanya amalan disertai dengan keikhlasan untuk Alloh
ta’ala semata.

Kemudian setelah itu: barangkali sang pembaca mencermati bahwasanya bid’ah


tashowwuf itu muncul pertama kalinya dibungkus dengan bungkus ibadah dan zuhud,
dan dua perkara itu diterima di dalam Islam, bahkan disukai. Kemudian muncullah
tashowwuf tadi di atas hakikatnya yang sebenarnya sekarang ini. Dan ini adalah sifat
setiap kebid’ahan, karena hampir-hampir tidaklah bid’ah itu muncul dan diterima
kecuali dalam keadaan dibungkus dengan bungkus yang menampilkan wajah Islamiy
yang diterima di hadapan orang-orang, bahkan dicintai.”

(selesai dari “Majalatul Buhutsil Islamiyyah”/12/hal. 271-272/Panitia pemeriksa:


Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alusy Syaikh, dan Fadhilatusy Syaikh
Muhammad bin ‘Audah, dan Fadhilatusy Syaikh Abdulloh bin Sulaiman bin Mani’, dan
Fadhilatusy Syaikh Utsman Ash Sholih).

Dan kenapa kalian tidak menghujat para imam tadi ‫رحمهم هللا‬, dan kalian justru
mengkonsentrasikan serangan terhadap Asy Syaikh Yahya ‫ ?حفظه هللا‬Kami mengetahui
faktor pembangkit kalian untuk berbuat itu, yaitu: hawa nafsu, dendam, dan dengki,
bukannya kecemburuan untuk agama ini.

Dan termasuk perkara yang memperkuat kenyataan tadi adalah: bahwasanya


kalian diam terhadap kesesatan-kesesatan Ubaid Al Jabiriy, di antaranya adalah dia
berkata: “Jika Ka’b bin Malik mati dalam keadaan seperti itu, niscaya dia mati dalam
keadaan sesat dan menyesatkan.” Adab macam apa ini terhadap Shohabat? Dan juga
penyelewengan-penyelewengan Muhammad Al Wushobiy, dan kriminalitas-kriminalitas
Muhammad Al Imam terhadap manhaj Salafiy, bersamaan dengan jelasnya dalil-dalil,
bayyinah-bayyinah dan bukti-bukti tentang itu, dan kalian justru mengambil kaidah
Hasan Al Banna dalam menyikapi mereka. Demikianlah ahlul hawa.
110

Bab Tujuh Belas: Pembicaraan Tentang Jarh Mufassar

Luqman berkata pada para Salafiyyin yang dianggapnya sebagai Hajuriyyin:


“Asy Syaikh Robi’ mentahdzir dengan rinci tentang kalian. Dan Asy Syaikh menyetujui
berbagai tulisan dan fatawa ulama tentang Hajuriy. Tulisan-tulisan sampai kepada Asy
Syaikh Robi’. Tahdzir Asy Syaikh Robi’ rinci sebagaimana telah disampaikan. Mufassar,
tapi mereka nggak paham apa itu jarh mufassar.”

Jawab kami –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya jarh mufassar itu diterima jika datang dari seorang alim dengan
sebab-sebabnya dan berhiaskan dengan hujjah-hujjah dan bukti dalam keadaan kosong
dari hasrat-hasrat yang batil, dan perkara-perkara yang lain yang disebutkan oleh para
imam ‫رحمهم هللا‬. Maka tidak setiap jarh itu diterima sekalipun dia itu mufassar
(terperinci). Dia itu harus direnungkan, terutama jika yang dijarh adalah termasuk dari
orang yang telah tetap ‘adalah (kelurusan agama) nya. Maka bayyinah itu dituntut
untuk ada.
Dari Abdulloh bin Mas’ud ‫ رضزي هللا عنزه‬yang berkata: Rosululloh ‫صزلى هللا عليزه وسزلم‬
bersabda:

»‫« من حلف عىل يمني وهو فيها فاجر ليقتطع ِبا مال امرئ مسلم لقي اهلل وهو عليه غضبان‬

“Barangsiapa bersumpah dalam keadaan berbuat fujur(14) untuk merampas harta


seorang muslim dengan sumpah tadi, maka dia akan berjumpa Alloh dalam keadaan
Dia sangat murka padanya.”

Maka Al Asy’ats berkata: “Demi Alloh hadits itu berbicara tentang diriku. Dulu pernah
terjadi perselisihan tentang sebidang tanah antara diriku dan seorang Yahudi. Si yahudi
ini tidak mengakui bahwasanya tanah itu milikku. Maka aku memajukannya pada Nabi
‫ صلى هللا عليه وسلم‬maka beliau bertanya padaku:

»‫«ألك بينة؟‬

“Apakah engkau punya bayyinah?”

Aku menjawab: “Tidak”. Maka beliau bersabda pada si yahudi:

Al Imam Ibnu Rojab Al Hanbaliy ‫ رحمه هللا‬berkata: "Yang beliau kehendaki dengan fujur adalah keluar
(14)

dari kebenaran dengan sengaja sampai kebenaran itu menjadi kebatilan, dan kebatilan itu menjadi
kebenaran." (“Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam”/hal. 725/cet. Maktabah Auladisy Syaikh).
111

»‫«احلف‬

“Bersumpahlah engkau”

Maka aku berkata: “Wahai Rosululloh, jika begitu dia akan bersumpah dan membawa
pergi hartaku.” Maka Alloh ta’ala menurunkan:

.‫ إى آخر اآلية‬‫إن الذين يشَتون بعهد اهلل وأيًمهنم ثمنا قليال‬

“Sesungguhnya orang-orang yang membeli dengan perjanjian Alloh dan sumpah-


sumpah mereka harga murah …”

(HR. Al Bukhoriy (2416) dan Muslim (373)).

Al Imam An Nawawiy ‫ رحمه هللا‬berkata tentang kaidah: “Bahwasanya


mendatangkan bayyinah adalah kewajiban si penuduh, sementara bersumpah adalah
kewajiban orang yang dituduh”: “Hadits ini adalah kaidah yang besar dari kaidah-
kaidah hukum-hukum syariat. Maka di dalamnya mengandung makna: bahwasanya
ucapan seseorang terhadap apa yang didakwaannya itu tidak diterima, dengan sekedar
dakwaan belaka, bahkan perlu pada bayyinah atau pembenaran dari si tertuduh. Jika
dia menuntut agar si penuduh bersumpah, maka boleh dia meminta yang seperti itu.
Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬telah menjelaskan hikmah bahwa dia tidak diberi dengan semata-
mata dakwaannya karena sungguh jika dia memberikan dengan sekedar dakwaan tadi,
pastilah suatu kaum akan mendakwakan hak darah dan harta terhadap suatu kaum, dan
dianggap halal.” (“Syarhun Nawawiy ‘Ala Shohih Muslim”/12/hal. 3).
Tiada keraguan bahwasanya ulama jarh wat ta’dil itu lebih banyak benarnya
daripada kekeliruannya dalam menghukumi. Maka kami menghormati mereka,
mengikuti mereka, bersamaan dengan itu kami tidak menyatakan bahwanya mereka
itu ma’shum dari kekeliruan. Al Imam Al Mu’allimiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka kebenaran
dalam Al Jarh Wat Ta’dil itulah yang dominan.” (“At Tankil”/1/hal. 149).

Al Imam Adz Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Kami tidak menyatakan bahwasanya


para imam Al Jarh Wat Ta’dil itu ma’shum (terjaga dari kesalahan), akan tetapi mereka
itu adalah orang yang paling banyak benarnya, dan paling jarang kesalahannya, paling
adil, dan paling jauh dari kecondongan.” (“Siyar A’lamin Nubala’/11/hal. 82/tarjumah
Yahya bin Ma’in).

Maka jarh sekalipun mufassar, jika keliru, tidak diterima.

Al Imam Ibnu Abdil Barr ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan termasuk perkara yang dikritikkan
terhadap Ibnu Ma’in dan menjadi aib bagi dirinya juga adalah kritikannya pada Asy
Syafi’iy: “Dia tidak tsiqoh.” Dikatakan pada Ahmad bin Hanbal: “Sesungguhnya Yahya
112

bin Ma’in mengkritik Asy Syafi’iy.” Maka Ahmad berkata: “Dari mana Yahya mengenal
Asy Syafi’iy? Dia tidak kenal Asy Syafi’iy dan tidak tahu apa yang dikatakan oleh Asy
Syafi’iy.” Atau ucapan semisal ini. Dan barangsiapa tidak tahu terhadap suatu perkara,
dia akan memusuhinya. Abu Umar ‫( رحمه هللا‬Ibnu Abdil Barr sendiri) berkata: Ahmad bin
Hanbal ‫ رحمه هللا‬benar. Sesungguhnya Ibnu Ma’in tidak tahu apa yang dikatakan oleh Asy
Syafi’iy ‫ رحمه هللا‬. dikisahkan dari Ibnu Ma’in bahwasanya dia pernah ditanya tentang
masalah tayammum, ternyata dia tidak tahu.” (“Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih”/3/hal.
415).

Lihatlah wahai orang-orang, para imam tidak menerima jarh Ibnu Ma’in –
sekalipun telah terperinci- terhadap orang yang telah tetap sifat ‘adl (kelurusan agama)
dia, manakala jarh (kritikan) beliau tadi tidak disertai hujjah. Bahkan para imam
membela orang yang dijarh dan mengkritik si penjarh. Dan tidaklah dikatakan
bahwasanya mereka telah mentho’n ulama manakala mereka mengkritik si penjarh tadi,
dalam posisi tersebut.

Al Imam Adz Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬juga menyalahkan Ibnu Hibban dan tidak
menerima jarh beliau terhadap Aflah bin Sa’id Al Madaniy. Al Imam Adz Dzahabiy ‫رحمه‬
‫ هللا‬berkata: “Dia telah ditsiqohkan oleh Ibnu Ma’in, Abu Hatim berkata: sholihul hadits.
Ibnu Hibban berkata: dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari tsiqot. Tidak halal
berhujjah dengannya ataupun meriwayatkan darinya sama sekali. Aku (Adz Dzahabiy)
katakan: Ibnu Hibban terkadang mencerca orang tsiqoh sampai-sampai sepertinya
dirinya tidak tahu apa yang keluar dari kepalanya.” (“Mizanul I’tidal”/1/hal. 274).

Perhatikanlah wahai hizbiyyun, Al Imam Adz Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬tidak menerima


jarh Ibnu Hibban sekalipun telah diperinci, manakala diketahui kekeliruan jarhnya tadi,
bahkan Adz Dzahabiy mengkritik si penjarh. Dan tidaklah dikatakan bahwasanya Adz
Dzahabiy men-tho’n ulama, tapi dikatakan: beliau membela orang yang di-jarh tanpa
alasan yang benar.

Ini juga Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬tidak menerima jarh Ibnul Jauziy terhadap Aflah, dan
beliau menghukumi Ibnul Jauziy telah taqlid pada Ibnu Hibban. Beliau ‫ رحمه هللا‬berkata:
“Aflah tersebut dikenal sebagai Al Quba’iy, dari Madinah, dari penduduk Quba, tsiqoh,
terkenal. Ditsiqohkan oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Sa’d. juga Ibnu Ma’in dan Nasa’iy
berkata: la ba’sa bih. Abu Hatim berkata: Syaikh sholihul hadits. Muslim meriwayatkan
untuknya di “Shohih” beliau. Ibnul Mubarok dan orang-orang yang setingkat dengan
beliau meriwayatkan darinya. Dan aku tidak melihat para mutaqoddimin mengkritiknya.
Hanya saja Al Uqoiliy berkata: Ibnu Mahdi tidak meriwayatkan darinya. Aku katakan: ini
bukan jarh. Dan Ibnu Hibban telah lalai sehingga menyebutkannya di thobaqoh yang
keempat dari para tsiqot. Ibnul Jauziy telah keliru dalam taqlidnya kepada Ibnu Hibban
dalam peletakan ini dengan kekeliruan yang parah.” (“Al Qoulul Musaddad Fid Difa’ ‘An
Musnad Ahmad/karya Ibnu Hajar/hal. 31).
113

Ini juga Al Imam Adz Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬tidak menerima pelemahan Al Hafizh Al
‘Uqoiliy ‫ رحمه هللا‬terhadap Ali Ibnul Madiniy. Beliau (Adz Dzahabiy) berkata dalam biografi
Ibnul Madiniy: “Dan telah nampak darinya ketergelinciran lalu dia bertobat dari itu. Ini
dia Abu Abdillah Al Bukhoriy –cukuplah engkau dengan beliau- telah memenuhi
“Shohih” beliau dengan hadits Ali Ibnul Madiniy. Dan Al Bukhoriy berkata: Tidaklah aku
menganggap kecil diriku di hadapan seorangpun kecuali di hadapan Ali Ibnul Madini.
Dan jika hadits Ali ditinggalkan, dan juga sahabatnya yaitu Muhammad, dan syaikhnya
yaitu Abdurrozzaq, Utsman bin Abi Syaibah, Ibrohim bin Sa’d, Affan, Aban Al ‘Aththor,
Isroil, Azhar As Samman, Bahz bin Asad, Tsabit Al Bunaniy, Jarir bin Abdil Hamid, niscaya
kita menutup pintu, terputuslah pembicaraan, matilah atsar-atsar, dan berkuasalah
zanadiqoh dan keluarlah dajjal.

Maka apakah engkau tak punya akal wahai Uqoiliy? Tahukah engkau siapa yang
engkau kritik itu? Kami hanyalah mengikutimu dalam menyebutkan golongan ini untuk
kami bela mereka, dan untuk kami lemahkan apa yang dikatakan tentang mereka.
Sepertinya engkau tidak tahu bahwsanya masing-masing dari mereka itu lebih tsiqoh
daripada dirimu beberapa tingkat, bahkan lebih tsiqoh daripada banyak sekali para
tsiqoh yang tidak engkau sebutkan dalam kitabmu. Maka ini adalah termasuk perkara
yang seorang muhaddits tidak ragu.

Dan aku jadi ingin agar engkau memberitahu diriku tentang siapakah tsiqoh
tsabat yang tidak pernah keliru dan tidak menyendiri dengan suatu riwayat yang tidak
ada pendukungnya? Bahkan tsiqoh hafizh itu jika menyendiri dengan hadits-hadits maka
itu lebih tinggi lagi untuknya, dan lebih sempurna derajatnya, dan lebih menunjukkan
perhatiannya pada ilmu atsar, dan pemantapan dirinya terhadap perkara-perkara yang
tidak mereka ketahui. Allohumma, kecuali jika jelas kekeliruannya dan kesalahannya
pada suatu riwayat, maka yang demikian itu diketahui.”

(selesai dari “Mizanul I’tidal”/3/hal. 140).

Ini dia Al Hafizh Ibnul Qoththon menghukumi Hisyam bin Urwah itu layyin
(lembek) dikarenakan adanya sedikit perubahan pada hapalan beliau. Maka Al Imam
Adz Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬membela Hisyam bin Urwah, beliau berkata: “Hisyam bin Urwah
adalah seorang tokoh ulama, hujjah, imam, akan tetapi ketika tua, hapalannya
berkurang, tapi tidak mengalami pencampuran sedikitpun. Dan tidak perlu dianggap apa
yang dikatakan oleh Abul Hasan Ibnul Qoththon bahwasanya beliau dan Suhail bin Abi
Sholih mengalami ikhtilath (pencampuran hapalan) dan perubahan. Iya, beliau sedikit
mengalami perubahan, dan hapalannya tidak seperti ketika masih muda, maka beliau
lupa beberapa yang dihapalnya atau keliru. Lalu apa? Apakah dia ma’shum dari lupa?

Ketika beliau tiba di Irak di akhir umurnya, beliau menyampaikan sejumlah besar
ilmu, di lipatan-lipatannya ada beberapa hadits yang tidak dihapalnya dengan baik. Dan
seperti ini terjadi juga pada Malik, Syu’bah, Waki’ dan para tokoh besar tsiqot. Maka
114

tinggalkanlah sembarangan menabrak, dan janganlah engkau campur para imam atsbat
dengan orang-orang lemah dan para pencampur. Maka Hisyam adalah Syaikhul Islam.
Akan tetapi semoga Alloh memperbagus hiburan kami tentang dirimu wahai Ibnul
Qoththon.”

(“Mizanul I’tidal”/4/hal. 302).

Manakala Al Jauzajaniy ‫ رحمه هللا‬melemahkan Aban bin Taghlab Ar Rib’iy dengan


sebab tasyayu’, Al Hafizh Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬membela Aban dengan berkata: “Adapun Al
Jauzajaniy maka tidaklah teranggap penjatuhannya terhadap orang-orang Kufah, karena
Tasyayu’ menurut kebiasaan mutaqoddimun adalah keyakinan bahwasanya Ali itu lebih
utama daripada Utsman, dan bahwasanya Ali itu benar dalam peperangannya, dan
bahwasanya yang menyelisihinya adalah salah, tapi mereka tetap mendahulukan dan
mengutamakan dua syaikh (Abu Bakr dan Umar). Dan terkadang sebagian dari mereka
berkeyakinan bahwasanya Ali itu makhluk yang paling utama setelah Rosululloh ‫صلى هلل‬
‫عليه وسلم‬. Dan jika orang yang berkeyakinan tadi adalah orang yang waro’, jujur,
mujtahid, maka riwayatnya tidak tertolak dengan sebab keyakinan tadi, terutama jika
dia itu bukan dai (penyeru pada kebid’ahannya). Adapun tasyayu’ dengan kebiasaan
orang-orang terakhir maka dia itu adalah Rofidhiyyah yang murni, maka tidaklah
diterima riwayat Rofidhiy yang ghuluw, dan tiada kemuliaan untuknya.” (“Tahdzibut
Tahdzib”/1/hal. 81).

Kesimpulannya: yang terpandang adalah hujjah dan burhan dalam menjarh,


bukan sekedar dia itu terperinci ataukah teman sejawat dari si penjarh (selevel).
Al Imam Muhammad Ash Shon’aniy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka yang lebih pantas
adalah menggantungkan perkara tadi (yaitu ditolaknya jarh teman sejawat) pada orang
yang diketahui bahwasanya di antara mereka berdua ada persaingan atau saling dengki
atau perkara yang menjadi sebab tidak dipercayanya perkataan satu sama lain, bukan
karena dia itu adalah teman sejawatnya, karena tidaklah mengetahui kelurusan agama
seseorang ataupun kekurangannya kecuali teman sejawatnya.” (“Tsamrotun
Nazhor”/hal. 130/Darul ‘Ashimah).

Maka yang perlu diperhitungkan adalah perkataan yang disertai oleh bayyinah
dan burhan. Al Imam Ibnu Abdil Bar ‫ رحمه هللا‬berkata: “Yang benar dalam bab ini adalah
bahwasanya barangsiapa telah sah ‘adalahnya (kelurusan agamanya) dan telah pasti
pengetahuan tentang keimamannya, serta telah jelas tsiqohnya, dan perhatiannya pada
ilmu, maka ucapan seseorang tentang dirinya tidak perlu diperhatikan kecuali jika
dalam jarhnya tadi dia mendatangkan bayyinah yang lurus, yang dengannya suatu
jarh itu menjadi sah, dengan jalan adanya persaksian-persaksian, dan pengamalan
terhadap penglihatan yang mengharuskan adanya pembenaran terhadap apa yang
diucapkannya karena yang mengucapkannya bersih dari dendam, dengki,
permusuhan dan persaingan, dan selamatnya dirinya dari itu semua. Maka hal itu
115

semua mengharuskan diterimanya ucapannya dari sisi fiqh dan penelitian.” (“Jami’
Bayanil ‘Ilm”/2/hal. 152/Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Al ‘Allamah Muhammad Al Laknawiy ‫ رحمه هللا‬: “Mereka terang-terangan


bahwasanya ucapan seseorang terhadap orang yang sezaman itu tidak diterima. Hal itu
sebagaimana telah kami isyaratkan harus dikaitkan dengan apabila perkataan tadi
tidak disertai dengan burhan dan hujjah, dan dibangun di atas fanatisme dan
kebencian. Jika tidak ada faktor ini ataupun itu maka perkataannya diterima tanpa ada
kekaburan. Hapalkanlah ini karena penjelasan ini termasuk perkara yang bermanfaat
bagimu di dunia dan akhirat.” (“Ar Rof’u Wat Takmil”/hal. 431/Fi bayani hukmil Jarh
Ghoirol Bari/Maktabatul Mathbu’atil islamiyyah).

Bahkan Al Imam Adz Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬telah berkata: “… para ulama tidak
berpaling kepada yang seperti ini kecuali jika disertai penjelasan dan hujjah, dan
‘adalah mereka tidak jatuh kecuali dengan burhan yang kokoh dan hujjah,…” dst.
(“Siyar A’lamin Nubala”/7/hal. 40/tarjumah Ibnu Ishaq/muassasatur Risalah).

Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬yang mana mereka sering menisbatkan diri kepada
beliau, dan berulangkali bersembunyi di balik tulang belakang beliau. Beliau ‫رحمه هللا‬
berkata: “Wahai kamu, apakah ucapan teman sejawat itu tak bisa diterima? Aku
bertanya kepada kalian wahai ikhwan: apakah ucapan teman sejawat itu tak bisa
diterima?" (Kemudian Syaikh -rahimahulloh- bertanya kepada sebagian thalib:) " apakah
ucapan teman sejawat itu sebatas yang telah kalian baca, dan di dalam kitab tarjumah
(biografi) dan tarikh (sejarah) diterima ataukah tak diterima?" dia menjawab,"Ucapan
teman sejawat jika nampak didasari oleh permusuhan dan hasad itu tak bisa
diterima." Beliau berkata,"Shohih" Dia melanjutkan,"Adapun jika dia itu sebagai
nasihat dan menjelaskan hakikat urusannya dia dan penyimpangannya, maka orang
yang paling tahu tentang seseorang adalah teman sejawatnya." Beliau
berkata,"Shohih" Dia berkata lagi,"Kaidah ini –jarhul aqron- tidaklah dilipat dan tidak
diriwayatkan secara mutlak."

Syaikh Al Wadi`iy berkata lagi,"Iya –wahai ikhwan-, teman sejawat adalah orang
yang paling tahu tentang dirimu daripada yang lain, maka harus didahulukan. Apa arti
ucapan mereka –ahlul hadits-:"Fulan adalah orang yang paling tahu tentang penduduk
negerinya."? "Fulan adalah orang yang paling tahu tentang penduduk Mesir"? "Fulan
adalah orang yang paling tahu tentang penduduk Syam"? Iya. Jika diketahui bahwasanya
di antara keduanya ada persaingan dan permusuhan keduniaan, maka tidak diterima.
Adapun jika dia mencela sejawatnya dan berkata,"Pendusta" padahal tiada permusuhan
di antara mereka, maka ucapan teman sejawat terhadap sejawatnya itu paling mantap
dan besar, karena dia yang paling tahu tentang keadaannya." (“As'ilah Holandiyyah”/
23/Robi'ul Awwal/1420 H).
116

Dan termasuk yang aneh adalah bahwasanya Mar’iyyin Luqmaniyyin dulu –dan
sampai sekarang- tidak menerima jarh mufassar dari para ulama sunnah terhadap dua
anak Mar’iy, tapi manakala sebagian masyayikh mengkritik Asy Syaikh Yahya ‫– حفظه هللا‬
dengan batil- merekapun menerimanya dengan alasan bahwasanya itu adalah jarh
mufassar!

Faidah:

Al Imam Abu Zur’ah Al ‘Iroqiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan diperkecualikan dari itu –
dari didahulukannya jarh di atas ta’dil- dua gambaran: yang pertama: jika si pen-jarh
menentukan sebab jarh tadi, tapi si penta’dil meniadakannya dengan cara yang
terpandang. Misalnya: si pen-jarh berkata: “Dia membunuh si fulan secara zholim pada
hari demikian.” Tapi si pen-ta’dil berkata: “Aku lihat orang tadi masih hidup setelah itu.”
Atau berkata: “Si pembunuh pada saat itu ada di sampingku.” Karena sesungguhnya
kedua penjelasan tadi bertentangan. Yang kedua: jika si pen-jarh menentukan sebab
jarh, tapi si pen-ta’dil menjawab: “Dia sudah bertobat dari itu, dan bagus tobatnya.”
Maka ta’dilnya didahulukan karena di sini si penta’dil punya tambahan ilmu,
sebagaimana disebutkan oleh Ar Rofi’iy dari sekelompok ulama, di antara mereka
adalah Ibnush Shobbagh. Dan Ar Rofi’iy dalam kitab “Al Muharror” memastikan itu.
Begitu pula An Nawawiy dalam “Al Minhaj.” (selesai dari “Al Ghoitsul Hami’”/2/hal.
542/cet. Al Faruq).
117

Bab Delapan Belas: Apakah ‘Ishmah Nabi ‫صلى هللا عليه وسلم‬
Mengharuskan Tidak Terjadinya Kesalahan Sama Sekali? Dan
Apakah Seluruh Sunnah Beliau Adalah Wahyu?

Termasuk dari perusakan citra yang dilakukan oleh orang-orang fajir tadi
terhadap syaikh kami Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬adalah: bahwasanya Asy Syaikh Yahya
mengatakan bahwasanya Nabi ‫ صى هللا عىيه وسىم‬keliru dalam sebagian sarana dakwah,
dan bahwasanya sebagian sunnah itu wahyu, sementara sebagian yang lainnya bukan
wahyu.

Doktor Abdulloh bin Abdurrohim Al Bukhoriy berkata tentang Asy Syaikh


Yahya ‫حفظه هللا‬: “Dan termasuk dari kesesatan dia adalah dakwaannya dan
kejahatannya terhadap kedudukan kenabian, dan bahwasanya Nabi ‫عىيه الصالة والسالم‬
itu keliru dalam sarana dakwah.”

Maka jawaban terhadap tuduhan tadi adalah sebagai berikut:

Telah datang dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya Nabi ‫صى هللا عىيه وسىم‬
boleh bagi beliau untuk berijtihad dalam perkara yang tidak turun tentangnya wahyu.
Al Imam Abu Ishaq Asy Syairoziy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dulu Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬itu boleh
untuk berijtihad dalam kejadia-kejadian, dan menetapkan hukum di situ dengan ijtihad.
Dan begitu pula seluruh Nabi ‫عليهم السالم‬.

Di antara teman kami ada yang berkata: “Nabi tidak boleh berijtihad.” Dan
begitulah pendapat sebagian mu’tazilah.

Dan kami punya dalil –tentang bolehnya Nabi berijtihad- dengan firman Alloh ‫عز‬
‫وجل‬:

﴾‫﴿لتحكم بني الناس بًم أراك اهلل‬

“Agar engkau menghukumi di antara manusia dengan apa yang Alloh perlihatkan
padamu.”

Dan Alloh tidak membedakan antara apa yang Alloh perlihatkan pada beliau
dengan nash ataukah dengan ijtihad.

Dan juga dikarenakan Dawud dan Sulaiman ‫ عليهما السالم‬memberikan hukum


dengan ijtihad mereka, dan Alloh ‫ عز وجل‬tidak mengingkari mereka. Maka ini
menunjukkan bolehnya Nabi untuk berijtihad.
118

Dan karena qiyas itu adalah dalil dari Alloh ‫ عز وجل‬dalam hukum-hukum, maka
boleh bagi Rosul-Nya ‫ صلى هللا عليه وسلم‬untuk mengambil faidah hukum dari arah qiyas,
seperti Al Kitab. Dan dikarenakan qiyas itu adalah istinbath (mengambil faidah) makna
asal (kasus yang sudah ada hukumnya), dan mengembalikan cabangnya (kasus yang
belum punya hukum) kepada asal tadi. Dan Nabi ‫ عليه السالم‬lebih mengetahui dengan
perkara yang demikian itu daripada yang lain, maka beliau lebih pantas untuk
menjalankan qiyas tadi.

Dan juga karena Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬jika membaca ayat, dan beliau mengetahui
dari ayat tadi hukum dan ‘illah (motif) dari hukum tadi, maka tidak kosong dari: apakah
beliau meyakini apa yang dituntut oleh ‘illahnya, atau beliau tidak meyakini itu. Jika
beliau meyakini tadi, berarti beliau beramal dengan ijtihad dan jadilah kepada apa yang
kami katakan tadi (Nabi boleh berijtihad). Tapi jika beliau tidak meyakini tadi, jadilah
beliau keliru, dan yang demikian itu ditiadakan dari beliau.

Dan karena ijtihad itu adalah posisi untuk menaikkan kedudukan-kedudukan dan
tambahan derajat-derajat. Dan orang yang paling berhak untuk itu adalah Rosululloh
‫ صلى هللا عليه وسلم‬, maka beliau harus punya hak andil di situ.

Dan mereka (kelompok yang menyatakan tidak bolehnya bagi Nabi untuk
berijtihad) berhujjah dengan firman Alloh ta’ala:

﴾‫﴿وما ينطق عن اهلوى إن هو إَل وحي يوحى‬

“Dan tidaklah beliau berkata dari hawa nafsunya, tidaklah itu kecuali wahyu yang
diwahyukan.”

Maka ini menunjukkan bahwasanya tidaklah beliau menghukumi kecuali berdasarkan


wahyu.

Jawab kami (Asy Syairoziy) adalah: bahwasanya hukum dengan menggunakan


ijtihad itu adalah hukum berdasarkan wahyu, bukan berdasarkan hawa nafsu, karena
hawa nafsu itu adalah apa yang diinginkan oleh nafsu dan disukai nafsu tanpa memakai
dalil. Maka kami telah berbicara dengan tuntutan dari ayat tadi.”

(selesai dari “At Tabshiroh”/hal. 521-522).

Maka apabila boleh bagi Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬untuk berijtihad dalam perkara
yang tidak turun pada beliau wahyu tentang itu, maka bisa saja beliau mengalami suatu
kekeliruan. Dan ‘ishmah (keterjagaan) itu tidak mengharuskan tidak terjadinya
kesalahan sama sekali, hanya saja maknanya adalah: bahwasanya beliau terjaga dari
dosa-dosa besar. Dan jika terjatuh dalam dosa kecil atau keliru dalam ijtihad, Alloh tidak
mengikrarkannya (tidak menyetujuinya dan tidak mendiamkannya), bahkan Alloh
119

menurunkan pada beliau wahyu untuk memperbaiki kekeliruan tadi, dan sebagainya,
sebagaimana akan datang penjelasan para imam tentang hal itu.

Alloh ta’ala berfirman:

َ ‫اء ُه ْاألَ ْع َمى * َو َما ُيدْ ِر‬


* ‫يك لَ َعل ُه َيزكى * َأ ْو َيذك ُر َف َتنْ َف َع ُه الذك َْرى * َأما َم ِن ْاس َت ْغنَى‬ َ ‫﴿ َع َب َس َوت ََول * َأ ْن َج‬
َ ‫َي َشى * َف َأن‬
‫ْت َعنْ ُه َت َلهى * كَال إِهنَا‬ َ ‫ك َأَل َيزكى * َو َأما َم ْن َج‬
ْ َ ‫اء َك َي ْس َعى * َو ُه َو‬ َ ‫َف َأن‬
َ ‫ْت َل ُه ت ََصدى * َو َما َع َل ْي‬
.]44 - 4 :‫ت َْذكِ َرة﴾ [عبس‬

“Dia bermuka masam dan berpaling karena datang kepadanya. Tahukah engkau
barangkali dia hendak membersihkan diri (dari dosa), atau dia ingin mendapatkan
pengajaran sehingga peringatan itu bermanfaat baginya? Adapun orang yang tidak
merasa perlu, maka engkau menghadapkan diri padanya, padahal tidak ada celaan
terhadapmu jika dia tidak mau membersihkan diri. Adapun orang yang datang
padamu dengan bergegas dalam keadaan dia takut (pada Alloh) maka engkau
mengabaikannya. Sekali-kali jangan demikian, sesungguhnya pengajaran dari
Robbmu adalah peringatan.”

Dan Alloh ‫ جل ذكره‬berfirman:


ِ ِ َ َ‫ْت َُهلم حتى ي َتبني ل‬ ِ
َ ِ‫ين َصدَ ُقوا َو َت ْع َل َم ا ْلكَاذب‬
.]12 :‫ني﴾ [التوبة‬ َ ‫ك الذ‬ َ َ َ َ ْ َ ‫ْك ِمل َ َأذن‬
َ ‫﴿ َع َفا اهلل َعن‬

“Semoga Alloh memaafkanmu, kenapa engkau memberi idzin pada mereka (para
munafiqin) sampai jelas bagimu orang-orang yang jujur dan sampai engkau tahu
orang-orang yang dusta.”

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan Alloh telah mengkritik Rosul-Nya
‫ صلى هللا عليه وسلم‬karena beliau bersabda pada sebagian orang ahli kitab yang menanyai
beliau tentang beberapa perkara: “Besok aku akan mengabari kalian.” Dan beliau tidak
bersabda: “Insya Alloh” maka tertahanlah wahyu dari beliau selama sebulan, lalu
turunlah pada beliau:

.﴾‫﴿وَل تقولن ليشء إين فاعل ذلك غدا إَل أن يشاء اهلل واذكر ربك إذا نسيت‬

“Dan janganlah engkau sekali-kali berkata tentang sesuatu: “Sungguh aku akan
melakukan hal itu besok” kecuali engkau mengatakan: “Kecuali jika dikehendaki
Alloh.” Dan ingatlah Robbmu jika engkau lupa.”

(“I’lamul Muwaqqi’in”/4/hal. 75).


120

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬ditanya tentang seseorang yang berkata: “Sesungguhnya


para Nabi ‫ عليهم الصالة والسالم‬itu ma’shum dari dosa-dosa besar, bukan dosa-dosa kecil.”
Maka ada orang yang mengkafirkannya dengan sebab ucapan ini. Maka apakah orang
yang mengucapkan tadi itu keliru ataukah benar? Dan apakah satu orang dari mereka
ada yang berpendapat tentang kema’shuman para Nabi secara mutlak?”

Maka beliau ‫ رحمه هللا‬menjawab: “Alhamdulillah robbil ‘alamin. Dengan


kesepakatan ahli agama, orang tadi tidak kafir. Dan bukan pula ini termasuk dari
masalah-masalah cercaan yang diperselisihkan bahwasanya orang yang
mengucapkannya itu dituntut untuk tobat dari ucapan tadi. Tanpa ada perselisihan,
sebagaimana terang-terangan menjelaskan itu Al Qodhi ‘Iyadh dan yang semisal dengan
beliau, padahal mereka itu keras sekali berpendapat tentang kema’shuman para Nabi
dan hukuman bagi orang yang mencerca Nabi. Bersamaan dengan itu mereka
bersepakat bahwasanya ucapan macam tadi bukan termasuk dari masalah-masalah
cercaan dan hukuman, lebih-lebih untuk si pengucapnya menjadi kafir atau fasiq. Ini
dikarenakan bahwasanya pendapat bahwasanya para Nabi terjaga dari dosa-dosa besar
dan bukan dosa-dosa kecilnya adalah ucapan mayoritas ulama Islam dan seluruh
kelompok, sampai bahkan itu adalah ucapan kebanyakan ahli kalam, sebagaimana
disebutkan oleh Abul Hasan Al Amidiy: bahwasanya itu adalah pendapat mayoritas
Asy’ariyyah. Dan itu juga pendapat mayoritas ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih.
Bahkan tidak dinukilkan dari Salaf, para imam, Shohabat dan Tabi’in dan para
pengikut mereka kecuali ucapan yang mencocoki pendapat ini.”

–sampai pada ucapan beliau:- “Hanyalah ucapan ini (kema’shuman yang mutlak)
pada zaman terdahulu dating dari Rofidhoh, kemudian dari sebagian Mu’tazilah,
kemudian sekelompok dari generasi belakangan mencocoki mereka.

Hampir semua yang dinukilkan dari mayoritas ulama adalah bahwasanya mereka
(para Nabi) itu tidak terjaga dari menyetujui dosa-dosa kecil, dan tidak pula mereka
didiamkan oleh Alloh terdosa kecil mereka. Dan para ulama tadi tidak berkata:
“Bahwasanya dosa kecil itu tidak terjadi sama sekali.”

Dan yang pertama kali kelompok dari umat ini yang dinukilkan dari mereka
pendapat ishmah secara mutlak, dan yang paling besar mengucapkan itu adalah
Rofidhoh, karena mereka itu berpendapat ishmah (keterjagaan) sampai terhadap
perkara yang terjadi karena lupa dan ta’wil.” –sampai pada ucapan beliau:-

“Maka barangsiapa mengkafirkan orang-orang yang berpendapat tentang


mungkinnya dosa kecil terhadap para Nabi itu, maka berarti dia menyerupai orang-
orang Isma’iliyyah, Nushoiriyyah, Rofidhoh dan Itsna ‘Asyariyyah tadi. Pengkafiran tadi
bukanlah pendapat seorangpun dari para pengikut Abu Hanifah, ataupun Malik,
ataupun Asy Syafi’iy , … dst.”
121

(“Majmu’ul Fatawa”/4/hal. 319-320/cet. Maktabah Ibnu Taimiyyah).

Ibnu Hazm ‫ رحمه هللا‬berkata: “Jika ada seorang pembantah membantah dengan
menyebutkan perbuatan Nabi ‫ عليه السالم‬dalam mengambil tebusan, lalu turunlah kritikan
pada beliau atas perbuatan beliau tadi ayat yang turun tersebut, maka jawab kami
adalah: bahwasanya kami tidak mengingkari bahwasanya Nabi ‫ عليه السالم‬itu bisa saja
melakukan suatu perkara yang tidak didahului oleh larangan dari Robbnya ta’ala, hanya
saja beliau tidak dibiarkan dengan perbuatan tadi, bahkan pastilah Alloh akan
mengingatkan beliau atas perbuatan tadi.

Adapun adanya kekeliruan dari Nabi ‫ صى هللا عىيه وسىم‬dalam keadaan beliau
bermaksud berbuat baik dengan perbuatan tadi, maka kami tidak mengingkari
terjadinya itu, hanya saja beliau tidak akan dibiarkan dengan kekeliruan tadi sama
sekali, dan ini tidak boleh terjadi pada pensyariatan syariat ataupun dalam pewajiban
atau pengharoman. Hanya saja kesalahan tadi terjadi pada perkara yang nilainya adalah
boleh untuknya karena sebelum itu memang tidak dilarang, akan tetapi seperti
perlakuan beliau terhadap Ibnu Ummi Maktum ketika turun ayat:

.[7 :‫﴿عبس وتول﴾ ]سورة عبس‬

“Dia bermuka masam dan berpaling.”

(selesai dari “Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam”/2/hal. 407).

As Sarkhosiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan dalil tentang kaidah ini adalah apa yang
diriwayatkan oleh Khoulah ‫ رضي هللا عنها‬ketika datang pada beliau menanyai beliau
tentang zhihar yang diucapkan oleh suaminya, maka beliau menjawab: “Aku tidak
berpendapat tentangmu kecuali bahwasanya engkau telah harom untuk suamimu.”
Maka dia berkata: “Saya mengeluh pada Alloh.” Maka Alloh ta’ala menurunkan:

‫﴿قد سمع اهلل قول التي جتادلك﴾ اآلية‬

“Sungguh Alloh telah mendengar ucapan wanita yang mendebatmu” sampai akhir
ayat.

Maka tahulah kami bahwasanya beliau terkadang berfatwa dengan ro’yu dalam
hukum-hukum syariat, tapi beliau tidak dibiarkan di atas kesalahan. Dan ini
dikarenakan kita diperintahkan untuk mengikuti beliau. Alloh ta’ala berfirman:

﴾‫﴿وما آتاكم الرسول فخذوه‬

“Dan apapun yang dibawa kepada kalian oleh Rosul maka ambillah dia.”
122

Dan ketika beliau menjelaskan dengan ro’yu dan diiqrorkan


(dibiarkan/disetujui), jadilah mengikuti hal itu adalah kewajiban bagi kita, tiada
tempat menghindar, maka tahulah kita bahwasanya yang demikian itu adalah
kebenaran yang teryakini (pasti). Dan yang semisal itu tidak didapatkan pada umat ini
(pengikut beliau). Maka seorang mujtahid itu terkadang keliru dan dibiarkan di atas
kekeliruannya. Oleh karena itulah makanya ro’yu orang selain Nabi itu tidak mewajibkan
adanya ilmu yakin, dan tidak pula pantas untuk hukum itu dipancangkan dengan ro’yu
selain Nabi pada permulaannya, bahkan hukum tadi harus merupakan kepanjangan dari
hukum nash yang sampai kepada perkara yang belum dinashkan.

Dan dalil tentang itu adalah bahwasanya telah pasti berita dengan nash
bahwasanya beliau pernah beramal dengan ro’yu di dalam perkara yang beliau belum
disetujui di situ, dan terkadang beliau dikritik karenanya, dan terkadang beliau tidak
dikritik. Maka termasuk dari perkara yang beliau dikritik di situ adalah apa yang
diisyaratkan pada firman Alloh ta’ala:

﴾‫﴿عفا اهلل عنك مل أذنت هلم‬

“Semoga Alloh memaafkanmu, kenapa engkau memberi idzin pada mereka”

Dan dalam firman-Nya ta’ala:

﴾‫﴿عبس وتول أن جاءه األعمى‬

“Dia bermuka masam dan berpaling”

Dan termasuk dari perkara yang beliau tidak dikritik tentangnya adalah apa yang
diriwayatkan bahwasanya manakala beliau masuk ke rumah beliau dan meletakkan
senjata ketika usai dari perang Ahzab, Jibril ‫ عليه السالم‬mendatangi beliau dan berkata:
“Engkau telah meletakkan senjata sementara para malaikat belum meletakkan
senjata.” Lalu Jibril memerintahkan beliau untuk pergi ke Bani Quroizhoh.

Dan termasuk dari itu adalah bahwasanya beliau memerintahkan Abu Bakr ‫رضي‬
‫ هللا عنه‬untuk menyampaikan surat Baroah kepada musyrikin pada tahun yang di situ
beliau memerintahkan Abu Bakr untuk memimpin orang-orang berhaji. Lalu beliau
didatangi oleh Jibril ‫ عليه السالم‬seraya berkata: “Jangan menyampaikan Baroah tadi
kepada mereka kecuali orang dari nasabmu.” Maka beliau mengutus Ali bin Abi Tholib
‫ رضي هللا عنه‬menyusul Abu Bakr agar dialah yang menjadi penyampai surat tadi kepada
mereka. Dan kisah tentang itu telah dikenal.

Maka dengan ini menjadi jelaslah bahwasanya dulu Nabi juga beramal dengan
ro’yu. Dan beliau itu tidak diiqrorkan kecuali pada perkara yang benar. Oleh karena itu
123

maka tidak boleh menyelisihi beliau dalam perkara yang beliau tetapkan, karena beliau
itu ketika diiqrorkan akan apa yang beliau tetapkan, maka terbentuklah keyakinan (atau
kepastian) bahwasanya kebenaran itu ada di situ, sehingga tidak boleh bagi seorangpun
untuk menyelisihi beliau dalam perkara itu.

Adapun firman Alloh ta’ala:

﴾‫﴿وما ينطق عن اهلوى‬

“Dan tidaklah beliau berkata dari hawa nafsunya”

Telah dijawab bahwasanya ini dalam perkara yang dibacakan pada beliau dari Al
Qur’an dengan dalil awal surat firman-Nya ta’ala:

﴾‫﴿والنجم إذا هوى‬

“Demi bintang apabila jatuh.”

Yaitu: demi Al Qur’an jika diturunkan.

Dikatakan juga: yang dimaksudkan dengan hawa adalah hawa nafsu, yang
memerintahkan pada kejelekan. Dan tidak boleh Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬mengikuti
hawa nafsu atau berbicara dengan itu. Akan tetapi metode istinbath dan ro’yu itu
bukanlah hawa nafsu. Dan ini juga ta’wil dari firman Alloh ta’ala:

﴾‫﴿قل ما يكون ل أن أبدله من تلقاء نفيس‬

“Katakanlah: aku tidak punya hak untuk mengganti wahyu itu dari diriku sendiri.”

Kemudian dalam firman-Nya:

﴾‫﴿إن أتبع إَل ما يوحى إل‬

“Tidaklah aku mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”

Itu semua menerangkan seluruh apa yang kami katakan, dikarenakan mengikuti wahyu
itu hanyalah sempurna dalam mengamalkan perkara yang di situ ada wahyu
tentangnya, dan istinbath makna yang ada di dalamnya untuk menetapkan hukum pada
kasus yang semisal dengannya, dan itu adalah terjadi dengan ro’yu.
124

Kemudian telah kami jelaskan bahwasanya beliau tidak diiqrorkan kecuali pada
perkara yang benar. Jika beliau diiqrorkan dalam perkara tadi maka dia adalah masuk ke
dalam makna wahyu, dan dia menyerupai wahyu dalam permulaan hukum, berdasarkan
apa yang kami jelaskan. Hanya saja kami syaratkan dalam masalah itu bahwasanya ro’yu
itu dipakai ketika keinginan untuk mendapatkan jawaban dari wahyu itu sudah habis,
dan itu seperti apa yang disyaratkan pada umat ini dalam beramal dengan ro’yu,
hendaknya dia memaparkannya pada Al Kitab dan As Sunnah. Jika tidak didapatkan
penjelasannya dari situ, maka ketika itulah mereka boleh berijtihad dengan ro’yu.”

(selesai dari “Ushulus Sarkhosiy”/2/hal. 95-96).

Maka yang benar adalah bahwasanya sunnah itu sebagiannya adalah wahyu,
dan sebagiannya adalah ijtihad Nabi yang mana jika ijtihad tadi benar, maka Alloh
menyetujuinya, tapi jika keliru, maka Alloh menurunkan perbaikannya agar menjadi
benar.

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Ibnu Baththoh berkata dalam risalah yang beliau
tuliskan kepada Ibnu Syaqila dalam jawaban-jawaban beliau terhadap masalah-masalah,
beliau berkata: “Dan dalil yang menunjukkan bahwasanya sunnah beliau dan perintah-
perintah beliau di dalamnya ada yang tanpa wahyu dan bahwasanya itu adalah
dengan ro’yu beliau dan pilihan beliau, adalah bahwasanya beliau itu dikritik terhadap
sebagian sunnah beliau. Andaikata sunnah yang tadi adalah perintah dari Alloh,
niscaya Alloh tidak mengkritik beliau dalam sunnah tersebut.

Dan termasuk dari kejadian tersebut adalah masalah tawanan Badr dan
pengambilan tebusan, dan izin beliau pada perang Tabuk untuk orang-orang yang tidak
ikut perang dengan udzur, sampai bahkan orang yang tak punya udzur pun ikut
tertinggal.

Dan di antara dalilnya adalah firman Alloh:

﴾‫﴿وشاورهم يف األمر‬

“Dan ajaklah mereka bermusyawarah dalam perkara.”

Andaikata sunnah itu adalah wahyu, niscaya beliau tidak mengajak musyawarah
dalam perkara itu.”

Al Qodhi berkata: “Dan Ahmad telah mengisyaratkan pada benarnya apa yang
dikatakan oleh Abu Abdillah Ibnu Baththoh dalam riwayat Al Maimuniy ketika dikatakan
pada beliau: di sini ada suatu kaum yang berkata: apa yang ada di dalam Al Qur’an kami
berpendapat dengannya. Beliau menjawab: apakah di dalam Al Qur’an ada
pengharoman keledai jinak? Dan Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:
125

»‫«أَل أين أوتيت الكتاب ومثله معه‬

“Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al Kitab dan yang semisal dengannya


bersamanya.”

Apa yang mereka ketahui tentang apa yang diberikan pada beliau?

Adapun Abu Hafsh Al Ukbariy maka beliau menyebutkan pada bab tas’ir (pengendalian
harga) sabda Nabi:

»‫«َل يسألني اهلل عن سنة أحدثتها فيكم مل يأمرين اهلل ِبا‬

“Jangan sampai Alloh menanyaiku tentang suatu sunnah yang aku adakan pada
kalian yang Alloh tidak memerintahkan aku dengannya.”

Beliau berkata: “Ini menunjukkan bahwasanya setiap sunnah yang disunnah oleh
Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬untuk umatnya, maka itu adalah dengan perintah Alloh. Dan
dengan inilah Al Qur’an berbicara.”

Aku (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) katakan: ucapan Ahmad jika menunjukkan
pada sesuatu, maka tidaklah dia menunjukkan kecuali pada pendapat yang kedua,
karena beliau berdalilkan dengan sabda Nabi: “Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al
Kitab dan yang semisal dengannya bersamanya.” Dan yang diberikan pada beliau
adalah sunnah. Maka tidak ada di sisi Ahmad sedikitpun yang dari hasil ijtihad di situ.
Hanyalah ijtihad beliau itu pada perkara-perkara parsial dari ucapan atau perbuatan
dari bab realisasi ‘illah (motif suatu hukum), dan ini tidak ada perselisihan di dalamnya.
Dan kisah Dawud adalah masuk dalam bab ini. Dan wajib untuk membedakan antara
hukum-hukum yang bersifat menyeluruh dan umum dengan hukum-hukum pribadi
yang khusus.”

(selesai dari “Al Musawwadah”/hal. 452-453).

Asy Syathibiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Karena sesungguhnya hadits itu bisa jadi berupa
wahyu murni dari Alloh, dan bisa jadi adalah ijtihad dari Rosul ‫ عىيه السالم والسالم‬yang
terpandang dengan wahyu yang shohih dari Kitab atau Sunnah. Dan berdasarkan
kedua kemungkinan, tidak mungkin di dalamnya terjadi kontradiksi dengan Kitabulloh,
karena beliau ‫ عليه الصالة والسالم‬tidak berbicara dari hawa nafsu beliau, itu tidak lain
adalah wahyu yang diwahyukan.” (“Al Muwafaqot”/4/hal. 21).
Ibnun Najjar Al Hanbaliy ‫ رحمه هللا‬berkata tentang bolehnya ijtihad untuk Nabi
‫ صلى هللا عليه وسلم‬: “Dan didalilkan untuk pendapat yang benar, yaitu bolehnya beliau
berijtihad dan itu memang terjadi, bahwasanya hal itu tidak mengharuskan terjadinya
perkara yang mustahil, dan bahwasanya pada asalnya adalah beliau itu bersekutu
126

dengan umat beliau (dalam hukum syariat). Dan didalilkan juga dengan lahiriyyah dari
firman Alloh ta’ala:
ِ ‫ول ْاألَ ْب َص‬
ِ ‫َِبوا َيا ُأ‬
.]1 :‫ار﴾ [احلرش‬ ُ ِ ‫اعت‬
ْ ‫﴿ َف‬

"Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang punya mata."

Dan firman Alloh ta’ala:

﴾‫﴿وشاورهم يف األمر‬

“Dan ajaklah mereka bermusyawarah dalam perkara.”

Dan jalan musyawaroh adalah ijtihad. Dan di dalam Shohih Muslim: bahwasanya
beliau bermusyaawaroh tentang tawanan Badar, maka Abu Bakr mengisyaratkan untuk
mengambil tebusan, sementara Umar mengisyaratkan agar tawanan dibunuh saja. Lalu
pada keesokan harinya Umar datang dalam keadaan Nabi dan Abu Bakr menangis. Dan
Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:

»‫«أبكي للذي عرض عيل أصحابك من أخذهم الفداء‬

“Aku menangis karena perkara yang disodorkan padaku oleh para sahabatmu untuk
mengambil tebusan.”

Dan Alloh ‫ سبحانه وعاالى‬menurunkan:

﴾‫﴿ما كان لنبي أن يكون له أرسى حتى يثخن يف األرض‬

“Dan tidaklah pantas untuk Nabi itu memiliki tawanan sampai dirinya menaklukkan
di bumi.”

Dan juga:

﴾‫﴿عفا اهلل عنك مل أذنت هلم‬

“Semoga Alloh memaafkanmu, kenapa engkau memberi idzin pada mereka”

Ibnu Aqil berkata dalam “Al Funun”: “Itu adalah termasuk dalil kerosulan yang
terbesar, karena andaikata ayat-ayat tadi dari sisi beliau, niscaya beliau menutupi diri
beliau, atau membenarkannya untuk kemaslahatan yang beliau dakwakan. Dan di
dalam “Shohihain”:
127

»‫«لو استقبلت من أمري ما استدبرت ملا سقت اهلدي‬

“Seandainya aku masih dipanjangkan umurku (bisa berhaji tahun depan), niscaya aku
tidak akan menggiring hadyu (ternak sembelihan untuk haji atau umroh).”

Hanyalah itu terjadi dalam perkara yang tidak diwahyukan pada beliau
didalamnya. Dan didalilkan dengan bahwasanya Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬ketika ingin turun
di Badr sebelum mata air, Al Hubab ibnul Mundzir berkata pada beliau: “Jika ini adalah
dengan wahyu, maka iya. Tapi jika itu adalah berupa ro’yu dan untuk tipu muslihat,
maka turunlah Anda dengan orang-orang di mata air agar Anda bisa menghalangi
musuh dari mata air.” Maka beliau bersabda:

»‫ إنًم هو رأي واجتهاد رأيته‬، ‫«ليس بوحي‬

“Ini bukan dengan wahyu, ini tadi adalah ro’yu dan ijtihad yang aku pandang.”

Dan beliau rujuk pada ucapan Al Hubab. Dan begitu pula beliau rujuk pada pendapat
Sa’d bin Mu’adz dan Sa’d bin Ubadah ketika beliau ingin perdamaian di perang Ahzab
dengan memberikan setengah panen kurma Madinah, padahal beliau telah menulis
beberapa surat dengan itu. Dan keduanya berkata pada beliau: “Jika itu adalah dengan
wahyu maka kami mendengar dan taat. Tapi jika itu adalah dengan ijtihad, maka ini
bukanlah ro’yu yang bagus.”

Dan didalilkan juga dengan dalil-dalil yang lain, maka itu semua menunjukkan
bahwasanya beliau juga beribadah dengan ijtihad. Dan berdasarkan pendapat yang
membolehkan bagi beliau ‫ صلى هللا عليه وسلم‬untuk berijtihad dan memang telah terjadi
dari beliau, beliau tidak dibiarkan di atas kekeliruan, secara ijma’. Dan ini menunjukkan
tentang mungkin saja terjadi kesalahan, akan tetapi beliau tidak dibiarkan di atas
kekeliruan tadi. Dan ini dipilih oleh Ibnul Hajib, Al Amidiy, dan dinukilkan dari mayoritas
pengikut Asy Syafi’iy, Hanabilah dan ahli hadits.”

(selesai dari “Syarhul Kaukabil Munir”/ha. 568-569/Darul Kutubil Ilmiyyah).

Ibnul Hajib ‫ رحمه هللا‬berkata: “Mayoritas ulama berpendapat bahwasanya secara


akal, para Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬itu tidak mustahil mengalami perbuatan maksiat.
Rofidhoh menyelisihi pendapat ini. Mu’tazilah juga menyelisihi ini kecuali dosa-dosa
kecil. Patokan mereka adalah: bahwasanya mereka menganggap hal itu adalah buruk,
dengan semata-mata akal. Telah terbentuk ijma’ bahwasanya mereka setelah menjadi
Rosul terjaga dari kesengajaan berkata dusta dalam hukum-hukum, karena mu’jizat
menunjukkan pada kejujuran mereka. Dan Al Qodhiy menyatakan bisa saja terjadi
kekeliruan. Dan beliau berkata: mu’jizat menunjukkan keyakinan akan kejujuran
mereka. Adapun maksiat-maksiat yang lain, maka ijma’ terbentuk bahwasanya mereka
128

terjaga dari dosa besar dan dosa kecil yang hina. Dan mayoritas ulama berpendapat
bahwasanya mungkin saja terjadi kesalahan yang selain dua jenis perkara tadi.”
(“Rof’ul Hajib ‘An Mukhtashor Ibnil Hajib”/2/hal. 100-102).

Kesimpulan: bahwasanya sunnah itu mayoritasnya adalah wahyu, tauqifiyy (ikut


dalil wahyu). Dan sebagian sunnah itu ijtihad dari Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬, jika benar,
maka ijtihad beliau itu adalah taufiq dan disetujui oleh Alloh. Tapi jika salah, maka Alloh
tidak membiarkan beliau di atas kesalahan. Dan dalil-dalil menunjukkan bahwasanya
ijtihad beliau itu terkadang salah, lalu Alloh ta’ala menurunkan perbaikannya sehingga
beliau tidak berlama-lama di dalam kesalahan.

Lihatlah pada hujjah-hujjah yang bercahaya ini, yang menunjukkan benarnya


pendapat Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬, dan bahwasanya beliau itulah yang
mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan As Salafiyyah. Adapun para pengekor hawa nafsu
semisal Arofat Al Bashiriy, Abdulloh Al Bukhoriy, dan Luqman Ba Abduh, yang menjadi
panutan mereka dalam bab ini adalah Rofidhoh dan semisalnya.

Dan yang mengherankan adalah: bahwasanya mereka itu baku bantu dengan
Asy Syaikh Robi’ di dalam dosa dan permusuhan untuk menzholimi Asy Syaikh Yahya
dan yang bersama beliau dari kalangan ulama dan Salafiyyin, sementara aqidah yang
mereka hujat terhadapa Asy Syaikh Yahya itu adalah aqidah Asy Syaikh Robi sendiri! Dan
itu adalah aqidah sunniyyah, yang benar.

Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy ‫ وفقه هللا‬berkata: “Dan banyak ayat-ayat yang
memberikan hujatan macam ini, hujatan terhadap orang-orang kafir, hujatan terhadap
Yahudi, hujatan terhadap Nashoro, hujatan terhadap musyrikin, hujatan terhadap
munafiqin, ayat-ayat yang banyak semuanya dalam menjelaskan hujatan dan
penerangan. Dan di dalam sunnah banyak juga yang seperti itu.

Maka misalkan dalam Al Qur’an: Alloh ‫ جل ذكره‬berfirman:


ِ ِ َ َ‫ْت َُهلم حتى ي َتبني ل‬ ِ
َ ِ‫ين َصدَ ُقوا َو َت ْع َل َم ا ْلكَاذب‬
.]12 :‫ني﴾ [التوبة‬ َ ‫ك الذ‬ َ َ َ َ ْ َ ‫ْك ِمل َ َأذن‬
َ ‫﴿ َع َفا اهلل َعن‬

“Semoga Alloh memaafkanmu, kenapa engkau memberi idzin pada mereka (para
munafiqin) sampai jelas bagimu orang-orang yang jujur dan sampai engkau tahu
orang-orang yang dusta.”

Ijtihad dari Nabi ‫عليه الصالة والسالم‬. Datang orang-orang munafiqun


mengemukakan udzur seraya berkata: “Wahai Rosululloh, saya ada ini dan itu,” “saya
mengalami ini dan itu.” Yang ini berkata: “Saya sakit.” Dan Rosul menerima udzur
mereka. Dan udzur-udzur mereka itu semua adalah kedustaan. Maka Alloh menurunkan
ayat ini: “Semoga Alloh memaafkanmu,” dan seterusnya. Yaitu ini adalah pelajaran
untuk Rosululloh dan untuk umat ini selamanya. –lalu beliau ‫ حفظه هللا‬menyebutkan
129

beberapa hujjah, lalu beliau berkata:- ini semua di dalamnya ada pengarahan walaupun
untuk Rosul ‫ صلى هللا عليه وسلم‬, yaitu: perbuatan-perbuatan Rosul itu tidak disetujui jika
tidak sesuai dengan apa yang ada di sisi Alloh, seperti ijtihad di dalamnya ada
kekeliruan. Datang –demi Alloh- pengarahan, kritikan dan perbaikan. Tidak dikatakan
bahwasanya di dalam ucapan ini ada gangguan terhadap pribadi Muhammad ‫عليه الصالة‬
‫ والسالم‬, atau berkata: “Aku adalah utusan Alloh, aku tidak boleh dibantah.”

Andaikata Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬menyembunyikan sesuatu pastilah beliau


menyembunyikan perkara-perkara ini (ayat-ayat yang mengkritik beliau), sebagaimana
yang dikatakan Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬: Andaikata Rosululloh ‫صلى هللا عليه وسلم‬
menyembunyikan sesuatu pastilah beliau menyembunyikan ayat ini:

‫ك َما اهلل ُم ْب ِد ِيه‬


َ ‫ك َوات ِق اهلل َو َُت ِْفي ِيف َن ْف ِس‬
َ ‫زَو َج‬
ْ ‫ك‬ ْ ‫ت َع َل ْي ِه َأ ْم ِس‬
َ ْ‫ك َع َلي‬ َ ‫ول لِل ِذي َأ ْن َع َم اهلل َع َليْ ِه َو َأ ْن َع ْم‬
ُ ‫﴿وإِ ْذ َت ُق‬
َ
)21‫ من اآلية‬:‫اس َواهلل َأ َح ُّق َأ ْن ََت َْشا ُه﴾ (األحزاب‬
َ ‫َو ََت َْشى الن‬

“Dan ingatlah ketika engkau berkata pada orang yang Alloh berikan nikmat padanya
dan Engkau berikan nikmat padanya: “Tahanlah istrimu untuk dirimu, dan
bertaqwalah pada Alloh,” dan engkau menyembunyikan pada dirimu perkara yang
Alloh akan menampakkannya, dan engkau takut pada manusia dan Alloh lebih
berhak untuk engkau takuti.”

Tentang kisah Zainab. Lihatlah hujatan ini untuk Rosululloh yang mulia ‫عىيه الصالة‬
‫والسالم‬.”

(selesai dari risalah “An Naqd Manhajun Syar’iy”/Mausu’ah Kutub Wa Rosailisy Syaikh
Robi’/2/hal. 499-500/cet. Darul Imam Ahmad).

Arofat dan Bukhoriy dan yang semisalnya menghujat Asy Syaikh Yahya dengan
ucapan yang buruk disebabkan oleh aqidah tadi, padahal itu adalah aqidah salafiyyah
yang diyakini Asy Syaikh Robi’ juga. Akan tetapi mereka menyerang Asy Syaikh Yahya
dengan itu dan membiarkan Asy Syaikh Robi’. Kami berlindung pada Alloh dari hawa
nafsu dan keburukannya.
Alloh -'azza wajalla- berfirman di kitab-Nya yang mulia:

‫ياأهيا ا هلذين آمنوا كونوا ه‬


‫قوامني بالقسط شهداء هلل ولو عىل أنفسكم أو الوالدين واألقربني إن يكان غن ًّياا أو‬ ‫﴿ ه‬
﴾‫خبريا‬
ً ‫فإن اهلل كان بًم تعملون‬
‫فقريا فاهلل أول ِبًم فال تتهبعوا اهلوى أن تعدلوا وإن تلووا أو تعرضوا ه‬
ً

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian sebagai orang yang menegakkan
keadilan, sebagai saksi untuk Alloh walaupun terhadap diri kalian sendiri atau
terhadap orang tua dan sanak kerabat. Kalau dia itu orang kaya ataupun miskin,
130

maka Alloh itu lebih utama daripada mereka berdua. Maka janganlah kalian
mengikuti hawa nafsu sehingga tidak berbuat adil. Dan jika kalian membolak-
balikkan kata (untuk berbohong) atau berpaling maka sesungguhnya Alloh maha
mengetahui apa yang kalian kerjakan."

Dan tidaklah keadaan tadi –bahwasanya Nabi pernah salah dalam ijtihad- itu
sebagai kekurangan bagi beliau.

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan jenis ini paling bisa menunjukkan
kejujuran Rosul ‫ صى هللا عىيه وسىم‬dan jauhnya beliau dari hawa nafsu dari jenis tadi,
karena beliau itu jika memerintahkan dengan suatu perkara, lalu beliau memerintahkan
yang menyelisihi perintah yang tadi, dan kedua perintah tadi adalah dari sisi Alloh, dan
beliau dibenarkan dalam yang demikian itu. Maka jika beliau bersabda dari diri beliau
sendiri, maka sesungguhnya perintah yang kedua itulah yang datang dari sisi Alloh, dan
menjadi penghapus bagi yang pertama. Dan sesungguhnya perintah yang dihilangkan
tadi, yang Alloh hapus tadi, tidaklah demikian (tidak datang dari sisi Alloh, tapi dari
ijtihad beliau), maka yang demikian itu paling mampu menunjukkan bahwasanya beliau
itu bertopang pada kejujuran, dan perkataan beliau itu benar. Dan ini seperti yang
dikatakan oleh Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬: “Andaikata Muhammad ‫صلى هللا عليه وسلم‬
menyembunyikan sesuatu dari wahyu pastilah beliau menyembunyikan ayat ini:

)21‫ من اآلية‬:‫اس َواهلل َأ َح ُّق َأ ْن ََت َْشا ُه﴾ (األحزاب‬ ِ ِ َ ‫﴿و َُت ِْفي ِيف َن ْف ِس‬
َ ‫ك َما اهلل ُم ْبديه َو ََت َْشى الن‬ َ

“Dan engkau menyembunyikan pada dirimu perkara yang Alloh akan


menampakkannya, dan engkau takut pada manusia dan Alloh lebih berhak untuk
engkau takuti.”

Tidakkah engkau melihat bahwasanya orang yang mengagungkan dirinya sendiri


dengan kebatilan, dia ingin menolong seluruh apa yang diucapkannya sekalipun keliru.
Maka penjelasan Rosul ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bahwasanya Alloh memantapkan ayat-ayat-Nya
dan menghapus apa yang dilemparkan oleh setan, penjelasan itulah yang paling
menunjukkan kepada kesungguhan beliau untuk setia pada kejujuran dan
berlepasdirinya dari kedustaan. Dan inilah yang dimaksudkan dengan risalah, karena
sesungguhnya beliau itu jujur dan dibenarkan ‫ صلى هللا عليه وسلم عسليما‬. Oleh karena itulah
maka pendustaan terhadap beliau itu adalah kekufuran yang murni, tanpa ada
keraguan.”

(“Al Fatawal Kubro”/5/hal. 249).

Dan kami katakan pada Arofat, Abdulloh Al Bukhoriy, Luqman Ba Abduh dan
yang lainnya dengan perkataan Asy Syaikh Robi’ sendiri: “Tidak dikatakan bahwasanya
di dalam ucapan ini ada gangguan terhadap pribadi Muhammad ‫عليه الصالة والسالم‬.”
131

Dan telah lewat dari perkataan Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬bahwasanya keyakinan
adanya ‘ishmah yang mutlak untuk Nabi dan mustahilnya beliau mengalami kesalahan
sama sekali, sesungguhnya itu ada keterkaitan dengan aqidah Isma’iliyyah,
Nushoiriyyah, Rofidhoh dan Itsna Asyariyyah.

Dan perkataan tadi pada masa ini telah menjadi perkataan sebagian hizbiyyin.

Aku telah mendengar Al Imam Al Albaniy ‫ رحمه هللا‬berkata dalam rekaman suara
beliau: “… telah tersebar di tengah-tengah mereka sebagian dasar-dasar yang
menyelisihi Islam, di antaranya adalah: hizb-hizb. Didapatkan di sana ada Hizb Islamiy
di negri ini, dan negri yang lain, hizb itu berkata: “Tidak boleh bagi Rosul ‫صى هللا عىيه‬
‫ وسىم‬untuk berijtihad. Rosul itu tidak berijtihad.” Demikianlah anggapan mereka. Akan
tetapi anggapan ini tertolak dengan banyaknya nash-nash. Dan orang-orang yang
mendakwakan dakwaan ini niat mereka –wallohu a’lam- baik. Akan tetapi dari sisi
buahnya adalah buah yang jelek, karena niat tadi menyerupai niat baik dari firqoh-
firqoh terdahulu yang mengingkari nash-nash dari Al Kitab dan As Sunnah yang jelas
karena mereka mengira bahwasanya berpegang dengan nash-nash berdasarkan
zhohirnya sebagaimana yang mereka sangka adalah menyebabkan terbengkalainya
syariat … -lafazhnya tidak jelas-… di dalam salah satu sisinya. Orang-orang yang
menyangka bahwasanya Rosul ‫ عليه الصالة والسالم‬tidak berijtihad akan berkata: “Jika
begitu maka kami tidak tahu jika kami mengambil salah satu ro’yu Rosul yang beliau
ijtihad di situ bisa jadi beliau keliru.” Di sinilah datang jawaban kami: Sesungguhnya
Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬jika bersabda:

.»‫ وإن أخطأ فله أجر واحد‬،‫«إذا حكم اِلاكم فاجتهد فأصاب فله أجران‬

"Jika seorang hakim menetapkan hukum maka dia berijtihad lalu dia mencocoki
kebenaran maka dia mendapatkan dua pahala. Dan jika dia keliru maka dia
mendapatkan satu pahala." [HR. Muslim (1716) dari Amr ibnul 'Ash dan Abu Huroiroh
‫]رضي هللا عنهما‬.

Maka Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬lebih pantas untuk berijtihad dan lebih dekat
kepada mencocoki kebenaran, dan mendapatkan pahala yang berlipat tersebut. Maka
kenapa kita berkata bahwasanya Rosululloh ‫ صى هللا عىيه وسىم‬tidak berijtihad
sementara pada kenyataannya beliau memang telah berjtihad? Akan tetapi kami
katakan: jika beliau berijtihad lalu keliru, maka dengan cepat wahyu membenarkannya.
Inilah yang aku katakan baru saja: “Diwahyukan kepadaku” yaitu: diwahyukan
kepadaku dengan hukum syar’iy atau dengan pembenaran (kesalahannya diperbaiki
sehingga jadi benar) ijtihad nabawiy. Maka ketika itu kita berkata: kita dalam jaminan
keamanan dari mengikuti Rosul dalam perkara yang beliau berijtihad dan keliru. Jauh
sekali jika kita anggap beliau dibiarkan keliru.” Selesai penukilan yang diinginkan.
132

Bab Sembilan Belas: Apakah Asy Syaikh Yahya Meyakini Atau


Menyetujui Bahwasanya Ucapan Rosul ‫ صلى هللا عليه وسلم‬Tidak
Diterima Kecuali Dengan Dalil?

Abdulloh bin Abdirrohim Al Bukhoriy: “Dan dia –Asy Syaikh Yahya- menuduh
Nabi ‫ عىيه الصالة والسالم‬dengan perkara penghancur ini yaitu ucapannya dengan perkara
yang besar ketika dia mengidzinkan disebarnya risalah yang di dalamnya penetapan
bahwasanya Nabi ‫ عىيه الصالة والسالم‬tidak diterima perkataannya kecuali dengan dalil.
Dalil apa yang engkau inginkan wahai orang busuk, ketika engkau menuntut dalil dari
Rosululloh ‫ … ?عىيه الصالة والسالم‬dst”

Jawaban kami –dengan taufiq Alloh-:

Ini juga bagian dari membebeknya Abdulloh Al Bukhoriy terhadap si tukang


fitnah Arofat Al Bashiriy yang berkata: “Dasar ketiga: dia (Asy Syaikh Yahya) membaca
dan mengidzinkan disebarkannya risalah sebagaimana tertulis di lembaran judulnya,
penulisnya berkata: “Sesungguhnya Rosululloh ‫ صى هللا عىيه وسىم‬ucapannya tidak
diterima kecuali dengan dalil atau hujjah yang membolehkan.” Selesai.

Jawaban kami terhadap kedustaan Arofat adalah dari lima sisi: sisi pertama:
sesungguhnya yang diinginkan oleh Arofat dan para pembebeknya adalah kasus risalah
“Mulhaqul Minzhor” karya Asy Syaikh Al Fadhil Muhammad Ba Jammal ‫حفظه هللا‬. Akan
tetapi ungkapan beliau tidak seperti yang dikatakan oleh para hizbiyyun tersebut. Itu
memang termasuk dari kebiasaan Arofat Al Bashiriy: banyak berkhianat dalam
penukilan. Sesungguhnya Kalimat Asy Syaikh Al Fadhil Muhammad Ba Jammal ‫حفظه هللا‬
adalah sebagai berikut:
‫م‬ ‫م‬ ٍ ‫ويف مسلم عن َرافم مع ُب من َخ مد‬
ُ ‫ َقد َم نَبم ُّي اهللم صىل اهلل عليه وسلم ا َُِلدينَ َة َو ُذ‬:‫يج ريض اهلل عنه َق َال‬
َ ‫ام َيا ُأ ُب ُر‬
‫ون‬
َ ‫او َمل ْ َت ْف َع ُلاوا ك‬
‫َاان‬ ْ ‫ُام َل‬
ْ ‫ « َل َعلك‬:‫ َق َال‬،‫ ُكنَّا ن َُصنَ ُع ُه‬:‫ون؟» َقا ُلوا‬ َ ‫ « َما ت َْصنَ ُع‬:‫ َف َق َال‬،‫ون الن َُّخ َل‬
َ ‫ ُي َلق ُح‬:‫ون‬ َ ‫ َي ُقو ُل‬،‫الن َُّخ َل‬
‫ان ِديانِك ُْم‬ ِ
ْ ‫يشاء م‬ َ َ ‫م‬
ْ َ ِ‫ إِ َذا أ َم ْار ُتك ُْم ب‬،‫ «إِن ًَم أنَا َب َْش‬:‫ َف َ ك َُروا َذل َك َل ُه َف َق َال‬:‫ َق َال‬،‫رتكُو ُه َفنَ َف َض ُت َأ ُو َفنَ َق َص ُت‬ َ َ ‫َخ ْ ًريا» َف‬
.»‫ َفإِن ًَم َأنَا َب َْش‬،‫يشء ِم ْن َر ْأي‬ َ ِ
ْ َ ِ‫ َوإِ َذا أ َم ْر ُتك ُْم ب‬،‫َفخُ ُذوا بِه‬

‫ ماع‬،‫ أو بحجة مساوغة‬،‫فهذا رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم؛ فمن دونه من البْش َل يقبل قوله إَل بدليل‬
‫ وذاو اِلاأثور عان سالفنا‬،-‫ ذ ا ما تربينا عليه عند والدنا وشايخنا اإلماام الاوادعي –رمحاه اهلل‬،‫إجاللنا له‬
‫ وبكارب‬،‫ وإن من اِلقطوع به أن احلق ال يعرف بالرجال‬.‫ لكن ليس كدندنة أيب احلسن واِلتعصبني له‬،‫الصالح‬
133

‫ وكتاب‬،‫ ودوناه يف السان‬،‫ وإنام يعرف الرجال باحلق وإن كان تلمي ه‬،‫ وبأنه شيخ فالن وذ ا تلمي ه‬،‫سنهم‬
.‫جرحا و تعديال‬
ً ‫الرتاجم مشحونة بكالم التالمي يف مشاخيهم‬

“Dan di dalam Shohih Muslim dari Rofi’ bin Khodij ‫ رضي هللا عنه‬yang berkata: Nabi Alloh
‫ صلى هللا عليه وسلم‬tiba di Madinah dalam keadaan mereka melakukan penyerbukan
terhadap pohon korma. Mereka menyebutnya dengan: talqihun nakhl. Maka beliau
bertanya: “Apa yang kalian lakukan?” mereka menjawab: “Kami sejak dulu
melakukannya.” Beliau bersabda: “Barangkali jika kalian tidak melakukannya maka
dia itu lebih baik.” Maka merekapun meninggalkan itu. Maka berkuranglah hasilnya.
Maka merekapun menyebutkan hal itu pada beliau. Maka beliau bersabda: “Aku itu
hanyalah manusia biasa. Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara dari
agama kalian, maka ambillah dia. Dan jika aku memerintahkan kalian dengan suatu
perkara dari ro’yu, maka aku itu hanyalah manusia biasa.”

Maka ini adalah Rosululloh ‫ ;صى هللا عىيه وسىم‬maka yang selain beliau dari
kalangan manusia biasa tidaklah diterima perkataannya kecuali dengan dalil, atau
hujjah yang membolehkan, bersamaan dengan pengagungan kami padanya. Inilah yang
kita dididik di atasnya di sisi bapak kami dan syaikh kami Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬,
dan itu ada atsar tentangnya dari para pendahulu kita yang sholih, akan tetapi tidaklah
seperti dendangan Abul Hasan dan orang-orang yang fanatik padanya. Dan
sesungguhnya termasuk perkara yang bisa dipastikan adalah bahwasanya kebenaran itu
tidak dikenal dengan tokoh-tokoh, ataupun dengan besarnya umur mereka, ataupun
bahwasanya dia adalah syaikh fulan, dan ini adalah muridnya. Justru para tokoh itu
dikenal dengan kebenaran, dan sekalipun dia dulu adalah muridnya, lebih muda
usianya. Dan kitab-kitab biografi penuh dengan ucapan para murid terhadap masyayikh
mereka, dan jarh dan ta’dil.”

(selesai dari “Mulhaqul Minzhor”/hal. 9).

Perhatikanlah wahai orang yang menginginkan kebenaran dan keadilan,


bahwasanya Asy Syaikh Muhammad Ba Jammal tidak memaksudkan bahwasanya Rosul
‫ صلى هللا عليه وسلم‬tidak diterima ucapannya kecuali dengan dalil dan hujjah, bahkan beliau
menginginkan bahwasanya Rosululloh ‫ صى هللا عىيه وسىم‬itu diterima ucapannya tanpa
dituntut dalil ataupun hujjah, sama saja apakah diketahui hikmahnya ataukah tidak,
seperti dalam hadits di atas, karena beliau itu sendiri adalah hujjah, maka kewajiban
kita adalah bersegera menjalankannya tanpa menunggu-nunggu perbaikan atau
nasakh dari Alloh, atau datangnya penetapan dan persetujuan dari Alloh. Adapun
orang yang selain beliau maka dia itulah yang tidak diterima ucapannya kecuali
dengan dalil dan hujjah, karena kebenaran itu tergantung pada dua perkara tadi (dalil
dan hujjah), bukan sekedar tuanya umur dan yang semisal itu. Inilah yang diinginkan
oleh Asy Syaikh ‫حفظه هللا‬.
134

Ini jelas sekali bagi orang-orang yang berupaya membebaskan diri dari mengikuti
hawa nafsu. Akan tetapi taufiq itu memang di tangan Alloh semata.

Kemudian sisi yang kedua: ketahuilah bahwasanya Asy Syaikh Yahya ‫حفظه هللا‬
terkadang tidak menelusuri seluruh lafazh risalah karena kesibukan-kesibukan beliau.
Dan terkadang sebagian penulis itu memperbaiki lagi kalimat-kalimat dalam risalahnya
tadi setelah Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬mengembalikan risalah tadi kepada mereka. Dan
ini biasa terjadi pada banyak penulis.

Maka Syaikh kami punya udzur dalam perkara tadi. Yang memikul kesalahan –
jika terjadi- adalah sang penulisnya, karena Asy Syaikh Yahya tidak berkeyakinan
bahwasanya sabda Rosul ‫ صلى هللا عليه وسلم‬itu tidak diterima kecuali dengan dalil. Dan Asy
Syaikh Yahya tidak tahu adanya kalimat yang keliru tadi –andaikata yang tertulis adalah
kalimat versi Arofat al kadzdzab tadi-.

Dulu kitab “As Sirojul Wahhaj” milik si mubtadi’ Abul Hasan Al Mishriy di
dalamnya ada bencana- bencana besar, dan disebutkan bahwasanya sejumlah ulama
besar memberikan kata pengantar untuknya. Dan tidaklah celaan itu dipikulkan kepada
para ulama yang mulia tadi, selama tidak diketahui bahwasanya mereka memang
mendapati kesalahan-kesalahan tadi. Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy ‫ حفظه هللا‬telah
memberikan udzur pada mereka dan beliau berkata tentang Asy Syaikh Ibnu Baz ‫رحمه‬
‫هللا‬: “Dan orang yang mengamati kitab ini akan mengetahui bahwasanya ini bukanlah
kata pengantar untuk kitab tersebut, dan dia mengetahui bahwasanya di dalamnya
kritikan terhadap kitab tadi, di antaranya adalah: si penulisnya memasukkan masalah-
masalah parsial dalam kitab aqidah. Dan dalam pembicaraan beliau –Asy Syaikh Abdul
Aziz Alusy Syaikh, wakil Asy Syaikh Ibnu Baz dalam memeriksa kitab tadi-: “Dan kitab ini
secara keseluruhan bagus, mencocoki madzhab Ahlissunnah Wal Jama’ah di
kebanyakan dari apa yang disebutkannya.” Kemudian beliau menyebutkan ungkapan
yang halus dengan berkata: “Hanya saja didapatkan ada perkara yang harus sedikit
diperiksa. Dia bisa diambil faidahnya setelah perbaikan perkara yang perlu diperiksa
tadi.” Dan di dalam ucapan tadi ada pensifatan bagi kitab tadi bahwasanya dia itu
bagus, diambil manfaat darinya setelah perbaikan perkara yang perlu diperiksa tadi.
Dan kita tidak mengetahui apa saja yang beliau nilai perlu diperiksa tersebut, dan
bagaimana kesudahan perbaikannya. Dan aku takut perkara tersebut adalah apa yang
aku dapati dapati juga untuk diperiksa. Yang penting adalah bahwasanya Ibnu Baz ‫رحمه‬
‫ هللا‬kepala Haiah Kibarul Ulama tidak membaca kitab tersebut, dan beliau telah
menjelaskan udzur beliau yang menghalangi untuk membaca kitab itu. Sementara sang
wakil tidak memberikan pengantara pada kitab tadi, hanya saja beliau mengarahkan
pembicaraan pada Samahatusy Syaikh Ibnu Baz dan mengabari beliau akan hasil dari
bacaannya. Dan ini bukan kata pengantara sebagaimana yang didakwakan oleh Abul
Hasan.”
135

Kemudian Asy Syaikh Robi’ ‫ هداه هللا‬memberikan udzur juga untuk Asy Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin ‫ رحمه هللا‬seraya menukilkan kalimat Abul Hasan yang
menceritakan kalimat Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin ‫ رحمه هللا‬: “Beliau
berkata di dalam kalimat beliau: “Aku telah membolak-balik halaman kitab itu, maka
kitab itu mengagumkan aku.” Kemudian Fadhilatusy Syaikh menyebutkan beberapa
pengarahan yang Alloh ‫ عز وجل‬memberiku manfaat dengannya, maka aku mohon pada
Alloh ‫ عز وجل‬agar memberi beliau pahala yang terbaik, dan agar memberi beliau
barokah pada waktu beliau.”

Lalu Asy Syaikh Robi’ berkata: “Maka di manakah kata pengantar Al ‘Allamah
Ibnu ‘Utsaimin ‫ رحمه هللا‬anggota Haiah Kibarul Ulama yang ungkapannya itu mendalam:
“Aku telah membolak-balik halaman kitab itu, maka kitab itu mengagumkan aku.”
Beda besar antara membaca dan sekedar membolak-balik halaman kitab.”

Kemudian Asy Syaikh Robi’ ‫ هداه هللا‬memberikan udzur juga untuk Asy Syaikh
Muqbil ‫ رحمه هللا‬seraya berkata: “Beliau memberi faidah bahwasanya beliau melihat
sebagian risalah “As Sirojul Wahhaj” dan rujuklah apa yang beliau ‫ رحمه هللا‬tulis.”

(selesai dari “Mausu’ah Kutub Wa Rosailisy Syaikh Robi’”/13/hal. 251-252/cet. Darul


Imam Ahmad).
Maka tidak semua orang yang memuroja’ahi risalah atau memberikan kata
pengantar padanya itu mengharuskan bahwasanya dia mengetahui seluruh lafazh
risalah atau menyetujui seluruh lafazhnya. Dan pujian itu bisa jadi berlaku pada kitab
secara global, bukan pada perinciannya. Maka bagaimana jika dia tidak memujinya, tapi
hanya membolak-balik halamannya dan mengizinkan penyebarannya secara global,
tanpa memberikan kata pengantar, atau komentar atau pujian?

Kemudian sisi yang ketiga: kalian berpenampilan memerangi Abul hasan Al


Mishriy, maka kenapa kalian tidak mencerca para ulama besar tadi yang memuroja’ahi
kitab “As Sirojul Wahhaj” dan memberikan komentar-komentar yang baik untuk kitab
tadi?

Kemudian sisi yang keempat: sesungguhnya ada sebagian kalimat Asy Syaikh
Yahya yang dihujat oleh Arofat, lalu diwarisi oleh Abdulloh Al Bukhoriy dan Luqman Ba
Abduh yang asalnya itu adalah di kitab “Tahqiq Ishlahul Mujtama’” karya Asy Syaikh
Yahya yang dikasih pengantar oleh Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬dan dipujinya dengan
pujian yang harum. Maka apakah mereka hendak mencerca Al Imam Al Wadi’iy ‫رحمه هللا‬
dengan sebab itu? Ataukah orang-orang tadi menakar dengan dua takaran?

Kemudian sisi yang kelima: sesungguhnya ada sebagian kalimat Asy Syaikh
Yahya yang dipungut oleh Arofat, lalu diwarisi oleh Abdulloh Al Bukhoriy dan Luqman Ba
Abduh itu asalnya adalah di kitab “Ahkamul Jum’ah Wa Bida’uha” karya Asy Syaikh
Yahya yang dikasih pengantar oleh Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬dan dipujinya dengan
136

pujian yang harum. Maka apakah mereka hendak mencerca Al Imam Al Wadi’iy ‫رحمه هللا‬
dengan sebab itu? Tidak, mereka itu mengincar Asy Syaikh Yahya sekalipun mereka
dengan cara menempuh kecurangan dalam menghukumi, disertai dengan pemahaman
yang jelek dan maksud yang buruk.

Kalimat penentu:
Para hizbiyyun tadi menuduh Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬bahwasanya
beliau menyetujui ucapan: “Sesungguhnya Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬tidak diterima
perkataannya kecuali dengan dalil.” Maka dengarkanlah sekarang ucapan beliau yang
menunjukkan aqidah beliau.

Syaikh kami Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬ditanya: “Apakah Anda menyetujui ucapan
orang yang berkata: Sesungguhnya Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬tidak diterima perkataannya
kecuali dengan dalil dan hujjah?”

Maka beliau ‫ حفظه هللا‬menjawab –dengan suara yang direkam-: “Ucapan ini tidak
disetujui oleh orang yang memuliakan dan mengagungkan Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬.
Tidak disetujui olehnya. Alloh ‫ عز وجل‬berfirman:

ِ ‫َان َلكُم ِيف رس‬


.]14 :‫ول اهلل ُأ ْس َوة َح َسنَة﴾ [األحزاب‬ ُ َ ْ َ ‫﴿ َل َقدْ ك‬

"Sungguh telah ada untuk kalian pada diri Rosululloh suri teladan yang bagus."

Alloh ‫ عز وجل‬berfirman:

ِ ‫اْل َ َري ُة ِم ْن َأ ْم ِر ِه ْم َو َم ْن َي ْع‬


‫ص اهلل َو َر ُسو َل ُه‬ ِْ ‫ُون َُهلم‬ ِ ِ ِ َ ‫﴿وما ك‬
ُ َ ‫َان ُمل ْؤمن َو ََل ُم ْؤمنَة إِ َذا َق َض اهلل َو َر ُسو ُل ُه َأ ْم ًرا َأ ْن َيك‬ ََ
،]29 :‫َف َقدْ َضل َض َال ًَل ُمبِينًا﴾ [األحزاب‬

“Dan tidak sepantasnya bagi seorang mukmin dan mukminah jika Alloh dan Rosul-
Nya telah menetapkan suatu perkara mereka itu punya pilihan dari urusan mereka.
Dan barangsiapa durhaka pada Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah tersesat
dengan kesesatan yang nyata.”

Alloh ‫ عز وجل‬berfirman:

.]494 :‫الر ُس ِل﴾ [النساء‬ ِ ‫ُون لِلن‬


ُّ َ‫اس َع َىل اهلل ُحجة َب ْعد‬ َ ‫﴿لِئَال َيك‬

“Agar manusia tidak punya lagi alasan untuk membantah Alloh setelah diutusnya
para Rosul.”

Rosul adalah hujjah. Dan Alloh ‫ عز وجل‬berfirman:


137

ِ
َ ‫ين َو ُمنْذ ِر‬
﴾‫ين‬ ِ ‫﴿ ُر ُس ًال ُم َب‬
َ ‫ْش‬

“Para Rosul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.”

Yaitu: dari Alloh ‫ عز وجل‬.

.]494 :‫الر ُس ِل﴾ [النساء‬ ِ ‫ُون لِلن‬


ُّ َ‫اس َع َىل اهلل ُحجة َب ْعد‬ َ ‫﴿لِئَال َيك‬

“Agar manusia tidak punya lagi alasan untuk membantah Alloh setelah diutusnya
para Rosul.”

Dan Alloh berfirman:

.]92 :‫ون َع ْن َأ ْم ِر ِه َأ ْن ت ُِصي َب ُه ْم فِ ْتنَة َأ ْو ُي ِصي َب ُه ْم َع َذاب َألِيم﴾ [النور‬


َ ‫َيالِ ُف‬ ِ
َ ‫﴿ َف ْل َي ْح َذ ِر الذ‬
َ ُ ‫ين‬

“Maka hendaknya orang-orang yang menyelisihi urusan beliau berhati-hati agar


jangan tertimpa fitnah atau tertimpa siksaan yang pedih.”

Seluruh dalil-dalil ini menunjukkan wajibnya menerima apa yang dibawa oleh
Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬, dan bahwasanya apa yang beliau jelaskan dan beliau
ucapkan adalah hujjah.
ِ
َ ‫ين َو ُمنْذ ِر‬
﴾‫ين‬ ِ ‫﴿ ُر ُس ًال ُم َب‬
َ ‫ْش‬

“Para Rosul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.”

Mereka para penyampai dari Alloh ‫ سبحانه وعاالى‬.

ِ ‫ك ِم َن الن‬
.﴾‫اس‬ َ ‫ْت ِر َسا َل َت ُه َواهلل َي ْع ِص ُم‬ َ ‫ك ِم ْن َرب‬
َ ‫ك َوإِ ْن َمل ْ َت ْف َع ْل َف ًَم َبلغ‬ َ ْ‫ول َبلغْ َما ُأن ِْز َل إِ َلي‬
ُ ‫﴿ َيا َأ ُّ َهيا الر ُس‬

“Wahai Rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu. Jika
engkau tidak mengerjakan itu maka engkau belum menyampaikan risalah-Nya. Dan
Alloh menjagamu dari manusia.” [QS. Al Maidah: 67].

Selesai penukilan.
138

Bab Duapuluh: Tuduhan Mereka Bahwa Asy Syaikh Yahya Tergesa-


gesa Dalam Masalah Nasihat

Luqman Ba Abduh menukilkan ucapan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬: “Abdulloh
Mar’iy aku melihat darinya sebelum ini bahwasanya dia berjalan di atas jalan
hizbiyyah. Iya demi Alloh, dalam perkara-perkara dari perkara-perkara tersebut,
bahwasanya aku mencari nomornya di dalam catatanku tidak aku dapatkan. Dan aku
dapatkan nomor Asy Syaikh Salim ‫ وفقه هللا‬Salim Ba Muhriz maka aku menelponnya dan
aku menyampaikan padanya apa yang sampai kepadaku. Aku katakan: “Wahai Syaikh
Salim, -setelah aku menanyainya tentang keadaannya, dan tentang keadaan mereka
semua- telah sampai padaku sesuatu yang tidak baik untuk dakwah kita, dan aku
mencari nomor saudara kita Abdulloh tapi aku tidak mendapatinya. Maka
sampaikanlah , …”

Kemudian Luqman menyebutkan bahwasanya di dars Ashr Asy Syaikh Yahya


langsung mentahdzir Abdulloh. Lalu setelah cerita itu Luqman berkata: “… Ya
subhanalloh, Ya subhanalloh, isti’jal, sikap terburu-buru, tidak ada kasih sayang
terhadap pihak yang mau dinasihati, tidak ada kasih sayang terhadap murid-
muridnya, …”

Jawaban kami –dengan taufiq Alloh- adalah sebagai berikut:

Peringatan umat terhadap kesalahan-kesalahan seseorang yang dikhawatirkan


umat terkena bahaya dengannya adalah wajib. Dan barangsiapa mensyaratkan harus
memberikan nasihat pada pelakunya sebelum memberikan peringatan pada umat,
maka pensyaratannya itu tidak disyariatkan. Syaikh kami Muhammad Al Amudiy ‫حفظه‬
‫ هللا‬dalam bantahannya kepada penulis tak dikenal yang menamakan dirinya sebagai:
Abdulloh bin Robi’ As Salafiy berkata: “Maka seorang alim jika sampai kepadanya
kesalahan seseorang, dan dia khawatir tersebarnya kesalahan tadi pada manusia dan
bahayanya, maka dia boleh untuk mengingkari dengan segera dan tanpa pergi
kepadanya dan menanyainya.

Buktinya adalah apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhoriy dalam “Shohih” beliau
dari Ibnu Umar ‫ رضي هللا عنهما‬yang berkata:

‫حي مسنُوا َأ ُن َي ُقو ُلوا‬ ‫اذ ُم إم َى ُ م‬


ُ ُ ‫اإل ُس َال مم َف َل ُم‬ ُ ‫يم َة َفدَ َع‬
‫م‬ ‫م‬ ‫م م‬ ‫م‬ ‫م‬
َ ‫َب َع َث النَّبم ُّي َص َّىل اهلل َع َل ُيه َو َس َّل َم َخالدَ ُب َن ا ُل َوليد إم َى َبني َج‬
‫ َو َد َف َع إم َى كُل َر ُج ٍل ممنَّا َأ مس َري ُه َحتَّى إم َذا‬،َ ‫م‬ ‫م‬ ‫م‬
ُ ‫ َص َب ُأنَا َف َج َع َل َخالدٌ َي ُقت ُُل من ُُه ُم َو َي ُأ‬،‫ َص َب ُأنَا‬:‫ون‬
َ ‫ َف َج َع ُلوا َي ُقو ُل‬،‫َأ ُس َل ُمنَا‬
‫ َو َال َي ُق ُت ُل َر ُج ٌل مم ُن َأ ُص َح مايب‬،‫ َواهلل َال َأ ُقت ُُل َأ مس مريي‬:‫ َف ُق ُل ُت‬،‫َان َي ُو ٌم َأ َم َر َخالمدٌ َأ ُن َي ُقت َُل ك ُُّل َر ُج ٍل ممنَّا َأ مس َري ُه‬ َ ‫ك‬
139

‫ «اللهم‬:‫ َف َ ك َُرنَا ُه َف َر َف َع النَّبم ُّي َص َّىل اهلل َع َل ُي مه َو َس َّل َم َيدَ ُه َف َق َال‬،‫َأ مس َري ُه َحتَّى َق مد ُمنَا َع َىل النَّبمي َص َّىل اهلل َع َل ُي مه َو َس َّل َم‬
‫ك ِِما َصن ََع َخالِد » َم َّرت ُ م‬
.‫َني‬ َ ‫إِين َأ ْب َر ُأ إِ َل ْي‬
“Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬mengutus Kholid ibnul Walid kepada Bani Judzaimah, lalu dia
menyeru mereka kepada Islam, tapi mereka tidak pintar mengucapkan: “Aslamna (Kami
masuk Islam),” mereka mengatakan: “Shoba’na shoba’na (kami keluar dari kekufuran)”,
maka mulailah Kholid membunuhi mereka dan menawan, dan dia menyerahkan kepada
setiap orang dari mereka tawanannya sampai ketika tiba suatu hari Kholid
memerintahkan untuk setiap orang dari kami membunuh tawanannya. Maka aku
katakan: “Demi Alloh, aku tidak akan membunuh tawananku, dan setiap orang dari
temanku tidak akan membunuh tawanannya. Sampai kami tiba dan bertemu dengan
Nabi ‫صلى هللا عليه وسلم‬. Lalu kami menyebutkan itu pada Nabi ‫صلى هللا عليه وسلم‬, maka beliau
mengangkat tangannya seraya berkata: “Ya Alloh, sungguh saya berlepas diri dari apa
yang diperbuat oleh Kholid.” Dua kali.”

Lihatlah, apakah Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬pergi ke Kholid ibnul Walid ‫?رضي هللا عنه‬
Ataukah beliau mencukupkan diri dengan kabar dari orang yang mengabari beliau, dan
dari situlah beliau mengingkarinya.

Dan demikianlah kisah Bariroh ‫ رضي هللا عنها‬ketika Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬ingin
memerdekakannya dan jadilah wala’nya untuk Aisyah, tapi tuan Bariroh ‫رضي هللا عنهم‬
tidak mau, dan mereka ingin agar wala’nya untuk mereka. Maka manakala Aisyah ‫رضي‬
‫ هللا عنها‬mengabarkan itu pada Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bangkitlah Rosululloh ‫صلى هللا عليه وسلم‬
di tengah manusia, lalu beliau memuji Alloh dan menyanjung-Nya kemudian beliau
bersabda:

َ ‫ َوإِ ْن ك‬،‫َاب اهلل َف ُه َو َباطِل‬


‫َان‬ ِ ‫َشط َل ْي َس ِيف كِت‬ ِ َ ‫ ما ك‬،‫َاب اهلل‬
ْ َ ‫َان م ْن‬ َ ِ ‫ت ِيف كِت‬ ْ ‫َشو ًطا َل ْي َس‬ َ ‫« َما َب ُال ِر َجال َي ْش َ َِت ُط‬
ُ ُ ‫ون‬
.‫احلديث متفق عليه‬.»‫ َوإِن ًَم ا ْل َو ََل ُء َمل ِ ْن َأ ْعت ََق‬،‫َش ُط اهلل َأ ْو َث ُق‬ َ ُ ‫ َق َض‬،‫ِما َئ َة ََشط‬
ْ َ ‫ َو‬،‫اء اهلل أ َح ُّق‬ ْ
“Ada apa orang-orang membuat syarat-syarat yang tidak ada di dalam Kitabulloh?
Syarat apapun yang tidak ada di dalam Kitabulloh maka dia itu batil, sekalipun
seratus syarat. Keputusan Alloh itu lebih berhak, dan syarat Alloh itu lebih kuat, dan
hanyalah wala itu bagi orang yang memerdekakan.” Hadits ini muttafaqun ‘alaih.

Penunjukan hadits ini jelas, dan hadits-hadits dalam bab ini banyak.

Maka keadaan Syaikh kami ‫ رعاه هللا‬yang menelpon Salim Ba Muhriz itu tidak
menghalangi untuk beliau mengingkari perkara yang dibuat oleh Abdulloh bin Mar’iy
dalam dakwah Salafiyyah, yang berupa mengemis dan korupsi dengan nama dakwah,
dan yang lainnya juga, karena sesungguhnya ini adalah mungkar, tidak halal
mendiamkannya. Bagaimana sementara perbuatan itu adalah termasuk dari dalil-dalil
dan alamat serta sarana hizbiyyah?
140

Ditambah lagi bahwasanya orang itu masih saja bersikeras dalam kesesatannya,
dan tidak diketahui darinya tobat yang murni, dan dia tidak meniadakan apa yang
ditetapkan oleh orang-orang adil dan tsiqoh tentang penjelasan keadaannya dan kondisi
dakwahnya?

Kemudian sesungguhnya Syaikh kami ‫ رعاه هللا‬telah memerintahkan Ba Muhriz


untuk menyampaikan pada Abdulloh bin Mar’iy tentang perkara-perkara ini.

Bukankah yang paling pantas bagi si anak Mar’iy adalah untuk bersegera
menelpon dan bertanya, dan membela kehormatannya jika memang selamat dari
bencana dan campuran manhaj tadi. Dia masih mampu bersegera menelpon yang mana
waktu masih baik untuk dia. Tapi sikap diamnya dan ketidakpeduliannya itu
menunjukkan apa?!

(selesai dari “Zajrul ‘Awi”/1/hal. 13-14/ Asy Syaikh Muhammad Al Amudiy ‫)حفظه هللا‬.

Dan beliau ‫ حفظه هللا‬berkata: “Dan berdasarkan ucapanmu ini, boleh jadi kejelekan
orang yang dikritik ini tersebar, dan memberikan pengaruh pada orang-orang,
sementara kami masih terus mencarinya sampai kami menanyainya tentang kebenaran
berita tadi.” (selesai dari risalah “Zajrul ‘Awi”/1/hal. 13/ Asy Syaikh Muhammad Al
Amudiy ‫)حفظه هللا‬.

Dan dari sisi lain, engkau harus tahu bahwasanya Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬telah
menasihati Abdulloh Mar’iy setahun lebih, maka bagaimana engkau menggambarkan
bahwasanya beliau tidak menasihatinya tapi bahkan langsung mentahdzir dia? Asy
Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬berkata: “Aku tidak menasihati dia? Aku itu lebih dari satu tahun
berusaha menasihati dia, terkadang melalui Asy Syaikh Salim, dan terkadang melalui
beberapa ikhwan di sini yang punya hubungan dengannya. Dan dia telah datang ke
Dammaj beberapa bulan yang lalu, tapi dia tidak datang kepadaku agar aku boleh duduk
dengannya dalam membahas perkara-perkara ini. Bagaimana dia sampai berkata bahwa
aku tidak menasihatinya?!!” (dinukilkan oleh Asy Syaikh Muhammad Al Amudiy ‫حفظه هللا‬
dalam “Zajrul ‘Awi”/1/hal. 14-15).

Kemudian Luqman Ba Abduh menempuh jalan ahli ahwa sebelum dia dalam
menuduh Ahlussunnah bersikap tergesa-gesa dalam rangka meruntuhkan kritikan ahlul
haq. Dan pola Luqman itu adalah jalan Al Ikhwanul Muslimin (lihat penukilan Asy Syaikh
Ahmad An Najmiy ‫ رحمه هللا‬dalam “Ar Roddul Muhabbir”/hal. 188).

Syaikh Jami’ah Diyobandiyyah Sayyid Anwar Syah menuduh Al Imam


Muhammad bin Abdil Wahhab An Najdiy bahwasanya beliau adalah pria yang tolol dan
sedikit ilmu, tergesa-gesa menghukumi dengan kekufuran, … dst. (dinukilkan oleh
Fadhlatusy Syaikh Hamud At Tuwaijiriy /lihat “Al Qoulul Baligh”/hal. 106).

Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬dituduh para anggota Jam’iyyatul Hikmah dan yang
lainnya tergesa-gesa. (lihat “Qom’ul Mu’anid”/1/hal. 63-64).
141

Demikian pula Muhammad Al Baidhoniy al hizbiy menuduh Al Imam Al Wadi’iy


‫ رحمه هللا‬tergesa-gesa. (lihat penukilan Abu Hammam ‫ وفقه هللا‬dalam “Nubdzatun
Yasiroh”/hal. 76-78/ Darul Atsar).

Abul Hasan Al Mishriy menuduh Asy Syaikh Robi’ ‫ هداه هللا‬tergesa-gesa. (Lihat
“Majmu’ur Rudud”/hal. 459).

Abul Hasan Al Mishriy menuduh Asy Syaikh Ahmad An Najmiy ‫ رحمه هللا‬tergesa-
gesa, ketika beliau memvonis Abul Hasan sebagai mubtadi’. (rujuk “Al Fatawal
Jaliyyah”/2/ Asy Syaikh Ahmad An Najmiy).

Sholih bin Abdullathif An Najdiy –hizbiy tak dikenal- dalam kitabnya “Unshur
Akhoka” hal. 13 menuduh Asy Syaikh Robi’ ‫ هداه هللا‬berbicara dengan cepat, tampak
tergesa-gesa, dan menggabungkan kontradiksi, … dst. (lihat bantahan untuknya di kitab
“Daf’u Baghyish Shoilil Jair/hal. 150/karya Kholid bin Muhammad Al Mishriy ‫)سدده هللا‬.
142

Bab Duapuluh Satu: Kasus Tahdzir Asy Syaikh Sholih Al Fauzan

Luqman Ba Abduh menyebutkan bahwasanya Asy Syaikh Sholih Al Fauzan ‫حفظه‬


‫ هللا‬ditanya tentang Asy Syaikh Yahya –tanpa menyebutkan nama beliau- bahwasanya
beliau keliru dalam beberapa perkara, dan setiap kali beliau diingatkan tentang itu
beliau rujuk. Lalu Asy Syaikh Sholih Al Fauzan mentahdzir umat dari beliau dengan
alasan beliau itu sesat, membuat orang ragu, membuat pengkaburan.

Jawaban tentang itu –dengan taufiq dari Alloh-:

Bahwasanya barangsiapa rujuk dan bertobat dari kekeliruan, maka dia disyukuri
dan dihormati, tidak boleh dicerca dengan kesalahan tadi, sebagaimana telah lewat
penyebutan sebagian dalil dan perkataan ulama tentang itu.

Jika dikatakan: telah banyak kesalahannya. Kita katakan: kesalahan kita sendiri
tidaklah lebih sedikit daripada ketergelinciran orang lain. Dan beliau telah bertobat. Dari
Abu Dzar ‫ رضي هللا عنه‬dari Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬tentang apa yang beliau riwayatkan dari
Alloh ‫ عبارك وعاالى‬bahwasanya Dia berfirman:

.‫ احلديث‬.»‫«يا عبادي إنكم َتطئون بالليل والنهار وأنا أغفر الذنوب مجيعا فاستغفروين أغفر لكم‬

“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat salah di malam dan siang, dan
Aku mengampuni dosa semuanya, maka mohonlah ampunan pada-Ku, Aku akan
mengampuni kalian.” Sampai akhir hadits. (HR. Muslim (2577)).

Terutama jika kekeliruan itu berasal dari seorang mujtahid salafiy yang
menginginkan kebaikan dan kelurusan, tidak boleh dihukumi berdosa dan dicerca
dengan kesalahan itu. Maka bagaimana jika si mujtahid tadi telah bertobat dari
kekeliruannya? Ini menunjukkan kesungguhannya mencari kebenaran, dan
ketundukannya pada kebenaran jika telah nampak baginya, dan berjalan bersama
kebenaran tadi ke manapun kebenaran tadi beredar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka seorang mujtahid yang
berijtihad secara ilmiyyah murni dia tidak punya tujuan selain kebenaran, dan dia
telah menempuh jalannya. Adapun orang yang mengikuti hawa nafsu murni maka dia
itu adalah orang yang mengetahui kebenaran dan menentangnya.” (“Majmu’ul
Fatawa”/29/hal. 44).

Al Imam Ibnu Mahdi ‫ رحمه هللا‬berkata: Dulu kami pernah menghadiri jenazah, di
situ ada Ubaidulloh bin Hasan dan beliau adalah seorang hakim. Ketika dipan telah
diletakkan, duduklah beliau dan duduklah orang-orang di sekeliling beliau. Maka aku
menanyainya dengan satu permasalahan. Ternyata dia menjawab dengan salah. Maka
kukatakan padanya: “Semoga Alloh memperbaikimu. Pendapat yang benar dalam
143

masalah ini adalah demikian dan demikian. Hanya saja aku tidak ingin membantahnya.
Aku hanya ingin mengangkat nilai Anda kepada yang lebih besar dari itu.” Maka beliau
menundukkan kepalanya sesaat kemudian mengangkatnya seraya berkata: “Jika
demikian, maka aku rujuk dan aku itu kecil. Akan tetapi menjadi ekor dalam
kebenaran lebih aku sukai daripada aku menjadi kepala dalam kebatilan.” (“Tarikh
Baghdad”/10/hal. 308)(15).

Semoga Alloh merohmati beliau dan membalas beliau dengan kebaikan yang
banyak. Bahkan rujuknya beliau kepada kebenaran itu menambah ketinggian beliau di
sisi Alloh dan di sisi kaum mukminin.

Ar Robi’ bin Sulaiman berkata: Al Imam Asy Syafi'y ‫ رحمزه هللا‬berkata: "Tidaklah
seseorang itu menyombongkan diri terhadap al haq di hadapanku dan menolaknya,
kecuali martabatnya akan jatuh dari mataku, Dan tidaklah dia menerima kebenaran itu
kecuali aku akan merasa segan padanya dan menjadi cinta padanya." ("Tarikh Ibnu
Asakir"/51/hal. 383).

Dan karakter seorang mukmin itu adalah berusaha menetapi kebenaran sebisa
mungkin, dan setiap kali jelas baginya kebenaran dia mengikutinya tanpa
menyombongkan diri. Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka senantiasa seorang hamba
yang mukmin itu selalu menjadi jelaslah baginya kebenaran yang sebelumnya tidak
diketahuinya, dan rujuk dari amalan yang dulu dia zholim di dalamnya.” (“Majmu’ul
Fatawa”/3/hal. 348).

Dari Idris Al Audiy yang berkata: Sa’id bin Abi Burdah mengeluarkan sebuah
surat pada kami seraya berkata: “Ini adalah surat Umar ibnul Khoththob kepada Abu
Musa Al Asy’ariy ‫ رضي هللا عنهما‬: “Kemudian setelah itu: janganlah sampai menghalangi
dirimu suatu ketetapan yang telah engkau tetapkan kemarin untuk engkau kembali
kepada kebenaran, karena kebenaran itu sudah lebih lama ada, dan tiada sesuatupun
yang bisa membatalkan kebenaran. Dan merujuk pada kebenaran itu lebih baik
daripada berlama-lama dalam kebatilan.” (diriwayatkan oleh Al Baihaqiy/”As Sunanul
Kubro”/no. (20871)).

Ini adalah nasihat yang agung dari Umar ibnul Khoththob ‫ رضي هللا عنه‬, maka
seorang mukmin itu tidak ma’shum setinggi apapun ilmu yang telah dicapainya. Akan
tetapi yang terpenting adalah mengikuti kebenaran kapan saja kebenaran itu
didapatkan, tanpa ada keangkuhan untuk rujuk dari kekeliruan.

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan ini adalah kitab yang agung, yang
disambut oleh para ulama dengan penerimaan, dan mereka membangun di atasnya

(15)
Sanadnya hasan, karena Ahmad bin Muhammad Al ‘Utaiqiy shoduq. Demikian juga Al Husain ibnul
Hasan Al Marwaziy. Para rowi yang lain tsiqot. Silakan rujuk kembali catatan kaki dari kitab yang asli
(“Shifatul Haddadiyyah Fi Munaqosyatin ‘Ilmiyyah”).
144

dasar-dasar hukum dan persaksian, hakim dan mufti paling perlu kepadanya dan untuk
merenungkan dan mempelajarinya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/1/hal. 86).

Adapun ahli ahwa seperti Mar’iyyin dan Luqmaniyyin maka mereka itu
menyombongkan diri untuk mahu kembali kepada kebenaran sekalipun Ahlussunnah
mendatangkan hujjah-hujjah yang bersinar. Dan kami khawatir keadaan mereka itu
dekat dengan apa yang dikatakan oleh Al Imam Ibnu Baththoh ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka
ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya barangsiapa membenci kebenaran yang
datang dari orang lain, dan justru menolong kesalahan yang datang dari dirinya
sendiri, tidak bisa diamankan bahwasanya Alloh akan mengambil darinya apa yang
sebelumnya telah dia ketahui, dan menjadikan dia lupa terhadap apa yang diingatnya,
bahkan dikhawatirnya Alloh akan mencabut keimanannya, karena kebenaran itu datang
dari Rosululloh kepadamu, beliau mewajibkan untuk kamu taat padanya. Maka
barangsiapa mendengar kebenaran lalu mengingkarinya setelah mengetahuinya,
maka dia termasuk orang yang sombong kepada Alloh. Dan barangsiapa menolong
kesalahan, maka dia termasuk tentara setan.” (“Al Ibanatul Kubro”/2/hal. 206).
Adapun bergantungnya Luqman dan seluruh Mar’iyyun dengan fatwa Asy Syaikh
Sholih Al Fauzan ‫ حفظه هللا‬, maka fatwa itu telah dibantah oleh syaikh mereka sendiri:
Muhammad bin Abdul Wahhab Al Wushobiy ‫( وفقه هللا‬16) pada malam Jum’at tanggal 30
Syawwal 1426 H, dalam jawabannya terhadap soal-soal penduduk Yafi’ saat mereka
menanyakan itu pada soal yang pertama. Maka Al Wushobiy menjawab:

،‫ذ ا الرجل ال ي قدم السؤال للشيخ فوزان ال ي يظهر أنه من احلاقدين عىل الشيخ احلجوري حفظه اهلل‬
‫وقدم سؤاال جممال ويف ذ ه اِلسائل ما حيتاج أن يقدم هلا يف الدروس العامة وإنام يسأل الشيخ يف جملس ذادئ‬
‫ ومن جهة‬،‫ ذ ا من جهة‬.‫ومكان ذادئ ويسمى له اِلسئول عنه ذ ا ال ي كان ذ ا ال ي ينبغي أن يسأله‬
‫ (ما تقول يف الرجل فعل ك ا ثم‬:‫ ألنه قيل له‬،‫أخرى أن الشيخ الفوزان فيام يظهر يل أنه ترسع يف اإلجابة‬
‫ واِلجيب أيضا قد‬،‫ فلام نصح تراجع) فالسائل قد علم أنه قد تراجع‬،‫ ثم فعل ك ا فلام نصح تراجع‬،‫تراجع‬
‫ قد‬،)‫ ال ُيدُ رس عنده‬،‫ من أذل ضالل‬،‫ (ذ ا من أذل زيغ‬:‫علم أنه قد تراجع فام كان ينبغي للمجيب أن يقول‬
‫ «كل بني آدم خطاء وخري‬:‫ والرسول صىل اهلل عليه وسلم يقول‬.‫تراجع فمن ذو ال ي ال خيطئ من البرش‬
‫ ﴿ ََل‬:‫ فأولئك اِلالئكة ال ين قال اهلل فيهم‬.‫ ليسوا باِلالئكة اِلعصومني‬.‫ والبرش برش‬.‫اْلطائني التوابون‬
:‫ وهل ا قال اهلل‬.‫ أما البرش فهو معرض للخطأ‬.]9 :‫ون﴾ [التحريم‬ َ ‫ون َما ُي ْؤ َم ُر‬ َ ‫ون اهلل َما َأ َم َر ُه ْم َو َي ْف َع ُل‬
َ ‫َي ْع ُص‬
،‫ فكون اإلنسان خيطئ‬.]4 :‫﴿ َو َل ْي َس َع َل ْيك ُْم ُجنَاح فِ َيًم َأخْ َط ْأت ُْم بِ ِه َولَكِ ْن َما َت َعمدَ ْت ُق ُلو ُبك ُْم﴾ [األحزاب‬

(16)
Beliau telah meninggal sebelum kitab ini ana cetak secara resmi. Sekalipun beliau tidak rujuk dari
kezholimannya terhadap dakwah Salafiyyah, kita doakan: semoga Alloh mengampuninya.
‫‪145‬‬

‫معرض للخطأ وإنام العيب اإلرصار عىل اخلطأ‪ .‬ذو العيب‪ .‬فالسائل ذداه اهلل قد عرف أن الشيخ تراجع‪،‬‬
‫وذ ه رفعة له إذا تراجع‪ .‬واِلجيب أيضا عرف من قول السائل أنه قد تراجع فام كان ينبغي البحث عن‬
‫الضامئر‪ .‬وعن القلوب‪ ،‬فالقلوب تطرح عىل عالم الغيوب‪ .‬وكان يسأل الشيخ فوزان كان ينبغي له أن يقول‬
‫جزاك اهلل خريا وذ ا ال ي جيب عىل اِلسلم إذا أخطأ ثم تبني له اخلطأ أن يبادر إى الرجوع إى الصواب‪ .‬وذ ا‬
‫األخ يشكر عىل تراجعه وحيمله عىل حممل حسن ‪– ...‬إى قوله‪ -:‬اِلشايخ يقولون‪( :‬حيمل الناس عىل حممل‬
‫حسن) فلامذا ذنا ال حيمله إى حممل حسن؟ ِلاذا خرج من القاعدة؟ ثم أيضا اإلمام أمحد بن حنبل رمحة اهلل‬
‫عليه‪ ،‬كم نجد له من روايات يف اِلسألة؟ كم؟ إمام من أئمة أذل السنة واْلامعة قال ك ا ثم قال ك ا ثم قال‬
‫ك ا‪ .‬روايتان‪ ،‬ثالث روايات‪ ،‬أربع روايات عن أمحد‪ .‬مليئة يف كتب الفقه ِب ا‪ .‬ليس فقط يف مسائل الفقه‪ ،‬بل‬
‫يف العقائد‪ .‬وذناك رواية عن أمحد أن من ترك الصالة كفر‪ .‬ورواية عن أمحد أن من ترك الصالة وترك الزكاة‪،‬‬
‫دخل الزكاة معها‪ ،‬كفر‪ .‬ورواية عن أمحد أن من ترك الصالة وترك الزكاة وترك الصيام‪ ،‬دخل الصوم‪ ،‬كفر‪.‬‬
‫والرواية الرابعة ‪ :‬زاد احلج‪ .‬أربع روايات‪ .‬ذكرذا شيخ اإلسالم ابن تيمية رمحه اهلل كام يف "جمموع الفتاوى"‬
‫البن القاسم‪ .‬مسائل يف العقيدة ومسائل يف غريذا‪ .‬جيتهد أذل العلم يف اِلسائل ثم تغري إى يشء آخر‪ .‬ذل‬
‫يقال عن اإلمام أمحد كام قال الفوزان عن احلجوري أن ذ ا متالعب؟ ما جيوز‪ .‬الشيخ احلجوري نفع اهلل به‬
‫ونفع اهلل بدروسه وبدعوته‪ .‬وعن الشافعي م ذبان م ذب بكامله‪ ،‬ما ذو رواية‪ ،‬مشهور‪ .‬اِل ذب القديم‬
‫واِل ذب اْلديد‪ ،‬قال يف اِل ذب القديم ك ا وك ا‪ ،‬م ذب بكامله مسائل شتى‪ ،‬وقال يف اِل ذب اْلديد ك ا‬
‫وك ا‪ .‬يسمونه م ذبا‪ ،‬ما يقولونه رواية‪ .‬عن أمحد روايتان وثالث روايات‪ ،‬وعن أيب حنيفة وعن اإلمام مالك‬
‫يقول قوالن ثالثة أقوال‪ ،‬وعن الشافعي م ذبان‪ .‬ينبغي احرتام أذل العلم‪ ،‬ينبغي احرتام أذل العلم من أذل‬
‫السنة واْلامعة‪ ،‬وكون العامل إذا أخطأ يف مسألة عن اجتهاد ثم تراجع‪ ،‬ذ ا ال يزيده إال رفعة أن يرتاجع ما‬
‫يزيده إال رفعة‪ ،‬أنه يبحث‪ .‬فاِلطلوب من الشيخ فوزان أن يعيد النظر يف اِلسألة وأن يعلم أن أصحاب البدع‬
‫واألذواء طاروا بكالمه ذ ا فرحوا به وصاروا يصورونه يف األوراق من أجل أن يردوا به عىل الشيخ‬
‫احلجوري ال ي قد تراجع‪ .‬واإلنسان إذا تراجع عن اخلطأ ما جيوز أن يالم‪ .‬وهل ا ِلا قال الرسول عليه الصالة‬
‫والسالم يف قصة موسى وآدم عليهام السالم قال موسى آلدم‪ :‬أنت أبو البرش ال ي خلقك اهلل بيده ونفخ فيك‬
‫من روحه‪ ،‬وأسجد لك مالئكته‪ ،‬أكلت من شجر فأخرجتنا من اْلنة؟ وآدم قد تاب‪ ،‬آدم عليه السالم قد‬
146

‫ فحج آدم موسى‬:‫ ِلا رد عليه آدم قال الرسول صىل اهلل عليه وسلم‬.‫ وتاب اهلل عليه‬،‫تاب من ذ ه اِلعصية‬
‫ قال الرسول صىل اهلل عليه‬.‫ أيد قول آدم‬،‫ أيد الرسول صىل اهلل عليه وسلم قول آدم‬:‫ يعني‬.‫فحج آدم موسى‬
‫ فعىل‬.‫ اإلنسان رجع عن اخلطأ ال يالم‬. ‫ ألنه ما يالم إال إذا كان مها عىل ال نب‬.‫ فحج آدم موسى‬:‫وسلم‬
‫ العامل قد‬.‫ وعلينا أن نعلم أن العامل مهام بلغ من علمه فإنه غري معصوم‬،‫الشيخ الفوزان وفقه اهلل أن يعيد النظر‬
‫ –ثم ذكر الشيخ حممد الوصايب مثاال من قصة أيب بكر الصديق ريض اهلل عنه وذو أفضل الناس بعد‬.‫خيطئ‬
‫ وخطأه معفو عنه إذا كان‬،‫ ثم ذكر أن العامل إذا اجتهد فأخطأ له أجر واحد‬،‫رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم‬
.-‫خطأه عن اجتهاد ال عن ذوى‬

“Orang yang mengajukan soal pada Asy Syaikh Al Fauzan, tampaknya dia itu dendam
pada Asy Syaikh Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬. Dia mengajukan soal yang global, dan di dalam
masalah-masalah tadi tidak perlu untuk diajukan dalam dars-dars umum. Cukuplah dia
bertanya pada Asy Syaikh di majelis yang tenang dan tempat yang tenang, dan
disebutkan pada beliau siapakah nama tokoh yang ditanyakan tadi. Inilah yang
seharusnya dilakukan. Ini dari satu sisi. Dan dari sisi lain bahwasanya Asy Syaikh Al
Fauzan yang nampak bagiku beliau itu tergesa-gesa menjawab, karena dikatakan pada
beliau: “Apa pendapat Anda tentang orang yang berbuat demikian, lalu dia rujuk, lalu
berbuat demikian-demikian, manakala dia dinasihat dia rujuk, manakala dia dinasihati
dia rujuk?” Maka sang penanya telah tahu bahwasanya beliau telah rujuk. Dan si
penjawab juga telah tahu bahwasanya dia telah rujuk. Tidak sepantasnya si penjawab
berkata: “Ini termasuk orang-orang yang menyeleweng, ini termasuk dari orang-orang
yang sesat, jangan belajar padanya.” Beliau telah rujuk, maka siapakah orang yang tidak
keliru? Rosul ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda: “Semua anak Adam itu banyak salah, dan
sebaik-baik orang yang banyak salah adalah orang yang banyak bertobat.”

Manusia itu tetap manusia. Mereka itu bukan malaikat yang ma’shum. Para
malaikat itulah yang Alloh berfirman tentang mereka: “Mereka tidak mendurhakai
Alloh terhadap apa yang diperintahkan pada mereka, dan mereka mengerjakan apa
yang diperintahkan pada mereka.” Adapun manusia, maka dia itu tersodorkan pada
kekeliruan. Oleh karena itulah Alloh berfirman: “Kalian tidak berdosa terhadap perkara
yang kalian keliru padanya, akan tetapi kalian berdosa terhadap perkara yang
disengaja oleh hati-hati kalian.” Maka manusia itu memang berbuat keliru, selalu
tersodorkan pada kekeliruan. Hanyalah saja aib itu pada orang yang terus-menerus di
atas kekeliruan itu. Itulah yang aib. Maka si penanya semoga Alloh memberinya
hidayah. Dia telah tahu bahwasanya Asy Syaikh telah rujuk. Dan ini adalah ketinggian
untuk beliau jika telah rujuk. Si penjawab juga mengetahui dari ucapan si penjawab
bahwasanya beliau telah rujuk. Maka tidak pantas ditelusuri tentang batinnya, tentang
isi hatinya. Maka hati itu diserahkan pada Dzat Yang Maha Mengetahui perkara gaib.
147

Seharusnya Asy Syaikh Al Fauzan berkata pada beliau: “Semoga Alloh membalas
Anda dengan kebaikan.” Inilah yang wajib atas seorang muslim jika keliru lalu jelas
baginya kekeliruannya untuk bersegera rujuk pada kebenaran. Dan saudara kita ini
disyukuri atas rujuknya dia, dan dibawa kepada kemungkinan yang baik, … -sampai pada
ucapannya:- para masyayikh berkata: “Manusia itu dibawa kepada kemungkinan yang
baik,” maka kenapa di sini beliau tidak dibawa kepada kemungkinan yang baik? Kenapa
keluar dari kaidah? Kemudian juga Al Imam Ahmad bin Hanbal ‫ رحمة هللا عليه‬berapa
banyak kita dapati beliau punya riwayat-riwayat dalam suatu masalah? Berapa banyak?
Beliau adalah imam dari imam Ahlussunnah, beliau berkata demikian dan demikian, lalu
berkata demikian dan demikian, lalu berkata demikian dan demikian. Dua riwayat, tiga
riwayat, empat riwayat dari Ahmad. Di kitab-kitab fiqih penuh dengan ini. Bukan hanya
dalam kitab masalah-masalah fiqih, bahkan dalam aqidah-aqidah. Dan di sana ada
riwayat dari Ahmad bahwasanya orang yang meninggalkan sholat itu kafir. Dan dalam
riwayat yang lain dari Ahmad bahwasanya orang yang meninggalkan sholat dan
meninggalkan zakat, masuk zakat bersama sholat, itu kafir. Dan dalam riwayat yang lain
dari Ahmad bahwasanya orang yang meninggalkan sholat dan meninggalkan zakat dan
meninggalkan puasa, puasa masuk, itu kafir. Dan riwayat yang keempat: menambahkan
haji. Empat riwayat. Disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫رحمه هللا‬
sebagaimana dalam “Majmu’ul Fatawa” yang disusun oleh Ibnul Qosim. Masalah-
masalah dalam aqidah, dan masalah-masalah dalam perkara yang lain. Seorang ahli ilmu
berijtihad dalam maslah-masalah, kemudian berubah pada perkara yang lain. Apakah
dikatakan bahwasanya Al Imam Ahmad sebagaimana yang dikatakan oleh Al Fauzan
tentang Al Hajuriy bahwasanya orang ini bermain-main? Tidak boleh. Asy Syaikh Al
Hajuriy telah Alloh berikan manfaat pada manusia dengan diri beliau, dengan dars-dars
beliau, dan denga dakwah beliau. Dan dari Asy Syafi’iy ada dua madzhab, madzhab
secara total, bukan cuma riwayat, ini telah terkenal. Madzhab lama, dan madzhab baru.
Berkata: madzhab lama demikian, dan madzhab baru demikian, madzhab secara total,
masalah-masalah yang beraneka ragam. Dan berkata dalam madzhab baru demikian
dan demikian. Mereka menamakannya madzhab, mereka tidak berkata: riwayat. Dari
Ahmad dua riwayat, atau tiga riwayat. Dan dari Abu Hanifah, dan dari Al Imam Malik
mengatakan dua ucapan, tiga ucapan, dan dari Asy Syafi’iy dua madzhab.

Kita harus menghormati ulama, harus menghormati ulama dari kalangan


Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dan bahwasanya si alim itu jika keliru dalam suatu masalah
berdasarkan ijtihadnya, lalu dia rujuk, ini tidak menambahinya kecuali ketinggian, dia
rujuk, ini tidak menambahinya kecuali ketinggian, bahwasanya dia itu selalu mencari
(kebenaran). Maka yang dituntut dari Asy Syaikh Al Fauzan adalah agar beliau
memeriksa kembali masalah ini, dan hendaknya beliau mengetahui bahwasanya para
ahli bida’ dan ahwa terbang dengan membawa ucapan beliau ini, gembira dengannya
dan memfotokopinya dalam lembaran-lembaran dalam rangka dengan itu membantah
Asy Syaikh Al Hajuriy yang telah rujuk. Manusia itu jika telah rujuk dari kekeliruannya
tidak boleh dicela. Oleh karena itulah manakala Rosul ‫ عليه الصالة والسالم‬bersabda tentang
148

kisah Musa dan Adam ‫ عليهما السالم‬Musa berkata pada Adam: “Engkau adalah bapak
manusia yang Alloh menciptakanmu dengan tangan-Nya dan meniupkan ke dalam
dirimu sebagian dari ruh-Nya, dan menjadikan para malaikat-Nya sujud padamu.
Engkau memakan dari pohon sehingga engkau mengeluarkan kami dari Jannah?”
Sementara Adam telah bertobat, Adam ‫ عليه السالم‬telah bertobat dari maksiat ini, dan
Alloh telah menerima tobatnya. Manakala Adam membantah Musa, Rosul ‫صلى هللا عليه‬
‫ وسلم‬bersabda: “Maka Adam mengalahkan hujjah Musa, maka Adam mengalahkan
hujjah Musa.” Yaitu: Rosul ‫ صلى هللا عليه وسلم‬mendukung ucapan Adam, mendukung
ucapan Adam. Rosul ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda: “Maka Adam mengalahkan hujjah
Musa.” Karena tidak boleh dicela kecuali jika terus-terusan di atas dosa. Manusia yang
telah rujuk dari kesalahannya itu tak boleh dicela. Maka Asy Syaikh Al Fauzan ‫وفقه هللا‬
harus memeriksa kembali. Dan kita harus tahu bahwasanya seorang alim itu setinggi
apapun ilmu yang telah dicapainya maka sungguh dia itu tidak ma’shum. Seorang alim
itu terkadang bisa keliru.”

–lalu Asy Syaikh Muhammad Al Wushobiy menyebutkan contoh dari kisah Abu
Bakr Ash Shiddiq ‫ رضي هللا عنه‬padahal beliau adalah orang yang paling utama setelah
Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬, lalu beliau menyebutkan bahwasanya seorang alim itu jika
ijtihad lalu keliru maka dia mendapatkan satu pahala, dan kekeliruannya itu dimaafkan
jika kekeliruannya tadi berasal dari ijtihadnya bukan dari hawa nafsunya.-

(selesai penukilan yang diinginkan dari kaset “Asilah Wa Fatawa Fadhilatusy Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab Al Wushobiy“ (12)/sisi pertama).

Ucapan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al Wushobiy ini adalah benar dan
didukung oleh dalil-dalil. Dan wajib bagi Luqman Ba Abduh dan seluruh orang yang
bertabir dengan Asy Syaikh Muhammad dan berbangga dengannya untuk menerima
ucapan yang benar ini.
149

Bab Duapuluh Dua: Apakah Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬Menganggap


Bahwasanya Utsman bin Affan ‫ رضي هللا عنه‬Itu Mubtadi’?

Para hizbiyyun telah menyebarkan, sama saja yang di Yaman ataukah yang di
banyak negri-negri yang lain di dunia bahwasanya Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy ‫حفظه هللا‬
menganggap bahwasanya Utsman bin Affan ‫ رضي هللا عنه‬itu adalah mubtadi’.

Dan ini adalah kedustaan yang sangat jelas, asalnya dari Arofat Al Barmakiy Al
Bashiriy –semoga Alloh memperlakukan dia dengan apa yang dia berhak
mendapatkannya-.

Jawab kami –dengan taufiq dari Alloh- adalah:

Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬hanyalah menyebutkan bahwasanya adzan


pertama pada hari Jum’at itu dibuat oleh Utsman ‫ رضي هللا عنه‬sebagai ijtihad dari beliau.
Dan seorang mujtahid itu jika berijtihad lalu keliru, sehingga terjadilah dengan sebab
beliau tadi hadats (perkara baru) dalam agama, tidaklah dikatakan bahwasanya beliau
itu mubtadi’. Dan ini telah diketahui di kalangan Ahlussunnah. Hanya saja orang yang
tertimpa penyakit haddadiyyah semisal Arofat Al Bashiriy mengharuskan orang-orang
untuk berpendapat tadi (bahwasanya pelaku bid’ah adalah mubtadi’).

Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata: “Terkadang sebagian penentang


berkata: apakah Utsman ‫ رضي هللا عنه‬manakala berbuat itu beliau itu menjadi mubtadi’
yang sesat?

Kami menjawab: Kami berlindung pada Alloh (dari berkata demikian). Beliau
adalah kholifah yang terbimbing, dan Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬berkata:

.»‫«ما ل َل أستحيي ِما تستحيي منه املالئكة؟‬

“Bagaimana aku tidak malu kepada orang yang para malaikat malu kepadanya?”

Dan Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda tentang beliau:

»‫«من يشَتي بئر روما وله اْلنة؟‬

“Siapakah yang mau membeli sumur Rumah dan dia mendapatkan Jannah”

Maka Utsman membelinya dan menjadikannya untuk muslimin. Dan Nabi berkata pada
Abu Musa:

.»‫«ائذن له وبْشه باْلنة مع بلوى تصيبه‬


150

“Idzinkanlah untuknya dan berilah dia kabar gembira dengan Jannah, disebabkan
oleh musibah yang menimpanya.”

Dan hadits-hadits ini semua telah pasti dari Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬di
antaranya ada yang di Shohihain dan di antaranya ada yang shohih di luar kitab tadi.
Dan Utsman punya kedudukan-kedudukan agung yang banyak selain itu. Dan cukup
bahwasanya beliau itu diberi kabar gembira dengan jannah, sebagaimana telah lewat
dari hadits Abu Musa:

.»‫«ائذن له وبْشه باْلنة مع بلوى تصيبه‬

“Idzinkanlah untuknya dan berilah dia kabar gembira dengan Jannah, disebabkan
oleh musibah yang menimpanya.”

Dan hadits Sa’id bin Zaid dan yang lain.

Akan tetapi beliau ‫ رضوان هللا عليه‬berijtihad, yang mana beliau memiliki seorang
muadzdzin yang mengumandangkan adzan di pasar, untuk memberitahu orang-orang
akan dekatnya waktu sholat. Dan bukanlah adzan tadi di masjid seperti yang dilakukan
oleh sebagian muslimin sekarang. Disertai dengan berbedanya keadaan tersebut
dengan sebagian orang sekarang ini, kita meyakini bahwa adzan tadi tidak disyariatkan
sejak dari asalnya, dan Amirul Mukminin Utsman ‫ رضي هللا عنه‬telah keliru dalam ijtihad
beliau ini. Dan beliau ‫ رضي هللا عنه‬dengan ijtihad beliau dan bagusnya maksud beliau,
beliau mendapatkan pahala. Dan beliau itu meninggal sebagai syahid dan termasuk
dari sepuluh orang yang mendapatkan kabar gembira dengan jannah. Dan dosa beliau
terampuni. Adapun orang yang mengikuti beliau di atas kesalahan tadi setelah
dijelaskannya hujjah maka dia itu dalam masalah tadi adalah mubtadi’ dia tak dapat
udzur dalam menyelisihi sunnah Rosululloh ‫ صى هللا عىيه وسىم‬dan kedua shohabatnya.

(Selesai dari kitab “Ahkamul Jum’ah Wa Bida’uha” /karya Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy
‫حفظه هللا‬/hal. 450-451/cet. Darul Imam Ahmad).

Utsman ‫ رضي هللا عنه‬mendapatkan udzur dan dimaafkan dalam ijtihad beliau.
Adapun orang yang mengetahui perkara yang benar dan tepat dengan dalil-dalilnya lalu
dia bersikeras untuk mengikuti kesalahan tadi, maka dia adalah mubtadi’. Inilah yang
dikatakan oleh Asy Syaikh ‫حفظه هللا‬.

Dan ini juga ucapan Al Imam Al Wadi’iy ‫رحمه هللا‬: “Maka Utsman ‫رضي هللا عنه‬
memerintahkan untuk adzan pertama, dari Zauro. Dan Abdulloh bin Umar jika masuk
masjid yang diadzankan di dalamnya adzan pertama tadi beliau meninggalkannya dan
berkata:

)‫(إنه مسجد بدعة‬


151

“Sungguh ini adalah masjid bid’ah.”

Bersamaan dengan itu beliau tidak berkata bahwasanya Utsman itu mubtadi’, bahkan
Utsman itu mujtahid. Adapun orang yang setelah Ustaman, jika jelas baginya dalil-dalil
dan dia taqlid pada Utsman di atas perkara ini maka dia termasuk mubtadi’, karena
taqlid itu sendiri adalah bid’ah.”

(Ghorotul Asyrithoh”/2/hal. 99/Maktabah Shon’a Al Atsariyyah).

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمههه هللا‬mendatangkan kaidah agung,


beliau berkata: “Jika engkau melihat perkataan salah telah muncul dari seorang imam
yang terdahulu, lalu kesalahannya itu terampuni karena belum sampai hujjah
kepadanya, maka tidaklah terampuni bagi orang yang telah sampai hujjah kepadanya
kesalahan yang terampuni bagi orang pertama. Oleh karena itulah makanya orang yang
sampai kepadanya hadits-hadits tentang adzab kubur dan semisalnya jika
mengingkarinya, maka dia itu dihukumi sebagai mubtadi’. Akan tetapi ‘Aisyah dan yang
semisalnya yang tidak mengetahui bahwasanya orang-orang yang mati itu bisa
mendengar di kuburannya, tidak dihukumi sebagai mubtadi’. Ini merupakan prinsip
yang agung, maka pelajarilah dia karena dia itu bermanfaat.” (“Majmu’ul
Fatawa”/6/hal. 61).

Maka aqidah syaikh kami Yahya ‫ حفظه هللا‬adalah aqidah para imam salafiyyin:
bahwasanya seorang mujtahid itu mendapatkan udzur dengan ijtihadnya, akan tetapi
kekeliruannya tidak boleh diikuti. Maka tidak seperti yang dianggap oleh para
haddadiyyun semisal Arofat Al Bashiriy bahwasanya vonis terhadap suatu amalan
bahwasanya itu adalah muhdats mengharuskan kita berkata bahwasanya pelakunya
adalah mubtadi’.

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan telah kami tetapkan pada perkataan yang
telah lalu bahwasanya celaan itu tidak menimpa si mujtahid sampai-sampai kita
berkata: (Sesungguhnya yang menghalalkan perkara yang harom itu lebih besar dosanya
daripada pelakunya). Dan bersamaan dengan itu, maka orang yang mendapatkan udzur
memang harus diberi udzur. Tapi jika ditanyakan: (Maka siapakah yang dihukum?
Karena yang berbuat keharoman itu tadi bisa jadi adalah mujtahid, atau membebek
pada mujtahid, dan keduanya keluar dari hukuman?)

Kita –Syaikhul Islam-: jawabannya dari beberapa sisi. Yang pertama: bahwasanya
yang dimaksudkan adalah menjelaskan bahwasanya perbuatan ini menuntut datangnya
hukuman, sama saja apakah didapatkan orang yang melakukannya ataukah tidak
didapatkan. Maka jika tidak ada pelakunya kecuali dalam keadaan telah tiada di
padanya syarat hukuman, atau ada perkara yang menghalangi datangnya hukuman, ini
tidak mencoreng vonis bahwasanya perbuatan tadi adalah harom. Bahkan kita
mengetahui bahwasanya dia itu harom agar dijauhi oleh orang yang tahu dengan jelas
bahwasanya perbuatan tadi adalah harom. Dan termasuk dari rohmat Alloh bagi
152

pelakunya adalah tegaknya udzur untuknya. Dan ini sebagaimana bahwasanya dosa
kecil adalah harom sekalipun dia itu dihapus dengan adanya usaha pelakunya untuk
menjauhi dosa-dosa besar. Dan ini adalah sifat seluruh perkara yang harom yang masih
diperselisihkan. Jika telah jelas bahwasanya dia itu harom –sekalipun terkadang
pelakunya mendapatkan udzur karena berijtihad atau taqlid- maka sungguh yang
demikian itu tidak menghalangi kita untuk berkeyakinan haromnya perkara tadi.”

(selesai dari Majmu’ul Fatawa”/20/hal. 279).

Dan apakah muqollid (pembebek) itu mendapatkan udzur? Harus ada perincian.

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Iya, dalam posisi ini harus ada perincian
yang dengannya menjadi hilanglah kerancuan, yaitu perbedaan antara muqollid yang
punya kemampuan untuk mencari ilmu dan mengetahui kebenaran, tapi dia berpaling
dari itu, dengan muqollid yang tidak mampu mencari ilmu dan mengetahui kebenaran
dari satu sisipun. Dan kedua jenis ini memang ada di alam ini.

Orang yang sanggup untuk mencari ilmu dan mengetahui kebenaran tapi
berpaling, maka dia itu telah bersikap kurang dan meninggalkan kewajiban. Dia tidak
mendapatkan udzur di sisi Alloh. Adapun orang yang tidak sanggup untuk bertanya dan
untuk mendapatkan ilmu dari satu sisipun, maka mereka itu ada dua macam juga:

Yang pertama: orang yang menginginkan hidayah, lebih mengutamakan hidayah,


mencintai hidayah, tapi tidak sanggup mendapatkannya dan tidak bisa mencarinya
karena tiada orang yang membimbingnya. Maka orang ini hukumnya adalah hukum
orang-orang yang hidup di masa kekosongan Nabi dan orang yang belum sampai pada
mereka dakwah.

Yang kedua adalah: orang yang berpaling, tak punya keinginan untuk
mendapatkan kebenaran, dan tidak mengajak bicara dirinya yang perkara yang dia tidak
ada di atasnya.

Orang yang pertama tadi berkata: “Wahai Robbku, andaikata saya tahu
bahwasanya Engkau punya agama yang lebih baik daripada agama yang saya ada di
atasnya niscaya saya akan beragama dengan agama ini, dan saya akan meninggalkan
agama yang saya ada di atasnya, akan tetapi saya tidak mengetahui selain agama yang
saya ada di atasnya, dan saya tidak mampu selain itu, dan itu adalah puncak dari kerja
keras saya, dan akhir dari pengetahuan saya.”

Orang yang kedua telah ridho dengan agama yang dia ada di atasnya dan tidak
mengutamakan yang lain di atasnya, dan jiwanya tidak mencari yang lain, dan tidak ada
perbedaan bagi dirinya antara kondisi lemah dengan kondisi mampu untuk mencari
kebenaran.
153

Kedua-duanya adalah orang yang lemah, tapi yang ini tidak wajib untuk
disusulkan dengan hukum orang yang pertama karena ada perbedaan antara keduanya.
Orang yang pertama seperti orang yang mencari agama pada masa kekosongan Nabi
dan dia tidak mendapatkannya, lalu dia menyisihkan diri darinya setelah mencurahkan
kemampuan dalam mencarinya karena tidak mampu dan bodoh. Orang yang kedua
seperti orang yang tidak mencari kebenaran, bahkan dia mati di atas kesyirikannya,
meskipun andaikata dia mencarinya dia juga tak sanggup mendapatkannya. Maka ada
perbedaan antara ketidaksanggupan orang yang mencari, dengan ketidaksanggupan
orang yang sengaja berpaling dari kebenaran. Maka renungkanlah posisi ini. Dan Alloh
itu akan memutuskan di antara para hamba-Nya pada hari Kiamat dengan hukumnya
dan keadilannya, dan tidak menyiksa kecuali orang yang tegak terhadapnya hujjah Alloh
dengan datangnya para Rosul.”

(selesai dari “Thoriqul Hijrotain”/hal. 508-509/Dar Ibni Rojab).

Al Imam Ibnu Utsaimin ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Adapun tentang para pengikut para
pemimpin tadi, maka mereka terbagi menjadi dua jenis: jenis pertama: orang-orang
yang tidak tahu kebenaran, sehingga tidak tahu tentang itu sedikitpun, tapi mereka
bersungguh-sungguh dalam mencarinya, yang mana mereka menduga bahwasanya
agama yang mereka ada di atasnya itulah yang benar. Maka mereka itu mendapatkan
udzur. Jenis kedua: orang-orang yang tahu kebenaran, tapi mereka menolaknya karena
fanatik pada para pemimpin mereka Mereka tidaklah mendapatkan udzur, dan mereka
sebagaimana firman Alloh tentang mereka:

َ ُ‫ار ِه ْم ُم ْهتَد‬
)11 :‫ون﴾ (الزخرف‬ ِ ‫اءنَا َع َىل ُأمة َوإِنا َع َىل آ َث‬
َ ‫﴿إِنا َو َجدْ نَا آ َب‬

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami ada di atas suatu agama, dan
sesungguhnya kami mengikuti jejak-jejak.”

(“Majmu’ Fatawa Wa Rosail Ibnu Utsaimin”/9/hal. 51).

Kita kembali pada pembahasan adzan pertama hari Jum’at. \

Jika memang Utsman mendapatkan udzur atas ijtihad beliau itu, kenapa kita
mengatakan perbuatan beliau tadi adalah muhdats? Itu karena adzan tadi adalah
ibadah yang tidak ada pada zaman Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬.

Bahkan al Imam Ibnu Abi Syaibah ‫ رحمه هللا‬berkata: haddatsana Waki’:


haddatsana Hisyam ibnul Ghoz:

.‫ بدعة‬:‫ قال ابن عمر‬:‫ األذان األول يوم اْلمعة بدعة؟ فقال‬:‫سالت نافع ًا موى بن عمر‬

“Aku bertanya pada Nafi’ maula Ibnu Umar: apakah adzan pertama hari Jum’at itu
bid’ah? Beliau menjawab: Ibnu Umar berkata: bid’ah.”
154

(“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah”/no. (5441)).

Sanadnya shohih, dan para perowinya tsiqoh semua.

Dan Hisyam ibnul Ghoz adalah Ibnu Robi’ah Al Jurosyiy, Abu Abdillah atau Abul
Abbas Ad Dimasyqiy. Al Imam Ahmad berkata tentang beliau: “Sholihul hadits. Ad Duriy
menukilkan dari Ibnu Ma’in tentang beliau: “Laisa bihi ba’s.” Ishaq bin Manshur
menukilkan dari Ibnu Ma’in tentang beliau: “Tsiqoh.” Demikian pula Utsman Ad Darimiy
menukilkan dari Duhaim tentang beliau (yaitu: “Tsiqoh.”). Ya’qub bin Sufyan berkata:
Aku bertanya pada Abdurrohman bin Ibrohim –yaitu: Duhaim- tentang Hisyam ibnul
Ghoz, maka beliau menjawab: “Alangkah bagusnya istiqomah beliau dalam hadits.”
Ya’qub juga berkata: “Al Walid memujinya.” Ya’qub juga berkata: “haddatsana Hisyam
bin Ammar: haddatsana Shodaqoh bin Kholid: haddatsana Abul Abbas Hisyam ibnul
Ghoz, wahuwa tsiqoh.” Ibnu Khiros berkata: “Beliau termasuk orang terbaik.”
Muhammad bin Abdillah bin Ammar berkata: “Beliau tsiqoh.” Disebutkan oleh Ibnu
Hibban dalam “Ats Tsiqot” dan berkata: “Beliau ahli ibadah dan mulia.” (rujuk
“Tahdzibut Tahdzib”/11/hal. 49).

Al Imam Adz Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Beliau termasuk muhadditsin dan ulama
Syam yang tsiqoh.” (“Al ‘Ibar”/hal. 41).

Beliau ‫ رحمه هللا‬berkata: “Beliau ahli ibadah dan beliau sangat baik.” (“Mizanul
I’tidal”/no. 9236).

Beliau ‫ رحمه هللا‬berkata: “Beliau adalah imam, muqri, muhaddits.” (“Siyar A’lamin
Nubala”/7/hal. 60).

Beliau ‫ رحمه هللا‬berkata: “Beliau shoduq, ahli ibadah.” (“Al Kasyif”/no. 5975).

Al Hafizh Ibnu Nashiruddin ‫ رحمه هللا‬berkata: “Beliau dulu mengurusi baitul mal
Abu Ja’far Al Manshur, tsiqoh, ahli ibadah, termasuk orang-orang terbaik.” (“Taudhihul
Musytabah”/6/hal. 220).

Al Hafizh Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬berkata: “Tsiqoh, termasuk dari pembesar thobaqot
ketujuh.” (“Taqribut Tahdzib”/no. 7305).

Maka Hisyam ibnul Ghoz itu tsiqoh. Barangsiapa melemahkan beliau maka dia
keliru. Dan barangsiapa berupaya untuk melemahkan atsar tadi dalam rangka menolong
Mar’iyyun dan memukul Salafiyyun secara rahasia, maka sungguh dia telah berbuat
zholim.

Adapun perkataan Al Imam Ahmad ‫رحمه هللا‬: “Sholihul hadits,” tidak menunjukkan
bahwa rowi tadi majruh (tercela).

Al Imam Adz Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan aku tidak mengurusi orang yang
disebutkan tentang dirinya: (mahilluhush shidq) ataupun: (la ba’sa bih), ataupun:
155

(sholihul hadits) atau (yuktabu haditsuh), atau (dia syaikh), karena ini dan yang seperti
itu menunjukkan kepada: tidak adanya kelemahan yang mutlak. Ungkapan tertinggi
pada rowi yang maqbul adalah: (tsiqotun hujjah), (tsabtun hafizh), (tsiqotun mutqin),
(tsiqotun tsiqoh), kemudian (tsiqotun shoduq), (la ba’sa bih), kemudian (mahilluhush
shidq) dan (jayyidul hadits) dan (sholihul hadits) dan (syaikhun wasath) dan (syaikhun
hasanul hadits) dan (shoduqun insya Alloh), dan (shuwailih), dan seperti itu.” (“Mizanul
I’tidal”/1/hal. 3-4).

Al Laknawiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “As Sakhowiy dalam “Syarhul Alfiyyah” dan As


Sindiy dalam “Syarhun Nukhbah” berkata dalam posisi ini dengan memberikan perincian
yang baik, dan menjadikan masing-masing lafazh jarh dan tazkiyah itu menjadi enam
tingkatan, dan menjelaskannya dengan penjelasan yang bagus.

Ringkasannya adalah: “Bahwasanya lafazh-lafazh ta’dil itu ada enam tingkatan,


yang tertingginya menurut para muhadditsin adalah sifat yang menunjukkan sifat
sangat, atau mengungkapkannya dengan “af’al” seperti (autsaqun nas) dan (adhbathun
nas) –lalu menyebutkan sekian lafazh ta’dil, sampai pada ucapannya:- kemudian lafazh
yang menunjukkan kedekatan dengan tajrih, dan itu adalah tingkatan ta’dil yang paling
rendah, seperti ucapan mereka: (laisa bi ba’idin minash showab), atau (syaikh), atau
(yurwa haditsuh) atau (yu’tabaru bih), atau (sholihul hadits), atau (yuktabu haditsuh)
atau (muqoribul hadits) atau (shuwailih) atau (shoduqun insya Alloh) atau (arju an la
ba’sa bih) dan seperti itu. Ini adalah tingkatan-tingkatan ta’dil (pujian). Adapun
tingkatan-tingkatan jarh ada enam, … dst.” (“Ar Rof’u Wat Takmil Fil Jarh Wat
Ta’dil”/hal. 22).

Sesungguhnya sejumlah besar huffazh men-tsiqohkan Hisyam ibnul Ghoz, dan


tiada seorangpun yang melemahkan beliau, maka pendapat yang benar adalah
pendapat mereka. Adapun ucapan Al Imam Ahmad “sholihul hadits” tidak menunjukkan
pada jarh, dan tidak menentang hukum “tsiqoh” mereka. Lebih-lebih bahwasanya Al
Imam Ahmad terkadang menggabungkan ungkapan “sholihul hadits” dan “Tsiqoh” pada
seorang rowi.

Beliau berkata dalam biografi Mubasysyir bin Ismail Al Halabiy: Mubasysyir itu
seorang syaikh, sholihul hadits, tsiqoh. (“Bahrud Dam”/no. 1059).

Beliau berkata dalam biografi Musa bin Uqbah bin Abi Ayyasy Al Asadiy: tiqoh.
Beliau berkata tentangnya juga dalam riwayat Ibnu Ibrohim: Sholihul hadits. (“Bahrud
Dam”/no. 1049).

Beliau berkata dalam biografi Muhammad bin Ziyad Al Qurosyiy Al Jumahiy:


sholihul hadits dan dia itu tsiqoh. (“Bahrud Dam”/no. 893).

Beliau berkata dalam biografi Abdulloh bin Aqil Ats Tsaqofiy Al Kufiy: tsiqoh
sholihul hadits. (“Bahrud Dam”/no. 547).
156

Beliau berkata dalam biografi Dhomroh bin Robi’ah Ar Romliy: orang yang sholih,
sholihul hadits, termasuk dari para tsiqot yang terpercaya, tiada di Syam orang yang
menyerupainya, …dst. (“Bahrud Dam”/no. 470).

Beliau berkata dalam biografi Shokhr bin Juwairiyyah bin Nafi’ Al Bashriy:
tsiqotun tsiqoh. Dan beliau berkata juga tentangnya dalam riwayat Ibnu Ibrohim:
Sholihul hadits. (“Bahrud Dam”/no. 458).

Dalam biografi Asy’ats bin Abisy Sya’tsa, Sulaim bin Aswad Al Muharibiy:
ditsiqohkan oleh Ahmad. Dan beliau berkata tentangnya dalam riwayat al Maimuniy:
sholihul hadits. (“Bahrud Dam”/no. 91).

Adapun perkataan Yahya bin Ma’in tentang Hisyam ibnul Ghoz: (laisa bihi ba’s),
beliau juga berkata tentang beliau: (tsiqoh). Dan memang istilah yang pertama tadi
menunjukkan hukum tsiqoh dari Ibnu Ma’in.

Dari Ibnu Abi Khoitsamah yang berkata: “Aku bertanya pada Yahya bin Ma’in:
sesungguhnya Anda berkata: (fulan la ba’sya bih) dan (fulan dho’if)?” Beliau menjawab:
Jika aku berkata padamu: (laisa bihi ba’s) maka dia itu tsiqoh. Dan jika aku berkata
padamu: (huwa dho’if) maka dia itu tidak tsiqoh, jangan ditulis haditsnya.”
(“Muqoddimah Ibnush Sholah”/hal. 61).

Adapun ucapan-ucapan Al Imam Adz Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬yang bermacam-macam


tadi, maka yang mencocoki jama’ah itulah yang benar: tsiqoh.

Kesimpulan: adzan pertama pada hari Jum’ah adalah muhdats bid’ah, di situ
Utsman bin Affan ‫ رضي هللا عنه‬berijtihad, dan beliau dimaafkan dalam kekeliruannya, dan
mendapatkan pahala dengan ijtihad beliau, dan tidak boleh kesalahan beliau diikuti.
Dan tidak boleh dikatakan tentang beliau: mubtadi’, karena tidak setiap orang yang
terjadi pada dirinya perkara muhdats dikatakan sebagai mubtadi’.

Abu Musa Al Madiniy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan aku mendengar beliau –yaitu Abul
Qosim Isma’il bin Muhammad yang dijuluki sebagai Qowwamus Sunnah- berkata: “Ibnu
Khuzaimah keliru dalam hadits shuroh, dan beliau tidak boleh dicerca dengan sebab
tadi, tapi cukuplah bahwasanya tak boleh pendapat beliau tentang itu diambil.” Abu
Musa berkata: beliau mengisyaratkan dengan itu bahwasanya sedikit sekali dari
seorang imam kecuali dia pasti punya ketergelinciran. Jika imam tadi ditinggalkan
karena ketergelincirannya niscaya banyak dari imam akan ditinggalkan, dan ini tak
boleh dilakukan.” (dinukilkan oleh Al Imam Adz Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬dalam “Tarikhul
Islam”/36/hal. 371).

Al Imam Adz Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Seandainya setiap orang yang keliru
dalam ijtihadnya bersamaan dengan keshohihan keimanannya dan kesungguhannya
mengikuti kebenaran kita batalkan dan kita bid’ahkan, niscaya sedikit sekali para
157

imam yang selamat bersama kita. Semoga Alloh merohmati semuanya dengan karunia-
Nya dan kemuliaan-Nya.” (“Siyar A’lamin Nubala”/14/hal. 374-376).

Adapun pertanyaan Al Barmakiy al hizbiy: “Apa faidah penyebutan Khulafaur


Rosyidin dalam hadits itu –hadits Irbadh bin Sariyah ‫رضي هللا عنه‬- jika yang diinginkan
hanyalah mereka itu akan mengikuti sunnah Nabi?! Dan apakah hanya para Khulafa
saja yang akan mengikuti sunnah Nabi?! Dan di manakah para Shohabat yang lain?!
Dan di manakah sepuluh Shohabat yang tersisa, dan para peserta perang Badr dan
Hudaibiyah? Dan di manakah para Abdulloh yang empat dan para shohabat yang
banyak meriwayatkan atsar?!! Bukankah mereka semua ada di atas jalan Nabi ‫صى هللا‬
‫ عىيه وسىم‬dan mereka semua mengikuti sunnah beliau?” selesai.

Jawabnya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut-:

Sunnah Khulafaur Rosyidin tidak disebutkan secara terpisah, bahkan


bergandengan dengan sunnah Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬dalam dorongan untuk
mengikutinya. Mereka berempat telah Alloh beri taufiq yang besar, dan mereka adalah
para pemimpin umat ini, dan secara global mereka lebih dekat kepada kebenaran
daripada yang lain. Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang ma’shum, berbeda
dengan para Nabi dan Rosul. Maka yang menjadi hujjah adalah Al Kitab, As Sunnah
dan ijma’ umat, bukan ijtihad sebagian umat.

Najmuddin Sulaiman Ath Thufiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Masalah kesembilan:


kesepakatan Kholifah yang empat sepeninggal Rosululloh ‫( صى هللا عىيه وسىم‬tapi)
disertai dengan penyelisihan shohabat yang lain itu bukanlah ijma’. Demikian pula
kesepakatan dua syaikh Abu Bakr dan Umar, lebih-lebih lagi, yaitu: jika kesepakatan
khulafa yang empat bukan ijma’, maka ucapan dua orang dari mereka lebih-lebih lagi
untuk tidak menjadi ijma’. Dan dalil tentang itu adalah apa yang telah lalu bahwasanya
‘ishmah (keterjagaan dari kesalahan) itu tetap untuk ijma’ umat, sementara mereka
berempat adalah baru sebagian saja dari umat.” -Sampai pada ucapan beliau:-

“Bahwasanya sunnah Khulafaur Rosyidin jika dia itu adalah sunnah Rosululloh
‫ صلى هللا عليه وسلم‬maka tidak ada kekhususan untuk mereka berempat dengan sunnah
Rosululloh ‫صلى هللا عليه وسلم‬, sementara sunnah Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬dan agama
beliau menunjukkan teranggapnya ucapan seluruh umat, bukan sebagian umat saja. Jika
sunnah Khulafa tadi itu bukan sunnah Rosululloh ‫صلى هللا عليه وسلم‬, dia itu tidak teranggap
sebagai ijma’, maka ijma’ yang ditunjukkan oleh dalil sam’iy itu lebih utama untuk
diikuti.

Jika kita menerima bahwasanya teranggapnya sunnah Khulafa sebagai ijma’,


maka ada pilihan: sunnah Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬ketika berhadapan dengan sunnah
mereka tidak teranggap, atau teranggap bersama bersama sunnah Khulafa. Jika tidak
teranggap, mengharuskan sunnah mereka menyendiri dengan kebenaran, bersamaan
dengan penyelisihannya dengan Rosululloh ‫صلى هللا عليه وسلم‬, dan itu adalah batil secara
158

ijma’. Tapi jika Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬teranggap bersama dengan sunnah Khulafa,
berarti sunnah mereka tidak menyendiri dengan kebenaran, karena suatu perkara yang
teranggap dengan dua sebab, atau tergantung pada dua sebab, maka berarti dia tidak
dihasilkan dengan salah satunya.

Adapun sabda beliau ‫ صلى هللا عليه وسلم‬: “Dan sunnah Khulafaur Rosyidin”, maka
itu adalah perkenalan tentang sifat khilafah bersamaan dengan rosyad (kelurusan),
maka hal itu tidak khusus untuk empat orang saja ataupun dua syaikh saja, bahkan
mencakup setiap kholifah yang rosyid, maka wajib untuk digabungkan dalam
perhitungan pada ucapan mereka ucapan setiap orang yang punya sifat demikian
seperti Umar bin Abdil Aziz dan semisal beliau.

Kita menerima bahwasanya yang dimaksud dengan Khulafaur Rosyidin adalah


yang empat tersebut, akan tetapi perintah untuk mengikuti sunnah mereka tidak
meniadakan teranggapnya sisa umat yang lain bersama mereka, karena sisa umat
didiamkan dalam hadits tadi. Dan dalil ijma’ menunjukkan teranggapnya ucapan orang
yang tersisa dari umat, maka jadilah taqdir (penetapan lafazh yang tidak nampak) untuk
hadits tadi adalah: “Hendaknya kalian berpegang dengan sunnah Khulafaur Rosyidin”
yang mencocoki pendapat sisa umatku. Beliau mengkhususkan penyebutan Khulafaur
Rosyidin karena mereka adalah para pemimpin umat, yang terbaik dari umat, dan paling
utama.”

(selesai penukilan dari “Syarh Mukhtashorir Roudhoh”/3/hal. 99-101).

Dan Al Imam Asy Syaukaniy ‫ رحمه هللا‬: “Dan para jumhur juga berpendapat
bahwasanya ijma’ Khulafa yang empat bukanlah hujjah, karena mereka itu adalah
sebagian dari umat. Dan diriwayatkan dari Ahmad bahwasanya ijma’ empat Khulafa
adalah hujjah. Dan sebagian ulama berpendapat bahwasanya itu adalah hujjah karena
riwayat yang datang yang memberikan faidah demikian, seperti ucapan Nabi ‫صلى هللا عليه‬
‫ وسلم‬:

»‫«بسنتي وسنة اْللفاء الراشدين‬

“Dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rosyidin”,

dan sabda beliau:

»‫«اقتدوا باللذين من بعدي أيب بكر وعمر‬

“Teladanilah dua orang yang datang setelahku: Abu Bakr dan Umar.”

Dan keduanya adalah hadits shohih. Dan hadits yang semisal itu.
159

Dijawab bahwasanya dua hadits tadi adalah dalil bahwasanya mereka itu adalah
orang-orang yang diteladani, bukan menunjukkan bahwasanya ucapan mereka itu
hujjah terhadap yang lain, Karena seorang mujtahid itu disuruh ibadah dengan mencari
dalil sampai nampak baginya apa yang diduganya sebagai kebenaran. Andaikata hadits
yang seperti tadi adalah memberikan faidah hujjah Khulafa atau sebagian Khulafa, maka
niscaya hadits:

»‫«رضيت ألمتي ما ريض هلا ابن أم عبد‬

“Aku telah ridho untuk umatku dengan apa yang diridhoi oleh Ibnu Ummi Abd untuk
mereka”

juga memberikan faidah bahwasanya ucapan Ibnu Mas’ud adalah. Dan hadits
bahwasanya:

»‫«أبا عبيدة بن اْلراح أمني هذه األمة‬

“Abu Ubaidah ibnul Jarroh adalah kepercayaan umat ini”

juga memberikan faidah hujjahnya ucapan Abu Ubaidah dan kedua hadits tadi juga
shohih.”

(selesai dari “Irsyadul Fuhul”/1/hal. 177-178).

Saya katakana –dengan memohon pertolongan pada Alloh ta’ala-:

sama saja apakah ijma’ Khulafa yang empat itu adalah hujjah ataukah tidak,
maka pendapat satu orang yang menyendiri dari mereka bukanlah hujjah. Hujjah adalah
Al Kitab dan As Sunnah dan Ijma’. Inilah yang rojih dari manhaj Ahlussunnah Wal
jama’ah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan Ijma’ itulah dasar yang
ketiga yang menjadi patokan dalam ilmu dan agama. Dan mereka (Ahlussunnah Wal
jama’ah) dengan tiga dasar ini (Al Qur’an, As Sunnah dan Al Ijma’) menimbang seluruh
perkara yang manusia ada di atasnya, baik berupa ucapan ataupun amalan, yang
tersembunyi ataupun yang nampak, yang punya kaitan dengan agama. Dan ijma’ yang
baku adalah yang dulu para Salafush Sholih ada di atasnya, karena setelah mereka
banyak perselisihan dan umat tersebar.” (“Majmu’ul Fatawa”/3/hal. 157/cet. Darul
Wafa/ihalah).

Al Imam Ibnu Rojab ‫ رحمه هللا‬berkata: “Adapun perkara yang Umar tidak
mengumpulkan orang-orang dalam membahasnya, bahkan beliau punya pendapat
sendiri dalam masalah itu, boleh bagi yang lain untuk memiliki pendapat yang
menyelisihi pendapat beliau, seperti masalah-masalah kakek bersama saudara, masalah
160

talaq tiga. Maka bukanlah ucapan Umar tentang perkara itu hujjah terhadap para
Shohabat yang lain. Wallohu a’lam.” (“Jami’ul Ulum Wal Hikam”/hal. 448/cet. Maktabah
Auladisy Syaikh).
161

Bab Duapuluh Tiga: Luqman Menuduh Asy Syaikh Yahya ‫حفظه هللا‬
Meneror Ulama dan Mencerca Mereka

Dan termasuk perkara yang dianggap Luqman sebagai bentuk celaan Asy
Syaikh Yahya kepada para ulama dan teror terhadap mereka adalah ucapan beliau:
“Demi Alloh jika ada yang berani –tambahan dari Luqman- menghentikan kasetku
atau malzamahku, aku akan menghinakan kehormatannya siapapun dia.”

Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya amar ma’ruf, nahi munkar, menjelaskan kebenaran, dan


memperingatkan umat dari kebatilan-kebatilan adalah wajib, dan inilah yang ditegakkan
oleh Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau ‫ حفظهزم هللا‬. Dan para masyayikh tersebut
tidak sanggup untuk meruntuhkan hujjah dengan hujjah pula dalam kasus ini. Maka
bagaimana mereka berupaya untuk menghentikan kaset-kaset dan risalah-risalah
tersebut tanpa kebenaran? Ini adalah kebiasaan pengekor hawa nafsu, tidak
sepantasnya ditempuh jalan tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahulloh- berkomentar tentang tentara


setan: "Dan mereka berupaya agar tidak muncul dari pihak hizbulloh (golongan Alloh)
dan Rosul-Nya perkataan, ataupun kitab. Dan mereka mengeluh dan resah dengan
munculnya kitab "Al Akhna'iyyah"(17). Maka Alloh ta'ala justru mempekerjakan mereka
hingga mereka menampakkan perkara yang berlipat-lipat dan lebih besar dari yang
demikian tadi, dan mengharuskan mereka untuk memeriksa dan meneliti kitab tadi,
dan tujuan mereka adalah untuk menampakkan kekurangan dari kitab tadi" dst
("Majmu'ul Fatawa" 28/hal. 58).

Asy Syaikh Ahmad An Najmiy –‫رحمهه هللا‬- berkata pada Syaikh Ibnu Jibrin ‫– رحمهه هللا‬
dia adalah seorang hizbiy- yang melarang beliau mencetak kitab bantahan terhadap
hizbiyyin: "Aku mendengar bahwasanya sebagian hizbiyyin membeli sejumlah besar dari
kitab-kitab yang menyebutkan kejelekan mereka, lalu mereka membakarnya. Maka apa
beda antara orang yang membakar kitab setelah dicetak dengan orang yang
berkata,"Jangan dicetak!"?" ("Roddul Jawab" /hal. 62-63).

Asy Syaikh Ahmad An Najmiy –‫رحمهه هللا‬- berkata tentang Ikhwanul Muslimin:
”Upaya mereka untuk membungkam setiap orang yang berbicara tentang hizbiyyah
mereka dan menerangkan kejelekan dan kekurangan mereka, dan menjadikannya
sebagai musuh bagi mereka.” (“Ar Roddusy Syar’i"/hal. 254).

Fadhilatusy Syaikh Ahmad An Najmiy ‫ رحمزه هللا‬berkata tentang sikap "Syababush


Shofwah" terhadap orang yang dengan cara yang benar mengkritik kebatilan-kebatilan

(17)
Kitab Syaikhul Islam -rahimahulloh-
162

para pemimpin mereka: "Mereka memusuhi orang itu sekalipun kritikan orang itu
ditujukan kepada kebid'ahan dan kesyirikan, dan mereka membuat orang-orang tidak
perlu pada kitab si pengkritik, sekalipun dia telah menunjukkan pada mereka tempat
yang dikritik itu di dalam kitab-kitab yang mengandungnya, lengkap dengan nomor
halamannya. Mereka memusuhi si pengkritik sampai bahkan memusuhi orang yang
membagi-bagikan dan menyebarkan kritikan tadi, sekalipun yang mereka musuhi itu
termasuk dari orang yang punya jasa dan karunia pada mereka. Mereka menuduhnya
sebagai orang yang tolol, bodoh, sekalipun si pengkritik itu cerdas dan pintar bagaikan
Iyas (bin Mu'awiyah)." (muqoddimah "Al Mauidul 'Adzb"/hal. 47-48).

Pengekor hawa nafsu itu hina di sisi Alloh dan kaum mukminin. Alloh ta'ala
berfirman:

]21/‫َات َجزَ ُاء َسيئَة بِ ِم ْثلِ َها َوت َْر َه ُق ُه ْم ِذلة﴾ [يونس‬
ِ ‫﴿وال ِذين كَسبوا السيئ‬
ُ َ َ َ

"Dan orang-orang yang berbuat kejahatan, balasan dari kejahatan adalah yang
semisalnya, dan mereka akan terliputi kehinaan." (QS Yunus 27)

Alloh ta’ala berfirman:

َ ِ‫ون اهلل َو َر ُسو َل ُه ُأو َلئ‬


.]23/‫ك ِيف ْاألَ َذلني﴾ [املجادلة‬ َ ‫ُيا ُّد‬ ِ
َ ‫﴿إِن الذ‬
َ ُ ‫ين‬

“Sesungguhnya orang-orang yang memusuhi Alloh dan Rosul-Nya mereka itulah yang
berada dalam golongan orang-orang yang hina.” (QS. Al Mujadilah: 20).

Alloh jalla dzikruh berfirman:

َ ِ‫اِل َي ِاة الدُّ ْن َيا َوك ََذل‬


َ ‫ك ن َْج ِزي ا ُْمل ْف َ َِت‬
.﴾‫ين‬ َْ ‫غَضب ِم ْن َرِبِ ْم َو ِذلة ِيف‬ ُ ‫ين اَت َُذوا ا ْل ِع ْج َل َس َين‬
َ ‫َاهل ْم‬ ِ
َ ‫﴿إِن الذ‬
“Sesungguhnya orang-orang yang membuat patung anak sapi itu, mereka akan
tertimpa kemurkaan dari Robb mereka dan kehinaan dalam kehidupan dunia. Dan
seperti itulah Kami membalas orang-orang yang membuat kedustaan.” (Al A’rof: 152).

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Dan firman-Nya: “Dan seperti itulah Kami
membalas orang-orang yang membuat kedustaan” menimpa setiap orang yang
membuat kebid’ahan, karena hinanya kebid’ahan dan penyelisihan terhadap kerosulan
itu bersambung dari hatinya sampai kepada kedua pundaknya, sebagaimana ucapan Al
Hasan Al Bashriy: “Sesungguhnya hinanya kebid’ahan ada di atas pundak-pundak
mereka, sekalipun bighol-bighol (peranakan kuda dengan keledai) melangkah dengan
bagus memikul mereka, dan birdzaun-birdzaun (kuda-kuda romawi) berderap memikul
mereka. Dan seperti itu pula Ayyub As Sakhtiyaniy meriwayatkan dari Abu Qilabah Al
Jarmiy, bahwasanya beliau membaca ayat ini: “Dan seperti itulah Kami membalas
orang-orang yang membuat kedustaan” beliau berkata: “Ayat ini, demi Alloh berlaku
163

untuk setiap pembuat kedustaan sampai hari Kiamat.” Dan Sufyan bin Uyainah berkata:
“Setiap pelaku bid’ah itu hina.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/3/hal. 477-478).

Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam- bersabda:

»‫ف َأ ْم ِري‬
َ ‫َار َع َىل َم ْن َخا َل‬ ِ
ُ ‫« َو ُجع َل الذل ُة َوالصغ‬

"Dan dijadikan kehinaan dan kerendahan terhadap orang yang menyelisihi


syariatku." (HR Ahmad (5232) dari Ibnu 'Umar rodhiyallohu 'anhuma. Hadits ini hasan).

Dan penghinaan terhadap ahli ahwa merupakan peletakan sesuatu sesuai pada
tempatnya, maka hal itu bukanlah teror seperti yang didakwakan oleh Luqman al hizbiy.

Luqman berkata: “Asy Syaikh Al Imam menasihatkan murid-muridnya:


“Belajar, belajar, belajar, jangan ada yang menyibukkan diri membaca artikel-artikel
tentang fitnah. Ana nggak suka di pondok saya ini beredar artikel-artikel seputar
fitnah. Nggak ada, semua Ahlussunnah, semua Ahlussunnah. Begitu juga Asy Syaikh Al
Buro’iy, begitu juga Asy Syaikh Adz Dzammariy, sampai pada tingkatan Asy Syaikh
Robi’pun ternukilkan dari beliau: “Jangan disebarkan malzamah-malzamah itu, jangan
dibaca, sibuklah kalian dengan ilmu.”

Jawabannya –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:


Sesungguhnya kenyataan menunjukkan bahwasanya para masyayikh tersebut
menakar dengan dua alat takaran, dan menimbang dengan dua timbangan. Mereka
melarang membaca risalah-risalah Salafiyyin penasihat yang menyingkapkan kebatilan-
kebatilan hizbiyyin, tapi bersamaan dengan itu mereka membolehkan membaca
malzamah-malzamah hizbiyyin pendusta yang tak dikenal.
Syaikh kami Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata: "Malzamah-malzamah orang-orang
tak dikenal yang jahat itu, dari orang dinamakan dengan Barmakiy. Tahukah engkau apa
itu Barmakiy!!? Dan semisal mereka, malzamahnya dibagi-bagikan di majelis Asy
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan di masjidnya, dianjurkan untuk
membacanya dan menyebarkannya, dan dia berkata: "Tambah lagi, tambah lagi
wahai Syaikh Ubaid," Yaitu yang semisal dengan itu, sama saja dari Baromikah ataukah
dari yang lainnya."

(selesai dari risalah "Al Wala Wal Baroudh Dhoyyiq"/Asy Syaikh Yahya/hal. 3).

Asy Syaikh Abdul Hakim Ar Roimiy ‫ حفظه هللا‬berkata padaku bahwasanya Asy
Syaikh Robi’ berkata padanya: “Apakah engkau telah membaca malzamah Al
Barmakiy?” Beliau menjawab: “Tidak.” Asy Syaikh Robi’ berkata: “Bacalah dia, karena di
dalamnya ada faidah bagus dan besar.” Atau kalimat semacam itu.
164

Demikian pula Ubaid Al Jabiriy mendukung pembacaan malzamah-malzamah


Abdurrohman bin Ahmad Al Barmakiy, dan memberikan kata pengantar bagi risalah
Arofat Al Bashiri.
Kemudian telah lewat penjelasan bahwasanya pembacaan risalah-risalah yang
menyingkap kebatilan-kebatilan ahli ahwa itu disyariatkan, dan pelarangan membaca
itu adalah suatu kebatilan dan menjadi suatu bentuk pertolongan untuk ahli batil. Dan
kita tidak menaati ucapan yang batil, karena ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang
ma’ruf.

Luqman Al Hizbiy berkata menukilkan ucapan Asy Syaikh Yahya: “Ubaid itu
buta mata dan hatinya, Ubaid adalah musuh sunnah.” Dan Luqman berkata: “Dan kita
tidak mengetahui apa alasan Yahya Al Hajuriy menghukumi Asy Syaikh Ubaid sebagai
mubtadi’. Alloh ta’ala berfirman:
ً ‫َان َعنْ ُه َم ْسئ‬
.]05 :‫ُوَل﴾ [اْلرساء‬ َ ‫كك‬َ ِ‫ُص َوا ْل ُف َؤا َد ك ُُّل ُأو َلئ‬ ِ ِ َ ‫﴿و ََل َت ْقفُ ما َليس َل‬
َ َ ‫ك بِه ع ْلم إِن الس ْم َع َوا ْل َب‬ َ ْ َ َ
“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tak punya ilmu tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu semua akan dimintai
pertanggungjawaban.”

Ubaid mubtadi’ apa dalilnya? Kita ini salafiyyin jangan dianggap bodoh. Mana
dalilnya? Terlebih murid-murid di Dammaj, ditelan mentah-mentah fatwa ini.”

Jawabannya -dengan taufiq dari Alloh- sebagai berikut:


Telah jelas dari 'Ubaid Al Jabiriy ‫ هداه هللا‬fanatisme dirinya kepada Abdurrohman Al
'Adniy. Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy ‫ رعاه هللا‬dengan sangat tenang dan beradab telah
menyebutkan padanya bahwasanya Abdurrohman Al 'Adniy sendiri telah mentahdzir
ikhwah dari belajar di Jami’ah Islamiyyah di Madinah dikarenakan di sana banyak
hizbiyyun. Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata: “Saya tidak lupa untuk
menyebutkan ucapan saudara kita yang terfitnah akhir-akhir ini –dengan sangat
menyesal- Abdurrohman Al 'Adniy ‫ هداه هللا‬yang telah tetap darinya dengan suaranya
pada tanggal 23 Rojab 1426 H tentang Jami’ah Islamiyyah bahwasanya Jami’ah ini telah
berubah dan jadilah yang berkuasa di situ adalah para hizbiyyun. Dia ‫ هداه هللا‬berkata:
“Secara hakiki, Jami’ah Islamiyyah dulunya adalah termasuk menara ilmiyyah yang
megah di dunia dan di alam, menghasilkan dan mengeluarkan para ulama. Akan tetapi
pada masa-masa terakhir banyak hizbiyyin yang menguasainya, jadi pengelola,
pengajar, doktor-doktor. Seorang manusia itu tidaklah merasa aman dirinya untuk
menghadiri ceramah seorang hizbiy, atau menghadiri dauroh musim panas yang di situ
sekelompok pengajar hizbiyyun ikut andil, maka bagaimana dengan sistem belajar yang
berkesinambungan minimal empat tahun, doktor ini hizbiy, yang ini sururiy, yang ini
quthbiy, yang ini punya kecondongan kepada tashowwuf. Maka secara hakikat, seorang
insan tidaklah merasa aman dirinya. Engkau wahai saudaraku, andaikata diumumkan di
165

kotamu akan diselenggarakannya dauroh musim panas, di dalamnya akan hadir ulama
sunnah, dan hadir juga di situ ahlul bida’. Boleh jadi di antara mereka ada yang alim.
Maka apa yang hendak engkau pilih? Sementara engkau tahu bahwasanya para ulama
yang hadir itu punya dars-dars khusus di masjid-masjid mereka. Aku tidak mengira
engkau perlu menimbang untuk meninggalkan kehadiran di dauroh itu tadi, demi
menjaga agamamu dan melindungi manhajmu, dan engkau pergi ke para ulama tadi di
masjid-masjid dan tempat mereka. Dan demikianlah Jami’ah Islamiyyah, di dalamnya
ada orang yang selamat, dan ada pula orang yang jatuh, disebabkan oleh adanya para
pengajar tadi. Wahai saudaraku, empat tahun, orang ini adalah pengajar, doktor,
sementara engkau adalah murid, dia memberimu apa yang diberikannya kepadamu.
Maka yang kami nasihatkan kepada para ikhwah adalah: mereka jangan pergi ke sana.
Barangsiapa ingin ilmu maka dia harus pergi ke para ulama di kerajaan Saudi, di Yaman,
dan tempat lain. Adapun dia berjalan ke Jami’ah demi mendapatkan ijazah, apa faidah
yang hendak didapatkannya? Para ikhwah yang bergabung ke Jami’ah-jami’ah,
khususnya pada tahun-tahun terakhir ini, tidaklah kami lihat di kalangan mereka ada
orang yang mendapatkan taufiq, karena dirinya tinggal bertahun-tahun di Jami’ah dan
mendapatkan ijazah, apakah kalian mengira setelah dirinya lulus dia mau pergi ke
Dammaj –misalnya-, atau siap untuk menjadi imam di masjid salah satu blok
perumahan, di salah satu kota, atau suatu desa, ataukah berusaha untuk mencari
pekerjaan dengan ijazah yang dikeluarkannya? Jawabnya adalah: inilah yang kami
dapati dan kami saksikan, dia akan berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan…”
dst.

Maka Anda –'Ubaid Al Jabiriy- harus menakar untuk dirinya dan untuk orang lain
yang mengatakan demikian itu (melarang orang-orang belajar ke Jami’ah Islamiyyah
Madinah) dengan cercaan seperti cercaan yang Anda takarkan untuk saya. Dan kami
mengharapkan dari Anda wahai fadhilatusy Syaikh ‫ وفقك هللا‬agar Anda tidak berkelit dari
yang demikian itu sebagaimana berkelitnya musuh kita Bisyr Al Marisiy.

Ini jika tujuan yang diinginkan dalam pengobaran pembelaan terhadap Jami’ah
sekarang ini bukanlah mencari sarana untuk melindungi Abdurrohman Al 'Adniy dan
pengikutnya, sebagaimana berita itu tersebar di tempat kami, yang mana Abdurrohman
Al 'Adniy ‫ هداه هللا‬telah terang-terangan sebagaimana yang lainnya menyatakan tentang
telah berubahnya Jami’ah dari keadaannya yang dulu. Dan ini menyelisihi apa yang telah
Anda tetapkan dalam risalah yang Anda namakan dengan “An Naqdush Shohih”
bahwasanya Jami’ah Islamiyyah itu Salafiyyah sampai pada hari ini, dan dia menetapkan
perubahannya, bahwasanya Jami’ah tadi telah dikuasai hizbiyyun akhir-akhir ini.” (“At
Taudhih”/hal. 4-5).

Dan setelah penjelasan dari syaikh kami An Nashihul Amin ‫ رعاه هللا‬ini, dan
tuntutan beliau terhadap 'Ubaid Al Jabiriy agar menempuh jalan keadilan dan
sportivitas, ternyata 'Ubaid Al Jabiriy menakar dengan dua takaran, dan tidak rela untuk
menyikapi Abdurrohman Al 'Adniy seperti sikapnya kepada syaikh kami An Nashihul
166

Amin yang sangat penyabar itu, padahal ‘illahnya (sifat yang menyatukan antara pihak
ini dan pihak itu) adalah sama bagi orang yang punya dua mata. Bahkan 'Ubaid Al Jabiriy
menambahi berbagai cercaan dan caci-makian terhadap syaikh kami yang mulia ‫ رفاه هللا‬.
Maka fanatisme Ubaid itu jelas.

Keadaan Ubaid Al Jabiriy itu sesuai dengan ucapan Syaikhul Islam ‫ رحمزه هللا‬: “Dan
barangsiapa condong bersama temannya, sama saja apakah kebenaran bersamanya
ataupun melawan dirinya, maka sungguh dia itu telah berhukum dengan hukum
jahiliyyah dan keluar dari hukum Alloh dan Rosul-Nya. Dan wajib bagi mereka semua
untuk menjadi tangan yang satu bersama orang yang benar untuk menghadapi orang
yang batil, sehingga jadilah orang yang diagungkan di sisi mereka adalah orang yang
diagungkan oleh Alloh dan Rosul-Nya, dan orang yang didahulukan di sisi mereka adalah
orang yang didahulukan oleh Alloh dan Rosul-Nya, dan orang yang dicintai di sisi mereka
adalah orang yang dicintai oleh Alloh dan Rosul-Nya, dan orang yang dihinakan di sisi
mereka adalah orang yang dihinakan oleh Alloh, sesuai dengan kadar apa yang diridhoi
Alloh dan Rosul-Nya, bukan sesuai kadar hawa nafsu, karena sesungguhnya barangsiapa
taat pada Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah lurus, dan barangsiapa durhaka
pada Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia tidak membahayakan kecuali dirinya
sendiri. Dan inilah prinsip yang mereka wajib bertopang padanya." ("Majmu'ul
Fatawa"/28 /hal. 17/Darul Wafa/ihalah).

Kemudian sesungguhnya Ubaid mentahdzir umat dari Asy Syaikh Yahya dengan
syubuhat yang sangat lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh banyak ulama dan para
pelajar senior, dan mereka mendatangkan bukti-bukti yang amat banyak yang mampu
dipahami oleh orang yang bersemangat mendambakan keselamatan bagi dirinya
sendiri, lalu membaca bukti-bukti tadi dengan sungguh-sungguh mencari kebenaran dan
keadilan, membebaskan diri dari hawa nafsu dan faatisme, sehingga hidup di atas
bayyinah, berbeda dengan orang yang bersifat buta terhadap bayyinah tadi lalu
menjauh darinya dan melarang orang dari membacanya sehingga dirinya binasa.

Maka seluruh orang yang adil mengetahui batilnya tahdzir Ubaid terhadap Asy
Syaikh Yahya ‫حفظه هللا‬.

Telah banyak bantahan-bantahan Ahlussunnah terhadap Ubaid bin Sulaiman Al


Jabiriy.

Ubaid Al Jabiriy telah menyombongkan diri terhadap kebenaran setelah


dijelaskan padanya bahkan dia melanjutkan serangan yang zholim terhadap ahlul haq,
maka janganlah dia mencela kecuali dirinya sendiri jika terkena panah-panah
pembelaan diri dari Ahlussunnah.

Kemudian sesungguhnya istilah “musuh sunnah” itu tidak mengharuskan dia itu
menjadi musuh sunnah di seluruh perkara, sebagaimana istilah “musuh Alloh” yang
167

dipakai oleh Salafush Sholih tidaklah diinginkan dengannya orang tadi menjadi musuh
bagi Alloh di seluruh keadaan. Lihatlah atsar dari:

َ ‫َ مائ‬
‫ إمن ََّاام‬، ‫يال‬ ‫وسى َل ُي َس بم ُم َ م م‬
َ ُ ‫وسى َبنى إ‬ ٍ ‫ ُق ُل ُت مال ُب من َع َّب‬:‫عن َس معيدُ ُب ُن ُج َب ُ ٍري َق َال‬
َّ ‫ إم َّن ن َُو ًفا ا ُلبمك م‬:‫اس‬
َ ‫َاى َي ُز ُع ُم َأ َّن ُم‬
.‫ َك َ َب َعدُ ُّو اهلل‬:‫ َف َق َال‬. ‫آخ ُر‬
َ ‫وسى‬
َ ‫ُذ َو ُم‬

Sa'id bin Jubair -rahimahulloh- berkata,"Aku berkata kepada Ibnu Abbas rodhiyallohu
‘anha: "Sungguhnya Nauf Al Bikali menyangka bahwasanya Musa - yang bersama
Khidhr- bukanlah Musa Bani Isroil, akan tetapi hanya dia itu Musa yang lain." Maka
beliau berkata,"Musuh Alloh itu bohong." (HR. Al Bukhori (112) dan Muslim (6313)).

Dan tiada seorangpun dari Salaf yang berkata tentang Ibnu Abbas ‫رضزي هللا عنهمزا‬:
“Sesungguhnya ini adalah ghuluw, haddadiyyah, barangsiapa mengatakan ini maka dia
telah mencerca ulama,” dan kengawuran yang lain.

Barangsiapa memperdalam pandangannya terhadap kebatilan Ubaid Al Jabiriy –


sebagaimana yang telah dijabarkan oleh para ulama dan penasihat tersebut- dia akan
tahu betapa jauhnya Ubaid dari sunnah, terutama peringatan dirinya terhadap orang-
orang agar menjauh dari benteng ilmu dan sunnah yang terbesar di Yaman: Darul Hadits
Dammaj.

Manakala dikatakan pada Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al


Banna ‫ رحمه هللا‬tentang Ahlu Dammaj: “Tidak seperti yang diklaim oleh sebagian dari
mereka bahwasanya mereka telah melakukan perubahan dan penggantian sepeninggal
Asy Syaikh Muqbil.”

Maka beliau ‫ رحمه هللا‬menjawab: “Demi Alloh, aku tidak tahu apa yang harus
kukatakan, demi Alloh, demi Alloh aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Yaitu
sekarang tempat yang paling utama jika kamu ingin belajar Salafiyyah pada
hakikatnya, dengan ilmu dan amal adalah Dammaj. Mekkah sekarang dimasuki
Khowwanul Muslimin. Mereka merusaknya, demi Alloh. Yang menginginkan belajar
Salafiyyah yang benar beserta amalannya adalah di Dammaj.” Kemudian beliau
berkata: “Demi Alloh mereka adalah orang-orang terbaik sekarang ini.” (Selesai
penukilan dari program “Fitnatul ‘Adniy”/karya Husain bin Sholih At Tarimiy dan Faroj
bin Mubarok Al Hadriy ‫)حفظهما هللا‬.

Maka orang yang menghalangi manusia dari belajar di Darul Hadits Dammaj,
maka sungguh ini merupakan sikap melampaui batas terhadap sunnah, bahkan cocok
untuknya perkataan Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬: “Dan tidaklah menghalangi
manusia dari ilmu kecuali para perampok dari kalangan mereka, dan para wakil iblis
dan polisi-polisinya.” (“Madarijus Salikin”/2/hal. 464).
168

Dan perkataan beliau ‫رحمه هللا‬: “Dan jenis yang keempat: para wakil Iblis di bumi,
dan mereka itu adalah orang-orang yang melemahkan manusia dari mencari ilmu dan
memperdalam pemahaman terhadap agama. Maka mereka itu lebih berbahaya bagi
manusia daripada setan-setan jin, karena mereka itu menghalangi hati dari petunjuk
Alloh dan jalan-Nya.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 160).

Maka dengan ini tampak jelaslah kebenaran Ahlussunnah dalam bantahan


mereka terhadap Ubaid Al Jabiriy, dan teranglah fanatisme Ubaid kepada kebatilan. Dan
ucapan muta’ashshib (orang yang fanatik) itu tidak ada harganya.

Al Imam Abu Bakr Ibnul Arobiy Al Malikiy ‫ رحمززه هللا‬berkata: “Dan ucapan
muta’ashshib (orang yang fanatik) itu tidak perlu didengar.” (“Al ‘Awashim Minal
Qowashim”/hal. 127).

Dan Luqman berkata: “Ketika Al Hajuriy mendapati merasakan bahwa para


masyayikh di Yaman tidak sepakat tidak setuju dengan cara-cara dia terhadap Asy
Syaikh Abdurrohman, mulai dia menggunakan cara-cara teror kepada para
masyayikh.” Luqman juga berkata: “Satu persatu dari para ulama dijatuhkan oleh Al
Hajuriy.” Dan Luqman berkata: “Al Hajuriy telah menjatuhkan para masyayikh,
akhirnya tidak tersisa para masyayikh di Yaman.”

Itu juga ucapan Arofat Al Barmakiy: “Dan masuk ke dalam tulisan-tulisan


mereka kesesatan, kebid’ahan, penyelewengan, mencaci ulama, dan menjatuhkan
masyayikh.”

Jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:


Kritikan yang disertai dengan hujjah terhadap kesalahan-kesalahan itu pintunya
terbuka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمزه هللا‬berkata: “… dikarenakan para Nabi ‫علزيهم‬
‫ السزالم‬itu terjaga dari menyetujui kesalahan, berbeda dengan satu individu dari para
ulama dan pemerintah, karena dia itu tidaklah terjaga dari yang demikian itu. Oleh
karena itu diperbolehkan dan bahkan wajib untuk kita menjelaskan kebenaran yang
wajib kita ikuti, sekalipun di dalam perbuatan ini terdapat penjelasan terhadap
kesalahan orang yang berbuat salah dari kalangan ulama dan pemerintah.”
(“Majmu’ul Fatawa”/19/hal. 123).

Ucapan yang bercahaya ini tidaklah tersembunyi dari Luqman, Abdulloh Al


Bukhoriy, dan Arofat Al Bashiriy, dan mereka sendiri jika melihat adanya suatu ucapan
dari seorang imam Muslimin atau ulama Muslimin dalam masalah fiqh yang menyelisihi
kebenaran, maka mereka membantahnya dan menjelaskan sisi yang benar dalam
masalah tadi, dan mereka tidak menganggap yang demikian itu sebagai cercaan pada si
imam atau alim tadi.

Maka mengapa mereka diam dari kebatilan-kebatilan Ubaid Al Jabiriy yang mana
kebatilan tadi lebih besar daripada kesalahan tadi? Manakala Asy Syaikh Yahya Al
169

Hajuriy dan ulama serta tholabatul ilmi yang bersama beliau membantah Ubaid Al
Jabiriy dengan hujjah-hujjah dan burhan-burhan, dan membicarakannya dikarenakan
dirinya menentang kebenaran setelah datangnya penjelasan, dan bersikerasnya dia di
atas penyelewengannya, dan kezholimannya terhadap Darul hadits di Dammaj, justru
Luqman dan yang semisal dengannya dari para hizbiyyin ‫ هززداهم هللا‬bangkit untuk
membela Ubaid tanpa kebenaran. Aroma fanatisme dan kedengkian tercium dengan
jelas.

Al Imam ibnu Rojab ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Dan para imam yang wari’ (meninggalkan
perkara yang dikhawatirkan membahayakan akhiratnya) mengingkari dengan sangat
perkataan-perkataan yang lemah dari sebagian ulama, dan membantahnya dengan
paling keras, sebagaimana dulu Al Imam Ahmad mengingkari Abu Tsaur dan yang
lainnya atas perkataan mereka yang lemah dan menyendiri, dan beliau mengingkari
mereka dengan atas perkataan mereka itu. Ini semua adalah hukum zhohir. Adapun
secara batin: jika maksud orang yang mengkritik tadi hanyalah sekedar untuk
menjelaskan kebenaran, dan agar manusia tidak tertipu dengan perkataan orang yang
salah berbicara tadi, maka tiada keraguan bahwasanya dia akan dapat pahala dengan
niatnya tadi, dan dia dengan perbuatan tadi dengan niat ini masuk ke dalam nasihat
untuk Alloh, Rosul-Nya, pemimpin Muslimin dan masyarakat awamnya. Sama saja,
apakah yang menjelaskan kesalahan tadi itu anak kecil ataukah orang besar,

Dan tiada seorangpun dari mereka menganggap orang-orang yang


menyelisihinya dalam masalah-masalah ini dan yang semisalnya sebagai bentuk tho’n
(cercaan) kepada para imam tadi ataupun penghinaan terhadap mereka. Kitab-kitab
para imam Muslimin dari kalangan Salaf dan Kholaf penuh dengan dengan penjelasan
tentang ucapan-ucapan tadi dan yang semisalnya, seperti kitab-kitab Asy Syafi’iy, Ishaq,
Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur dan para imam fiqh dan hadits dan yang lainnya setelah mereka
dari kalangan orang-orang yang menyebutkan ucapan-ucapan tadi sesuatu yang banyak.
Andaikata kami menyebutkannya secara rinci niscaya akan sangat panjang.

Adapun jika keinginan orang yang membantah tadi adalah untuk menampakkan
kekurangan orang yang dibantahnya, menghinanya, dan menjelaskan kebodohannya
dan keterbatasan ilmunya dan yang seperti itu, maka perbuatan itu adalah harom, sama
saja apakah bantahannya tadi dilontarkan di hadapan orang yang dibantahnya ataukah
di belakang tulang belakangnya. Dan sama saja, apakah ketika dia masih hidup ataukah
setelah matinya. Dan ini masuk dalam perkara yang dicela oleh Alloh ta’ala dalam kitab-
Nya dan mengancam orang yang menyindir dengan lidah ataupun dengan anggota
badan. Orang tadi juga masuk dalam sabda Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬:

‫« يا معْش من آمن بلسانه ومل يؤمن بقلبه َل تؤذوا املسلمني وَل تتبعوا عوراَتم فإنه من يتبع عوراَتم يتباع اهلل‬
.»‫عورته ومن يتبع اهلل عورته يفضحه ولو يف جوف بيته‬
170

“Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya yang imannya itu belum sampai
ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti orang-orang Islam dan janganlah kalian
mencari-cari aib mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa mencari-cari aib
saudaranya muslim, maka Alloh akan mencari-cari aibnya. Sesungguhnya barangsiapa
yang Alloh cari aibnya, maka Dia akan membuka aib-aibnya meskipun ia berada di
bagian dalam rumahnya…”(18)

Ini semua adalah yang terkait dengan hak ulama yang menjadi teladan dalam
agama ini. Adapun ahlul bida’ wadh dholalah dan orang yang menyerupakan diri
dengan ulama padahal bukan ulama, maka bolehlah menjelaskan kebodohan mereka,
dan menampakkan kekurangan mereka, sebagai bentuk peringatan pada umat agar
jangan meneladani mereka. Dan bukanlah pembicaraan kita sekarang ini kita arahkan
pada jenis ini, wallohu a’lam.”

(selesai dari “Al Farqu Bainan Nashihah Wat Ta’yiir”/1/hal. 7).

Kemudian Syaikh kami Yahya Al Hajuriy dan ulama serta thullab yang bersama
beliau ‫ حفظهم هللا‬tidaklah mencela seorang alim yang menisbatkan diri kepada sunnah,
sampai si alim itu yang berbuat zholim kepada mereka. Maka tidaklah setiap orang yang
diam terhadap fitnah kedua anak Mar’i itu Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy dan yang
bersama beliau berbicara tentangnya. Bahkan mereka bersabar terhadapnya dengan
tetap memberikan nasihat-nasihat. Ketika orang tadi mulai mencela Ahlu Dammaj dan
berbuat zholim kepada mereka, maka merekapun membela diri. Alloh ta’ala berfirman:
‫َُص َب ْعدَ ُظ ْل ِم ِه‬
َ َ ‫ني * َو َمل ِن ا ْنت‬
ِ
َ ‫ب الظامل‬
ِ ِ
ُّ ‫﴿ َو َجزَ ُاء َسيئَة َسيئَة مثْ ُل َها َف َم ْن َع َفا َو َأ ْص َل َح َف َأ ْج ُر ُه َع َىل اهلل إِن ُه ََل ُُي‬
‫ك َُهل ْم‬ َ ِ‫اِلق ُأو َلئ‬
َْ ‫َري‬ِ ْ ‫ض بِغ‬ ِ ‫ُون ِيف ْاألَ ْر‬
َ ‫اس َو َي ْبغ‬َ ‫ون الن‬ َ ‫ين َيظْلِ ُم‬ ِ
َ ‫يل َع َىل الذ‬ ُ ِ‫ك َما َع َل ْي ِه ْم ِم ْن َسبِيل * إِن ًَم السب‬ َ ِ‫َف ُأو َلئ‬
﴾‫َع َذاب َألِيم‬
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barangsiapa
memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Alloh.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zholim. Dan sesungguhnya
orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap
mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zholim kepada
manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu mendapat azab
yang pedih.” (Asy Syuro: 40-42).
Alloh subhanahu juga berfirman:
.]414/‫َان اهلل َس ِمي ًعا َعلِ ًيًم﴾ [النساء‬
َ ‫وء ِم َن ا ْل َق ْو ِل إَِل َم ْن ُظلِ َم َوك‬
ِ ‫اْلهر بِالس‬
ُّ َ ْ َْ ‫ب اهلل‬
ِ
ُّ ‫﴿ ََل ُُي‬

Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad bin Hanbal (4/420) dari Abu Barzah ‫ رضي هللا عنه‬, dalam sanadnya
(18)

ada Sa’id bin Abdillah bin Juroij, majhulul hal. Dan diriwayatkan oleh At Tirmidziy (Al Birr Wash Shilah/Ma
Jaa Fi Ta’zhimil Mu’min) dan yang lainnya dari hadits Ibnu Umar ‫ رضي هللا عنهما‬dengan lafazh “Orang yang
masuk Islam dengan lidahnya”, dan menghasankannya, dan disetujui Al Imam Al Wadi’iy dalam “Al
Jami’ush Shohih” ((3601)/Darul Atsar). Hadits ini Jayyid.
171

“Alloh tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali
oleh orang yang dianiaya. Alloh adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Dan dari Abu Huroiroh ‫ رضي هللا عنه‬: bahwasanya Rosululloh ‫صلى هللا عليه وسلم‬
bersabda:
.))1441( ‫ (أخرجه مسلم‬.»‫«املستبان ما قاَل فعىل البادئ ما مل يعتد املظلوم‬
“Dua orang yang saling memaki itu, apa yang mereka ucapkan maka atas orang yang
mulailah tanggungan dosanya, selama orang yang dizholimi itu tidak melampaui
batas.” (HR. Muslim (2587)).
Al Imam An Nawawiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maknanya adalah bahwasanya seluruh
dosa cacian yang terjadi di antara kedua orang itu dikhususkan bagi orang yang
memulainya, kecuali jika orang yang kedua melampaui kadar pembelaan diri dan
berkata pada orang yang memulai lebih banyak daripada apa yang diucapkannya
padanya. Dalam hadits ini ada dalil tentang bolehnya membela diri, dan tidak ada
perbedaan pendapat di antara ulama tentang bolehnya hal itu. Dan telah
bermunculan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah tentang hal itu. Alloh ta’ala berfirman:
﴾‫﴿وملن انتُص بعد ظلمه فأولئك ما عليهم من سبيل‬
“Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada
satu dosapun terhadap mereka.”
﴾‫﴿والذين إذا أصاِبم البغي هم ينتُصون‬
“Dan orang-orang yang jika tertimpa kezholiman mereka membela diri.”
Dan bersamaan dengan ini maka bersabar dan memaafkan itu lebih utama. Alloh
ta’ala berfirman:
﴾‫﴿وملن صِب وغفر إن ذلك ملن عزم األمور‬
“Dan barangsiapa yang bersabar dan mengampuni maka sungguh yang demikian itu
merupakan perkara yang ditekankan.”
Dan berdasarkan hadits yang disebutkan setelah ini:
»‫«ما زاد اهلل عبدا بعفو إَل عزا‬
“Tidaklah Alloh menambahi seorang hamba dengan pemaafan kecuali kemuliaan.”
Dan ketahuilah bahwasanya mencaci seorang muslim tanpa hak adalah harom,
sebagaimana sabda Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬:
.»‫«سباب املسلم فسوق‬
“Mencaci seorang muslim merupakan kefasiqan.”
Dan tidak boleh bagi orang yang dicerca untuk membalas kecuali dengan yang
semisal dengan cacian tadi, selama bukan merupakan suatu kedustaan atau tuduhan
palsu, atau cercaan pada pendahulunya.”

(selesai dari “Syarhun Nawawiy ‘Ala Shohih Muslim”/8/hal. 398).


172

Mereka itu manakala menampakkan kezholiman terhadap Darul Hadits di


Dammaj, Syaikh kami dan sebagian pelajar membantah mereka. Maka jika mereka
jatuh, maka jatuhnya mereka bukanlah di tangan salah seorang dari manusia, dan bukan
karena bidikan ahli Dammaj, akan tetapi jawabannya adalah sebagaimana telah lewat.
Maka kejadian ini adalah kejadian amar ma’ruf dan nahi munkar, serta jarh terhadap
mu’anidin (para pembangkang) terhadap kebenaran setelah jelasnya dalil-dalil, bukan
kasus upaya penjatuhkan fulan dan fulan.

Seseorang itu sekalipun kedudukannya tinggi di masyarakat, jika dia berpegang


dengan hizbiyyah setelah ditegakkannya hujjah kepadanya maka dia itu adalah
mubtadi’. Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬berkata tentang Ikhwanul Muslimin: “Di kalangan
mereka ada yang menjadi koruptor dakwah. Kami tidak mengatakan bahwa mereka
semua seperti itu. Di kalangan mereka ada orang-orang utama. Akan tetapi orang yang
utama dari mereka adalah mubtadi’ karena dia berpegang dengan hizbiyyah.”
(“Ghorotul Asyrithoh”/1/hal. 491).

Maka bukanlah kasus ini kasus pengincaran terhadap ulama. Akan tetapi
barangsiapa menghinakan diri dengan kemaksiatan maka sungguh dia telah
menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan, maka jangan sampai dia mencela
kecuali dirinya sendiri. Alloh ta’ala berfirman:

]40 ،6/‫اها﴾ [الشمس‬


َ ‫اب َم ْن َدس‬ َ ‫﴿ َقدْ َأ ْف َل َح َم ْن زَ ك‬
َ َ‫اها * َو َقدْ خ‬

“Sungguh telah beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh telah
merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams: 9-10).

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan maknanya adalah: Sungguh telah
beruntung orang yang membesarkan jiwanya, meninggikannya dan memunculkannya
dengan ketaatan pada Alloh. Dan sungguh telah rugi orang yang menyembunyikannya,
menghinakannya, dan mengecilkannya dengan kedurhakaan pada Alloh. Asal dari ‫عدسية‬
adalah penyembunyian. Di antaranya adalah firman Alloh ta’ala: ( ‫)يدسه في العرا‬
“Menyembunyikannya ke dalam tanah”. Maka pelaku maksiat itu menyembunyikan –
atau menguburkan- dirinya ke dalam maksiat dan menyembunyikan tempatnya, dan
bersembunyi dari para makhluk dikarenakan jeleknya apa yang dikerjakannya. Dia telah
terhina di sisi dirinya sendiri, terhina di sisi Alloh, dan terhina di sisi para makhluk.
Adapun ketaatan dan kebajikan itu membesarkan jiwa, memuliakannya dan
meninggikannya hingga menjadi paling mulia, paling besar, paling suci dan paling
tinggi,…” dst. (“Al Jawabul Kafi”/1/hal. 52).

Adapun ucapan Luqman: “Al Hajuriy telah menjatuhkan para masyayikh,


akhirnya tidak tersisa para masyayikh di Yaman,” "Karena Hajuriy sudah mentahdzir
para masyayikh akhirnya tidak tersisa masyayikh di Yaman dimunculkanlah
173

diciptakanlah masyayikh-masyayikh baru yang diistilahkan dengan masyayikhud dar,


masyayikh ma’had Dammaj. Teman-teman ustadz-ustadz kita"

Ucapan itu dia warisi dari Arofat Al Bashiriy: “Al Hajuriy terpaksa mengangkat
orang-orang dengan menjatuhkan ulama sampai mereka mendukungnya di atas
kebatilannya, dan dia menggelari mereka sebagai Masyayikh Dar.”

Maka jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Sebagaimana telah lewat bahwasanya Asy Syaikh Yahya dan yang bersama
beliau tidak menjatuhkan para ulama, dan tidak meniatkan kejahatan tadi. Hanyalah
orang yang berjatuhan itu adalah jatuh dengan sebab dosa-dosanya. Dan Alloh itu di
tangan-Nya keadilan, mengangkat dan merendahkan orang yang dikehendaki-Nya.
Kemudian sesungguhnya para ulama yang kokoh di Yaman dan yang lain itu banyak.

Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ibbiy, Syaikh Abu ‘Amr Abdul Karim Al Hajuriy,
Syaikh Abdul Hamid Al Hajuriy, Syaikh Abu Bilal Kholid bin Abud Al Hadhromiy, Syaikh
Thoriq bin Muhammad Al Ba’daniy, Asy Syaikh Abud Dahdah Al Hajuriy, Asy Syaikh
Kamal bin Tsabit Al ‘Adniy, Asy Syaikh Sa’id bin Da’as Al Yafi’iy, Asy Syaikh Abul Yaman
‘Adnan Al Mishqoriy, Asy Syaikh Abu Mu’adz Husain Al Hathibiy, Asy Syaikh Abu Hamzah
Muhammad bin Husain Al ‘Amudiy, Asy Syaikh Abdul Wahhab Asy Syamiriy, Asy Syaikh
Zakariya Al Yafi’iy, Asy Syaikh Abu Abdillah Zayid bin Hasan Al Wushobiy Al Umariy, Asy
Syaikh Abu Abdirrohman Jamil bin Abdah Ash Shilwiy.

Dan demikian pula Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Mani’
(Salah satu penegak dakwah Salafiyyah di Shon’a), Asy Syaikh Abdurroqib Al Kaukabaniy
(diusir oleh hizb baru dari masjid yang dulu beliau menegakkan dakwah di situ, lalu
beliau bergabung dengan Asy Syaikh Muhammad Mani’). Seperti itu pula Syaikh Ahmad
bin ‘Utsman Al ‘Adniy (di propinsi ‘Adn). Dan juga Syaikh Abu ‘Ammar Yasir Ad Duba’iy
(di Mukalla) dan mereka berupaya keras untuk menyakiti beliau, Syaikh Abdulloh bin
Ahmad Al Iryaniy (dulu di Baidho, lalu mereka berupaya untuk mengusir beliau dari
masjid tempat beliau berdakwah), demikian pula Syaikh Abu Bakr Abdurrozzaq bin
Sholih An Nahmiy (beliau menegakkan dakwah dan pendidikan umat di propinsi
Dzammar) mereka berupaya untuk mengusir beliau dari masjid beliau. Demikian pula
Asy Syaikh Abu Abdillah Muhammad Ba Jammal Al Hadhromiy (di Hadhromaut), Asy
Syaikh Yahya Ad Dailamiy (di wilayah Ma’bar), Asy Syaikh Abu Abdissalam Hasan bin
Qosim Ar Roimiy (di propinsi Ta’iz), dan yang lainnya yang belum saya ingat sekarang ini.
Semoga Alloh menjaga mereka semua.

Saya telah menjelaskan kemampuan mereka dalam berijtihad dalam risalah yang
lain. Adapun orang yang dengki semisal Luqman Ba Abduh, maka dia tak bisa
melampaui kadarnya karena kezholimannya, kekurangannya dalam belajar, dan
kesombongannya. Dan telah nampak kesombongannya dalam ceramahnya lima tahun
yang lalu (kurang lebih), dan aku telah menjelaskan itu dalam risalah “Inbi’atsut
174

Tanabbuh Bi Inkisyafi Hizbiyyati Luqman Ba Abduh” (kalau tak salah dengan judul
terjemah: “Bangkitnya Kesadaran Penuh Atas Terbongkarnya Hizbiyyah Luqman Ba
Abduh”) dengan tanggal 11 Dzul Hijjah 1429 H.

Dan manakala telah banyak penghinaan sebagian orang yang menisbatkan


dirinya pada ilmu terhadap para masyayikh sunnah yang bersama Asy Syaikh Yahya ‫حفظه‬
‫ هللا‬, saya harus menampilkan kebenaran dan kenyataan, dalam rangka menolong dan
membela orang-orang baik. Saya akan memberikan pada kalian beberapa contoh:

Sebagian keutamaan Syaikh kami Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam
Al Fadhliy Al Ba’daniy ‫حفظه هللا ورعاه‬
Al Imam Muqbil Al Wadi’iy ‫ رحمززه هللا‬berkata tentang beliau dalam kitab
“Tarjumah” no. (326)/hal. 57/cet. Darul Atsar: “Beliau menghapal Al Qur’an, “Bulughul
Marom,” “Umdatul Ahkam,” “Riyadhush Sholihin,” dan “Shohih Muslim.” Selesai.

Syaikh kami Yahya Al Hajuriy ‫ حفظززه هللا‬berkata tentang beliau dalam kitab
“Thobaqot” no. (99)/hal. 62/cet. Darul Atsar: “Beliau kokoh, menuntut ilmu dengan
adab dan ketenangan, menghapal Al Qur’an, “Shohih Muslim,” “Ash Shohihul Musnad
Mimma Laisa Fish Shohihain”, penelusur, punya tahqiq juz kesembilan dari “Fathul
Bari,” punya risalah “Fathul Mannan Fima Shohha Min Manshukhil Qur’an,” dan risalah
tentang puasa.” Selesai.

Syaikh kami Thoriq Al Ba’daniy ‫ حفظزه هللا‬berkata tentang beliau: “Beliau termasuk
dari masyayikh Darul Hadits dan termasuk murid Darul Hadits yang paling menonjol,
sampai bahkan syaikh kami Yahya ‫ حفظزه هللا عازالى‬berkata: “Insya Alloh jika kami keluar
untuk berdakwah Muhammad bin Hizam menggantikan aku.” Selesai dari ucapan
syaikh. Dan beliau memang pantas untuk itu. Beliau termasuk orang yang Alloh bukakan
pada mereka hapalan, Al Qur’an, fiqih, mushtholah, aqidah, hadits, dan cabang-cabang
ilmu yang lain. Dan beliau kokoh di atas manhaj Salafiy. Dan yang demikian itu adalah
keutamaan dari Alloh yang diberikan-Nya kepada yang dikehendaki-Nya. Dan beliau
punya syarh-syarh di antaranya adalah: “Syarh Bulughul Marom (Fathul Allam Dirosah
Haditsiyyah Wa Fiqhiyyah Li Bulughul Marom)”. Dan syarh beliau untuk kitab ini
melampau kebanyakan dari syarh-syarh yang ada di lapangan. Maka semoga Alloh
membalas beliau dengan kebaikan dan memberikan manfaat dengannya. Dan beliau
punya syarh terhadap “Lamiyyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah” telah dicetak. Dan
beliau punya “Ithaful Anam Fi Ahkamish Shiyam” telah dicetak. Dan beliau punya
“Fathul Mannan Fima Shohha Min Manshukhil Qur’an,” telah dicetak. Dan beliau
termasuk yang bergabung dalam tahqiq “Fathul Bari”. Dan beliau punya tahqiq
terhadap “Al Mughni” karya Ibnu Qudamah, sedang proses pencetakan. Dan beliau
punya kitab “Al Muntaqo Minal Kafiyyatisy Syafiyyah” karya Ibnul Qoyyim, sedang
proses pencetakan. Dan “Syarh Fathil Majid” sedang proses pencetakan. Dan
“Munkarotun Syai’ah Yajibul Hadzr Minha”, (19) dan beliau punya karya yang lain. Kita

(19)
Saat ini empat kitab yang mulia itu telah tercetak.
175

mohon pada Alloh untuk kami dan beliau taufiq dan kelurusan.” (selesai penukilan dari
kitab “Ar Roddusy Syar’iy ‘Alal Kadzub Al Muftari Muhammad Asy Syarbiniy’”/hal. 83,
sedang proses pencetakan).

Ini kurang lebih lima tahun yang lalu. Adapun sekarang, telah bertambah
kebagusan beliau dengan seidzin Alloh dan karunianya hapalan beliau, tulisan beliau,
khuthbah beliau, ilmu beliau dan yang lainnya yang tidak membiarkan seorang
pengamat yang adil masih merasa ragu bahwasanya Asy Syaikh Muhammad bin Hizam
Al Fadhliy adalah termasuk dari fuqoha mujtahidin.

Saudara kita Rosyid Al Jazai’riy ‫ حفظزه هللا‬berkata tentang Asy Syaikh Muhammad
bin Hizam ‫حفظزه هللا‬: “Adapun sekarang maka sungguh telah bertambah hapalan beliau
dengan hadits-hadits “Mafaridul Bukhoriy”, sehingga berkumpullah untuk beliau
hapalan Ash Shohihain, hapalan “Bulughul Marom,” “Riyadhush Sholihin,” “Ash
Shohihul Musnad Min Asbabin Nuzul,” “Alfiyyatul ‘Iroqiy Fil Mushtholah,” “Alfiyyah Ibni
Malik Fin Nahwi,” kitabut “Tauhid,” “Matan Ath Thohawiyyah,” Syair “Imrithiy.” Ini
ditinjau dari sisi hapalan.

Adapun ditinjau dari sisi karya tulis yang telah dicetak, yaitu:

1- "Fathul Allam Dirosah Haditsiyyah Wa Fiqhiyyah Li Bulughul Marom" (lima jilid


besar, dan itu adalah kitab yang bagus).
2- “Fathul Mannan Fima Shohha Min Manshukhil Qur’an,”
(saya –Abu Fairuz ‫عفزا هللا عنزه‬- berkata: Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy
‫ حفظززه هللا‬berkata dalam pengantar beliau terhadap risalah ini : "… bangkitlah
saudara kita yang mulia Muhammad bin Ali bin Hizam ‫ حفظزه هللا‬dengan mensyarh
sepuluh bait syair tadi, dan menelusuri dalil-dalilnya, dengan mengambil faidah
dalam amalan tadi dari kitab-kitab tafsir dan yang lainnya, kemudian beliau
menyodorkan risalah tadi padaku, maka aku membacanya secara sempurna,
maka aku lihat itu adalah pembahasan yang memberikan faidah, datang dengan
kerja keras yang bagus dan amalan yang mantap, hampir meliputi seluruh apa
yang tetap dalam nasikh Al Qur’an dan mansukhnya pada risalah yang ringkas
ini, jika tidak seluruhnya. Dan pengetahuan tentang itu merupakan faidah yang
agung untuk penuntut ilmu, untuk menghapal bait syair tadi dan memahami
syarhnya. Maka kami menasihati para pelajar untuk itu. Maka semoga Alloh
membalas saudara kita yang mulia tadi dengan balasan yang terbaik atas amalan
beliau ini, dan atas bagusnya akhlaq beliau dan kerja keras beliau dalam
menuntut ilmu dan adab beliau yang bagus.").
3- “Ithaful Anam Bi Ahkam Wa Masailish Shiyam”
(saya –Abu Fairuz ‫عفزا هللا عنزه‬- berkata: Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy
‫ حفظزه هللا‬berkata dalam pengantar beliau terhadap risalah ini : "… sungguh aku
telah membaca risalah “Ithaful Anam Bi Ahkam Wa Masailish Shiyam” karya
saudara kita yang mulia Asy Syaikh Muhammad bin Hizam Al Fadhliy ‫حفظزه هللا‬
176

maka aku melihatnya risalah yang menyempurnakan dan memberikan faidah


dalam bab ini. Harapan kami pada Alloh ‫ عزز وجزل‬agar memberikan manfaat bagi
muslimin dengan risalah itu dan dengan pemiliknya. Dan dengan pertolongan
Alloh sajalah kita mendapatkan taufiq.").
4- "Munkarot Sya’iah Fil Mujtama’at Yajibul Hadzr Minha."
5- "Al Fawaidul Bahiyyah Fi Syarh Lamiyyah Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah"
6- “Al Muntaqo Minal Kafiyyatisy Syafiyyah”
7- "Al Mukhtar Min Ahadits Sayyidil Abror Fil Mu’taqodish Shohih"
8- "At Taudhihul Mufid ‘Ala Kitab Fathil Majid: Tahqiq Wa Ta’liq Wa Takhrij"
9- "Tahqiq Wa Takhrij Ahadits Bulughil Marom"
(saya –Abu Fairuz ‫عفزا هللا عنزه‬- berkata: Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy
‫ حفظزه هللا‬berkata dalam pengantar beliau terhadap risalah ini : "…sungguh saya
telah membaca tahqiq saudara kita penelusur yang mulia, dai ke jalan Alloh
Muhammad bin Ali bin Hizam Al Fadhliy ‫ حفظزه هللا‬terhadap Bulughul Marom, yang
mana Alloh memberikan taufiq untuk memberikan perhatian dan pelayanan
dengan tahqiq dan syarh serta mengajarkannya pada saudara-saudaranya
penuntut ilmu, maka aku melihatnya sebagai tahqiq yang bagus, mengambil
jalan ulama dan kerja keras mereka. Maka semoga Alloh membalas saudara kita
Muhammad bin Hizam dengan kebaikan dan memberikan manfaat
dengannya.").
10- "Miatu Hadits Mukhtaroh Lil Hifzh"
Saudara kita Rosyid Al Jazai’iy ‫ حفظزه هللا‬berkata: "Ini yang sudah dicetak, adapun
yang sedang proses dicetak:
1- "Al Mukhtar Min Ahadits Sayyidil Abror Fil Fiqhisy Syar’iy"
2- "Tahqiq Wa Takhrij Atsaril Mughniy Li Ibni Qudamah"
3- "Dinul Islam Huwa Dinus Sa’adah"
4- "Ta’liqot ‘Alal Mudzakkiroh Lisy Syinqithiy"
5- "Syarh Manzhumatil Imrithiy"
Saudara kita Rosyid Al Jazai’iy ‫ حفظزه هللا‬berkata: "Ini yang sedang proses dicetak,
adapun yang sudah siap tapi belum dikirimkan ke percetakan:
1- "At Ta’liqot ‘Ala Syarhith Thohawiyyah Li Ibni Abil ‘Izz"
2- "At Ta’liqot ‘Ala Syarhil Washithiyyah Lil Harros"
3- "At Ta’liqot ‘Alat Taqyiid Wal Idhoh"
4- "At Ta’liqot ‘Ala Nuzhatun Nazhor"
5- "At Ta’liqot ‘Ala Dhowabithil Jarh Wat Ta’dil"
6- "At Ta’liqot ‘Ala Ikhtishor Ulumil Hadits"
7- "Syarhud Duroril Bahiyyah"
Beliau punya beberapa selebaran:
1- "Tahdzirul Muslimin Min Khothorir Rofidhotil Hutsiyyin"
2- "Shifatul Hajj"
3- "Shifatul Umroh"
177

Saudara kita Rosyid Al Jazai’iy ‫ حفظززه هللا‬berkata: "Ini semua yang sudah jadi.
Adapun yang masih proses digarap:
1- "Al Jami’ush Shohih Fil Fiqhisy Syar’iy"
2- "Syarhul Mukhtar Fil ‘Aqidah"
3- "Afrodul Imam Muslim ‘Anil Bukhoriy"
4- "Tahdzirul Muslimin Min Khothoril Bathiniyyah"
(selesai penukilan dari risalah "Ad Dalailul Bayyinat"/Rosyid Al Jazai’iy ‫حفظزه هللا‬/hal. 70-
71).
Dan tidak memungkinkan bagiku untuk menyebutkan seluruh kata pengantar
ulama untuk kitab-kitab beliau, semoga Alloh menjaga beliau dan seluruh ulama
sunnah.
Dan kita mohon pada Alloh ‫ عزز وجزل‬agar menjaga syaikh kita Muhammad bin
Hizam dari seluruh makar para setan manusia dan jin sampai akhir hayat, memberkahi
beliau dalam apa saja yang dirizqikan pada beliau, memberikan dengan beliau manfaat
pada Islam dan Muslimin, dan menjadikan beliau duri di tenggorokan para ahli batil,
karena sesungguhnya setan itu tidak membiarkan pelaku kebaikan kecuali bersemangat
untuk merusaknya. Maka cukuplah Alloh sebagai pelindung dan cukup Dia sebagai
penolong. Alloh ta’ala berfirman :
ِ ِ ِ ِ ‫ض و َألُغْ ِوينهم َأ‬ ِ
‫ني * َق َال َه َذا‬ َ ‫ني * إَِل ع َبا َد َك من ُْه ُم املُْخْ َلص‬ َ ‫مجع‬ َْ ْ ُ َ َ ِ ‫﴿ َق َال َرب بِ ًَم َأغْ َو ْيتَني َألُزَ ينَن َُهل ْم ِيف ْاألَ ْر‬
‫ين * َوإِن َج َهن َم َمل ْو ِعدُ ُه ْم‬ َ ‫َاو‬ِ ‫ك ِم َن ا ْلغ‬ َ ‫ِصاط َع َيل ُم ْست َِقيم * إِن ِع َبادِي َل ْي َس َل‬
َ ‫ك َع َل ْي ِه ْم ُس ْل َطان إَِل َم ِن ات َب َع‬ َ
ِ

.]12 - 26 :‫ني﴾ [احلجر‬ ِ ‫َأ‬


َ ‫مجع‬ َْ
"Iblis berkata: "Wahai Robbku disebabkan karena Engkau menyesatkan diriku
pastilah aku akan menghiasi untuk mereka di bumi, dan pastilah aku akan
menyesatkan mereka semua, kecuali para hamba-Mu dari mereka yang dibersihkan."
Alloh berfirman: "Ini adalah jalan lurus yang menjadi tanggunganku untuk
menjaganya. Sesungguhnya para hamba-Ku engkau tidak punya kekuasaan terhadap
mereka kecuali orang yang mengikuti engkau dari kalangan orang-orang yang sesat.
Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang dijanjikan pada mereka
semua." (QS. Al Hijr: 39-43).

Sebagian keutamaan Syaikh kami Abu Abdurrohman Abdulloh bin Ahmad Al


Iryaniy ‫حفظه هللا ورعاه‬
Sungguh Luqman Ba Abduh telah terpanggang dengan kehadiran Syaikh kami
Syaikh kami Abu Abdurrohman Abdulloh bin Ahmad Al Iryaniy ‫ حفظزه هللا ورعزاه‬di tengah-
tengah Salafiyyin di negri kami Indonesia, sehingga dia mencerca dan menghina beliau.
Di antara perkataannya: "Masyayikh jadi-jadian," "Abdulloh Iryani ini kadzdzab
(pendusta besar) ini, masyayikh jadi-jadian. Bukan masyayikh. Al Hajuriy saja tidak
178

setara dengan Syaikh Al Imam, Syaikh Al Wushobiy, Syaikh Al Buro’iy, apalagi murid-
muridnya" "Abdulloh Al Iryani ini pendusta, hizbiy hajuriy. Bukan syaikh."
Jawab kami –dengan taufiq Alloh-:
Bahkan syaikh kami Abdulloh Al Iryani ‫ حفظزه هللا‬adalah seorang syaikh alim salafiy
faqih. Dan tidak ada yang tahu keutamaan orang yang utama kecuali pemilik
keutamaan. Dan aku akan menukilkan sebagian dari apa yang aku tulis tentang kebaikan
Asy Syaikh Al Iryani ‫حفظه هللا‬:

Asy Syaikh Abdulloh Al Iryaniy ‫ حفظه هللا‬termasuk murid senior Al Imam Al


'Allamah Muqbil bin Hadi Al Wadi'iy ‫ رحمه هللا عاالى‬. Kemudian beliau mengambil faidah
dari dars-dars Asy Syaikh Al 'Allamah Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا عاالى‬.
Beliau mengajari anak-anak muslimin berbagai pelajaran di Darul Hadits di
Dammaj dan di berbagai markiz-markiz ilmiyyah di Yaman. Dan beliau termasuk dai
terkenal di negri Yaman. Dan beliau juga termasuk dari kalangan tokoh yang kokoh di
atas sunnah dan penasihat yang punya kecemburuan terhadap agama, di atas manhaj
salaf. Alloh sajalah yang bisa menilai beliau.
Kemudian sesungguhnya karya tulis seseorang itu menunjukkan kadar ilmu dan
akal dia. Yahya bin Kholid -‫رحمهه هللا‬- berkata: “Ada tiga perkara yang menunjukkan akal
pemiliknya: Kitab menunjukkan akal penulisnya. Utusan menunjukkan akal sang
pengutus. Hadiah menunjukkan akal sang pemberi.” (“Al ‘Aqdul Farid”/1/hal. 170).

Dan Alloh telah memberikan taufiq pada syaikh kami Abdulloh Al Iryaniy ‫حفظه هللا‬
untuk menyebarluaskan berbagai ilmu sunnah dan membelanya dengan tulisan dan
khothbah, yang menunjukkan kuatnya ilmu beliau dan bagusnya pemahaman beliau. Di
antara karya tulis beliau adalah:

1- "Irsyadul bashir Li Mafasid Wa Adhror Bid'atil Ihtifal Bi Yaumil Ghodir" (cet.


Darul Atsar)
Syaikh kami Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dalam pengantar beliau untuk
kitab tadi berkata: "… akan tetapi Alloh itu mengawasi para pengkhianat tadi. Dia
Yang Mahasuci itulah Yang menggandengkan di setiap zaman para tokoh yang
jujur dan menasihati, dan menghibahkan jiwa-jiwa mereka untuk menolong
kebenaran dan melenyapkan kebatilan, berdasarkan ilmu yang kuat dan cahaya
dari Kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya ‫ صلى هللا عليه وسم‬. Dan termasuk nasihat yang
paling agung yang saya lihat pada hari-hari ini adalah: apa yang dilaksanakan oleh
saudara kita yang mulia dai ke jalan Alloh Abdulloh bin Ahmad Al Iryaniy ‫حفظه هللا‬,
yang berupa penjelasan tentang kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada
hari raya Ghodir, dan penjelasan tentang bahaya-bahayanya terhadap muslimin
dalam agama dan dunia mereka. Di dalam risalah ini beliau mengumpulkan
mayoritasnya dan menjelaskan keburukannya. Ketika beliau membacakannya
179

kepadaku dengan perintah dari syaikh kami Al Wadi'iy(20) –semoga Alloh


menyembuhkan beliau- aku melihat saudara kita Abdulloh Al Iryaniy komitmen
pada kebenaran dan ketepatan, dan mendatangkan faidah-faidah yang
menyenangkan orang-orang yang punya mata hati. Maka semoga Alloh
membalasnya dengan kebaikan." Selesai.
Asy Syaikh Muhammad Al Imam ‫ وفقه هللا‬berkata: "… saya telah melihat
risalah saudara yang diberkahi Abdulloh bin Ahmad Al Iryaniy yang berjudul:
"Irsyadul bashir Li Mafasid Wa Adhror Bid'atil Ihtifal Bi Yaumil Ghodir" maka
saya dapati dia itu adalah risalah yang bermanfaat, dan keperluan kepada risalah
tadi adalah mendesak. Sang penulis telah menjelaskan pada baris-baris risalahnya
tersebut perkara yang dikandung oleh bid'ah Ghodir, yang berupa aqidah yang
rusak, keadaan yang mungkar, keburukan yang menjijikkan, perbuatan-perbuatan
yang menjijikkan. Dan memang demikianlah nasihat untuk muslimin, pembelaan
terhadap kebenaran, saling menolong di atas kebajikan, melarikan orang dari
kebatilan dan pembawa kebatilan." Selesai yang dimaksudkan.
Saya katakan ‫عفا هللا عني‬: "Dan kitab ini merupakan bantahan terhadap
bid'ah Rofidhoh dalam perayaan mereka di suatu hari, mereka pada hari itu
membuat kemungkaran-kemungkaran yang besar, di antaranya adalah caci-
makian yang keras terhadap para Shohabat. Dan terkadang mereka
mendatangkan seekor anjing betina, lalu mereka menguburnya setengah badan
dan merajamnya sampai mati dengan keyakinan bahwasanya dia tadi adalah
Ummul Mukminin Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬dan bahwasanya beliau itu berzina –kita
berlindung pada Alloh dari keburukan ucapan ini- dan belum ditegakkan pada
beliau hadd. Maka bangkitlah Asy Syaikh Abdulloh Al Iryaniy ‫ حفظه هللا‬dengan
menulis kitab yang bagus untuk membantah bid'ah yang busuk itu.
2- "Shifatu 'Umrotin Nabi ‫( "صى هللا عىيه وسىم‬cet. Darul Atsar)
Syaikh kami Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dalam pengantar beliau untuk
kitab ini berkata: "… saya telah membaca risalah "Shifatu 'Umrotin Nabi ‫صى هللا‬
‫ "عىيه وسىم‬karya saudara kita yang mulia Asy Syaikh Abdulloh bin Ahmad Al Iryaniy
‫ حفظه هللا‬maka saya lihat beliau telah mendatangkan di dalamnya pembahasan-
pembahasan yang berfaidah yang mencakup insya Alloh hukum-hukum umroh dan
adab-adab terpentingnya. Kita mohon pada Alloh untuk memberikan manfaat bagi
muslimin dengan kitab tadi dan dengan pemiliknya. Dan dengan pertolongan Alloh
sajalah kita mendapatkan taufiq."
Asy Syaikh Muhammad Al Imam ‫ وفقه هللا‬berkata: "… saya telah diminta
untuk memberikan kata pengantar bagi risalah "Shifatu 'Umrotin Nabi ‫صى هللا عىيه‬
‫ وسىم‬Wa Ahammi Mabadiiha" karya saudara kita Asy Syaikh Abdulloh bin Ahmad
Al Iryaniy ‫ حفظه هللا‬. Dan Asy Syaikh Abdulloh telah diketahui dalam tulisan-tulisan

(20)
Di selang waktu sakitnya beliau di luar Yaman
180

beliau bahwasanya beliau itu berusaha mencari kebenaran, dan menghiasinya


dengan ucapan para ulama. Dan penulisan berdasarkan metode Ahlil Hadits Wal
Ittiba' itu bermanfaat dan berfaidah, segala puji bagi Alloh. Dan kita mohon pada
Alloh untuk memberikan taufiq pada kita semua untuk menyebarkan kebaikan,
dan mengajak kepadanya dan menegakkannya." Selesai.
3- "Al Qoulul Jali Fi Nasfi Abathilil Wataril Muftari"
Dalam kandungan risalah tadi beliau membongkar kedustaan-kedustaan
sebagian pengikut Abul Hasan (Nu'man Al Watar) terhadap syaikh kami Yahya bin
Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬, yang mana kejahatan para ahli ahwa itu terus berdatangan
terhadap beliau, setiap kali satu jenis dari mereka gagal dengan rencana mereka,
digantikanlah oleh yang lain. Maka beliau meruntuhkan kedustaan tadi dan
membinasakannya. Telah berdatangan syukur, pujian dan ucapan selamat untuk
beliau setelah keluarnya risalah yang bagus ini, dari kalangan para salafiyyin yang
cemburu.
4- "Ta'zizil Qoulil Jali"
Di dalamnya ada bantahan yang sangat bagus terhadap risalah "Al
Muhannadul Yamaniy" karya Nu'man Al Watar al hizbiy, dan lembaran-lembaran
Fahd Al Ba'daniy.
5- "Wafatun Nabi ‫ صى هللا عىيه وسىم‬, Waqfatun Wa 'Ibar" (cet. Darul Atsar)
Di dalamnya ada pelajaran-pelajaran yang penting dan bagus dari kisah
wafatnya Nabi ‫صلى هللا عليه وسلم‬.
6- "Al Faidh Fi Hukmi Massil Mushhaf Wa Qiroatil Qur'an Wa Dukhulil Masjid Lil
Junub Wal Haidh" (cet. Darul Atsar)
Syaikh kami Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dalam pengantar beliau untuk
kitab ini berkata: "… saudara kita yang mulia, dai ke jalan Alloh di atas bashiroh
dan dalil, Asy Syaikh Abdulloh Al Iryaniy ‫ وفقه هللا‬telah mengirimkan kepadaku tiga
risalah-risalah:
Yang pertama: yang terbagus bidangnya dan paling luas curahan kerja
kerasnya, adalah apa yang beliau sandarkan kepadanya, yaitu pembahasan hukum
memegang mushhaf dan membaca Al Qur'an serta masuk masjid bagi orang yang
junub dan wanita haidh. Ini adalah masalah-masalah yang di dalamnya banyak
perselisihan. Semoga Alloh mensyukuri saudara kita Abdulloh Al Iryaniy, sungguh
beliau telah mendiskusikan masalah-masalah ini dengan diskusi ilmiyyah yang
mendetail, berpatokan pada dalil-dalil Al Qur'an dan sunnah dan atsar yang
shohih, jauh dari taqlid dan serampangan yang memalingkan banyak tokoh dari
ucapan dan perbuatan yang benar.
Risalah kedua: pembahasan beliau tentang sifat wudhu Nabi ‫صلى هللا عليه‬
‫ وسلم‬, beliau mendatangkannya dalam keadaan yang paling baik.
181

Maka jadilah kedua pembahasan tadi rujukan yang penting yang belum
pernah saya lihat semisal itu dalam kedua bab itu, dalam masalah perhatian dan
penyimpulan pendapat di atas pemahaman yang tembus dan pengetahuan.
Risalah ketiga: pembahasan beliau tentang sifat Rosul yang mulia ‫عليه‬
‫ الصالة والسالم‬, saudara kita yang mulia itu mengurusinya dengan menyebutkan sifat
Rosul ‫ صلى هللا عليه وسلم‬dalam hadits-hadits yang shohih, dan beliau menghiasinya
dengan faidah-faidah yang menguntungkan dari syarh-syarh hadits-hadits tadi,
dan komentar-komentar yang lurus. Hanya saja judul yang ada di lembaran-
lembaran itu lebih luas daripada apa yang dikandungnya dalam lipatan-lipatan
risalah tadi. Seandainya saudara kita Abdulloh menambahkan kata Mukhtashor
(ringkasan) Shifati Rosulillah ‫ صلى هللا عليه وسلم‬niscaya yang demikian itu lebih layak.
Dan kita mohon pada Alloh untuk kita dan untuk saudara kita Abdulloh Al
Iryaniy tambahan dari karunia-Nya. Dan dengan Alloh sajalah taufiq."
7- "Shifatu Wudhuin Nabi ‫( "صى هللا عىيه وسىم‬cet. Darul Atsar)
Di dalamnya ada pelajaran-pelajaran yang penting tentang tata cara wudhu
Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬dari sunnah-sunnah beliau yang shohih dan ucapan-ucapan
para imam ‫رحمهم هللا‬.
8- "Mukhtashor Shifatin Nabi ‫( "صى هللا عىيه وسىم‬cet. Darul Atsar)
Di dalamnya ada gambaran karakteristik Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬, bagaikan
cahaya yang agung yang dengannya orang yang bersemangat untuk meneladani
beliau ‫ صلى هللا عليه وسلم‬mengambil penerangan.
9- "Mulakhoshu Ahkamil Janaiz" (cet. Darul Atsar)
Di dalamnya ada pelajaran-pelajaran yang penting tentang hukum
penyelenggaraan jenazah dari sunnah-sunnah beliau yang shohih dan ucapan-
ucapan para imam ‫رحمهم هللا‬.
10- "Hishnul Mukmin: Adzkar Wa Ad'iyatin Nabi ‫هللا عىيه وسىم‬ ‫( " صى‬cet.
Maktabatul Imam Al Wadi'iy, kemudian cet. Maktabah Daril Hadits)
Di dalamnya ada dzikir-dzikir dan doa-doa yang penting bersumber dari dalil-
dalil yang shohih, yang setiap mukmin perlu kepadanya sepanjang hidupnya.
11- "Qom'ul Bajajah Alladzina Ja'alun Nushha Bi Manzilati Harohaj Rowajah"
Di dalamnya ada dalil-dalil yang sangat banyak dan penjelasan yang sangat
bagus tentang pentingnya membantah ahli batil.
12- "Manaqibul Khulafair Rosyidin" (cet. Maktabatul Imam Al Wadi'iy).
13- "Zadul Mujahidin Li Daf'i Baghyil Mu'tadin" (cet. Maktabah Ibni Taimiyyah)
14- "300 Hadits Muttafaqun 'Alaih, Muntaqoh Min Riyadhish Sholihin" (cet. Darul
Atsar)
182

15- "Ad Durroh Fit Ta'liq 'Ala Shifatil Hajj Wal 'Umroh Lisy Syaikh Al 'Utsaimin"
16- "Riyadhudz Dzakirin Fi Syarh Hishnil Mukmin Min Adzkar Wa Ad'iyatin
Nabiyyil Amin"
17- "Durrus Sahabah Fi Adabil Istithobah"
18- "Al Kusuf: Ahkam Wa Fawaid"
19- "Mansakul Hajj Wal 'Umroh"
20- "Nailul Wathor Fi Ahkamil Mathor"
21- "Ayatullohil Kubro Allati Roahan Nabiy Fi Lailatil Isro"
22- "Fathush Shomad Fi Syarhish Shohihil Musnad Min Dalail Nubuwwah
Muhammad Lil Imamil Wadi'iy"
Dan risalah-risalah berfaidah yang bermanfaat yang lain.
Dan Syaikh kami Al 'Allamah Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dalam kitab beliau
"Ath Thobaqot" berkata: "Abdulloh bin Ahmad bin Hasan Al Iryaniy, Abu Abdirrohman,
penyeru ke jalan Alloh, punya pandangan yang tajam terhadap sunnah, … (rujuk "Ath
Thobaqot"/strata pertama/no. 63).
Syaikh kami Abdulloh Al Iryaniy ‫ حفظه هللا‬tinggal di Darul Hadits dalam tempo yang
lama, memberikan faidah dan mengambil faidah, menulis risalah-risalah yang
bermanfaat, keluar untuk dakwah di berbagai tempat di Yaman, Alloh mengokohkan
beliau di fitnah-fitnah ahli ahwa, bangkit untuk menolong kebenaran dan para pembela
kebenaran, dan menghantam kebatilan dan para ahli batil sesuai dengan kemampuan
beliau.
Kemudian beliau ‫ حفظه هللا‬berpindah dan tinggal di masjid Baidho sambil
melanjutkan amalan-amalan beliau yang diberkahi, kemudian di Baitul Faqih, dan
sebelum itu di wilayah Yafi' dan yang lainnya dengan karunia Alloh, di mana saja beliau
singgah, beliau bermanfaat.
Dan syaikh kami Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬telah mengutus beliau (di selang waktu
bulan Sya'ban dan Romadhon 1432 H) ke negri kami Indonesia untuk berdakwah dan
mengajarkan ilmu dan amal syar'iy, dan memahamkan manusia tentang dakwah
Ahlussunnah, bahwasanya dakwah ini adalah dakwah perdamaian dan perbaikan, bukan
dakwah pemberontakan ataupun penggulingan kekuasaan. Maka dihasilkanlah
keberkahan dakwah yang agung dengan karunia dan kedermawanan dari Alloh.
Dan para hizbiyyin di sana sini berusaha menimpakan makar pada beliau. Tapi
tidaklah tipu daya ahli batil itu membahayakan ahli haq sedikitpun, karena
sesungguhnya Alloh itu bersama dengan orang-orang yang bertaqwa. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬berkata: "Apa yang bisa dilakukan oleh para musuhku
terhadapku? Aku adalah jannahku. Kebunku ada di dadaku. Jika aku pergi, kebunku
bersamaku dan tidak berpisah denganku. Sesungguhnya penjaraku adalah khulwah
183

(menyendiri), pembunuhan terhadapku adalah syahadah, pengusiranku dari negriku


adalah siyahah (jalan-jalan)." ("Al Wabilush Shoyyib"/hal. 67).

Sebagian dari keutamaan syaikh kami yang mulia Abu Muhammad Abdul
Hamid bin Yahya bin Zaid Al Hajuriy Az Za’kariy ‫حفظه هللا ورعاه‬
Doktor Abdulloh Al Bukhoriy telah mengejek syaikh kami yang mulia Abu
Muhammad Abdul Hamid bin Yahya bin Zaid Al Hajuriy Az Za’kariy ‫ حفظه هللا ورعاه‬dan
berkata bahwasanya beliau adalah termasuk dari ekor-ekor Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy
‫ حفظه هللا‬, membebek tanpa meneliti masalah. Justru Syaikh Abdul Hamid adalah Syaikh
yang alim, berjalan bersama As Syaikh Yahya dengan ilmu, pengetahuan dan bashiroh
(ilmu, bayyinah dan keyakinan), dan beliau mengetahui bahwasanya Asy Syaikh Yahya
ada di atas kebenaran dalam kasus ini –seperti kasus-kasus sebelumnya-, berhak
ditolong dan dibantu, dengan dalil-dalil syar’iyyah.

Al Imam Muqbil Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬berkata tentang beliau dalam kitab


“Tarjumah”: “Menghapal Al Qur’an.” (“Tarjumatu Abi Abdirrohman Muqbil”/ no.
(178)/cet. Darul Atsar).

Syaikh kami Yahya ‫ حفظه هللا‬berkata dalam “At Thobaqot” (no. 52/hal. 48/cet.
Darul Atsar): “Kokoh, menghapal Al Qur’an dan Shohih Muslim, penelusur, punya kitab
“Fathul Mannan Fish Shohihil Musnad Min Ahaditsil Iman”, “Al Bayanul Hasan Lima
Ahyahusy Syaikh Muqbil Al Wadi’iy Minas Sunan.” Dan bergabung dalam tahqiq satu
jilid dari “Al Muhalla” Ibnu Hazm.”

Syaikh kami Thoriq Al Ba’daniy ‫ حفظه هللا‬berkata tentang beliau: “Beliau termasuk
dari masyayikh Darul Hadits, dan termasuk pengajar, punya tulisan-tulisan yang
bermanfaat, pembelaan untuk sunnah dan Ahlussunnah, punya kerja keras yang
disyukuri. Syaikh kami Yahya ‫ حفظه هللا‬mengirim beliau ke Tanzania bersama saudaranya
Asy Syaikh Al Fadhil Abu Mu’adz Husain Al Hathibiy Al Yafi’iy, dan beliau adalah sebaik-
baik sahabat dalam perjalanan dan ketika bermukim. Dan termasuk dari kitab-kitab Abu
Muhammad adalah “Al Khiyanatud Da’awiyyah…”, dan punya kitab “At Tabyyin Li
Khothoi Man Hashoro Asma Alloh Fi Tis’ah Wa Tis’in,” “Tahdzirul ‘Uqqol Min Fitnatil
Masihid Dajjal,” “Tahqiqul Iman Li Ibni Abi Syaibah,” “Tahqiqul Iman Li Abi Ubaid,”
“Fathul Hamidil Majid Fir Rojih Fi Khuthbatil ‘Id,” “An Nashihah Wal Bayan Lima ‘Alaihi
Hizbul Ikhwan Fi Aknaf Duril Qur’an,” “Ad Dimuqrothiyyah Wal Ikhwanul Muslimun.”
Beliau juga punya amalan lain mendekati sembilan belas karya tulis, di antaranya
sedang proses dicetak, sebagiannya masih tengah dikerjakan, maka semoga Alloh
membalas beliau dengan kebaikan atas nama Islam dan Muslimin.” (selesai penukilan
dari kitab “Ar Roddusy Syar’iy ‘Alal Kadzub Al Muftari Muhammad Asy Syarbiniy’”/hal.
83,sedang proses pencetakan).
184

Barangsiapa melihat pelajaran-pelajaran Asy Syaikh Abu Muhammad Abdul


Hamid Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬, nasihat-nasihat beliau dan karya tulis beliau, dia tahu
bahwasanya Alloh ta’ala telah memberikan karunia pada beliau kemampuan dalam
ilmu-ilmu syar’iyyah dan keahlian untuk berijtihad.

Syaikh seperti ahli ilmu yang lainnya, tidak ma’shum, terkadang keliru, terkadang
benar, akan tetapi yang buruk adalah penghinaan para hizbiyyin terhadap ilmu beliau,
dan ejekan mereka terhadap kekeliruan yang beliau telah rujuk dari itu. Al Imam Adz
Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan bukanlah syarat seorang alim itu bahwasanya dia tidak
keliru.” (“Siyar A’lamin Nubala”/19/hal. 339).

Dan termasuk dari karya tulis beliau ‫ حفظه هللا‬adalah:

1- “At Tabyyin Li Khothoi Man Hashoro Asma Alloh Fi Tis’ah Wa Tis’in,” (cet. Darul
Imam Ahmad)
Fadhilatul Mufti Ahmad bin Yahya An Najmiy ‫ رحمه هللا‬berkata: "… sungguh
Abu Muhammad Abdul Hamid Az Za’kariy Al Hajuriy telah mengirimkan
pembahasan beliau yang bernama : “At Tabyyin Li Khothoi Man Hashoro Asma
Alloh Fi Tis’ah Wa Tis’in,” lalu aku membaca sebagiannya, dan aku bolak-balik
sebagian yang lain karena risalah tadi datang dalam keadaan aku sedang sibuk
dengan amalan yang bertumpuk, maka aku dapati risalah tadi adalah
pembahasan yang bagus sekali di bidangnya, yang mana bahwasanya nama-
nama Alloh ‫ جل شأنه‬tidak dihitung oleh para hamba, dan tidak boleh dibatasi. –
kemudian beliau menyebutkan sebagian dalil dan pendalilan, sampai pada
ucapan beliau:- yang penting, sang penulis telah aku pandang telah
mendapatkan taufiq dalam pembahasan ini yang di dalamnya beliau
mengingkari orang yang menjadikan nama-nama Alloh terbatas dengan
sembilan puluh sembilan saja. Maka semoga alloh membalasnya dengan
kebaikan, dan memberkahi pada dirinya, dan memperbanyak orang-orang
semisalnya. Semoga sholawat dan salam tercurah pada nabi kita Muhammad
dan kepada keluarganya dan shahabatnya."
Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata dalam
pengantarnya: "…Sungguh para pendahulu kita ‫ رحمهم هللا‬telah mencurahkan kerja
keras dalam memperbaiki aqidah mereka dan aqidah muslimin yang lain dari
seluruh kesalahan yang menyelisihi dalil-dalil dan asal manhaj umat ini, karena
pekerjaan yang terpenting bagi muslim adalah: perbaikan aqidahnya di atas
cahaya Kitabulloh dan sunnah Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬dan pemahaman
generasi pertama ‫– رحمهم هللا‬sampai pada ucapan beliau:- dan di atas pengarahan
yang agung ini insya Alloh bangkit saudara kita yang mulia, penelusur yang
memberikan faidah, Abdul Hamid Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬bangkit memberikan nasihat
yang diberkahi ini di dalam risalah yang bermanfaat di dalam bidangnya ini.
Beliau bermaksud dengan itu membantah Al Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm
‫ رحمه هللا‬dan orang yang terpedaya dengan ketergelincirannya yang jelas dalam
185

pembatasan nama-nama Alloh ‫ عز وجل‬dalam sembilan puluh sembilan nama,


yang menyeret untuk meninggalkan sebagian nama Alloh ‫ عز وجل‬yang lain yang
tidak kita ketahui. Dan tidaklah tersamarkan bagi orang yang punya sunnah yang
shohih bahayanya perbuatan tadi. Maka semoga Alloh membalas saudara kita
yang mulia Abdul Hamid Al Hajuriy dengan kebaikan atas peringatannya yang
penting itu, dan memberikan manfaat dengannya."
2- "Fathul Bari ‘Ala Syarhissunnah Lil Barbahariy" (cet. Darul Atsar)
3- "Al Bayan Fi Hukmil Intikhobat" (cet. Darul I’tishom Al Atsariyyah)
4- “Al Bayanul Hasan Lima Ahyahusy Syaikh Muqbil Al Wadi’iy Minas Sunan.”
(cet. Darul Imam Ahmad)
Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata dalam
pengantarnya: "…sungguh aku telah melihat pembahasan yang bernama “Al
Bayanul Hasan Lima Ahyahusy Syaikh Muqbil Al Wadi’iy Minas Sunan” karya
saudara kita Abdul Hamid Az Za’kariy Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬maka aku melihatnya
telah mengumpulkan dalam amalan tadi kumpulan yang bagus dan berfaidah
insya Alloh, mencakup pembahasan pembahasan hadits dan fiqih bersamaan
dengan biografi lengkap untuk syaikh kami Al ‘Allamah Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬dengan
menukilkan fatwa-fatwa beliau dan jejak-jejak beliau yang ilmiyyah agar
diketahui oleh orang-orang, dan itu adalah dalil tentang ilmu beliau, keutamaan
beliau, pembaharuan beliau untuk dakwah salafiyyah yang benar ini, dengan
menyebarkan banyak dari ilmu-ilmu salafiyyah di antara umat Islam setelah
hampir-hampir menjadi sesuatu yang terlupakan" -sampai pada ucapan beliau :-
"Maka kita mohon pada Alloh agar menerima amalan kita, dan dari syaikh kita
apa yang telah beliau lakukan, dan memberikan manfaat dengan pembahasan
ini dari ilmu beliau, dan membalas saudara kita yang mulia Abdul Hamid Al
Hajuriy atas perhatiannya dalam juz ini dan penelitiannya ini."
5- “Ta’liq Wa Tahqiq ‘Ala Kitabil Iman Li Abi Ubaid Al Qosim bin Sallam” (cet.
Darul Imam Ahmad)
Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata dalam
pengantarnya: "…sungguh aku telah melihat sebagian risalah "Al Iman Lil Qosim
bin Sallam ‫ "رحمه هللا‬dengan tahqiq saudara kita Asy Syaikh Abu Muhammad
Abdul Hamid bin Yahya Al Hajuriy ‫حفظه هللا‬, maka aku melihat tahqiq terhadap
tersebut adalah tahqiq yang bagus yang mencakup takhrij hadits dan atsar dari
sumber-sumbernya, dan hukumnya dengan apa yang berhak dengannya, berupa
shohih atau dho’if, disertai dengan penjelasan tentang orang yang menyelisihi
aqidah Ahlussunnah dalam iman dan bantahan pada mereka secara ringkas tapi
tidak kurang. Maka aku mohon pada Alloh agar memberkahi saudara kita Abu
Muhammad dan menolak dari kami dan dirinya fitnah kehidupan dan kematian.
Dan dengan pertolongan Alloh sajalah kita mendapatkan taufiq.
6- “Ta’liq Wa Tahqiq ‘Ala Kitabil Iman Li Ibni Abi Syaibah” (cet. Darul Imam
Ahmad)
186

Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata dalam


pengantarnya:

‫ وأشهد أن ال إله‬،‫احلمد هلل ال ي زين اإليامن يف قلوب عباده وكره إليهم الكفر والفسوق والعصيان‬
‫ وأشهد أن حممدا عبده ورسوله اِلبعوث من ربه عز وجل‬،‫إال اهلل وحده ال َشيك له اِللك الديان‬
ِ ‫ُون لِلن‬
َ‫اس َع َىل اهلل ُحجة َب ْعد‬ َ ‫ين لِئَال َيك‬ ِ
َ ‫ين َو ُمنْذ ِر‬ ِ ‫﴿ر ُس ًال ُم َب‬
َ ‫ْش‬ ُ :‫إلقامة احلجة والربذان قال تعاى‬
:‫ أما بعد‬،]494 :‫َان اهلل َع ِزيزًا َحكِ ًيًم﴾ [النساء‬
َ ‫الر ُس ِل َوك‬
ُّ

"Sungguh aku telah membaca tahqiq risalah "Al Iman Li Ibni Abi Syaibah" karya
saudara kita fillah Asy Syaikh Abu Muhammad Abdul Hamid Al Hajuriy, semoga
Alloh memberinya manfaat dan memberikan manfaat dengannya, dan
menambahinya taufiq dari kedermawanan-Nya ‫ عز وجل‬dan karunia-Nya, maka
aku melihatnya telah mentahqiq risalah tadi dengan tahqiq yang bagus dan
bermanfaat. Maka semoga Alloh membalas beliau dengan kebaikan."
7- "Al Ikhwanul Muslimun Wad Dimuqrothiyyah" (cet. Darul Kitab Was Sunnah)
8- "Fathul Hamidil Majid Fi Bayanir Rojih Fi Khuthbatil ‘Id" (cet. Darul Kitab Was
Sunnah)
Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬setelah berbicara
tentang pembaharuan yang dilakukan oleh Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬di Yaman,
beliau berkata: "Dan manusia dengan segala pujian bagi Alloh mengambil
manfaat dengan sunnah-sunnah ini, yang telah menjadi tidak terdengar
penyebutannya di banyak negri. Kemudian bangkitlah sebagian ahli taqlid dan
orang yang mayoritas bekal mereka dalam fiqih adalah melihat pendapat-
pendapat tanpa memurnikan penelitian pada dalil yang ucapan tadi dibangun di
atasnya, lalu jadilah dia menyebarkan di kalangan manusia yang awam
bahwasanya sunnah dalam Id adalah dua khuthbah, sehingga terjadilah
keributan di antara mereka, bahkan hampir membuat ribut di antara pelajar,
dari jenis kelompok tersebut. Dan dulu kami sering ditanya tentang masalah ini,
maka kami jawab dengan apa yang sebagiannya telah dinukilkan oleh saudara
kita yang mulia, pemilik risalah ini, Abdul Hamid Al Hajuriy ‫ وفقه هللا‬, dan dari
situlah bangkit saudara kita yang mulia tersebut ‫ حفظه هللا‬untuk meneliti masalah
itu dalam pembahasan khusus, dan inilah yang ada di hadapan anda dengan
judul "Fathul Hamidil Majid Fi Bayanir Rojih Fi Khuthbatil ‘Id" disodorkannya
padaku dan aku baca, dan aku lihat dia berjalan di atas kebenaran, dan
berdalilkan dengan dalil-dalil yang sesuai dengan bab-babnya, dan di dalamnya
beliau meruntuhkan pendapat-pendapat yang tersebar di sebagian risalah tadi
yang menyebabkan terjadinya kekeliruan dari sebagian penulis. Maka semoga
Alloh membalas saudara kita Abdul Hamid dengan kebaikan, dan memberikan
manfaat dengannya."
187

9- "An Nashihah Wal Bayan Lima Alaihi Hizbul Ikhwan, Wa Yalihi Nashihah Wa
Tahdzir Li Ashabil Jahl Wat Taghrir" (cet. Darul Kitab Was Sunnah)
Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata dalam kata
pengantarnya: "… sungguh aku telah melihat risalah yang berjudul “An Nashihah
Wal Bayan Li Du’at Hizbil Ikhwan Fi Aknaf Duril Qur’an,” karya saudara kita Asy
Syaikh Abdul Hamid Al Hajuriy, semoga Alloh memberinya manfaat, dan
memberikan manfaat dengannya, maka aku melihat risalah tadi sesuai dengan
namanya, dan penjelasan yang membawakan maknanya, beliau mencurahkan di
situ nasihat yang disyukuri dan pengarahan yang ditopang dengan penukilan dan
bukti-bukti, dengan menekuni kelembutan, dengan faidah yang kami harapkan
Alloh memberikan manfaat dengannya kepada para pelajar Durul Qur’an dan
yang lainnya. Dan dengan pertolongan Alloh sajalah kita mendapatkan taufiq."
10- "Ad Durrul Maknun Fi Ahkamid Duyun" (cet. Darul Imam Ahmad)
Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata dalam pengantarnya:
"…sungguh aku telah melihat pembahasan yang bernama "Ad Durrul Maknun Fi
Ahkamid Duyun" karya saudara kita yang mulia Asy Syaikh Abdul Hamid Al
Hajuriy ‫ وفقه هللا‬maka aku lihat beliau telah mengumpulkan di dalamnya
pembahasan tentang utang-piutang dengan kumpulan yang diberkahi, dengan
faidah yang kami berharap kitab ini menjadi asal dalam bidangnya insya Alloh,
bagi orang yang ingin melihat hukum-hukum bab utang-piutang. Maka semoga
Alloh membalas saudara kita Abdul Hamid dengan kebaikan, dan memberikan
manfaat dengannya, dan menjauhkan kami dan dia dari fitnah-fitnah yang
nampak dan tidak nampak."
11- "Fathul Alim Bi Syarh Risalatil Imam Muhammad bin Abdil Wahhab ‫ رحمه هللا‬Ila
Ahli Qoshim" (cet. Darul Atsar).
12- “Al Khiyanatud Da’awiyyah Hajar ‘Atsarotun Fid Da’watis Salafiyyah” (cet.
Darul Kitab Was Sunnah)
Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata dalam kata
pengantarnya: "… sungguh aku telah risalah “Al Khiyanatud Da’awiyyah Hajar
‘Atsarotun Fid Da’watis Salafiyyah” karya Asy Syaikh Abu Muhammad Abdul
Hamid Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬maka aku melihatnya telah mendatangkan di dalamnya
dalil-dalil dan atsar-atsar dan perkara yang sesuai dengan babnya, dan faidah
yang diharapkan Alloh memberikan manfaat dengannya bagi orang yang
membacanya. Maka semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan dan
memberkahi kerja kerasnya da waktunya."
13- "Aunul Bari Bi Bayan Hizbiyyati Ibnai Mar’iy Waman Jaro Majrohum, War
Roddu ‘Ala Takhorrushot Abdillah bin Abdirrohim Al Bukhoriy" (cet.
Maktabatul Falah).
14- "Al Qobr ‘Adzabuhu Wa Na’imuh" (cet. Darul Imam Ahmad)
Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata dalam
pengantarnya: "…sungguh aku telah melihat risalah "Tanbihu Ulil Abshor Lima
Fil Qobr Minan Na’im Wal ‘Adzab War Rodd ‘Alar Rofidhotil Asyror" karya
188

saudara kita dai ilalloh, yang cemburu untuk agamanya: Abu Muhammad Abdul
Hamid Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬, maka aku melihatnya telah membantah di dalamnya
terhadap orang yang mengingkari adzab kubur dari kalangan Zanadiqoh
Rofidhoh dan yang seperti mereka, dengan bantahan yang kokoh yang didukung
dengan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah dan perkataan Salaf ‫ رضوان هللا عليهم‬,
dan dengan penjelsan yang tidak menyisakan tempat untuk ragu. Dan
sesungguhnya penulisan tentang siksaan kubur semisal pembahasan yang
diberkahi ini adalah termasuk pembelaan untuk agama ini, dan penyebaran
aqidah muslimin, dan penjelasan tentang kesesatan ahli ahwa ahli batil. Maka
semoga Alloh membalas saudara kita Abdul Hamid dengan balasan yang terbaik,
dan memberikan manfaat dengannya, dan dengan penulisnya ini, dan seluruh
pembahasannya untuk Islam dan muslimin."
15- "At Taudhihatul Jaliyyah Li Bayan Haqiqotud Dimuqrothiyyah" (cet. Darul Imam
Ahmad)
Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata dalam
pengantarnya: "…ketahuilah, sesungguhnya termasuk jalan kesesatan yang
paling keras, dan penentang kebenaran dan hidayah yang paling besar adalah
peraturan demokrasi yang menyeleweng itu, yang menumbuhkan anak-anaknya
di atas syirik besar dengan lancang menentang hak murni Alloh ‫ سبحانه‬maka dia
menjadikan hukum itu menjadi hak masyarakat, bukan hak penciptanya, dan hak
pengaturan itu untuk masyarakat, bukan penguasa alam. Dan berapa
banyaknyakah di bawah peraturan yang rusak ini yang menyelisihi Islam dari
prinsipnya dan cabang-cabangnya, dan menentang Kitabulloh dan sunnah Rosul-
Nya. Maka wajib atas setiap muslim yang ridho Alloh sebagai Robbnya, Islam
sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rosulnya untuk membenci
peraturan yang berbahaya ini, dan menghindarinya serta memperingatkan
manusia darinya sesanggupnya dengan peringatan yang keras. Dan semoga Alloh
membalas Asy Syaikh Abdul Hamid bin Yahya bin Zaid Al Hajuriy dengan
kebaikan atas apa yang beliau kumpulkan dalam risalah berfaidah yang berjudul
"At Taudhihatul Jaliyyah Li Bayan Haqiqotud Dimuqrothiyyah" ini, dalam
rangka menegakkan sebagian kewajiban tadi. Dan hanya dengan pertolongan
Alloh saja kita mendapatkan taufiq.
16- "Az Zajr Wal Bayan Li Du’atil Hiwar Wat Taqorubi Bainal Adyan" (cet. Darul
Imam Ahmad)
Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬setelah mendatangkan
penjelasan yang agung tentang bahayanya dakwah kepada pendekatan antara
agama, beliau berkata: "…dan di akhir kata aku bersyukur pada saudara kita yang
mulia yang cemburu pada agama Asy Syaikh Abdul Hamid bin Yahya bin Zaid Al
Hajuriy ‫ حفظه هللا‬atas apa yang beliau jelaskan di dalam pembahasan yang
berfaidah ini, tentang kelapangan Islam dan wajibnya merasa cukup dengannya,
dan apa yang dikandungnya yang berupa nasihat yang diberkahi untuk muslimin
untuk berhati-hati dari apa saja yang menjauhkan dari keridhoan Alloh ‫عز وجل‬
189

dan mendekatkan mereka pada kemurkaan-Nya dan pada orang yang dimurkai-
Nya. Maka semoga Alloh membalas beliau dengan kebaikan dan memberikan
manfaat dengannya."
17- "Tahdzirul ‘Uqqol Min Fitnatil Masihid Dajjal" (cet. Darul Imam Ahmad)
Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬setelah pembukaannya
berkata: "Aku telah melihat risalah "Tahdzirul ‘Uqqol Min Fitnatil Masihid
Dajjal" karya saudara kita yang mulia, dai ilalloh, penelusur yang berfaidah, Abu
Muhammad Abdul Hamid bin Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬maka aku melihatnya
risalah yang mengumpulkan dalil yang shohih dalam bidang ini, berfaidah dalam
babnya. Aku mohon pada Alloh agar memberikan manfaat dengannya dan
dengan penulisnya bagi muslimin."
18- "Dhowabith Tahditsil Awwam Bi Ayati Wa Ahaditsis Asma Wash Shifat" (cet.
Darul Imam Ahmad)
Fadhilatusy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬setelah pembukaannya
berkata: "Aku telah melihat pembahasan ringkas dalam risalah "Tahditsil Awwam Bi
Ayati Wa Ahaditsis Asma Wash Shifat" karya Asy Syaikh Abdul Hamid Al Hajuriy
‫ حفظه هللا‬maka beliau telah mengumpulkan di dalamnya dalil-dalil dan ucapan-ucapan
dengan pengumpulan yang bagus. Beliau telah mendapatkan taufiq dalam amalan
tadi… dst."
19- "Al Ibtihaj Bi Akhbar Dammaj"
20- "As Saifush Shoqil Wan Nushhul Jamil Fi Bayan Halil Majahil"
21- "Tahdzirul Atsbat Mimma ‘Inda Ubaid Al Jabiriy Minat Taqowwulat"
22- "Al Burhan ‘Ala Hizbiyyatil ‘Adaniy Abdirrohman"

Dan beliau memiliki karya tulis yang lain yang bermanfaat yang tidak saya ingat
sekarang, dalam bidang fiqih, aqidah, bantahan terhadap ahli batil dan yang lainnya.

Ini semua menunjukkan kepada kemampuan dan keahlian beliau. Dan tidak
diragukan bahwasanya tingkatan-tingkatan ilmu dan ijtihad itu beragam, akan tetapi
orang yang tidak mencapai tingkatan para imam tidaklah dikatakan bahwasanya beliau
itu bukan alim atau yang seperti itu, lalu diremehkan.

Dan bukanlah syarat seorang mujtahid itu dia itu terkenal di tengah masyarakat dan
banyak ucapannya. Al ‘Allamah Az Zarkasyiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Tidaklah disyaratkan pada
seorang mujtahid yang ucapannya terpandang itu dia itu harus terkenal dalam
berfatwa. Bahkan ucapan seorang mujtahid yang tersembunyi itu terpandang, berbeda
dengan pendapat sebagian orang yang menyeleweng.” (“Al Bahrul Muhith”/6/hal. 100).

Al Imam Ibnu Rojab ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka wajib untuk diyakini bahwasanya tidak
setiap orang yang banyak kemampuannya berbicara dan banyak membicarakan ilmu
berarti dia itu lebih berlimpu daripada orang yang tidak demikian.” (“Fadhlu Ilmis Salaf
‘Alal Kholaf”/hal. 5).
190

Perlu diingat: hakikat ilmu dan fiqih


Sesungguhnya ilmu itu adalah: mengetahui sesuatu sesuai dengan sifatnya, dengan
pengetahuan yang pasti. Al Munawiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Ilmu adalah keyakinan yang pasti
dan kokoh, yang mencocoki kenyataan.” (“At Ta’arif”/hal. 523-524).
Dan ilmu itu tidak terjadi kecuali dibangun di atas dalil. Syaikhul Islam ‫رحمه هللا‬
berkata: "Sesungguhnya ilmu itu adalah sesuatu yang dalil itu tegak di atasnya. Dan ilmu
yang bermanfaat adalah yang dibawa oleh Rosul. Maka yang penting adalah kita berkata
dengan ilmu, yaitu penukilan yang dibenarkan dan penelusuran yang dipastikan."
("Majmu'ul Fatawa"/6/hal. 388).
Al Imam Ibnu Abdil Barr ‫ رحمه هللا‬berkata: "Ahli fiqh dan atsar dari seluruh kota
telah bersepakat bahwasanya ahli kalam adalah ahli bida' dan para penyeleweng, dan
mereka menurut semuanya tidak teranggap di dalam lapisan-lapisan fuqoha. Ulama itu
hanyalah ahli atsar dan orang-orang yang memperdalam pemahaman atsar. Dan
mereka itu bertingkat-tingkat di dalamnya dengan kemantapan, pembedaan dan
pemahaman." ("Jami' Bayanil 'Ilm Wa Fadhlih"/3/hal. 176).
Kemudian ketahuilah bahwasanya hakikat ilmu itu itu bukanlah sekedar hapalan
ilmu, mengetahui dalil-dalil, dan memahami nash-nash semata. Bahkan seorang yang
alim dan faqih itu harus menggabungkan perkara-perkara itu tadi dengan pengamalan
tuntutannya. Inilah dia orang alim dan faqih yang sejati. Alloh ta’ala berfirman:

]14/‫اد ِه ا ْل ُع َل ًَمء﴾ [فاطر‬


ِ ‫َي َشى اهلل ِمن ِعب‬
َ ْ ْ َ ‫﴿إِن ًَم‬

“Yang takut kepada Alloh dari kalangan hamba-Nya hanyalah para ulama.”

Al Imam Ath Thobariy ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Alloh Yang Mahatinggi penyebutannya


berfirman: Hanyalah yang takut kepada Alloh sehingga berusaha melindungi diri dari
hukuman-Nya dengan taat kepada-Nya adalah orang-orang yang tahu akan kemampuan
Alloh terhadap apapun yang dikehendakinya, dan bahwasanya Alloh itu mengerjakan
apapun yang diinginkannya, karena orang yang tahu perkara yang demikian itu dia akan
merasa yakin akan hukuman-Nya atas kedurhakaannya, maka dirinya merasa takut dan
gentar kepada-Nya bahwasanya Dia akan menghukumnya.” (“Jami’ul Bayan”/20/hal.
462).

Al Imam Al Hasan Al Bashriy ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Hanyalah orang faqih itu adalah
orang yang zuhud terhadap dunia, yang berharap besar terhadap akhirat, yang
berpandangan tajam dalam urusan agamanya, yang terus-menerus untuk beribadah
pada Alloh ‫عزز وجزل‬.” (“Akhlaqul ‘Ulama”/karya Al Imam Al Ajurriy/no. (47)/dishohihkan
oleh Syaikhuna Yahya Al Hajuriy ‫حفظه هللا‬/cet. Darul Atsar).

Al Imam Sufyan bin ‘Uyainah ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Orang yang paling bodoh adalah
orang yang meninggalkan apa yang telah diketahuinya. Dan orang yang paling berilmu
191

adalah orang yang mengamalkan apa yang telah diketahuinya. Dan orang yang paling
utama adalah orang yang paling khusyu’ pada Alloh.” (Diriwayatkan oleh Ad Darimiy/no.
(343)/dishohihkan oleh Syaikhuna Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dalam “Al ‘Urful Wardiy”/hal.
159/cet. Darul Atsar).

Dan telah nampak dari ketiga Asy Syaikh tadi ‫ حفظهزم هللا‬semangat mereka untuk
mengetahui kebenaran dan mengikutinya setelah jelas kebenaran itu bagi mereka,
berbeda dengan dengan ahli hawa yang tidak bersemangat mengetahui kebenaran, dan
jika nampak kebenaran yang menyelisihi hawa nafsu mereka, mereka membangkang
terhadapnya dan memusuhi para pembawanya dalam keadaan dengki dan zholim.
Maka mereka itu bukanlah ulama ataupun fuqoha sekalipun umur mereka tua dan kitab
mereka itu banyak.

Al Imam Al Barbahariy ‫ رحمه هللا‬berkata: "Dan ketahuilah bahwasanya ilmu itu


bukanlah dengan banyaknya riwayat dan kitab. Akan tetapi orang alim itu adalah orang
yang mengikuti ilmu dan sunnah sekalipun ilmunya dan kitabnya sedikit. Dan orang
yang menyelisihi Kitab dan Sunnah itu adalah ahli bid'ah sekalipun dia itu banyak
riwayatnya dan kitabnya." ("Thobaqotul Hanabilah"/2/hal. 30).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka seorang mujtahid yang
berijtihad secara ilmiyyah murni dia tidak punya tujuan selain kebenaran, dan dia telah
menempuh jalannya. Adapun orang yang mengikuti hawa nafsu murni maka dia itu
adalah orang yang mengetahui kebenaran dan menentangnya.” (“Majmu’ul
Fatawa”/29/hal. 44).

Beliau ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Bahwasanya ilmu yang hakiki yang merasuk ke dalam
hati itu menghalangi untuk muncul darinya perkara yang menyelisihinya, baik berupa
ucapan ataupun perbuatan. Maka kapan saja muncul darinya perkara yang menyelisihi
ilmu itu tadi, pastilah dia itu dikarenakan kelalaian hati tadi darinya, atau karena
kelemahan ilmu itu di dalam hati untuk menghadapi perkara yang menentangnya. Dan
itu merupakan kondisi-kondisi yang bertentangan dengan hakkikat ilmu, maka jadilah
itu sebagai kebodohan dengan sudut pandang ini.” (“Iqtdhoush Shirotil
Mustaqim”/1/hal. 257).

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: "Tidaklah Salaf dulunya memberikan


nama fiqh kecuali terhadap ilmu yang disertai oleh amalan.” (“Miftah Daris
Sa’adah”/1/hal. 115/Al Maktabatul Mishriyyah).
Maka penjelasan ini cukup untuk menunjukkan bahwasanya para masyayikh
yang tiga tadi dan yang semisal mereka ‫ حفظهم هللا‬berhasil mengambil manfaat dengan
ilmu dan fiqh yang Alloh berikan pada mereka sehingga mereka berhak untuk menjadi
ahli ilmi wal fiqh, dan bahwasanya orang yang mendengki terhadap mereka,
meremehkan mereka dan menyombongkan diri terhadap mereka, dan dia sendiri
memperbanyak dakwaan bahwasanya dirinya itu alim dan agung, dan dia
192

mengharuskan orang-orang untuk taqlid padanya dengan ucapannya: "Kalian itu harus
bersama ulama," "Janganlah kalian mendahului ulama," "Kalian harus mengikuti
ulama," maka dia itu bukan seorang yang alim secara hakiki.
Al Imam Ibnu Rojab ‫ رحمه هللا‬berkata: "Dan termasuk dari alamat ilmu yang
bermanfaat adalah bahwasanya pemiliknya itu tidak mendakwakan dirinya berilmu, dan
tidak membanggakan ilmunya terhadap satu orangpun, dan tidak menisbatkan orang
lain kepada kebodohan, kecuali orang yang menyelisihi sunnah dan Ahlissunnah, karena
orang tadi (yang menisbatkan penyelisih sunnah kepada kebodohan) itu mengkritik
orang tadi dalam rangka marah demi Alloh, bukan marah demi dirinya sendiri dan tidak
bermaksud meninggikan dirinya sendiri di atas satu orangpun. Adapun orang yang
ilmunya itu tidak bermanfaat, maka dia tak punya kesibukan selain menyombongkan
diri dengan ilmunya terhadap orang-orang, dan menampilkan keutamaan ilmunya
terhadap mereka, dan menisbatkan mereka kepada kebodohan, dan merendahkan
mereka agar dengan itu dirinya meninggi di atas mereka. Dan ini termasuk karakter
yang paling buruk dan paling hina." ("Fadhlu 'Ilmis Salaf 'Alal Kholaf"/hal. 8).
Ilmu dan kebenaran itu tidak digantungkan pada tua atau mudanya usia. Berapa
banyak orang muda usia manakala mereka bersemangat untuk mencari kebenaran dan
tawadhu' pada Robb mereka ‫ عززز وجززل‬maka Alloh memberikan taufiq pada mereka
kepada perkara yang diridhoi-Nya. Alloh ta'ala berfirman:
ِ َْ ِ‫ك َن َب َأ ُه ْم ب‬
ُ ‫اوِبِ ْم إِ ْذ َق‬
‫ااموا َف َقاا ُلوا‬ ُ ‫اِلق إِهنُ ْم ف ْت َية َآمنُوا بِ َرِبِ ْم َو ِز ْدن‬
ِ ‫َاه ْم ُهدً ى * َو َر َب ْطنَا َع َىل ُق ُل‬ َ ‫﴿ن َْح ُن َن ُق ُّص َع َل ْي‬
.]41 ،42/‫ض َل ْن َندْ ُع َو ِم ْن ُدونِ ِه إِ ًَهلا َل َقدْ ُق ْلنَا إِ ًذا َش َط ًطا﴾ [الكهف‬ ِ ‫ات َو ْاألَ ْر‬ ِ ‫ربنَا رب السًمو‬
َ َ ُّ َ ُّ َ

“Kami akan menceritakan padamu berita mereka dengan benar. Sesungguhnya


mereka adalah para pemuda yang beriman pada Robb mereka dan Kami tambahkan
pada mereka hidayah dan Kami kokohkan tekad dan kesabaran hati mereka ketika
mereka bangkit lalu mereka berkata: Robb Kami adalah Robb langit dan bumi, kami
tak akan berdoa pada sesembahan selain-Nya. Sungguh jika demikian tadi kami telah
mengatakan suatu kecurangan dan kemustahilan.”

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمزززه هللا‬berkata: “Maka Alloh ta’ala menyebutkan


bahwasanya mereka adalah para pemuda –yaitu syabab (anak-anak muda)- dan mereka
itu lebih menghadapkan diri kepada kebenaran, dan lebih mendapatkan petunjuk
kepada jalan yang lurus daripada orang-orang tua yang telah berlarut-larut hidup dalam
agama yang batil. Oleh karena itulah maka kebanyakan orang-orang yang menyambut
seruan Alloh dan Rosul-Nya ‫ صى هللا عىيه وسىم‬adalah para pemuda. Adapun orang-orang
tua dari Quroisy maka kebanyakan dari mereka telah lama tinggal di atas agama
mereka, dan tidak masuk Islam dari mereka kecuali sedikit. Dan demikianlah Alloh ta’ala
mengabarkan tentang ashhabul Kahf bahwasanya mereka itu adalah anak-anak muda.”
(“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/5/hal. 140).
193

Kemudian sesungguhnya ketiga masyayikh tadi ‫ حفظهزم هللا‬telah mencapai lebih


dari empat puluh tahun, dan ini tidaklah dikatakan muda usia. Alloh ta’ala berfirman:

‫ت َع َيل َو َع َىل َوالِادَ ي َو َأ ْن‬


َ ‫َك التِي َأ ْن َع ْم‬
َ ‫ني َسنَ ًة َق َال َرب َأ ْو ِز ْعنِي َأ ْن َأ ْشك َُر نِ ْع َمت‬ ِ
َ ‫﴿ َحتى إِ َذا َب َلغَ َأ ُشد ُه َو َب َلغَ َأ ْر َبع‬
.]44/‫ [األحقاف‬.‫اِلا ت َْر َضا ُه﴾ اآلية‬ ًِ ‫َأعم َل ص‬
َ َ ْ

“Sampai apabila dia telah mencapai puncak kekuatan dan pengetahuan dan
mencapai empat puluh tahun, dia berkata: Wahai Robbku, karuniailah aku taufiq
untuk mensyukuri nikmat-Ku yang Engkau berikan padaku, dan kepada kedua orang
tuaku, dan agar saya beramal sholih yang Engkau ridhoi…”

Al Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsir: “dan mencapai empat puluh tahun”:
yaitu: mencapai puncak akalnya dan sempurnalah pemahamannya dan kesabarannya.
Dikatakan: Sesungguhnya orang berusia empat puluh tahun itu biasanya tidak berubah
dari apa yang dia ada di atasnya.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/7/hal. 280).

Apakah para hizbiyyun –Mar’iyyun, Luqmaniyyun dan yang semisal mereka-


tidak tahu bahwasanya kebanyakan dari para masyayikh mereka telah menjadi
muqollidun (para pembebek) muta’ashshibun (para fanatik) di banyak kasus, dan jadilah
mereka dengan perbuatan tadi –jika diteliti- bukan termasuk ulama. Dan barangsiapa
fanatik dan mengikuti hawa nafsu, maka jatuhnya mereka adalah disebabkan oleh dosa
mereka sendiri, bukan karena apa yang mereka anggap bahwasanya ahli Dammaj
berupaya menjatuhkan para ulama.

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “[pasal:] Mengeluarkan muta’ashshib


(orang yang fanatik) dari rombongan ulama. Kemudian datanglah generasi pengganti
sepeninggal mereka yang memecahbelah agama mereka dan mereka berkelompok-
kelompok, setiap golongan bangga dengan apa yang ada pada diri mereka. Dan mereka
memotong-motong urusan mereka, dan seteiap orang akan kembali kepada Robb
mereka. Mereka menjadikan ta’ashshub kepada madzhab sebagai keagamaan mereka
dengan dengannya mereka beragama, dan modal mereka yang dengannya mereka
berdagang. Dan yang lain dari mereka merassa cukup dengan taqlid murni, dan mereka
berkata:

﴾‫﴿إنا وجدنا آباءنا عىل أمة وإنا عىل آثارهم مقتدون‬

“Sesungguhnya Kami dapati bapak-bapak kami ada di atas suatu agama, dan
sungguh kami meneladani jejak-jejak mereka.”

Kedua kelompok itu menyendiri dari apa yang menjadi kewajiban mereka untuk
mengikutinya yaitu: kebenaran. Lisan kebenaran membacakan kepada mereka:
194

﴾‫﴿ليس بأمانيكم وَل أماين أهل الكتاب‬

“Bukanlah dengan angan-angan kalian dan bukan pula dengan angan-angan ahli
kitab.”

Asy Syafi’iy –semoga Alloh ta’ala mensucikan ruhnya- berkata: “Kaum muslimin
telah bersepakat bahwasanya barangsiapa telah jelas bagi dirinya sunnah Rosululloh
‫ صلى هللا عليه وسلم‬dia tidak berhak untuk meninggalkannya karena perkataan seorangpun
dari manusia.”

Abu Umar dan ulama yang lain berkata: “Orang-orang telah bersepakat
bahwasanya muqollid tidak teranggap sebagai bagian dari ahli ilmu, dan bahwasanya
ilmu adalah: mengetahui kebenaran dengan dalilnya.” Dan ini sebagaimana yang
diucapkan oleh Abu Umar ‫ رحمه هللا عاالى‬, karena sesungguhnya orang-orang tidak
berselisih bahwasanya ilmu itu adalah pengetahuan yang dihasilkan dari dalil. Adapun
tanpa dalil maka itu hanyalah taqlid.

Kedua ijma’ ini mengandung dikeluarkannya orang-orang yang fanatik dengan


hawa nafsu dan pembebek buta dari rombongan ulama, dan mengandung gugurnya
kedua jenis orang tadi rombongan pewaris para Nabi, karena yang di atas mereka telah
menghabiskan bagian dari warisan para Nabi. Sesungguhnya para ulama mereka itulah
pewaris para Nabi, dan sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham.
Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, dia telah
mengambil bagian yang banyak.

Dan bagaimana menjadi termasuk dari pewaris Rosul ‫ صلى هللا عليه وسلم‬orang yang
bekerja keras dan bercapek-capek dalam upayanya membantah apa yang dibawa oleh
beliau, kepada apa yang ucapkan oleh tokoh yang ditaqlidinya dan tokoh yang
diikutinya, dan dia membuang sekian jam dari umurnya dalam ta’ashshub dan hawa
nafsu, dan dia tidak menyadari bahwa dirinya telah membuang waktunya?

Demi Alloh, sungguh itu adalah suatu fitnah yang bersifat menyeluruh, lalu
fitnah tadi membuat buta dan melempar hati-hati sehingga menjadi tuli, anak kecil
terdidik di atasnya, dan orang tua menjadi pikun di dalamnya. Dengan sebab itu Al
Qur’an menjadi ditinggalkan. Dan itu semua adalah dengan taqdir dan ketetapan dari
Alloh, sudah tertulis di dalam Kitab Lauhul Mahfuzh. Dan manakala dengan itu bencana
telah menyeluruh, dan dengan sebab itu kehinaan membesar, yang mana kebanyakan
manusia tidak mengetahui selain fitnah tadi, dan mereka tidak menganggap ilmu kecuali
fitnah tadi, maka orang yang mencari kebenaran di tempat yang amat diduga di situ ada
kebenaran dianggap mereka sebagai orang yang terfitnah. Dan orang yang lebih
mengutamakan kebenaran daripada yang lainnya menurut mereka adalah orang yang
tertipu.
195

Mereka memancangkan tali-tali untuk menghalangi orang yang menyelisihi jalan


mereka. Dan mereka mencari bahaya-bahaya untuk ditimpakan kepadanya, dan mereka
menembaknya dari busur kebodohan, kezholiman dan penentangan. Dan mereka
berkata pada saudara-saudara mereka:

.﴾‫﴿إنا نخاف أن يبدل دينكم أو أن يظهر يف األرض الفساد‬

“Sungguh kami takut dia akan mengganti agama kalian atau menampakkan
kerusakan di bumi.”

Maka wajib bagi orang yang menghargai dirinya sendiri untuk tidak menoleh
kepada mereka dan tidak ridho cara beragama mereka tadi ada pada dirinya. Dan jika
diangkat untuk dirinya bendera sunnah Nabawiyyah, dia bergegas menuju kepadanya
dan tidak menahan dirinya tetap bersama orang-orang tadi. Ini cuma sesaat saja sampai
orang yang dikubur itu dibangkitkan, dan apa yang di dalam dada dikeluarkan, dan kaki-
kaki para makhluk berdiri setara untuk Alloh, dan setiap hamba menanti apa yang telah
dikerjakan oleh kedua tangannya, dan terjadilah perbedaan antara pembawa kebenaran
dengan pembawa kebatilan, dan orang yang berpaling dari kitab Robb mereka dan
sunnah Nabi mereka mengetahui bahwasanya diri mereka itu dulu adalah pendusta.”

(selesai dari “I’lamul Muwaqqi’in”/hal. 15-16/cet. Darul Kitabil Arobiy).


196

Bab Duapuluh Empat: Masalah Takut Pada Ulama dan Kritikan


Pada Asy Syaikh Al Wushobiy

Dan Luqman menganggap bahwasanya ucapan Asy Syaikh Yahya: (saya nggak
pernah gentar kepada seorangpun, siapapun dia), (Demi Alloh ana nggak ingin
membantu setan kepada dirinya –yaitu Asy Syaikh Muhammad Al Wushobiy,- dan
sama sekali saya nggak pernah takut kepada Asy Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab Al Wushobiy dan juga pada para masyayikh di timur ataupun yang di barat)
adalah suatu teror.

Jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh semata- adalah sebagai berikut:

Ini bukanlah suatu teror. Ini hanyalah bantahan kepada orang yang menakut-
nakuti orang yang menampilkan kebenaran, dengan keagungan pamor si fulan dan si
fulan. Berapa banyaknya muta’ashshib (orang yang fanatik) menghalangi para penasihat
untuk berbicara dengan kebenaran, menghalanginya dengan alasan bahwasanya Asy
Syaikh Fulan dan Fulan menyelisihi mereka? Ini dia teror yang hakiki.

Maka Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬itu seperti guru beliau, Al Imam Al Wadi’iy ‫رحمه هللا‬
yang mana beliau berkata: "Dengarkanlah, dengarkanlah! Fatwa orang yang paling
besar di sisiku tapi menyelisihi dalil tak ada harganya. Dan fatwa orang yang paling
kecil dari kalian dan ada dalil bersamanya maka dia itu terhormat dan ditaati, sampai
kalian tidak menakuti-takuti aku dengan fatwa fulan ataupun fulan. Bahkan aku
adalah lawan debat si fulan. Selama yang keluar adalah fatwa-fatwa yang
menyimpang, maka aku adalah lawan debatnya." ("Ghorotul Asyrithoh"/Imam Al
Wadi'i /hal. 46/Maktabah Shon’a Al Atsariyyah).

Maka engkau wahai Luqman, -dan pendahulumu Abdulloh bin Robi’ As Salafiy
ataupun yang lainnya dari kalangan penulis majhul- kalian mengkritik Asy Syaikh Yahya
karena ucapan beliau: “Aku tidak takut kepada masyayikh”, maka apakah kalian
menyuruh kami takut pada selain Alloh? Alloh ta’ala berfirman:
ِِ ِ ‫وه ْم َو َخا ُف‬ ِ ُ ‫َيو‬ ُ ‫﴿إِن ًَم َذلِك ُُم الش ْي َط‬
َ ‫ون إِ ْن ُكنْت ُْم ُم ْؤمن‬
،]414 :‫ني﴾ [آل عمران‬ َ ‫ف َأ ْول َي‬
ُ ‫اء ُه َف َال ََتَا ُف‬ َ ُ ‫ان‬

“Hanyalah yang demikian itu adalah setan yang menakut-nakuti kalian dengan para
walinya. Maka janganlah engkau takut pada mereka, dan takutlah kalian hanya
kepadaku jika kalian adalah orang-orang yang beriman.”

Alloh subhanah berfirman:

،]11 :‫َتوا بِآ َي ِات َث َمنًا َقلِ ًيال﴾ [اِلائدة‬ ِ


ُ َ ‫اخ َش ْون َو ََل ت َْش‬ َ ‫﴿ َف َال ََت َْش ُوا الن‬
ْ ‫اس َو‬
197

“Maka janganlah kalian takut kepada manusia, dan takutlah kalian kepada-Ku, dan
janganlah kalian menjual dengan ayat-ayatku harga yang murah.”

Maka wahai umat Islam, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah para


hizbiyyun, karena kebanyakan dari mereka tauhid mereka goncang, tidak
memurnikan amalan, rasa takut, tawakkal dan harapan untuk Alloh.

Sebagian dari mereka beramal demi kelompoknya atau keridhoan pemimpin


kelompoknya.

Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Hindari oleh kalian, hindari oleh kalian
dekat-dekat dengan hizbiyyin, karena amalan mereka tiada di dalamnya keberkahan,
karena mereka tidak ikhlas, perhatian besar mereka adalah bagaimana mengumpulkan
orang-orang di sekeliling mereka, … dst.” (“Tuhfatul Mujib”/hal. 255-256/cet. Darul
Atsar).

Dan Asy Syaikh Al ‘Allamah Ahmad An Najmiy ‫ رحمه هللا‬berkata tentang kejelekan
hizbiyyah: “Yang ketujuh: dan termasuk dari bahaya hizbiyyan adalah: penunaian syiar-
syiar ibadah yang diperintahkan secara syariah justru berubah penunaiannya dari
kewajiban ibadah menjadi kewajiban kelompok, sehingga mencoreng keikhlasan jika
tidak sampai meruntuhkannya, dan yang terpandang bagi mereka adalah membuat
ridhonya kelompok, bukan membuat ridhonya Alloh.” (“Al Mauridul ‘Adzb”/hal. 87).

Dan sebagian mereka jika diperintahkan untuk mengikuti jalan Rosululloh ‫صلى هللا‬
‫ عليه وسلم‬dan jalan Salaf dan meninggalkan jam’iyyat dan muassasat dalam dakwah,
mereka menjawab: “jam’iyyat dan muassasat adalah payung dakwah dan pelindung
dakwah!”, “Jika kita meninggalkan jam’iyyat dan muassasat, dari mana kita makan
dan minum?”

Dan sebagian dari mereka jika diperintahkan untuk memurnikan ittiba’ untuk
Rosul ‫ صلى هللا عليه وسلم‬dan meninggalkan taqlid pada masyayikh mereka menjawab:
“Ulama akan mengkritik kamu dan kamu akan jatuh!” “Asy Syaikh Robi’ akan
mengkritik Dammaj, dan Dammaj akan habis dan tidak tersisa di situ seorang
muridpun!”

Demikianlah kondisi tauhid sebagian hizbiyyin. Adapun Ahlussunnah Wal


Jama’ah maka mereka itu berpegang teguh dengan Alloh saja tiada sekutu bagi-Nya.
Alloh ta’ala berfirman:

‫ين ِم ْن ُدونِ ِه َو َم ْن ُي ْضلِ ِل اهلل َف ًَم َل ُه ِم ْن َهاد * َو َم ْن َ ْهي ِد اهلل َف ًَم َل ُه ِم ْن‬ ِ َ ‫َيو ُفون‬
َ ‫َك بِالذ‬ َ ُ ‫﴿ َأ َل ْي َس اهلل بِكَاف َع ْبدَ ُه َو‬
]21 ،29 :‫ُم ِضل َأ َل ْي َس اهلل بِ َع ِزيز ِذي انْتِ َقام﴾ [الزمر‬
“Bukankah cukup Alloh sebagai pelindung hamba-Nya? Dan mereka itu menakut-
nakuti dirimu dengan yang selain-Nya. Dan barangsiapa Alloh sesatkan, maka dia tak
198

punya pemberi petunjuk satupun. Dan barangsiapa Alloh beri petunjuk, maka tiada
seorangpun yang bisa menyesatkannya. Dan bukankah Alloh Maha perkasa lagi
memiliki pembalasan?”

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka tauhid itu termasuk sebab terkuat
untuk mendapatkan keamanan dari rasa takut. Dan syirik itu adalah termasuk sebab
terkuat dihasilkannya ketakutan-ketakutan. Oleh karena itulah maka barangsiapa takut
pada sesuatu selain Alloh, sesuatu itu akan dijadikan menguasainya. Dan rasa takutnya
pada sesuatu tadi itulah yang menjadi sebab dikuasainya orang itu olehnya. Andaikata
dia takut pada Alloh, bukan pada yang lain, dan tidak takut pada sesuatu tadi, niscaya
ketidaktakutan dirinya pada sesuatu tadi dan tawakkalnya dia pada Alloh menjadi salah
satu sebab paling besar bagi keselamatan dia. Dan jika dia mengharapkan pada Alloh
semata, niscaya tauhid dia dalam harapannya tadi menjadi sebab terkuat untuk sukses
mendapatkan apa yang diharapkannya, atau yang setara dengannya, atau yang lebih
bermanfaat darinya untuknya. Dan Alloh sajalah yang memberikan taufiq kepada
kebenaran.” (“Miftah Daris Sa’adah”/2/hal. 273).

Dan Alloh ‫ جل ذكره‬berfirman:

.]26 :‫َي َش ْو َن َأ َحدً ا إَِل اهلل َو َك َفى بِاهلل َح ِسي ًبا﴾ [األحزاب‬
ْ َ ‫َي َش ْو َن ُه َو ََل‬ ِ ‫ُون ِرس َاَل‬
ْ َ ‫ت اهلل َو‬ َ َ ‫ين ُي َبلغ‬
ِ
َ ‫﴿الذ‬
“Yaitu orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah dari Alloh dan takut kepada-
Nya dan tidak takut kepada seorangpun kecuali Alloh. Dan cukuplah Alloh sebagai
Yang memberikan kecukupan.”

Maka jika sang hamba itu ada di atas kebenaran, dan berdiri karena Alloh dan
dengan pertolongan Alloh, untuk apa dia takut pada selain Alloh?

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: "Maka sesungguhnya hamba itu jika
memurnikan niatnya untuk Alloh ta'ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia
itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena
sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang
yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk
Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa
mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Alloh bersamanya, maka siapakah yang bisa
mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang
hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah
yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya
setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran
terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu
adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada
sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-
gunung itu membuat tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi keperluannya
199

dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/hal.


412/cet. Darul Kitabil 'Arobiy).

Luqman berkata tentang Asy Syaikh Yahya: “Gurunya sendiri dihina: “Ya Syaikh
Muhammad, -gurunya itu- aku sudah tahu kelemahan kamu dalam bidang ilmu. Kamu
itu lemah. Muhadhoroh yang terulang-ulang saja materinya.” Masya Alloh, masya
Alloh, di hadapan murid-murid. Ya kalau pakai surat saja nggak sopan.” Luqman
mengkritik kenapa Asy Syaikh Yahya tidak menyampaikan itu lewat surat atau telpon.
Bukan itu yang dilakukan Asy Syaikh Yahya tapi justru mengucapkan itu di hadapan
orang banyak.

Jawaban kami terhadap Luqman –dengan taufiq Alloh- sebagai berikut:

Sesungguhnya Asy Syaikh Muhammad Al Wushobiy dia itulah yang mulai


mencerca Asy Syaikh Yahya, bahkan dia berbuat itu di hadapan manusia, dan itu
direkam dan disebarkan. Maka tiada celaan terhadap Asy Syaikh Yahya untuk
membantahnya dengan semisal itu. Alloh ta’ala berfirman:
‫َُص َب ْعدَ ُظ ْل ِم ِه‬
َ َ ‫ني * َو َمل ِن ا ْنت‬
ِ
َ ‫ب الظامل‬
ِ ِ
ُّ ‫﴿ َو َجزَ ُاء َسيئَة َسيئَة مثْ ُل َها َف َم ْن َع َفا َو َأ ْص َل َح َف َأ ْج ُر ُه َع َىل اهلل إِن ُه ََل ُُي‬
‫ك َُهل ْم‬ َ ِ‫اِلق ُأو َلئ‬
َْ ‫َري‬ِ ْ ‫ض بِغ‬ ِ ‫ُون ِيف ْاألَ ْر‬
َ ‫اس َو َي ْبغ‬َ ‫ون الن‬ َ ‫ين َيظْلِ ُم‬ ِ
َ ‫يل َع َىل الذ‬ ُ ِ‫ك َما َع َل ْي ِه ْم ِم ْن َسبِيل * إِن ًَم السب‬ َ ِ‫َف ُأو َلئ‬
﴾‫َع َذاب َألِيم‬
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barangsiapa
memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Alloh.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zholim. Dan sesungguhnya
orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap
mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zholim kepada
manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu mendapat azab
yang pedih.” (Asy Syuro: 40-42).

Alloh subhanah berfirman:

.]414/‫َان اهلل َس ِمي ًعا َعلِ ًيًم﴾ [النساء‬


َ ‫وء ِم َن ا ْل َق ْو ِل إَِل َم ْن ُظلِ َم َوك‬
ِ ‫اْلهر بِالس‬
ُّ َ ْ َْ ‫ب اهلل‬
ِ
ُّ ‫﴿ ََل ُُي‬

"Alloh tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali
oleh orang yang dianiaya. Dan Alloh adalah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui."
Maka sebagaimana engkau berbuat maka begitulah engkau diperlakukan.
Barangsiapa senang untuk dihormati, maka hendaknya dia menghormati orang lain. Asy
Syaikh Yahya telah banyak bersabar kepada Wushobiy, dalam keadaan Wushobiy itulah
yang bermulut kotor: “Walad Yahya, walad Yahya, (bocah Yahya)” “Jika dikatakan
200

pada orang yang terlalaikan ini: "Wahai sapi (‫ ")بقرة‬atau: "Wahai sapi (‫ ")ثور‬maka sapi
itu lebih baik daripada dia. Dan sapi tidak ikut memperbincangkan perkara-perkara
ini. Sapi itu tahu kadar dirinya sendiri, sementara orang ini tidak tahu kadar dirinya
sendiri."

Juga ucapan-ucapan setelah pulang haji tahun lalu: "Apakah kalian takut pada
Al Hajuriy?! Tukang berak dan tukang kencing," "Al Hajuriy itu manusia yang berak
dan kencing, dia tak punya wewenang dalam perkara ini sedikitpun. Dia anak muda
yang liar.”

Dari Abdulloh bin Amr ‫ رضي هللا عنهما‬yang berkata:

‫ «فمن أحب أن يزحزح عن النار ويدخل اْلنة فلتأته منيته وهو يؤمن‬:‫قال رسول اهلل صىل اهلل عليه و سلم‬
.))4411( ‫ (أخرجه مسلم‬.‫» احلديث‬... ،‫باهلل واليوم اآلخر وليأت إل الناس ما ُيب أن يؤتى إليه‬

“Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda: "Maka barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka
dan dimasukkan ke dalam Jannah, maka hendaknya kematian itu mendatanginya
dalam keadaan dia beriman pada Alloh dan hari Akhir, dan hendaknya dia
mendatangi manusia dengan perkara yang dia senang untuk dia didatangi dengan
perkara itu." (HR. Muslim (1844)).

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka sesungguhnya balasan itu sesuai dengan
amalan, dan sebagaimana engkau berbuat, begitulah engkau akan diperlakukan.”
(“Majmu’ul Fatawa”/15/hal. 319).

Dan hanyalah karakter ahli ahwa adalah: melakukan kebatilan dan mengelabui
manusia, lalu jika mereka dibantah oleh Ahlussunnah, merekapun marah pada si
pengkritik, dan menyerangnya, dan menuduhnya mengkritik para ulama. Demikianlah
karakter ahli ahwa ketika dibantah oleh Ibnul Jauziy ‫ رحمه هللا‬dan dibongkar kebatilan
mereka, mereka marah kepada beliau.

Ibnul Jauziy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan aku telah menyebutkan dalam kitab “Al
Qushshosh” sebagian perkara dari mereka, dan alangkah banyaknya hadits-hadits yang
disodorkan kepadaku di dalam majelis petuah, telah disebutkan oleh para tukang cerita
zaman ini, maka aku membantah mereka dan menjelaskan bahwasanya kisah-kisah
tadi mustahil, maka mereka dendam terhadapku ketika aku menjelaskan buruknya
kesibukan mereka itu.” (“Al Maudhu’at”/hal. 45).

Adapun kejengkelan para hizbiyyun terhadap vonis Asy Syaikh Yahya tentang
kelemahan ilmiyyah Asy Syaikh Al Wushobiy, bukan hanya Asy Syaikh Yahya yang
menghukumi demikian itu.
201

Syaikh kami Abu Abdissalam Hasan bin Qosim Roimiy ‫ حفظه هللا‬berkata tentang
dia: “Telah dikenal dari dirinya bahwasanya dia banyak membuang waktu tanpa banyak
manfaat, dan ini amat jelas sekali dalam dars-darsnya, risalah-risalahnya dan majelis-
majelisnya. Dia tak punya banyak manfaat di dalam karya tulisnya atau takhrij
riwayatnya. Jika didapatkan sedikit manfaat dari itu, tidak mencapai satu persen dari
karya tulis Al Imam Al Wadi’i ‫رحمه هللا‬. Itupun sejenis risalah kecil yang pelajar yang baru
bisa untuk membuatnya. Dan risalah yang paling baikpun dari risalah-risalahnya
tersebut masih tergolong lemah, berkaitan dengan pembahasan jumlah tangga di
mimbar dan masalah telaga dan yang semisalnya.
Adapun kitab dia “Al Qoul Mufid”, di dalamnya banyak bencana dan intiqod (faktor
yang pantas dicela). Lebih-lebih lagi dari muqodimah-muqodimah yang dalamnya ada
bagian dari sebagian orang ahlul bid’ah shufiyyah sebagaimana hal ini sudah diketahui
bersama.
Dan pada tahun terakhir ini dia tersibukkan dengan apa yang dinamakan sebagai
“dauroh”. Maka diapun melakukannya: melontarkan masalah yang akan dibahas,
kemudian disepakatilah dauroh selama dua pekan kadang kurang dari itu kadang lebih.
Dan diapun tidak ada jerih payah yang besar padanya, sebatas membaca apa yang telah
dikumpulkan oleh ikhwan dari ayat dan hadits atau yang semisalnya, bersama sedikit
perapian yang dia lakukan. Kemudian dikeluarkanlah di akhir dauroh dengan bentuk
risalah dengan nama Wushoby. Pura-pura bodoh akan jerih payah para murid yang
patut dikasihani, yang sebagian dari mereka menanti-nanti untuk minimalnya nama
mereka disebut walaupun sekedar dengan isyarat dari jauh. Akan tetapi dia adalah
orang yang suka kemegahan dan kekuasaan, wallohumusta'an.
(“Wajhul Muqoronah”/hal. 3/Asy Syaikh Hasan bin Qosim ‫)حفظه هللا‬.

Beliau ‫ حفظه هللا‬berkata tentangnya: “Orang ini jarang punya faidah ilmiah, bahkan
lebih dari sekali aku memintanya agar membuka pelajaran ilmiah yang khusus untuk
penuntut ilmu yang perlu untuk itu. Dan orang ini sudah mengetahui kadar dirinya yang
lemah dalam sisi ilmiah. Seandainya dia buka ma'hadnya dan membuka pelajaran-
pelajaran ilmiah, dia tidak akan mampu untuk merangkum masalah-masalah dan
menjawab beberapa kerumitan. Bahkan dia tidak mampu untuk menyelesaikan
pelajaran karena kurang menguasainya. Oleh karena itu dia menyibukkan dirinya
bersama dengan orang yang menghadiri pelajaran umumnya dengan tidak ada
faidahnya dalamnya dari dauroh-dauroh yang telah dia sepakati.
Dan orang ini dikenal dengan kelemahan ilmiyyahnya sebagaimana yang telah
dikatakan oleh 'Alimnya Yaman an Nashihil amin. Oleh karena itu dia menabrak-nabrak
dengan sangat parah dalam kitabnya “Al Qoulul Mufid” ketika menetapkan tauhid yang
tidak ada pendahulunya (dalam masalah ini) dari kalangan ahlus sunnah yang sudah
dikenal, bahkan mereka mengingkari hal itu yakni yang berhubungan dengan tauhid al
haakimiyah. Yang hal itu masuk pada tauhid rububiyah. Dan yang selain itu dari
masalah aqidah yang dia menabrak-nabrak di dalam kandungan karya tulisnya yang
telah berlalu penyebutannya.”
202

(“Wajhul Muqoronah”/hal. 12-13/Asy Syaikh Hasan bin Qosim ‫)حفظه هللا‬.

Inilah dia hakikat karya tulis dan dars-dars Muhammad Al Wushobiy bagi orang
yang mengenalnya.

Adapun tentang zuhudnya dia, Syaikh kami Abu Abdissalam Hasan bin Qosim
Roimiy ‫ حفظه هللا‬berkata tentang dia: “Sudah dikenal darinya rakus terhadap dunia
walaupun lisannya fasih dalam berbicara tentang zuhud, akan tetapi kenyataannya
sangatlah bertentangan. Jika kamu melihat tempat tinggalnya terutama di bagian
dalamnya, dan pada masa akhir-akhir ini, bagian yang tampak dari luar, pastilah kamu
tak mampu membedakan antara rumah dia dengan rumah pejabat tinggi dari sisi
perabotan rumah tangga yang serba mewah, dan..dan..dan sebagaimana istilah orang:
model terkini, Allohumusta’an.

Dan dia sangat mengetahui tentang hal ini. Lebih-lebih lagi tentang perkara-
perkara yang lain. Aku diberi kabar oleh akh Mahmud an Nahariy (semoga Alloh
memperlihatkan kepadanya tentang keadaan Wushoby yang sebenarnya). Baru-baru ini
dikirimkan untuknya dengan membawa dua mobil Dyna tiap tahun berupa pakaian-
pakaian serta sabun-sabun dan lain sebagainya: barang-barang satu mobil khusus untuk
tullab –jika mereka nanti mendapatkannya- dan satu mobil khusus untuk dia dan
keluarganya. Dan orang ini sangat suka dengan kesempurnaan (perhiasan dunia)
walaupun secara lahiriyyah dia sering berbicara (masalah) zuhud.
Akh Abdulloh bin Salim al Baidhoniy memberi kabar kepadaku bahwa suatu hari
Wushoby bertanya padanya tentang sepotong (bagian) dari siifoon. Dan akh Abdulloh
adalah seorang pedagang seputar bangunan, dan beliau berkata: "Aku merasa aneh
dengan pertanyaannya tersebut. Karena potongan (bagian) ini tidaklah dipakai dan
dimiliki kecuali oleh pedagang besar (kaya raya). Dan sungguh mengherankan, karena
orang ini (Wushoby) membuatnya sangat heran. Bahkan ini merupakan hal yang telah
diketahui bagi orang duduk dengannya dari kalangan pedagang yang masih awam.”
(“Wajhul Muqoronah”/hal. 5/Asy Syaikh Hasan bin Qosim ‫)حفظه هللا‬.

Adapun kesombongan terhadap al haq dan para makhluq, Syaikh kami Abu
Abdissalam Hasan bin Qosim Roimiy ‫ حفظه هللا‬berkata tentang dia: “Barangsiapa bergaul
dengan Wushoby akan mengetahui sisi kesombongan orang ini dan kurang tawadhu'nya
dia, dan dari hal itu: sesungguhnya kamu tidak boleh (menemuinya) secara pribadi
kecuali setelah banyak bermuamalah dan terus-menerus. Sebagai contoh: ketika aku
datang di Hudaidah, aku meminta agar dia bisa duduk denganku secara pribadi agar aku
boleh melontarkan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan dakwah terlebih
lagi aku orang yang baru di Hudaidah. Dan ketika aku meminta darinya tentang hal itu,
dia malah memintaku untuk menulis di kertas mengenai perkara yang ingin aku
lontarkan dan bicarakan dengannya. Maka akupun menulisnya di kertas dan
kuserahkan padanya. Kemudian dia baca dan tidaklah terucap kecuali; "insyaAlloh, nanti
saja sepulang dari sholat", yakni dari shof pertama sampai dia masuk rumahnya.
203

Dan (juga) suatu ketika dia menyampaikan hadits:


) ‫( َل متنعوا إماء اهلل مساجد اهلل وليخرجن وهن تفالت‬
“Janganlah kalian menghalangi para wanita hamba Alloh dari pergi ke masjid-masjid
Alloh. Dan hendaknya mereka keluar dalam keadaan mereka itu tidak memakai
wewangian.”
Dia berkata di dars umum, bahwa makna ‫ تفالت‬adalah seorang perempuan
memakai abaya (jenis pakaian wanita) dan diguling-gulingkan ke tanah, kemudian ditiup
atau dikibaskan (agar debunya hilang) kemudian dia memakainya jika keluar. Dan
kukatakan padanya: "sesungguhnya yang dimaksud dengan ‫ تفالت‬di sini adalah yang
tidak memakai minyak wangi, sebagaimana perkataan al Khoththobiy". Lalu diapun
memintaku untuk memperlihatkan sumbernya, maka kutunjukkan padanya maroji' dari
kitab “'Aunul Ma'bud” dan diapun membacanya. Aku berkata : "Semoga dia minimalnya
meralat perkataannya dalam masalah itu", tetapi malah tidak berbicara sedikitpun
(tentang kesalahannya dalam tafsiran hadits). Dan masih banyak contoh selainnya,
bahkan terkadang ada seorang yang menanyainya kemudian Wushobiy berpaling
darinya (penanya). Bahkan kesombongannya itu mencegahnya untuk menunjukkan
siapakah orang yang mendatangkan faidah kepadanya. Apalagi untuk rujuk dari
kebatilan, seandai rujukpun dengan cara yang kurang baik. Dan ini sudah diketahui oleh
orang yang duduk (dengannya) dari kalangan penuntut ilmu. Dan di sini kita tidak akan
berpanjang lebar membahas masalah ini. Akan tetapi hal ini dapat diraba oleh setiap
orang pernah berhubungan dekat dengannya.
(“Wajhul Muqoronah”/hal. 6-7/Asy Syaikh Hasan bin Qosim ‫)حفظه هللا‬.

Adapun sikap pelitnya terhadap Ahlussunnah, Syaikh kami Abu Abdissalam


Hasan bin Qosim Roimiy ‫ حفظه هللا‬berkata tentang dia: “Sungguh dia menjadi permisalan
dalam sifat pelit dan kikir kepada tamu-tamunya dan murid-muridnya tapi tidak untuk
dirinya sendiri. Ketika datang tamu yang mengunjunginya, mereka tidak mendapatinya
pelayanan dan pemuliaan lebih-lebih lagi makanan. Sampai terjadi kegelisahan yang
sangat, bahkan sebagiannya berkeinginan untuk tidak kembali lagi di lain waktu,
disebabkan oleh kejadian yang telah dia alami berupa jeleknya penyambutan Wushobiy.
Bahkan sampai tidak boleh duduk lama dengannya. Dan juga termasuk dari bakhil dan
kikir dia terhadap murid-muridnya yang ada di masjidnya, mereka cuma diberi kurma
dan roti, dan jangan tanyakan tentang keadaan kurma itu!!!” (“Wajhul Muqoronah”/hal.
12/Asy Syaikh Hasan bin Qosim ‫)حفظه هللا‬.
Adapun sikap dia dalam pergaulan dengan Ahlussunnah, Syaikh kami Abu
Abdissalam Hasan bin Qosim Roimiy ‫ حفظه هللا‬berkata tentang dia: “Kamu dapati makar
dan tipu daya serta hal yang terselubung dan berputar-putar (dalam masalah) dan
tuduhan-tuduhan batil dan menggembosi serta mematahkan semangat dan yang
semisalnya. Ini merupakan bagian yang tidak mungkin didapati dari sosok yang
dituakan.
204

Jika dia ingin menghancurkan seseorang dari kalangan penuntut ilmu, maka diapun
berusaha untuk memusuhinya secara diam-diam dan kadang dengan kekerasan. Sampai
meminta mata-matanya untuk menyebarkan kejelekannya. Dan kadang dengan
mencela si murid itu di tengah-tengah pelajaran umum sampai dia mensifati orang yang
dimaksud tanpa menyebut namanya dengan kehancuran. Sampai akhirnya orang
tersebut lari dan meninggalkan pelajaran. Dan kadang ada majelis persidangan. Apa
yang kamu ketahui tentang majelis persidangan ini? Yang seseorang keluar darinya
(majelis itu) dengan batin yang sangat tertekan. Setelah dikagetkan bahwasanya orang
yang bersamanya adalah mata-mata Wushobiy yang seakan-akan tampak sebagai sosok
seorang bapak yang penyayang dan adil. Namun dia (Wushobiy) malah sebaliknya. Dan
telah menyidang Muhammad Ba Musa dan dia keluar dalam keadaan menangis
sebagaimana Fadhil Wushobiy telah memberitahuku tentang hal itu. Yang demikian ini
merupakan bentuk pelecehan Wushobiy terhadap dakwah dan kita tidak akan lupa. Dia
menuduh mereka dengan Jaasus (mata-mata), para buruh, juga pendusta, orang yang
menyendiri, cocok seperti Rofidhoh. Yang di waktu ini sama sekali kita tidak
mendengarnya (Wushobiy) berbicara dengan kalimat yang keras tersebut sebagai
bantahan kepada Mar'i Hudaidah (tokoh sufi mulhid) dan yang semisalnya dari orang-
orang yang sesat dan menyimpang.
(selesai dari “Wajhul Muqoronah”/hal. 12-13/Asy Syaikh Hasan bin Qosim ‫)حفظه هللا‬.
Adapun kejujuran Al Wushobiy, Syaikh kami Abu Abdissalam Hasan bin Qosim
Roimiy ‫ حفظه هللا‬berkata tentang dia: “Dan termasuk perkara yang sangat disesalkan
adalah cara dakwah Wushoby yang penuh kedustaan ketika dia mengatakan atau
mengerjakan sesuatu kemudian dia berkata : "Aku tidak menyebutnya" atau "hal itu
adalah omong kosong". Dan ketika mereka menyebutkan tentang tuduhannya terhadap
masyayikh dengan jaasus (mata-mata), diapun berkata: "Aku telah memuji mereka".
Demikianlah kondisi perkataannya: "Janganlah heran jika datang ad Duwaisy ke
masjidku," diingkarinya, sedangkan yang menjadi saksi atasnya adalah Syaikh Jamil As
Shilwiy dan Syaikh Yahya.
Dan kadang kamu lihat di satu sisi dia menerimamu tapi di sisi lain dia bersiasat.
Dan suatu ketika aku telah mendengar perkataannya di pelajaran umum: "Aku bercanda
dengan seseorang dalam keadaan hatiku melaknatnya". Dan ini sering dilakukan juga
kepada penuntut ilmu yakni siapa yang ingin dia jatuhkan, wallohu musta'an.
Dan dari tidak adanya kejujuran dalam dakwahnya adalah tahriisy (adu domba)
yang telah dia lakukan antara Syaikh Robi' dan Syaikh Yahya sebagaimana yang telah
diketahui bersama. Ketika dia berkata kepada Syaikh Yahya (pada waktu hubungan
Wushoby dan Syaikh Robi' dikenal erat), Wushoby berkata kepada Syaikh Yahya : Asy
Syaikh Robi’ berkata: "Tarik Yahya dari kursi dan penggantinya sudah siap", dan Syaikh
Robi' telah mengingkarinya perkataan ini dengan keras dan merupakan kedustaan
atasnya, wallohu musta'an.
Dan termasuk tidak adanya kejujuran dalam dakwahnya apa yang dia lakukan
dengan bentuk adu domba antara Syaikh Yahya dan Qobilah di Dammaj sampai-sampai
hampir terjadi akibat yang jelek, wallohu musta'an.
205

(“Wajhul Muqoronah”/hal. 15/Asy Syaikh Hasan bin Qosim ‫)حفظه هللا‬.

Dan ketahuilah bahwasanya Asy Syaikh Hasan bin Qosim ‫ حفظه هللا‬tidak
menyebutkan berita-berita ini untuk memuaskan hati dengan aib-aib seseorang, akan
tetapi beliau berbuat itu dikarenakan Muhammad Al Wushobiy pada hari Ahad tanggal
18 Muharrom 1434 H (setelah serangan Rofidhoh terhadap Dammaj) membuat kejutan
yang amat dahsyat terhadap Ahlussunnah dengan menyerang Asy Syaikh Yahya dan
yang bersama beliau, dengan berbagai caci-makian, pembid’ahan, dan bahkan sindiran
pengkafiran, bersamaan dengan dia menggambarkan diri di hadapan orang-orang
bahwasanya dirinya selevel dengan Al Imam Al Wadi’iy ‫رحمه هللا‬, maka terpaksalah Asy
Syaikh Hasan ‫ حفظه هللا‬menyebutkan perbedaan-perbedaan antara Muhammad Al
Wushobiy dengan Al Imam Al Wadi’iy ‫رحمه هللا‬.
206

Bab Duapuluh Lima: Tuduhan Luqman Bahwasanya Asy Syaikh


Yahya Membahayakan Dakwah

Luqman berkata: “Masya Alloh, hancur dakwah kalau cara yang dipakai adalah
caranya Al Hajuriy.”

Jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut:

Sungguh Luqman telah membebek sebagian orang yang menuduh Asy Syaikh
Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬bahwasanya beliau dengan amalan tersebut membahayakan
dakwah. Ucapan ini telah beredar di kalangan hizbiyyun, maka wajib untuk dibantah,
sekalipun asalnya datang dari sebagian tokoh mulia yang mereka panas-panasi dengan
kedustaan.

Sesungguhnya Alloh memerintahkan kita untuk melakukan ishlah (perbaikan),


naf’ (memberikan manfaat), dan melarang kita dari perusakan dan bahaya. Dan tempat
rujukan dalam mengetahui perusakan dan perbaikan, pemberian bahaya dan manfaat
adalah Kitabulloh dan sunnah Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬berdasarkan pemahaman
Salaful ummah. Jika tidak demikian, maka mungkin saja ada orang yang mengaku-aku
berbuat perbaikan padahal dia itu adalah perusak, atau menuduh orang lain berbuat
bahaya sementara hakikatnya tidak demikian. Alloh ta’ala berfirman:

َ ‫ون َو َلكِ ْن ََل َي ْش ُع ُر‬


﴾‫ون‬ َ ُ‫ون * َأ ََل إِهنُ ْم ُه ُم ا ُْمل ْف ِسد‬
َ ‫ض َقا ُلوا إِن ًَم ن َْح ُن ُم ْصلِ ُح‬
ِ ‫يل َُهل ْم ََل ُت ْف ِسدُ وا ِيف ْاألَ ْر‬
َ ِ‫﴿وإِ َذا ق‬
َ
.]41 ،44 :‫[البقرة‬

"Dan jika dikatakan pada mereka: "Janganlah kalian merusak di bumi" mereka
berkata: "Sesungguhnya kami ini hanyalah berbuat perbaikan" Ketahuilah
sesungguhnya mereka itulah yang merusak akan tetapi mereka tidak menyadari."

Al Imam Ibnu Jarir ‫ رحمه هللا‬berkata: “Perusakan di bumi adalah: melakukan


perkara yang dilarang oleh Alloh ‫ جل ثناؤه‬di bumi, dan menyia-nyiakan apa yang
diperintahkan Alloh untuk dijaga. Maka itulah perusakan secara global, sebagaimana
Alloh ‫ جل ثناؤه‬berfirman dalam kitab-Nya, mengabarkan tentang ucapan para malaikat-
Nya:

،]20 :‫اء﴾ [سورة البقرة‬ ُ ‫﴿ َقا ُلوا َأ َ ْجت َع ُل فِ َيها َم ْن ُي ْف ِسدُ فِ َيها َو َي ْس ِف‬
َ ‫ك الد َم‬

“Mereka berkata: Apakah Engkau menjadikan di dalamnya orang yang merusak di


dalamnya dan menumpahkan darah?”

Mereka maksudkan dengan itu: Apakah Engkau menjadikan di bumi orang yang
mendurhakai-Mu dan menyelisihi perintah-Mu? Maka seperti itulah sifat orang-orang
207

munafiqin: merusak di bumi dengan kedurhakaan mereka di dalamnya terhadap Robb


mereka, dan mereka di dalamnya melakukan perkara yang dilarang, dan menyia-
nyiakan kewajiban dari Alloh, dan mereka ragu tentang agama Alloh, yang mana Alloh
tidak menerima amalan dari seorangpun kecuali dengan pembenaran agama ini dan
meyakini hakikatnya. Dan juga karena mereka membohongi mukminin dengan dakwaan
palsu mereka, mereka masih terus di atas keraguan dan kebimbangan, dan mereka baku
bantu dengan orang-orang yang mendustakan Alloh, kitab-kitab-Nya, Rosul-Rosul-Nya
untuk memerangi para wali Alloh, jika mereka mendapatkan jalan ke situ. Maka yang
demikian adalah perusakan yang dilakukan oleh para munafiqin di bumi Alloh, dalam
keadaan mereka mengira mereka dengan perbuatan itu berbuat perbaikan.”

(selesai dari “Jami’ul Bayan”/1/hal. 289-290).

Dan ini dalil bahwasanya kemungkaran-kemungkaran adalah sebab kerusakan,


dan bahwasanya orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mnkar itulah para pembuat
perbaikan dan pemberi manfaat. Maka kebaikan dan keselamatan itu ada para jenis ini.
Alloh ta’ala berfirman:
ِ ‫ون بِا َْملعر‬ ِ ‫ت لِلن‬
،]440 :‫وف َو َتن َْه ْو َن َع ِن ا ُْملنْكَر﴾ [آل عمران‬ ُ ْ َ ‫اس ت َْأ ُم ُر‬ ْ ‫﴿ ُكنْت ُْم َخ ْ َري ُأمة ُأخْ ِر َج‬

"Kalian adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar." (QS Ali Imron 110).

Alloh ta’ala berfirman:

َ ‫ك ُه ُم ا ُْمل ْفلِ ُح‬


.﴾‫ون‬ َ ِ‫وف َو َين َْه ْو َن َع ِن ا ُْملنْك َِر َو ُأو َلئ‬
ِ ‫ون بِا َْملعر‬
ُ ْ َ ‫اْل ْ ِري َو َي ْأ ُم ُر‬ َ ‫﴿ َو ْل َتك ُْن ِمنْك ُْم ُأمة َيدْ ُع‬
َْ ‫ون إِ َل‬

"Dan hendaknya ada sekelompok umat dari kalian yang menyeru kepada kebaikan,
memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang mungkar, dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imron: 104)

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: "Maka Alloh Yang Mahasuci menjelaskan


bahwasanya umat ini adalah umat yang terbaik untuk manusia. Maka mereka itu paling
bermanfaat untuk mereka, paling agung kebaikannya kepada mereka, karena mereka
itu menyempurnakan urusan manusia dengan kebaikan, melarang mereka dari
kemungkaran dari sisi sifat dan kadarnya, yang mana mereka memerintahkan setiap
kebaikan dan melarang dari setiap kemungkaran untuk setiap orang. Dan mereka
menegakkan yang demikian itu dengan jihad di jalan Alloh dengan jiwa dan harta
mereka. Dan ini adalah kesempurnaan manfaat untuk para makhluk." ("Majmu'ul
Fatawa"/28/hal. 123).

Dan setelah menyebutkan dalil-dalil dan tafsir para imam ‫ رحمهم هللا‬ini tahulah
kita bahwasanya “kerusakan” itu istilah yang diberikan pada seluruh kemaksiatan. Maka
208

pelaku kerusakan adalah pelaku kedurhakaan, penyebab turunnya hukuman-hukuman


dan tersebarnya kerusakan di bumi. Dan pembuat perbaikan adalah orang yang
mengamalkan ketaatan pada Alloh dan amar ma’ruf nahi munkar.

Dan jika telah jelas bagi kita makna perbaikan dan perusakan, tahulah kita
bahwasanya pelaku perbaikan adalah orang yang mendatangkan kebaikan-kebaikan dan
manfaat-manfaat, dan bahwasanya perusak adalah sebaliknya. Al Imam Ath Thobariy
‫ رحمه هللا‬berkata: “Bahwasanya makna perusakan adalah perkara yang harus ditinggalkan
yang berupa bahaya, dan bahwasanya perbaikan adalah perkara yang harus dilakukan,
yang berupa perbuatan yang bermanfaat.” (“Jami’ul Bayan”/1/hal. 75).

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: "Maka sesungguhnya orang yang


bermanfaat itulah orang yang diberkahi, dan perkara yang paling bermanfaat dan paling
besar berkahnya adalah orang yang diberkahi di kalangan manusia di manapun dia
berada. Dia itulah yang diambil manfaatnya di manapun dia turun." ("Zadul
Ma'ad"/4/hal. 141).

Setiap kali sang hamba lebih baik untuk dirinya sendir dan untuk yang lain, dia
lebih bermanfaat untuk semuanya. Dan setiap kali dia lebih bermanfaat, dia lebih
dicintai oleh Robbnya.

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمه هللا‬berkata: "Dan para makhluk itu semuanya adalah
tanggungan Alloh. Maka orang yang paling dicintai oleh Alloh adalah orang yang paling
bermanfaat bagi para makhluk-Nya." ("Tafsirul Qur'anil 'Azhim"/4/hal. 12).

Dan telah banyak karya tulis Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬untuk
mengobati kasus-kasus masyarakat. Telah saya sebutkan itu di risalah “Tadzkirul ‘Ibad
‘Ala Ahliyyatil ‘Alamain Al Wadi’iy Wal Hajuriy Lil Ijtihad Wa Baroatuhuma Min
Juhaiman Wa Jama’atil Fasad” (dengan Terjemah Bebas: “Dua Mujtahid Yaman Al
Wadi’iy Dan Al Hajuriy Berlepas Diri Dari Khowarij Dan Juhaiman”).

Dan saya sebutkan lagi lebih banyak dan lebih terperinci dalam risalah:
“Tanbihun Nuqqodir Abror ‘Ala Gholathi Ittihamisy Syaikh Robi’ Mushlihan Bil Ghuluw
Wal Idhror.”

Dan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬telah mengorbankan badan beliau, ruh beliau,
waktu beliau dan selurh diri beliau untuk melayani muslimin di jalan Alloh. Dan beliau
biasa menyambut tamu sekalipun beliau dalam keadaan sakit, dan mendamaikan di
antara manusia dalam beraneka ragam kasus siang dan malam, dan memenuhi
permintaan untuk menyampaikan ceramah lewat telpon di tengah-tengah kesibukan
mereka, dan menunda pembahasan dan penelitian beliau untuk memenuhi permintaan
para masyayikh dan murid untuk memeriksa karya tulis mereka.
209

Beliaulah yang berkata: Dan beliau itulah yang berkata: “Penjagaan agama kami
lebih kami cintai daripada penjagaan jiwa-jiwa kami.” (dicatat tanggal 11 Muharrom
1432 H).

Dan beliau juga yang berkata: "Kami telah menghibahkan jiwa kami untuk
dakwah salafiyyah dan kami tidak mencari dengannya pengganti.

َ ‫ُُص ُف‬ َ ُ ‫اِلق إَِل الض‬


َْ َ‫﴿ َف ًَم َذا َب ْعد‬
.]21:‫ون﴾ [يونس‬ َ ْ ‫الل َفأنى ت‬

"Maka tidak ada setelah kebenaran selain kesesatan. Maka ke manakah kalian
dipalingkan?"

(kitab "Adhrorul Hizbiyyah"/Syaikh Yahya -hafidhahulloh-/hal. 37-38).

Kami menilai demikian dan Alloh sajalah yang menilai beliau. Dan kami tidak
mentazkiyah seorangpun atas nama Alloh.

Kemudian sesungguhnya orang yang memperhatikan kerja keras Syaikh Yahya


‫ حفظه هللا‬dalam amar ma’ruf nahi munkar, nasihat untuk umat dengan ilmu dan
kesabaran, hikmah dan semangat, dengan ucapan dan tulisan dan yang lainnya, disertai
dengan kuatnya ketawakkalan kepada Alloh, dan mohon pertolongan pada-Nya ‫عز وجل‬
dia akan mengetahui dengan seidzin Alloh bahwasanya Asy Syaikh adalah ahli ilmu
pengetahuan, karena setiap kali bertambah pengetahuan seorang hamba pada
Robbnya, bertambahlah rasa takutnya pada-Nya, dan menguatlah kecemburuannya
untuk-Nya, dan bertambah besarlah pengagungannya pada kehormatan-Nya, maka dia
bangkit dengan amar ma’ruf nahi munkar, dan nasihat untuk umat, dan tidak takut
celaan orang yang mencela. Dan ini adalah sifat ahli ilmu pengetahuan.

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan makhluq Alloh yang paling
mengetahui-Nya adalah para Rosul-Nya dan para Nabi-Nya, dan mereka adalah orang
yang paling besar pengingkarannya terhadap kemungkaran, dan hanyalah mereka itu
diutus untuk mengingkari kemungkaran. Maka orang yang paling berilmu itu paling
besar pengingkarannya terhadap kemungkaran karena dia itu mengetahui syariat Alloh
dan taqdir-Nya. Karena syariat Alloh mewajibkannya untuk mengingkari kemungkaran,
dan taqdir menolongnya untuk melakukan itu dan melaksanakannya. Maka dia berdiri
di posisi:

﴾‫﴿إياك نعبد وإياك نستعني‬

“Hanya kepada-Mu sajalah kami beribadah, dan hanya kepada-Mu sajalah kami
mohon pertolongan”

Dan dalam posisi:


210

،﴾‫﴿فاعبده وتوكل عليه‬

“Maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya.”

Maka kami menyembah-Nya dengan syariat-Nya dan taqdir-Nya, dan kami


bertawakkal pada-Nya dalam menjalankan syariat-Nya dengan taqdir-Nya. Maka ini
adalah hakikat ma’rifat. Dan orang yang menduduki posisi ini dia itulah orang yang
mengenal Alloh. Dan di atas ini para Rosul bersepakat, dari yang pertama sampai yang
menjadi penutup mereka.” (selesai dari “Syifaul ‘Alil”/hal. 15).

Maka lihatlah –semoga Alloh memberimu taufiq-: apakah pada pelaku perbaikan
yang besar semisal ini dikatakan bahwasanya beliau itu perusak, atau lebih besar dari
itu: tiada yang lebih berbahaya terhadap dakwah daripada beliau? Mahasuci Engkau ya
Alloh, ini adalah kedustaan yang besar sekali.

‫ فالقوم أعدا ٌء له وخصوم‬... ‫حسدوا الفتى إذ مل ينالوا سعيه‬

‫ حسد ًا وبغي ًا إنه لدميم‬... ‫كرضائر احلسناء قلن لوجهها‬

"Mereka dengki kepada pemuda itu karena mereka tak mampu mencapai
usahanya, maka kaum itu menjadi musuh dan lawan bagi dirinya
Bagaikan para madu bagi si cantik, mereka dengan dengki dan zholim berkata
bahwasanya wajah dia tadi benar-benar buruk."
("Nihayatul Arib"/1/hal. 346).
Sebagaimana dikatakan:
‫نظروا بعني عداوة لو أهنا عني الرضا الستحسنوا ما استقبحوا‬
"Mereka memandang dengan mata permusuhan. Seandainya mata tadi adalah mata
keridhaan pastilah mereka akan menganggapnya bagus dan tidak menganggap buruk."
(“Miftah Daris Sa'adah”/hal. 176).

Tambah lagi:

‫ ولكن عني السخط تبدي اِلساويا‬... ‫وعني الرضا عن كل عيب كليلة‬

“Dan mata keridhoan lemah untuk melihat setiap kekurangan. Tapi mata kebencian
menampakkan berbagai kejelekan.” (“Al Aghoniy”/3/hal. 369).

Maka aku katakan seperti ucapan sebagai para pendahulu:


211

ٍ ‫ قد حدَّ ثوك فام‬... ‫يا ابن الكرامم أال تدنُو فتبه ما‬
‫راء كمن م‬
‫سمع َا‬ َ ُ َ

“Wahai anak orang yang mulia, tidakkah Anda bersedia mendekat sehingga Anda bisa
melihat apa yang mereka ceritakan padamu? Karena tidaklah orang yang melihat itu
sama dengan orang yang sekedar mendengar.” (“Nafhatur Roihanah”/1/hal. 197).

Dan sebagaimana yang dinukilkan oleh Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمه هللا‬dari sebagian
komandan Yazid bin Mu’awiyah:

.)124 ‫ ص‬/ 4/"‫ ("البداية والنهاية‬.‫الشاذد يرى ما ال يرى الغائب‬

“Orang yang menyaksikan itu melihat apa yang tidak dilihat oleh orang yang tidak
hadir.” (“Al Bidayah”/8/hal. 235).

Maka barangsiapa bersikeras (degil) untuk tetap buta dan menuduh dengan
kedustaan, maka cukuplah Alloh sebagai saksi. Alloh ta’ala berfirman:

]110 :‫﴿واهلل َي ْع َل ُم ا ُْمل ْف ِسدَ ِم َن ا ُْمل ْصلِحِ ﴾ [البقرة‬


َ

“Dan Alloh mengetahui pelaku perusakan dari pelaku perbaikan.”

Dan aku tidak menulis kitab ini dan yang lainnya dalam rangka mendekatkan diri
pada makhluk, dan aku tidak menyebutkan penjelasan ini dalam rangka berbangga diri,
dan aku tidak ingin menghinakan yang lain. Hanya saja saudaramu ini terpaksa, bukan
karena jagoan, tapi dikarenakan sebagian orang meremehkan para pemilik ilmu dan
sunnah, dan dalam rangka melaksanakan kewajiban menolong ahlil haq dengan
kebenaran pula.
212

Bab Duapuluh Enam: Tuduhan Mereka Bahwasanya Asy Syaikh


Yahya Terkena Aqidah Qodariyyah

Luqman Ba Abduh berkata tentang Asy Syaikh Yahya: “Dan beberapa aqidah Al
Hajuriy yang mencocoki aqidah Qodariyyah, Asy’ariyyah dan yang lainnya.” Barangkali
itu bagian dari isyarat Abdulloh Al Bukhoriy tentang Asy Syaikh Yahya: “… Ini adalah
bagian dari sejumlah apa yang ada pada orang itu yang berupa penyelewengan-
penyelewengan aqidah dan ilmiyyah yang buruk yang tidak dibicarakan oleh anak-
anak dan bocah tauhid serta bayi-bayi tauhid.” “… tahu tentang bencana-bencana,
kehinaan-kehinaan, kesesatan-kesesatan dan penyelewengan-penyelewengan yang
ada pada Yahya.” “Maka aku tidak tahu perkara-perkara yang orang ini terjatuh ke
dalamnya, yang mana andaikata kumpulan perkara tersebut dibagi-bagikan kepada
masing-masing individu niscaya setiap orang dari mereka akan dihukumi sebagai
mubtadi.’ Bagaimana sementara perkara-perkara tadi telah terkumpul pada Al
Hajuriy?”

Dan itu semua diambil dari apa yang ditulis oleh Arofat Al Bashiriy: “Prinsip
yang keenam: terjatuhnya Al Hajuriy ke dalam suatu pendapat dari pendapat-
pendapat Qodariyyah dan Mu’tazilah, yang mana termasuk dari prinsip mereka
adalah bahwasanya orang yang mencari kebenaran sambil mencurahkan
kemampuannya itu pastilah (‫ )ال بد‬dia akan mendapatkannya. Maka Al Hajuriy
menetapkan ini. Al Hajuriy berkata dalam Syarh dia terhadap Al Wasithiyyah (142):
“Apa yang terjadi pada ahli ahwa, yang berupa sikap menabrak-nabrak, itu adalah
disebabkan oleh terjadinya kekurangan pada mereka untuk mencari kebenaran dan
mencapai kebenaran. Soalnya jika tidak demikian, barangsiapa mencari kebenaran dia
akan mendapatkannya.”

Jawab kami –dengan taufiq dari Alloh-:

Tuduhan-tuduhan yang amat keji itu tidak boleh dibiarkan. Tuduhan Arofat ini
telah dibantah oleh saudara kita Rosyid Al Jazairiy dan yang lainnya ‫حفظهم هللا‬, dan
mereka membongkar kebatilannya dan membeberkan buruknya jalan Arofat, maka
semoga Alloh membalas mereka dengan kebaikan. Dan saya mengambil faidah dari
jawaban mereka, merapikannya dan menambahkan kepadanya jawaban-jawaban yang
Alloh bukakan untuk saya. Dan karunia adalah di tangan Alloh semata.

Ketahuilah bahwasanya Arofat Al Bashiriy itu telah memotong-motong ucapan


Asy Syaikh Yahya, seperti kebiasaan para hizbiyyin yang fasiq. Sekarang marilah kita
membaca ucapan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬dalam “Syarhul Wasithiyyah,” (hal. 143): “Di
dalam tafsir firman Alloh ‫ عز وجل‬: (‫ )الحي القيم‬dan sabda Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬: ( ‫قيوم السموات‬
‫ )واألرض‬mereka berkata: “Maknanya adalah bahwasanya Alloh tegak dengan diri-Nya
sendiri, lalu dia menegakkan yang lain, mengurusi yang lain, menciptakan yang lain,
213

tidak perlu pada sesuatu apapun. Tiada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia
Sami’ (Maha Mendengar) dan Bashir (Maha Melihat). Dan sebagaimana ucapan
Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬: “Sesungguhnya dugaan-dugaan yang batil itulah yang
menyebabkan sebagian orang untuk berbuat ta’wil (menyelewengkan lafazh atau
makna dari lahiriyyahnya kepada lafazh atau makna yang lemah tanpa dalil yang
menuntut itu) atau ta’thil (mengosongkan dari Alloh nama atau shifat atau kedua-
duanya, atau sebagiannya). Seandainya mereka diberi petunjuk untuk menggabungkan
antara dua perkara itu (penetapan sifat sempurna untuk Alloh, dan mensucikan Alloh
dari keserupaan dengan makhluk), dengan firman Alloh ‫عز وجل‬:

﴾‫﴿ليس كمثله يشء وهو السميع البصري‬

“Tiada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia Sami’ (Maha Mendengar) dan
Bashir (Maha Melihat).”

Peniadaan dan penetapan. Andaikata mereka mendapatkan taufiq niscaya mereka


selamat dari sikap menabrak-nabrak. Akan tetapi orang yang mengikuti petunjuk
kepada kebenaran, dia itu adalah orang yang mencari kebenaran dan menelusurinya.

،]41 :‫َاه ْم َت ْق َو ُاه ْم﴾ [حممد‬ ِ


ُ ‫ين ْاهتَدَ ْوا زَ ا َد ُه ْم ُهدً ى َوآت‬
َ ‫﴿ َوالذ‬

“Dan orang-orang yang mengikuti petunjuk, Alloh akan menambahinya petunjuk dan
memberikan pada mereka balasan ketaqwaan mereka.”
ِ
َ ‫﴿ َو َي ِزيدُ اهلل الذ‬
،]19 :‫ين ْاهتَدَ ْوا ُهدً ى﴾ [مريم‬

“Dan Alloh akan menambahi orang-orang yang mengikuti petunjuk dengan petunjuk
berikutnya.”

،»‫«من سلك طريقا يلتمس فيه علًم سهل اهلل طريقا إل اْلنة‬

“Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu di dalamnya, Alloh
akan memudahkan untuknya jalan ke Jannah.”

Menempuh jalan tadi lahir dan batin, itu semua dengan maksud menempuh jalan
kebenaran, jalan ilmu yang bermanfaat, Alloh akan memudahkan bagi dirinya jalan ke
Jannah, dengan hidayah dan taufiq kepada ilmu dan amal tadi.

،]6 :‫ات َ ْهي ِدهيِ ْم َر ُّ ُِب ْم﴾ [يونس‬


ِ ‫اِل‬
َِ ‫﴿إِن ال ِذين آمنُوا وع ِم ُلوا الص‬
َ َ َ َ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih Robb mereka akan
memberikan petunjuk pada mereka.”
214

ًِ ‫﴿وإِين َلغَفار َمل ِن تَاب وآمن وع ِم َل ص‬


]41 :‫اِلا ُثم ْاهتَدَ ى﴾ [طه‬ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ

“Dan sesungguhnya Aku benar-benar Maha Pengampun untuk orang yang bertobat,
beriman dan beramal sholih kemudian mengikuti petunjuk.”

‫وب َع َل ْي ِه ْم َو ََل‬ ِ ْ ‫ت َع َل ْي ِه ْم‬


ِ ‫غَري املَْغ ُْض‬ َ ‫ين َأ ْن َع ْم‬ ِ َ ‫اط ا ُْملست َِقيم * ِِص‬ ِ ِ َ ‫اك َن ْع ُبدُ َوإِي‬
َ ‫﴿إِي‬
َ ‫اط الذ‬ َ َ ْ َ ‫الُص‬ َ ‫ني * ْاهدنَا‬
ُ ‫اك ن َْستَع‬
،]1 - 4 :‫ني﴾ [الفاحتة‬
َ ‫الضال‬

“Hanya kepada-Mu sajalah kami menyembah, dan hanya kepada-Mu sajalah kami
mohon pertolongan. Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang
yang Engkau berikan nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai,
dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”

Dan di dalam hadits Qudsiy:

.»‫ ومن أتاين يميش أتيته هرولة‬،‫«من تقرب إل شِبا تقربت إليه ذراعا ومن تقرب ذراعا تقربت إليه باعا‬

“Barangsiapa mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, aku akan mendekatkan diri


kepadanya sehasta. Dan barangsiapa mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, aku akan
mendekatkan diri kepadanya sedepa. Dan barangsiapa mendatangi-Ku dengan
berjalan, Aku akan mendatanginya dengan lari-lari kecil.”

Dan Alloh ta’ala berfirman:

‫ار ِه ْم‬
ِ ‫اج ُروا َو ُأ ْخ ِر ُجوا ِم ْن ِد َي‬ َ ‫ين َه‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫يع َع َم َل َعامل منْك ُْم م ْن َذكَر َأ ْو ُأ ْن َثى َب ْع ُضك ُْم م ْن َب ْعض َفالذ‬
ِ
ُ ‫﴿ َأين ََل ُأض‬
﴾‫َاَتِ ْم َو َألُ ْد ِخ َلن ُه ْم َجنات َ ْجت ِري ِم ْن َ َْتتِ َها ْاألَ ْهن َ ُار‬
ِ ‫َو ُأو ُذوا ِيف َسبِ ِييل َو َقا َت ُلوا َو ُقتِ ُلوا َألُكَف َرن َعن ُْه ْم َسيئ‬

“Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal dari kalian,
dari lelaki ataupun perempuan. Sebagian dari kalian adalah bagian dari yang lain.
Maka orang-orang yang berhijroh dan dikeluarkan dari rumah-rumah mereka dan
disakiti di jalan-Ku, dan berperang dan membunuh atau dibunuh, pastilah Aku akan
menghapus dari mereka kejelekan-kejelekan mereka, dan pastilah aku akan
memasukkan mereka ke dalam Jannah-jannah yang sungai-sungai mengalir di
bawahnya.” [QS. Ali Imron: 195].

Alloh ta'ala berfirman:

]57/‫اهدُ وا فِينَا َلن َْه ِد َين ُه ْم ُس ُب َلنَا َوإِن اهلل ملَ َع املُْ ْح ِسنِني [العنكبوت‬
َ ‫ين َج‬
ِ
َ ‫َوالذ‬
215

"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari jalan Kami, pastilah kami akan
menunjuki mereka jalan-jalan keridhoan Kami. Dan sungguh Alloh bersama orang-
orang yang berbuat kebaikan." (QS. Al 'Ankabut: 69).

Apa yang terjadi pada ahli ahwa, yang berupa sikap menabrak-nabrak, itu adalah
disebabkan oleh terjadinya kekurangan pada mereka untuk mencari kebenaran dan
mencapai kebenaran. Soalnya jika tidak demikian, barangsiapa mencari kebenaran dia
akan mendapatkannya.
ِ َ ‫ون َع ْن ِع َبا َد ِت َس َيدْ خُ ُل‬ ِ ِ ‫وين َأ ْست‬
ِ ‫﴿ َو َق َال َر ُّبك ُُم ا ْد ُع‬
َ ‫ون َج َهن َم َداخ ِر‬
.]90 :‫ين﴾ [غافر‬ َ ‫ِْب‬ َ ‫ب َلك ُْم إِن الذ‬
ُ ِ ‫ين َي ْس َتك‬ ْ ‫َج‬

“Dan Robb kalian berfirman: berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan
memenuhi doa kalian, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
beribadah kepada-Ku mereka akan masuk ke Jahannam dalam keadaan hina.”

Salman ‫ رضي هللا عنه‬dulu adalah Majusi, termasuk dari penyembah api, dan beliau
mencari kebenaran, dan terus-menerus berpindah dari satu agama ke agama yang lain
sampai Alloh memberinya petunjuk kepada Islam dan mati sebagai seorang Shohabiy.”

Selesai dari ucapan Syaikh kami Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬.

Orang yang merenungkan ucapan Syaikh kami Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dengan
jujur, ilmu dan keadilan, akan nampak sangat jelas baginya dengan seidzin Alloh
bahwasanya Syaikh kami Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬menyandarkan hidayah kepada
Alloh, dan bahwasanya semuanya itu kembali kepada kehendak Alloh. Maka oleh
karena itulah beliau menukilkan ayat ini: “Dan orang-orang yang mengikuti petunjuk,
Alloh akan menambahinya petunjuk dan memberikan pada mereka balasan
ketaqwaan mereka.”

Maka Asy Syaikh menetapkan hidayah taufiq itu di tangan Alloh, dan
bahwasanya Dia memberi pahala untuk orang-orang yang bertaqwa yang mengikuti
petunjuk dengan tambahan petunjuk dan pahala yang lainnya.

Demikian pula beliau menukilkan firman Alloh ta’ala: “Dan Alloh akan
menambahi orang-orang yang mengikuti petunjuk dengan petunjuk berikutnya.”

Dan bertambah jelas dengan penukilan beliau terhadap sabda Nabi ‫صلى هللا عليه‬
‫ وسلم‬: “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu di dalamnya,
Alloh akan memudahkan untuknya jalan ke Jannah.” Beliau menisbatkan pemudahan
kepada Alloh ta’ala. Dan Asy Syaikh terang-terangan bahwasanya pemudahan dan
taufiq itu di tangan Alloh, dengan ucapan beliau: “Menempuh jalan tadi lahir dan batin,
itu semua dengan maksud menempuh jalan kebenaran, jalan ilmu yang bermanfaat,
Alloh akan memudahkan bagi dirinya jalan ke Jannah, dengan hidayah dan taufiq
kepada ilmu dan amal tadi.” Selesai.
216

Maka taufiq itu di tangan Alloh, Dia memberikannya pada orang yang
dikehendaki-Nya dari kalangan para hamba-Nya. Maka barangsiapa memenuhi syarat-
syarat Alloh, maka sesungguhnya Alloh tidak menyelisihi janji, bahkan Dia
memberikannya sebagaimana yang dijanjikannya sebagai karunia dari-Nya dan
pemuliaan dari-Nya, bukan karena para hamba mewajibkan itu pada Alloh.

Dan demikian pula penukilan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬terhadap firman Alloh
ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih Robb mereka
akan memberikan petunjuk pada mereka.” Dan firman-Nya: “Dan sesungguhnya Aku
benar-benar Maha Pengampun untuk orang yang bertobat, beriman dan beramal
sholih kemudian mengikuti petunjuk.”

Maka hidayah itu di tangan Alloh, maka barangsiapa memenuhi syarat-


syaratnya, maka sesungguhnya Alloh menunaikan janji-Nya dengan memberinya taufiq
padanya sebagai pemuliaan untuknya dan karunia dari-Nya untuknya.

Dan penukilan beliau terhadap pengakuan dan doa: “Hanya kepada-Mu sajalah
kami menyembah, dan hanya kepada-Mu sajalah kami mohon pertolongan.
Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau berikan
nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai, dan bukan pula
jalan orang-orang yang tersesat.” Jelas sekali bahwasanya Asy Syaikh jauh sekali dari
aqidah Mu’tazilah, karena pengakuan dan doa ini menunjukkan penunggalan Alloh
dalam tawakkal dan isti’anah. Adapun Mu’tazilah manakala mereka mengeluarkan
hidayah manusia dan jin dan kehendak mereka dari taqdirnya Alloh, mereka tidak
berdoa pada Alloh untuk mendapatkan hidayah, dan mereka tidak memohon
pertolongan pada Alloh.

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata tentang keadaan orang yang merealisir


kandungan “Hanya kepada-Mu sajalah kami menyembah” maka dia menyembah Alloh
tapi tanpa beriman pada taqdir sehingga dia tidak mohon pertolongan pada-Nya dan
tidak merealisir “Dan hanya kepada-Mu sajalah kami memohon pertolongan” : “Maka
orang ini terkadang bermaksud untuk menyembah-Nya tapi tidak memaksudkan hakikat
isti’anah (mohon pertolongan) pada-Nya, dan itu adalah keadaan Qodariyyah dari
kalangan Mu’tazilah dan yang semisal mereka yang menetapkan bahwasanya Alloh
bukanlah pencipta bagi perbuatan-perbuatan para hamba, dan bahwasanya Alloh tidak
menginginkan terjadinya kejadian-kejadian –sampai pada ucapan beliau:- adapun orang
yang Alloh beri petunjuk, maka sesungguhnya dia merealisir firman-Nya: “Hanya
kepada-Mu sajalah kami menyembah, dan hanya kepada-Mu sajalah kami memohon
pertolongan” dan mengetahui bahwasanya setiap amalan yang tidak dikehendaki
dengannya wajah Alloh dan tidak mencocoki perintah-Nya itu tertolak. Dan setiap orang
yang punya maksud tapi tidak ditolong oleh Alloh, maka dia itu terhalangi dari tujuan-
tujuannya. Karena dirinya bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar selain
Alloh, maka dia menyembah Alloh dengan memurnikan agama untuk-Nya sambil
217

mohon pertolongan pada Alloh untuk ibadah, dalam keadaan beriman pada penciptaan-
Nya dan perintah-Nya, pada taqdir-Nya dan syariat-Nya, maka dia mohon pertolongan
pada Alloh untuk menjalankan ketaatan pada-Nya, dan bersyukur pada Alloh atas
pertolongan tadi, dan dia mengetahui bahwasanya ibadah tadi adalah karunia dari Alloh
kepadanya, dan memohon pertolongan pada Alloh dari kejelekan dirinya sendirinya,
dan dari kejelekan-kejelekan amalannya, dan dia mengetahui bahwasanya kejelekan
yang menimpanya adalah dari dirinya sendiri, disertai dengan ilmunya bahwasanya
segala sesuatu adalah dengan taqdir dan ketetapan Alloh, dan bahwasanya Alloh
memiliki hujjah yang kokoh dan mendalam terhadap para makhluq-Nya, dan
bahwasanya Alloh dalam penciptaan-Nya dan perintah-Nya itu memiliki hikmah yang
mendalam dan rohmat yang sempurna.” (“Majmu’ul Fatawa”/16/hal. 64-65).

Kemudian Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬menyebutkan beberapa dalil yang


menunjukkan pada janji Alloh bagi orang yang mengikuti jalan-Nya dalam mendapatkan
kebaikan di dunia dan akhirat, dan bahwasanya Alloh itu tidak menyia-nyiakan pahala
orang yang memperbagus amalan. Tidak ada di dalamnya serpihan aqidah Mu’tazilah,
dan hanya saja beliau menyebutkan dalil-dalil harapan sebagaimana yang dilakukan
oleh para ulama dan para imam ‫رحمهم هللا‬. Awal ucapan menunjukkan kepada apa yang
beliau maksudkan. Dan akhir ucapan juga menunjukkan kepada yang demikian itu. Asy
Syaikh ‫ حفظه هللا‬berkata: Apa yang terjadi pada ahli ahwa, yang berupa sikap menabrak-
nabrak, itu adalah disebabkan oleh terjadinya kekurangan pada mereka untuk mencari
kebenaran dan mencapai kebenaran. Soalnya jika tidak demikian, barangsiapa mencari
kebenaran dia akan mendapatkannya.

“Dan Robb kalian berfirman: berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan
memenuhi doa kalian, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
beribadah kepada-Ku mereka akan masuk ke Jahannam dalam keadaan hina.”
Selesai.

Dan ucapan Asy Syaikh ‫حفظه هللا‬: “Salman ‫ رضي هللا عنه‬dulu adalah Majusi,
termasuk dari penyembah api, dan beliau mencari kebenaran, dan terus-menerus
berpindah dari satu agama ke agama yang lain sampai Alloh memberinya petunjuk
kepada Islam dan mati sebagai seorang Shohabiy” itu menunjukkan tidak cukupnya
sekedar mencari kebenaran, akan tetapi Alloh itulah yang memberinya petunjuk, dan
Alloh menjaga keislaman beliau sepanjang hidup beliau sampai meninggal di atas Islam
dan sebagai shohabat semoga Alloh meridhoi beliau dan seluruh Shohabat semuanya.

Asy Syaikh ‫ حفظه هللا‬telah mengumpulkan antara dorongan untuk melakukan


sebab-sebab mendapatkan hidayah sambil berpegang pada sebab yang terbesar yaitu
Alloh, dengan berdoa kepada-Nya dan beriman bahwasanya beliau mengabulkan
doanya. Dan telah lewat penukilan beliau untuk firman Alloh ta’ala: “Tunjukkanlah
kami ke jalan yang lurus”. Dan ini semua benar-benar menyelisihi jalan Mu’tazilah.
218

Akan tetapi hizbiyyun semisal Arofat Al Bashiriy, Abdulloh Al Bukhoriy, dan Luqman Ba
Abduh tidak tahu.

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan hakikat ucapan Qodariyyah


Majusiyyah bahwasanya Alloh ta’ala bukanlah Robb bagi perbuatan-perbuatan para
makhluk hidup, dan perbuatan mereka tidak masuk ke dalam Rububiyyah Alloh.
Bagaimana Rububiyyah-Nya mencakup perkara yang tidak masuk ke dalam kodrat dan
kehendak-Nya dan penciptaan-Nya sementara keumuman pujian untuk-Nya itu
menuntut pujian untuk-Nya dikarenakan ketaatan para makhluk-Nya, karena Dia itulah
Yang menolong mereka untuk melaksanakan ketaatan tadi dan memberikan taufiq pada
mereka untuk melaksanakan ketaatan tadi? Dan Alloh itulah yang menghendaki
(menaqdirkan) ketaatan itu dari mereka, sebagaimana Dia berfirman di beberapa
tempat dari kitab-Nya:

﴾‫﴿وما تشاءون إَل أن يشاء اهلل‬

“Dan tidaklah kalian menghendaki kecuali dengan kehendak Alloh.”

Maka Dia itu terpuji karena Dia menginginkan (keinginan yang sifatnya adalah taqdir)
ketaatan tadi kepada mereka tadi, dan menjadikan mereka mengerjakannya, dengan
taqdir-Nya dan kehendak-Nya. Maka pada hakikatnya Dia itulah Yang terpuji karena
ketaatan mereka tadi. Sementara menurut para Qodariyyah Mu’tazilah mereka itulah
yang terpuji karena ketaatan tadi, dan hanya milik merekalah pujian karena
mengerjakan ketaatan tadi, dan bukan milik Alloh pujian atas perbuatan ketaatan tadi
menurut mereka. Dan menurut mereka bukanlah milik Alloh pujian atas pahala dan
ganjaran yang diberikan-Nya karena ketaatan tadi. Adapun yang pertama: adalah
karena ketaatan tadi adalah murni mereka sebagai pelakunya, bukan dengan
pertolongan Alloh. Adapun yang kedua: karena pahala tadi memang wajib Alloh berikan
pada mereka sebagaimana wajibnya seorang penyewa untuk membayar gaji pegawai
yang disewanya. Maka pahala tadi adalah hak murni mereka yang wajib Alloh bayarkan
pada mereka.

Dan di dalam firman Alloh: “Dan hanya kepada-Mu sajalah kami mohon
pertolongan” ada bantahan yang jelas terhadap para Qodariyyah Mu’tazilah tadi,
karena minta tolongnya mereka kepada-Nya itu hanyalah terjadi dari sesuatu yang ada
di tangan-Nya, dan di bawah qodrat dan kehendak-Nya. Maka bagaimana orang yang di
tangannya sendirilah perbuatan itu minta tolong, sementara dia sendirilah yang
mengadakannya, jika dia menghendaki dia akan mengadakannya, dan jika dia tidak
menghendaki maka dia tidak akan mengadakannya, bagaimana dia minta tolong pada
Dzat Yang perbuatan tadi tidak ada di tangan-Nya, dan tidak masuk di dalam qodrat dan
kehendak-Nya? Dan di dalam firman-Nya: “Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus”
juga ada bantahan terhadap mereka, karena hidayah yang mutlak dan sempurna itu
mengharuskan dihasilkannya ihtida (upaya untuk menjalankan petunjuk tadi).
219

Andaikata hidayah tadi tidak di tangan Alloh ta’ala semata, bukannya di tangan mereka,
niscaya mereka tidak memohonnya dari-Nya. Dan hidayah itu mengandung bimbingan,
penjelasan, taufiq dan pemberian kemampuan untuk menjalankannya, dan Alloh
menjadikan mereka menjalankan petunjuk tadi. Dan bukanlah yang mereka minta itu
sekedar penjelasan dan petunjuk semata sebagaimana yang diduga oleh Qodariyyah,
karena hidayah sebatas ini semata tidak mengharuskan orang tadi mendapatkan taufiq
dan tidak menyelamatkannya dari kehinaan. Hidayah sebatas tadi (penjelasan dan
petunjuk) juga didapatkan oleh selain mereka dari kalangan orang-orang kafir, yang
lebih menyukai kebutaan daripada taufiq, dan membeli kesesatan dengan petunjuk.”

(selesai dari “Madarijus Salikin”/1/hal. 62-63/Al Maktabatul ‘Ashriyyah).

Apa kaitan antara Qodariyyah, Majusiyyah dan Mu’tazilah?

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan barangsiapa mengakui syariat, perintah dan
larangan, kebaikan dan keburukan, tapi tidak mengakui taqdir, dan penciptaan amalan-
amalan sebagaimana itu adalah aqidah Mu’tazilah, maka dia adalah termasuk
Qodariyyah Majusiyyah yang menyerupai orang-orang Majusiy. Dan Mu’tazilah punya
banyak sekali penyerupaan dengan orang-orang Majusiy dan Yahudiy.” (“Majmu’ul
Fatawa”/16/hal. 238).

Maka jika engkau telah mengetahui ini, maka engkau harus mengetahui
bahwasanya ucapan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬: “Apa yang terjadi pada ahli ahwa, yang
berupa sikap menabrak-nabrak, itu adalah disebabkan oleh terjadinya kekurangan
pada mereka untuk mencari kebenaran dan mencapai kebenaran. Soalnya jika tidak
demikian, barangsiapa mencari kebenaran dia akan mendapatkannya” itu tidak
menyendiri (memisahkan diri) dari kehendak Alloh, karena awal ucapan dan akhir
perkataan menunjukkan sikap bernaung dan memohon pada Alloh, disertai dengan
pemenuhan syarat-syarat yang dijadikan Alloh sebagai sebab untuk dihasilkannya
akibat, yaitu taufiq dan menepati kebenaran.

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka urusan ini semuanya adalah milik
Alloh. Dan pujian itu semuanya adalah milik-Nya, dan kebaikan itu semuanya adalah di
kedua tangan-Nya. Dan tidak ada sedikitpun bersama hamba dari dirinya sama sekali.
Bahkan Alloh itulah yangmemberikan sebab-sebabnya dan hasil-hasilnya, dan Dia yang
menjadikan sebab tadi sebagai sebab, dan Dia memberikannya kepada orang yang
dikehendaki-Nya dan menghalanginya dari orang yang dikehendaki-Nya. Jika Dia
menghendaki kebaikan untuk hamba-Nya, Dia akan memberinya taufiq untuk
menghabiskan kemampuannya dan mencurahkan kerja kerasnya untuk berharap dan
takut kepada-Nya, karena kedua perkara ini adalah bahan dasar taufiq. Maka sesuai
kadar tegaknya rasa harap dan takut kepada-Nya di dalam hati itulah dihasilkannya
taufiq.” (“Syifaul ‘Alil”/hal. 107).
220

Maka ucapan syaikh kami Yahya ‫ حفظه هللا‬adalah masuk dalam bab kecerdasan
(‫)الكيس‬, yaitu upaya menjalankan sebab yang bermanfaat yang ditunjukkan oleh Al Kitab
dan As Sunnah, bukan dalam bab pemastian untuk menepati kebenaran tanpa taufiq
dari Alloh. Lebih-lebih lagi Syaikh telah menghiasai ucapan beliau tadi dengan sikap
bernaung dan memohon pada Alloh.

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan kecerdasan itu adalah


melaksanakan sebab-sebab yang Alloh ikat dengannya akibat-akibat yang bermanfaat
bagi hamba dalam kehidupan dunianya dan akhiratnya. Maka ini membuka amalan
kebaikan.” (“Zadul Ma’ad”/2/hal. 325).

Maka barangsiapa menyalahkan langkah Asy Syaikh ini, maka sesungguhnya


dirinya itulah yang bodoh terhadap syariat. Jika dia bersikeras dengan kesesatannya
maka hendaknya dia menyalahkan para imam yang menempuh jalan yang benar ini.

Dari Hudzaifah ‫ رضي هللا عنه‬yang berkata:

.‫ فإن أخذتم يمينا وشًمَل لقد ضللتم ضالَل بعيدا‬،‫يا معْش القراء استقيموا فقد سبقتم سبقا بعيدا‬

“Wahai para pembaca Al Qur’an, istiqomahlah kalian, karena dengan itu sungguh kalian
telah jauh mendahului. Tapi jika kalian mulai menyimpang ke kanan dan ke kiri sungguh
kalian tersesat dengan kesesatan yang jauh.” (riwayat Al Bukhoriy (7282)).

Maka apakah kalian berkata bahwasanya Mu’adz bin Jabal ‫رضي هللا عنه‬
terpengaruh oleh Mu’tazilah Qodariyyah karena beliau memakai kalimat pasti tanpa
mengucapkan “insya Alloh” atau “dengan seidzin Alloh” atau yang semisal itu?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬di dalam kitab “Al Wasithiyyah” yang
disyaroh oleh Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬berkata: “Barangsiapa mempelajari Al Qur’an
dalam rangka mencari petunjuk darinya, akan jelaslah baginya jalan kebenaran.” (hal.
35/cet. “Darul Atsar”).

Maka apakah kalian berkata bahwasanya Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬terpengaruh


oleh Mu’tazilah Qodariyyah karena beliau memakai kalimat pasti tanpa mengucapkan
“insya Alloh” atau “dengan seidzin Alloh” atau yang semisal itu?

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬tidak bermaksud memastikan bahwasanya Barangsiapa


mempelajari Al Qur’an dalam rangka mencari petunjuk darinya, akan jelaslah baginya
jalan kebenaran, sama saja dengan kehendak Alloh atau tanpa kehendak-Nya. Hanya
saja beliau memusatkan pembicaraan bahwasanya termasuk dari sebab-sebab taufiq
adalah mempelajari Al Qur’an dalam rangka mencari petunjuk darinya, akan tetapi para
mubtadi’ah menjauh dari sebab ini sehingga mereka tersesat.
221

Asy Syaikh Sholih Alusy Syaikh ‫ حفظه هللا‬berkata: “Oleh karena itulah maka Asy
Syaikh (Ibnu Taimiyyah) mengingatkan dirimu kepada prinsip ini dengan perkataan
beliau: “Barangsiapa mempelajari Al Qur’an dalam rangka mencari petunjuk darinya,
akan jelaslah baginya jalan kebenaran.” Sementara jalan ahli kalam dalam menetapkan
adanya Alloh itu mereka ambil dari ahli manthiq, dan bukan dari Al Qur’an, jalan yang
beraneka ragam.” (“Syarhul ‘Aqidatil Wasithiyyah”/1/hal. 385).

Asy Syaikh Sholih Al Fauzan ‫ حفظه هللا‬berkata: “Dan barangsiapa mempelajari Al


Qur’an” yaitu: memikirkannya dan merenungkan hidayah yang ditunjukkan olehnya,
“akan jelaslah baginya jalan kebenaran.” Yaitu: jelaslah untuknya jalan kebenaran. Dan
mempelajari Al Qur’an itulah yang menyenangkan dari pembacaannya. Alloh ta’ala
berfirman:

ِ ‫ك ُم َب َارك ل َيدب ُروا آ َياتِ ِه َولِ َيت ََذك َر ُأ ْو ُلوا األَ ْل َب‬
﴾‫اب‬ َ ‫﴿كِتَاب َأنزَ ْلنَا ُه إِ َل ْي‬

“Ini Adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu, kitab yang diberkahi, agar mereka
mempelajari ayat-ayat, dan agar orang-orang yang berpandangan tajam menjadi
sadar dan ingat.”

Dan Alloh ta’ala berfirman:

َُ ‫آن َأ ْم َع َىل ُق ُلوب َأ ْق َف‬


﴾‫اهلا‬ َ ‫﴿ َأ َفال َيتَدَ ب ُر‬
َ ‫ون ا ْل ُق ْر‬

“Maka apakah mereka tidak mempelajari Al Qur’an? Ataukah di atas hati-hati


mereka ada penutup?”

﴾‫﴿ َأ َف َل ْم َيدب ُروا ا ْل َق ْو َل‬

“Apakah mereka tidak mempelajari perkataan tersebut?”

(selesai dari “Syarhul Aqidatil Wasithiyyah”/Asy Syaikh Al Fauzan/hal. 74).

Maka tidaklah dikatakan bahwasanya Asy Syaikh Al Fauzan ‫ حفظه هللا‬mengikuti


aqidah Mu’tazilah –sesuai batas pandangan dusta Al Bashiriy, Luqman Ba Abduh dan
yang lainnya- akan tetapi yang beliau maksudkan adalah seperti yang kami sebutkan
tadi.

Seperti itu pula ucapan syaikh kami Yahya ‫ حفظه هللا‬bahwasanya kejujuran dalam
mencari dan mencurahkan perhatian dalam menelusuri kebenaran itu adalah termasuk
dari sebab datangnya taufiq, tapi para ahli ahwa kurang dalam melakukan itu sehingga
mereka tidak tertolong, sebagai hikmah dari Alloh dan keadilan dari-Nya. Dan bukanlah
ucapan beliau itu mengandung keinginan untuk memisahkan diri dari kehendak Alloh.
222

Adapun kedustaan Arofat –dan diikuti oleh orang-orang fasiq semisal Abdulloh
Al Bukhoriy dan Luqman Ba Abduh- terhadap Asy Syaikh Yahya: “… pastilah (‫ )ال بد‬dia
akan mendapatkannya.” Maka Al Hajuriy menetapkan ini.

Ketahuilah bahwasanya Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬tidak mengucapkan (pastilah ( ‫ال‬
‫ )بد‬dia akan mendapatkannya.) Hanyalah orang-orang fajir dan fasiq tadi dan yang
lainnya yang membuat kedustaan atas nama beliau. Dalam hadits Abdulloh bin Umar -
semoga Alloh meridhoi keduanya- berkata: Aku mendengar Rosululloh -shollallohu
'alaihi wasallam- bersabda:

.»‫َي ُر َج ِِما َق َال‬ َْ ‫ َو َم ْن َق َال ِيف ُم ْؤ ِمن َما َل ْي َس فِ ِيه َأ ْس َك َن ُه اهلل َر ْدغَ َة‬... «
ِ ‫اْل َب‬
ْ َ ‫ال َحتى‬

"… dan barangsiapa berkata tentang seorang mukmin dengan suatu perkara yang
tidak ada pada dirinya, maka Alloh akan menjadikan dia tinggal di dalam rodghotul
khobal (perasan penduduk neraka) sampai dia keluar dari apa yang diucapkannya."
(HR. Abu Dawud (3592) dan dishohihkan Imam Al Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya-
dalam "Ash Shohihul Musnad" (755)).

Aku tambahkan lagi: Jika kalian melewati contoh yang tersebut dalam “Syarh
Ibni Aqil” (4/hal. 295):

،)‫(وإن تستقم تنجح‬

“Dan jika engkau istiqomah, engkau akan beruntung.”

Aku hampir yakin bahwasanya kalian tidak akan menuduh bahwa Ibnu Aqil ‫رحمه‬
‫ هللا‬terkena aqidah Mu’tazilah Qodariyyah, karena ucapan itu adalah ucapan yang telah
dikenal dan dipahami maksudnya, bahwasanya mayoritas orang yang istiqomah di atas
kebenaran akan beruntung di dunia dan akhirat, tanpa bermaksud memastikan atau
melepaskan diri dari kehendak Alloh. Al Imam Ibnul Qoyyim ‫رحمه هللا‬berkata: “Hukum-
hukum itu hanyalah untuk perkara yang dominan dan banyak, sementara perkara yang
jarang itu dihukumi tidak ada.” (“Zadul Ma’ad”/5/hal. 378/cet. Ar Risalah).

Demikian pula ucapan Syamsud Din Al Jaujariy Asy Syafi’iy ‫رحمه هللا‬:

.)‫تنجح‬
ُ ُ‫كر وجتتهد‬
ُ ‫(إن تست‬

“Jika engkau berusaha menghapal dan bekerja keras, engkau akan beruntung.” (“Syarh
Syudzuridz Dzahab”/2/hal. 625).

Maka bagaimana kalian menghujat Asy syaikh Yahya ‫?حفظه هللا‬


223

Adapun jika berkata: (‫“ )وإن عسعقم ال بد أن عنجح‬Jika engkau istiqomah maka tidak
bisa tidak, pastilah engkau akan beruntung.” Tiada keraguan bahwasanya itu salah dan
mencocoki Mu’tazilah. Akan tetapi Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬tidak mengucapkan itu.
Beliau itu hanyalah menempuh jalan yang telah terkenal di kalangan manusia dan ulama
mereka.

Abbas bin Hasan ‫ رحمه هللا‬berkata: “Terus-menerus orang-orang berkata


sebagiannya pada yang lainnya –dengan fi’il mudhori’-:

.)‫ ويكثر رزقك‬،‫ تفلح‬،‫ وحترص عليه‬،‫(هتتم بعملك وجتيده‬

“Konsentrasilah dengan amalanmu dan perbaguslah, serta bersemangatlah padanya,


niscaya engkau beruntung dan rizqimu banyak.”

Dan seorang ayah berkata dan menasihati anaknya:

.)‫(ت اكر وتلتفت إى دروسك تنجح‬

“Ulang-ulanglah pelajaranmu, dan palingkan dirimu pada pelajaran-pelajaranmu niscaya


engkau sukses.”

Maksudnya adalah –dengan fi’il amr-: Konsentrasilah dengan amalanmu dan


perbaguslah, serta bersemangatlah padanya, niscaya engkau beruntung. Ulang-ulanglah
pelajaranmu, dan palingkan dirimu pada pelajaran-pelajaranmu niscaya engkau sukses.”

(“An Nahwul Wafi”/4/hal. 367).

Adapun para pengekor hawa nafsu semisal Arofat, Luqman Ba Abduh dan yang
lainnya, dikarenakan kerasnya fitnah di dalam hati mereka, mereka tidak kenal yang
ma’ruf dan tidak mengingkari yang munkar kecuali hawa nafsu yang diserap. Bahkan
mereka menjadikan yang ma’ruf menjadi munkar, dan yang mungkar menjadi ma’ruf.

Dari Hudzaifah ‫ رضي هللا عنه‬berkata:

‫فأي قلب‬
‫ ه‬،‫ «تعرض الفتن عىل القلوب كاِلصري عودا عودا‬:‫سمعت رسول اهلل صىل اهلل عليه و سلم يقول‬
‫ عىل أبيض مثل‬:‫ حتى تصري عىل قلبني‬،‫ وأي قلب أنكرها نكت فيه نكتة بيضاء‬،‫أَشِبا نكت فيه نكتة سوداء‬
‫ َل يعرف معروفا وَل‬،‫ واآلخر أسود مربادا كالكوز جمخيا‬،‫الصفا فال تُضه فتنة ما دامت السًموات واألرض‬
.))411( ‫ (أخرجه مسلم‬.»‫ينكر منكرا إَل ما أَشب من هواه‬

Aku mendengar Rosululloh ‫ صى هللا عىيه وسىم‬bersabda: “Fitnah-fitnah dipaparkan


kepada hati-hati bagaikan tikar sehelai demi sehelai. Hati manapun yang
224

menyerapnya, akan dititikkan padanya titik hitam. Dan hati manapun yang
mengingkarinya, akan dititikkan padanya titik putih. Sampai menjadi dua macam
hati: hati yang putih seperti batu yang halus, tidak membahayakannya fitnah selama
langit dan bumi masih ada. Dan yang lain adalah hati yang hitam kelabu seperti
belanga dalam kondisi terbalik, tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari
yang mungkar kecuali apa yang diserap dari hawa nafsunya.” (HR. Muslim (144)).

Maka Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬menyebutkan dua jenis hati, dan cocok untuk
ahli ahwa adalah pemilik hati yang sakit yang Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata
tentangnya: “Hati yang jika disodorkan padanya fitnah, dia akan menyerapnya
sebagaimana spon menyerap air. Maka dititikkanlah di dalam hatinya titik hitam. Dan
terus-menerus dia menyerap setiap fitnah yang disodorkan padanya sehingga dia
menghitam dan terbalik. Dan itulah makna sabda beliau: “seperti belanga dalam
kondisi terbalik” yaitu tertelungkup dan terbalik. Maka jika hati itu telah menghitam
dan terbalik, disodorkanlah padanya dua penyakit itu, dua penyakit yang berbahaya
yang saling melemparkan penderitanya kepada kebinasaan. Yang pertama adalah:
keserupaan di benaknya antara perkara yang makruf dengan perkara yang mungkar,
sehingga dia tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang munkar. Dan bisa
jadi dia dikuasai oleh penyakit ini sampai dia meyakini bahwasanya yang ma’ruf itu
adalah munkar, dan yang munkar itu adalah ma’ruf, yang sunnah itu adalah bid’ah dan
bid’ah itu adalah sunnah, yang benar adalah batil, dan yang batil adalah benar. Yang
kedua adalah: dia menguasakan hawa nafsunya terhadap apa yang dibawa oleh Rosul
‫ صلى هللا عليه وآله وسلم‬dan dia menaati hawa nafsunya dan mengikutinya.” (“Ighotsatul
Lahfan”/hal. 12).

Maka langkah Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬itu ma’ruf di kalangan para imam ‫رحمهم‬
‫هللا‬. Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka banyak sekali kesalahan bani Adam adalah
disebabkan oleh kurangnya mereka dalam mencari kebenaran, bukan karena
ketidaksanggupan yang mutlak.” (“Jami’ur Rosail”/1/hal. 241).

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan barangsiapa merenungkan sejarah


Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬dan para Shohabat beliau dalam membuat manusia condong
mendekat pada Islam dengan berbagai jalan, jelaslah baginya hakikat perkara ini.”
(“Ahkam Ahlidz Dzimmah”/hal. 248).

Beliau ‫ رحمه هللا‬juga berkata: “… dan kedua kelompok itu keliru dalam syariat
dengan kekeliruan yang buruk dan parah. Hanyalah mereka itu terkena bencana tadi
karena kurangnya mereka dalam mengenal syariat yang Alloh turunkan kepada Rosul-
Nya dan Alloh syariatkan di antara para hamba-Nya.” (“Ath Thuruqul Hukmiyyah”/hal.
151).

Tiada seorang imampun yang menghukumi para imam tadi bahwasanya mereka
terkena paham Mu’tazilah Qodariyyah.
225

Bab Duapuluh Tujuh: Tuduhan Mereka Bahwasanya Asy Syaikh


Yahya Terkena Aqidah Asy’ariyyah

Luqman Ba Abduh berkata tentang Asy Syaikh Yahya: “Dan beberapa aqidah Al
Hajuriy yang mencocoki aqidah Qodariyyah, Asy’ariyyah dan yang lainnya.”

Barangkali itu bagian dari ucapan Abdulloh Al Bukhoriy tentang Asy Syaikh
Yahya: “… Ini adalah bagian dari sejumlah apa yang ada pada orang itu yang berupa
penyelewengan-penyelewengan aqidah dan ilmiyyah yang buruk yang tidak
dibicarakan oleh anak-anak dan bocah tauhid serta bayi-bayi tauhid.” “… tahu
tentang bencana-bencana, kehinaan-kehinaan, kesesatan-kesesatan dan
penyelewengan-penyelewengan yang ada pada Yahya.” “Maka aku tidak tahu
perkara-perkara yang orang ini terjatuh ke dalamnya, yang mana andaikata kumpulan
perkara tersebut dibagi-bagikan kepada masing-masing individu niscaya setiap orang
dari mereka akan dihukumi sebagai mubtadi.’ Bagaimana sementara perkara-perkara
tadi telah terkumpul pada Al Hajuriy?”

Itu semua diambil dari apa yang ditulis oleh Arofat Al Bashiriy: “Prinsip
keenam: Al Hajuriy menganggap bagus bait syair di dalam “As Safariniyyah” yang
berjalan di atas madzhab Asya’iroh yang mana si penyair di situ membolehkan Alloh
untuk menyiksa para hamba tanpa dosa. Al Hajuriy berkata dalam “As Safariniyyah”
(hal. 152): si penyair berkata:

)‫ من غري ما ذنب وَل جرم جرى‬# ‫(وجاز للمول أن يعذب الورى‬

“Dan boleh bagi Al Maula untuk menyiksa para makhluk tanpa ada dosa ataupun
kejahatan yang berlangsung.”

Lebih bagus dari bait ini adalah ucapan Ath Thohawiy ‫ رحمه هللا‬dalam matan
“Ath Thohawiyyah”: “Alloh memberikan petunjuk pada orang yang dikehendaki-Nya,
menjaga, dan memberikan keselamatan, sebagai karunia, … dan jika Dia merohmati
mereka maka itu dengan karunia-Nya dan kedermawanan-Nya.”

Maka jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut, dengan
metode yang sama dengan metode yang terdahulu dalam menjawab:

Sesungguhnya Arofat memotong-motong ucapan Asy Syaikh Yahya ‫حفظه هللا‬


sesuai dengan hawa nafsunya.

Syaikh kami Yahya ‫ حفظه هللا‬berkata dalam syarh beliau terhadap kalimat syair
tadi: “Lebih bagus dari bait ini adalah ucapan Ath Thohawiy ‫ رحمه هللا‬dalam matan “Ath
Thohawiyyah”: “Alloh memberikan petunjuk pada orang yang dikehendaki-Nya,
menjaga, dan memberikan keselamatan, sebagai karunia, dan menyesatkan orang
226

yang dikehendaki-Nya, dan menelantar, dan menguji sebagai bentuk keadilan. Dan
mereka semua berbolak-balik di dalam kehendak-Nya, di antara karunia-Nya dan
keadilan-Nya.” Selesai (dari ucapan Ath Thohawiy).

Alloh ta’ala berfirman:

َ ُ‫﴿ ََل ُي ْس َأ ُل َعًم َي ْف َع ُل َو ُه ْم ُي ْس َأل‬


،]20 :‫ون﴾ [األنبياء‬

“Dia tidak ditanya terhadap apa yang dikerjakan-Nya, dan mereka itu yang ditanya.”

Dan Alloh subhanahu wa ta’ala Maha Pemaaf dan Maha Dermawan. Alloh subhanah
berfirman:
ِ ِ ِ
ُ ‫َحتُ ُه َما زَ كَى منْك ُْم م ْن َأ َحد َأ َبدً ا َو َلكن اهلل ُيزَ كي َم ْن َي َش‬
.]27 :‫اء﴾ [النور‬ َ ْ ‫﴿ َو َل ْو ََل َف ْض ُل اهلل َع َل ْيك ُْم َو َر‬

“Dan andaikata bukan karena karunia Alloh dan rohmat-Nya kepada kalian niscaya
tiada yang suci dari kalian seorangpun selamanya. Akan tetapi Alloh mensucikan
orang yang Dia kehendaki.”

Maka karunia adalah milik Alloh ta’ala –sebelum dan sesudahnya-, maka andaikata
Alloh menyiksa para hamba semuanya, tidaklah Dia zholim terhadap mereka. Dan jika
Dia merohmati mereka, maka itu dengan karunia-Nya dan kedermawanan-Nya.”

Selesai dari “Al Minnatul Ilahiyyah Bi Syarhil ‘Aqidatis Safariniyyah”/hal. 152-153/cet.


Darul Kitab Was Sunnah).

Arofat dan para pewarisnya menduga bahwasanya Asy Syaikh Yahya dengan
ucapan beliau: “(‫ )أحسن‬Lebih bagus dari bait ini adalah ucapan Ath Thohawiy ‫”…رحمه هللا‬
bahwasanya beliau berkeyakinan bahwasanya ucapan As Safariniy itu bagus.

Maka ketahuilah bahwasanya fi’l tafdhil (dengan wazan ‫ )أفال‬terkadang memang


menunjukkan persekutuan dalam asal makna disertai dengan adanya nilai tambah
untuk salah satu pihak, sebagaimana diketahui bersama. Tapi terkadang juga
menunjukkan pada asal makna pada salah satu pihak tanpa yang lainnya. Dan ini juga
dikenal Al Qur’an dan As Sunnah. Alloh ta’ala berfirman:

ً ‫اْلن ِة َي ْو َمئِذ َخ ْري ُم ْس َت َق ًّرا َو َأ ْح َس ُن َم ِق‬


.]11 :‫يل﴾ [الفرقان‬ ُ ‫﴿ َأ ْص َح‬
َْ ‫اب‬

“Para penduduk Jannah pada hari itu lebih baik tempat menetapnya, dan lebih bagus
tempat istirahatnya.”

Al Imam As Sa’diy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Yaitu: tempat menetap mereka di Jannah


dan istirahat mereka yaitu qoilulah (istirahat siang), itulah tempat menetap yang
bermanfaat, dan istirahat yang sempurna, karena mencakup kesempurnaan yang tidak
227

dicampuri oleh kekeruhan, berbeda dengan penduduk Neraka, karena sesungguhnya


Jahannam itu adalah tempat menetap dan istirahat yang paling buruk. Dan ini masuk
dari bab penggunaan af’al tafdhil dalam perkara yang pihak yang lain tidak punya sifat
dari itu sedikitpun, karena tiada kebaikan pada tempat istirahat dan menetap bagi
penduduk Neraka. Seperti firman Alloh ta’ala:

.﴾‫ُون‬ ِ ْ ‫﴿آهلل َخ ْري َأما ُي‬


َ ‫ْشك‬

“Apakah Alloh yang lebih baik ataukah sesuatu yang mereka persekutukan?”

Selesai dari “Taisirul Karimir Rohman” (hal. 580).

Adapun berdasarkan cara pandang ahli ahwa semisal Arofat Al Bashiriy dan
Luqman Ba Abduh: tempat tinggal penduduk Neraka ada kebaikannya, tempat istirahat
mereka bagus, dan bahwasanya berhala-berhala musyrikun itu ada kebaikan pada
mereka.

Dan semisal itu pula firman Alloh ta’ala:

َْ ‫ب َع َل ْي ِه َو َج َع َل ِمن ُْه ُم ا ْل ِق َر َد َة َو‬


ِ ‫اْلن‬
َ‫َاز َير َو َع َبد‬ ِ ِ َ ِ‫﴿ ُق ْل َه ْل ُأنَبئُك ُْم بِ َْش ِم ْن َذل‬
َ ‫ك َم ُثو َب ًة عنْدَ اهلل َم ْن لَ َعنَ ُه اهلل َوغَض‬
ِ ‫ك ََش مكَانًا و َأ َض ُّل عن سو‬ ِ
.]90 :‫يل﴾ [اِلائدة‬ ِ ِ‫اء السب‬ َ َ ْ َ َ َ ‫وت ُأو َلئ َ ر‬ َ ُ‫الطاغ‬

"Katakanlah: maukah kuberitahukan pada kalian perkara yang lebih jelek balasannya
dari itu di sisi Alloh? Yaitu orang yang dilaknat oleh Alloh, dimurkai oleh-Nya, dan Dia
menjadikan sebagian dari mereka sebagai monyet-monyet dan babi-babi serta
penyembah thoghut. Mereka itulah yang lebih jelek kedudukannya dan lebih tersesat
dari jalan yang lurus."

Ayat ini berdasarkan cara pandang ahli ahwa semisal Arofat Al Bashiriy dan
Luqman Ba Abduh menunjukkan bahwasanya: keadaan Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬dan
para Shohabat ‫ رضي هللا عنهم‬itu buruk, hanya saja kondisi Yahudi lebih buruk lagi
daripada kondiri mereka. Dan makna ini buruk sekali, akan tetapi kebanyakan ahli ahwa
itu berbicara tanpa memikirkan sejauh mana bahaya ucapan mereka, dengan sebab
kezholiman mereka terhadap Ahlussunnah. Makna yang benar adalah apa yang
dikatakan oleh para imam ‫رحمهم هللا‬.

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمه هللا‬berkata dalam ayat ini: “Dan ini masuk dalam bab
mempergunakan af’al tafdhil dalam perkara yang pihak lainnya tidak bersekutu dalam
perkara tadi, seperti firman-Nya: “Para penduduk Jannah pada hari itu lebih baik
tempat menetapnya, dan lebih bagus tempat istirahatnya.” (“Tafsirul Qur’anil
‘Azhim”/3/hal. 144).

Contohnya lagi juga adalah: firman Alloh ta’ala:


228

.]4 :‫اع ِد ُلوا ُه َو َأ ْق َر ُب لِلت ْق َوى﴾ [اِلائدة‬


ْ ﴿

“Dan berbuat adillah sesungguhnya dia itu lebih dekat kepada ketaqwaan.”

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمه هللا‬berkata: “Karena itulah Alloh berfirman: “Dan
berbuat adillah sesungguhnya dia itu lebih dekat kepada ketaqwaan.” Yaitu: keadilan
kalian itu lebih dekat kepada ketaqwaan daripada jika meninggalkan keadlilan. Fi’ilnya
menunjukkan pada mashdar yang mana dhomir kembali kepadanya, sebagaimana yang
semisal dengan itu dari Al Qur’an dan yang lainnya, sebagaimana dalam firman-Nya:

َ ِ‫﴿ َوإِ ْن ق‬
.] 14 : ‫يل لَك ُُم ْار ِج ُعوا َف ْار ِج ُعوا ُه َو َأزْ كَى لَك ُْم﴾ [ النور‬

“Dan jika dikatakan pada kalian kembalilah, maka kembalilah kalian, yang demikian
itu lebih suci untuk kalian.”

Dan firman-Nya: “dia itu lebih dekat kepada ketaqwaan.” Masuk dalam bab
penggunaan af’al tafdhil dalam posisi yang tidak ada pada sisi yang lain sedikitpun dari
sifat tadi, seperti firman-Nya: “Para penduduk Jannah pada hari itu lebih baik tempat
menetapnya, dan lebih bagus tempat istirahatnya.” Dan seperti ucapan sebagian
Shohabiyyat pada Umar: :Engkau lebih bengis dan lebih keras daripada Rosululloh ‫صلى‬
‫ هللا عليه وسلم‬. (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/3/hal. 62).

Ayat ini berdasarkan cara pandang ahli ahwa semisal Arofat Al Bashiriy dan
Luqman Ba Abduh menunjukkan bahwasanya: kezholiman itu dekat pada ketaqwaan,
hanya saja keadilan itu lebih dekat pada ketaqwaan daripada kezholiman. Dan makna
ini buruk sekali dan batil.

Dan semisal dengan itu firman Alloh ta’ala:

َ ‫ات َخ ْري ِعنْدَ َرب‬


.]19 :‫ك َث َوا ًبا َو َخ ْري َأ َم ًال﴾ [الكهف‬ َِ ‫ات الص‬
ُ ‫اِل‬ ُ ‫اِل َي ِاة الدُّ ْن َيا َوا ْل َباقِ َي‬
َْ ‫ُون ِزينَ ُة‬
َ ‫﴿ا َْمل ُال َوا ْل َبن‬

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Dan amalan yang lestari
yang sholih itu lebih baik pahalanya di sisi Robbmu dan lebih baik harapannya.”

Al Imam Asy Syaukaniy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Yaitu: bahwasanya amalan-amalan


sholihah ini untuk pelakunya harapannya lebih utama daripada apa yang diharapkan
oleh pemilik harta dan anak-anak, karena mereka dengan amal sholih tadi mendapatkan
di akhirat lebih utama daripada apa yang diharapkan oleh orang-orang kaya di dunia.
Dan tidak ada di dalam perhiasan dunia kebaikan sehingga akhirat diutamakan di
atasnya, akan tetapi pengutamaan ini berjalan di atas pola firman Alloh ta’ala: “Para
penduduk Jannah pada hari itu lebih baik tempat menetapnya.” (“Fathul Qodir”/4/hal.
396).
229

Dan semisal dengannya adalah firman Alloh ta’ala:

.]404 :‫جد ُأس َس َع َىل الت ْق َوى ِم ْن َأو ِل َي ْوم َأ َح ُّق َأ ْن َت ُقو َم فِ ِيه﴾ [التوبة‬
ِ ‫﴿ ََل َت ُق ْم فِ ِيه َأ َبدً ا َمل ْس‬

“Janganlah engkau sholat di dalamnya (masjid dhiror) selamanya. Masjid yang


dibangun di atas asas ketaqwaan sejak awal harinya itu lebih berhak untuk engkau
sholat di dalamnya.”

Masjid dhiror itu tidak punya hak untuk ditegakkan sholat di situ. Akan ayat ini
memakai pola bahasa yang ma’ruf (telah dikenal). Atau dia itu memang berjalan di atas
bab af’al tafdhil, akan tetapi dinilai dari sudut pandang orang yang membangun masjid
itu, karena dia berkeyakinan bahwa masjidnya berhak juga untuk ditegakkan sholat di
situ, walaupun sebenarnya dia itu batil.

Al Imam Al Qurthubiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan kata “ahaqq” (lebih benar atau lebih
berhak) itu adalah af’al dari “haq” (benar/berhak). Dan af’al itu tidak masuk kecuali di
antara dua perkara yang berserikat, salah satunya punya kelebihan daripada yang
lainnya di dalam makna yang mereka berdua berserikat di dalamnya. Maka masjid
Dhiror sekalipun batil, tak punya kebenaran di dalamnya, tapi keduanya berserikat di
dalam kebenaran dari sisi keyakinan orang yang membangunnya, atau dari sisi
keyakinan orang yang mengira bahwasanya sholat di dalamnya itu boleh karena dia itu
tetap masjid juga. Akan tetapi salah satu keyakinan tadi itu batil secara hakikatnya di sisi
Alloh, dan yang lainnya benar lahiriyyah dan bathiniyyah. Dan semisal ini adalah firman
Alloh ta’ala: “Para penduduk Jannah pada hari itu lebih baik tempat menetapnya, dan
lebih bagus tempat istirahatnya.” Dan telah diketahui bahwasanya kebaikan itu
dijauhkan dari neraka, akan tetapi berjalan di atas keyakinan setiap kelompok
bahwasanya kelompoknya itu di atas kebaikan, dan bahwasanya tempat kembalinya itu
juga baik, karena setiap kelompok bangga dengan apa yang ada pada diri mereka.” (“Al
Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/8/hal. 261).

Dan contoh lain yang masuk dalam pembahasan kita adalah: hadits Anas ‫رضي هللا‬
‫ عنه‬yang berkata: Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:

‫«ثالث من كن فيه وجد طعم اْليًمن من كان ُيب املرء َل ُيب إَل هلل ومن كان اهلل ورسوله أحب إليه ِما‬
.»‫سواُها ومن كان أن يلقى يف النار أحب إليه من أن يرجع يف الكفر بعد أن أنقذه اهلل منه‬

“Ada tiga perkara yang barangsiapa perkara tadi ada padanya, dia akan
mendapatkan citarasa keimanan: orang yang mencintai seseorang, tidaklah dia
mencintainya kecuali karena Alloh. Dan barangsiapa Alloh dan Rosul-Nya lebih dia
cintai daripada keduanya. Dan barangsiapa lebih senang untuk dilemparkan ke dalam
api daripada kembali kepada kekufuran setelah Alloh menyelamatkannya darinya.”
(HR. Muslim (43) dengan lafazh ini. Asalnya dari riwayat Al Bukhoriy (16)).
230

Al Imam Ibnu Rojab ‫ رحمه هللا‬berkata: “Adapun apa yang dituntut oleh lafazh
hadits bahwasanya perkara tadi (dilemparkan ke dalam api) dia sukai karena perkara
yang lain (agar tidak kembali kepada kekufuran). Maka yang pertama: ini tidak harus
terjadi –berdasarkan pendapat ahli Kufah yang tidak memandang bahwasanya af’al
tafdhil itu selalu mengharuskan adanya perserikatan-. Maka bisa saja menurut mereka
dikatakan: “Es itu lebih dingin daripada api.” Adapun menurut pendapat ahli Bashroh,
telah berdatangan nash-nash yang banyak dari Al Kitab dan As Sunnah yang tidak
mungkin adanya perserikatan di dalam kalimat tadi. Dan mereka menta’wilkan af’al
dengan fa’il. Maka demikian pula kalimat tadi dita’wilkan di sini.” (“Fathul Bari”/Ibnu
Rojab/1/hal. 29).

Dan termasuk darinya adalah hadits:

َ ‫ َوإِ ْن ك‬،‫َاب اهلل َف ُه َو َباطِل‬


‫َان‬ ِ ‫َشط َل ْي َس ِيف كِت‬ ِ َ ‫ ما ك‬،‫َاب اهلل‬
ْ َ ‫َان م ْن‬ َ ِ ‫ت ِيف كِت‬ ْ ‫َشو ًطا َل ْي َس‬ َ ‫« َما َب ُال ِر َجال َي ْش َ َِت ُط‬
ُ ُ ‫ون‬
.»‫ َوإِن ًَم ا ْل َو ََل ُء َمل ِ ْن َأ ْعت ََق‬،‫َش ُط اهلل َأ ْو َث ُق‬ َ ُ ‫ َق َض‬،‫ِما َئ َة ََشط‬
ْ َ ‫ َو‬،‫اء اهلل أ َح ُّق‬ ْ

“Ada apa orang-orang membuat syarat-syarat yang tidak ada di dalam Kitabulloh?
Syarat apapun yang tidak ada di dalam Kitabulloh maka dia itu batil, sekalipun
seratus syarat. Keputusan Alloh itu lebih benar, dan syarat Alloh itu lebih kuat, dan
hanyalah wala (perwalian bagi bekas hamba) itu bagi orang yang memerdekakan.”
(HR. Al Bukhoriy (2168) dan Muslim (1504) dari Aisyah ‫)رضي هللا عنها‬.

Al Qodhiy Badruddin Al ‘Ainiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Sabda beliau: “Keputusan Alloh


itu lebih benar” yaitu: hukum Alloh lebih berhak untuk diikuti daripada syarat-syarat
yang menyelisihinya. Sabda beliau: “dan syarat Alloh itu lebih kuat” yaitu: dengan
mengikuti batasan-batasannya yang Alloh tetapkan. Dan di sini af’al tafdhil bukan pada
babnya, karena tiada perserikatan antara kebenaran dan kebatilan. Dan sering af’al
datang bukan untuk sebagai perbandingan.” (“Umdatul Qori”/20/hal. 59).

Dan ini telah ma’ruf di ucapan orang-orang Arob sebagaimana kalian lihat. Dan
termasuk di antaranya adalah hadits Abu Usaid As Sa’idiy ‫رضي هللا عنه‬:

:‫ قالت‬.‫ ذ ا رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم جاء ليخطبك‬:‫ قالوا‬.‫ ال‬:‫ أتدرين من ذ ا؟ قالت‬:‫ فقالوا هلا‬...
.))1001( ‫) ومسلم‬4921( ‫ (أخرجه البخاري‬.‫كنت أنا أشقى من ذلك‬

“… maka mereka berkata pada wanita itu: “Tahukah engkau siapa ini?” Dia menjawab:
“Tidak.” Mereka berkata: “Ini adalah Rosululloh ‫صلى هللا عليه وسلم‬, datang untuk
melamarmu.” Dia berkata: “Saya lebih celaka daripada untuk mendapatkan itu.” (HR. Al
Bukhoriy (5637) dan Muslim (2007) dari Aisyah ‫)رضي هللا عنها‬.
231

Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬berkata: “Ucapannya: Dia berkata: “Saya lebih celaka daripada
untuk mendapatkan itu.” Bukanlah af’al tafdhil di sini sesuai lahiriyyahnya, tapi
maksudnya adalah penetapan kecelakaan untuk wanita itu karena luput darinya
pernikahan dengan Rosululloh ‫صلى هللا عليه وسلم‬.” (“Fathul Bari”/10/hal. 99).

Dalil-dalil tentang pola ini banyak sekali, dan orang yang pintar cukup dengan
sedikit isyarat.

Kesimpulan: bahwasanya pola ini banyak dipakai dan telah terkenal dari ucapan
orang Arob, dikenal oleh orang-orang Arob dan yang lainnya juga yang mempelajari
bahasa Arob. Hanya saja ahlul ahwa terhalangi dari taufiq dengan sebab hawa nafsu
mereka.

Kemudian sesungguhnya Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬telah membantah As


Safariniy, dan menyebutkan sebagian dalil-dalil yang menunjukkan batilnya ucapan
Asya’iroh dalam bab ini –yaitu bolehnya Alloh untuk menyiksa para hamba tanpa karena
suatu dosa-.

Syaikh kami Yahya ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan telah berlalu penyebutan hadits qudsiy:

.»‫«يا عبادي إين حرمت الظلم عىل نفيس فجعلته بينكم حمرما فال تظاملوا‬

“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharomkan terhadap diri-Ku


kezholiman, lalu Aku menjadikannya harom di antara kalian, maka janganlah kalian
saling menzholimi.”

Maka Alloh memerintahkan untuk berbuat keadilan dan menolong kebenaran.


Alloh ta’ala berfirman:

،]14 :‫ني﴾ [النور‬ َْ ‫ون َأن اهلل ُه َو‬


ُ ِ‫اِل ُّق ا ُْملب‬ َ ‫﴿ َو َي ْع َل ُم‬

“Dan mereka mengetahui bahwasanya Alloh itulah Yang Mahabenar dan Maha
Menjelaskan.”

Dan Alloh subhanahu wata’ala berfirman:

ِ ْ ‫﴿إِن اهلل َي ْأ ُم ُر بِالْ َعدْ ِل َو‬


ِ ‫اْل ْح َس‬
،]60 :‫ان﴾ [النحل‬

“Sesungguhnya Alloh memerintahkan untuk berbuat adil dan kebaikan.”

Dan Alloh ‫ عبارك وعاالى‬berfirman:

َ ‫اع ِد ُلوا َو َل ْو ك‬
،]441 :‫َان َذا ُق ْر َبى﴾ [األنعام‬ ْ ‫﴿ َوإِ َذا ُق ْلت ُْم َف‬
232

“Dan jika kalian berkata maka adillah, sekalipun dari sanak kerabat.”

Dan Alloh ‫ جل في عاله‬berfirman:


ِ ‫﴿يا َأهيا ال ِذين آمنُوا كُونُوا َقو ِامني هلل ُشهدَ اء بِا ْل ِقس‬
.]4 :‫ط﴾ [اِلائدة‬ ْ َ َ َ َ َ َ ُّ َ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian para penegak persaksian dengan
keadilan karena Alloh.”

Maka Alloh ‫ سبحانه وعاالى‬mensucikan diri-Nya dari menyiksa orang yang tidak berhak
disiksa. Dan dalil-dalil tentang itu banyak, di antaranya adalah: dalil yang datang dalam
“Shohihain” dari Mu’adz bin Jabal ‫ رضي هللا عنه‬bahwasanya Nabi ‫صلى هللا عليه وسلم‬
bersabda:

.»‫ وحق العباد عىل اهلل أن َل يعذب من َل يْشكوا به شيئا‬،‫«حق اهلل عىل العباد أن يعبدوه وَل يْشكوا به شيئا‬

“Hak Alloh terhadap para hamba adalah mereka menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan sesuatu apapun dengan-Nya. Dan hak para hamba terhadap Alloh
adalah Dia tidak menyiksa orang yang tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan-
Nya.” [HR. Al Bukhoriy (2856) dan Muslim (30)].

Dan ini adalah hak yang Alloh jadikan terhadap diri-Nya sendiri sebagai karunia
untuk mereka. Alloh ta’ala berfirman:

.]12 :‫ين فِ َيها َأ َبدً ا﴾ [اْلن‬ ِِ ِ ‫﴿إَِل َب َالغً ا ِم َن اهلل َو ِر َس َاَلتِ ِه َو َم ْن َي ْع‬
َ ‫ص اهلل َو َر ُسو َل ُه َفإِن َل ُه ن‬
َ ‫َار َج َهن َم َخالد‬

“Hanya saja itu adalah penyampaian dari Alloh dan risalah-Nya. Dan barangsiapa
durhaka pada Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguh dia akan mendapatkan api
Jahannam, mereka kekal di dalamnya selamanya.”

Dan Alloh ‫ سبحانه‬berfirman:

ِِ ِ ِ ِ ِ ِ‫ول ِمن بع ِد ما َتبني َله ُْاهلدَ ى ويتبِع غَري سب‬ ِ


‫اء ْت‬ َ ‫يل ا ُْمل ْؤمن‬
َ ‫ني ن َُوله َما ت ََول َون ُْصله َج َهن َم َو َس‬ َ َْ ْ ََ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ ‫﴿و َم ْن ُي َشاق ِق الر ُس‬
َ
.﴾‫َم ِص ًريا‬

“Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa: 115).

Alloh ta’ala berfirman:


233

﴾‫َري ُهدً ى ِم َن اهلل‬


ِ ْ ‫ون َأ ْه َو َاء ُه ْم َو َم ْن َأ َض ُّل ِِم ِن ات َب َع َه َوا ُه بِغ‬
َ ‫ك َفا ْع َل ْم َأن ًَم َيتبِ ُع‬ ِ ‫﴿ َفإِ ْن َمل َي ْست‬
َ َ‫َجي ُبوا ل‬ ْ

"Maka jika mereka tidak memenuhi seruanmu maka ketahuilah bahwasanya mereka
hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada
orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Alloh?" (QS. Al Qoshshoh
50).

Alloh subhanah wata'ala berfirman:


ِ ِ ِ
ُ َ ‫﴿فلًم زَ اغُ وا َأزَ ا َغ اهلل ُق ُل‬
َ ‫وِب ْم َواهلل ََل َ ْهيدي الْ َق ْو َم الْ َفاسق‬
.]4 :‫ني﴾ [الصف‬

“Maka manakala mereka menyimpang, Alloh simpangkan hati-hati mereka. Dan


Alloh tidak memberikan petunjuk pada kaum yang fasiq.”

Maka ini menunjukkan bahwasanya Alloh ‫ عز وجل‬tidak menyiksa kecuali orang


yang berhak mendapatkan siksaan.”

Selesai ucapan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬dalam “Al Minnatul Ilahiyyah Bi Syarhil ‘Aqidatis
Safariniyyah” (hal. 152-154/cet. Darul Kitab Was Sunnah).

Ini adalah dalil yang jelas bahwasanya Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬membantah
ucapan As Safariniy ‫ رحمه هللا‬yang mengandung ucapan Asy’ariyyah. Akan tetapi beliau
membantah As Safarini dengan adab yang indah karena Al ‘Allamah As Safariniy ‫رحمه هللا‬
adalah sunniy salafiy, hanya saja jarang sekali orang yang selamat dari pengaruh
Asy’ariyyah di sepanjang zaman.

Dan dalil-dalil yang dipaparkan oleh Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬adalah janji bagi
pelaku kebaikan, ancaman terhadap pelaku kejelekan, dan penjelasan bahwasanya
Alloh telah mewajibkan terhadap diri-Nya sendiri rohmat, dan mengharomkan diri-Nya
sendiri untuk berbuat zholim, maka Dia tidak membolehkan diri-Nya untuk menyiksa
seorang hamba tanpa suatu dosa. Ini semua adalah bantahan terhadap Asya’iroh, bukan
seperti yang disangka oleh Arofat Al Bashiriy dan para pewarisnya bahwasanya Asy
Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬berdalilkan dengan dalil-dalil Asya’iroh. Arofat Al Bashiriy
memotong-motong kalimat-kalimat Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬, jauh sekali dari kejujuran
dan keadilan.

Adapun ucapan dia terhadap Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬: “Kemudian dia
menambah basah tanah liat ketika mencocoki si penyair dalam ucapannya:

، ‫ ألنه عن فِ ْعلِ ِه َل ُي ْسأَ ُل‬# ‫فكل ما منه تعال جيمل‬

“Maka segala apapun yang datang dari-Nya ta’ala adalah bagus, karena Dia tidak
ditanya tentang apa yang dikerjakan-Nya.”
234

Lalu dia - Asy Syaikh Yahya ‫ – حفظه هللا‬berkata: maknanya adalah: bahwasanya segala
apapun yang datang dari Alloh ta’ala adalah bagus, karena Dia tidak ditanya tentang
apa yang dikerjakan-Nya.”

Berbeda dengan Ibnu Utsaimin yang mengetahui tempat terselisihan Sunniy dengan
Asy’ariy. Beliau telah mengingkari bait ini semuanya. Dan sebelum beliau adalah para
imam dakwah sebagaimana dalam komentar-komentar mereka terhadap As
Safariniyyah.”

Maka jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh semata- adalah:

Ucapan Al Imam Ibnu Utsaimin ‫ رحمه هللا‬tentang itu secara keseluruhan tertulis di
kitab “Syarhul ‘Aqidatis Safariniyyah” (hal. 266-268/cet. Dar Ibnil Jauziy). Beliau
berbicara dengan bagus dan memberikan faidah.

Akan tetapi apakah orang yang tidak menempuh metode beliau itu berhak untuk
dihinakan dan dicerca sebagaimana yang dikerjakan oleh Arofat Al Hizbiy terhadap Asy
Syaikh Yahya ‫?حفظه هللا‬

Adapun ucapan Arofat: “Dan sebelum beliau adalah para imam dakwah
sebagaimana dalam komentar-komentar mereka terhadap As Safariniyyah.”

Kami katakan –dengan taufiq dari Alloh-:

Bahkan syarh Asy Syaikh Yahya dan bantahan beliau terhadap As Safariniy ‫رحمه‬
‫ هللا‬itu lebih bagus dan lebih jelas daripada syarh dan bantahan Asy Syaikh Al Allamah
Muhammad bin Abdil Aziz bin Mani’ ‫حفظه هللا‬. Apakah engkau mengatakan bahwasanya
Asy Syaikh Al Allamah Muhammad bin Abdil Aziz bin Mani’ ‫ حفظه هللا‬tidak mengetahui
tempat perselisihan sunniy-asy’ariy? Rujuklah dengan jujur dan adil dalam kitab “Jami’
Syuruhil ‘Aqidatis Safariniyyah” (hal. 383-384/cet. Daru Ibnil Haitsam).

Adapun Asy Syaikh Al Allamah Abdurrohman bin Muhammad bin Qosim ‫رحمه هللا‬
beliau mendatangkan bantahan yang kuat terhadap ucapan As Safariniy ‫ رحمه هللا‬: “Dan
boleh bagi Al Maula untuk menyiksa para makhluk tanpa ada dosa ataupun kejahatan
yang berlangsung.” Semoga Alloh membalas beliau dengan kebaikan. Adapun syarh
beliau terhadap ucapan As Safariniy ‫ رحمه هللا‬: “Maka segala apapun yang datang dari-
Nya ta’ala adalah bagus, karena Dia tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan-Nya.”
Alur beliau dekat sekali dengan alur Asy Syaikh Yahya ‫حفظه هللا‬. Apakah engkau
mengatakan bahwasanya Asy Syaikh Al Allamah Abdurrohman bin Muhammad bin
Qosim ‫ رحمه هللا‬tidak mengetahui tempat perselisihan sunniy-asy’ariy? Rujuklah dengan
jujur dan adil dalam kitab “Jami’ Syuruhil ‘Aqidatis Safariniyyah” (hal. 388-389/cet. Daru
Ibnil Haitsam).

Adapun Asy Syaikh Al Allamah Sholih Al Fauzan ‫ حفظه هللا‬beliau terang-terangan


menyatakan bahwasanya ucapan As Safariniy ‫ رحمه هللا‬: “Dan boleh bagi Al Maula untuk
235

menyiksa para makhluk tanpa ada dosa ataupun kejahatan yang berlangsung” adalah
berjalan di atas madzhab Asya’iroh. Maka semoga Alloh membalas beliau dengan
kebaikan. Dan barangsiapa merenungkan syarh Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬terhadap
ucapan As Safariniy ‫ رحمه هللا‬tersebut, dia akan mendapati dengan taufiq dari Alloh
bahwasanya Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬telah mendatangkan dalil-dalil yang banyak untuk
membantah As Safariniy itu, lebih banyak daripada pendalilan yang didatangkan oleh
Asy Syaikh Al Fauzan. Maka kenapa Arofat bergaya buta terhadap kebaikan itu?

Adapun syarh Asy Syaikh Al Fauzan ‫ حفظه هللا‬terhadap ucapan As Safariniy ‫ رحمه هللا‬:
“Maka segala apapun yang datang dari-Nya ta’ala adalah bagus, karena Dia tidak
ditanya tentang apa yang dikerjakan-Nya” maka di dalamnya ada bantahan yang bagus
terhadap ucapan As Safariniy ‫ رحمه هللا‬itu. Maka semoga Alloh membalas beliau dengan
kebaikan.

Rujuklah semuanya dengan jujur dan adil dalam kitab “Jami’ Syuruhil ‘Aqidatis
Safariniyyah” (hal. 428-430/cet. Daru Ibnil Haitsam).

Inilah jawabanku, jawaban orang yang berusaha tetap pada objektivitas,


keadilan dan kejujuran, jauh dari fanatisme insya Alloh, dan hanya dengan pertolongan
Alloh saja kita mendapatkan taufiq.

Dan ucapan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬: “Maknanya adalah: bahwasanya segala
apapun yang datang dari Alloh ta’ala adalah bagus, karena Dia tidak ditanya tentang
apa yang dikerjakan-Nya.” Itu adalah ucapan yang benar, karena semua perbuatan
Alloh adalah bagus.

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Robb kita ‫ سبحانه وعاالى‬telah meliputi segala
sesuatu dengan ilmu, qodrat-Nya, hukum-Nya, dan mencakup segala sesuatu dengan
rohmat-Nya dan ilmu-Nya, maka tiada satu dzarrohpun di langit dan bumi, dan tiada
satu maknapun kecuali dia itu sebagai saksi bagi Alloh ta’ala akan kesempurnaan ilmu-
Nya dan rohmat-Nya, dan kesempurnaan qodrat dan hikmah-Nya. Dan tidaklah Dia
menciptakan makhluk dengan sia-sia, dan tidak pula melakukan sesuatu sekedar untuk
bermain-main. Bahkan Dialah Al Hakim (Yang meletakkan segalanya tepat pada
tempatnya) dalam perbuatan dan perkataan-Nya ‫ سبحانه وعاالى‬, kemudian sebagian dari
hikmah-Nya ada yang diperlihatkan-Nya pada sebagian makhluk-Nya, dan sebagiannya
dikhususkan untuk diri-Nya sendiri ‫ سبحانه‬ilmunya.” (“Majmu’ul Fatawa”/8/hal. 197).

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan Dia ‫ سبحانه‬sebagaimana tersifati


dengan seluruh kesempurnaan, maka Dia tersucikan dari setiap kekurangan dan cacat.
Maka sebagaimana Dia tersifati pada setiap perbuatan-Nya dengan setiap pujian,
hikmah dan tujuan yang terpuji, maka Dia juga tersucikan dalam perbuatan-Nya itu dari
setiap aib, kezholiman dan keburukan. Dan dengan ini Dia berhak untuk dipuji pada
setiap keadaan, dan terpuji pada perkara yang tidak disukai sebagaimana Dia terpuji
pada perkara yang disukai.” (“Ash Showa’iqul Mursalah”/2/hal. 316).
236

Maka ucapan Asy Syaikh Yahya itu benar, bahwasanya perbuatan Alloh itu bagus
semuanya, hanya saja Asy Syaikh ‫– حفظه هللا‬demikian pula sebagian ulama ‫– جزاهم هللا خيرا‬
tidak membahas didatangkannya huruf Fa (‫ )فـ‬yang dilakukan oleh As Safariniy ‫رحمه هللا‬
untuk menunjukkan benarnya aqidah Asy’ariyyah bahwasanya Alloh boleh saja
menyiksa para hamba-Nya tanpa dosa apapun. Akan tetapi Asy Syaikh Yahya ‫حفظه هللا‬
secara umum telah membantah ucapan Asya’iroh tadi dalam bab tersebut, maka beliau
mencukupkan diri dengan itu.

Kesimpulan: jalan para ulama Sunnah dalam mensyaroh dan membantah bait
syair tadi bermacam-macam, sebagiannya lebih baik daripada yang lain, dan masing-
masing mendatangkan faidah-faidah dalam mengajari umat, menolong kebenaran, dan
menghantam kebatilan-kebatilan semampunya. Dan ini adalah sifat manusia. Dan
semangat para ahli ahwa untuk memvonis bahwa Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬terkena
Asy’ariyyah itu gagal.

.]41 :‫ني﴾ [يوسف‬ِ ِ َْ َ‫﴿و َأن اهلل ََل هي ِدي َكيد‬


َ ‫اْلائن‬ ْ َْ َ

“Dan bahwasanya Alloh tidak memberi petunjuk pada tipu daya para pengkhianat.”

Adapun ucapan Arofat al fasiq: “Dan perkataan Al Hajuriy dalam As


Safariniyyah hal. 153: “Maka Alloh ‫ سبحانه وتعال‬mensucikan diri-Nya dari menyiksa
orang yang tidak berhak disiksa…” Lalu dia mendatangkan sekumpulan dalil-dalil. Aku
–Arofat- katakan: barangsiapa mengira bahwasanya ucapan tadi bisa memberikan
syafaat untuk Al Hajuriy, maka dia itu bodoh, tidak mengetahui tempat perselisihan
antara kita dengan Asya’iroh. Maka ini adalah ucapan yang dikatakan oleh para
Asya’iroh. Sesungguhnya perselisihan antara kita dengan mereka adalah pada
bolehnya penyiksaan tadi, bukan pada terjadinya penyiksaan tadi. Oleh karena itulah
maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬dalam Minhajus Sunnah (3/90) berkata:
“Sesungguhnya perselisihan mereka adalah pada masalah bolehnya penyiksaan tadi,
bukan pada terjadinya penyiksaan tadi.”.”

Kami –dengan taufiq dari Alloh semata- menjawab: “Bahwasanya Asya’iroh dan
seluruh Qodariyyah Jabriyyah meyakini bahwasanya Alloh ta’ala mustahil secara dzat-
Nya untuk berbuat zholim. Adapun Ahlussunnah mereka meyakini bahwasanya Alloh
mampu untuk berbuat itu, akan tetapi Dia mengharomkan diri-Nya berbuat zholim, dan
mensucikan diri-Nya. Hadits yang disebutkan oleh Syaikh kami Yahya ‫ حفظه هللا‬: hadits
qudsiy:

.»‫«يا عبادي إين حرمت الظلم عىل نفيس فجعلته بينكم حمرما فال تظاملوا‬

“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharomkan terhadap diri-Ku


kezholiman, lalu Aku menjadikannya harom di antara kalian, maka janganlah kalian
saling menzholimi.” Adalah dalil Ahlussunnah untuk membantah Asya’iroh. Dan Alloh
237

ta’ala itu terpuji dari segala sisi, di antaranya adalah Dia itu terpuji karena dia
meninggalkan kezholiman padahal Dia mampu untuk berbuat itu. Adapun Asya’iroh
maka mereka itu merampas pujian dari Alloh dalam sisi ini tanpa mereka sadari, karena
sesuatu yang mustahil berbuat zholim secara dzatnya, dia tidak terpuji dengan sebab
itu. Maka tidaklah dia terpuji atas sesuatu yang dia secara dzatnya mustahil untuk
berbuat itu.

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan perkara yang tidak mungkin ada qodrat
(kemampuan) di situ, tidak pantas dia dipuji karena dia tidak menginginkannya. Tapi
hanyalah yang terpuji itu jika dia meninggalkan perbuatan-perbuatan dalam keadaan
dia sanggup mengerjakannya. Maka dengan ini diketahuilah bahwasanya Alloh itu
punya kesanggupan untuk mengerjakan perbuatan yang Dia mensucikan diri dari
perbuatan tadi seperti kezholiman dan yang lainnya, bahwasanya Dia tidak melakukan
kezholiman. Dan dengan itu menjadi sahlah firman-Nya: “sesungguhnya Aku
mengharomkan terhadap diri-Ku kezholiman,” dan bahwasanya tahrim (pengharoman)
adalah pelarangan, dan itu tidak boleh untuk perkara yang mustahil secara dzatnya.
Maka tidak pantas untuk dikatakan: (Aku mengharomkan atas diri-Ku atau Aku
melarang diri-Ku untuk menciptakan sesuatu yang semisal dengan diri-Ku), atau
menjadikan para makhluk sebagai pencipta, yang perkara-perkara mustahil yang lain.”
(“Majmu’ul Fatawa”/18/hal. 144).

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Adapun Qodariyyah Jabriyyah maka


definisi kezholiman menurut mereka adalah sesuatu yang tidak punya hakikat. Bahkan
itu adalah sesuatu yang mustahil secara dzatnya, yang tidak masuk ke dalam
kemampuan Alloh. Maka Ar Robb ta’ala tidak mampu menurut mereka untuk
melakukan sesuatu yang mereka namakan sebagai kezholiman sampai dikatakan:
“Meninggalkan kezholiman, dan mengerjakan keadilan.” –sampai pada ucapan beliau:-
dan berdasarkan ucapan mereka, maka Alloh itu tidak terpuji karena meninggalkan
kezholiman, karena sesuatu itu tidak dipuji karena meninggalkan sesuatu yang memang
mustahil secara dzatnya. Dan tiada faidahnya firman-Nya: “sesungguhnya Aku
mengharomkan terhadap diri-Ku kezholiman,” atau mereka mengira maknanya adalah:
“Sesungguhnya aku mengharomkan terhadap diriku melakukan perkara yang tidak
masuk ke dalam kesanggupan-Ku.” Yaitu perkara-perkara yang mustahil. Dan tiada
faidahnya firman-Nya:

﴾‫﴿فال َياف ظلًم وَل هضًم‬

“Maka dia tidak takut terzholimi ataupun dikurangi haknya.”

Karena setiap orang itu tidak takut terhadap perkara yang memang mustahil secara
dzatnya untuk terjadi. Dan tiada faidahnya pada firman-Nya:
238

،﴾‫﴿وما اهلل يريد ظلًم للعباد‬

“Dan Alloh tidak menginginkan kezholiman kepada para hamba-Nya.”

Dan juga pada firman-Nya:

،﴾‫﴿وما أنا بظالم للعبيد‬

“Dan Aku tidak menzholimi para hamba.”

Maka berlakunya hukum-Nya pada para hamba-Nya adalah dengan kekuasaan-Nya, dan
keadilan-Nya pada mereka adalah dengan pujian-Nya. Dan Dia ‫ سبحانه‬hanya milik-Nya
sajalah kekuasaan dan pujian, dan Dia Maha mampu atas segala sesuatu.”

(selesai dari “Syifaul ‘Alil”/hal. 511-512/cet. Darul Hadits).

Dan demikian pula ucapan syaikh kami Yahya ‫ حفظزه هللا‬: Alloh subhanah wata'ala
berfirman:
ِ ِ ِ
ُ َ ‫﴿فلًم زَ اغُ وا َأزَ ا َغ اهلل ُق ُل‬
َ ‫وِب ْم َواهلل ََل َ ْهيدي الْ َق ْو َم الْ َفاسق‬
.]4 :‫ني﴾ [الصف‬

“Maka manakala mereka menyimpang, Alloh simpangkan hati-hati mereka. Dan


Alloh tidak memberikan petunjuk pada kaum yang fasiq.”

Maka ini menunjukkan bahwasanya Alloh ‫ عز وجل‬tidak menyiksa kecuali orang


yang berhak mendapatkan siksaan.” Selesai.

Ini adalah keyakinan Ahlussunnah, berbeda dengan Asya’iroh, karena hukuman


terhadap orang yang zholim dengan menjadikan dia itu sesat dan menyimpang adalah
bagian dari keadilan Alloh, sebagaimana pahala orang sholih dengan memberikan taufiq
kepadanya dan meluruskanya adalah karunia dari Alloh, dan bahwasanya Dia itu Al
Hakim, meletakkan segalanya tepat pada tempatnya yang sesuai untuknya. Dan ini
berbeda dengan Asya’iroh, pengingkar hikmah, yang mengatakan bolehnya Alloh
menyiksa orang sholih tanpa dosa apapun, dan memberikan pahala pada penjahat
tanpa dia berbuat kebaikan apapun.

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Seluruh ketetepan-Nya adalah adil


untuk para hamba-Nya karena Dia meletakkan untuknya pada tempatnya yang tidak
bagus pada tempat yang lain, karena Dia meletakkan hukuman dan meletakkan
ketetapan dengan sebabnya dan dengan perkara yang memang mengharuskan itu di
tempat itu, karena sesungguhnya Alloh ‫ سبحانه‬sebagaimana Dia membalas dengan
hukuman, maka sungguh Dia juga menghukum dengan taqdir dosa itu sendiri, sehingga
jadilah hukuman yang berupa terjadinya dosa itu adalah hukuman terhadap dosa yang
239

sebelumnya karena sesungguhnya dosa itu sebagiannya menyeret sebagian yang lain.
Dan dosa yang sebelumnya adalah hukuman bagi lalainya hati terhadap Robbnya, dan
berpalingnya dia dari Robbnya. Sementara kelalaian dan keberpalingan tadi ada pada
asal cetakan dan pertumbuhan. Barangsiapa Alloh menginginkan untuk
menyempurnakan dia, Alloh memusatkan konsentrasi hati orang itu pada-Nya,
menariknya kepada-Nya, Dia memberinya ilham untuk lurus, dan memberikan padanya
sebab-sebab kebaikan. Tapi barangsiapa tidak diinginkan oleh-Nya untuk
menyempurnakan, Dia meninggalkannya bergelimang dengan tabiatnya dan
membiarkan antara dirinya dengan nafsunya karena dia tidak pantas untuk
mendapatkan penyempurnaan, dan bukanlah tempat dia itu pantas dan menerima
kebaikan untuk diletakkan di situ. Dan di sini puncak dari ilmu para hamba tentang
taqdir.

Adapun bahwasanya Alloh ta’ala menjadikan orang yang ini bagus dan diberinya
dengan apa yang pantas untuknya, sementara orang yang itu tidak bagus, dan
mengghalanginya dari perkara yang tidak pantas untuknya, maka yang demikian itu
merupakan keharusan dari Rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya, ilmu-Nya dan hikmah-Nya,
karena sesungguhnya Dia ‫ سبحانه‬adalah pencipta perkara-perkara dan lawan-lawannya.
Dan ini adalah tuntutan dari kesempurnaan-Nya dan kejelasan nama-nama-Nya dan
sifat-sifat-Nya sebagaimana telah lewat penetapannya.

Maksudnya adalah: bahwasanya Alloh itu adalah Dzat Yang paling adil dalam
ketetapan-Nya dengan sebab, dan ketetapan-Nya dengan akibat-Nya. Maka tidaklah Dia
menetapkan pada hamba-Nya dengan suatu taqdir kecuali dia itu terjadi pada
tempatnya yang memang tidak pantas untuknya perkara yang lain, karena Alloh itulah
Hakim Yang Adil Yang Mahakaya Yang Mahaterpuji.”

(“Syifaul ‘Alil”/hal. 512-513/cet. Darul Hadits).

Maka perbedaan antara keyakinan Asya’iroh dan keyakinan Ahlussunnah dalam


masalah keadilan Alloh adalah jelas: Asya’iroh berkeyakinan bahwasanya penyiksaan
tanpa dosa itu adalah keadilan, demikian pula mengerjakan seluruh perkara yang
mungkin adalah keadilan juga bagi Alloh. Dan melakukan perkara yang mustahil adalah
kezholiman.

Adapun Ahlussunnah, maka mereka meyakini bahwasanya Alloh mampu berbuat


apapun, akan tetapi Dia telah mewajibkan terhadap diri-Nya sendiri keadilan, hikmah,
dan mengharomkan atas diri-Nya kecurangan dan kezholiman serta kesia-siaan. Maka
tidak muncul dari diri-Nya kecuali keadilan, keutamaan, dan hikmah, Dia memberikan
pahala pada yang berhak mendapatkannya karena telah memenuhi syarat-syarat-Nya,
sebagai karunia dari-Nya, dan menghukum orang yang berhak mendapatkannya karena
melanggar larangan-larangan-Nya, sebagai keadilan dari-Nya. Dia telah mewajibkan diri-
Nya untuk meletakkan semuanya pada tempatnya. Dengan itu dan sebab-sebab yang
lainlah seluruh yang di langit dan di bumi memuji-Nya.
240

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata tentang Asya’iroh: “Dan mereka


memegang pendapat ini dengan konsekuensi-konsekuensi yang batil, seperti ucapan
mereka: “Sesungguhnya Alloh ta’ala boleh bagi-Nya untuk menyiksa para Nabi-Nya,
para Rosul-Nya, para malaikat-Nya, para wali-Nya, dan orang-orang yang taat pada-Nya,
dan mengekalkan mereka di dalam siksaan yang pedih, dan memuliakan para musuh-
Nya dari kalangan orang-orang kafir, musyrikin, setan, dan mengkhususkan mereka
dengan jannah-Nya dan kemuliaan-Nya. Dan kedua perkara ini adalah keadilan dan
boleh untuk-Nya” –sampai pada ucapan beliau:- “Dan mereka juga komitmen
bahwasanya boleh bagi Alloh untuk menyiksa para bayi yang tidak punya dosa sama
sekali itu, dan mengekalkan mereka ke dalam Jahim. Dan terkadang mereka
berpendapat bahwasanya itu terjadi.” (“Miftah daris Sa’adah”/2/hal. 107).

Adapun Ahlussunnah berkata bahwasanya keadilan itu adalah: meletakkan


sesuatu pada tempatnya, memuliakan orang yang mulia, dan menghinakan orang yang
jahat.

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata menukilkan ucapan Ahlussunnah: “Yang


benar, yang ditunjukkan oleh nash-nash adalah: bahwasanya kezholiman yang Alloh
haromkan terhadap diri-Nya sendiri dan Dia mensucikan diri-Nya dari kezholiman tadi
secara perbuatan dan keinginan, adalah apa yang ditafsirkan oleh Salaful Ummah dan
para imamnya, yaitu: Alloh tidak memikulkan pada seseorang kejelekan orang lain, dan
tidak menyiksanya dengan dosa yang tidak dikerjakannya dan tidak diupayakannya. Dan
juga tidak mengurangi kebaikannya. Maka dia tidak diberi pahala dengan kebaikannya
tadi atau sebagiannya, jika kebaikannya itu diiringi atau dikenai perkara yang menuntut
pembatalan kebaikan tadi atau yang menuntut qishosh bagi orang yang terzholimi.
Inilah kezholiman yang Alloh tiadakan rasa takut dari para hamba-Nya dengan firman-
Nya:

﴾‫ وهو مؤمن فال َياف ظلًم وَل هضًم‬،‫﴿ومن يعمل من الصاِلات‬

“Dan barangsiapa mengamalkan amalan sholih dalam keadaan dia mukmin, maka
dia tidak takut terzholimi ataupun dikurangi haknya.”

Para salaf dan ahli tafsir berkata: “Dia tidak takut akan dipikulkan kepadanya
kejelekan orang lain, dan juga dikuranginya kebaikannya yang dipikulnya. Maka inilah
makna kezholiman yang bisa dipahami oleh akal dan makna tidak takutnya dia.”
(“Miftah Daris Sa’adah”/2/hal. 107).

Maka kebenaran itu bersama Ahlussunnah. Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan
telah diketahui bahwasanya Alloh ‫ سبحانه‬itu adalah Hakim Yang Adil, tidak meletakkan
perkara-perkara kecuali pada tempat-tempatnya. Meletakkannya bukan pada
tempatnya itu tidak mustahil secara dzatnya, bahkan dia itu mungkin, akan tetapi Alloh
tidak melakukannya, karena Dia tidak menginginkannya, bahkan Dia membencinya dan
241

tidak menyukainya, karena Dia telah mengharomkan itu atas diri-Nya.” (“Majmu’ul
Fatawa”/18/hal. 145).

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka meninggalkan kezholiman itulah


yang namanya keadilan, bukannya keadilan itu adalah mengerjakan setiap perbuatan
yang mungkin dilakukan. Dan berdasarkan inilah tegaknya hisab, dan diletakkannya
timbangan-timbangan keadilan, dan ditimbangnya kebaikan dan kejelekan, dan derajat-
derajat yang tinggi bertingkat-tingkat bagi pemiliknya, juga lapisan-lapisan yang rendah
itu bertingkat-tingkat bagi pemiliknya. Alloh ta’ala berfirman:

﴾‫﴿إن اهلل َل يظلم مثقال ذرة‬

“Sesungguhnya Alloh tidak menzholimi keukuran dzarrohpun.”

Yaitu: tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan, sekalipun seukuran
dzarroh. Maka ini menunjukkan bahwasanya penyia-nyiaannya dan tidak dibalasnya
kebaikan itu padahal tidak ada faktor yang membatalkannya merupakan suatu
kezholiman yang Alloh meninggikan diri dari perbuatan itu. Dan telah diketahui
bahwasanya Alloh mampu untuk tidak membalas kebaikan, tapi Alloh mensucikan diri
itu karena kesempurnaan keadilannya dan hikmah-Nya. Dan ayat ini sama sekali tidak
mengandung makna yang bisa dipahami selain itu.

Dan Alloh ta’ala:

﴾‫﴿من عمل صاِلا فلنفسه ومن أساء فعليها وما ربك بظالم للعبيد‬

“Barangsiapa beramal sholih, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa
berbuat jelek, maka akan menimpa dirinya sendiri, dan Aku tidak menzholimi para
hamba.”

Yaitu: tidak menghukum hamba tanpa hamba itu berbuat jelek, dan Dia tidak
menghalanginya mendapatkan pahala dari kebaikannya. Dan telah diketahui
bahwasanya itu semua mampu dikerjakan oleh Alloh ta’ala.”

(“Miftah Daris Sa’adah”/2/hal. 108).

Kesimpulannya: Alloh itu mampu untuk berbuat zholim sebagaimana Dia mampu
untuk berbuat adil, bahkan Dia mampu terhadap segala sesuatu. Akan tetapi Dia
meninggikan Diri dan mensucikan Diri dari menzholimi seorangpun. Dan meninggalkan
kezholiman yang dimampui itulah yang namanya keadilan yang Alloh mensifati diri-Nya
dengan itu. Dan inilah makna ucapan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬: “Maka Alloh ‫سبحانه‬
‫ وتعال‬mensucikan diri-Nya dari menyiksa orang yang tidak berhak disiksa.” Alloh
mensucikan diri-Nya dari melakukan sesuatu yang buruk yang mungkin yang dimampui,
bukan dari sesuatu yang mustahil terjadi. Maka ucapan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬adalah
242

ucapan sunniiy salafiy, dan dalil-dalil yang beliau datangkan adalah dalil-dalil
Ahlussunnah, akan tetapi Arofat memang sesuai dengan ucapan dirinya sendiri: “bodoh,
tidak mengetahui tempat perselisihan antara kita dengan Asya’iroh.”

Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan bahwasanya dia tidak berhak
kecuali apa yang diusahakannya, dan bahwasanya inilah keadilan yang Alloh
mensucikan diri-Nya dari menyelisihinya.

‫﴿وقال الذي آمن يا قوم أين أخاف عليكم مثل يوم األحزاب مثل دأب قوم نوح وعاد وثمود والذين من‬
﴾‫بعدهم وما اهلل يريد ظلًم للعباد‬

“Dan orang yang beriman itu berkata: Wahai kaumku, sungguh aku takut kalian akan
tertimpa seperti hari Ahzab, seperti adzab yang menimpa kaum Nuh, Ad, Tsamud dan
orang-orang yang setelah mereka. Dan Alloh tidak menginginkan kezholiman kepada
para hamba-Nya.”

Dia menjelaskan bahwasanya hukuman ini bukanlah kezholiman dari Alloh kepada para
hamba, akan tetapi itu adalah karena dosa-dosa mereka dan mereka berhak
mendapatkannya. Dan telah diketahui bahwasanya perkara yang mustahil, yang tidak
mungkin terjadi, dan tidak ada di bawah qodrat sama sekali itu tidak pantas dzat tadi
tipuji dengannya, karena dia tidak menginginkannya dan tidak melakukannya. Dan tidak
dipuji berdasarkan yang demikian itu. Dan hanyalah ada pujian dengan sebab
meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dirinya memang mampu mengerjakannya tapi
sengaja membersihkan diri dari perbuatan macam itu, karena kesempurnaannya,
ketidakperluannya dan keterpujian dirinya. Dan berdasarkan ini sempurnalah ucapan
Alloh:

.»‫«يا عبادي إين حرمت الظلم عىل نفيس‬

“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharomkan terhadap diri-Ku


kezholiman,”

Dan nash-nash yang senada dengan itu.”

(selesai dari “Miftah Daris Sa’adah”/2/hal. 108).

Adapun perkataan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬: Alloh ta’ala berfirman:

َ ُ‫﴿ ََل ُي ْس َأ ُل َعًم َي ْف َع ُل َو ُه ْم ُي ْس َأل‬


،]20 :‫ون﴾ [األنبياء‬

“Dia tidak ditanya terhadap apa yang dikerjakan-Nya, dan mereka itu yang ditanya.”
243

Itu bukan untuk memperkuat Asya’iroh, karena itu adalah Kalamulloh, dan Kalamulloh
itu tidak menolong kecuali kebenaran, bukan untuk memperkuat kebatilan, akan tetapi
maknanya adalah: bahwasanya Alloh itu dikarenakan kesempurnaan keadilan-Nya,
hikmah-Nya, dan keutamaan kedermawanan-Nya, tidaklah Dia melakukan kecuali
perbuatan yang sesuatu pada tempatnya dan indah dan terpuji, tanpa ada kecacatan di
dalamnya dari sisi manapun, memberikan pahala pada orang yang berbuat kebaikan,
menghukum orang yang berbuat kejelekan. Maka Dia tidak ditanya terhadap apa yang
dikerjakan-Nya, berbeda dengan keadaan para hamba.

Maka barangsiapa merenungkan perkataan Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬dalam


syaroh tersebut, tahulah dia bahwasanya beliau telah mendatangkan makna yang benar
untuk ayat tersebut, dan jadilah itu bantahan terhadap Asya’iroh pengingkar hikmah.

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan Dia Yang Mahasuci adalah Pencipta segala
sesuatu, Robb dan Penguasa bagi segalanya, dan Dia dalam apa yang diciptakan-Nya
punya hikmah yang mendalam, nikmat yang tercurah, dan rohmat yang umum dan
khusus. Dan Dia tidak ditanya terhadap apa yang dikerjakan-Nya, dan mereka itu yang
ditanya. Bukan karena sekedar kemampuan dan pemaksaan-Nya, tapi karena
kesempurnaan ilmu-Nya, kemampuan-Nya, rohmat-Nya, dan hikmah-Nya. Maka
sungguh Dia ‫ سبحانه وعاالى‬Hakim Yang Paling sempurna hikmah-Nya, Penyayang Yang
paling sempurna kasih sayang-Nya, dan Dia lebih sayang pada para hamba-Nya daripada
seorang ibu kepada anaknya, dan Dia telah memperbagus penciptaan segala sesuatu.”
(“Majmu’ul Fatawa”/8/hal. 79).

Adapun perkataan Asy Syaikh Yahya ‫حفظه هللا‬: “Maka andaikata Alloh menyiksa
para hamba semuanya, tidaklah Dia zholim terhadap mereka. Dan jika Dia merohmati
mereka, maka itu dengan karunia-Nya dan kedermawanan-Nya.” Ini bukanlah dalil
untuk Asya’iroh jika diteliti. Dan tidaklah penyebutan ucapan itu menunjukkan
bahwasanya orang yang menyebutkan itu adalah terpengaruh Asy’ariyyah, karena asal
dari ucapan itu adalah dari hadits Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬, maknanya diselewengkan oleh
Asya’iroh.

Dan makna yang shohih adalah apa yang disebutkan oleh Al Imam Ibnul Qoyyim
‫ رحمه هللا‬: “Andaikan Alloh menyiksa para penduduk langit-Nya dan bumi-Nya niscaya Dia
berhak berbuat itu terhadap mereka, dan mereka memang pentas mendapatkan
siksaan ketika disiksa, kareba amalan mereka tidak cukup untuk keselamatan mereka.
Sebagaimana sabda Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬:

»‫«لن ينجى أحدا منكم عمله‬

“Tidak akan salah seorang dari kalian bisa diselamatkan oleh amalannya.”

Mereka bertanya: “Apakah Anda juga demikian wahai Rosululloh?”


244

Beliau menjawab:

.»‫«وَل أنا إَل أن يتغمدين اهلل برَحة منه وفضل‬

“Akupun demikian, kecuali bahwasanya Alloh meliputiku dengan rohmat dan karunia
dari-Nya.”

Maka rohmat-Nya untuk mereka itu bukanlah bayaran dari amalan mereka ataupun
juga sebagai harga untuk amalan mereka, karena rohmat-Nya itu lebih baik daripada
amalan mereka, sebagaimana dalam hadits itu sendiri:

»‫«ولو رَحهم لكانت رَحته هلم خريا هلم من أعًمهلم‬

“Dan seandainya Dia merohmati mereka niscaya rohmat-Nya itu lebih baik daripada
amalan mereka,”

Yaitu: menggabungkan antara dua perkara dalam hadits ini bahwasanya Alloh
andaikata Dia menyiksa mereka niscaya Dia menyiksa mereka karena mereka memang
berhak disiksa, dan tidaklah Alloh menzholimi mereka, dan bahwasanya Dia andaikata
merohmati mereka niscaya yang demikian itu adalah semata-mata karunia-Nya dan
kedermawanan-Nya, karena rohmat-Nya itu lebih baik daripada amalan mereka. Maka
semoga sholawat dan salam Alloh tercurah pada orang yang ucapan tadi keluar dari
bibirnya pertama kali, karena sungguh beliau adalah makhluk yang paling mengenal
Alloh dan hak-Nya, dan paling mengetahui tentang-Nya, keadilan-Nya, karunia-Nya dan
hikmah-Nya, dan apa saja yang menjadi hak Dia terhadap para hamba-Nya.

Dan ketaatan para hamba semua itu tidaklah menjadi pembayaran untuk
kenikmatan Alloh pada mereka, dan tidak setara dengan kenikmatan-Nya pada mereka.
Bahkan tidak setara dengan sedikit dari kenikmatan-Nya itu. Maka bagaimana mereka
dengan amalan mereka berhak menuntut agar Alloh menyelamatkan mereka sementara
ketaatan orang yang taat itu tidak sebanding dengan satu kenikmatan dari kenikmatan-
kenikmatan Alloh pada-Nya? Maka tersisalah seluruh kenikmatan itu menuntut dirinya
untuk bersyukur, sementara sang hamba dengan kemampuannya tidak melaksanakan
kewajiban dirinya yang menjadi hak Alloh terhadapnya? Maka seluruh hamba-Nya itu
adalah di bawah pemaafan-Nya, rohmat-Nya dan karunia-Nya. Maka tiada seorangpun
yang selamat dari mereka kecuali dengan maaf-Nya dan ampunan-Nya, dan tiada yang
berhasil mendapatkan Jannah kecuali dengan karunia-Nya dan rohmat-Nya. Dan jika
keadaan para hamba adalah demikian, maka andaikata Dia menyiksa mereka, niscaya
Dia menyiksa mereka tanpa Dia zholim terhadap mereka. Bukan karena Dia berkuasa
terhadap mereka karena mereka adalah milik Dia, tapi karena mereka memang berhak
untuk disiksa. Dan andaikata Dia merohmati mereka pastilah yang demikian itu adalah
dengan karunia-Nya, bukan karena amalan-alaman mereka.” (“Miftah Daris
Sa’adah”/2/hal. 109).
245

Ini adalah bantahan yang jelas terhadap Asya’iroh, dan peletakan hadits pada
tempatnya.
246

Bab Duapuluh Delapan: Antara Istilah “Akhrojahu” Dan


“Khorrojahu”

Arofat Al Bashiriy telah mengejek Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dalam
penggunaan ungkapan “Akhrojahu” (‫ )أخرجه‬dan “Khorrojahu” (‫)خرجه‬, ّ di sebagian
tempat dalam kitab “Tahqiq Ishlahil Mujtama’”. Arofat berkata: “Al Muhaddits Al
‘Allamah, kemudian datang dalam hadits berkata: “Akhrojahu Abdurrohman bin
Hasan dalam “Fathul Majid”.” Lihat pada si muhaddits ini, muhaddits yang pintar. Dia
bilang “Akhrojahu Ibnu Katsir,” “Akhrojahu Al ‘Ijluniy” Di manakah engkau belajar,
wahai Muhaddits? Asy Syaikh Muqbil? Beliau tidak di atas metode ini. Ini dia
muhaddits yang benar-benar muhaddits asli. Bacalah kitab-kitab Asy Syaikh Muqbil
dalam bidang hadits, dan bacalah kitab-kitab si bodoh ini, beda besar sekali antara
orang yang Alloh ‫ عز وجل‬jadikan kitab-kitab beliau diterima umat, dengan orang tolol
yang sok tahu.”

Dan Abdulloh Al Bukhoriy mengikuti Arofat dalam serangan yang buruk itu
dengan berkata: “Apakah kitab itu tadi adalah kitab rujukan dasa sehingga engkau
merujuk kepadanya dan engkau berkata: “Abdurrohman bin Hasan dalam Fathul
Majid”? Dia tak tahu makna takhrij.”

Mereka berdua menjadikan perkara itu sebagai tangga untuk menghina Asy
Syaikh Yahya ‫حفظه هللا‬.

Jawaban kami –dengan upaya dan kekuatan pemberian dari Alloh- adalah:

Dan Arofat telah dibantah oleh saudara kita yang mulia Abu Isa Ali bin Rosyid Al
‘Afriy ‫ حفظه هللا‬dalam risalahnya “Muhaddits Khothir”, semoga Alloh membalas beliau
dengan kebaikan. Dan saya mengambil faidah dari beliau dan saya tambahkan dalam
jawaban ini beberapa tambahan jawaban yang lain yang Alloh bukakan untuk saya.

Maka hendaknya orang-orang yang adil mengetahui bahwasanya perkara ini


tidaklah harom ataupun makruh, lebih-lebih lagi bahwasanya sebagian ulama telah
mendahului Asy Syaikh Yahya dengan ungkapan tadi, dan ulama yang lain tidak
menjadikan hal itu sebagai sebab untuk menghina. Akan tetapi orang-orang tadi
manakala terbongkar akan banyaknya penyelewengan manhajiyyah mereka, mereka
berupaya untuk memalingkan perhatian manusia kepada perkara lain yang mereka
namakan sebagai “Kesalahan-kesalahan Al Hajuriy” dengan harapan agar orang-orang
lupa akan kebatilan-kebatilan para hizbiyyun tadi.

َ ‫ك بِغَافِل َعًم َت ْع َم ُل‬


.]62 :‫ون﴾ [النمل‬ َ ‫وهنَا َو َما َر ُّب‬ ِِ
َ ‫اِل ْمدُ هلل َس ُ ِرييك ُْم آ َياته َف َت ْع ِر ُف‬
َْ ‫﴿ َو ُق ِل‬
247

“Dan ucapkanlah: segala pujian bagi Alloh dan Dia akan memperlihatkan pada kalian
ayat-ayat-Nya sehingga kalian akan mengenalinya, dan Robbmu tidak lalai terhadap
apa yang kalian amalkan.”
ِ ‫ك َلبِا ْملِرص‬
.]41 :‫اد﴾ [الفجر‬ َ ‫﴿إِن َرب‬
َ ْ

“Sesungguhnya Robbmu benar-benar mengawasi.”

Maka dari sisi bahasa, perbedaan antara ikhroj (‫ )اإلخراج‬dan takhrij (‫)العخريج‬
adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ar Roghib Al Ashfahaniy ‫رحمه هللا‬: “Ikhroj
paling banyak untuk benda seperti:

)‫(أنكم خمرجون‬

“Bahwasanya kalian akan dikeluarkan.”

Dan Alloh ‫ عز وجل‬berfirman:

)‫(كًم أخرجك ربك من بيتك باِلق‬

“Sebagaimana Robbmu mengeluarkan engkau dari rumahmu dengan benar.”

)‫(ونخرج له يوم القيامة كتابا‬

“Dan Kami akan mengeluarkan untuknya pada hari Kiamat sebuah kitab”

)‫(أخرجوا أنفسكم‬

“Keluarkanlah nyawa-nyawa kalian.”

)‫(أخرجوا آل لوط من قريتكم‬

“Keluarkanlah keluarga Luth dari kampung kalian.”

Dan dikatakan dalam penciptaan yang mana itu adalah bagian dari perbuatan Alloh
ta’ala:

)‫(واهلل أخرجكم من بطون أمهاتكم‬

“Dan Alloh mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu-ibu kalian.”


248

)‫(فأخرجنا به أزواجا من نبات شتى‬

“Maka Kami mengeluarkan dengannya pasangan-pasangan dari berbagai macam


tumbuhan.”

)‫(نخرج به زرعا خمتلفا ألوانه‬

“Kami mengeluarkan dengannya tanaman dengan warna-warna yang berbeda.”

Sedangkan takhrij paling banyak diucapkan dalam ilmu-ilmu dan produksi.”

(“Mufrodat Ghoribil Qur’an”/hal. 145).

Dan dari segi istilah, Al Imam As Sakhowiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Takhrij adalah: sang
muhaddits mengeluarkan (ikhroj) hadits-hadits dari dalam juz-juz kitab, kitab-kitab
daftar riwayat para masyayikh dan kitab-kitab yang lainnya dan memaparkan sanadnya
dari riwayat-riwayat dirinya atau sebagian syaikhnya atau teman sejawatnya atau
semisal itu, membicarakannya, dan menyebutkan rujukannya dari ulama yang
meriwayatkannya dari kalangan pengarang kitab-kitab, dewan-dewan sambil
menjelaskan badal, muwafaqoh, dan semisalnya dari istilah-istilah yang akan datang
definisinya. Terkadang istilah ini dipakai secara meluas sampai pada sekedar
pengeluaran, penyusunan dan penyebutan rujukan, serta menjadikan setiap jenis
dikelompokkan sendiri-sendiri.” (“Fathul Mughits”/As Sakhowiy/3/hal. 318/cet.
Maktabah As Sunnah).

Al Imam Zakariyya Al Anshoriy ‫ رحمه هللا‬berkata dalam definisi takhrij: “Yaitu sang
muhaddits mengeluarkan (ikhroj) hadits-hadits dari dalam kitab-kitab, dan memaparkan
sanadnya dari riwayat-riwayat dirinya atau syaikhnya atau teman-teman sejawatnya.”
(“Fathul Mughits”/Al Anshoriy/hal. 263/cet. Al Maktabatul ‘Ashriyyah).

Al Imam Muslim ‫ رحمه هللا‬berkata dalam muqoddimah Shohih beliau: “Kemudian


kami insya Alloh akan mulai mentakhrij apa yang engkau minta, dan memulai
menyusunnya berdasarkan syaratnya.” (“Shohih Muslim”/hal. 4).

Asy Syaikh Al ‘Allamah Jamaluddin Al Qosimiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Takhrij dalam


lidah para ahli hadits punya dua makna: makna yang pertama: periwayatan hadits
dengan sanadnya. Maka dikatakan misalkan: “Khorrojahul Bukhoriy dalam Shohih
beliau.” Dan dikatakan: “Hadits ini termasuk dari takhrij Al Bukhoriy dalam Shohih
beliau.” Dan yang dimaukan adalah bahwasanya beliau meriwayatkannya di dalam
Shohih beliau secara bersanad. Maka kalimat “Khorrojahu” di sini sama dengan kalimat
“Akhrojahu.” Dan dia dipakai dengan makna ini sejak dulu dan sekarang. Dan makna ini
menurut generasi pertengahan dan generasi akhir bercabang darinya makna yang lebih
khusus darinya, maka jadilah termasuk dari makna takhrij menurut mereka adalah:
249

proses seorang muhaddits mengeluarkan (ikhroj) hadits-hadits dari juz-juz kitab, kitab-
kitab daftar riwayat para masyayikh dan kitab-kitab yang lainnya dan memaparkan
sanadnya dari riwayat-riwayat dirinya atau sebagian syaikhnya atau teman sejawatnya
atau semisal itu, membicarakannya, dan menyebutkan rujukannya dari ulama yang
meriwayatkannya dari kalangan pengarang kitab-kitab, dewan-dewan sambil
menjelaskan badal, muwafaqoh, dan semisalnya dari jenis-jenis ketinggian yang nisbi.
Dan terkadang pemakaian istilah ini diperluas pada sekedar proses ikhroj (pengeluaran).
Dan jadilah makna ini tersebar dan terkenal di kalangan generasi pertengahan dan
generasi akhir.” (“Lisanul Muhadditsin”/3/hal. 227).

Asy Syaikh Bakr Abu Zaid ‫ رحمه هللا‬berkata: “Di sana ada perbedaan antara ikhroj
(mengatakan akhrojahu) dan takhrij (mengatakan khorrojahu). Jika engkau merujukkan
hadits ke salah seorang ulama yang menyebutkan sanad dirinya, semisal para
pengarang Al Kutubus Sittah, dan Ahmad, Asy Syafi’iy dan Malik di dalam karya tulis
hadits mereka, kita berkata: “Akhrojahul Bukhoriy” dan kita tidak mengatakan:
“Khorrojahu”. Adapun orang-orang yang merujukkan hadits kepada orang yang sebelum
mereka seperti Az Zaila’iy dalam “Nashbur Royah”, Al Hafizh Ibnu Hajar dalam “Bulughul
Marom” dan “At Talkhishul Habir” dikatakan: “Khorrojahu –huruf ro dobel- Az Zaila’iy”
dan semisal itu. Yaitu: menisbatkannya kepada orang yang mengeluarkannya dengan
sanadnya. Dan terkadang salah satu dari kedua istilah ini dipakai pada posisi istilah
yang satunya, dan ini didapatkan dari Al Murtadho dalam “Syarhul Ihya”, Ibnul Atsir
dalam “Usdul Ghobah” dan Al Hafizh Ibnu Rojab. Dan ini menyelisihi ahli istilah. Dan
sekelompok ulama mentanshih yang demikian itu, di antaranya adalah Al Hafizh Abul
Abbas Ad Dawudiy, Abun Nur Al Manshuriy, Abul Fadhl Al Idrisiy, Syihabud Din Al
Manshuriy dalam kitabnya “Ath Tafrij Bi Ushulil Bahts Wat Takhrij”. Selesai catatan kaki
ini secara ringkas dari jawaban-jawaban tulisan tangan yang ada pada Asy Syaikh Ahmad
ibnush Shiddiq Al Ghumariy, dan darinya aku mengambilnya secara munawalah.

Dan barangsiapa melihat kitab-kitab generasi akhir, dia akan melihat mereka
tidak tidak mementingkan pembedaan antara kedua lafazh tadi. Dan barangkali hal itu
dikarenakan perkara tadi adalah termasuk perkara yang diketahui secara praktek,
sehingga tidak diketahui dan tidak ditetapkan secara tertulis dari kalangan generasi
pendahulu untuk bisa diketahui, sehingga jadilah pembedaan kedua istilah ini hampir-
hampir ditinggalkan, seperti pembedaan antara lafazh “khilaf” dan “ikhtilaf” di
kalangan ahli fiqih. “Khilaf” itu terlarang, sementara “ikhtilaf” itu boleh. Akan tetapi
jadilah pembedaan antara kedua istilah ini tidak lagi dipentingkan di kalangan para
penukil fiqh. Dan lihatlah “Al Muwafaqot” karya Asy Syathibiy. Wallohu a’lam.”

(selesai dari kitab “Al Hiwalat”/hal. 15/Bakr Abu Zaid/cet. Darul ‘Ashimah).

Penjelasan ini cukup untuk membantah gaya sok tahu dari Arofat Al Bashiriy dan
Abdulloh Al Bukhoriy, dan bahwasanya mereka berdua itulah yang kurang belajar dalam
ilmu hadits.
250

Adapun penghinaan Arofat dengan ucapannya terhadap Asy Syaikh Yahya ‫حفظه‬
‫ هللا‬: “Tolol, sok tahu, lihatlah pada si muhaddits ini, dari manakah engkau belajar
wahai muhaddits?”

Maka jawabannya kembali pada persaksian Al Imam Al Wadi’iy ‫رحمه هللا‬.

Al Imam Al Wadi'iy -rahimahulloh- berkata di muqoddimah kitab "Ahkamul


Jum'ah Wa Bida’uha": "Aku telah melihat kitab “Al Jum’ah” karya Asy Syaikh Yahya bin
Ali Al Hajuriy maka aku mendapatinya sebagai kitab yang agung, di dalamnya ada
faidah-faidah yang didapatkan dengan perjalanan serius. Disertai dengan hukum
terhadap setiap hadits dengan apa yang pantas didapatkannya, dan pembahasan yang
menyeluruh terhadap perkara-perkara yang terkait dengan bab itu. Bagaimana tidak
demikian sementara Syaikh Yahya -hafidhahulloh- berada pada puncak kehati-hatian
dalam menentukan pilihan, taqwa, zuhud, wara', dan takut pada Alloh. Dan beliau
adalah orang yang sangat berani dalam mengemukakan kebenaran, tidak takut -karena
Alloh- akan celaan orang yang mencela. Dan beliau –semoga Alloh menjaga beliau-
mewakili diriku dalam dars-dars di Darul hadits di Dammaj, dan menyampaikannya
dengan bentuk yang terbaik yang diinginkan, …" (muqoddimah kitab "Al Jum'ah wa
Bida'uha"/ karya Syaikhuna Yahya hafidhahulloh-).

Al Imam Al Wadi'iy -rahimahulloh- berkata di muqoddimah kitab “Ash Shubhusy


Syariq”: “Saya telah melihat risalah saudara kita yang mulia Yahya bin Ali Al Hajuiry ‫حفظه‬
‫ هللا عازالى‬maka saya dapati beliau telah berbuat bagus dan memberikan faidah dalam
bantahannya terhadap Abdul Majid Az Zindaniy. Maka alangkah pintarnya beliau,
seorang penelusur yang melingkupi risalahnya dengan catatan-catatan kaki faidah-
faidah yang berupa aqidah, fiqih, hadits dan tafsir. ”Benarlah Robb kita manakala
berfirman:

﴾‫﴿يأهيا الذين آمنوا إن تتهقوا اهلل جيعل لكم فرقان ًا‬

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertaqwa pada Alloh Dia akan
menjadikan untuk kalian pembeda.”

Dan berfirman:

،﴾‫﴿واتقوا اهلل ويعلمكم اهلل‬

“Dan bertaqwalah kalian, dan Alloh akan memberikan ilmu pada kalian.”

Dan berfirman:
251

ِ ِ‫اون ب‬ ِ ِ ‫ني ِمن ر‬ ِ ِ ِِ ِ ِ


:‫اه﴾ [احلدياد‬ ً ‫جي َع ْل َلك ُْم ن‬
َ ‫ُورا متَ ْ ُش‬ َ ْ َ ْ ِ ْ ‫ين َآمنُوا ات ُقوا اهلل َوآمنُوا بِ َر ُسوله ُي ْؤتك ُْم ك ْف َل‬
ْ َ ‫َحته َو‬ َ ‫﴿ َيا َأ ُّ َهيا الذ‬
.]14

“Wahai orang-orang yang beriman, kalian bertaqwalah pada Alloh dan berimanlah
pada Rosul-Nya, niscaya Dia akan memberikan pada kalian dua kali lipat dari rohmat-
Nya dan menjadikan untuk kalian cahaya yang dengannya kalian berjalan.”

“Maka Asy Syaikh Yahya ‫ حفظزه هللا‬dibukakan oleh Alloh ilmu dengan sebab beliau
berpegang dengan Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh ‫ صزلى هللا عليزه وسزلم‬dan beliau telah
selesai mentahqiq “Ishlahul Mujtama’” dan risalah-risalah yang lain di dalamnya ada
faidah-faidah yang didapatkan dengan perjalanan serius.

﴾ِ‫ضل ال َعظِيم‬
ِ ‫اء َواهللُ ُذو ال َف‬ ِ ِ َ ِ‫﴿ َذل‬
ُ ‫ك َف‬
ُ ‫ضل اهللِ ُيؤتيه َمن َي َش‬

“Yang demikian itu adalah karunia Alloh yang diberikan-Nya pada orang yang
dikehendaki oleh-Nya. Dan Alloh adalah Pemilik karunia yang besar.”

Kita mohon pada Alloh agar memberikan taufiq pada kami dan dirinya untuk
melayani sunnah Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسزلم‬dan membelanya, dan agar melindungi kita
dari fitnah kehidupan dan kematian, sesungguhnya Dia Mampu atas segala sesuatu.”
(masuk dalam kandungan kata pengantar terhadap kitab “Ash Shubhusy Syariq”).

Al Imam Al Wadi'iy -rahimahulloh- berkata di muqoddimah kitab “Al Arba’unul


Hisan” “Saya telah membaca beberapa tempat dari apa yang ditulis oleh Asy Syaikh Al
Fadhil Al Muhaddits Al Faqih Yahya bin Ali Al HAjuriy dalam “Al Arba’unul Hadits yang
terkait dengan berkumpul untuk makan, maka saya dapati beliau ‫ حفظ ه هللا‬telah
berbuat bagus dan memberikan faidah, bahkan mendatangkan faidah yang didapatkan
dengan perjalanan serius. Maka semoga Alloh memberikan beliau balasan kebaikan.
Maka semoga Alloh memudahkan dicetaknya kitab ini agar faidahnya menyeluruh, dan
agar merealisir apa yang mendorong Asy Syaikh yang mulia ini untuk menulis kitab
tersebut. Semoga ALloh memberikan taufiq pada semuanya kepada apa yang dicintai-
Nya dan diridhoi-Nya. (Taqdim kitab “Al Arba’unal Hisan Fi Fadhlil Ijtima’ ‘Alath
Tho’am”).

Maka ilmu Asy Syaikh Yahya diakui di sisi syaikh beliau, bahkan di sisi Fadhilatusy
Syaikh Ahmad An Najmiy ‫ رحم هللا‬berkata: “Asy Syaikh yang agung, saudara kita di
jalan Alloh Yahya bin Ali Al Hajuriy telah mengirimkan kepadaku kitabnya yang
bersemangat tinggi untuk membantah Abdul Majid Az Zindaniy, yang dengannya beliau
bermaksud untuk membantah igauan-igauannya yang ditulisnya –sampai pada ucapan
beliau:- Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan telah
membantahnya di baris-baris ini dan yang lainnya dengan bantahan yang
membungkam, dengan dalil-dalil yang bercahaya dari Al Kitab dan sunnah yang shohih.
252

Maka semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan dan memberkahinya, dan semoga
Alloh memperbanyak orang-orang semisalnya para pembela kebenaran, para penolong
tauhid, para penjaga wilayahnya,… dan Allohlah yang memberikan taufiq.”
(Muqoddimah “Ash Shubhusy Syariq” karya Syaikh Yahya -hafizhohulloh-/hal. 7-
10/Darul Atsar).
253

Bab Duapuluh Sembilan: Kasus Bantahan Terhadap Kaidah Al


Imam Asy Syafi’iy ‫رحمه هللا‬

Dan di antara perkara yang dipakai sebagai dalil oleh Luqman bahwasanya Asy
Syaikh Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬terhadap para ulama adalah: bahwasanya di antara
kaidah fiqh yang disebutkan oleh Al Imam Asy Syafi’iy dalam kitab tersebut adalah:

.‫ترك اَلستفصال فيًم ورد فيه اَلحتًمل ينزل منزلة العموم يف املقال‬
Lalu Luqman menyebutkan contoh dari sumber pendalilan kaidah tadi, lalu dia
berkata: bahwa kalau ada dalil yang tidak meminta rincian, tidak menyebutkan
rincian berarti dalil itu bersifat umum, mengenai pria, wanita, tua, muda dan yang
lainnya, sesuai dengan permasalahannya masing-masing. Bersifat umum. Rupanya Al
Hajuriy tidak setuju dengan kaidah ini, kaidah Al Imam Asy Syafi’iy – hikayatan ‘anhu.
Dia berkata: “Wa’iyadzu billah, hadzihil qo’idah bulu ‘alaiha. Kencingi saja.” Dan
Luqman menuduh Asy Syaikh Yahya tidak membantah Al Imam Asy Syafi’iy secara
ilmiyyah.
Jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh semata-:

Saya telah menulis dalam risalah saya “Inbi’atsut Tanabbuh Bi Inkisyafi


Hizbiyyati Luqman Ba Abduh” tanggal 11 Dzil Hijjah 1429 H: “Dan Syaikhuna Syaikh
Abdulloh Al Iryany -‫حفظه هللا‬- telah mengunjungi kami, lalu beliau menuliskan buat
Akhuna Abu Saif -Al Indonesy- ‫حفظه هللا‬, bahwasanya Luqman telah menempuh jalan
para hizbiyyin dalam mengambil bantuan dari senjata-senjata para hizbiyyin pendahulu,
dalam upayanya untuk “memukul” Ahlussunnah. Atau kurang lebih demikian.

Maka wahai Luqman, seakan-akan aku teringat sebuah kisah bahwasanya


penduduk Dammaj telah selesai memakamkan jenazah di pekuburan mereka. Ketika
mereka pulang datanglah seekor binatang menggalinya lagi lalu mengambil mayat tadi
dan memakannya.” Selesai.

Nah sekarang si Luqman mengulang lagi ucapan ini sekitar tanggal 2 Jumadats
Tsaniyyah 1434 H , yang menunjukkan pada kebiasaan Luqman yang busuk: menggali
kasus-kasus lama yang para Salafiyyun telah berhenti membicarakannya, dan telah
sempurna penghancurannya sehingga musnah di bawah tanah. Ini adalah kebiasaan
orang yang sangat pendendam.

Sesungguhnya Sholih Al Bakriy yang fasiq –yang Luqman dengan kelembekannya


mengatakan: dia orang yang bermasalah juga- telah memperbesar masalah tadi.

Asy Syaikh Yahya ‫ حفظزه هللا‬telah membantah kaidah Al Imam Asy Syafi’iy ‫رحمزه هللا‬
tadi dengan bantahan yang ilmiyyah sekali dalam kandungan kitab beliau yang agung
254

“Syarhul Muntaqo Li Ibnil Jarud”. Dan beberapa imam telah mendahului beliau dalam
membantah kaidah tadi.

Asy Syaikh Yahya ‫ حفظزه هللا‬terkadang –bahkan jarang sekali- jika melihat kuatnya
pengaruh suatu kalimat yang keliru di tengah masyarakat, beliau melaksanakan nasihat
Al Imam Asy Sya’biy ‫ رحمزه هللا‬yang berbicara tentang ro’yu (rasio) para tabi’in dan yang
setelah mereka:

.‫ وما قالوا فيه برأهيم فبل عليه‬، ‫ما حدّ ثوك عن أصحاب رسول اهلل فخ به‬
“Apa yang mereka ceritakan dari para Shohabat Rosululloh, maka ambillah dia. Dan apa
yang mereka ucapkan dalam masalah itu dengan rasio mereka, maka kencingilah rasio
mereka itu.” (“Jami’ Bayanil Ilmi”/Ibnu Abdil Barr/no. (912)/shohih).

Yang demikian itu dikarenakan kebaikan itu adalah dengan atsar, bukan dengan
ro’yu. Al Imam Muhammad bin Sirin ‫ رحمه هللا‬berkata:

.‫كانوا يرون أهنم عىل الطريق ما داموا عىل األثر‬

“Dulu mereka berpandangan bahwasanya mereka itu tetap ada di atas jalan yang lurus
selama mereka ada di atas atsar.” (“Jami’ Bayanil Ilmi”/Ibnu Abdil Barr/1/hal.
783/shohih).

Al Imam Al Auza'iy -rohimahulloh- berkata:

‫ وإياك وآراء الرجال وإن زخرفوه لك بالقول‬،‫عليك بآثار من سلف وإن رفضك الناس‬

"Wajib atasmu untuk mengikuti jejak-jejak para pendahulu (Salaf) walaupun orang-
orang menolakmu. Dan hindarkan dirimu dari pendapat-pendapat para tokoh walaupun
mereka menghiasinya dengan perkataan untuk menipumu." ("Asy Syari'ah"/Al
Ajurriy/hal. 67/Darul Kitabil ‘Arobiy/atsar shohih).

Ungkapan Asy Syaikh Yahya tersebut bukanlah di dalam kitab “Syarhul Muntaqo
Li Ibnil Jarud”, akan tetapi ketika mengulang membahas kaidah tadi dalam dars beliau.

Asy Syaikh Yahya ‫ حفظزه هللا‬telah rujuk dari ungkapan yang diarahkan pada kaidah
Al Imam Asy Syafi’iy ‫ رحمه هللا‬tadi, akan tetapi si fasiq Sholih Al Bakriy tetap memperbesar
masalah tadi dan pergi ke para ulama untuk merusak hubungan persaudaraan antar
ulama. Asy Syaikh Robi’ ‫ وفقزه هللا‬telah meminta agar Asy Syaikh Yahya diam terhadap
Sholih Al Bakriy, maka Asy Syaikh Yahya lama mendiamkan perbuatan Sholih. Manakala
Sholih justru bertambah kurang ajar, terpaksa Asy Syaikh Yahya ‫ حفظزه هللا‬mengeluarkan
bantahan terhadap Sholih Al Bakriy.
255

Termasuk dari apa yang ditulis oleh Asy Syaikh Yahya ‫ حفظزه هللا‬dalam bantahan
tersebut adalah sebagai berikut:

“Yang kesebelas: termasuk dari keributan yang dibuat oleh orang-orang yang
diteladani oleh Al Bakriy adalah: perbincangan kami dan saudara-saudara kami seputar
kaffaroh untuk orang yang mendatangi istrinya dalam keadaan lupa, di siang hari
Romadhon, tentang hadits Abu Huroiroh riwayat Al Bukhoriy dan Muslim. Ini adalah
nash dari syarh kami terhadap hadits tersebut, dalam kandungan kitab “Syarhul
Muntaqo Li Ibnil Jarud ‫”رحمه هللا‬, dan ini adalah nash pembahasan tersebut:

Pembahasan yang ketiga: jika kondisi jima’nya itu disengaja, bukan lupa. Jika dia lupa
maka dia tidak diwajibkan kaffaroh. Maka di dalam hadits itu sendiri bahwasanya orang
tadi mendatangi Nabi ‫ صزلى هللا عليزه وسزلم‬seraya berkata: “Wahai Rosululloh, saya binasa,”
dalam riwayat yang lain: “Saya terbakar. Saya menggauli istri saya dalam keadaan saya
berpuasa.”

Al Hafizh Ibnu Hajar ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Didalilkan dengan itu bahwasanya dia
waktu itu sengaja, karena kebinasaan dan terbakar itu adalah gaya bahasa dari
kedurhakaan yang menyebabkan kebinasaan dan terbakar. Dan jika itu telah tetap,
maka tidak ada di dalam hadits tadi hujjah terhadap wajibnya kaffaroh terhadap orang
yang lupa. Dan itu terkenal dari ucapan Malik dan mayoritas ulama. Dan dari Ahmad
dan sebagian Malikiyyah: kaffaroh itu wajib bagi orang yang lupa. Dan mereka
berpegang dengan sikap Rosululloh yang tidak meminta penerangan pada orang tadi,
sementara tidak meminta perincian dalam posisi yang masih mengandung kemungkinan
perbuatan ini dan itu diletakkan pada posisi umum dalam pembicaraan, sebagaimana
telah terkenal. Dan jawaban untuk itu adalah: telah jelas kondisi orang tadi dengan
perkataannya “saya binasa” dan “saya terbakar” maka itu menunjukkan bahwasanya
dirinya dulu sengaja dan tahu tentang haromnya perkara tadi.” (selesai yang diinginkan
dari “Fathul Bari” (4/hal. 164) pada hadits no. (1936)).

Saya –yaitu Asy syaikh Yahya- berkata: Yang saya yakini adalah bahwasanya
kaidah “tidak meminta perincian dalam posisi yang masih mengandung kemungkinan
perbuatan ini dan itu diletakkan pada posisi pembicaraan” adalah batil karena syariat itu
telah sempurna. Alloh ta’ala berfirman:

،]2:‫اْل ْس َال َم ِدينًا﴾[اِلائدة‬ ُ ‫ت َع َل ْيك ُْم نِ ْع َمتِي َو َر ِض‬


ِ ْ ‫يت َلك ُُم‬ ُ ‫ت َلك ُْم ِدينَك ُْم َو َأمتْ َ ْم‬
ُ ‫﴿ا ْل َي ْو َم َأك َْم ْل‬

"Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku telah
menyempurnakan untuk kalian kenikmatan-Ku dan Aku telah meridhoi Islam sebagai
agama bagi kalian."

Maka kita tidak perlu menambahi ke dalam agama ini perkara yang tidak Alloh
dan Rosul-Nya idzinkan. Alloh ta’ala berfirman:
256

.]14:‫ين َما َمل ْ َي ْأ َذ ْن بِ ِه اهلل﴾[الشورى‬


ِ ‫َش ُعوا َُهل ْم ِم َن الد‬
َ َ ‫َاء‬
َ
َ ُ ‫﴿أ ْم َُهل ْم‬
ُ ‫َشك‬

“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan untuk mereka dari


agama ini yang tidak diidzinkan oleh Alloh?”

Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:

.»‫«وما سكت عنه فهو عفو‬

“Dan perkara yang Alloh diamkan darinya maka itu adalah pemaafan.”

Alloh ta’ala berfirman:

.]4:‫﴿و َل ْي َس َع َل ْيك ُْم ُجنَاح فِ َيًم َأ ْخ َط ْأت ُْم بِ ِه َو َلكِ ْن َما َت َعمدَ ْت ُق ُلو ُبك ُْم﴾[األحزاب‬
َ

“Kalian tidak berdosa di dalam perkara yang kalian tidak sengaja keliru di situ, akan
tetapi kalian berdosa dalam perkara yang disengaja oleh hati-hati kalian.”

Alloh ta’ala berfirman:

،]491:‫ب ك ُُّل َن ْفس إَِل َع َل ْي َها﴾[األنعام‬ ِ


ُ ‫﴿و ََل َتكْس‬
َ

“Dan setiap jiwa tidak berbuat kecuali balasannya akan menimpa dirinya sendiri.”

Dan Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:

.»‫«إن اهلل جتاوز ل عن أمتي ما حدثت به أنفسها ما مل تعمل أو تتكلم‬

“Sesungguhnya Alloh memaafkan untukku dari umatku perkara yang dibicarakan


oleh jiwa-jiwa mereka selama belum mengerjakannya atau mengucapkannya.”

Diriwayatkan oleh Al Bukhoriy dan Muslim dari hadits Abu Huroiroh.

Dan Nabi ‫ عليه الصالة والسالم‬bersabda:

.»‫«إنًم األعًمل بالنيات‬

“Hanyalah amalan-amalan itu berdasarkan niat-niat.”

Dan Nabi ‫ عليه الصالة والسالم‬bersabda:


257

‫هم‬
‫ وإن ه‬،‫هم بحسنة فلم يعملها كتبها اهلل له حسنة كاملة‬
‫ فمن ه‬،‫«إن اهلل كتب اِلسنات والسيئات ثم بني ذلك‬
‫هم بسيئة فلم يعملها كتبها‬
‫ وإن ه‬،‫ِبا فعملها كتبها اهلل له عْش حسنات إل سبعًمئة ضعف إل أضعاف كثرية‬
.‫ احلديث متفق عليه‬.»‫هم ِبا فعملها كتبها اهلل سيئة واحدة‬
‫ وإن ه‬،‫اهلل له حسنة‬

“Sesungguhnya Alloh mencatat kebaikan dan kejelekan, kemudian Dia


menjelaskannya. Maka barangsiapa berkeinginan untuk berbuat suatu kebaikan tapi
dia tidak mengerjakannya, Alloh mencatatnya untuknya satu kebaikan yang
sempurna. Dan jika dia berkeinginan untuk berbuat suatu kebaikan lalu dia
mengerjakannya, Alloh mencatatnya untuknya sepuluh kebaikan sampa tujuh ratus
kebaikan sampai lipatan-lipatan yang banyak. Tapi jika dia berkeinginan untuk
berbuat suatu kejelekan tapi dia tidak mengerjakannya, Alloh mencatatnya untuknya
satu kebaikan. Dan jika dia berkeinginan untuk berbuat kejelekan dan dia
mengerjakannya, Alloh mencatatnya satu kebaikan.”

Alloh ta’ala berfirman:

،]29:‫ك بِ ِه ِع ْلم﴾[اإلَاء‬ ُ ‫﴿و ََل َت ْق‬


َ ‫ف َما َل ْي َس َل‬ َ

“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tak punya ilmu tentangnya.”

Alloh ta’ala berfirman:

‫ُْشكُوا بِاهلل َما َمل ْ ُينَز ْل بِ ِه‬


ِ ْ ‫اِلق َو َأ ْن ت‬ ِ ْ ‫اح َش َما َظ َه َر ِمن َْها َو َما َب َط َن َو‬
ِ ْ ‫اْل ْث َم َوا ْل َبغ َْي بِغ‬
َْ ‫َري‬ ِ ‫﴿ ُق ْل إِنًم حرم ريب ا ْل َفو‬
َ َ َ َ َ َ
َ ‫ُس ْل َطانًا َو َأ ْن َت ُقو ُلوا َع َىل اهلل َما ََل َت ْع َل ُم‬
.]22:‫ون﴾ [األعراف‬

“Katakanlah: Hanyalah Robbku mengharomkan kekejian-kekejian yang nampak dan


yang tidak nampak, dan dosa, dan kezholiman pada orang lain tanpa kebenaran, dan
kalian menyekutakan dengan Alloh sesuatu yang Alloh tidak menurunkan dengan itu
hujjah, dan kalian mengatakan atas nama Alloh perkara yang kalian tidak tahu.”

Dan kaidah ini dinukilkan dari Al Imam Asy Syafi’iy ‫رحمززه هللا‬, dan juga telah
dinukilkan dari beliau ucapan yang menentang kaidah tadi yaitu ucapan beliau:

.»‫«حكاية احلال إذا تطرق إليها االحتامل كساذا ثوب اإلمجال وسقط منها االستدالل‬

“Cerita tentang suatu keadaan jika masih terkena kemungkinan-kemungkinan, dia itu
terliputi oleh baju globalitas yang dengan sebab itu gugurlah pendalilan dengannya.”

Kesimpulannya adalah: bahwasanya itu tadi adalah ucapan manusia dan bukan
wahyu dari Dzat Yang Penuh hikmah dan Maha Terpuji. Dan kaidah tadi tidak punya
258

dalil yang jelas. Al Imam Ash Shon’aniy ‫ رحمزه هللا‬telah berkata dalam “Al ‘Uddah” (1/hal.
374): “Aku tidak melihat kaidah tadi punya dalil. Dan telah dinukilkan dari Hanafiyyah
bahwasanya mereka tidak berpendapat dengan kaidah tadi.”

Aku –Asy Syaikh Yahya- katakan: dan puncak yang aku lihat mereka berdalilkan
untuk kaidah tadi adalah kisah Ibnu Ghoilan … bahwasanya beliau ketika masuk Islam
beliau dalam keadaan punya sepuluh istri, Rosululloh ‫ صزلى هللا عليزه وسزلم‬memerintahkan
beliau untuk memegang empat orang dari sepuluh istrinya tadi, dan menceraikan yang
lainnya. Dan Rosul tidak menanyainya gambaran akad nikahnya dengan mereka: apakah
dia membentuk ikatan nikah dengan mereka semua bersamaan ataukah secara
berurutan satu persatu. Maka sikap Rosululloh yang tidak meminta penerangan
padanya itu menunjukkan bahwasanya tidak ada bedanya antara apakah akad tadi
bersamaan ataukah tidak bersamaan, dan bahwasanya dia boleh untuk mencerikan
siapapun yang diinginkannya dari mereka.

Al ‘Allamah Asy Syaukaniy ‫ رحمزه هللا‬berkata dalam “Irsyadul Fuhul” (229): “Dan ini
di dalamnya perlu diperiksa lagi karena ada kemungkinan bahwasanya beliau ‫صلى هللا عليه‬
‫ وسزلم‬mengetahui keadaan nikah Ibnu Ghoilan secara khusus, maka beliau menjawab
berdasarkan pengetahuan beliau.” Selesai yang dikehendaki.

Saya –Asy Syaikh Yahya- katakan: berdalilkan dengan hadits ini hanyalah sekedar
dugaan, tidak boleh dalil-dalil yang jelas tadi (tentang dimaafkannya oleh yang lupa, dan
bahwasanya agama telah sempurna) ditentang dengan itu. Tidak boleh mewajibkan
seseorang tanpa dalil syar’iy dan tidak boleh membebaninya dengannya, maka
renungkanlah.

Bacalah jika engkau menginginkan, pembahasan tentang kaidah ini, sumber-sumber


rujukan berikut ini:

1- "Al Bahrul Muhith" (3/hal. 148-154) karya Az Zarkasyiy


2- "Irsyadul Fuhul" (hal. 227) karya Asy Syaukaniy
3- "Al Kaukabul Munir Syarh Mukhtashorit Tahrir" (3/172-174) beliau telah
menyebutkan suatu kaidah yang menentangnya yaitu yang telah kami sebutkan
sebelum itu dari Asy Syafi’iy ‫رحمه هللا‬.
4- "Mausu’atul Qowa’idil Fiqhiyyah" (3/hal. 228) karya Abul Harits Al Ghuzaiy
5- "Adhwaul Bayan" karya Asy Syinqithiy (5/100 dan 581) dan (6/516 dan 574).
6- "Ma’alim Ushulil Fiqh" (hal. 425) karya Al Jaizaniy
Maka jika telah diketahui batilnya kaidah ini , kita kembali kepada pembahasan inti
kita tentang penetapan ulama bahwasanya orang yang lupa tidak wajib kaffaroh.
An Nawawiy ‫ رحمزه هللا‬berkata : "Adapun orang yang mendatangi istrinya dalam
keadaan lupa maka dia tidak batal puasanya dan tidak wajib kafarroh. Inilah yang benar
dari madzhab kami, dan dengan itu mayorita ulama berkata. Dan dalil kami adalah
bahwasanya hadits itu shohih bahwasanya orang yang makan tapi lupa maka dia tidak
batal puasanya. Dan jima’ adalah semakna dengan lupa.
259

Adapun hadits-hadits yang datang tentang kaffaroh jima’ maka itu hanyalah bagi
orang yang sengaja. Oleh karena itulah berkata dalam sebagian riwayat : "Saya binasa"
dan dalam riwayat lain "Saya terbakar". Dan ini tidak terjadi kecuali pada orang yang
sengaja karena orang yang lupa itu tidak berdosa, dengan kesepakatan ulama."
(selesai dari "Syarh Shohih Muslim"/7/hal. 233).
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمززه هللا‬berkata: "Tentang orang yang
menggauli istrinya dalam keadaan lupa puasanya ada tiga pendapat dalam madzhab
Ahmad dan yang lainnya: yang pertama: dia tidak wajib membayar puasa dan tidak
wajib kaffaroh. Dan ini adalah pendapat Asy Syafi’iy, Abu Hanifah dan mayoritas ulama.
Yang kedua: dia wajib membayar puasa tanpa kaffaroh, dan ini pendapat Malik.
Yang ketiga: dia wajib dua perkara tadi. Dan ini terkenal dari Ahmad.
Pendapat yang pertama kebih kuat sebagaimana dijelaskan pada tempat
pembahasannya, karena telah tetap dengan dalil Al Kitab dan As Sunnah bahwasanya
barangsiapa melakukan perbuatan yang terlarang karena tidak sengaja berbuat keliru
atau lupa, Alloh tidak menghukumnya dengan itu. Dan ketika itu dia seperti orang yang
tidak mengerjakan perbuatan itu, sehingga dia tidak terkena dosa. Dan barangsiapa
tidak berdosa, dia tidak durhaka. Dan orang semisal ini tidaklah batal ibadahnya."
Selesai dengan peringkasan dari ”Majmu’ul Fatawa" (25/hal. 226).
Dan dengan ini Ibnu Daqiq Al ‘Id dan Ash Shon’aniy berpendapat. Bacalah "Al
‘Uddah Hasyiyatu Ihkamil Ahkam" (3/hal. 348).
Dan telah datang nash dalam masalah ini yang mendukung ucapan jumhur:
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (8/no. 3521/Ihsan), dan Ibnu Khuzaimah dalam "Shohih"
beliau (no. 1990), dan Ad Daroquthniy dalam "Sunan" (2/hal. 178) dari jalur Muhammad
Marzuq Al Bahiliy dari Muhammad bin Abdillah Al Anshoriy, dari Muhammad bin Amr,
dari Abu Salamah, dari Abu Huroiroh, dan diriwayatkan oleh Al Hakim (1/hal. 430) dan
Al Baihaqiy dalam "Al Kubro" (4/hal. 229), dari jalur Muhammad bin Idris Abu Hatim Al
Imam, dari Muhammad bin Abdillah Al Anshoriy, dari Muhammad bin Amr, dari Abu
Salamah, dari Abu Huroiroh bahwasanya Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬:
‫ اذا‬.»‫«من أفطر يف هنار رمضان ناسيا فال قضاء عليه وَل كفارة‬
"Barangsiapa berbuka puasa di siang hari Romadhon dalam keadaan lupa, maka dia
tidak wajib membayar puasa dan tidak wajib kaffaroh."
Sanadnya hasan, poros edar sanadnya ada pada Muhammad bin Abdillah Al Anshoriy
sebagaimana yang engkau lihat.
Al Imam Al Baihaqiy telah menetapkan itu dengan berkata: "Menyendiri dengan
hadits ini Muhammad bin Abdillah Al Anshoriy, dari Muhammad bin Amr, dari Abu
Salamah, mereka semua tsiqot." Selesai dari "Al Kubro" (4/hal. 229).
Dan Az Zaila’iy menukilkan itu dari beliau dalam "Nashbur Royah" (2/hal. 445-
446) dan dishohihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam "Bulughul Marom" dan Al Majd
Ibnu Taimiyyah dalam "Al Muntaqo" (4/206), dan mereka menyebutkan untuk hadits ini
satu pendukung dari riwayat Abu Sa’id Al Khudriy diriwayatkan oleh Ad Daroquthniy
(2/178), beliau berkata: haddatsani Muhammad bin Abi Bakr: haddatsana Hasyim ibnul
260

Qosim Al Harroniy: haddatsana Muhammad bin Salamah: ‘anil Fazariy: ‘an ‘Athiyyah: ‘an
Abi Sa’id Al Khudriy ‫ رضي هللا عنه‬yang berkata: Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:
»‫ إن اهلل أطعمه وسقاه‬،‫«من أكل يف شهر رمضان ناسي ًا فال قضاء عليه‬
“Barangsiapa makan di bulan Romadhon dalam keadaan lupa maka dia tidak wajib
qodho, karena sesungguhnya Alloh memberinya makan dan minum.”
Al Fazariy adalah Muhammad bin Ubaidillah Al ‘Arzamiy, matruk. Dan ‘Athiyyah
lemah.”
Aku –asy Syaikh Yahya- berkata: Al ‘Arzamiy tidak pantas masuk dalam jajaran
pendukung. Maka perkataan Al Hafizh di “Fath” dan diikuti oleh Asy Syaukaniy
bahwasanya: “Sanadnya lemah tapi dia bisa untuk mutaba’ah,” ini menurutku tidak
benar, karena rowi yang matruk tidak boleh untuk pendukung.
Kemudian Asy Syaukaniy berkata: “Maka derajat paling rendah dari hadits ini
dengan tambahan ini menjadi hasan sehingga pantas untuk sebagai hujjah. Dan telah
dipakai sebagai hujjah di banyak masalah rowi yang lebih rendah kekuatannya daripada
dia. Dan didukung juga bahwasanya sekelompok Shohabat telah berfatwa dengan
kandungan hadits tadi tanpa ada yang menyelisihi, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul
Mundzir, Ibnu Hazm dan yang lainnya, di antara para Shohabat tadi adalah: Ali, Zaid bin
Tsabit, Abu Huroiroh, dan Ibnu Umar ‫رضزي هللا عزنهم‬. Kemudian dia itu sesuai dengan
firman Alloh ta’ala:
ِ ‫﴿و َلكِن ي َؤ‬
ْ ‫اخ ُذك ُْم بِ ًَم ك ََس َب‬
.]114:‫ت ُق ُلو ُبك ُْم﴾[البقرة‬ ُ ْ َ
“Akan tetapi Alloh menghukum kalian disebabkan apa yang dikerjakan oleh hati-hati
kalian"
Lupa itu bukan termasuk dari apa yang dikerjakan oleh hati, dan mayoritas
ulama telah berpendapat ini dan berkata: “Barangsiapa makan dalam keadaan lupa,
puasanya tidak rusak, dia tidak wajib membayar puasa dan tidak wajib kaffaroh." Selesai
dari "Nailul Author" (4/hal. 206).
Abu Abdirrohman –Asy Syaikh Yahya- berkata: Adapun hadits Abu Huroiroh dari
jalur Al Anshoriy maka dia adalah hadits hasan sebagaimana telah lewat. Andaikata
bukan karena Al Bukhoriy dan Muslim meninggalkan tambahan ini sehingga ada suatu
pengaruh di dalam hati.
Al Anshoriy ini adalah Muhammad bin Abdillah ibnul Mutsanna bin Abdillah bin
Anas bin Malik. Ibnu Ma’in berkata tentang dia: “Tsiqoh”, Abu Hatim berkata: “Shoduq”,
dan di tempat lain berkata: “Aku tidak melihat dari para imam kecuali Ahmad bin
Hanbal, Sulaiman bin Dawud Al Hasyimiy, dan Muhammad bin abdillah Al Anshoriy.”
Maka diketahui dari biografinya bahwasanya dia itu tsiqoh imam.
Muhammad bin Amr bin Alqomah bin Waqqosh adalah shoduq.
Abu Salamah bin Abdirrohman bin ‘Auf adalah imam.
Dan lafazh hadits ini umum mencakup setiap orang yang berbuka puasa dalam
keadaan lupa, dengan sebab jima’ atau yang lainnya. Dan bahwasanya dia tidak wajib
membayar puasa dan tidak wajib kaffaroh. Dan itu sesuai dengan firman Alloh ta’ala:
261

،]4:‫﴿و َل ْي َس َع َل ْيك ُْم ُجنَاح فِ َيًم َأ ْخ َط ْأت ُْم بِ ِه َو َلكِ ْن َما َت َعمدَ ْت ُق ُلو ُبك ُْم﴾[األحزاب‬
َ

“Kalian tidak berdosa di dalam perkara yang kalian tidak sengaja melakukannya,
akan tetapi dosa itu adalah apa yang disengaja oleh hati-hati kalian, dan Alloh itu
senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dan firman-Nya ta’ala:

.]149:‫اخ ْذنَا إِ ْن ن َِسينَا َأ ْو َأ ْخ َط ْأنَا﴾[البقرة‬


ِ ‫﴿ربنَا ََل ت َُؤ‬
َ

"Wahai Robb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau tidak
sengaja keliru."
Dan datang dalam Shohih Muslim no. (127) dari hadits Abu Huroiroh
bahwasanya Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬berdoa pada Robbnya seraya berkata:
»‫«ربنا َل تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا‬
"Wahai Robb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau tidak
sengaja keliru."
Maka Alloh ‘Azza Wajalla menjawab:
.»‫«قد فعلت‬
"Aku telah mengerjakannya."
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad beliau (2/308/540) dan Ibnu Hibban (8/no.
3222) dari beberapa jalur dari Ja’far bin Burqon: dari Yazid ibnul Ashomm: dari Abu
Huroiroh ‫ رضي هللا عنه‬bahwasanya Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:
»‫« ما أخشى عليكم الفقر ولكن أخشى عليكم التكاثر وما أخشى عليكم اْلطأ ولكن أخشى عليكم العمد‬
“Aku tidak mengkhawatirkan terhadap kalian kemiskinan, akan tetapi aku
mengkhawatirkan terhadap kalian berlomba-lomba memperbanyak duniawi. Dan
aku tidak mengkhawatirkan terhadap kalian kesalahan yang tidak disengaja, akan
tetapi aku mengkhawatirkan terhadap kalian kesengajaan.”
Dan sanad hadits ini shohih.
Ja’far bin Burqon adalah Abu Abdillah Al Kilabiy itu tsiqoh dalam riwayatnya
terhadap selain Az Zuhriy. Adapun riwayatnya terhadap Az Zuhriy itu goncang.
Dinashkan tentang itu oleh Ibnu Numair. Dan riwayat beliau terhadap Az Zuhriy
dilemahkan oleh sekelompok ulama, sebagaimana dalam biografi beliau di “Tahdzib”
dan yang lainnya.
Yazid ibnul Ashomm adalah Ibnu Ukhti Maimunah bintil Harits Ummil Mukminin.
Dikatakan bahwasanya beliau melihat Rosululloh, tapi berita itu tidak tetap. Beliau itu
tsiqoh. Demikianlah dikatakan di “Taqrib”, dan memang seperti yang dikatakan.
Dan telah tetap dari hadits Ibnu Abbas bahwasanya Nabi ‫صززلى هللا عليززه وسززلم‬
bersabda:
262

.»‫«إن اهلل جتاوز ل عن أمتي اْلطأ النسيان وما استكرهوا عليه‬

“Sesungguhnya Alloh memaafkan untukku dari umatku kekeliruan yang tidak


disengaja, lupa dan perkara yang mereka dipaksa atasnya.”

Al Imam Ibnu Rojab memaparkan jalur-jalur hadits ini dalam kitab beliau “Jami’ul
Ulum Wal Hikam” hadits (39), dan bahwasanya setiap jalur tidak kosong dari penyakit.
Dan dengan gabungan jalur-jalur tadi pantas untuk berhujjah, terutama karena dia itu
punya pendukung yang sebagiannya telah kami sebutkan:
Di antaranya adalah hadits Abu Huroiroh sebelumnya.
Dan di antaranya adalah hadits Abu Huroiroh diriwayatkan Muslim (127)
bahwasanya Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬ketika berdoa pada Robbnya seraya berkata:
»‫«ربنا َل تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا‬
"Wahai Robb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau tidak
sengaja keliru."
Maka Alloh ‘Azza Wajalla menjawab:
.»‫«قد فعلت‬
"Aku telah mengerjakannya."
Dan itu mencocoki firman Alloh ‫عز وجل‬:

ِ ْ ِ‫﴿إَِل َم ْن ُأك ِْر َه َو َق ْل ُب ُه ُم ْط َمئِ رن ب‬


.]409:‫اْل َيًم ِن﴾ [النحل‬

“Kecuali orang yang dipaksa dalam keadaan hatinya tenang dengan keimanan.”
Dan Al Imam Al Bukhoriy meriwayatkan dalam “Shohih” beliau no. (1933) dan
Muslim (1155) dari hadits Abu Huroiroh ‫ رضزي هللا عنزه‬bahwasanya Nabi ‫صزلى هللا عليزه وسزلم‬
bersabda:

.»‫«من نيس وهو صائم فأكل أو َشب فليتم صومه فإنًم أطعمه اهلل وسقاه‬

“Barangsiapa lupa dalam keadaan dia puasa lalu dia makan atau minum maka
hendaknya dia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Alloh memberinya
makan dan minum.”
An Nawawiy ‫ رحمزه هللا‬berkata dalam “Syarh Muslim” (8/184): “Di dalamnya ada
dalil untuk madzhab mayoritas ulama bahwasanya orang puasa jika makan atau
menggauli istrinya dalam keadaan lupa maka dia tidak perlu berbuka (membatalkan
puasa).”
Al Khoththobiy ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Hampir semua ulama berpendapat tentang
gugurnya pembayaran puasa dan kaffaroh dari orang yang lupa, kecuali Malik dan
Robi’ah.” Selesai yang diinginkan dari “Ma’alimus Sunan” (2/104).
263

At Tirmidziy dalam “Jami’” beliau setelah hadits no. (721) berkata: “Dan amalan
muslimin adalah berdasarkan hadits ini menurut kebanyakan ulama.”
Ibnul Arobiy berkata: “Seluruh ulama negri-negri berpegang dengan hadits ini,
yaitu: bahwasanya orang yang lupa itu tidak diwajibkan apa-apa terhadapnya.” Selesai
dari “Al ‘Uddah Hasyiyatu Ash Shon’aniy ‘Ala Ihkamil Ahkam Li Ibnu Daqiq Al ‘Id"
(2/339).
Barangkali sebagian orang yang berpendapat tentang wajibnya kaffaroh bergaya
pintar sehingga berkata: “Yang dimaksudkan adalah puasa sunnah.” Dan ini batil dari
beberapa segi:
Yang pertama: ibadah sunnah itu tidak harus dibayar.
Yang kedua: bahwasanya ibadah sunnah itu tidak harus kaffaroh di dalamnya tanpa ada
keraguan pada seorangpun. Maka penyebutan yang demikian itu tiada faidahnya.
Yang ketiga: telah terdahulu nash-nash bahwasanya barangsiapa berbuka di siang hari
Romadhon dalam keadaan lupa maka dia tidak wajib membayar puasa dan tidak wajib
kaffaroh."
Asy Syaukaniy ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Sebagian dari mereka mengemukakan udzur
bahwasanya itu dibawa kepada puasa sunnah, dan itu adalah udzur yang rusak, dan
pemaknaan yang tidak benar, ditolak oleh isi hadits bab ini yang terang-terangan
menyebutkan pembayaran puasa." Selesai dari "Nailul Author" (4/207).
Kesimpulannya: bahwasanya orang yang berbuka dalam keadaan lupa, dengan
jima’ atau yang lainnya dari pembatal puasa, di siang hari Romadhon, dia tidak wajib
kaffaroh, berdasarkan dalil-dalil dan ucapan ulama yang telah kami jelaskan terdahulu.
Dan telah kami jabarkan ucapan dalam masalah itu karena ada perselisihan di
dalamnya, dan karena perkara itu penting."
Selesai (selesai dari ucapan beliau di kitab “Syarhul Muntaqo Li Ibnil Jarud”).
Al Bakriy pergi berpindah-pindah dari satu ulama ke ulama yang lain dengan
makar dan tipu daya serta dendam terpendam yang dia rencanakan, dalam keadaan
aku (Asy Syaikh Yahya) tidak menyadarinya. Dan jika orang-orang bertanya padaku
tentangnya, aku bangkit membelanya. Dan dulu keadaan diriku bersamanya adalah
seperti dikatakan:

‫أال رب من تدعو صديقا ولو ترى * مقالته بالغيب ساءك ما يفري‬

“Ketahuilah, bisa jadi orang yang engkau panggil sebagai sahabat, andaikata engkau
melihat ucapannya ketika tidak bersamamu niscaya apa yang dia kerjakan akan
membuatmu sedih.”
Dan Al Bakriy berkata:
،)‫(دعونا ننتهي من أيب احلسن وبعده احلجوري‬
"Biarkan kami menyelesaikan Abul Hasan dulu, dan setelahnya adalah Al Hajuriy."
264

Yang bersaksi tentang ucapan itu adalah para dai Ahlussunnah yang mulia: Abdul
Hadi Al Mathoriy, Ahmad bin Mushlih Al Mathoriy, Hamud Al Wailiy pemilik studio Al
Yaqzhoh, dan Mushthofa Mabrom.
Dan aku demi Alloh tidak peduli dengan igauan itu, akan tetapi kami
menyebutkannya agar orang-orang mengetahui pengkhianatan orang ini saja.
Bapak kita Al Allamah An Nashihul Amin Robi’ bin Hadi ‫ حفظززه هللا‬telah
mengirimkan surat pada kami yang maknanya: beliau ingin agar aku rujuk dari tidak
berpendapat dengan kaidah tadi. Maka aku rujuk dari ucapanku tentang batilnya kaidah
tadi, dalam rangka mendahulukan pemahaman beliau di atas pemahamanku, dan
percaya pada nasihat beliau, ilmu dan kecintaan beliau untuk dakwah Salafiyyah, dan
semangat beliau dalam menjaga dakwah ini. Semoga Alloh membalas beliau dengan
kebaikan.
Dan telah tetap dari Ibnu Mas’ud ‫ رضي هللا عنه‬secara mauquf:
‫ما رآه اِلسلمون حسنا فهو عند اهلل حسن وما رآه اِلسلمون قبيحا فهو قبيح‬
“Apa yang dipandang muslimun baik, maka dia itu di sisi Alloh juga baik. Dan apa yang
dipandang muslimun buruk, maka dia itu di sisi Alloh juga buruk.”
Dan maknanya adalah muslimun yang sempurna yang tidak memandang kebid’ahan itu
baik. Ini diucapkan oleh Syaikh kami ‫رحمه هللا‬.
Dan para ulama sunnah ‫ حفظهززم هللا‬yang dahulu dan yang sekarang adalah
penduduk bumi yang terbaik, paling berbakti, paling taqwa, paling pintar, paling bersih.
Ini kitab-kitabku dan kaset-kasetku. Perkara yang di situ aku menyelisihi Kitabulloh dan
Sunnah Rosul-Nya ‫ صلى هللا عليه وسلم‬atas dasar pemahaman Salafush Sholih ‫رضوان هللا علزيهم‬
maka aku rujuk dari penyelisihan itu di waktu hidupku dan setelah matiku.
Berikut ini adalah surat yang aku tulis kepada kedua bapak penasihat: Asy Syaikh
Al ‘Allamah Robi’ bin Hadi dan Asy Syaikh Al ‘Allamah Ahmad An Najmiy. Aku
menyebutkannya dalam bab ini:
Kepada bapak yang agung yang diberkahi Asy Syaikh Al ‘Allamah Robi’ bin Hadi, semoga
Alloh menjaga Anda.

.‫السالم عليكم ورمحة وبكاته‬

:‫أما بعد‬

Maka wahai Syaikh, semoga Alloh menjaga Anda. Sungguh Al Bakriy semakin
bertambah lancang terhadap Ahlussunnah, terhadap dakwah mereka dan markiz-markiz
mereka dengan kedustaan, kengawuran, cercaan yang jahat kepada para masyayikh
yang Ahlussunnah yang lain, dengan perkara-perkara yang saya kira tidak dilakukan oleh
Ba Syumail dan semisalnya terhadap Madinah, sampai bahkan Bakriy menggambarkan
para dai sunnah yang keluar dakwah ilalloh dan mengajari manusia dia gambarkan
sebagai Jama’ah Tabligh, sampai bahkan dirinya memancangkan untuk dirinya sendiri
dakwah terpisah yang dia berjalan di atasnya, dan bahwasanya seluruh Ahlussunnah di
265

Yaman berjatuhan di jalan karena mereka tidak di atas ilmu ataupun pemahaman
terhadap manhaj kecuali dirinya. Dulu si Bakriy setelah wafatnya Asy Syaikh ‫رحمزه هللا‬
mendorong para pelajar asing untuk pergi dari Dammaj sebelum mereka dituduh
sebagai hizbiyyun, karena ma’had Dammaj dikuasai oleh hizbiyyun. Sejumlah saksi dari
pelajar asing bersaksi atas ucapan si Bakriy ini.
Dan setelah itu si Bakriy menasihati orang-orang Yafi’ yang ada di markiz ini agar
mereka keluar semua walaupun harus pergi menjual bawang atau membuka warung-
warung makan. Maka orang-orang Yafi’ membenci si Bakriy karena nasihat khianat tadi,
dan karena kejahatannya yang lain.
Maka wahai Syaikh, demi Alloh, si Bakriy tidak peduli dengan nasihat Anda
ataupun juga nasihat para ulama yang lain. Dia telah dinasihati oleh Asy Syaikh
Muhammad bin AbdulWahhab ‫ حفظزه هللا‬tapi dia malah berkata: “Asy Syaikh Muhammad
punya kesalahan-kesalahan manhajiy, tashowwuf, dan mensucikan tempat-tempat
tertentu.”
Demikianlah kebiasaan si Bakriy. Dia dulu berkata tentang Syaikh kami ‫ رحمزه هللا‬:
“Beliau bersembunyi dari hizbiyyin tapi beliau memelihara hizbiyyun di ma’had beliau.”
Dan seluruh Ahlussunnah tahu bahwasanya Alloh tidaklah menyelamatkan
Sholih Al Bakriy ataupun Salafiyyun dari Yaman yang lain kecuali dengan kerja keras
Syaikh kami ‫ رحمزه هللا‬, dan setelah itu dia justru menentang manhaj Syaikh kami ‫رحمزه هللا‬
sehingga jadilah kondisi dia seperti dikatakan:

‫وقال السهى للشمس أنت خفي ٌة * وقال الدجى للصبح لونك حائل‬

“Si bintang kecil reduh itu berkata pada matahari: “Engkau tersamarkan,” dan malam
berkata pada subuh: “Warnamu terhalangi.”
Maka wahai Syaikh, demi Alloh andaikata bukan karena memuliakan Anda dan
mengambil perintah Anda, kami tidak akan diam terhadap si fajir ini. Dan saya
berpandangan tidak bolehnya mendiamkan dirinya karena dia telah mempermainkan
akal-akal orang awam dan sebagian pelajar baru, sehingga dia menghalangi mereka
dengan seluruh Ahlussunnah dan markiz-markiz mereka dan dari mengambil faidah dari
ceramah-ceramah mereka. Sungguh dia telah mendorong sebagian orang yang
terpedaya dengannya untuk menghalangi para pelajar di markiz Dammaj dari ceramah
di suatu desa di Yafi’ dan untuk mengusir orang yang keluar berdakwah ke tempat
mereka. Orang-orang tidak peduli pada gapaian tangan-tangan dan pemberontakan
tadi.
Jika Anda berpandangan bahwasanya si Bakriy berhenti dari fitnahnya dan
beradab kepada para masyayikh, dan berjalan bersama saudara-saudaranya serta
bertobat pada Alloh dari kengawurannya dan bencananya terhadap Ahlussunnah di
Yaman (maka itu yang kami inginkan), jika tidak, maka sungguh kami menilai
bahwasanya penjelasan tentang kejahatan dan fitnah dirinya adalah wajib. Dulu Abul
Hasan mampu mengambil sekelompok penuntut ilmu disebabkan karena dia
didiamkan beberapa waktu sehingga merusak akal-akal mereka. Dan Bakriy sekarang
266

sekalipun dibenci di kalangan seluruh Ahlussunnah, hanya saja dia berupaya seperti
upaya tadi.
Inilah yang saya ingin jelaskan kepada paduka yang mulia, karena kami
menganggap Anda adalah bapak bagi kami dan bagi dakwah ini. Dan kami, kaset-kaset
kami, dan kitab-kitab kami menaati pengarahan Anda yang diberkahi dalam bentuk
nasihat, penghapusan, pemajuan dan pengakhiran. Adapun Bakriy maka saya
menjadikan Alloh sebagai saksi dan juga saya menjadikan Anda sebagai saksi
bahwasanya Bakriy itu pengkhianat dan penipu terhadap para tokoh dakwah ini dan
para dainya di Yaman, di bawah tabir kecemburuan dan dakwaan-dakwaan dusta.
Ditulis oleh anak Anda:
Yahya bin Ali Al Hajuriy
18 Romadhon 1423 H
Di Darul Hadits Dammaj semoga Alloh menjaganya dan merohmati pendirinya.
Saya telah mengirimkan satu salinan juga kepada sang bapak Asy Syaikh Ahmad
An Najmiy ‫ حفظه هللا‬dengan nama beliau.
(selesai penukilan dari risalah “Ar Rodd ‘Alal Bakriy”/hal. 13-26/karya Asy Syaikh
Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫حفظه هللا‬/ditulis di hari-hari di bulan Syawwal 1423 H).

Dengan segala pujian bagi Alloh, fitnah Sholih Al Bakriy setelah dihantami oleh
para Salafiyyun menjadi padam, mereka memboikotnya, dan mereka menguburkan
kasus yang telah paripurna itu. Tiada yang tersisa bagi Luqman dan semisalnya kecuali
mencurahkan kerja keras untuk menghidupkan kasus yang telah menjadi bangkai lapuk
itu. Dan para ahli batil itu tidak punya hujjah untuk memukul Ahlussunnah, sehingga
mereka bergantung pada segala sesuatu yang mereka pandang pantas untuk memukul
padahal gantungan itu tadi sudah rusak. Seakan-akan mereka dalam mengikuti langkah-
langkah setan tadi terpaksa menempuh segala macam cara –sekalipun harom- untuk
mencapai tujuan rusak mereka- memukul dakwah salafiyyah.
Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحمززه هللا‬berkata: “Karena sesungguhnya orang yang
terpaksa itu akan bergantung dengan segala sarana sekalipun di dalamnya ada perkara
yang dibenci.” (“Ighotsatul Lahfan”/hal. 204).
Bagaimana dia mengejek orang yang sudah bertobat dengan perkara dia telah
tobat darinya? Al Imam Abul Walid Al Bajiy ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Orang yang sudah tobat
dari maksiat, jika dia telah tobat dan baik tobatnya, maka tidak pantas untuk dirinya
dicela dari perkara tadi.” (“Al Muntaqo Syarhul Muwaththo”/4/hal. 277).
Ibnu Baththol ‫ رحمزه هللا‬berkata: Al Muhallab dan yang lainnya berkata: “sabda:
“Maka Adam mengalahkan hujjah Musa.” Yaitu: Adam mengalahkan Musa dengan
argumentasi. Al Laits bin Sa’d berkata: "Hanyalah berhujjah dengan kisah ini adalah
benar untuk Adam terhadap Musa dikarenakan Alloh telah mengampuni kesalahan
Adam dan menerima tobatnya. Maka Musa tidak berhak untuk mengejek beliau dengan
kesalahan yang telah Alloh ampuni untuk beliau. Oleh karena itulah Adam berkata
padanya: "Engkau Musa yang diberi Alloh Tauroh, dan di dalamnya ada ilmu segala
sesuatu. Maka apakah engkau dapatkan di dalamnya bahwasanya Alloh telah
267

menakdirkan terhadapku maksiat tadi dan menakdirkan terhadapku tobat darinya. Dan
gugurlah dengan itu celaan dariku. Apakah engkau mencelaku sementara Alloh tidak
mencelaku?" ("Syarh Ibni Baththol ‘Ala Shohihil Bukhoriy"/5/hal. 488).
Dan Ibnu Hajar ‫ رحمززه هللا‬berkata: “Al Qurthubiy berkata: “Hanyalah beliau
mengalahkan Musa dengan hujjah karena Musa telah mengetahui dari Tauroh
bahwasanya Alloh telah menerima tobat beliau. Maka jadilah celaan Musa terhadap
Adam atas dosa tadi menjadi suatu jenis kekasaran, sebagaimana dikatakan:
"Penyebutan kekasaran setelah terjadinya kejernihan adalah kekasaran juga, karena
bekas penyelisihan itu hilang setelah adanya pemaafan sampai seakan-akan tidak
pernah terjadi. Maka celaan dari orang yang mencela itu tidak mendapatkan tempat."
Selesai. Dan itu adalah kesimpulan dari jawaban Al Maziriy dan yang lainnya dari
kalangan ahli tahqiq, dan itulah yang menjadi patokan." ("Fathul Bari"/11/hal. 510).
Maka kami mohon kepada Alloh agar memperlakukan Luqman Ba Abduh,
Abdulloh Al Bukhoriy, Arofat Al Bushiriy, dan yang semisal dengan mereka dengan
perlakuan yang mereka berhak mendapatkannya.
Dan risalah ini tersebar dengan bahasa Arob dan Indonesia, dan doa ini –doa
orang-orang yang terzholimi- insya Alloh diaminkan oleh banyak pembaca. Dan tidak
ada tabir antara doa orang-orang yang terzholimi dengan Robbul alamin.

Dari Nafi’:

‫ «ياا‬:‫ صعد رسول اهلل صىل اهلل عليه و سلم اِلنرب فنادى بصوت رفيع فقاال‬:‫عن ابن عمر ريض اهلل عنهام قال‬
‫معْش من قد أسلم بلسانه ومل يفض اْليًمن إل قلبه َل تؤذوا املسلمني وَل تعريوهم وَل تتبعوا عاوراَتم فإناه‬
‫ ونظار ابان‬:‫ قال‬.»‫من تتبع عورة أخيه املسلم تتبع اهلل عورته ومن تتبع اهلل عورته يفضحه ولو يف جوف رحله‬
.‫ ما أعظمك وأعظم حرمتك واملؤمن أعظم حرمة عند اهلل منك‬:‫عمر يوما إى البيت أو إى الكعبة فقال‬

Dari Ibnu Umar ‫ رضزي هللا عنهمزا‬yang berkata: Rosululloh ‫ صزلى هللا عليزه وسزلم‬pernah naik
mimbar, lalu beliau berseru dengan suara keras seraya bersabda: “Wahai orang-orang
yang telah masuk Islam dengan lidahnya yang imannya itu belum sampai ke dalam
hatinya, janganlah kalian menyakiti orang-orang Islam, janganlah kalian mencerca aib
mereka, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Karena sesungguhnya
barangsiapa mencari-cari aib saudaranya muslim, maka Alloh akan mencari-cari
aibnya. Sesungguhnya barangsiapa yang Alloh cari aibnya, maka Dia akan membuka
aib-aibnya meskipun ia berada di bagian dalam rumahnya…” Nafi’ berkata: “Ibnu Umar
pada suatu hari pernah memandang ke Baitulloh atau Ka’bah lalu beliau berkata:
“Alangkah agungnya engkau, dan alangkah agungnya kehormatanmu. Tapi seorang
mukmin itu lebih agung kehormatannya daripada dirimu.” (HR. At Tirmidziy
(2032)/shohih lighoirih).
268

Al ‘Allamah Al Mubarokfuriy ‫ رحمزه هللا‬berkata: “janganlah kalian mencerca aib


mereka” yaitu mencerca dan membongkar aib mereka terhadap dosa yang telah lalu,
sama saja telah diketahui tobatnya ataukah belum. Adapun mencerca aib ketika sedang
berlangsung atau sudah lama tapi belum nampak tobat dari itu, maka wajib dilakukan
bagi orang yang mampu melakukannya.” (“Tuhfatul Ahwadzi”/11/hal. 206).
Asy Syaikh Yahya telah tobat dari ungkapan yang buruk tersebut terhadap
kaidah ilmiyyah Al Imam Asy Syafi’iy ‫ رحمززه هللا‬tersebut. Bahkan beliau rujuk dari
menyalahkan kaidah ilmiyyah Al Imam Asy Syafi’iy ‫ رحمزه هللا‬tersebut, padahal mayoritas
ulama juga menyelisihi kaidah tadi dalam kasus tadi.
Dan Al Imam Ibnu Muflih ‫ رحمزه هللا‬berkata: “Dan di antara hak muslim terhadap
muslim yang lain adalah: menutupi kekurangannya, mengampuni ketergelincirannya,
menyayangi anak kecil, membebaskan keterpelesetannya, menerima udzurnya,
membantah orang yang mengghibahinya, melestarikan nasihat untuknya, menjaga
kecintaannya, memelihara tanggungannya, memenuhi undangannya, menerima
hadiahnya, membalaskan hadiahnya, mensyukuri pemberiannya, memperbagus
pertolongan untuknya, menunaikan keperluannya, mensyafaati permintaannya,
mendoakan bersinnya, mengembalikan barangnya yang hilang, loyal padanya, tidak
memusuhinya, menolongnya terhadap orang yang menzholiminya, menahannya dari
berbuat zholim, terhadap yang lain, tidak menyerahkannya pada musuhnya, tidak
menelantarkannya saat perlu pertolongan, menyukai untuknya perkara yang dicintai
untuk dirinya sendiri, membenci untuknya perkara yang dibenci untuk dirinya sendiri.
Ini disebutkan dalam kitab “Ar Ri’ayah.” (“Al Adabusy Syar’iyyah”/hal. 188/cet. Ar
Risalah).
269

Bab Tiga Puluh: Penipuan Ubaid Al Jabiriy Terhadap Umat Dengan


Kata Pengantarnya Untuk Risalah Arofat Si Pendosa

Adapun kata pengantar Ubaid Al Jabiriy untuk risalah Arofat bin Hasan bin Ja’far
Al Muhammadiy yang berjudul “Al Bayanul Fauriy” yang di dalamnya banyak kedustaan
dan berita bohong terhadap Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dan pujian Ubaid
terhadap risalah Arofat yang berdosa itu maka sesungguhnya itu merupakan
pengkhianatan dan penipuan Ubaid terhadap umat Islam. Ubaid tidak menasihati umat
karena dia mendorong mereka untuk mengambil manfaat dari risalah beracun yang
menjadikan umat berburuk sangka pada pembawa sunnah dan penjaga agama: Asy
Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫حفظه هللا‬. Dari Abu Huroiroh ‫ رضي هللا عنه‬yang berkata
bahwasanya Rosululloh ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:

‫«من ه‬
.»‫غشنا فليس منا‬

“Barangsiapa menipu kami maka dia bukanlah termasuk dari golongan kami.” (HR.
Muslim (102)/cet. Darul Kitabil Arobiy).

Dan termasuk dari penipuan dan pengkhianatan adalah penyembunyian nasihat,


sebagaimana ucapan Al Imam Al Barbahariy ‫رحمززه هللا‬: "Dan tidak halal nasihat itu
disembunyikan dari kaum Muslimin –yang baik ataupun yang jahat- di dalam urusan
agama. Maka barangsiapa menyembunyikannya maka dia telah menipu kaum Muslimin.
Dan barangsiapa menipu kaum Muslimin, maka sungguh dia telah menipu agama ini.
Dan barangsiapa menipu agama ini, maka sungguh dia telah mengkhianati Alloh dan
Rosul-Nya dan kaum Mukminin." ("Syarhus Sunnah"/ hal. 29-30/cet. Darul Atsar).
Maka kami tidak mengira kecuali bahwasanya Ubaid itu adalah pengekor hawa
nafsu, sesuai untuknya ucapan Al Imam Ibnul Qoyyim ‫رحمه هللا‬: “Orang yang paling tolol
adalah orang yang tersesat di akhir perjalanannya padahal dia telah dekat dengan
tempat tinggalnya.” (“Al Fawaid”/hal. 207).

Dan ucapan Al Imam Asy Syaukaniy ‫ رحمه هللا‬: “Dan barangsiapa ingin menolong
kebatilan atau menolak kebenaran, maka dia itu akan terjungkir, sama saja dia itu
pemimpin ataukah yang dipimpin. Dan jika sungai Alloh telah datang, batallah sungai
Ma’qil. Dan ketika datang ketetapan Ar Rohman, tertolaklah tipu daya setan.”
(“Adabuth Tholab”/hal. 147/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Ini semua cukup dengan seidzin Alloh untuk mematahkan rantai tuduhan keji
dari para penjahat pewaris Haddadiyyah: Luqman Ba Abduh, Abdulloh Al Bukhoriy,
Arofat Al Bushiriy, dan yang semisal dengan mereka, dan penjelasan atas kebodohan
mereka dan rusaknya manhaj mereka. Dan terus-menerusnya mereka dalam
270

menggunakan syubuhat para pendahulu mereka dari kalangan Haddadiyyah menambah


kejelasan pada kita bahwasanya Mar’iyyun memang pewaris Haddadiyyah.
Risalah ini sudah cukup panjang. Sisa-sisa syubuhat insya Alloh akan dibahas
pada risalah yang lain sesuai dengan keadaan, insya Alloh.

Dan ketahuilah bahwasanya syubuhat ahli batil tidak habis-habis, karena para
setan saling bantu dalam memberikan ide. Alloh ta'ala berfirman:
ِ ِ ِ ِ ِ
]727/‫ُون﴾ [األنعام‬
َ ‫ْشك‬ ُ ‫ون إِ َل َأ ْول َيائ ِه ْم ل ُي َجاد ُلوك ُْم َوإِ ْن َأ َط ْعت ُُم‬
ِ ْ ‫وه ْم إِنك ُْم َُمل‬ َ ‫﴿ َوإِن الش َياط‬
ُ ‫ني َل ُي‬
َ ‫وح‬

"Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menurunkan wahyu kepada para


wali mereka untuk mendebat kalian. dan jika kalian menaati mereka sungguh kalian
itu benar-benar orang yang musyrik." (QS. Al An'am: 121)

Maka jika Anda semua telah tahu bahwasanya mereka adalah para pembawa
syubuhat, dan Alloh telah membongkar untuk Anda sekalian: sebagian dari kebatilan
sybuhat tadi, maka cukuplah itu sebagai dalil tentang wajibnya untuk menjauhi mereka,
dan jangan mencondongkan pendengaran untuk menyimak ucapan-ucapan mereka.

Al Imam Ibnu Baththoh ‫ رحمززه هللا‬berkata: “Maka demi Alloh wahai kaum
Muslimin, jangan sampai baik sangka salah seorang dari kalian terhadap dirinya sendiri
dan terhadap keshohihan madzhabnya yang diketahuinya membawa dirinya untuk
melakukan taruhan dengan agamanya, dengan duduk-duduk dengan para pengekor
hawa nafsu, lalu berkata: “Aku akan masuk kepadanya untuk melakukan diskusi
dengannya, atau akan kukeluarkan darinya madzhabnya.” Karena sesungguhnya ahli
hawa itu lebih besar fitnahnya daripada dajjal. Ucapan mereka lebih lengket daripada
kurap, dan lebih membakar hati daripada gejolak api. Sungguh aku telah melihat
sekelompok orang yang dulunya melaknati ahli hawa, mencaci mereka. Lalu mereka
duduk-duduk dengan mereka untuk mengingkari mereka dan membantah mereka.
Terus-menerus berlangsung ramah-tamah di antara mereka, makar tersembunyi, dan
halusnya kekufuran tersamarkan hingga akhirnya orang-orang tadi masuk ke madzhab
ahli hawa tadi.” (“Al Ibanatul Kubro”/di bawah no. (480)/cet. Darul Kutub wal Watsaiqil
Qoumiyyah).

.‫ واحلمد هلل رب العاِلني‬،‫واهلل تعاى أعلم‬

Dammaj, 17 Jumadats Tsaniyyah 1434 H.


271

Daftar Isi Kitab

Pengantar Fadhilatusy Syaikh Abu Abdillah Muhammad Bin Ali Bin Hizam Al Fadhli Al Yamaniy
semoga Alloh Menjaga Beliau ......................................................................................................... 3
Pengantar Fadhilatusy Syaikh Abu Abdirrohman Abdulloh bin Ahmad Al Iryaniy Al Yamaniy
semoga Alloh Menjaga beliau ......................................................................................................... 4
Pengantar Penulis ............................................................................................................................ 5
Bab Satu: Tuduhan "Ghuluw" dan Berlebihan Dalam Membid'ahkan ............................................ 8
Bab Dua: Upaya Menempelkan Nama "Fitnah" Terhadap Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬................... 10
Bab Tiga: Perencanaan Serangan Terhadap Ahlussunnah ............................................................ 24
Bab Empat: Luqman Menyandarkan Berita Pada Bayan Muhammad Ar Roimiy Yang Penuh
Dengan Kebatilan........................................................................................................................... 28
Bab Lima: Pura-pura Tidak Tahunya Luqman Akan Hujjah-hujjah Ahlussunnah Tentang Hizbiyyah
Al 'Adaniy, dan Dia Menuduh Ahlussunnah Itu Berdusta Dan Tidak Mengetahui Dalil ................ 39
Bab Enam: Abdurrohman Al 'Adaniy Bergaya Tampil Dengan Akhlaq yang bagus ...........42
Bab Tujuh: Luqman Menuduh Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬Tak Punya Kasih Sayang dan Tidak Tahu
Persaudaraan ................................................................................................................................. 45
Bab Delapan: Luqman Menuduh Para Pelajar Tersibukkan Dengan Pembicaraan Tentang
Hizbiyyah ....................................................................................................................................... 49
Bab Sembilan: Membongkar Makar Sebagian Orang Yang Menisbatkan Diri Pada Ilmu ............. 51
Bab Sepuluh: Luqman Tidak Paham Kasus Maaf Dan Tobat ......................................................... 54
Bab Sebelas: Tuduhan Bahwasanya Asy Syaikh Yahya Berlidah Kotor .......................................... 56
Bab Dua Belas: Luqman Menggali Lagi Kasus Istiwa Alloh Di Atas Arsy Tanpa Bersentuhan ....... 64
Bab Tiga Belas: Kasus Ketergelinciran Sebagian Penyair ............................................................... 65
Mencermati sikap ghuluw pengikut Asy Syaikh Robi’ ‫ هداه هللا‬.............................................74
Bab Enam Belas: Kedustaan Bahwasanya Asy Syaikh Yahya Mencerca Sebagian Shohabat ‫رضي هللا‬
‫ عنهم‬................................................................................................................................................. 97
Bab Tujuh Belas: Pembicaraan Tentang Jarh Mufassar ............................................................... 110
Faidah: ......................................................................................................................................... 116
Bab Delapan Belas: Apakah ‘Ishmah Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬Mengharuskan Tidak Terjadinya
Kesalahan Sama Sekali? Dan Apakah Seluruh Sunnah Beliau Adalah Wahyu? ........................... 117
272

Bab Sembilan Belas: Apakah Asy Syaikh Yahya Meyakini Atau Menyetujui Bahwasanya Ucapan
Rosul ‫ صلى هللا عليه وسلم‬Tidak Diterima Kecuali Dengan Dalil? ....................................................... 132
Kalimat penentu: .............................................................................................................136
Bab Duapuluh: Tuduhan Mereka Bahwa Asy Syaikh Yahya Tergesa-gesa Dalam Masalah Nasihat
..................................................................................................................................................... 138
Bab Duapuluh Satu: Kasus Tahdzir Asy Syaikh Sholih Al Fauzan ................................................. 142
Bab Duapuluh Dua: Apakah Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬Menganggap Bahwasanya Utsman bin
Affan ‫ رضي هللا عنه‬Itu Mubtadi’? ................................................................................................... 149
Bab Duapuluh Tiga: Luqman Menuduh Asy Syaikh Yahya ‫ حفظه هللا‬Meneror Ulama dan Mencerca
Mereka......................................................................................................................................... 161
Sebagian keutamaan Syaikh kami Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Fadhliy Al
Ba’daniy ‫ حفظه هللا ورعاه‬......................................................................................................174
Sebagian keutamaan Syaikh kami Abu Abdurrohman Abdulloh bin Ahmad Al Iryaniy ‫حفظه هللا ورعاه‬
..................................................................................................................................................... 177
Sebagian dari keutamaan syaikh kami yang mulia Abu Muhammad Abdul Hamid bin Yahya bin
Zaid Al Hajuriy Az Za’kariy ‫ حفظه هللا ورعاه‬..........................................................................183
Perlu diingat: hakikat ilmu dan fiqih ................................................................................190
Bab Duapuluh Empat: Masalah Takut Pada Ulama dan Kritikan Pada Asy Syaikh Al Wushobiy . 196
Bab Duapuluh Lima: Tuduhan Luqman Bahwasanya Asy Syaikh Yahya Membahayakan Dakwah
..................................................................................................................................................... 206
Bab Duapuluh Enam: Tuduhan Mereka Bahwasanya Asy Syaikh Yahya Terkena Aqidah
Qodariyyah .................................................................................................................................. 212
Bab Duapuluh Tujuh: Tuduhan Mereka Bahwasanya Asy Syaikh Yahya Terkena Aqidah
Asy’ariyyah................................................................................................................................... 225
Bab Duapuluh Delapan: Antara Istilah “Akhrojahu” Dan “Khorrojahu” ...................................... 246
Bab Duapuluh Sembilan: Kasus Bantahan Terhadap Kaidah Al Imam Asy Syafi’iy ‫ رحمه هللا‬......... 253
Bab Tiga Puluh: Penipuan Ubaid Al Jabiriy Terhadap Umat Dengan Kata Pengantarnya Untuk
Risalah Arofat Si Pendosa ............................................................................................................ 269
Daftar Isi Kitab ............................................................................................................................. 271

Anda mungkin juga menyukai