Anda di halaman 1dari 37

HUBUNGAN TERAPI OKUPASI TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU

PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUANGAN MANGGIS DAN RUANGAN


SALAK RSJ MADANI PALU

PROPOSAL
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Meraih Derajat Sarjana Keperawatan

Oleh:

NUR FADILLAH
201401029

PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU
2014
HALAMAN PENGESAHAN

HUBUNGAN TERAPI OKUPASI TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU


PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUANGAN MANGGIS DAN RUANGAN
SALAK RSJ MADANI PALU

Yang Dipersiapkan Dan Disusun Oleh:

NUR FADILLAH
NIM : 201401029

Telah dipertahankan didepan dewan penguji pada tanggal ,


Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Dewan Penguji

( )

( )

( )

Palu,
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Widya Nusantara Palu
Prodi S1 Keperawatan
Dekan,
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak ada karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi dan
sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila ternyata kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya
diatas, maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya.

Palu,
Penulis

Nur Fadillah
MOTTO

“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu


hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka jadilah ia.”
(QS. Yaasin: 82)

“Cukuplah Allah menjadi penolong bagi kami, dan Allah adalah


sebaik-baik pelindung.”
(QS. Al Imron: 137)

‘’Kita berdoa kalau kesusahan dan membutuhkan sesuatu, mestinya kita juga
berdoa dalam kegembiraan besar dan saat rezeki melimpah’’

(Kahlil Gibran)

‘’Saat engkau mendapatkan kebahagiaan itu artinya satu doa orang tuamu
terkabulkan lagi’’

(penulis)
PERSEMBAHAN

“Karya ini penulis persembahkan kepada Allah Yang Maha Pemurah atas segala
karunia dan pertolonganNya yang telah Dia berikan kepada hambaNya yang dhoif
ini. Tuntunlah hambamu ini menuju jalan yang engkau ridhoi, kebahagiaan dunia
akhirat”
‘’Ibuku tercinta yang telah memberikan semangat, doa dan kasih sayang baik spiritual
maupun material. Tanpa itu semua ananda tak mungkin seperti ini. Engkau adalah
sosok yang ananda kagumi’’
‘’Almarhum Ayahku, yang kusayangi ‘’
‘’ Adikku tersayang asrul, yang telah memberikan support ‘’
‘’1804 yang selalu mensupportku dan membantuku dalam menyelesaikan skripsi ini’’
‘’Teman-teman Keluarga besar Keperawatan angkatan 2014 yang tidak dapat
disebutkan satu persatu terima kasih semuanya. Kita tunjukkan kepada dunia bahwa
kita mampu’’
‘’Almamaterku tercinta’’
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayahNya yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Hubungan Terapi Okupasi Terhadap Perubahan Perilaku Pada
Pasien Skizofrenia Di Ruang Manggis dan Ruang Salak RSJD Madani Palu”.
Laporan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di
Program Studi S1 di Stikes Widya Nusantara Palu. Penulis menyadari tanpa bantuan dari
berbagai pihak tidak banyak yang bisa penulis lakukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Untuk itu penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas semua bantuan dan
dukungannya selama pelaksanaan dan penyusunan laporan skripsi ini kepada:
1. Ibu serta keluarga besarku tercinta yang telah senantiasa memberikan do’a,
dorongan, nasehat dan pengorbanan yang takkan pernah terbalas sampai
kapanpun hingga nanda hanya dapat berdoa semoga kita sekeluarga
dipertemukan kembali di jannahNya.
2. Kepada teman – teman seperjuangan anak keperawatan 2014, terima kasih atas
persahabatannya selama ini yang telah mengajarkan kesabaran dan arti sebuah
persahabatan semoga kita dipertemukan kembali pada suatu saat nanti, entah
kapan lagi mungkin masih didunia ini atau mungkin di akhirat nanti.
3. Semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non materiil yang tidak
bisa dituliskan satu persatu. Semoga amal yang telah dilakukan akan mendapat
balasan oleh Allah SWT.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin

Palu,
Penulis

Nur Fadillah
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Perkembangan zaman yang semakin maju membuat manusia tidak pernah luput
dari masalah kesehatan. Masalah kesehatan menjadi salah satu penentu keberlangsungan
hidup seseorang dalam aktivitas keseharian maupun pekerjaan. Indonesia merupakan
salah satu negara berkembang yang masih belum memiliki kesadaran penuh terhadap
kesehatan. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis (Undang Undang No.36, 2009). Kesehatan yang dipahami oleh masyarakat
pada umumnya masih difokuskan pada kondisi fisik semata tanpa memperhatikan kondisi
psikis. Kondisi psikis yang baik memiliki peranan penting bagi seseorang dalam
memengaruhi kualitas hidup. Seseorang yang mengalami kondisi jiwa yang kurang sehat
dapat mengganggu fungsinya dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dan
sering disebut orang dengan gangguan jiwa. Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah
orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang
termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang
bermakna, serta dapat menimbulkan pasienan dan hambatan dalam menjalankan fungsi
orang sebagai manusia (Undang Undang No.18, 2014). Gangguan jiwa terjadi
disebabkan karena banyaknya tekanan yang berasal dari lingkungan internal dan
eksternal. Gangguan jiwa yang paling sering ditemukan adalah skizofrenia.
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang yang menyangkut
perubahan dari fisik, psikologis dan social budaya. Menurut WHO memperkirakan
ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa, paling
tidak ada 1 (satu) dari 4 (empat) orang di dunia mengalami masalah mental. Sebuah
studi yang dilaksanakan oleh WHO pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di 14
(empat belas) negara berkembang, terdapat sekitar 76%-85% pasien yang tidak
mendapatkan pengobatan apapun pada tahun pertama kasus gangguan jiwa parah.
Salah satu gangguan jiwa banyak terjadi adalah skizofrenia yang menduduki
peringkat ke-4 (empat) dari 10 (sepuluh) besar penyakit terberat di seluruh dunia,
berkenaan dengan hal ini, WHO (2007) melansir bahwa sekitar 25.000.000 orang
penduduk di seluruh dunia mengalami skizofrenia. (Stuart, 2007). Prevalensi
penderita Skizofrenia di Indonesia mencapai 0,3 sampai 1 % dan biasanya timbul
pada usia sekitar 18 sampai 45 tahun, namun ada juga yang baru menginjak umur 11
sampai 12 tahun sudah mengalami skizofrenia. Apabila penduduk Indonesia sekitar
200 jiwa maka diperkiakan 2 juta penduduk Indonesia menderita Skizofrenia
(Hawari, 2009). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan
bahwa prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia adalah 1,7 per 1.000
penduduk atau sekitar 400.000 orang.
Data pasien skizofrenia tahun 2016 RSJ Madani Palu menunjukkan bahwa
pasien rawat inap dari bulan Januari sampai Desember sebanyak 352 untuk pasien
laki-laki dan 193 untuk pasien perempuan dengan jumlah pasien secara keseluruhan
sebanyak 543 orang dan jumlah pasien yang meninggal sebanyak 3 orang. Untuk
pasien rawat inap tahun 2017 dari bulan Januari sampai Desember sebanyak 761
orang laki-laki yang keluar dan pada perempuan sebanyak 251 orang, jumlah pasien
secara keseluruhan sebanyak 1.012 orang dan pasien yang meninggal sebanyak 1
orang.Untuk pasien rawat jalan tahun 2016 dari bulan Januari sampai bulan
Desember sebanyak 62 orang pasien laki-laki yang keluar untuk pasien perempuan
sebanyak 39 orang, jumlah pasien secara keseluruhan sebanyak 101 orang dengan
jumlah kunjungan sebanyak 4.546 orang. Untuk pasien rawat jalan pada tahun 2017
dari bulan Januari sampai bulan Desember sebanyak 80 orang pasien laki-laki yang
keluar dan pada perempuan sebanyak 42 orang, jumlah pasien secara keseluruhan
sebanyak 122 orang dengan jumlah kunjungan sebanyak 5.187 orang.
Adapun data pasien Skizofrenia tahun 2017 di ruang Manggis mulai dari
januari sampai desember 2017 sebanyak 900 orang dan untuk ruangan salak pada
tahun 2016 mulai tanggal 2 januari sampai 28 desember 2016 sebanyak 282 orang,
pada tahun 2017 mulai dari tanggal 2 januari 2017 sampai 23 desember 2017
sebanyak 279 orang.
Karakteristik dari pasien yang terdiagnosis Skizofrenia sangat beragam, satu
diantaranya yang sering ditemukan oleh pasien adalah gangguan emosi yang dapat
berupa ketakutan, kecemasan, depresi dan kegembiraan yang berlebihan. Kecemasan
yang terjadi pada pasien skizofrenia dapat berupa gangguan parathimi atau yang
seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, sehingga pada pasien muncul rasa
cemas, sedih dan marah (Maramis, 2008). Satu diantaranya penanganan pasien
skizofrenia adalah dengan terapi okupasi. Terapi okupasi adalah merupakan suatu
cara atau bentuk psikoterapi suportif yang penting dilakukan untuk meningkatkan
kesembuhan pasien (Djunaedi & Yitnamurti, 2008). Terapi okupasi membantu
menstimulasi pasien melalui aktivitas yang disenangi pasien.
Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah diuraikan di atas penulis sangat
tertarik untuk melakukan penelitian dengan harapan dapat menjawab pertanyaan
tentang Hubungan Terapi Okupasi Terhadap Perubahan Perilaku Pada Pasien
Skizofenia di Ruangan Manggis dan Ruangan Salak RSJ Madani Palu.

1.2. Rumusan Masalah


Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai ‘’Adakah Hubungan Terapi Okupsi Terhadap Perubahan Perilaku Pada
Pasien Skizofenia di Ruangan Manggis dan Ruangan Salak RSJ Madani Palu ?’’

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan terapi okupasi terhadap
perubahan perilaku pada pasien skizofrenia di Ruangan Manggis dan Ruangan
Salak RSJ Madani Palu
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui keefektifan terapi okupasi pada pasien skizofrenia di
Ruangan Manggis dan Ruangan Salak RSJD Madani Palu.
2. Untuk mengetahui perubahan perilaku pasien skizofrenia di Ruangan Manggis
dan Ruangan Salak RSJD Madani Palu.
3. Untuk mengetahui hubungan terapi Okupasi dengan Perubahan perilaku pada
pasien skizofrenia di Ruangan Manggis dan Ruangan Salak RSJD Madani
Palu.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Individu
Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman mengenai pengaruh terapi
okupasi pada pasien jiwa di RSJD Madani Palu

2. Bagi Ilmu Pengetahuan


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian pada
bidang serupa dan menambah kekayaan referensi pengetahuan yang berhubungan
dengan terapi okupasi .
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terapi Okupasi


Terapi Okupasi adalah profesi kesehatan yang menangani pasien dengan
gangguan fisik dan atau mental yang bersifat sementara atau menetap. Okupasi
Terapi dalam praktiknya menggunakan okupasi atau aktivitas terapeutik dengan
tujuan mempertahankan atau meningkatkan komponen kinerja okupasional (senso-
motorik, persepsi, kognitif, sosial dan spiritual) dan area kinerja okupasional
(perawatan diri, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang) sehingga pasien mampu
meningkatkan kemandirian fungsional, meningkatkan derajat kesehatan, dan
partisipasi di masyarakat sesuai perannya (Kementerian Kesehatan, 2013).
Terapi Okupasi adalah ilmu kesehatan yang berbasis client center yang
berfokus pada promosi kesehatan dan kesejahteraan melalui aktivitas (okupasi).
Terapi Okupasi memiliki tujuan umum seperti meningkatkan kemampuan
berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan, dibutuhkan atau diharapkan melalui
modifikasi aktivitas atau lingkungan yang lebih baik untuk mencapai keikutsertaan
okupasional melalui kerjasama dengan orang lain dan masyarakat (WFOT, 2012)
Townsend & Polatajko (2007) mengatakan bahwa Terapi Okupasi adalah seni
dan ilmu yang melibatkan kehidupan sehari-hari, melalui okupasi; yang
memungkinkan seseorang untuk melakukan okupasi yang dapat mengembangkan
kesehatan dan “well being”; dan mampu berperan dengan tepat di masyarakat
sehingga semua orang dapat berpartisipasi dengan potensinya dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari (Canadian Association of Occupational Therapists, 2003).
Okupasi Terapi adalah satu-satunya profesi yang membantu orang di segala usia
untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan dan perlu lakukan melalui
penggunaan terapi kegiatan sehari-hari (okupasi) (American Occupational Therapists
Association, 2016) .
2.1.1. Penatalaksanaan Terapi Okupasi
Penatalaksanaan Terapi Okupasi diberikan ketika seorang individu mengalami
keterbatasan, penyakit fisik, gangguan psikososial, gangguan perkembangan,
gangguan belajar, proses penuaan dengan tujuan untuk memaksimalkan kemandirian,
mencegah ketidakmampuan, dan mempertahankan kesehatan. Penatalaksanaan
tersebut berupa assessment, treatment, dan evaluation. Pelayanan Terapi Okupasi
secara spesifik terdiri dari mengajarkan kemandirian dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari, mengembangkan keterampilan perseptual motor dan fungsi sensori,
mengembangkan keterampilan produktivitas, dan pengembangan pemanfaatan waktu
luang. Terapi Okupasi mendesain dan membuat atau memilih penggunaan alat bantu.
Pelayanan ini dapat diberikan secara individu, kelompok atau sosial. Penatalaksanaan
Terapi Okupasi dapat dilaksanakan di rumah sakit, pusat pelayanan kesehatan, rumah,
industri, dan sekolah. Hasil yang dicapai dari penatalaksanaan Terapi Okupasi adalah
memberikan kesempatan pada individu untuk melakukan sesuatu yang akan
meningkatkan kemampuan atau dengan memodifikasi lingkungan untuk memberikan
dukungan yang terbaik (WFOT, 2012)

2.1.2. Peran Terapi Okupasi pada Kasus Psikososial


Peran Terapi Okupasi dalam menangani kasus pasien dengan masalah
gangguan kejiwaan, yaitu dilihat dari area berikut:
a. Motorik
Terapi Okupasi berperan dalam meningkatkan koordinasi motorik kasar dan
meningkatkan kemampuan motor planning sehingga dapat menurunkan
kekakuan tubuh, memperbaiki postur dan keseimbangan, menormalkan pola
jalan serta meningkatkan kemampuan gerakan yang disadari selama aktivitas.
b. Sensori
Terapi Okupasi berperan dalam meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan
pasien terhadap stimulus-stimulus seperti taktil, proprioseptif, vestibular,
visual, auditori, dan stimulus lainnya.
c. Kognitif
Terapi Okupasi dapat melatih kemampuan kognitif dasar seperti atensi,
orientasi, dan memori, selanjutnya dapat mengajarkan individu dalam
meningkatkan kemampuan fungsi kognitif lanjutan seperti problem solving,
reasoning, formasi konsep, dan fungsi eksekutif. Terapi Okupasi dapat
melatih kemampuan pengambilan keputusan untuk mengajarkan cara coping
mechanism. Okupasi Terapis juga berperan dalam meningkatkan kemampuan
dalam berkomunikasi.
d. Intrapersonal
Okupasi Terapis menurunkan perilaku depresi pasien, memberikan pelatihan
kehidupan nyata serta meningkatkan self-esteem dan self-image melalui
prestasi pasien.
e. Interpersonal
Okupasi Terapis memberikan kesempatan untuk bekerja kooperatif dalam
bentuk kelompok dan berpartisipasi dalam komunitas sehingga dapat
membentuk rasa percaya diri dan dihargai oleh orang lain.
f. Perawatan diri
Terapi Okupasi mendorong individu dengan gangguan jiwa untuk
memperhatikan kebersihan pribadi, termasuk cara makan, mandi, berdandan,
hygiene oral, buang air besar (BAB)/ buang air kecil (BAK), dan berpakaian
secara mandiri.
g. Produktivitas
Terapi Okupasi dapat memperbaiki kebiasaan dan kemampuan kerja pasien
dengan modifikasi cara dan lingkungan kerja pasien agar lebih produktif.
h. Leisure
Terapi Okupasi memberikan konseling waktu luang dan penyediaan aktivitas
yang dapat meningkatkan perasaan senang (Reed KL, 2001)
2.2. Konsep Perilaku
2.2.1. Pengertian
Perilaku manusia adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri
(Notoatmodjo, 2007). Secara operasional perilaku dapat diartikan suatu respon
organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut. Perilaku
dapat diartikan sebagai suatu aksi reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku
baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi yakni
yang disebut rangsangan. Rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau
perilaku tertentu. Perilaku dapat juga diartikan sebagai aktivitas manusia yang timbul
karena adanya stimulasi dan respons serta dapat diamati secara langsung maupun
tidak langsung (Notoatmodjo, 2007).

2.2.2. Bentuk Perilaku


Menurut Notoatmodjo (2007), dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus,
maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua.
a. Perilaku tertutup (covert behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam
bentuk terselubung atau tertutup. Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan sikap yang
terjadi pada seseorang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati
secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau
praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain.

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku


Menurut teori Lawrance Green dan kawan-kawan (dalam Notoatmodjo, 2007)
menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor
perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behaviour causes).
Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu:
a. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
1. Pengetahuan
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang
didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku
tersebut akan bersifat langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang dalam hal ini
pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan
(Notoadmojo, 2007).
2. Sikap
Menurut Zimbardo dan Ebbesen, sikap adalah suatu predisposisi (keadaan
mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau obyek yang berisi
komponen-komponen cognitive, affective dan behavior (dalam Linggasari,
2008). Terdapat tiga komponen sikap, sehubungan dengan faktor-faktor
lingkungan kerja, sebagai berikut :
a. Afeksi (affect) yang merupakan komponen emosional atau perasaan.
b. Kognisi adalah keyakinan evaluatif seseorang. Keyakinan-keyakinan
evaluatif, dimanifestasi dalam bentuk impresi atau kesan baik atau buruk
yang dimiliki seseorang terhadap objek atau orang tertentu.
c. Perilaku, yaitu sebuah sikap berhubungan dengan kecenderungan
seseorang untuk bertindak terhadap seseorang atau hal tertentu dengan
cara tertentu (Winardi, 2004).
Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:
menerima (receiving), menerima diartikan bahwa subjek mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan.Merespon (responding), memberikan jawaban apabila
ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi
dari sikap. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Bertanggung
jawab (responsible), bertanggungjawab atas segala suatu yang telah dipilihnya
dengan segala risiko merupakan sikap yang memiliki tingkatan paling tinggi
(Notoatmodjo, 2007).
b. Faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup lingkungan fisik, tersedia
atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana keselamatan kerja,
misalnya ketersedianya alat pendukung, pelatihan dan sebagainya.
c. Faktor penguat (reinforcement factor), faktor-faktor ini meliputi undang-undang,
peraturan-peraturan, pengawasan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

2.2.4. Domain Perilaku


Domain perilaku kesehatan menurut Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo
(2007) terdiri dari 1) pengetahuan, 2) sikap dan 3) psikomotor :
a. Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan merupakan nilai dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap subyek tertentu (Notoatmodjo, 2007).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan:


Menurut Lukman yang dikutip oleh Hendra (2008), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pengetahuan, yaitu:
a. Umur
Singgih (1998 dalam Hendra, 2008), mengemukakan bahwa makin tua
umur seseorang maka proses-proses perkembangan mentalnya bertambah
baik, akan tetapi pada umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan
mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun. Selain itu
Abu Ahmadi (2001), juga mengemukakan bahwa memang daya ingat
seseorang itu salah satunya dipengaruhi oleh umur. Dari uraian ini, maka
dapat kita simpulkan bahwa bertambahnya umur seseorang dapat
berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan
tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan
penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang.
b. Intelegensi
Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan berfikir
abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru.
Intelegensi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari
proses belajar. Intelegensi bagi seseorang merupakan salah satu model
untuk berfikir dan mengolah berbagai informasi secara terarah sehingga ia
mampu menguasai lingkungan (Khayan, 1997). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa perbedaan intelegensi dari seseorang akan berpengaruh
pula terhadap tingkat pengetahuan.
c. Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan
seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi seseorang,
dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baik dan juga hal-hal
yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam lingkungan
seseorang akan memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh pada cara
berfikir seseorang (Nasution, dalam Hendra, 2008).
d. Sosial Budaya
Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang.
Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan
orang lain, karena hubungan ini seeorang mengalami suatu proses belajar
dan memperoleh suatu pengetahuan.
e. Pendidikan
Menurut Notoatmodjo (2007), pendidikan adalah suatu kegiatan atau
proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan
kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri.
f. Informasi
Menurut Wied Hary A (1996 dalam Hendra, 2007), informasi akan
memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang
memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi
yang baik dari berbagai media misalnya TV, radio atau surat kabar maka
hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.
g. Pengalaman
Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah tersebut dapat diartikan
bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu
suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu
pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh
pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali
pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapi pada masa lalu (Notoadmojo, 2007).

3. Tingkatan pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007), tingkatan pengetahuan


terdiri dari:
a. Mengenal (Recognition) dan mengingat kembali (Recall), diartikan sebagai
kemampuan mengingat kembali sesuatu yang pernah diketahui sehingga
bisa memilih dua atau lebih jawaban.
b. Pemahaman (Comprehension) merupakan sesuatu kemampuan untuk
memahamitentang suatu objek atau materi.
c. Penerapan (Aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk menerapkan
secara benar sesuatu hal yang diketahui dalam situasi yang sebenarnya.
d. Analisis (Analysis) diartikan sebagai kemampuan untuk menyebarkan
materi atau objek ke dalam suatu struktur dan masih kaitannya satu sama
lain.
e. Sintesis (Syntesis) diartikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan
bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain
sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi.
f. Evaluasi (Evaluation) diartikan sebagai kemampuan penilaian terhadap
suatu objek atau materi.

4. Cara memperoleh pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007) cara


memperolehpengetahuan dibagi menjadi dua yaitu:
a) Cara tradisional
1. Cara coba-coba (Trial and error)
Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan
masalah dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil dicoba
kemungkinan yang lain. Apabila kemungkinan kedua ini gagal, dicoba
kemungkinan ketiga dan seterusnya sampai masalah tersebut
terpecahkan. Itulah sebabnya maka cara ini disebut trial (coba) dan
error (gagal).
2. Cara kekuasaan atau otoritas
Pada prinsipnya adalah orang lain menerima pendapat yang
dikemukakan orang yang mempunyai otoritas tanpa terlebih dahulu
menguji atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan empiris
atau berdasarkan penalaran sendiri. Hal ini disebabkan karena orang
yang menerima pendapat tersebut menganggap bahwa apa yang
dikemukakannya adalah sudah benar.
3. Pengalaman pribadi
Pengalaman adalah guru yang terbaik, demikianlah bunyi pepatah.
Pepatah ini mengandung maksud bahwa pengalaman ini merupakan
suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan oleh sebab itu
pengetahuan pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh
pengetahuan.
4. Melalui jalan pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia cara-cara
berpikir manusia pun ikut berkembang. Dalam memperoleh
pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya.
b) Cara modern
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini
lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut penelitian atau populer
disebut metode penelitian

5. Cara mengukur pengetahuan


Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur
dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas (Notoatmodjo,
2005). Cara mengukur tingkat pengetahuan dengan memberikan pertanyaan-
pertanyaan, kemudahan dilakukan penilaian nilai 1 untuk jawaban benar dan
nilai 0 untuk jawaban salah.
Menurut Arikunto (2003) tingkat pengetahuan dapat ditentukan dengan kriteria
: a) Baik jika menguasai materi ≥ 76 -100%
b) Cukup jika meguasai materi ≥ 56-75%
c) Kurang jika menguasai materi < 56%

b. Sikap (attitude)
1) Pengertian
Sikap adalah respon tertutup seorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik
yang bersifat intern maupun ekstern, sehingga manifestasinya tidak dapat
langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku
yang tertutup tersebut. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian
respons terhadap stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007).
2) Tingkatan sikap Menurut Notoatmodjo (2007), sikap terdiri dari beberapa
tingkatan yaitu:
a. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan.
b. Merespons (Responding)
Memberi jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang
lain terhadap suatu masalah atau suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggungjawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
risiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

3) Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap Menurut Azwar (1995),


faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap adalah
pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media
massa, lembaga pendidikan dan agama dan faktor emosi dalam diri.
a. Pengalaman pribadi
Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang
melibatkan emosi, pengahayatan akan pengalaman akan lebih mendalam
dan lebih lama berbekas. Tidak adanya pengalaman pribadi sama sekali
dengan suatu obyek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif
terhadap obyek tersebut.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial
yang ikut mempengaruhi sikap. Pada umumnya, individu cenderung untuk
memiliki sikap yang searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting.
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari
konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan sikap kita. Tanpa kita sadari, kebudayaan telah
menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah.
Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena
kebudayaan pulalah kita memberi corak pengalaman individu-individu yang
menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya. Hanya kepribadian
individu yang telah mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominasi
kebudayaan dalam pembentukan sikap individual.
d. Media massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi,
radio, surat kabar, majalah mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan
opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas
pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti
yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru, mengenai
sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap
terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi
tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai
sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan
dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan
baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-
ajarannya. Hal ini dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat
menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada
gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap
individu terhadap sesuatu hal.
f. Faktor emosi dalam diri
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap
merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan
ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera
berlalu begitu frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap
yang lebih persisten dan bertahan lama.

4) Pengukuran sikap
Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara
langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat dan pernyataan responden
terhadap suatu obyek. Menurut Azwar (1995), pengukuran sikap dilakukan
dengan menggunakan model likert, yang dikenal dengan summated rating
method. Skala ini juga menggunakan pernyataan-pernyataan dengan lima
aternatif jawaban atau tanggapan atas pernyataan-pernyataan tersebut. Subyek
yang diteliti diminta untuk memilih satu dari lima alternatif jawaban yang
dikemukakan oleh Likert yaitu:
a) Sangat setuju (strongly approve)
b) Setuju (Approve)
c) Ragu-ragu (Undecide)
d) Tidak setuju (Disapprove)
e) Sangat tidak setuju (Strongly Disapprove)
c. Praktik/Tindakan
1) Pengertian
Keterampilan merupakan salah satu domain dari perilaku setelah pengetahuan
dan sikap (Notoatmodjo, 2007). Seperti telah disebutkan diatas bahwa sikap
adalah kecendrungan untuk bertindak (practice). Sikap belum tentu terwujud
dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya suatu tindakan perlu faktor lain
seperti fasilitas dan sarana prasarana.

2) Tingkatan praktik
Menurut Notoatmodjo (2007), adapun tingkatan praktek sebagai berikut:
a. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
b. Respons Terpimpin (Guided Response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
c. Mekanisme (Mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktek tingkat tiga.
d. Adaptasi (Adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya tindakan ini sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.

3) Pengukuran psikomotor
Menurut Notoatmodjo (2007), pengukuran psikomotor dilakukan dengan
pengamatan (observasi), namun dapat dilakukan pula dengan dengan
pendekatan recall atau mengingat kembali perilaku yang telah dilakukan oleh
responden beberapa waktu yang lalu.

2.2.5 Pembentukan dan Perubahan Perilaku


Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan
perubahan individu. Karena perubahan perilaku, adalah merupakan tujuan dari
pendidikan dan penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program kesehatan lainnya.
Teori tentang perubahan perilaku antara lain :
a. Teori Stimulus Organisme Merespons
Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku
tergantung pada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan
organisme. Artinya kualitas dari sumber komunikasi misalnya kredibilitas,
kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan perubahan perilaku seseorang,
kelompok atau masyarakat. Perubahan perilaku lainnya dapat terjadi bila stimulus
yang diberikan benar-benar melebihi stimulus semula. Stimulus yang dapat
melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat
menyakinkan organisme (Notoatmodjo, 2007).
b. Teori Kurt Lewin Kurt Lewin berpendapat bahwa perilaku manusia merupakan
keadaan yang seimbang antara kekuatan penahan dan kekuatan pendorong.
Perilaku dapat berubah bila ada ketidakseimbangan antar kekuatan tersebut,
sehingga ada tiga kemungkinan yang terjadi antara lain:
1) Meningkatkan kekuatan pendorong.
Hal ini terjadi karena adanya stimulus yang menyebabkan perubahan perilaku.
Dapat berupa informasi dan penyuluhan sehubungan dengan perilaku yang
bersangkutan.
2) Menurunnya kekuatan penahan. Hal ini terjadi karena adanya stimulus yang
memperlemah kekuatan penahan tersebut.
3) Meningkatnya kekuatan pendorong dan melemahnya kekuatan penahan
(Notoatmodjo, 2007).
2.3. Konsep Skizofrenia

2.3.1. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu


gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Sadock, 2003).

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu
gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan
pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam
perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan,
‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak
acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif

2.3.2. Epidemiologi

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai


daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di
seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya
onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki biasanya
gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada
perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi
pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan
daerah rural (Sadock, 2003).

Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, terutama


ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan nikotin.
Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang. Bunuh diri
merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari
pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri (Kazadi, 2008).

Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia


prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan
diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa ketidaksepakatan tentang
distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan, perbedaan di antara kedua
jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas. Onset untuk perempuan lebih
rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan risiko
onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang mengalami
skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki (Durand,
2007).

2.3.3. Etiologi

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab


skizofrenia, antara lain :

a. Faktor Genetik
Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga
penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi
saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan
salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua
menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi
kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang
disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin
disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di
seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat
keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai
berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan
semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand
& Barlow, 2007).
b. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang
disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron
berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia
berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagianbagian
tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja
tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin
dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan (Durand, 2007).
c. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama
semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang
tuaanak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga
(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic
mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang
memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab
skizofrenia pada anak-anaknya (Durand & Barlow, 2007).
Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga
pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan
kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak
memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak
terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan
anjuran yang dibutuhkannya.
2.3.4. Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.


Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa
fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual
(Sadock, 2003; Buchanan, 2005).

Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia, walaupun


gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia
yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti
dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai
beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah
(gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan
skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik,
seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan
(Sadock, 2003).

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis,
yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien
skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai
tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis
skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata
secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh
(Buchanan, 2005).

2.3.5. Tipe-tipe Skizofrenia

Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of Mental


Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation, 1980) dan
berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan DSM-IV-TR
(American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari
DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu
(Davison, 2006) :

a. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau
halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang
relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran,
atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan,
keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi
ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.
b. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau,
tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang
kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi
pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang
serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.
c. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang
dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang
berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia).
d. Tipe Undifferentiated
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan
perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator
skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi
yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang
berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti
mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.
e. Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia
tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti
keyakinankeyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar
yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi
menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.

2.3.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan terapi
psikososial.

a. Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi
dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan
bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan
gejalagejala skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine)
dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok
obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut
obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan,
tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat
tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi
penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak
relevan (Durand, 2007).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada
penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy
(ECT) diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah
menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan.
ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa,
termasuk skizofrenia.
Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin
memudar karena metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi
sebagian besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih
dilakukan hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi
dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien.
Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan
mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan
pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot
yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand, 2007).
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935,
dalam Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses
operasi primitif dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan
batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut
Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya,
khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950-
an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan
kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
b. Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton
dan menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan
pada pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan
ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai
pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian
yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi
ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan
sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling
memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta
diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi,
sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan
berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.
Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan
tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari
ungkapanungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh
kembali.
Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk
mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara
konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-
sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan caracara untuk
menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon
(Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga sangat
membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah
kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara
individual.
BAB 3
KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel penelitian

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang yang menyangkut


perubahan dari fisik, psikologis dan sosial budaya. Akibatnya dalam penatalaksanaan
pasien skizofrenia, ketiga faktor harus mendapat perhatian secara seimbang.
Pemberian terapi okupasi merupakan salah satu terapi kerja yang diberikan
yang akan mempengaruhi kesehatan pada pasien skizofrenia yang bermanfaat bagi
perkembangan jiwa maupun fisik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terapi
okupasi sebagai proses mengembalikan fungsi normal pada pasien skiozfrenia
sangatlah penting.
Kenyataan menunjukkan bahwa klien di Rumah Sakit Jiwa telah dilakukan
terapi khususnya terapi okupasi seperti menggambar, berkebun, membuat kerajinan
tangan namun ada beberapa klien yang susah unruk mengikuti perawatan yang
diberikan sehingga proses perawatan tidak bisa berjalan secara efektif dan
sepenuhnya kepada klien.
Terapi okupasi mempunyai peranan penting daam proses pemulihan klien di
Rumah sakit dimana tujuan terapi ini meminimalisasi interaksi pasien dengan
dunianya sendiri, mengeluarkan pikiran, perasaan, atau emosi yang selama ini
mempengaruhi perilaku yang tidak disadarinya, memberi motivasi dan memberikan
kegembiraan, hiburan serta mengalihkan perhatian pasien dari halusinasi yang
dialami sehingga pikiran pasien tidak terfokus dengan halusinasinya (Susana &
Hendarsih, 2011).
B. Kerangka Konsep
Berdasarkan teori tersebut diatas dan kenyataan yang ada maka peneliti dapat
meggambarkan konsep dalam penelitian ini:

Variabel Independent Variabel Dependent

Terapi Okupasi Perubahan Perilaku


pada Pasien
Skizofrenia

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep

C. Variabel Penelitian
1. Variabel independen atau variabel bebas, menjadi variable independen
yaitu Terapi Okupasi
2. Variabel dependen atau variable terikat, yang menjadi varibel dependen
yaitu perubahan perilaku pada pasien skizofrenia
D. Defenisi Operasional
1. Terapi Okupasi
Terapi Okupasi yaitu kegiatan yang dilakukan perawat terhadap pasien
skizofrenia dimana terapi tersebut bisa membuat perubahan perilaku pada
pasien skizfrenia
Cara Ukur : Observasi
Alat Ukur : Kuesioner keaktifan mengikuti terapi okupasi
Skala Ukur : Ordinal
Hasil Ukur : 1 Aktif (bila skor ≥ 15 benar)
0 Tidak Aktif (bila skor ≤ 15 benar)

2. Perubahan Perilaku Pasien Skizofrenia


Merupakan perubahan tingkah laku secara berangsur-angsur setelah
dilakukannya terapi okupasi
Cara Ukur : Observasi
Alat Ukur : Cheklis
Skala Ukur : Ordinal
Hasil Ukur : 1 baik (bila skor ≥ 15 benar)
0 kurang baik (bila skor ≤ 15 benar)

E. Hipotesis
Ada Hubungan Terapi Okupasi Terhadap Perubahan Perilaku Pasien Skizofrenia
Di Ruangan Manggis Dan Ruangan Salak RSJ Madani Palu

Anda mungkin juga menyukai