Anda di halaman 1dari 6

ALLAH BAPA, PENYATAAN DAN KARYANYA

PENDAHULUAN
Kata 'Allah` adalah dari bahasa Arab. Kata ini, di dalam
Alkitab, menunjuk pada 'Sang Pencipta` langit, bumi dan
segala isinya, termasuk manusia. Lembaga Alkitab Indonesia
(LAI) menerjemahkan kata 'Allah` dari kata Ibrani 'Elohim`.
Nama ini mau menjelaskan eksistensi Sang Pencipta, bahwa
Dia adalah 'Allah`; bukan manusia, malaikat atau suatu
makhluk lain. Jika kita membaca Alkitab. Maka di samping
kata 'Allah`, ada juga kata lain yang menunjuk pada "Sang
Pencipta" Misalnya, 'TUHAN Allah` yang diterjemahkan dari
kata Ibrani 'Yahweh Elohim (Kejadian 2 : 4b); 'TUHAN`
diterjemahkan dari kata Ibrani 'Yahweh` (Kejadian 6 : 7) dan
'Tuhan` yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani 'Adonay`. Kata
'Adonay` sesungguhnya adalah sebutan lain atau semacam
gelar untuk 'Yahweh`. Karena bagi orang Israel, kata
'Yahweh` adalah nama yang Mahasuci, sehingga tidak boleh
disebutkan dengan sembarangan. 'Jangan menyebut nama
TUHAN; Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN
akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya
dengan sembarangan.` (Keluaran 20:7) Oleh karena itu, setiap
kali orang Israel menemukan kata 'Yahweh` mereka akan
membacanya dengan 'Adonay` (Tuhan).
Pemakaian kata yang beragam, yang menunjuk pada Sang
Pencipta, tidak bertujuan untuk membuat kita bingung,
seolah-olah ada banyak Allah. Kita juga jangan
mempersoalkan nama mana yang asli dan benar. Sebab hanya
ada satu Allah, dan semua nama ataupun gelar yang
disebutkan di atas menunjuk kepada menunjuk pada Allah
yang satu itu. Keberagaman nama yang tampak hanya karena
para penulis Alkitab ingin memahami dan menyebut Allah
sesuai bahasa dan budayanya masing-masing.
Penjelasan ini penting karena belakang ini ada gerakan yang
menamakan diri Pengagungan Kembali Nama Yahweh
berusaha mempengaruhi warga jemaat. Gerakan ini
menganggap bahwa nama yang benar untuk Sang Pencipta
adalah Yahweh; bukan Allah. Menurut gerakan ini nama
'Allah` menunjuk pada 'sesembahan` umat Islam. Karena itu,
mereka berusaha untuk menggantikan nama 'Allah` di dalam
Alkitab dengan nama Yahweh. Padahal kita ketahui bahwa
kata 'Allah` sudah dipakai di dalam Alkitab sejak lama; lagi
pula kata 'Allah` sudah menjadi bahasa Indonesia.
Akan tetapi terkait dengan konteks di Indonesia, dan supaya
kita bisa hidup dan bekerja sama dengan sesama umat
beragama maka alangkah baiknya kita memakai kata
'TUHAN` sebagaimana juga disebutkan dalam Pancasila.

EKSISTENSI ALLAH
Alkitab menyaksikan bahwa pada mulanya, sebelum sesuatu
diciptakan, hanya ada Allah. 'Pada mulanya Allah
menciptakan langit dan bumi.` (Kejadian 1:1) Artinya, Allah
adalah Pribadi yang 'ADA` dan 'HADIR` sebelum segala
sesuatu ada. Oleh karena Allah 'Ada` dan 'Hadir' maka
pastilah Ia adalah Pribadi yang 'HIDUP`; bukan suatu benda
yang mati. Sebab suatu benda yang mati tidak akan mungkin
dapat menatakan eksistensi dan kehadirannya.
Eksistensi Allah dalam pribadai yang 'Ada`, 'Hadir` dan
'Hidup` - sebagai Terang, Roh dan Firman - membuat Allah
menjadi Pangkal, Penggerak, Penata dan Pencipta dari segala
yang ada, hidup dan bergerak di bumi. Sebagai 'Terang`,
Allah menerangi kegelapan. Sebagai 'Roh`, Allah
mempersiapkan segala sesuatu sebelum diciptakan. Sebagai
'Firman`, Allah menciptakan; bukan hanya dalam arti
menjadikan dari yang tidak ada menjadi ada, tetapi juga dalam
arti menata yang kacau-balau menjadi tertib dan teratur. (baca
Kejadian 1 : 1 - 3).

PENYATAAN ALLAH
Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk manusia, dengan
Firman-Nya (Kejadian 1:2,6,9,11,14,20, 24,25,29) dan
perbuatan tangan-Nya yang penuh kuasa (Kejadian 2:7,21-
22). Karena itu, Allah juga disebut Mahakuasa. Sebagai
Pencipta yang Mahakuasa, Allah berada di atas segala yang
diciptakan-Nya. Artinya, Allah bersifat 'transenden`;
mengatasi segala yang ada. Allah berada di tempat yang
tinggi, kudus dan mulia, sehingga tidak terhampiri oleh suatu
makhluk pun, termasuk manusia.
Keberadaan Allah yang transenden (tinggi dan mulia)
menyebabkan manusia tidak dapat dan tidak sanggup
mengenal Allah. Akan tetapi Allah mau menyatakan diri-Nya
agar dapat dikenal oleh manusia. Eksistensi dan keberadaan
Allah dinyatakan kepada manusia melalui karya ciptaan-Nya -
langit, bumi dan segala isinya, termasuk manusia, yang
diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (baca Kejadian
1 : 26 - 27). Artinya, segala ciptaan, termasuk manusia, adalah
penyataan diri Allah, yang melaluinya, manusia dapat
mengenal Allah dan mengakui kemahakuasaan dan
kekudusan-Nya, sehingga mau menyembah dan
mengagungkan-Nya.

KASIH DAN KE-BAPA-AN ALLAH


Pokok Pengakuan Iman Raasuli tentang Allah Bapa berbunyi;
'Aku percaya kepada Allah, Bapa yang mahakuasa. Pencipta
langit dan bumi.` Jelas, bahwa di dalam kemurkaan Allah
yang menghukum manusia berdosa, tampak juga ke-Bapa-an
Allah yang peduli dan mau terus memelihara bumi dan segala
isinya dengan penuh kasih dan kesabaran. Bahkan Allah juga
akan memulihkan dan membaharuinya.
Kasih dan ke-Bapa-an Allah nyata sejak penciptaan, khusus
melalui kepeduliaan dan pemeliharaan-Nya atas dunia
ciptaan-Nya, khusus kehidupan manusia. Ketika manusia
jatuh ke dalam dosa maka hubungan manusia bersama semua
ciptaan lainnya terputus dan terpisah jauh dari Allah. Sejak
itu, kehidupan manusia dan semua ciptaan lain di bumi
senantiasa terancam kehancuran karena dikuasai oleh dosa
yang membawa maut.
Allah sebagai pencipta dan pemilik tidak ingin bumi, khusus
manusia ciptaan-Nya hancur karena dosa dan maut. Allah
telah menghukum manusia, dan bahkan pernah merencanakan
untuk memusnahkan bumi dan segala isinya. Akan tetapi
kasih dan ke-Bapa-an Allah menggerakkan hati Allah untuk
menyelamatkan manusia dan bumi ciptaan-Nya, dan tidak
memusnahkan semuanya, sebab manusia adalah 'gambar`
Allah. Allah menyelamatkan Nuh dengan seisi bahteranya
serta menjadikannya umat baru (baca Kejadian 11).
Karya keselamatan Allah selanjutnya dinyatakan melalui
pemanggilan Abraham, dan karena Abraham taat pada
panggilan Allah maka Allah mengikat perjanjian keselamatan
dengan Abraham. Bahwa melalui Abraham dan keturunannya
(Israel dan Gereja), semua bangsa di bumi akan memperoleh
keselamatan karena berbalik dari dosanya dan mentaati
perintah Allah (baca Kejadian 12). Allah berkehendak bebas
untuk memanggil dan memilih siapa pun tanpa
memperhitungkan perbuatan baiknya. Allah memanggil dan
mengutus orang-orang pilihan-Nya, baik Bapa leluhur
(Abraham, Ishak dan Yakub), maupun Israel, termasuk para
nabi, guna diutus untuk melaksanakan rencana-Nya
menyelamatkan manusia dan seluruh ciptaan. Yang terpenting
adalah 'yang dipanggil` harus datang dan siap pergi ke mana
pun ia diutus untuk melakukan semua yang Allah perintahkan
dalam ketaatan pada kehendak-Nya.
Pemahaman Israel tetang Allah sebagai Bapa yang penuh
kasih merupakan sebuah tranformasi atau lompatan ide dan
keyakinan yang sangat maju di tengah pemahaman agama-
agama di sekitar Israel bahwa ilah atau dewa mereka sangat
kejam dan penuh angkara murka. Tidak mengherankan jika
ilah atau dewa harus didekati dan disembah dalam sikap takut
dan gentar. Akan tetapi karena Israel tidak mentaati perintah
Allah maka Israel jauh dari Allah dan selalu dijajah oleh
bangsa-bangsa lain. Israel merasa seolah-olah telah
kehilangan kasih dan ke-Bapa-an Allah. Israel pun berlaku
seperti bangsa-bangsa di sekitar yang memahami Allah
sebagai Pribadi yang kejam, dan berusaha mendekati Allah
dengan takut dan gentar. Meskipun begitu kasih dan ke-Bapa-
an Allah tidak pernah hilang dari Israel. Allah tetap mengasihi
Israel; selalu menjadi Bapa bagi Israel dan menganggap Israel
sebagai anak-anak-Nya. Hal ini berlangsung sampai pada
zaman Tuhan Yesus.
Tuhan Yesus memanggil Allah sebagai Bapa-Nya, dan
memahami diri-Nya sebagai Anak Allah karena dalam segala
hal, Tuhan Yesus selalu bertindak menurut kehendak Allah.
Tuhan Yesus berusaha memperkenalkan Allah sebagai Bapa
yang panjang sabar dan penuh kasih; seorang Bapa yang tidak
pernah membeda-bedakan kasih-Nya kepada semua orang
yang mau menjadi anak-anak-Nya, dan mengaku percaya
kepada-Nya sebagai Bapa. Itulah sebabnya juga maka Tuhan
Yesus mengajar kita untuk berdoa dan memanggil Allah
sebagai Bapa (Matius 6 : 9-13). Dengan perkataaan lain,
Tuhan Yesus mau memasukkan kita dalam suatu hubungan
yang baru dengan Allah; yaitu bahwa Allah adalah Bapa kita,
dan kita adalah anak-anak Allah karena percaya kepada Tuhan
Yesus. Itu berarti bahwa kita pun harus taat pada perintah dan
kehendak Allah, sebagaimana diteladankan oleh Tuhan Yesus.
Ketaatan kepada Allah akan membuat kita mendekati Allah
tidak lagi dengan sikap takut dan gentar, tetapi dengan sikap
hormat, patuh dan setia untuk melakukan kehendak Allah,
sehingga dapat merasakan kasih-Nya sebagai Bapa kita.
Pengakuan dan pemanggilan Allah sebagai Bapa yang penuh
kasih tidak serta merta menghilangkan kehangatan murka-Nya
untuk menghukum manusia jika berbuat dosa. Pengakuan dan
pemanggilan Allah sebagai Bapa mau menjelaskan bahwa di
dalam kasih-Nya kita akan temukan rahmat dan berkat-Nya;
dan di dalam kemurkaan dan penghukuman-Nya, kita akan
menemukan kasih dan pengampunan-Nya.
Oleh karena kita mengakui Allah sebagai Pencipta dan Bapa
kita maka kita memperoleh masa depan yang pasti; bukan
hanya diri kita saja tetapi juga seluruh ciptaan.

DAFTAR BUKU
1. Alkitab, 2003; LAI
2. Dogmatika Masa Kini, 1993; G.C.Niftrik & B.J.Boland
3. Institusio, Pengajaran Agama Kristen, BPK 1985; Yohanes
Calvin.
4. Iman Kristen, 1991; Harun Hadiwijono.
5. Pengantar Sejarah Dogmatika Kristen, 1989; Bernard
Lohse.

Anda mungkin juga menyukai