Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman/ RSJD Atma Husada Mahakam
SKIZOFRENIA PARANOID
oleh:
Wuri Noviar Hamdani
NIM. 1710029076
Pembimbing
dr. Eka Yuni N, Sp.KJ
1
Refleksi Kasus
Skizofrenia Paranoid
Menyetujui,
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas refleksi kasus tentang “Gangguan Somatoform”. Refleksi kasus ini
dibuat dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah
Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyapaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. H. Jaya Mu’alimin, Sp. KJ, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Eka Yuni N, Sp. KJ, selaku dosen pembimbing refeksi kasus.
5. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga pendidikan saat
ini.
6. Rekan sejawat Dokter Muda tim 44 dan 55 stase Ilmu Kesehatan Jiwa yang telah bersedia
memberikan saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
7. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan tutorial kasus ini, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga dapat bermanfaat
bagi penulis sendiri dan para pembaca.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
1. RIWAYAT PSIKIATRI
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 26 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SD
Nama : Tn. P
Hubungan : Suami
C. Resume Masuk
Pasien datang ke Poliklinik Jiwa RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda pada
tanggal 16 Agustus 2018 diantar oleh keluarga yaitu suami.
5
D. Riwayat Penyakit Sekarang
Autoanamnesis
Heteroanamnesis
6
1. Gangguan Mental dan Emosi
Pasien tidak memiliki gangguan mental dan emosi
2. Gangguan Psikosomatik
Pasien tidak memiliki gangguan psikosomatik
3. Kondisi Medis
Pasien tidak pernah di rawat dirumah sakit.
4. Gangguan Neurologi
Tidak ada gangguan neurologi
5. Riwayat Penyalahgunaan Zat
Pasien memilki riwayat penyalahgunaan zat yaitu Shabu-Shabu sekitar 5 tahun yang
lalu.
H. Gambaran Premorbid
Pasien dahulu memiliki pertama dengan suami sebelumnya. Pernikahan dengan suami
pertama berjalan kurang harmonis. Suami pertama sering bertengkar dengan pasien. Selain
itu, Pasien juga memiliki riwayat penggunaan Shabu-shabu (Metamfetamin).
I. Faktor Pencetus
Pasien akan mulai memiliki gangguan bila pasien ditinggal dengan suami bekerja.
Menengah
H. Riwayat pribadi
1. Masa kanak-kanak awal (0-3 tahun)
Riwayat prenatal, kehamilan ibu dan kelahiran
Pasien dikandung selama 9 bulan. Pasien lahir secara spontan pervaginam.
Berat dan panjang normal
Kebiasaan makan dan minum
7
Pasien mendapatkan ASI selama 2 tahun lebih. Dan tidak berbeda dengan
anak-anak yang lain.
Perkembangan awal
Pasien mengatakan bahwa tumbuh kembangnya normal sesuai usia. Tidak ada
terlambat bicara maupun berjalan.
2. Masa kanak-kanak pertengahan (3-11 tahun)
Pasien menghabiskan masa kanak-kanak bersama orang tuanya namun pada
tahun 1995 ayah pasien meninggal dan tahun 2005 ibu pasien meninggal. Pasien
hanya sekolah sampai SD saja.
3. Masa kanak-kanak akhir (pubertas sampai remaja)
Hubungan dengan teman sebaya
Pasien tidak suka bergaul dengan teman sebayanya hanya suka berdiam diri
dirumah.
Riwayat sekolah
Pasien memiliki riwayat pendidikan hanya sampai SD
Perkembangan kognitif dan motorik
Pasien dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah dengan baik dan
tidak ada masalah.
Masalah-masalah fisik dan emosi remaja yang utama
Pasien merasa tidak mempunyai masalah dengan teman dan keluarganya.
Latar belakang agama
Semua anggota keluarga pasien beragama Islam.
I. Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri Sangkulirang : Pasien tidak menyatakan adanya kelainan, pasien sering
berkelahi.
J. Riwayat Pekerjaan
K. Genogram
8
Keterangan :
Perempuan
Laki-laki
Pasien
L. Status Psikiatrik
1. Kesan umum
Pasien tampak lusuh, diam dan kooperatif.
2. Kontak
Verbal (+) dan visual (+)
3. Kesadaran
Komposmentis, Atensi (+), Orientasi tempat (+), waktu (+), orang (+)
4. Emosi
Mood stabil, Afek menyempit
5. Proses berpikir
Bentuk pikiran
- Produktivitas
Pembicaraan pasien linear
- Kelancaran berpikir
Jawaban penderita langsung, arus berpikir cepat dan sesuai.
- Gangguan bahasa
Tidak ada gangguan bahasa
Isi pikiran
Waham (+), koheren
9
6. Intelegensi
Ingatan
- Masa dahulu : Baik
- Masa kini : Baik
- Segera : Baik
Pengetahuan
Cukup baik dan sesuai dengan tingkat pendidikan terakhir
7. Persepsi
Halusinasi auditorik dan visual (+)
8. Kemauan/Voluticon
ADL Mandiri
9. Psikomotor
Tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kelainan
10. Tilikan
1 (pasien tidak menyadari sepenuhnya tentang apa yang terjadi pada dirinya dan
menolak untuk berobat).
10
Hepar / Lien : Tidak dievaluasi
Ekstremitas : luka (-), akral hangat, edema (-), hematoma (-)
2. Pemeriksaan Neurologi
Tidak dilakukan
N. Formulasi Diagnostik
Pasien mengaku bernama susanti tinggal di sangkulirang. Pasien merasa mendengar
suara-suara asing, sejak 3 tahun ini suara marah-marah.Pasien mengakui melihat
tembus pandang jarak jauh mata gaibnya dibuka. Lalu pasien juga mendengar suara
ditelinga suara anak kecil perasaan hingga membuat terganggu. Pasien jga sering
berkelahi dengan suami pertamanya setiap malam.
11
Menurut Suami pasien mengamuk-ngamuk, suka membakar pakaiannya sendiri,
membanting HP, Peralatan di sekitar kamar di banting dan suka bertelanjang diluar
rumah. Keluhan ini sudah dirasakan 1 bulan ini. Pasien memiliki riwayat memakai
obat-obatan terlarang dan bercerai dengan suami pertamanya. Keluhan ini
berlangsung pada saat suami bekerja diluar rumah dan terjadi terus-menerus.
Faktor pencetusnya adalah saat suaminya berangkat bekerja.
Pemeriksaan psikiatri menunjukkan kesan umum pasien tampak lusuh, diam dan
kooperatif. Kontak verbal dan visual baik. Kesadaran Atensi, orientasi waktu, orang
dan tempat juga tampak baik. Emosi pasien stabil dan afek terlihat menyempit. Proses
berpikir yang meliputi bentuk pikiran Produktivitas Pembicaraan pasien linear
Kelancaran berpikir jawaban penderita langsung, arus berpikir cepat dan sesuai.
Gangguan bahasa Tidak ada gangguan bahasa. Untuk proses berpikir tidak ada
waham. Persepsi pasien merasakan ada bisikan seperti ingin memarahinya dan
melihat tembus pandang secara jarak jauh. Kemauan dapat dilakukan sendiri.
Psikomotor terlihat Normal
O. Rencana Terapi
1. Farmakoterapi:
Risperidon 2 x 2 mg
2. Psikoterapi
Terapi pengendalian gejala negatif dari pasien Skizofrenia
P. Pembahasan
A. Diagnosis
Axis I : Skizofrenia Paranoid (F20.0)
Axis II : Gangguan kepribadian Skizoid
Axis III : Tidak ada diagnosis
Axis IV : Masalah dengan Suami pertama
Axis V : GAF scale 61-50
12
Diagnosis pada kasus ini adalah Skizofrenia Paranoid dikarenakan beberapa hal antara
lain:
B. Terapi
Psikofarmaka
Terapi yang dipilih adalah Risperidon 2 x 2 mg selama 7 hari. Risperidon
merupakan antipsikosis atipikat atau antipsikosis golongan II. Antipsikosis golongan
II merupakan obat yang memiliki efek untuk gejala negatif (lebih utama) maupun
gejala positif. Jika dibandingkan dengan antipsikosis golongan I, Risperidon
mempunyai efektivitas yang lebih baik dalam mengontrol gejala negatif dan positif.
Obat ini mempunyai afinitias tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2) dan
aktivitas menengah terhadap reseptor dopamin (D2), alpha 1 dan alpha 2 adrenergik,
serta histamin. Sindrom psikosis berkaitan dengan aktivitas neurotransmitter
Dopamine yang mengikat ( hiperreaktivitas sistem dopaminergik sentral), obat ini
dapat memblokade Dopamine pada reseptor pasca sinaptik neuron di otak, khususnya
di sistem limbik dan sistem Ekstrapiramidal (dopamine D2 receptor antagonis).
Dengan demikian obat ini efektif baik untuk gejala positif (halusinasi, gangguan
proses pikir) maupun gejala negatif (upaya pasien yang menarik diri dari lingkungan).
Risperidon dimetabolisme di hati dan dieksresi di urin. Dengan demikian perlu di
adakan pengawasan terhadap fungsi hati. Secara umum risperidon ditoleransi dengan
13
baik. Efek samping sedasi, otonomik, dan ekstrapiramidal sangat minimal
dibandingkan obat antipsikotik tipikal. Dosis anjuran 2-6 mg/hari.
Psikoterapi
Psikoterapi yang dianjurkan setelah pasien tenang dengan pemberian
dukungan pada pasien dan keluarga agar mempercepat penyembuhan pasien dan
diperlukan rehabilitasi yang disesuaikan dengan psikiatrik serta minat dan bakat
penderita sehingga bisa dipilih metode yang sesuai untuk pasien tersebut.
Q. Prognosis
Dubia ad sanam
R. Home Visit
Tidak dilakukan home visit dikarenakan rumah pasien berada di sangkulirang kutai timur
dan hanya di lakukan wawancara melalui telpon:
1. Pasien lebih suka menyendiri dirumah daripada bergaul dengan orang sekitar dan keluarg
2. pasien suka mengamuk, bertelanjang, membakar pakaian dan membanting peralatan rumah
jika suami tidak berada dirumah.
4. Pasien pernah menikah sebelumnya dengan suami pertamanya dan selalu bertengkar.
14
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat
yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Maslim,
2013).Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan penilaian
realita (waham dan halusinansi) (Kemenkes RI, 2015). Hampir 1% penduduk didunia
menderita skizofrenia selama hidup mereka. Awitan pada laki-laki biasanya antara umur 15-
25 tahun dan pada perempuan antara 25-35 tahun (Amir, 2015).
2.2 Diagnosis
Menurut DSM-V, kriteria diagnosis skizofrenia sebagai berikut(Maslim, 2013):
A. Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masing-masing terjadi dalam kurun
waktu yang signifikan selama 1 bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati).
Paling tidak salah satu harus ada (delusi), (halusinasi), atau (bicara kacau) :
1. Delusi/waham
2. Halusinasi
3. Bicara kacau (sering melantur atau inkoherensi)
4. Perilaku yang sangat kacau atau katatonik
5. Gejala negatif (ekspresi emosi yang berkurang atau kehilangan minat)
B. Selama kurun waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat satu atau
lebih disfungsi pada area fungsi utama; seperti pekerjaan, hubungan interpersonal,
atau perawatan diri, yang berada jauh dibawah tingkat yang dicapai sebelum
awitan (atau jika awitan pada masa anak-anak atau remaja, ada kegagalan untuk
mencapai beberapa tingkat pencapaian hubungan interpersonal, akademik, atau
pekerjaanyang diharapkan)
C. Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan. Periode 6 bulan
ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang bila telah berhasil
diobati) yang memenuhi kriteria A (seperti Gejala fase aktif) dan dapat mencakup
periode gejala prodromal atau residual. Selama periode gejala prodromal atau
residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala negatif saja atau
15
2 atau lebih gejala yang terdaftar dalam kriteria A yang muncul dalam bentuk
yang lebih lemah (keyakinan aneh, pengalaman perseptual yang tidak lazim)
D. Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan ciri psikotik
telah disingkirkan baik karena :
1. Tidak ada episode depresif manik, atau campuran mayor yang terjadi
bersamaan dengan gejala fase aktif
2. Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif durasi totalnya relatif
singkat dibandingkan durasi periode aktif residual
E. Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (obat yang
disalahgunaan, obat medis)atau kondisi medis umum.
F. Jika terdapat riwayat gangguan autis atau keterlambatan perkembangan global
lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat bila waham atau halusinasi
yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu bulan (atau kurang bila telah
berhasil diobati).
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (biasanya 2 gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas).
a) Isi Pikiran
- Thought Echo.
Isi pikiran dirinya sendiri yang berulang dan bergema dalam kepalanya (tidak
keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya
berbeda.
- Thought Broadcasting.
Isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.
b) Delusi
- Delusion of Control.
Waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar.
16
- Deluasions of Influence.
Waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar.
- Delusions of Passivity.
Waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan
dari luar. "Tentang dirinya" artinya secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus).
- Delusional Perception.
Pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi
dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c) Halusinasi Auditorik.
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
penderita.
- Mendiskusikan perihal penderita di antara mereka sendiri (di antara
berbagai suara yang berbicara)
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d) Waham yang menurut budaya dianggap tidak wajar
Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa
(misalnya mampu mengendalikan cuaca, berkomunikasi dengan makhluk
asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit terdapat 2 (dua) gejala di bawah ini yang harus selalu ada
secara jelas.
e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengembang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide yang berlebihan (overvalued
ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-
minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan atau neologisme.
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
17
h) Gejala-gejala "negatif", seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial. Tetapi, harus jelas bahwa
semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal.
Harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat
sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri
secara sosial.
A. Klasifikasi
1. Skizofrenia Paranoid (F 20.0)
Pedoman Diagnostik
19
1) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)
2) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
3) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)
4) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan ke
arah berlawanan)
5) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan diri)
6) Flexibilitas cerea (mempertahankan anggora gerak dan tubuh dalam
posisi yang dapat dibentuk dari luar)
7) Gejala-gejala lain seperti “komen, automatism” (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-
kalimat
c. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting
untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik
untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak,
gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif
20
a. Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:
1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya), dan
3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu
paling sedikit 2 minggu
b. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi
Episode Depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol,
diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F 20.0 –
F 20.3)
21
a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari:
1. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.
2. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna bermanifestasi
sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa
tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya
8. Skizofrenia lainnya (F20.8) dan Skizofrenia YTT (F20.9)
Waham merupakan satu-satunya ciri klinis yang khas atau gejala yang paling menonjol.
Waham tersebut harus sudah ada sedikitnya tiga bulan lamanya dan harus bersifat khas
pribadi bukan budaya setempat.
22
Gejala depresif atau bahkan suatu episode depresif lengkap mungkin terjadi secara
intermitten, dengan syarat bahwa waham-waham tersebut menetap pada saat-saatp tidak
terdapat gangguan afektif itu.
Tidak boleh ada bukti-bukti tentang adanya penyakit otak.
Tidak boleh ada halusinasi auditorik atau hanya kadang-kadang saja ada dan bersifat
sementara.
Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham dikendalikan, siar pikiran,
penumpukan afek, dsb)
2.4. Tatalaksana
Farmakoterapi
Terapi farmakologi harus segera diberikan kepada ODS dengan agitasi akut
karena agitasi, baik pada episode pertama maupun eksaserbasi akut, berkaitan dengan
penderitaan, mengganggu kehidupan ODS, berisiko melukai diri sendiri, orang lain, dan
merusak benda-benda. Walaupun demikian, terapi yang diberikan jangan sampai
memengaruhi penilaian terhadap diagnosis.
Aliansi terapetik dapat meningkat bila dokter dan ODS, secara bersama-sama,
bisa mengidentifikasi target gejala, misalnya ansietas, gangguan tidur, halusinasi dan waham
23
yang secara subjektif merupakan penderitaan bagi ODS. Selain itu, ODS dapat pula
mengalami defisit atensi dan kognitif lainnya yang sering menjadi lebih berat ketika
eksaserbasi akut. Gejala-gejala ini dapat dijadikan alasan untuk mendorong ODS bersedia
menerima pengobatan. Pemberian edukasi kepada ODS bahwa antipsikotika berfungsi
mengatasi gejala-gejala yang dideritanya, dapat meningkatkan aliansi terapetik, pada keadaan
akut. Jadi, klinikus dapat mencari gejala yang mengganggu ODS (dengan menanyakan
kepada ODS) dan kemudian meyakinkan ODS bahwa obat dapat mengatasi gejala tersebut.
Kiat ini dapat membantu untuk membangun aliansi terapetik.
Obat APG-I
Injeksi APG-I sering digunakan untuk mengatasi agitasi akut pada skizofrenia. Kerja
obat ini sangat cepat. Walaupun demikian, ada beberapa efek samping yang sering dikaitkan
dengan injeksi APG-I, misalnya distonia akut dan pemanjangan QTc. Efek samping ini dapat
menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan.
Obat APG-II
Obat APG-II, baik oral maupun injeksi, bermanfaat dalam mengendalikan agitasi
pada fase akut skizofrenia. Selain itu, tolerabilitas dan keamanannya lebih baik bila
dibandingkan dengan APG-I. Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat injeksi jangka
pendek APG-II, misalnya olanzapin, aripiprazol, dan ziprasidon efektif mengontrol agitasi
pada fase akut skizofrenia.
Saat ini, tersedia beberapa injeksi APG-II dengan efek samping akut minimal.
Meminimalkan efek samping akut, misalnya distonia akut, dapat meningkatkan penerimaan
ODS terhadap pengobatan dan keinginan ODS melanjutkan terapi antipsikotika.
24
Inisiasi cepat pada terapi emergensi diperlukan bila ODS memperlihatkan perilaku
agresif terhadap dirinya, orang lain atau objek. Ketika ODS di dalam ruangan gawat darurat,
unit perawatan, atau fasilitas terapi akut lainnya, protokol standar operasional baku untuk
mengatasi keadaan akut yang tersedia harus diikuti agar terapi yang diberikan sesuai dengan
yang diharapkan.
Sebagian besar ODS dalam fase akut, biasanya memperlihatkan ketakutan dan
kebingungan. Oleh karena itu, keterlibatan beberapa petugas pada intervensi pertama sangat
diperlukan. Petugas rumah sakit harus berbicara kepada ODS dan berusaha menenangkannya.
Usaha menenangkan ODS harus dilakukan terlebih dahulu. Apabila gagal menenangkan
ODS, mengisolasi atau mengikat ODS dapat dilakukan. Pengikatan ODS hanya dilakukan
oleh tim yang sudah terlatih. Tindakan pengikatan ODS bertujuan untuk mengurangi risiko
ODS melukai dirinya atau petugas lainnya. Oleh karena itu, pengikatan jangan sampai
melukai ODS.
Sebagian besar ODS memilih penggunaan obat secara oral. Jika ODS bersedia
menggunakan obat oral, bentuk sediaan yang cepat larut (olanzapin dan risperdon), dapat
digunakan untuk mendapatkan efek yang lebih cepat dan mengurangi ketidakpatuhan. Selain
itu, formula dalam bentuk cair, misalnya risperidon dalam bentuk cair juga bermanfaat untuk
mengatasi agitasi akut. Apabila ODS tidak bersedia menggunakan obat oral, pemberian obat
injeksi dapat dilakukan meskipun ODS menolak. Jadi, tawaran penggunaan obat oral
merupakan usaha pertama yang dilakukan untuk mengatasi keadaan agitasi.
25
Titrasi dosis harus dilakukan dengan cepat, hingga mencapai target dosis terapetik.
Walaupun demikian, kemampuan toleransi ODS terhadap obat yang diberikan, harus pula
dipertimbangkan. Apabila ada efek samping yang tidak nyaman, pemantauan status klinik
ODS selama 2-4 mingggu perlu dilakukan untuk mengevaluasi respon ODS terhadap
pengobatan. Pada ODS yang responnya lambat, klinikus harus lebih bersabar dalam
meningkatkan dosis. Dengan kata lain, peningkatan dosis yang cepat harus dihindari. Bila
tidak ada perbaikan, perlu dilakukan evaluasi kemungkinan adanya ketidakpatuhan terhadap
pengobatan, cepatnya metabolisme, atau buruknya absorbsi obat.
Obat tambahan sering pula diberikan untuk mengatasi komorbiditas pada fase akut.
Misalnya, benzodiazepin sering digunakan untuk mengatasi katatonia, ansietas, dan agitasi
hingga efek terapetik antipsikotika tercapai. Antidepresan dapat pula dipertimbangkan untuk
mengobati komorbiditas dengan depresi mayor atau dengan gangguan obsesifkompulsif.
Walaupun demikian, kewaspadaan terjadinya eksaserbasi psikotik akibat pemberian
antidepresan perlu pula ditingkatkan. Stabilisator mood dan beta-bloker dapat pula
dipertimbangkan untuk mengurangi beratnya rekuren hostilitas dan agresi. Terjadinya
interaksi obat perlu diperhatikan terutama yang terkait dengan ensim sitokrom P450.
26
Butirofenon
Haloperidol 5-20 21
Lainnya
Loksapin 30-100 4
Antipsikotik
Generasi II
Aripiprazol 10-30 75
Klozapin 150-600 12
Olanzapin 10-30 33
Quetiapin 300-800 6
Risperidon 2-8 24
27
Obat EPS/ Peningkatan Pertambahan Abnormalitas Abnormalitas Pemanjangan Sedasi Hipotensi Efek Samping
Diskensia Prolaktin Berat Badan Glukosa Lipid QTc Antikolinergik
Tardiva
Thioridazin + ++ + +? +? +++ ++ ++ ++
Perfenazin ++ ++ + +? +? 0 + + 0
Haloperidol +++ +++ + 0 0 0 ++ 0 0
Klozapin 0 0 +++ +++ +++ 0 +++ +++ +++
Risperidon + +++ ++ ++ ++ + + + 0
Olanzapin 0 0 +++ +++ +++ 0 + + ++
Quetiapin 0 0 ++ ++ ++ 0 ++ ++ 0
Aripripazol 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 = Tidak ada risiko atau jarang menimbulkan efek samping pada dosis terapeutik. + = Ringan atau sesekali menyebabkan efek samping pada
dosis terapeutik. ++ = Kadang-kadang menyebabkan efek samping pada dosis terapeutik. +++ = Sering menyebabkan efek samping pada dosis
terapeutik. ? = Data terlalu terbatas untuk memberikan penilaian dengan yakin.
28
Penatalaksanaan Efek Samping
Bila terjadi efek samping sindroma ekstrapiramidal, misalnya distonia akut, akathisia atau
parkinsonisme, terlebih dahulu dilakukan penurunan dosis. Bila tidak dapat ditanggulangi,
diberikan obat-obat antikolinergik, misalnya triheksifenidil, benztropin, sulfas atropin, atau
difenhidramin injeksi IM atau IV. Obat yang paling sering digunakan adalah triheksifenidil
dengan dosis 3 kali 2 mg per hari. Bila tetap tidak berhasil mengatasi efek samping tersebut
disarankan untuk mengganti jenis antipsikotika yang digunakan ke golongan APG-II yang
lebih sedikit kemungkinannya mengakibatkan efek samping ekstrapiramidal. Tabel di bawah
ini adalah obat yang sering digunakan untuk mengatasi efek samping ekstrapiramidal. Obat-
obat antikholinergik tersebut tidak perlu diberikan secara rutin atau untuk tujuan pencegahan
efek samping ekstrapiramidal, karena munculnya efek samping bersifat individual. Obat
antikholinergik perlu diberikan hanya bila terjadi efek samping ekstrapiramidal.
Kondisi SNM memerlukan penatalaksanaan segera atau emergensi karena SNM merupakan
kondisi akut yang mengancam kehidupan. Dalam kondisi ini maka semua penggunaan
antipsikotika harus dihentikan. Lakukan terapi simtomatik, perhatikan keseimbangan cairan
dan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, temperatur, pernafasan dan kesadaran). Obat-obat
yang perlu diberikan dalam kondisi kritis adalah;
29
• Untuk relaksasi otot dapat diberikan dantrolen dengan dosis 0,8 – 2,5mg/kgBB/hr,
intravena, dengan dosis maksimal 10 mg/hari. Bila telah bisa per oral, dapat diberikan tablet
dantrolen 100-200mg/hari.
Untuk diskinesia tardiva, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut;
3. Hati-hati pemakaian untuk pasien anak-anak, orang tua, dan pasien-pasien dengan
gangguan mood
4. Lakukan evaluasi rutin terhadap adanya gejala-gejala diskinesia tardiva dan catat hasilnya
pada rekam medis pasien
5. Bila ditemukan adanya gejala-gejala diskinesia tardiva turunkan dosis antipsikotika dan
minta informed consent.
6. Bila gejala psikotik tidak bisa diatasi dengan penurunan dosis obat antipsikotika atau
bahkan memburuk, hentikan obat dan ganti dengan golongan APG-II terutama klozapin.
Terapi Psikososial
Terapi perilaku. Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri
sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong
dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak
istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh
aneh dapat diturunkan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
30
(setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota
keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia
untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut
berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang keparahan
penyakitnya
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia tanpa menjadi
terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah
efektifdalam menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan angka relaps
adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 %
dengan terapi keluarga (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
Terapi kelompok. Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi
secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok
efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes
realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya
dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia (Kaplan,
Sadock, & Grebb, 2010).
Psikoterapi individual. Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi
individual dalam pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah membantu
dan menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi bagi
pasien skizofrenia adalah perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien
sebagai aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak
emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang
diinterpretasikan oleh pasien (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
Pada kasus ini, pasien diterapi dengan haloperidol 2 x 2,5 mg. Haloperidol merupakan obat
antipsikotik tipikal yang memblok Dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak
sehingga lebih efektif untuk pasien agitatif atau pasien dengan gejala positif. Pada pasien ini
gejala positif lebih dominan.Selain itu pasien diberi Merlopam 2 x 1 mg. Merlopram
mengandung lorazepam yang berguna sebagai anti-ansietas. Diduga pasien ini juga
mengalami ansietas, karena ada beberapa gejala ansietas seperti adanya ketegangan motorik
salah satunya ditandai dengan afek tegang,terlihatgelisah, tidak dapat santai,terdapat keluhan
sukar tidur.
31
BAB 3
KESIMPULAN
Kasus di atas perlu perhatikan dengan penggunaan NAPZA karena perubahan perilaku pasien
dapat mungkin terjadi oleh penggunaan NAPZA. Apabila benar dari pemeriksaan
laboratorium pasien pernah mengkonsumsi obat-obatan NAPZA perlu di lakukan
penatalaksanaan yang berkaitan dengan konsumsi NAPZA.
32
DAFTAR PUSTAKA
Amir, N. (2015). Skizofrenia. In F. UI, Buku Ajar Psikiatri (pp. 173-203). Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Kaplan, H., Sadock, B., & Grebb, J. (2010). Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher.
Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III
dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
Sadock, B., & Sadock, V. (2015). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
33