Kasus LBP
Kasus LBP
REKAM MEDIK
1. Identifikasi
Nama : Ny. A
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Belitang
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Status perkawinan : sudah menikah
Tanggal pemeriksaan : Kamis, 21 Maret 2013
2. Anamnesis
a. Keluhan utama
Nyeri pinggang
b. Riwayat penyakit sekarang
± 6 bulan yang lalu, penderita mengeluh nyeri pinggang yang hilang timbul,
nyeri seperti ditusuk-tusuk. Nyeri tersebut bertambah berat pada saat duduk, berdiri,
membungkuk (pada saat sholat), batuk dan mengejan. Nyeri dirasakan menjalar dari
pinggang ke paha belakang, betis, punggung kaki kiri. Nyeri dirasakan berkurang saat
berbaring. Penderita juga mengeluh jempol kaki kirinya terkadang terasa kesemutan.
BAB dan BAK tidak ada gangguan. Aktivitas sehari-hari seperti makan dan minum
tidak ada gangguan, namun penderita sekarang tidak dapat lagi melakukan
pekerjaannya sebagai petani.
c. Riwayat penyakit/operasi dahulu
- Riwayat trauma: ± 4 tahun yang lalu penderita jatuh dari motor.
- Riwayat diurut-urut setelah penderita jatuh dari motor.
- Riwayat operasi disangkal.
1
- Riwayat batuk lama disangkal.
- Riwayat penurunan berat badan yang drastis disangkal.
- Riwayat DM ± 5 tahun yang lalu, terkontrol.
- Riwayat hipertensi ± 1 tahun yang lalu.
d. Riwayat penyakit pada keluarga
- Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
- Riwayat DM (+) adik dan ibu penderita.
e. Riwayat pekerjaan
Penderita adalah seorang petani
f. Riwayat sosial ekonomi
Penderita tinggal di rumahnya sendiri bersama suami, anak, dan cucunya.
Kesan: sosial ekonomi menengah ke bawah.
3. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan umum
Keadaan umum : baik
Kesadaran : GCS: E4M6V5 = 15 (compos mentis)
TB/BB : 155 cm/70 kg BMI : 29,1 kg/m2
Cara berjalan/gait
Antalgik gait : (-) Tredelenberg gait : (-)
Hemiparese gait : (-) Waddle gait : (-)
Steppage gait : (-) Lain – lain : (-)
Parkinson gait : (-)
Bahasa/bicara
Komunikasi verbal : baik
Komunikasi nonverbal : baik
Tanda vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,7 ºC
Kulit : dalam batas normal
Status psikis
2
Sikap : kooperatif
Ekspresi wajah : wajar
Orientasi : baik
Perhatian : penuh
b. Saraf-saraf otak
Nervus kanan kiri
I. N. Olfaktorius tidak ada kelainan tidak ada kelainan
II. N. Opticus tidak ada kelainan tidak ada kelainan
III. N. Occulomotorius tidak ada kelainan tidak ada kelainan
IV. N. Trochlearis tidak ada kelainan tidak ada kelainan
V. N. Trigeminus tidak ada kelainan tidak ada kelainan
VI. N. Abducens tidak ada kelainan tidak ada kelainan
VII. N. Fascialis tidak ada kelainan tidak ada kelainan
VIII. N. Vestibularis tidak ada kelainan tidak ada kelainan
IX. N. Glossopharyngeus tidak ada kelainan tidak ada kelainan
X. N. Vagus tidak ada kelainan tidak ada kelainan
XI. N. Accesorius tidak ada kelainan tidak ada kelainan
XII. N. Hypoglosus tidak ada kelainan tidak ada kelainan
c. Kepala
Bentuk : oval, bulat
Ukuran : normal
3
Posisi
Mata : konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-)
Hidung : epistaksis (-)
Telinga : dalam batas normal
Mulut : dalam batas normal
Wajah : simetris
Gerakan abnormal : (-)
d. Leher
Inspeksi : dalam batas normal
Palpasi : dalam batas normal
Luas gerak sendi
Ante/retrofleksi : 65 / 50
Laterofleksi : 40 / 40
Rotasi : 45 / 45
Test provokasi
Lhermitte test/spurling: (-) Test valsava : (-)
Distraksi test : (-) Test nafziger : (-)
e. Thorax
Bentuk : normal
Pemeriksaan ekspansi thoraks: Ekspirasi maksimum (-). Inspirasi maksimum (-).
Paru-paru
Inspeksi : statis, dinamis, simetris kanan = kiri
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas atas jantung ICS II, batas kanan linea sternalis kanan
ICS IV, batas kiri linea midclavicularis ICS IV
Auskultasi : HR 88 x/menit, regular, murmur (-), gallop (-)
4
f. Abdomen
Inspeksi : simetris, datar
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
g. Trunkus:
Inspeksi : simetris
Deformitas : (-) Gibbus : (-)
Lordosis : (-) Hairy spot : (-)
Scoliosis : (-) Pelvic tilt : (-)
Palpasi
5
Nodus heberden (-) (-)
Neurologi
Motorik
Gerakan cukup cukup
Kekuatan
Abduksi lengan +5 +5
Fleksi bahu +5 +5
Ekstensi siku +5 +5
Fleksi jari-jari tangan +5 +5
Abduksi jari tangan +5 +5
Tonus normal normal
Tropi eutropi eutropi
Refleks fisiologis
Refleks tendon biseps normal normal
Refleks tendon triseps normal normal
Refleks patologis
Hoffman (-) (-)
Tromer (-) (-)
Sensorik
Protopatik normal
Proprioseptik normal
Vegetatif normal
Penilaian fungsi tangan dextra sinistra
Anatomical normal normal
6
Grips normal normal
Spread normal normal
Palmar abduct normal normal
Pinch normal normal
Lumbrical normal normal
7
Apley scratch test (-) (-)
Moseley test (-) (-)
Adson manuver (-) (-)
Tinel test (-) (-)
Phalen test (-) (-)
Prayer test (-) (-)
Finkelstein test (-) (-)
Promet test (-) (-)
i. Anggota gerak bawah
Inspeksi kanan kiri
- Deformitas : (-) (-)
- Edema : (-) (-)
- Tremor : (-) (-)
Palpasi
- Nyeri tekan (lokasi): (-) (-)
- Diskrepansi : (-) (-)
Neurologi
Motorik kanan kiri
Gerakan cukup cukup
8
Kekuatan
Fleksi paha +5 +5
Ekstensi paha +5 +5
Ekstensi lutut +5 +5
Fleksi lutut +5 +5
Dorsofleksi pergelangan kaki +5 +5
Dorsofleksi ibu jari kaki +5 +5
Plantar fleksi pergelangan kaki +5 +5
Tonus normal normal
Tropi eutropi eutropi
Refleks Fisiologis
Refleks tendo patella normal normal
Refleks tendo achilles normal normal
Refleks patologi
Babinsky (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Sensorik kanan kiri
- Protopatik : normal normal
- Proprioseptik : normal normal
Vegetatif : normal normal
9
Abduksi paha 0º-90º 0º-60º 0º-90º 0º-90º
Fleksi lutut 0º-135º 0º-100º 0º-135º 0º-135º
Ekstensi lutut 0º-120º 0º-100º 0º-120º 0º-120º
Dorsofleksi p. kaki 0º-20º 0º-20º 0º-20º 0º-20º
Plantar fleksi p. kaki 0º-50º 0º-50º 0º-50º 0º-50º
Inversi kaki 0º-60º 0º-60º 0º-60º 0º-60º
Eversi kaki 0º-20º 0º-20º 0º-20º 0º-20º
10
4. Pemeriksaan Penunjang
A. Radiologis:
11
C. Lain –lain CT – Scan/MRI: tidak dilakukan
5. Resume
Seorang perempuan berusia 44 tahun, datang dengan keluhan utama nyeri
pada pinggang. ± 6 bulan yang lalu, penderita mengeluh nyeri pinggang yang hilang
timbul, nyeri seperti ditusuk-tusuk. Nyeri tersebut bertambah berat pada saat duduk,
berdiri, membungkuk (pada saat sholat), batuk dan mengejan. Nyeri dirasakan
menjalar dari pinggang ke paha belakang, betis, punggung kaki kiri. Nyeri dirasakan
berkurang saat berbaring. Penderita juga mengeluh jempol kaki kirinya terkadang
terasa kesemutan. BAB dan BAK tidak ada gangguan. Aktivitas sehari-hari seperti
makan dan minum tidak ada gangguan, namun penderita sekarang tidak dapat lagi
melakukan pekerjaannya sebagai petani.
Pemeriksaan fisik: trunkus simetris, spasme otot vertebra (-), nyeri tekan (+)
di lokasi L4-S1 punggung bawah, tes Laseque (+) pada kaki kiri, tes SLR (+) pada
kaki kiri, tes O’Connell (+).
Pada gambaran radiologis terdapat suspek HNP L5-S1, Spondylolisthesis L5-S1,
dan Fraktur avulsi L4.
6. Evaluasi
12
3 Partisipasi Penderita dapat ikut Mempertahankan
dalam kegiatan partisipasi pasien dalam
sosial & lingkungan kegiatan sosial &
sekitar lingkungan sekitar
Catatan : ICF International Clasification of Function ( WHO 2002 )
7. Diagnosis Klinis
LBP et causa spondylolisthesis + fraktur avulsi + suspek HNP.
13
Sosial medik :
- Memberi motivasi agar pasien melanjutkan terapi
Edukasi :
- Menghindari banyak membungkukkan badan dan mengangkat barang-barang
yang berat
- Segera beristirahat jika merasakan nyeri saat berdiri/berjalan/duduk lama
- Menggunakan ortose untuk membatasi gerakan
9. Terapi Medikamentosa
- Natrium diclofenac tab 2x50 mg jika sakit
- Vitamin B1B6B12 tab 1x1
10. Prognosa
- Medik : bonam
- Fungsional : dubia
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
15
Gambar 1. Padangan lateral columna vertebralis
Bagian posterior vertebrae antara satu dan lain dihubungkan dengan sendi
apofisial (fascet joint). Tulang vertebrae ini dihubungkan satu sama lainnya oleh
ligamentum dan tulag rawan. Bagian anterior columna vertebralis terdiri dari corpus
vertebrae yang dihubungkan satu sama lain oleh diskus fibrokartilago yang disebut
discus invertebralis dan diperkuat oleh ligamentum longitudinalis anterior dan
ligamentum longitudinalis posterior.1
16
vertebralis mendadak bertambah, seperti bila seseorang melompat dari tempat yang
tinggi. Kelenturannya memungkinkan vertebra yang kaku dapat bergerak satu dengan
yang lain. Sayangnya daya pegas ini berangsur-angsur menghilang dengan
bertambahnya usia.1
17
Pada anak-anak dan remaja merupakan massa lonjong dari zat gelatin yang
banyak mengandung air, sedikit serabut kolagen, dan sedikit sel-sel tulang
rawan. Biasanya berada dalam tekanan dan terletak sedikit ebih dekat ke
pinggir posterior daripada pinggir anterior discus. Permukaan atas dan
bawah corpus vertebrae yang berdekatan yang menempel pada discus diliuti
oleh cartiloago hyalin yang tipis. Sifat nucleus pulposus yang setengah cair
memungkinkannya berubah bentuk dan vertebrae dapat mengjungkit
kedepan dan kebelakang diatas yang lain, seperti pada flexi dan ekstensi
columna vertebralis.1
18
Gambar 3. A. Perubahan bentuk nucleus pulposus saat fleksi dan ekstensi. B. Diskus
intervertebralis
19
Articulatio zygoapophyseal
Lig. Supraspinosum
Fasia dan otot fasia dan stabilitas vertebrae tergantung pada integritas korpus
vertebra dan diskus intervertebralis serta dua jenis jaringan penyokong yaitu
ligamentum (pasif) dan otot(aktif). Untuk menahan beban yang besar terhadap
kolumna vertebrale ini stabilitas daerah pinggang sangat bergantung pada gerak
kontraksi volunter dan refleks otot-otot sakrospinalis, abdominal, gluteus maksimus,
dan hamstring. Dengan bertambahnya usia, kadar air nukleus pulposus menurun dan
digantioleh fibrokartilago. Sehingga pada usia lanjut, diskus ini tipis dan kurang
lentur, dan sukar dibedakan dari anulus. Ligamen longitudinalis posterior di bagian
L5-S1 sangat lemah, sehingga HNP sering terjadi di bagian postero lateral.1
20
proses fisiologi nyeri, subjektif, emosi dan psikologi. Respon nyeri sangat bervariasi
antar individu maupun pada individu yang sama dalam waktu yang berbeda.2
21
Gambar 5
Gambar 6
2.2.2.3 Skala Analog Visual
Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS
adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik
pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.6
22
Gambar 7.
Gambar 8.
23
2.3 LOW BACK PAIN
24
dari tulang belakang. Biasanya terdapat respon splinting secara spontan untuk
melindungi pusat nyeri dengan cara kontraksi otot-otot paravertebral dan beberapa
gerakan atau postur yang menawan spasme dan mengubah posisi dari jaringan yang
trauma yang justru dapat memperburuk nyeri. Otot-otot yang spasme tersebut dapat
lebih sensitif nyeri dengan penekanan.9
2.3.2.2 Nyeri Alih
Nyeri alih memiliki 2 tipe. Pertama, yang berasal dari spinal ke visera dan
struktur lain yang mendasari dermatom lumbal dan sacral atas. Yang kedua, yang
berasal dari visera pelvis dan abdomen ke spinal. Nyer yang disebabkan oleh penyakit
dari lumbar bagian atas sering dialihkan ke panggul, panggul lateral, inguinal, dan
paha anterior. Hal ini dapat diatribusikan oleh n. cluneal superior yang berasal dari
divisi posterior tiga vertebrae lumbalis pertama dan menginervasi bagian superior
gluteal. Nyeri yang ditimbulkannya dari bagian bawah lumbar biasanya dialihkan ke
saraf spinal bawah, yang mengaktifkan neuron-neuron yang berasal dari area yang
sama yang menginervasi paha posterior. Nyeri jenis ini biasanya luas dan memiliki
kualitas yang dalam, dan amat nyeri, namun cenderung beberapa kali lebih dialihkan
ke superficial. McCall dkk dan Kellgren dapat membuktikan area peralihan ini
dengan injeksi larutan salin hipertonik ke sendi apophysial. Namun, Sinclair dkk
menyebutkan daerah peralihan ini tidak jelas dan tidak dapat dibuktikan pada lesi
yang tepat. Pada umunya, intensitas nyeri alih memiliki kesamaan dengan nyeri lokal.
Dengan kata lain, gerakan yang membedakan nyeri lokal memiliki efek yang sama
pada nyeri alih, walaupun berbeda tempat lokasi asal yang disebut nyeri radiks.9
Nyeri yang berasal dari visceral biasanya dirasakan di dalam abdomen,
panggul, region lumbal, dan dimodifikasi oleh aktivitas visera dan terkadang dengan
postur tubuh berdiri tegak atau supinasi. Nyeri ini tidak banyak berhubungan dengan
gerakan-gerakan oleh punggung. Nyeri radik memiliki beberapa karakteristik nyeri
alih namun berbeda dalam intesitasnya yang lebih berat, pengalihan distal, terbatas
pada satu radiks, dan faktor yang membangkitkannya. Mekanismenya adalah
peregangan, iritasi, atau kompresi dari radiks spinal. Karakteristik nyeri tersebut
25
tajam dan intensitas tinggi. Batuk, bersin, dan mengangkat beban dapat mencetuskan
nyeri alih ini, walaupun tiap aktivitas ini meningkatkan tekanan intrabdominal, dapat
juga meningkatkan tekanan intraspinal yang dapat menekan radiks.9
Pola yang paling sering adalah sciatica, nyeri yang berasal dari region gluteal
dan dialihkan ke paha posterior atau posterolateral. Nyeri ini berasal dari iritasi radiks
L5 atau S1. Keluhan lain yang menyertai adalah parestesia atau hilangnya sensorik
superficial, nyeri pada kulit, dan nyeri tekan di daerah tertentu sepanjang sarah yang
menyertai radiks tersebut. Jika radik anterior terlibat, dapat juga terjadi hilangnya
reflex, kelemahan, atropi, dan getaran-getaran fasciculus.9
2.3.2.3 Nyeri yang berasal dari spasme otot
Nyeri ini biasanya terjadi berhubungan dengan nyeri lokal. Spasme dapat
dipikirkan sebagai refleks nocifensive untuk proteksi melawan injuri. Spasme
otot berhubungan dengan gangguan punggung bawah dan mengganggu postur
normal. Kontraksi otot yang kronik dapat meningkat menjadi tumpul dan
terasa nyeri kram. Pasien dapat merasa kaku pada otot sacrospinalis dan
gluteal dan saat palpasi nyeri bersifat lokal.9
26
2.3.4 Penyebab Low Back Pain
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya LBP, antara lain:
2.3.4.1 Kelainan Tulang Punggung (Spine) Sejak Lahir
Keadaan ini lebih dikenal dengan istilah Hemi Vertebrae. Kelainan-kelainan
kondisi tulang vertebra tersebut dapat berupa tulang vertebra hanya setengah bagian
karena tidak lengkap pada saat lahir. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya low back
pain yang disertai dengan skoliosis ringan.11
Selain itu ditandai pula adanya dua buah vertebra yang melekat menjadi satu, namun
keadaan ini tidak menimbulkan nyeri. Terdapat lubang di tulang vertebra di bagian
bawah karena tidak melekatnya lamina dan keadaan ini dikenal dengan Spina Bifida.
Penyakit spina bifida dapat menyebabkan gejala- gejala berat sepert club foot,
rudimentair foot, kelayuan pada kaki, dan sebagainya. namun jika lubang tersebut
kecil, tidak akan menimbulkan keluhan.11
2.3.4.2 Low Back Pain karena Trauma
Trauma dan gangguan mekanis merupakan penyebab utama LBP
(Bimariotejo, 2009). Pada orang-orang yang tidak biasa melakukan pekerjaan otot
atau melakukan aktivitas dengan beban yang berat dapat menderita nyeri
pinggang bawah yang akut.11
Gerakan bagian punggung belakang yang kurang baik dapat menyebabkan
kekakuan dan spasme yang tiba-tiba pada otot punggung, mengakibatkan terjadinya
trauma punggung sehingga menimbulkan nyeri. Kekakuan otot cenderung dapat
sembuh dengan sendirinya dalam jangka waktu tertentu. Namun pada kasus-kasus
yang berat memerlukan pertolongan medis agar tidak mengakibatkan gangguan yang
lebih lanjut.12
27
2.3.4.3 Low Back Pain karena Perubahan Jaringan
Kelompok penyakit ini disebabkan karena terdapat perubahan jaringan pada
tempat yang mengalami sakit. Perubahan jaringan tersebut tidak hanya pada daerah
punggung bagian bawah, tetapi terdapat juga disepanjang punggung dan anggota
bagian tubuh lain. Beberapa jenis penyakit dengan keluhan LBP yang disebabkan
oleh perubahan jaringan antara lain osteoartritis (spondylosis deformans), fibrositis,
dan penyakit infeksi sendi.12
2.3.4.4 Low Back Pain karena Pengaruh Gaya Berat
Gaya berat tubuh, terutama dalam posisi berdiri, duduk dan berjalan dapat
mengakibatkan rasa nyeri pada punggung dan dapat menimbulkan komplikasi pada
bagian tubuh yang lain, misalnya genu valgum, genu varum, coxa valgum dan
sebagainya. Beberapa pekerjaan yang mengaharuskan berdiri dan duduk dalam waktu
yang lama juga dapat mengakibatkan terjadinya LBP.11
Kehamilan dan obesitas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya LBP akibat pengaruh gaya berat. Hal ini disebabkan terjadinya
penekanan pada tulang belakang akibat penumpukan lemak, kelainan postur tubuh
dan kelemahan otot.11
28
perbaikan pada syaraf yang cedera. Namun, istirahat tirah baring melebihi dua hari
tidak disarankan karena hal ini dapat merusak tulang, jaringan lunak, otot, dan sistem
peredarahan darah.15
Jika LBP disertai dengan fraktur dari sebagian vertebrae, pasien
direkomendasikan menggunakan korset rigid selama dua atau tiga bulan. Penggunaan
korset rigid juga dapat membatasi pergerakan sendi lumbosakral sehingga
mengurangi risiko cedera sendi lebih lanjut.14
Penggunaan terapi medikasi pada terapi LBP juga dapat dilakukan untuk
mengurangi nyeri. Obat-obatan yang digunakan pada umumnya berasal dari golongan
NSAIDs, muscle relaxant, dan antidepresan.15 Selain itu, nyeri juga dapat dihindari
dengan menghindari posisi atau gerakan tubuh yang dapat mencetuskan nyeri. Oleh
karena itu, pemilihan posisi yang membuat pasien nyaman sangat penting untuk
melindungi pasien dari kecelakaan sendi, mereduksi gejala, dan mencegah cedera
lebih lanjut.15 Walaupun demikian, pasien dengan LBP juga perlu melakukan latihan-
latihan untuk memperbaiki fleksibilitas dari punggung dan hamstring serta untuk
menguatkan kembali otot-otot punggung dan abdominal.14
2.3.5.2 Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan dilakukan jika terapi nonbedah tidak memperbaiki
keadaan pasien LBP dan jika telah diketahui pasti penyebab dari LBP yang telah
dibuktikan gambaran radiologi, MRI, atau CT-scan. Pada pasien LBP dengan
spondilolisthesis misalnya, pembedahan dilakukan jika terjadi pergeseran vertebrae
berat yang menyebabkan kesulitan berjalan, perubahan pada fungsi ekskresi (bowel
and bladder), dan perburukan fungsi syaraf.15
Pembedahan pada pasien MBP dapat berupa laminektomi, mikrodistektomi,
dan fusi. Tujuan dari pembedahan ini adalah untuk mengurangi kompresi dari radiks
syaraf. Dengan dilakukan pembedahan ini, diharapkan penyebab utama dari LBP
dapat diatasi dan pasien tidak menderita nyeri lagi.13,14
29
2.3.5.3 Rehabilitasi
Terapi rehabilitasi biasanya memerlukan waktu latihan beberapa kali selama
empat hingga enam minggu. Beberapa kasus memerlukan waktu lebih panjang untuk
menjalani terapi hingga selesai.14
Tujuan utama dari terapi rehabilitasi ini adalah untuk mengontrol gejala LBP.
Terapis akan membantu pasien menemukan posisi dan pergerakan yang dapat
mengurangi rasa nyeri. Terapi menggunakan panas (IRR, MWD, dan SWD), dingin
(cryoterapi), ultrasound (US), dan stimulasi elektrik (TENS) juga dapat digunakan
untuk mengurangi nyeri dan spasme otot.14
Latihan yang dijalani pasien LBP adalah peregangan otot-otot paha. Seiring
dengan perbaikan kondisi pasien, dilakukan juga latihan untuk menguatkan otot-otot
abdominal dan otot-otot punggung. Latihan ini dilakukan pada otot-otot tersebut
untuk membantu pasien agar mudah bergerak dan mengurangi permasalahan nyeri di
waktu mendatang jika nyeri ini kambuh lagi. Sebenarnya latihan peregangan otot
tidak dibatasi pada otot-otot ini saja karena semua otot menahan tulang belakang
lumbal dan korset pelvic dapat diseimbangkan dan stretching yang regular dapat
membantu memperbaiki gerakan yang normal tulang belakang dan pelvis. Stretching
menggunakan gerakan dinamik postural (yoga postur) dapat secara khusus menolong
karena dapat memperbaiki keseimbangan otot tulang belakang dan korset pelvic.15
Latihan ini biasanya bersatu dengan program rehabilitasi yang lebih
komprehensif, meliputi latihan stabilisasi. Tujuan latihanini adalah untuk
mengajarkan kepada pasien bagaimana menemukan tulang belakang yang normal
selama latihan setiap hari. Posisi normal tulang belakang berbeda untuk setiap
individu, dibedakan oleh pelvis dan postur tulang belakang yang menempatkan
penekanan terakhir pada elemen tulang belakang dan struktur pendukung. Stabilisasi
spinal menekankan aktivasi yang sinergis dari trunkus dan otot-otot pada posisi
tengah karean kekuatan otot abdominal dan otot-otot gluteal. Selain itu,
30
memungkinkan pasien untuk melatih otot-otot yang mendukung trunkus dan tulang
belakang sehingga dapat mengurangi seluruh penekanan dari tulang belakang.14
2.3.5.4 Edukasi
Edukasi pasien sangat penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi dari tulang
belakang. Pada masa akut, pasien harus memeiliki pengertian yang baik atas kondisi
mereka dan kemungkinan efek merugikan dari tirah baring yang lama. Instruksi pada
postur yang sesuai dan mekanik tubuh dengan aktivitas sehari-hari sangat penting
untuk setiap pasien. Bila nyeri menjadi tidak terkontrol, pasien harus aktif pada
program rehabilitasi tulang belakang yang meningkat yang kemudian dapat
digabungkan dengan program latihan rumah untuk melanjutkan kekuatan fungsi.
Strategi keamanan punggugn dan proteksi sendi disatukan melalui proses
rehabilitasi.15
2.3.6 Prognosis
Prognosis mencakup prognosis klinis dan prognosis fungsional. Tujuan dari
menentukan prognosis adalah untuk memberikan penilaian terhadap perkembangan
lebih lanjut dari penyakit yang diderita.16
2.3.6.1 Prognosis Klinis
Secara klinis, prognosis LBP bergantung dari etiologi LBP, tata laksana yang
akan dijalani oleh pasien, kepatuhan pasien, dan latihan-latihan yang akan dilakukan
oleh pasien. Pasien sedang menjalani fisioterapi berupa pemanasan dalam (SWD dan
IRR), TENS, dan disarankan untuk menggunakan korset. Jika pasien patuh,
mengikuti latihan dan tata laksana dengan baik, prognosis secara klinis dari pasien ini
adalah dubia ad bonam.16
2.3.6.2 Prognosis Fungsional
Prognosis secara fungsional dapat dinilai dengan menggunakan standar
fungsional Functional Independence Measure (FIM), Indeks Katz, atau Indeks
Barthel. Secara umum yang dinilai adalah fungsional aktivitas pasien yang mencakup
kegiatan sehari-hari, yaitu makan, mobilitas, mandi, personal toilet, berpakaian,
31
mengatur BAB dan BAK. Pasien ini dapat dapat melakukan semua kegiatan tersebut
secara mandiri, tetapi ada keterbatasan gerak pada saat duduk, hendak berdiri, dan
beribadah (sholat). Dengan program rehabibiltasi tulang belakang yang aktif dan
terfokus, prognosis dari pasien ini untuk dapat beraktivitas yang bebas dari nyeri
sangat baik, walaupun beberapa pasien LBP menetap dan membutuhkan lebih banyak
intervensi. Oleh karena itu, prognosis fungsional pasien ini adalah dubia ad bonam.16
2.4 SPONDYLOLISTHESIS
2.4.2 Etiopatofisiologi
Penyebab dari sindrom ini adalah malformasi persimpangan lumbosakral
(kecil bagian belakang dan bagian belakang panggul) yang kecil, sendi facet tidak
kompeten, yang dapat bersifat kongenital (bawaan), disebut sebagai spondilolisthesis
displastik, atau mungkin terjadi selama masa remaja karena patah tulang atau cedera
pada salah satu tulang-tulang belakang darikegiatan olahraga terkait seperti angkat
berat, berlari, berenang, atau sepak bola yang menyebabkan seseorang memiliki
spondilolisthesisisthmic.17,25
Ada lima jenis utama dari Spondilolisthesis yang dikategorikan berdasarkan
sistem klasifikasi Wiltse:
a. Tipe I disebut dengan spondylolisthesis displastik (kongenital) dan terjadi akibat
kelainan kongenital pada permukaan sacral superior dan permukaan L5 inferior
atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5.
32
b. Tipe II, isthmic atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus atau
pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna pada
individu di bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis tanpa adanya
pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu vertebra
mengalami pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut
dengan spondylolisthesis.
Tipe II dapat dibagi kedalam tiga subkategori:
- Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress
spondilolisthesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktiur rekuren yang
disebabkan oleh hiperketensi. Juga disebut dengan stress fracture pars
interarticularis dan paling sering terjadi pada laki-laki.
- Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars
interartikularis masih tetap intak akan tetapi meregang dimana fraktur
mengisinya dengan tulang baru.
- Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada bagian
pars interartikularis. Pencitraan radioisotope diperlukan dalam menegakkan
diagnosis kelainan ini.
c. Tipe III, merupakan spondylolisthesis degeneratif, dan terjadi sebagai akibat
degenerasi permukaan sendi lumbal. Perubahan pada permukaan sendi tersebut
akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang. Tipe
spondylolisthesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III,
spondylolisthesis degeneratif pergeseran vertebra tidak melebihi 30%.
d. Tipe IV, spondylolisthesis traumatik, berhubungan dengan fraktur akut pada
elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/facet) dibandingkan dengan
fraktur pada bagian pars interartikularis.
e. Tipe V, spondylolisthesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang
sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya
33
2.4.3 Epidemiologi
Insidensi spondilolisthesis tipe ismik berkisar 5% berdasarkan studi otopsi.
Spondilolisthesis degeneratif memiliki frekuensi tersering karena secara umum
populasi pastinya akan mengalami penuaan. Paling sering melibatkan level L4-L5.
Sampai 5,8% pria dan 9,1% wanita memiliki listhesis tipe ini.17,18,24
34
sering dan menyebabkan kelemahan ekstensor halusis longus. Stenosis pusat dan
klaudikasio neurogenik bersamaan mungkin atau mungkin tidak ada.20
Penyebab gejala klaudikasio selama ambulasi adalah multifaktorial. Rasa sakit
ini berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk atau
bersandar. Fleksi memperbesar ukuran kanal oleh peregangan ligamentum flavum
menonjol, pengurangan lamina utama dan aspek, dan pembesaran foramen tersebut.
Hal ini mengurangi tekanan pada akar saraf keluar dan, dengan demikian,
mengurangi rasa sakit.20
2.4.5 Diagnosis
Pada kebanyakan kasus, jarang ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik
pasien spondilolistesis. Pasien biasanya mengeluh nyeri di bagian punggung yang
disertai dengan nyeri intermitten pada tungkai. Spondilolistesis sering menyebabkan
spasme otot, atau kekakuan pada betis.
Spondilolistesis mudah didiagnosis dengan menggunakan foto polos tulang
belakang. X-ray lateral akan menunjukkan kelainan apabila terdapat vertebra yang
bergeser ke depan dibandingkan dengan vertebra di dekatnya. Spondilolistesis dibagi
berdasarkan derajatnya berdasarkan persentase pergeseran vertebra dibandingkan
dengan vertebra di dekatnya, yaitu:
1. Derajat I: pergeseran kurang dari 25%
2. Derajat II diantara 26-50%
3. Derajat III diantara 51-75%
4. Derajat IV diantara 76-100%
5. Derajat V, atau spondiloptosis terjadi ketika vertebra telah terlepas dari
tempatnya
35
Gambar 9. Pengukuran Derajat Spondilolisthesis
36
Jika pasien mengeluh nyeri, kebas-kebas, kelemahan pada tungkai, pemeriksaan
penunjang tambahan mungkin diperlukan. Gejala-gejala ini dapat disebabkan stenosis
atau penyempitan ruang tempat lewatnya saraf pada tungkai. CT scan atau MRI dapat
membantu mengidentifikasi kompresi saraf yang berhubungan dengan
spondilolistesis. Pada keadaan tertentu, PET scan dapat membantu menentukan
adanya proses akftif pada tulang yang mengalami kelainan. Pemeriksaan ini juga
berperan dalam menentuskan terapi pilihan untuk spondilolistesis.22
37
d. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi
tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak ( diskus, kanal, dan anatomi serabut
saraf) lebih baik dibandingkan dengan foto polos.
e. EMG
EMG dapat mengidentifikasi radikulopati lainnya atau poliradikulopati
(stenosis), yang dapat timbul pada spondilolistesis.23
2.4.7 Penatalaksanaan
2.4.7.1 Nonoperatif
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative. Pengobatan non
operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau defisit
neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat badan, stretching
exercise, pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam
manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien.22
2.4.7.2 Operatif
Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu aktifitas, yang
gagal dengan non operative manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila radiologis
tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray disarankan untuk operasi
stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip 50% pada waktu
diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis walaupun tanpa
gejala, fusi tetap harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien
dengan simptom oleh karena neural kompresi. Bila manajemen operative dilakukan
pada dewasa muda maka fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip
yang bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia
muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran 3mm
pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila multi level disease,
motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis, habitual tobacco abuse. Pada habitual
38
tobacco abuse angka kesuksesan fusi menurun. Brown dkk mencatat pseudoarthrosis
(surgical non union) rate 40% pada perokok dan 8% pada tidak perokok. Fusi insitu
dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan:22
1. anterior approach
2. posterior approach (yang paling sering dilakukan)
3. posterior lateral approach
2.4.8 Komplikasi
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun penarikan
(traction) pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien yang
membutuhkan penanganan dengan pembedahan untuk menstabilkan spondilolistesis,
dapat terjadi komplikasi seperti nerve root injury (<1%), kebocoran cairan
serebrospinal (2%-10%), kegagalan melakukan fusi (5%-25%), infeksi dan
perdarahan dari prosedur pembedahan (1%-5%). Pada pasien yang perokok,
kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat melakukan fusi ialah (>50%).
Pasien yang berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita
spondilolistesis isthmic atau congenital yang lebih progresif. Radiografi serial dengan
posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui perkembangan pasien
ini.24
2.4.9 Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal kemungkinan
akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien dengan perubahan
vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan akan mengalami gejala yang
sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya spondilolistesis degenerative meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi
pada 30% pasien. Bila pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan
semakin dekat dan menyebabkan penekanan pada saraf (nerve compression) atau
sciatica hal ini akan membutuhkan pembedahan dekompresi.24
39
2.5 FRAKTUR
40
Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar-x
pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut. Bila
berdasarkan pengamatan klinis diduga ada fraktur, maka perlakukanlah sebagai
fraktur sampai terbukti lain.26
41
- Overriding – garis fraktur tumpang tindih
- Impacted – satu fragmen masuk ke fragmen yang lain
Secara umum, berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur
dengan dunia luar, fraktur juga dapat dibagi menjadi 2, yaitu fraktur tertutup dan
fraktur terbuka. Disebut fraktur tertutup apabila kulit di atas tulang yang fraktur
masih utuh. Sedangkan apabila kulit di atasnya tertembus dan terdapat luka yang
menghubungkan tulang yang fraktur dengan dunia luar maka disebut fraktur terbuka,
yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang
yang patah sehingga cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi.26
2.5.4 Penatalaksanaan
Fraktur biasanya disertai trauma, untuk itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernapasan (breathing), dan
sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada
masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu
terjadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di
RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi
42
semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan
lengkap. Kemudian, lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk
mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada
jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto. Pengobatan fraktur
tertutup bisa konservatif atau operatif.
2.5.4.1 Terapi konservatif
a. Proteksi saja, misalnya mitela untuk fraktur collum chirurgicum humeri
dengan kedudukan baik.
b. Imobilisasi saja tanpa reposisi, misalnya pemasangan gips pada fraktur
inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik.
c. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips, misalnya pada fraktur
suprakondilus, fraktur Colles, fraktur Smith. Reposisi dapat dalam anastesi
umum atau lokal.
d. Traksi, untuk reposisi secara perlahan. Pada anak-anak dipakai traksi kulit
(traksi Hamilton Russel, traksi Bryant).
2.5.4.2 Terapi operatif
a. Reposisi terbuka, fiksasi interna.
b. Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi eksterna.
43
2. Sifat nyeri khan dari posisi berbaring ke duduk,nyeri mulai dari pantat dan terus
menjalar ke bagian belakang lalu kemudian ke tungkai bawah.
3. Nyeri bertambah hebat karena pencetus seperti gerakan-gerakan pinggang saat
batuk atau mengedan, berdiri, atau duduk untuk jangka waktu yang lama dan
nyeri berkurang klien beristiraho berbaring.
4. Penderita sering mengeluh kesemutan (parostesia) atau baal bahkan kekuatan
otot menurun sesuai dengan distribusi persarafan yang terlibat.
5. Nyeri bertambah bila daerah L5—S1 (garis antara dua krista iliaka) ditekan
44
1. Pekerjaan dan aktivitas: duduk yang terlalu lama, mengangkat atau menarik
barang-barang berta, sering membungkuk atau gerakan memutar pada
punggung, latihan fisik yang berat, paparan pada vibrasi yang konstan seperti
supir.
2. Olahraga yang tidak teratur, mulai latihan setelah lama tidak berlatih, latihan
yang berat dalam jangka waktu yang lama.
3. Merokok. Nikotin dan racun-racun lain dapat mengganggu kemampuan diskus
untuk menyerap nutrien yang diperlukan dari dalam darah.
4. Berat badan berlebihan, terutama beban ekstra di daerah perut dapat
menyebabkan strain pada punggung bawah.
2.6.3 Patofisiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya HNP :
1. Aliran darah ke discus berkurang
2. Beban berat
3. Ligamentum longitudinalis posterior menyempit
Jika beban pada discus bertambah, annulus fibrosus tidak kuat menahan
nukleus pulposus (gel) akan keluar, akan timbul rasa nyeri oleh karena gel yang
berada di canalis vertebralis menekan radiks. Bangunan peka nyeri mengandung
reseptor nosiseptif (nyeri) yang diberikan rangsang oleh berbagai stimulus lokal
(mekanis, termal, kimiawi). Stimulus ini akan direspon dengan pengeluaran berbagai
mediator inflamasi yang akan menimbulkan persepsi nyeri. Mekanisme nyeri
merupakan proteksi yang bertujuan untuk mencegah pergerakan sehingga proses
penyembuhan dimungkinkan. Salah satu bentuk proteksi adalah spasme otot, yang
selanjutnya dapat menimbulkan iskemia. Nyeri yang timbul dapat berupa nyeri
inflamasi pada jaringan dengan terlibatnya berbagai mediator inflamasi; atau nyeri
neuropatik yang diakibatkan lesi primer pada sistem saraf. Iritasi neuropatik pada
serabut saraf dapat menyebabkan 2 kemungkinan. Pertama, penekanan hanya terjadi
pada selaput pembungkus saraf yang kaya nosiseptor dari nervi nevorum yang
45
menimbulkan nyeri inflamasi. Nyeri dirasakan sepanjang serabut saraf dan bertambah
dengan peregangan serabut saraf misalnya karena pergerakan. Kemungkinan kedua,
penekanan mengenai serabut saraf. Pada kondisi ini terjadi perubahan biomolekuler
di mana terjadi akumulasi saluran ion Na dan ion lainnya. Penumpukan ini
menyebabkan timbulnya rangsang mekanik panas yang sangat peka terhadap
rangsang mekanikal dan termal (Sahrakar, 2011);(Foster 2012).
46
a. Perhatikan cara penderita berdiri dan sikap berdirinya.
b. Perhatikan bagian belakang tubuh: adakah deformitas, gibus, skoliosis,
lordosis lumbal (normal, mendatar, atau hiperlordosis), pelvis yang miring
tulang panggul kanan dan kiri tidak sama tinggi, atrofi otot.
c. Derajat gerakan (range of motion) dan spasmus otot.
d. Hipersensitif denervasi (piloereksi terhadap hawa dingin).
e. Palpasi untuk mencari trigger zone, nodus miofasial, nyeri pada sendi
sakroiliaka, dan lain-lain.
f. Perhatikan cara penderita berjalan/gaya jalannya.
Posisi duduk:
a. Perhatikan cara penderita duduk dan sikap duduknya.
b. Perhatikan bagian belakang tubuhnya.
Posisi berbaring:
a. Perhatikan cara penderita berbaring dan sikap berbaringnya.
b. Pengukuran panjang ekstremitas inferior.
c. Pemeriksaan abdomen, rektal, atau urogenital.
Pemeriksaan neurologik:
a. Pemeriksaan sensorik
b. Pemeriksaan motorik untuk mencari apakah ada kelemahan, atrofi atau
fasikulasi otot
c. Pemeriksaan tendon
d. Pemeriksaan yang sering dilakukan
- Tes untuk meregangkan saraf ischiadikus (tes laseque)
- Tes untuk menaikkan tekanan intratekal (tes Nafzigger, tes Valsava)
- Tes Patrick dan Tes Contra Patrick
- Tes Distraksi dan Tes Kompresi (windsor, 2012).
47
Gambar 14. Pemeriksaan patrik dan laseque
2.6.5 Penatalaksanaan
2.6.5.1 Medikamentosa
48
OAINS dapat membantu mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien.
OAINS yang dapat dipilih adalah bergantung pada dosis yang akan digunakan dan
harga yang akan diberikan. Apabila nyeri dirasakan sangat menyiksa, dapat diberikan
analgesic narkotik untuk mengurangi rasa nyeri dengan cepat. Contoh obat anti
inflamasi non steroid yang dapat diberikan adalah Calecoxib, Ibuprofen, Naproxen,
dan Ketoprofen.
Selain diberikan terapi obat dapat juga dilakukan terapi bedah. Terapi bedah
yang dapat dilakukan apabila terjadi herniasi diskus intravertebralis adalah
microdiscectomy dan laminotomy.
2.6.5.2 Non-medikamentosa
Memberikan program rehabilitasi untuk 3 waktu yang berbeda yaitu:
- Fase akut dapat dilakukan terapi konservatif berupa pemberian penanganan awal
seperti pemberian analgetik, anti inflamasi, dan terapi fisik.
- Fase recovery fokus dari terapi pada fase ini adalah fungsi dari biokimia dan
deficit jaringan ikat . Dapat pula dimulai latihan fisik ringan untuk memperkuat
otot.
- Fase maintenance fakus dari terapi pada fase adalah untuk mencegah agar rasa
nyeri kembali menyerang (Windsor, 2012).
2.6.6 Prognosis
Sebagian besar pasien akan membaik dalam 6 minggu dengan terapi
konservatif. Sebagian kecil dapat berkembang menjadi kronik meskipun sudah
diterapi. Pada pasin yang dioperasi, 90% keluhan membaik terutama nyeri tungkai,
sementara kemungkinan terjadinya kekambuhan setelah operasi adalah 5%.
49
BAB III
ANALISIS KASUS
Ny. A, perempuan, 44 tahun, alamat luar kota, datang dengan keluhan utama
nyeri pinggang yang menjalar sampai ke tungkai. Dari anamnesis, didapatkan bahwa
± 6 bulan yang lalu, penderita mengeluh nyeri pinggang yang hilang timbul, nyeri
seperti ditusuk-tusuk. Nyeri tersebut bertambah berat pada saat duduk, berdiri,
membungkuk (pada saat sholat), batuk dan mengejan. Nyeri dirasakan menjalar dari
pinggang ke paha belakang, betis, punggung kaki kiri. Nyeri dirasakan berkurang saat
berbaring. Penderita juga mengeluh jempol kaki kirinya terkadang terasa kesemutan.
BAB dan BAK tidak ada gangguan. Penderita masih dapat melakukan aktivitas
pribadi seperti makan dan minum, namun penderita sekarang tidak dapat lagi
melakukan pekerjaannya sebagai petani. Dari Riwayat penyakit/operasi dahulu ± 4
tahun yang lalu penderita jatuh dari motor, penderita diurut-urut setelah ia jatuh dari
motor, riwayat DM ± 5 tahun yang lalu yang terkontrol, dan riwayat hipertensi ± 1
tahun yang lalu, sementara riwayat operasi disangkal. Dari riwayat penyakit keluarga
tidak ada penyakit dengan keluhan yang sama dengan penderita pada keluarga, akan
tetapi terdapat riwayat DM pada adik dan ibu penderita. Penderita bekerja sebagai
petani dan sering memanggul beban berat, dengan keadaan sosioekonomi menengah
ke bawah.
Dari anamnesis ditemukan bahwa pasien mengalami nyeri punggung yang
menjalar ke jempol kaki. Hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri
radikuler yang mungkin berasal dari diskus L5-S1 dan merupakan tanda-tanda nyeri
pungung bawah (LBP). Riwayat trauma dapat merupakan faktor resiko terjadinya
spondylolisthesis ataupun spondilosis. Adanya riwayat trauma dapat menyingkirkan
diagnosis spondilitis TB pada pasien ini.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan tanda vital, keadaan umum,
dan keadaan spesifik yang normal, kecuali pada pinggang dan ekstremitas bawah.
50
Pada pemeriksaan neurologikus, tidak didapatkan kelainan saraf kranialis, saraf
sensoris, dan motorik pada ekstremitas atas, namun dijumpai kelainan pada
ekstremitas bawah, di mana terdapat tes lasseque yang bernilai positif pada tungkai
kiri. Laseque test yang bernilai positif ini menunjukkan adanya iskialgia atau iritasi
saraf iskiadikus. Sementara itu SLR test atau Straight Leg Raise Test yang positif juga
menunjukkan kemungkinan terdapat iritasi saraf iskiadikus.
Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai peningkatan yang tidak signifikan
dari leukosit dalam darah dan gula darah sewaktu. Pada pemeriksaan rontgen
didapatkan pergeseran vertbra L5-S1 yang merupakan tanda dari spondylolisthesis.
Selain itu, ditemukan adanya penyempitan diskus intervetebralis L5-S1 yang
merupakan tanda dari hernia nucleus pulposus. Adanya fraktur avulsi yang ditemukan
pada pemeriksaan rontgen juga dapat mempengaruhi nyeri yang dirasakan oleh
pasien pada kasus ini. Akan tetapi, untuk menegakkan diagnosis HNP membutuhkan
pemeriksaan radiologis lebih lanjut, yaitu MRI yang akan menunjukkan adanya
penonjolan dari discus intervertebralis. Oleh karena itu, diagnosis pada pasien ini
adalah LBP e.c. spondilolithesis + fraktur avulsi + suspek HNP.
Tatalaksana rehabilitasi medik pada pasien ini meliputi fisoterapi berupa
infrared, short wave diatermi dan stimulasi listrik, dari segi terapi ortotik prostetik.
Efek fisiologis dari inframerah adalah peningkatan proses metabolism, pembuluh
darah, pigmentasi, pengaruh terhadap saraf dan jaringan otot agar berelaksasi. Efek
yang diharapkan dari inframerah adalah mengurangi atau menghilangkan rasa sakit,
meningkatkan suplai darah, relaksasi otot. Oleh karena pada pasien ini belum
dipasang pen untuk tatalaksana fraktur, maka terapi panas untuk jaringan yang lebih
dalam dapat digunakan seperti short wave diatermi. Dari terapi SWD, efek yang
diharapkan adalah dapat meningkatkan aliran darah, mengurangi rasa nyeri, relaksasi
otot. Dari terapi TENS, efek yang diharapjan hampir sama dengan SWD dan infrared
diantaranya meningkatkan aliran darah dan relaksasi otot.
Dari segi terapi ortotik prostetik, pasien disarankan untuk memakai korset
LSO (Lumbal Sacral Orthose). Fungsinya untuk mengontrol posturspinal,
51
mengurangi nyeri, mencegah cedera lebih lanjut, menghindarkan gerakan
yangberbahaya bagi spinal.
Tatalaksana kasus dengan medikamentosa, pasien diberikan obat penghilang
nyeri berupa natrium diclofenac 50 mg tiga kali sehari dan diberikan vitamin B1, B6
dan B12 satu kali sehari. Edukasi kepada pasien untuk membatasi tindakan
mengangkat barang serta untuk menggunakan mekanika tubuh dengan benar dan
menggunakan korset lumbal. Pasien ini diterapi operatif apabila dari terapi
konservatif tidak dapat mengurangi gejala yang timbul. Terapi operatif yang dapat
dilakukan yaitu berupa disectomy dan laminectomy.
Pasien ini sedang menjalani fisioterapi berupa pemanasan (SWD dan IRR),
TENS, dan disarankan untuk menggunakan korset. Jika pasien patuh, mengikuti
latihan dan tata laksana dengan baik, prognosis secara medik dari pasien ini adalah
bonam.
Pasien ini dapat dapat melakukan semua kegiatan sehari-hari secara mandiri,
tetapi ada keterbatasan gerak pada saat duduk, berdiri, dan beribadah (sholat).
Dengan program rehabilitasi tulang belakang yang aktif dan terfokus, prognosis dari
pasien ini untuk dapat beraktivitas yang bebas dari nyeri sangat baik, walaupun pada
beberapa pasien LBP dapat menetap dan membutuhkan lebih banyak intervensi. Oleh
karena itu, prognosis fungsional pasien ini adalah dubia.
52
DAFTAR PUSTAKA
53
13. Ullrich, P.F. 2007. Lower back Pain Treatment. Diunduh dari http://www.spine-
health.com/. [Diakses tanggal 22 Maret 2013].
14. Aging Spine Center. 2003. A Patients’ Guide to Lumbar Spondylolisthesis.
http://www.agingspinecenter.com/. [Diakses tanggal 22 Maret 2013].
15. Ruslan, H.M. dan Fauziah N.K. 2009. Terapi Fisik dan Rehabilitasi Medik Edisi
Ketiga. Palembang: Bagian Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Unsri.
16. Jalalin. 2006. Penuntun Pemeriksaan Fisik dan Fungsional Ilmu Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi. Palembang: Bagian Rehabilitasi Medik Fakultas
Kedokteran Unsri.
17. Sjamsuhidajat R, Jong Wd.2005. Spondilolistesis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi ke-2. Jakarta: EGC. 835
18. Spondylolisthesis.org. 2011. Spondylolisthesis. Diunduh dari:
http://www.spondylolisthesis.org/ [Diakses tanggal 22 Maret 2013].
19. Syaanin, Syaiful. Neurosurgery of Spondylolisthesis. Padang: RSUP. Dr. M.
Djamil/FK-UNAND Padang.
20. Nicrovic, Peter. A. 2009. Back pain in children and adolescents: Overview of
causes. UpToDate Systematic review ver. 17.3
21. Lee, Dennis, 2011. Spondylolisthesis Symptoms. Diunduh dari:
http://www.medicinenet.com/ [Diakses tanggal 22 Maret 2013].
22. Irani, Z. Spondylolisthesis Imaging. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/ [Diakses tanggal 22 Maret 2013].
23. Shiel Jr, William C.Spondylolisthesis. MedicineNet.com . Diunduh dari:
http://www.medicinenet.com/ [Diakses tanggal 22 Maret 2013].
24. Japardi, I. 2002. Spondilolistesis. Dalam USU digital Library. Medan: Fakultas
Kedokteran Bagian Bedah, Universitas Sumatera Utara.
25. Medical Disability Guidelines. 2009. Spondylolisthesis. Diunduh dari:
http://www.mdguidelines.com/ [Diakses tanggal 22 Maret 2013].
26. Sjamsuhidajat R, Wim De Jong. 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi revisi.
Jakarta: EGC. Hal. 1138-96
54
27. Carter MA. 1994.Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi dalam Price SA,
Wilson LM, Patofisiologi Konsep-konsep Klinis Proses- proses Penyakit,
Buku II Edisi 4. Jakarta: EGC. Hal 1175-80.
55