Anda di halaman 1dari 3

Ini Sebab Runtuhnya Dinasti

Abbasiyah
Tumbangnya khilafah Abbasiyah dikarenakan munculnya garis perpecahan antara Arab
dan non-Arab, antara muslim Arab dan muslim baru, antara muslim dan kaum dzimmi,
yang tetap terlihat tajam.

Runtuhnya kekhalifahan Abbasiyah tidak bisa lepas dari dinasti-dinasti yang melepaskan
diri dan memilih jalan merdeka dari kekuasaan khalifah Abbasiyah.

Menurut Montgomery Watt (1988), sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai
terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan
datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di provinsi-provinsi
tertentu yang membuat mereka benar-benar independen.

Provinsi yang dimaksud adalah provinsi yang lebih memiliki kedekatan makna dengan
dinasti-dinasti di bawah kekuasaan kekhalifahan Abbasiyah. Selain karena kemapanan
militer pada dinasti-dinastinya, ada pemicu lain yang menyebabkan dinasti-dinasti ini
kemudian memilih untuk lepas diri dan memilih untuk merdeka dari kekhalifahan
Abbasiyah. Pemicu itu adalah berupa gerakan syu’ubiyah, yaitu fanatisme, baik kelompok,
suku maupun daerah. Istilah gerakan syu’ubiyah ini saya dapatkan di buku Sejarah
Peradaban Islam karya Badri Yatim (1993).

Dalam catatan Badri Yatim (1993), gerakan syu’ubiyah ini banyak memberikan inspirasi
terhadap gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Tampaknya, para
khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kelompok dan aliran keagamaan
itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam
kesusastraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-bersungguh
menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan
diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan.

Berikut ini penulis sajikan dinasti-dinasti di bawah kekhalifahan Abbasiyah yang berasal
dari berbagai daerah yang kemudian memilih lepas dan merdeka. Kemungkinan besarnya
adalah dipicu oleh gerakan syu’ubiyah (fanatisme). Data ini penulis dapatkan dari catatan
Jurji Zaidan (1978) yang dikutip oleh Badri Yatim (1993) dalam karyanya Sejarah
Peradaban Islam.

Dari Persia: a). Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M); b). Shafariyah di Fars,
(254-290 H/868-901 M); c). Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M); d).
Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M); e). Buwaihiyyah, bahkan menguasai
Baghdad, (320-447 H/932-1055 M).

Dari Turki: a). Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M); b). Ikhsyidiyah di Turkistan,
(320-560 H/932-1163 M); c). Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 H/962-1189 M); d).
Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya, yaitu: 1) Seljuk besar atau seljuk Agung, didirikan
oleh Rukn Al-Din Abu Thalib Tuqhrul Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini
menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522 H/1037-1127 M);
2) Seljuk Kirman di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M); 3) Seljuk Syria atau Syam di Syria,
(487-511 H/1094-1117 M); 4) Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M);
5) Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia kecil, (470-700 H/1077-1299 M).

Dari Kurdi: a). Albarzuqani, (348-406 H/959-1015 M); b). Abu Ali, (380-489 H/ 990-1095
M); c). Ayubiyah, (564-648 H/ 1167-1250 M).

Dari Arab: a). Idrisiyyah di Marokko, (172-375 H/788-985 M); b). Aghlabiyyah di Tunisia
(184-289 H/800-900 M); c). Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M); d). Alawiyah
di Tabaristan, (250-316 H/864-928 M); e). Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394
H/929-1002 M); f). Mazyadiyyah di Hillah, (402-545 H/1011-1150 M); g). Ukailiyyah di
Maushil, (386-489 H/996-1095 M); h). Mirdasiyyah di Aleppo (414-472 H/1023-1079 M).

Sedangkan yang mengaku pemerintahannya sebagai khilafah adalah Umawiyah di


Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.

Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antar daerah dan
antar suku yang kemudian mengarah kepada gerakan syu’ubiyah, terutama antara Arab,
Persia, dan Turki. Di samping latar belakang kedaerahan dan kesukuan, keputusan dinasti-
dinasti untuk lepas dan memilih merdeka adalah tentunya dilatarbelakangi paham
keagamaan, ada yang berlatar belakang syiah, ada yang sunni.

Philip K Hitti (1970) menyebutkan lepasnya dinasti-dinasti itu tak lain karena metode
administrasi yang diterapkan kekhalifahan tidak kondusif bagi stabilitas negara.
Eksploitasi dan pajak berlebihan menjadi kebijakan favorit yang dibebankan kepada
semua rakyat, tak terkecuali. Garis perpecahan antara Arab dan non-Arab, antara muslim
Arab dan muslim baru, antara muslim dan kaum dzimmi, tetap terlihat tajam.

Masih dalam catatan Philip K Hitti (1970), lepasnya dinasti-dinasti tersebut juga
dikarenakan sentimen antara orang-orang Arab sendiri, sentimen lama antara utara dan
selatan. Serta orang Persia-Iran, Turki, dan Berber Hamit tidak pernah berpadu dalam satu
kesatuan homogen dengan orang Arab Semit.
Kiranya sentimen kebangsaan itu dapat kita lihat hingga sekarang, memang bangsa-
bangsa tadi sama-sama mayoritas Islamnya, dengan tidak mengesampingkan penganut
agama lain. Akan tetapi kalau sudah menyangkut kebangsaan, maka ada perbedaan
kultur yang kemudian sulit untuk menyatukannya, bahkan mendekati mustahil.

Wallahu A’lam.

Anda mungkin juga menyukai