I. PENDAHULUAN
Mengkaji sejarah merupakan hal yang penting dalam proses kehidupan seseroang dan
manusia secara umum. Dengan mengkaji sejarah akan terbentuk pemahaman yang mendalam
tentang eksistensi manusia itu sendiri dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Sejarah
merupakan rekaman perubahan sosial masyarakat manusia. Ia adalah eksistensi manusia itu
sendiri yang selalu mengalami dua hal bertentang dalam kehidupannya, suka dan duka, senyum
dan tangis, kejayaan dan keterpurukan. Dengan demikian melalui pendalaman sejarah manusia
diharapkan akan bisa lebih arif dan bijaksana dalam kehidupannya sebab ia telah mampu
mengkaji masa lalu untuk memahami masa kini dan menata masa depan. Mengingat bahwa tidak
ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan, maka paradigma sejarah juga mengalami
perubahan sejalan dengan permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia.
Sejarah merupakan saksi sekaligus bukti yang tidak saja menggambarkan realitas dan
kenangan indah, tapi juga menyingkap kebenaran walaupun itu pahit untuk diungkap. Oleh sebab
itu walaupun sejarah mengkaji masa lalu namun ia tetap harus selalu disuguhkan secara aktual.
Hal ini penting agar materi sejarah dapat dijadikan pedoman hidup bagi masa kini dan esok.
Makalah ini membahas dinamika keagamaan, sosial politik, dan intelektual pada masa
dinasti Buwaihi. Pada bagian dinamika sosial penulis hanya memfokuskan pada kota Baghdad.
Hal ini terutama disebabkan oleh keterbatasan waktu dan juga literatur yang tersedia.
Makalah ini bertujuan untuk memotivasi pembaca dalam menemuan kebenaran,
eksplanasi kritis tentang sebab dan genesis kebenaran dinasti Buwaihi serta kedalaman
pengetahuan tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-persitiwa di masa Buwaihi terjadi.
Tujuan ini berlandaskan pada pandangan bahwa salah satu komponen masyarakat yang
berkompeten dan memiliki tanggungjawab lebih dalam penelusuran akan suatu sejarah adalah
masyarakat akademis, khususnya dosen dan mahasiswa.
Pada periode pertama dinasti Abbasiyah mampu mengatasi berbagai gerakan politik
internal dan eksternal yang merongrong pemerintah dan gerakan-gerakan massa yang
mengganggu stabilitas yang muncul dimana-mana. Keberhasilan ini semakin mengukuhkan
posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Namun dalam perjalan
selanjutnya pencapaian kemajuan peradaban dan kebudayaan periode pertama ini membawa para
penguasa Abbasiyah, hartawan dan anak-anak pejabat untuk hidup mewah. Keadaan ini
ditambah lagi dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintah
terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional
asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tashim untuk mengambil kendali
pemerintah. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka.
Kekuasaan khalifah Yn mulai memudar merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini. Dan
merupakan prestasi sejarah tersendiri bahwa walaupun kekuasaan khalifah telah pudar namun
dinasti ini masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Merupakan kecelakaan sejarah tersendiri ketika khalifah al-Mu’tashim memilih unsur
Turki dalam kemiliteran. Walaupun dari sisi kondisi konflik horizontal pada masa itu dapat
dimaklumi bahwa pilihan terhadap unsur Turki ini terutama berlatarbelakang persaingan antara
golongan Arab dan Persia pada masa sebelum al-Ma’mun. Bahkan, perebutan kekuasaan antara
al-Amin dan al-Ma’mun dipicu oleh persaingan antara golongan Arab yang mendukung al-Amin
dan golongan Persia yang mendukung al-Ma’mun. Tentu saja eksistensi unsur Turki dalam
pemerintahan Abbasiyah semakin menambah persaingan antar bangsa ini.
2
Keberadaan militer unsur Turki ini awalnya tidak membawa masalah bagi dinasti
Abbasiah. Hal ini disebabkan karena khalifah Al-Mu’tashim dan khalifah Al-Watsiq, memiliki
kemampuan memanage mereka. Namun ketika pemerintahan dikendalikan oleh khalifah yang
lemah yakni al-Mutawakkil terjadilah ”pagar makan tanaman”, kalangan militer unsur Turki ini
merebut kekuasaan dengan cepat. Praktis setelah al-Mutawakkil wafat kalangan militer inilah
yang memilih dan mengangkat khalifah. Pada level defacto kekuasaan berada di tangan militer
dan bukan berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan khalifah.1
Tentu saja ini membuat wibawa khalifah merosot tajam.
Hukum evolusi tetap berlaku, seiring dengan degradasi kekuatan tentara Turki dengan
sendirinya muncullah tokoh-tokoh yang kuat di daerah-daerah, yang kemudian memerdekakan
diri dari kekuasaan pusat dan mendirikan dinasti-dinasti kecil. Terjadilah disintegrasi dalam
sejarah politik Islam Bani Abbasiah.2 Secara faktual banyak daerah yang tidak dikuasai khalifah
melainkan berada dalam kekuasaan gubernur-gubernur propinsi bersangkutan. Hubungannya
dengan khalifah Abbasiah hanya ditandai dengan pembayaran upeti. Asumsi yang muncul adalah
atas rasa puas khalifah Abbasiah atas pengakuan nominal daerah adalah: Pertama, para khalifah
tidak cukup kuat untuk menundukkan pemerintah daerah. Kedua, para khalifah lebih
terkonsentrasi pada pembangunan peradaban dan kebudayaan dari pada politik (termasuk
perluasan daerah).
Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai melepaskan diri dari kekuasaan
Dinasti Abbasiyah melalui pemberontakan yang kemudian menghasilkan kemerdekaan penuh.
Yang masuk kategori ini adalah Daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko.
Sementara itu gubernur yang ditunjuk khalifah semakin bertambah kuat kedudukannya juga
melepaskan diri dari Dinasti Abbasiyah, seperti Daulat Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di
Khurasan.
TABEL I di bawah ini menunjukkan diantara dinasti-nasti yang lahir dan melepaskan diri
dari kekuasaan Baghdad pada masa Abbasiyah berdasarkan kategorinya, sedangkan TABEL II
diindeks berdasarkan tahun kekuasaan mereka.3
1
Sepanjang pemerintahan Abbasiyah selalu dilakukan usaha-usaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman para
perwira Turki, tetapi selalu gagal. Dari dua belas khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat
dengan wajar, selebihnya, kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahta dengan paksa.
2
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya juga terjadi di akhir zaman Dinasti Umayyah. Perbedaan antara
Dinasti Umayyah dengan Abbasiah dalam hal ini adalah bahwa wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah, mulai dari
awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Sementara
kekuasaan Dinasti Abbasiah tidak pernah mendapat pengakuan di Spanyol dan seluruh Afrika Utara dan di Mesir
pengakuan itu bersifat pasang surut dan umumnya bersifat nominal.
3
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 65-66.
Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi, 2006),
570-602. Lihat juga Taufik Abdullah, dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hove, t.thn), 85.
3
TABEL I
DINASTI-NASTI YANG LAHIR DAN MELEPASKAN DIRI DARI KEKUASAAN
ABBASIYAH
DIINDEKS BERDASARKAN KATEGORI
TABEL II
DINASTI-NASTI YANG LAHIR DAN MELEPASKAN DIRI DARI KEKUASAAN
ABBASIYAH
DIINDEKS BERDASARKAN TAHUN BERKUASA
Kemunduran Bani Abbas yang disebabkan oleh berbagai faktor mengakibatkan banyak
daerah memerdekakan diri. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Keluasan wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah yang tidak diimbangi dengan upaya
komunikasi yang baik antara pusat dengan daerah.
2. Tingkat kepercayaan dialektis para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
3. Keprofesionalan angkatan bersenjata mengakibatkan tingkat ketergantungan khalifah kepada
mereka sangat tinggi.
4. Kesulitan kondisi keuangan negara.
5. Perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang
Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334 h/945 – 447 h/1055 m) Daulat Abbasiyah
berada di bawah kekuasaan bani Buwaih.
Periode Buwaihi dimulai pada tahun 320 H/932 M sampai tahun 447 H/1055 M.
Masyarakat Buwaihi merupakan suku Dailami yang berasal dari kabilah Syirdil Awandan dari
dataran tinggi Jilan sebelah selatan Laut Kaspia. Profesi mereka yang terkenal adalah sebagai
tentara, khususnya infantri, bayaran. Mereka adalah penganut syiah yang dikenal kuat dan keras
serta memiliki kebebasan yang tinggi. Perkenalan mereka dengan syiah diawali dengan
pengungsian golongan ‘Aliyyah yang ditindas oleh Bani ‘Abbasiyah pada awal tahun 175 H/ 791
M.4 Al-Hasan ibnu Zaid (al-Dâ’î al-Kabîr/w. 270 H/884 M) seorang kalangan ‘Aliyyah
menyebarkan Syi’ah di wilayah Dailam dan mendirikan sebuah kerjaaan ‘Aliyah yang
independen di Dailam dan Jilan. al-Hasan ibnu Zaid emudian digantikan oleh saudaranya Abû
‘Abdullah Muhammad ibnu Zaid (al-Dâ’î ilâ al-Haq/w. 287 H/ 900 M).5
Kehadiran bani Buwaihi berawal dari tiga orang putra Abu Ayuja Buwaihi yang
berprofesi sebagai pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu:
1. ‘Alî ibnu Bûwayh yang oleh Khalifah al-Mustakfî digelar sebagai ‘Imâd al-Daulah
2. Hasan ibnu Bûwayhi bergelar Rukn al-Daulah
3. Ahmad ibnu Bûwayhi bergelar Mu’iz al-Daulah,
Sejarah mencatat bahwa Mardâwij ibnu Ziyâr al-Jîlî pendiri Dinasti Ziyâriyah, di
Thabaristân dan Jurjân, bersekutu dengan Buwaihi. Persekutuan ini dimungkinkan karena
Mardâwij memiliki rasa kepersiaan yang kuat sedangkan kalangan Buwaihi sendiri, khususnya
Rukn al-Daulah, sangat terpengaruh dengan gagasan kepersiaannya. Karena prestasi mereka,
Mardawij mengangkat ‘Ali menjadi gubernur al- Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan
penting lainnya. Dari al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan bani Buwaihi bermula.
Pertama-tama ‘Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz
sebagai pusat pemerintahan. Sayangnya dalam perkembangan selanjutnya Mardâwij
mengandalkan pasukannya yang berkebangsaan Turki dalam kemiliteran yang akhirnya pada
tahun 323 H/935 M ia dibunuh oleh anggota pasukannya sendiri. Dengan kematian Mardâwij
Kalangan Buwaihi kemudian menyebar dan menyusun pasukan militernya sendiri sehingga
mereka menjadi kuat dan akhirnya berhasil memiliki kekuasaan di Fârs, Kirmân, dan Khuzistân.
Seiring dengan ini, kekuatan politik khalifah Abbasiyah menurun tajam dan praktis kekuasaan
politik yang riil berada di tangan panglima tertinggi (amîr al-umarâ). Sepeninggalnya Mardawij,
bani Buwaihi yang bermarkas di Syiraz itu berhasil menaklukan beberapa daerah di Persia
seperti Ray, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. ‘Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah
Abbasiyah al-Radi Billah, dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia
berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian, ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan
Wasith. Dari sini tentara Buwaihi menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat
pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perbuatan jabatan
amir al-umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan
kepada Ahmad ibnu Buwaihi yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad
dan pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal 11 Jumadil-Ula 334 H/945 M. Ia disambut baik
oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi amir al-umara, penguasa politik negara, dengan
gelar Mu’izz al-Daulah. Saudaranya, Ali, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan
pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah dan Hasan yang memerintah di bagian utara,
Isfahan dan Ray, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah. Sejak itu. Sebagaimana terhadap para
pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada bani Buwaihi.
Saat pemerintahan berada di tangan khalifah al-Radî kendali atas politik dan keamanan
secara efektif berada di tangan panglima tertinggi. Sejarah mencatat bahwa pejabat panglima
tertinggi silih berganti. Pada saat jabatan ini dipangku oleh Ahmad ibnu Bûwayh peletakan dasar
dan pembangunan kekuasaannya dilakukan di daerah Ahwâz, Bashrah dan Wâsith dan
melakukan persekutuan dengan pihak luar yakni, Barîdiyah dan Hamdâniyah. Kendali pangima
tertinggi atas pemerintahan begitu kuat, sehingga pengangkatan dan pemberhentian khalifah juga
berada di tangan mereka.
4
Pada tahun 250 H / 864 M golongan ‘Aliyah ini membangun sebuah basis perlawanan
5
Joel L. Kraemer, Renaisance Islam, terj.Asep Saefullah, (Bandung: Mizan 2003), 63-64. Lihat juga David Morgan,
Medieval Persia 1040 – 1797, (London: Longman, 1988), 21-23.
6
Kemunculan Dinasti Buwaihi yang kemudian mampu mengembangkan diri dan eksis
selama 123 tahun menurut analisa Joel L. Kraemer bukanlah suatu kebetulan, ia menyatakan:
Munculnya Dinasti Syi’ah yang bersamaan dengan pertumbuhan yang pesat dari
sebuah kebudayaan yang sangat besar, ketika para pelaku dan penerusnya sering
merupakan orang-orang Muslim non-Sunni, atau Non-Muslim, tentu bukan
merupakan fenomena yang bersifat kebetulan. Pandangan luas yang telah
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan budaya ini dapat pula dianggap
berasal dari orientasi ke-Iran-an (baca: Persia) dari anggota-anggota dinasti ini
dan perwakilan-perwakilannya. Penerimaan terhadap kultur Iran pra-Islam
menumbuhkan sikap positif terhadap warisan dari peradaban-peradaban besar pra-
Islam.
Dalam hal keagamaan pada Dinasti Buwaihi, hal yang pertama muncul dalam benak
adalah pertanyaan akan sekte syi’ah yang dianut oleh Buwaihi. Hal ini muncul karena berbagai
sekte syi’ah sama berkembang dan mendapat dukungan penguasa. Namun demikian,
diasumsikan bahwa kalangan Buwaihi menganut sekte Zaidiyyah, mengikuti keyakinan Syi’ah
yang dominan di tanah kelahiran mereka. Sedangkan menteri Mu’izz Al-Daulah secara jelas
mendukung Syi’ah Dua Belas Imam.
Walaupun toleransi keagamaan dikembangkan oleh pemerintah – Mu’izz Al-Daulah
misalnya menjalankan kebijakan konsilasi keagamaan antara Sunni dan Syi’ah – namun tetap
saja terdapat riak-riak yang menggambarkan intoleransi. Ketegangan-ketegangan antar aliran
memang sudah memburuk sebelum Buwaihi berkuasa. Dari sisi ini, maka tidak mengherankan
jika kemunculan Buwaihi sebagai pengendali kekuasaan dinyatakan semakin mempersulit
masalah. Salah satu contoh kondisi intoleransi ini adalah perampasan kekuasaan oleh golongan
Sunni terhadap perkampungan Karkh yang Syi’ah yang terjadi pada musim panas tahun 338
H/949 M dan saat itu Mu’izz Al-Daulah tidak berada di ibu kota. Kerusuhan ini telah menelan
banyak korban jiwa dan menyebar sampai ke perkampungan yang sebagian penghuninya adalah
Syi’ah.
Pada 349 H/960 M, perselisihan antar golongan ini menyebar sampai ke kedua sisi
Sungai Tigris. Setahun setelah itu Al-Muhallabi melakukan tindakan untuk meredam kerusuhan
tersebut dengan mengerahkan prajurit-prajurit Dailami untuk menduduki pusat kerusuhan, dan
membuang beberapa orang Hasyimi yang terkemuka serta anggota-anggota milisi sipil (ahdats)
ke Khuzistan dan Oman. Al-Muhallabi menunjukkan keseriusanya dalam menghadapi segala
bentuk ekstremisme dari golongan Sufi dan Syi’ah. Ia memerintahkan sejumlah orang untuk
dipenjarakan dan dicambuk karena memercayai divinitas Ibn Abi Al-‘Azaqir dan inkarnasi ‘Ali
dan Fathimah di dalam diri seorang lelaki dan perempuan dari kelompok mereka.
Berbagai fenomena sosial-keagamaan yang terjadi pada masa Buwaihi di Baghdad
selama dekade kedua dan ketiga dari abad ke-10 memang ditindak keras. Tindakan-tindakan
tersebut antara lain:
1. Al-Hallaj, seorang sufi-martir terkemuka, yang mengajarkan doktrin tentang peleburan
dengan Tuhan dan penafsiran spriritual terhadap kewajiban-kewajiban keagamaan, termasuk
haji, dihukum mati pada 922 M, dan tubuhnya digantung di salah satu tiang gantungan di
Bab Al-Thaq.
7
2. Pada tahun 322 H/943 M dua orang sekretaris, Ibrahim ibn Abi ‘Aun dan Muhammad ibn
‘Ali Al-Syalmaghani (yang terakhir dikenal sebagai Ibn Abi Al-‘Azaqir), dituduh tidak
bermoral, banyak melakukan bid’ah, dan memercayai divinitas mereka sendiri dicambuk,
dipancung, dan digantung di tiang gantungan.
Pada masa awal kemunculan Buwaihi Syi’ah Imamiyyah merupakan aliran Syi’ah yang
berpengaruh di Irak dan Iran. Ajarannya secara aktif dielaborasi oleh tokoh-tokohnya yang
legendaris seperti:
1. Al-Kulini (atau Al-Kulaini) yang wafat pada tahun 329 H/941 M
2. Ibn Babuya atau Babawaih yang wafat pada tahun 381 H/991 M
3. Al-Syaikh Al-Muftid – juga dikenal sebagai Ibn Al-Mu’allim – yang wafat pada tahun 413
H/1022 M.
Walaupun ‘Adud al-Daulah tampaknya lebih dekat kepada Syi’ah Imamiyyah ia memiliki
toleransi yang tinggi dalam hal keagamaan. Untuk menyesuaikan dengan aliran yang dianut oleh
bani Abbasiyah maka ‘Adud al-Daulah mengundang Abu Bakr al-Baqillani seorang teolog
‘Asy’ari yang terkenal ke Syiraz untuk mengajari putranya. Toleransi ini bahkan sampai
menghasilkan “sinkretisme”. Hal ini dapat dilihat dari kebijakannya dengan mengancam akan
memperlakukan orang-orang Syi’ah Qum dan Kufah sebagai orang-orang kafir jika mereka
menolak melaksanakan shalat tarawih – suatu ibadah yang ditolak oleh Syi’ah Imamiyyah. Sinar
bintang syiah Imamiyah memudar pada masa pemerintahan Syaraf al-Daulah. Pada masa ini
kaum Zaidiyyah tampil kembali ke posisi depan, dan kaum Zaidiyyah yang telah terdesak hingga
ke Fars, kembali lagi ke Baghdad.
Dinamika sosial masyarakat pada dinasti Buwaihi pada tulisan ini hanya difokuskan pada
penduduk Baghdad yang pada abad ke-4 H/9 M telah padat populasinya, yakni sekitar
seperempat sampai setengah juta jiwa. Berbagai hal menjadi penyebab kesulitan kehidupan di
kota yang padat penduduk ini, antara lain:
1. Kekurangan fasilitas
2. Pelayanan yang tidak tepat
3. Kemulti-etnik-an penduduk, khususnya keragaman komposisi orientasi keagamaan
masyarakat.
4. Kekurang-efisienan administrasi perkotaan.6
Menyadari hal-hal di atas maka tidak mengherankan bila Baghdad pada pertengahan dan akhir
abad ke-10 M – pada masa kejayaan Buwaihi – telah mencapai puncaknya dalam pertumbuhan
kota tetapi dalam saat yang sama memasuki masa kemunduran sosial-ekonomi.
Kemulti-variasi-an penduduk kota-kota Islam yang lain tampaknya juga terjadi di
Baghdad. Sehingga ia bukanlah merupakan entitas perkotaan yang homogen, melainkan ia
merupakan wilayah gabungan (conurbation) yang terdiri dari pemukiman-pemukiman yang
memiliki karakter yang sebagian besar heterogen. Oleh karena itu, cukup beralasan untuk
mengatakan bahwa Baghdad (seperti kota Islam yang lain pada umumnya) merupakan gabungan
dari pemukiman dan daerah pinggiran yang terpisah-pisah, tidak memiliki otoritas atau
adminisrasi perkotaan yang melingkupi seluruh bagian. Kota Bab Al-Bashra dan Al-Karkh
misalnya, masing-masing kota ini adalah kota mandiri memiliki pasar sendiri dengan pelbagai
keahlian dan perdagangan. Nasionalisme kota digantikan dengan nasionalisme distrik atau
kelompok. Namun demikian bukan berarti kota ini selalu mengalami ketegangan yang terus-
menerus.
Pada masa Buwaihi dinamika Baghdad mengalami kemunduran yang pesat. Salah
satunya adalah karena rusaknya fasilitas umum dan ekonomi. Sebagian kerusakan ini adalah
warisan dari masa sebelumnya. Salah satu contoh adalah pertentangan-pertentangan di kalangan
perwira-perwira tinggi yang telah terjadi sebelum kedatangan Buwaihi sepenuhnya telah
menghancurkan kanal-kanal irigasi yang tentu saja berdampak pada instabilitas ekonomi.
6
M.A. Shaban, Islamic History: A New Interpretation, jilid 2, (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 162-
165.
8
Ibrâhîm al-Şâbi merupakan salah satu pujangga prosa terbaik pada masanya. Ia merupakan
Şahib Diwân al-Insyâ yang ditunjuk pada masa Mu’izz al-Daula.
5. Dalam bidang sejarah dikenal Abû ‘Alî Miskawayh dengan karya monumentalnya Tajârib
al-‘Umam. Saat ini yang dapat diakses dari karya ini hanya bagian tahun 295 H dan 369 H.16
Kelebihan Abû ‘Alî Miskawayh dalam sejarah adalah kemampuannya menggambarkan
karakter objek-objek sejarah dengan sempurna.
Setelah Adud al-Daula meninggal ia digantikan oleh dua putranya Şamşâm al-Daula dan
Syaraf al-Daula. Syaraf al-Daula juga berperan sebagai pelindung ilmu pengetahuan. Ia
mendirikan perpustakaan di Syîrâz saat ia masih menjabat sebagai gubernur di Fârs. Ia memiliki
perhatian yang tinggi dalam bidang astronomi. Tidak mengherankan jika ia membangun
observatorium di taman istananya di Baghdad untuk mengobservasi perubahan zodiak.17
Observaotium ini manajemennya diserahkan kepada Abû Sahl Rustum al-Kûhî seorang ahli
astronomi tetapi juga menguasai matematika. Dia melakukan dua eksperimen mengagumkan
terhadap matahari yang kemudian ia jadikan teori skala dan Crab (?).18
Dalam bidang matematika ilmuwan yang sangat dikenal saat itu adalah Abu al-Wafâ
Muhammad al-Buzjânî.19 Ia menulis uraian tentang karya aljabar al-Khawarizmi, Diophantos20,
Euclid (tidak terselesaikannya). Karyanya yang lain adalah (1) tabel astronomi al-Zij al-Wâdih,
(2) manual aritmatika yang diperuntukkan bagi petugas pajak, (3) Kitâb al-Kâmil yang menurut
George Sarton adalah versi sederhana dari Almagest.21
Dalam periode pemerintahan Bahâ’ al-Daula dari tahun 989 M sampai 1012 M semangat
kebudayaan pendahulunya pada kadar tertentu tetap terpelihara walaupun tidak dalam
perlindungan penguasa. Pada masa ini stabilitas negara sangat lemah untuk melakukan
perlindungan kebudayaan dan keilmuwan. Namun demikian tetap juga muncul beberapa
ilmuwan yang berkualitas tinggi. Dalam bidang sastra muncul: (1) Wazîr Abû Naşr Ibnu Ardasîr
yang puisi-puisinya banyak mendapat perhatian kalangan sastrawan Iraq. (2) Syarîf Abu al-
Hasan al-Radî yang dikenal sebagai pujangga terbaik dari suku Quraisy.
Dalam lapangan ilmu pengetahuan hal penting yang terjadi pada masa ini adalah
pendirian Dâr al-‘Ilm oleh Wazîr Sâbûr pada tahun 383 H/993 M di Karkh yang berfungsi
sebagai pusat belajar. Di Dâr al-‘Ilm disediakan katalog dan terdapat 10.400 koleksi buku,
ratusan koleksi al-Qur’an, autograph beberapa ilmuwan.
Di era wazir Fakhr al-Muluk Abu Ghâlib muncul sastrawan Mihyâr ibnu Marwaih al-
Daylamî. Dalam bidang matematika dikenal Muhammad ibnu al-Hasan al-Karakhî yang
menyusun kitab aljabar al-Fakhrî (dipersembahakan untuk menghormati Fakhr al-Muluk Abu
Ghâlib) dan karya aritmetikanya al-Kâfi. Dalam bidang sejarah dikenal Hilâl al-Şâbî.
16
Mafizullah Kabir, “Cultural, 35.
17
Mafizullah Kabir, “Cultural, 38.
18
Mafizullah Kabir, “Cultural, 38.
19
George Sarton menamakan periode al-Buzjânî sebagai periode perkembangan sains pada paruh kedua abad
kesepuluh.George Sarton (1884-1956) adalah ilmuwan yang lahir di Ghent, Belgia. Pindah ke U.S. pada tahun
1915, dan menjadi warga negara US pada tahun 1924. Ia seorang dosen Sejarah Sains di universitas Harvard pada
tahun 1916-1918 dan, 1920-1940 kemudian menjadi professor pada tahun 1940-1951. Lihat Compton’s Interactive
Encyclopedia. Copyright © 1994, 1995 Compton’s NewMedia, Inc.
20
Diophantos (Diophantus) adalah ahli matematika pada masa Yunani yang diperkirakan hidup sekitar tahun 250 M.
ia dikenal dengan sebutan Bapak Aljabar. Lihat Compton’s Interactive Encyclopedia. Copyright © 1994, 1995
Compton’s NewMedia, Inc.
21
Almagest adalah karya astronomi oleh Ptolemy (Claudius Ptolemaeus) yang terdiri dari 13 buku mengetengahkan
teori bahwa objek-objek menakjubkan mengitari bumi. Teori ini dinyatakan sebagai dasar bagi astronomi sampai
masa Copernicus. Lihat Compton’s Interactive Encyclopedia. Copyright © 1994, 1995 Compton’s NewMedia, Inc.
12
LITERATUR
Abdullah, Taufik, dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hove, t.thn.
Bosworth, Clifford Edmund, The Islamic Dynasties, Edinburgh: Edinburgh University Press,
1980.
Compton’s Interactive Encyclopedia. Copyright © 1994, 1995 Compton’s NewMedia, Inc.
Hitti, Philip K., History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi,
Jakarta: Serambi, 2006
Kabir, Mafizullah, “Cultural Development Under The Buwayhids of Baghdad” dalam Journal of
the Asiatic Society of Pakistan, 1, No. 1, 1956
Kraemer, Joel L., Renaisance Islam, terj.Asep Saefullah, Bandung: Mizan 2003
Morgan, David, Medieval Persia 1040 – 1797, London: Longman, 1988.
Shaban, M.A., Islamic History: A New Interpretation, jilid 2, Cambridge: Cambridge University
Press, 1990.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2006.