Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM


“ Peradaban Islam pada Masa Daulah Abbasiyah ”
Guru Pengajar : Firdaus

Dibuat Oleh :

Kelas : 83

Nama Kelompok : Anisa


: Rahma Keyla Sulaeman
: Rasty Octaviany Ruhimat
: Thalita Dwi Andini

MTs Al-Hidayah Sukatani


Jl. Pekapuran No.2, Sukatani, Kec. Tapos, Kota Depok, Jawa Barat
16454
Peradaban Islam pada Masa Daulah Abbasiyah

Peta Sejarah berdirinya


Konsep
Problematika sosial
peradaban islam
pada masa daulah Kemajuan kebudayaan
abbasiyah
Kemajuan politik dan
militer

Sejarah Berdirinya Daulah


Abbasiyah
Daulah Abbasiyah didirikan setelah Daulah Umayyah
ditaklukkan. Keturunan Al-Abbas menjadi pendiri Daulah
Abbasiyah, yaitu Abdullah Al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin
Abdullah bin Al-Abbas. Sejak Abbasiyah datang dari Daulah
Hasyim, keturunan yang dekat dengan Nabi Muhammad merasa
lebih berharga untuk memegang pilar kekuasaan daripada Daulah
Umayyah. Sejak saat itu Daulah Abbasiyah merencanakan untuk menaklukan kekuasaan Daulah
Umayyah yang pada periode terakhir pemerintahannya mengalami kemunduran oleh beberapa
faktor, salah satunya dari khalifah terakhir Dinasti Umayyah itu sendiri. Mengetahui
kekacauan tersebut, akhirnya Daulah Abbasiyah menyerang pusat kepemimpinannya sehingga
Dinasti Umayyah dapat ditaklukan. Daulah Abbasiyah berkembang pesat pada saat itu,
menjadikan Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia. Pemerintahannya dimulai setelah
menjatuhkan Daulah Umayyah dan menaklukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia.
Keturunan Daulah Umayyah yang selamat semuanya melarikan diri dari Damaskus,
menyeberangi Laut Tengah dan mendirikan Dinasti di wilayah-wilayah Andalusia, mereka
memerintah wilayah Andalusia dalam waktu yang cukup lama.
Kekhalifahan Daulah Abbasiyah menjadi kekhalifahan terpanjang dalam sejarah
berdirinya Islam, yang memimpin antara tahun 750-1258 M, dan pusat kota pemerintahannya
adalah Baghdad yang sebelumnya terletak di Damaskus, yang dipindahkan pada tahun 762 M.
Daulah Abbasiyah menguasai seluruh dataran Asia Barat dan Afrika Utara. Daulah Abbasiyah
berfokus pada dataran Irak dan Iran daripada daerah pesisir seperti Israel, Suriah, Lebanon dan
Mesir. Selama 5 abad, Bani Abbasiyah mempertahankan kekuasaan kekhalifahan dan memimpin
para pemimpin Islam untuk mempromosikan pengembangan ilmu pengetahuan dan budaya di
Timur Tengah.

Tokoh-Tokoh Pendiri Daulah Abbasiyah ;

1. Al-Saffah (132-136 H atau 749-754 M). 20. Al-Radi (322-329 H atau 934-940 M).

2. Al-Mansur (136-158 H atau 754-775 M). 21. Al-Muttaqi (329-333 H atau 940-944 M).

3. Al-Mahdi (158-169 H atau 775-785 M). 22. Al-Mustakfi (333-334 H atau 944-946 M).

4. Al-Hadi (169-170 H atau 785-786 M). 23. Al-Muti' (334-363 H atau 946-974 M).

5. Harun Al-Rashid (170-193 H atau 786-809 M). 24. Al-Ta'i' (363-381 H atau 974-991 M).

6. Al-Amin (193-198 H atau 809-813 M). 25. Al-Qadir (381-422 H atau 991-1031 M).

7. Al-Ma'mun (198-218 H atau 813-833 M). 26. Al-Qa'im (422-467 H atau 1031-1075 M).

8. Al-Mu'tasim (218-227 H atau 833-842 M). 27. Al-Muqtadi (467-487 H atau 1075-1094 M).

9. Al-Wathiq (227-232 H atau 842-847 M). 28. Al-Mustazhir (487-512 H atau 1094-1118 M).

10. Al-Mutawakkil (232-247 H atau 847-861 M) 29. Al-Mustarshid (512-529 H atau 1118-1135 M).

11. Al-Muntasir (247-248 H atau 861-862 M). 30. Al-Rashid (529-530 H atau 1135-1136 M).

12. Al-Musta'in (248-252 H atau 862-866 M). 31. Al-Muqtafi (530-555 H atau 1136-1160 M).

13. Al-Mu'tazz (252-255 H atau 866-869 M). 32. Al-Mustanjid (555-566 H atau 1160-1170 M).

14. Al-Muhtadi (255-256 H atau 869-870 M). 33. Al-Mustadi' (566-575 H atau 1170-1180 M).

15. Al-Mu'tamid (256-279 H atau 870-892 M). 34. Al-Nasir (575-622 H atau 1180-1225 M).

16. Al-Mu'tadid (279-289 H atau 892-902 M). 35. Al-Zahir (622-623 H atau 1225-1226 M).

17. Al-Muktafi (289-295 H atau 902-908 M). 36. Al-Mustansir (623-640 H atau 1226-1242 M).

18. Al-Muqtadir (295-320 H atau 908-932 M). 37. Al-Musta'sim (640-656 H atau 1242-1258 M).

19. Al-Qahir (320-322 H atau 932-934 M)


Sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah mencapai
puncak kejayaannya karena diterapkannya berbagai
bentuk pemerintahan sebagai respon terhadap perubahan
politik, sosial, dan budaya. Saat itu pusat pemerintahan
berada di Kufah. Kemudian dipimpin oleh Abu Ja'far al-
Mansur, saudara  Abu Abbas (754-775 M). Beliau
membangun sebuah kota baru, yaitu Baghdad yang diberi gelar Darus Salam (Kota Damai).
Pada awal tahun 750-847 M, perluasan wilayah masih menjadi hal yang utama oleh Dinasti
Abbasiyah dan memperkuat sistem pemerintahan untuk membimbing pemimpin berikutnya.
Pada masa kekhalifahan ini juga hasil pemikiran manusia dan para pakar ilmu yang berasal
dari berbagai bangsa di dunia yang ketika itu berkembang saling melengkapi serta menambah
kemajuan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.

Yang menarik asal-usul perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah
adalah bahwa sebagian besar orang-orang yang berkiprah pada bidang ini tidak hanya berasal
dari bangsa Arab muslim atau dikenal dengan kaum Mawali. Kaum Mawali merupakan kaum
muslim yang berasal dari bangsa non-Arab terutama orang-orang yang berasal dari Persia.
Para ilmuwan muslim pada masa Daulah Abbasiyah menjelajah 3 benua untuk menuntut ilmu
pengetahuan. Ketiga benua yang dipilih adalah benua Asia, Eropa, serta Afrika. Dari ketiga
benua ini semuanya diklaim mengalami kemajuan yang sangat pesat dari seluruh ilmu
pengetahuan. Setelah pulang dari daerah pengembaraannya, para ilmuwan muslim membaca
dan  menerjemahkan kitab-kitab tersebut. Dalam waktu yang usang mereka berusaha menggali
berbagai pengetahuan serta kemudian menulis banyak sekali buku terutama buku-buku dalam
bentuk Dairatul Ma'arif atau saat ini lebih dikenal menggunakan sebutan Ensiklopedia.

Setelah khalifah Abu Ja'far, Baghdad dipimpin oleh khalifah Harun ar-Rasyid, yang
mendirikan perpustakaan terbesar saat itu, yang bernama Baitul Himah atau Rumah
Kebijaksanaan, antara 786-809 M, dan orang-orang terdidik dari kalangan Barat dan orang-
orang Muslim datang ke Baghdad untuk mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan. Daulah
Abbasiyah kemudian dipimpin oleh putra khalifah Harun ar-Rasyid, yaitu al-Amin dan al-
Makmun ar-Rasyid. Khalifah Al-Makmun memimpin Daulah Abbasiyah pada tahun 813-833 M,
kebijakannya adalah memperluas Baitul Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan sehingga menjadi
akademi sains pertama di dunia. Beliau pun mendirikan Majaris Al-Munazharah, yang
melakukan belajar-mengajar di rumah khilafah, masjid dan istana, dan merupakan tanda
kebangkitan kekuatan penuh dari Timur, yang memiliki pusat budaya dan puncak kemajuan
Islam yang terletak di Baghdad.

Pada saat itu, buku-buku karya Yunani dan Syiria kuno juga diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Pemahaman Muktazilah diinternalisasikan oleh khalifah al-Makmun sebagai
mazhab umum yang menggunakan akal sebagai dasar untuk memahami dan menyelesaikan
solusi teologis yang telah memajukan perdebatan teologis secara rinci dan filosofis. Dan
lahirlah ilmu filsafat Islam. Selain itu, berbeda dari khalifah sebelumnya karena dikhususkan
untuk menggunakan pemikiran Sunni dalam sejarah Daulah Abbasiyah yang dipimpin di bawah
bimbingan khalifah al-Mutawakkil dari tahun 847-861 M. Dalam sejarah berdirinya Daulah
Abbasiyah, beliau hidup se-zaman dengan pemikir besar Islam, seperti Abdul Malik bin Habib
(Imam mazhab Maliki), Abdul Malik bin Yahya Al-Ghul (murid Imam Syafi'i), Abu Utsman bin
Manzini (ahli bidang ilmu nahwu), Ibnu Kullab (ahli dalam bidang ilmu kalam), dan lain-lain.

Problematika sosial Daulah


Abbasiyah

Kembali pada masa Daulah Umayyah,


bahwa problematika sosial yang terjadi karena pada masa
itu Umayyah hanya berpihak pada masyarakat Suriah
saja. Pemerintah Daulah Umayyah pada saat itu, hanya
berpihak pada kaum Arab saja, dengan kelompoknya
sendiri. 

Dengan catatan ini, Daulah Abbasiyah bisa mengambil kesimpulan bahwa politik yang
diterapkan menimbulkan kecemburuan sosial, dan timbullah perpecahan. Daulah Abbasiyah
berusaha membenahi itu, sehingga menggalakkan persatuan dan kesatuan antara masyarakat
Makkah, Madinah, Irak, dan juga kaum Syiah, dan bangsa lainnya.  

Jika antar agama Islam dan juga bangsa Arab asli sendiri juga ingin bersatu, tentu bangsa lain
seperti bangsa Persia, Turki atau Saljuk, dan agama lainnya ingin juga dianggap, dan ingin
merasakan suatu kedudukan jabatan di Daulah Abbasiyah.
Di titik permulaan inilah, Daulah Abbasiyah mengalami percampuran dan juga pergolakan
antar bangsanya sendiri. 

Segi positif yang dapat diambil, bahwa adanya interaksi dengan masyarakat Non Arab dan Non
Muslim,  memberikan corak yang begitu beragam di Daulah Abbasiyah,  baik di bidang baik
sosial, politik, kebudayaan, dan lain sebagianya. Semua lapisan masyarakat sangat
diperbolehkan untuk memberi andil bisa menyumbangkan pemikiran, ide, konsep, bahkan ilmu
pengetahuan.

Kemajuan kebudayaan Daulah


Abbasiyah
Bersamaan dengan perkembangan kebudayaan
Islam, pada masa Daulah Abbasiyah, daerah kekuasaan
Islam meluas sampai ke Spanyol di bagian barat dan India
di timur. Dalam waktu berapa tahun, penduduk negeri-
negeri taklukkan itu tetap memeluk agama mereka masing-masing. Maka bisa dikatakan bahwa
perkembangan kebudayaan Islam berjalan seiring dengan penyebaran Islam.

Penduduk negeri-negen taklukan masuk islam dengan rela hati setelah mereka
menyaksikan sendiri perkembangan peradaban Islam dan tata pemerintahan yang tertib
teratur. Mereka juga mendapatkan ketenangan karena mereka bukan saja menjadi Islam tetapi
dari non-Arab menjadi Arab Misalnya penduduk Mesir Sunah, Palestina, Aljazair. Maroko, Libia,
Tunisia, dan Spanyol.

Perkembangan berikutnya, di antara orang-orang non-Arab yang menjadi Arab


tersebut seperti spanyol kembali menegakkan nasionalisme mereka. Spanyol mengusir orang-
orang Islam dari negara mereka Meski terjadi pembersihan, kebudayaan Arab telah mewarnai
dalam beberapa abad.

Pengaruh ke-Arab-an itu tetap mengakar karena ketika Bagdad dan Andalusia menjadi
pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Bangsa-bangsa non-Arab yang telah masuk dalam
wilayah Islam, menggunakan bahasa Arab dan adat istiadat Arab dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka juga bersekolah di perguruan-perguruan Arab. Misalnya raja-raja Spanyol nonmuslim,
seperti Peter 1, Raja Aragon. Sampai-sampal ia hanya mengenal huruf Arab. Alfonso IV juga
mencetak uang dengan memakai tulisan Arab.

Pengaruh tersebut juga terjadi di Sisilla. Raja Normandia, yaitu Roger mengizinkan
istananya menjadi tempat pertemuan para filsuf, dokter-dokter, dan ahli Islam lainnya dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Demikian pula yang terjadi pada Roger II. budaya Arab
sangat kental menjiwai dirinya. Hal itu ditunjukkan dengan pakaian kebesaran yang dipilihnya
adalah pakaian Arab. Gerejanya dihiasi dengan ukiran Arab dan kaligrafi dan wanita-wanita
Kristen Sisilia berpakaian ala wanita-wanita Islam.

Peradaban Islam juga mempengaruhi bangsa-bangsa di luar kekuasaan Islam. Orang-


orang yang berasal dari Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia datang untuk belajar dan
menuntut ilmu ke universitas dan perguruan di Andalusia dan Sisilia. Di antara para penuntut
ilmu itu ada pemuda-pemuda Kristen, misalnya Gerbert d'Aurillac yang belajar di Andalusia, la
kemudian menjadi Paus di Roma.dengan nama Sylvester II. pada tahun 999-1003 M.

Bangsa-bangsa yang terpengaruh peradaban Arab itu banyak yang sudah lupa pada jati
diri mereka sendiri. Maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan Arab sudah meluas dan tidak
terbatas pada bangsa yang berada di Jazirah Arab saja. Sebagai bukti adalah dari kota-kota
yang menjadi pusat kebudayaan Arab tidak hanya di kota-kota wilayah Jazirah Arab saja, tetapi
juga kota-kota di luar Jazirah Arab, misalnya Damaskus, Bagdad, Kairo, dan Kordova,

Peradaban Islam mencapai puncak kejayaan terjadi pada masa pemerintahan Khalifah
Harun Ar-Rasyid dan Khalifah Al-Makmun. Kebudayaan India dan Yunani juga turut
mempengaruhi perkembangan kebudayaan Islam. Kota-kota Jundisapur, Harran, Antakiyah,
dan Iskandariyah adalah pusat-pusat peradaban Yunani sebelum kekuasaan Islam merambah
kota-kota itu. Setelah Islam datang, kebudayaan itu tetap terjaga bahkan berkembang dengan
pesat Ketika itu sastrawan dan budayawan seperti Al Kindi, Umar Khayam, An-Nafisi, Az-
Zamaksyari, Ibnu Maskawih, dan Al-Qusyairi, muncul memberi warna tersendiri dalam
khazanah budaya Islam.

Umar Khayam yang lahir di Nisabur. Khurasan adalah sastrawan besar di zamannya.
Selain sebagai penyair, la juga seorang ilmuwan di bidang matematika, astronomi, dan filsafat.
la bekerja pada Sultan Maliksyah, raja dari Daulah Seljuk yang berkuasa di Persia. Hasil karya
Umar Khayam yang terkenal adalah Rubai'at (empat berpasangan dua-dua). Rubai'at adalah
sajak yang terdiri dari dua baris. Setiap baris terdiri atas dua kalimat setengah syair sehingga
jumlah seluruhnya menjadi empat baris atau biasa disebut kwatron.
Dalam syair-syair rubai'atnya, Umar Khayam sering memberikan kritik dan koreksi
terhadap para ilmuwan. Menurut Umar Khayam para ilmuwan telah menjadikan kebenaran
relatif sebagai kebenaran mutlak dan menjadikannya sebagai bahan perselisihan. Dalam
syairnya, Umar Khayam selalu mencari pembuktian logis ketika menghadapi problem di bidang
filsafat pada masanya. Ketinggian ilmunya tidak membuat Umar Khayam sombong, la justru
sering merasa bodoh dan tidak tahu apa apa di tengah-tengah suasana orang mudah
menyalahkan lawan dan membenarkan dir sendiri. Sajak-sajaknya juga selalu menampakkan
kerendahan hatinya.

Az-Zamakhsyari adalah ilmuwan dan pakar ilmu bahasa dan kesusastraan Arab Karya
sastranya yang berbahasa Arab, antara lain, tentang nahwu, balaghah, dan arud Sedang karya
tulisnya adalah (ushushul Balaghah), Al-Mufrad wa al Mu'allaf fi an Nahwi (satu dan kesatuan
sifat dalam ilmu tata bahasa) dan Al-Mustaqim fi Amsal Al-Arab (peribahasa dalam bahasa
Arab).

Bukti adanya perkembangan kebudayaan pada masa Daulah Abbasiyah ditunjukkan


dengan adanya peninggalan-peninggalan bersejarah, antara lain, berupa istana, masjid, dan
bangunan lainnya. Sampai sekarang peninggalan bersejarah itu banyak yang masih dapat
disaksikan dan sebagai bukti bahwa kebudayaan Islam pada waktu itu sudah mencapai tataran
peradaban dunia.

Pada masa Khalifah Abu Abbas As-Safah berkuasa, ia membangun istana Al Hasyimiyah.
Khalifah Abu Jafar Al-Mansur, membangun Kota Bagdad. Dengan Tanpa adanya kemampuan
para ahli bangunan ketika itu, mustahil pembangunan spektakuler kota itu terlaksana.

Pada masa Daulah Abbasiyah banyak didirikan masjid sebagai pusat kegiatan umat
Islam. Berdasarkan bentuk dan karakter seninya perkembangan pembangunan masjid tidak
sekedar untuk salat saja, masjid juga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan
ilmuwan yang mendiskusikan berbagai macam ilmu pengetahuan.

Beberapa masjid yang dibangun pada masa Daulah Abbasiyah adalah sebagai berikut.

1. Masjid Al-Mansur, dibangun pada masa Khalifah Abu Jafar Al-Mansur.

2. Masjid Raya Ar-Risyafah, dibangun pada masa Khalifah Al-Mahdi.

3. Masjid Jami' Qasr Al-Khalifah, dibangun pada masa Khalifah Al-Muktafi.

4. Masjid Qofiah Umm Jafar, dibangun pada masa Khalifah Al-Muktafi.


5. Masjid Raya Samarra, dibangun pada masa Khalifah Al-Mutawakkil.

6. Masjid Agung Isfahan, dibangun pada masa Sultan Maliksyȧ h.

7. Masjid Kufah.

8. Masjid Talkhatan Baba di Merv.

9. Masjid Alauddin Kaikobad di Nedge.

Kemajuan politik dan


militer
Perkembangan dalam Bidang Politik
Pada masa pemerintahan Abbasiyah kebijakan-kebijakan politik yang dikembangkan antara
lain:

1. Ibu kota Negara dipindahkan dari Damaskus ke Baghdad.


2. Menumpas semua keturunan Bani Umayyah yang membahayakan.
3. Dalam rangka politik, Dinasti Abbasiyah memperkuat diri dengan merangkul orang-
orang Persia, Abbasiyah juga memberi peluang dan kesempatan kepada kaum Mawali.
4. Menumpas pemberontakan-pemberontakan dalam kekuasaan pemerintahan.
5. Menghapus politik kasta yang membahayakan pemerintahan.

Terdapat langkah-langkah lainnya yang digunakan dalam politik yaitu:

1. Para khalifah tetap berasal dari bangsa Arab, sedangkan para menteri, gubernur,
panglima perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali.
2. Kota Baghdad ditetapkan sebagai Ibukota Negara dan juga menjadi sentra aktivitas
politik, ekonomi, dan kebudayaan.
3. Kebebasan berfikir dan berpendapat untuk mendapat bagian yang
tinggi.
Perkembangan pada Bidang Militer
Khalifah Al-Mu'tashim memberi peluang besar
kepada orang-orang Turki untuk masuk pada
pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai
sebagai tentara pengawal. Tak seperti di masa
Daulah Umayyah, Daulah Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik
orang-orang muslim mengikuti perang telah terhenti. Tentara dibina secara spesifik agar
menjadi prajurit-prajurit  profesional. Kekuatan militer Daulah Abbasiyah menjadi sangat
kuat.

Kesimpu
lan
Zaman pemerintahan Daulah Abbasiyah yang
pertama merupakan puncak masa Dinasti ini. Secara
politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat
serta merupakan pusat kekuasaan politik dan
kepercayaan sekaligus. Pada sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai taraf tertinggi. Selain itu Daulah Abbasiyah juga merupakan Daulah
yang menghasilkan konsep-konsep Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Zaman-
zaman Islam yang ditandai dengan penguasaan ilmu pengetahuan di berbagai sektor sudah
membawa kemakmuran tersendiri terhadap rakyat pada saat itu. Kemajuan di segala bidang
yang diperoleh Daulah Abbasiyah menempatkan bahwa Daulah Abbasiyah lebih baik dari Daulah
Umayyah. Di samping itu pada masa Dinasti ini banyak melahirkan tokoh-tokoh muslim
intelektual yang relatif penting hingga hari ini.

Anda mungkin juga menyukai