PENDAHULUAN
0
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda – tanda kematian dan
perubahan yang terjadi setelah seseorang mati serta faktor yang
mempengaruhinya. Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling
penting dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan
jenazah (visum et repertum).
1
Syarat:
- Ada izin dari korban/ keluarganya
- Sudah meninggal
2
2.5 Perubahan-perubahan yang Terjadi Setelah Kematian
Ada 2 fase perubahan post mortem yaitu fase cepat (early) dan fase lambat
(late).
Perubahan cepat (early) :
- Tidak adanya gerakan.
- Jantung tidak berdenyut (henti jantung).
- Paru-paru tidak bergerak (henti nafas).
- Kulit dingin dan turgornya menurun.
- Mata tidak ada reflek pupil dan tidak bergerak.
- Suhu tubuh sama dengan suhu lingkungan lebam mayat (post mortal
lividity).
- Lebam mayat.
Perubahan lambat (late) ;
- Kaku mayat (post mortal rigidity).
- Pembusukan (decomposition).
- Penyabunan (adipocere).
- Mummifikasi.
3
Bila jantung berhenti berdetak, tekanan menurun sekitar setengah sampai
satu jam setelah kematian dan menjadi nol setelah 2 jam setelah
kematian.
- Kadar kalium yang tinggi karena cairan bola mata keluar (jumlah kalium
yang keluar berhubungan dengan waktu kematian).
- Kedudukan pupil. Walaupun iris berespon terhadap kimia beberapa jam
setelah kematian, refleks cahaya menghilang segera saat nukleus batang
otak mengalami iskemik. Iris mengandung jaringan otot yang banyak
sehingga kehilangan tonus dengan cepat dan iris biasanya relaksasi.
- Perubahan pembuluh darah retina melalui pemeriksaan ophtalmoskop
retina akan dapat menentukan satu tanda pasti kematian awal. Setelah
mati, aliran darah pembuluh darah retina menjadi segmen seiring dengan
tekanan darah yang hilang menyebabkan aliran darah terbagi menjadi
beberapa segmen.
4
lingkungan. Berdasarkan penelitian, kurva penurunan suhu mayat akan
berbentuk kurva sigmoid, dimana pada jam – jam penurunan suhu akan
berlangsung lambat, demikian pula bila suhu tubuh mayat telah mendekati
suhu tubuh lingkungan.
Bila telah dicapai suatu keadaan yang dikenal sebagai temperatur gradient,
yaitu suatu keadaan dimana telah terdapat perbedaan suhu yang bertahap di
antara lapisan – lapisan yang menyusun tubuh, maka penyaluran panas dari
bagian dalam tubuh ke permukaan dapat berjalan dengan lancar.
Kini penentuan suhu rektal kerap kali sangat berguna dalam investigasi
kematian yang mencurigakan, kecuali dimana tampak luar mengindikasikan
bahwa tubuh sudah didinginkan oleh suhu sekitarnya.
Hal ini juga harus dititikberatkan bahwa kegunaan dari perkiraan temperatur
ini menetap pada iklim dengan suhu dingin dan menengah dimana tubuh
kehilangan panasnya secara lama sebagaimana halnya keseimbangan pada
temperatur lingkungan, sedangkan pada daerah tropis, penurunan suhu tubuh
post mortem dapat minimal atau bahkan tidak ada pada iklim yang sangat
panas sekali, mayat mungkin dapat menghangat setelah mati.
Saat mati, setelah waktu yang tidak lama, tubuh mulai kehilangan panasnya.
Temperatur lazim pada tubuh dewasa sehat adalah antara 98,4 derajat
Fahrenheit, atau saat dipastikan melalui mulut adalah sekitar 99 derajat
Fahrenheit, dan pada axilla sekitar 97 derajat fahrenheit. Temperatur juga
dapat menunjukkan variasi waktu yang berbeda selama tiap harinya.
Temperatur akan lebih rendah pada pagi hari dan akan lebih tinggi pada sore
hari. Latihan akan meningkatkan temperatur tubuh namun ini akan menurun
menjadi normal dalam setengah jam kemudian.
5
dibanding dibiarkan di udara terbuka. Flora normal atau belatung dapat
meningkatkan temperatur tubuh.
- Keadaan fisik tubuh serta adanya pakaian atau penutup mayat.
Tebalnya jaringan lemak dan jaringan otot serta ketebalan pakaian yang
menutupi tubuh mayat akan mempengaruhi kecepatan penurunan suhu.
Konduksi dan konveksi secara signifikan diturunkan oleh adanya pakaian.
Pakaian yang terbuat dari sutera, wol, atau serat sintetik berperan dalam
menurunkan suhu. Pakaian basah akan mempercepat pendinginan karena
terdapat uptake panas untuk evaporasi.
- Ukuran tubuh.
Anak – anak dan orang dewasa dengan badan kecil akan mengalami
pendinginan yang lebih cepat daripada orang dewasa yang berukuran lebih
besar. Jumlah dari lemak subkutan dan lemak preperitoneal berperan
dalam menentukan cepat lambatnya proses pendinginan. Tubuh seorang
yang kurus akan lebih cepat mendingin karena luas permukaan tubuhnya
yang kecil dan kurangnya lemak.
- Aliran udara dan kelembapan.
Udara disekitar tubuh bertindak sebagai medium pemindah suhu. Dalam
beberapa kondisi, udara hangat biasanya menyelimuti permukaan tubuh
dengan demikian akan memblok perubahan temperatur. Pergerakan udara
pada permukaan tubuh membawa udara dingin yang mempunyai kontak
langsung pada tubuh yang mendorong hilangnya panas. Udara yang
lembab akan mengalirkan panas lebih cepat dibanding yang kering.
- Post mortem caloricity.
Adalah kondisi dimana terjadi peningkatan temperatur tubuh sesudah mati
sebagai pengganti akibat pendinginan tubuh tersebut. Walaupun proses
glikogenolisis post mortem yang berlangsung pada kebanyakan tubuh
sesudah mati, dapat memproduksi kira – kira 140 kalori yang akan
meningkatkan suhu tubuh temperatur 2 derajat celcius.
Rumus perkiraan saat kematian berdasarkan penurunan suhu mayat pada suhu
lingkungan sebesar 70 derajat Fahrenheit (21 derajat celcius), adalah sebagai
berikut :
Saat Kematian = 98,6 o F – Suhu Rektal
1,5
Secara umum 1,5 F / 1 o C per jam, teori lain : 0,8 o F per jam. 1,5 o F / 1 o C
o
per jam 6 jam pertama, 1 o F jam 6 kedua, 0,6 o F per jam 6 jam ketiga, setelah
12 jam mencapai suhu sama dengan suhu lingkungan (untuk kulit).
Sedangkan untuk organ – organ dalam : 24 jam baru bias sama dengan suhu
lingkungan. Bila tenggelam / dalam air : 6 jam sudah mencapai suhu
lingkungan.
6
hypostasis itu sendiri mengandung arti kongesti pasif dari sebuah organ atau
bagian tubuh.
Lebam terjadi sebagai akibat pengumpulan darah dalam pembuluh –
pembuluh darah kecil, kapiler, dan venula, pada bagian tubuh yang terendah.
Dengan adanya penghentian dari sirkulasi darah saat kematian, darah
mengikuti hukum gravitasi. Kumpulan darah ini bertahan sesuai pada area
terendah pada tubuh, memberi perubahan warna keunguan atau merah
keunguan terhadap area tersebut. Darah tetap cair karena adanya aktivitas
fibrinolisin yang berasal endotel pembuluh darah.
Timbulnya livor mortis mulai terlihat dalam 30 menit setelah kematian
somatis atau segera setelah kematian yang timbul sebagai bercak keunguan.
Bercak kecil ini akan semakin bertambah intens dan secara berangsur –
angsur akan bergabung selama beberapa jam kedepan untuk membentuk area
yang lebih besar dengan perubahan warna merah keunguan. Kejadian ini akan
lengkap dalam 6 -12 jam. Sehingga setelah melewati waktu tersebut, tidak
akan memberikan hilangnya lebam mayat pada penekanan. Sebaliknya,
pembentukan livor mortis ini akan menjadi lambat jika terdapat anemia,
kehilangan darah akut, dan lain – lain.
Besarnya lebam mayat bergantung pada jumlah dan keenceran dari darah.
Darah akan mengalami koagulasi spontan pada semua kasus sudden death
dimana otopsi dilakukan antara 1 jam. Koagulasi spontan ini mungkin akan
hilang paling cepat 1,5 jam setelah mati. Tidak adanya fibrinogen pada darah
post mortem akan menyebabkan tidak terjadinya koagulasi spontan.
Fibrinolisin didapatkan dari darah post mortem hanya bertindak pada fibrin,
bukan pada fibrinogen. Fibrinolisin bertindak dengan mengikatkan dirinya
pada bekuan yang baru dibentuk dan kemudian akan lepas menjadi cairan
bersama bekuan yang hancur. Fibrinolisin dibentuk oleh sel endotel dalam
pembuluh darah.
Distribusi lebam mayat bergantung pada posisi mayat setelah kematian.
Dengan posisi berbaring terlentang, maka lebam akan jelas pada bagian
posterior bergantung pada areanya seperti daerah lumbal, posterior abdomen,
bagian belakang leher, permukaan ekstensor dari anggota tubuh atas, dan
permukaan fleksor dari anggota tubuh bawah. Area – area ini disebut juga
areas of contact flattening. Dalam kasus gantung diri, lebam akan terjadi pada
daerah tungkai bawah, genitalia, bagian distal tangan dan lengan. Jika
penggantungan ini lama, akumulasi dari darah akan membentuk tekanan yang
cukup untuk menyebabkan ruptur kapiler subkutan dan membentuk
perdarahan petekiae pada kulit. Dalam kasus tenggelam, lebam biasa
ditemukan pada wajah, bagian atas dada, tangan, lengan bawah, kaki dan
tungkai bawah karena pada saat tubuh mengambang, bagian perut lebih
ringan karena akumulasi gas yang cukup banyak kuat dibanding melawan
kepala atau bahu yang lebih berat. Ekstremitas badan akan menggantung
secara pasif. Jika tubuh mengalami perubahan posisi karena adanya
perubahan aliran air, maka lebam tidak akan terbentuk.
Lebam mayat lama kelamaan akan terfiksasi oleh karena adanya kaku mayat.
Pertama – tama karena ketidakmampuan darah untuk mengalir pada
7
pembuluh darah menyebabkan darah berada dalam posisi tubuh terendah
dalam beberapa jam setelah kematian. Kemudian saat darah sudah mulai
terkumpul pada bagian – bagian tubuh, seiring terjadi kaku mayat. Sehingga
hal ini menghambat darah kembali atau melalui pembuluh darahnya karena
terfiksasi akibat adanya kontraksi otot yang menekan pembuluh darah. Selain
itu dikarenakan bertimbunnya sel – sel darah dalam jumlah cukupbanyak
sehingga sulit berpindah lagi.
Biasanya lebam mayat berwarna merah keunguan. Warna ini bergantung pada
tingkat oksigenisasi sekitar beberapa saat setelah kematian. Perubahan warna
lainnya dapat mencakup:
- Cherry pink atau merah bata (cherry red) terdapat pada keracunan oleh
carbonmonoksida atau hydrocyanic acid.
- Coklat kebiruan atau coklat kehitaman terdapat pada keracunan kalium
chlorate, potassium bichromate atau nitrobenzen, aniline, dan lain – lain.
- Coklat tua terdapat pada keracunan fosfor.
- Tubuh mayat yang sudah didinginkan atau tenggelam maka lebam akan
berada didekat tempat yang bersuhu rendah, akan menunjukkan bercak
pink muda kemungkinan terjadi karena adanya retensi dari oxyhemoglobin
pada jaringan.
- Keracunan sianida akan memberikan warna lebam merah terang, karena
kadar oksi hemoglobin (HbO2) yang tinggi.
8
Mikroskopis Unsur darah ditemukan Unsur darah ditemukan
diantara pembuluh darahdiluar pembuluh darah
dan tidak terdapat
dan tampak bukti
peradangan peradangan
Enzimatik Tidak ada perubahan Perubahan level dari
enzim pada daerah yang
terlibat
Kepentingan Memperkirakan waktu Memperkirakan cedera,
medicolegal kematian dan posisi saat senjata yang digunakan
mati
Tabel 1. Perbedaan antara lebam mayat dan luka memar
9
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortal dan mencapai
puncaknya setelah 10 – 12 jam post mortal, keadaan ini akan menetap selama
24 jam, dan setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan
urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot – otot wajah, leher, lengan, dada,
perut, dan tungkai.
Kekakuan pertama ditemukan pada otot – otot kecil, bukan karena itu terjadi
pertama kali disana, melainkan karena adanya sendi yang tidak luas, seperti
contohnya tulang rahang yang lebih mudah diimobilisasi.
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme
tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang
menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk memecah ADP menjadi
ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur.
Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi,
aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Faktor – faktor yang
mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktifitas fisik sebelum mati, suhu
tubuh yang tinggi, bentuk tubuh yang kurus dengan otot – otot kecil dan suhu
lingkungan yang tinggi. Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa
persendian. Kaku mayat mulai tampak kira – kira 2 jam setelah mati klinis,
dimulai dari bagian luar tubuh (otot – otot kecil) ke arah dalam (sentripetal).
Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal.
Setelah mati klinis 12 jam, kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan
selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku
mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum
terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat
terbentuk akan terjadi pemendekan otot.
Proses terjadinya kaku mayat dapat melalui beberapa fase :
- Fase pertama
Sesudah kematian somatik, otot masih dalam bentuk yang normal. Tubuh
yang mati akan mampu menggunakan ATP yang sudah tersedia dan ATP
tersebut diresintesa dari cadangan glikogen. Terbentuknya kaku mayat
yang cepat adalah saat dimana cadangan glikogen dihabiskan oleh latihan
yang kuat sebelum mati, seperti mati saat terjadi serangan epilepsi atau
spasme akibat tetanus, tersengat listrik, atau keracunan strychnine.
- Fase kedua
Saat ATP dalam otot berada dibawah ambang normal, kaku akan dibentuk
saat konsentrasi ATP turun menjadi 85%, dan kaku mayat akan lengkap
jika berada dibawah 15%.
- Fase ketiga
Kekakuan menjadi lengkap dan irreversible.
- Fase keempat
Disebut juga fase resolusi. Saat dimana kekakuan hilang dan otot menjadi
lemas. Salah satu pendapat terjadinya hal ini dikarenakan proses denaturasi
dari enzim pada otot.
Metode yang sering digunakan untuk mengetahui ada tidaknya rigor mortis
adalah dengan melakukan fleksi atau ekstensi pada persendian tersebut.
Beberapa subyek, biasanya bayi, orang sakit, atau orang tua, dapat
10
memberikan kekakuan yang kurang dapat dinilai, kebanyakan dikarenakan
lemahnya otot mereka.
Kaku menyebar ke seluruh otot dalam beberapa kondisi dapat mencapai nilai
maksimum antara 6 – 12 jam. Kondisi ini tidak berubah sampai massa otot
mulai menjalani autolisis, dimana akan melemas berangsur – angsur kembali
seperti periode perubahan awal post – mortem. Kekakuan mayat lengkap
dapat terjadi antara 18 – 36 jam.
11
Resintesis ATP bergantung pada ketersediaan glikogen, dimana akan
dikurangi dengan adanya aktifitas berat sebelum mati. Secara normal, hal ini
muncul pada periode awal setelah kematian dimana tingkat ATP
dipertahankan atau bahkan meningkat sebagai hasil dari pembebasan fosfat
oleh proses glikogenolisis.
Kekakuan dimulai saat konsentrasi ATP turun menjadi 85% dari normal, dan
kekakuan otot akan maksimal saat kadar turun menjadi 15%.
Saat sudah sempurna, kekakuan “dipatahkan” dengan gerakan memaksa dari
anggota badan atau leher, lalu jika tidak kembali, maka hal ini memudahkan
dilakukannya pekerjaan dalam kamar mayat atau memasukkan ke dalam peti
mati. Namun jika kekakuan tetap terbentuk, maka kekakuan tersebut akan
berlanjut pada posisi yang baru sesuai gerakan terakhir.
Kadang, kekakuan dapat membantu memperlihatkan bahwa tubuh telah
dipindahkan antara saat mati dan saat ditemukan.
12
pada cuaca panas. Hal ini dikarenakan perusakan ATP lebih cepat pada
cuaca panas.
- Kondisi fisiologis sebelum mati
Berdasarkan observasi, tubuh seseorang yang kurus atau mati karena
penyakit akan melalui proses yang cepat menuju kekakuan, dimana
biasanya dengan durasi yang cepat. Pada kasus orang yang meninggal
karena septicemia, kaku mayat terlihat lebih dini sejak 3 setengah menit
pertama dan hilang pada 15 menit sampai 1 jam, saat pembusukan dimulai.
Pada kematian karena asfiksia, perdarahan hebat, apoplexy, pneumonia,
dan penyakit saraf dengan paralisis otot, maka onset akan lebih lama.
- Kondisi otot sebelum mati
Onset akan berjalan lambat dan durasi berjalan lama pada kasus dimana
otot dalam kondisi sehat sebelum kondisi mati. Onset akan berjalan cepat
jika otot berada dalam kondisi kelelahan. Pada orang yang mati saat lari,
kaku akan terbentuk dengan cepat pada daerah kaki sebelum menuju ke
daerah lainnya.
- Pengaruh sistem saraf pusat
Pada saat stres, kaku mayat terjadi karena perubahan kimia yang terjadi
pada otot setelah kematian sebagai bentuk dari aktifitas selular dan
enzimatik.
- Umur
Kaku biasanya tidak terjadi pada janin yang tidak lebih dari 7 bulan, tapi
masih bisa ditemukan pada bayi yang cukup bulan. Kaku bisa timbul dan
menghilang dengan sangat dini.
13
dengan menggerakan ke arah sikap ekstensi seperti halnya pada rigor
mortis, dan akan menetap sampai timbulnya pembusukan.
b. Cold Stiffening
Penurunan temperatur pada mayat dibawah 3,5 derajat celcius atau 40
derajat Fahrenheit akan menghasilkan memadatnya lemak subkutan dan
otot. Saat tubuh dibawa untuk dihangatkan, akan timbul true rigor mortis.
Pada lingkungan bersuhu dingin ekstrim, cairan tubuh juga akan
membeku termasuk persendian, sehingga bila sendi ditekuk akan
terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi. Pada temperatur yang
ekstrim, otot akan mengalami kekakuan yang palsu. Pada udara yang
sangat dingin, saat panas tubuh hilang, otot dapat mengeras karena cairan
tubuh menjadi beku dan memadat, seperti pada daging yang disimpan
pada freezer.
Membedakan orang mati karena kedinginan dengan orang yang telah
mati sebelum kedinginan :
Bila orang mati di kutub -> kematian terjadi karena kedinginan.
Dingin membuat suhu tubuhnya menjadi kaku, belum terjadi rigor
mortis / kaku mayat. Sehingga apabila nanti dihangatkan, tubuh
mayat akan lemas dan kemudian terjadi rigor mortis (kaku mayat).
Bila orang yang mati duluan, kemudian dibuang ditempat yang
dingin -> tubuh mayat yang dibuang akan tetap kaku karena udara
dingin, tetapi setelah dihangatkan tubuh mayat akan tetap lemas.
Tidak akan terjadi rigor mortis.
c. Cadaveric Spasm
Cadaveric spasm terjadi pada kematian yang disebabkan jika seseorang
berada ditengah aktifitas fisik atau emosi yang kuat, yang kemudian
menuntun pada kekakuan post – mortem instan yang sedikit kurang dapat
dipahami. Hal ini harus diawali dengan aktifitas saraf motorik, tetapi
beberapa alasan mengatakan terdapat kegagalan relaksasi normal.
Fenomena biasanya terjadi hanya pada 1 daerah otot, contohnya otot
fleksor tangan, dibanding seluruh tubuh. sesungguhnya merupakan kaku
mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh
relaksasi primer. Penyebabnya adakah akibat habisnya cadangan
glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena
kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal.
Keuntungannya, kebanyakan penyidik dapat mengetahui saat seseorang
diduga mati dibunuh atau bunuh diri saat melihat tangannya yang
menggenggam senjata. Jika menemukan korban yang tenggelam, atau
jatuh dari ketinggian, hal ini memiliki nilai yang memastikan bahwa
orang tersebut masih hidup saat dia jatuh, dengan demikian hal ini
membedakan pada korban post – mortem yang dibuang.
14
primary flaccidity kondisi mati seketika
Otot yang terlibat Semua otot dalam tubuh Otot tertentu, sesuai
keadaan kontraksi saat
mati
Intensity Moderate Sangat kuat
Durasi 12 – 24 jam Beberapa jam, sampai
digantikan posisinya oleh
rigor mortis
Faktor predisposisi - Rangsangan, ketakutan,
kelelahan
Mekanisme pembentukan Penurunan ATP dibawah Tidak diketahui
level kritis
Hubungan medikolegal Mengetahui waktu Mengetahui cara
kematian kematian, bisa karena
bunuh diri, kecelakaan,
atau pembunuhan
Tabel 3. Perbedaan antara rigor mortis dengan cadaveric spasm
15
seluruh membran sel termasuk sel darah dan berperan pada pembentukan
hemolisis pada darah post mortem. Enzim ini juga berperan dalam
hidrolisis post mortem dan hidrogenasi lemak tubuh.
Aktifitas pembusukan berlangsung optimal pada suhu antara 70 sampai
100 derajat Fahrenheit dan berkurang pada suhu dibawah 70 derajat
Fahrenheit. Oleh sebab itu, penyebaran awal pembusukan ditentukan
oleh dua faktor yaitu sebab kematian dan lama waktu saat suhu tubuh
berada dibawah 70 derajat Fahrenheit.
c. Perubahan Warna.
Pembusukan diikuti dengan hilangnya kaku mayat, tetapi pada suhu yang
sangat tinggi dan kelembapan tinggi, maka pembusukan terjadi sebelum
kaku mayat hilang.
Tanda awal pembusukan adalah tampak adanya warna hijau pada kulit
dan dinding perut depan, biasanya terletak pada sebelah kanan fossa
iliaca, dimana daerah tersebut merupakan daerah colon yang
mengandung banyak bakteri dan cairan. Warna ini terbentuk karena
perubahan hemoglobin menjadi sulpmethaemoglobin karena masuknya
H2S dari usus ke jaringan. Warna ini biasanya muncul antara 12 – 18 jam
pada keadaan panas dan 1 – 2 hari pada keadaan dingin dan lebih tampak
pada kulit cerah.
Warna hijau ini akan menyebar ke seluruh dinding perut dan alat kelamin
luar, menyebar ke dada, leher, wajah, lengan, dan kaki. Rangkaian ini
disebabkan karena luasnya distribusi cairan atau darah pada berbagai
organ tubuh.
Pada saat yang sama, bakteri yang sebagian besar berasal dari usus,
masuk ke pembuluh darah. Darah didalam pembuluh akan dihemolisis
sehingga akan mewarna pembuluh darah dan jaringan penujang,
memberikan gambaran marbled appearence. Warna ini akan tetap ada
sekitar 36 – 48 jam setelah kematian dan tampak jelas pada vena
superficial perut, bahu dan leher.
d. Pembentukan Gas Pembusukan.
Pada saat perubahan warna pada perut, tubuh mulai membentuk gas yang
terdiri dari campuran gas tergantung dari waktu kematian dan
lingkungan. Gas ini akan terkumpul pada usus dalam 12 – 24 jam setelah
kematian dan mengakibatkan perut membengkak. Dari 24 – 48 jam
setelah kematian, gas terkumpul dalam jaringan, cavitas sehingga tampak
mengubah bentuk dan membengkak. Jaringan subkutan menjadi
emphysematous, dada, skrotum, dan penis, menjadi teregang. Mata dapat
keluar dari kantungnya, lidah terjulur diantara gigi dan bibir menjadi
bengkak. Cairan berbusa atau mukus berwarna kemerahan dapat keluar
dari mulut dan hidung. Perut menjadi sangat teregang dan isi perut dapat
keluar dari mulut. Sphincter relaksasi dan urine serta feses dapat keluar.
Anus dan uterus prolaps setelah 2 – 3 hari.
Gas terkumpul diantara dermis dan epidermis membentuk lepuh. Lepuh
tersebuh dapat mengandung cairan berwarna merah, keluar dari
pembuluh darah karena tekanan dari gas. Biasanya lepuh terbentuk lebih
16
dahulu dibawah permukaan, dimana jaringan mengandung banyak cairan
karena oedema hipostatik. Epidermis menjadi longgar menghasilkan
kantong berisi cairan bening atau merah muda disebut skin slippage yang
terlihat pada hari 2 – 3.
Antara 3 – 7 hari setelah kematian, peningkatan tekanan gas pembusukan
dihubungkan dengan perubahan pada jaringan lunak yang akan membuat
perut menjadi lunak. Gigi dapat dicabut dengan mudah atau keropos.
Kulit pada tangan dan kaki dapat menjadi “glove and stocking”. Rambut
dan kuku menjadi longgar dan mudah dicabut.
5 – 10 hari setelah kematian, pembusukan bersifat tetap. Jaringan lunak
menjadi masa semisolid berwarna hitam yang tebal yang dapat
dipisahkan dari tulang dan terlepas. Kartilogi dan ligament menjadi
lunak.
e. Skeletonisasi.
Skeletonisasi berlangsung tergantung faktor intrinsik dan ekstrinsik dan
lingkungan dari mayat tersebut, apakah terdapat di udara, air, atau
terkubur. Pada umumnya tubuh yang terkena udara mengalami
skeletonisasi sekitar 2 – 4 minggu tetapi dapat berlangsung lebih cepat
bila terdapat binatang seperti semut dan lalat, dapat pula lebih lama bila
tubuh terlindungi contohnya terlindung daun dan disimpan dalam semak.
Dekomposisi berbeda pada setiap tubuh, lingkungan dan dari bagian
tubuh yang satu dengan yang lain. Terkadang, satu bagian tubuh telah
mengalami mumifikasi sedangkan bagian tubuh lainnya menunjukkan
pembusukan. Adanya binatang akan menghancurkan jaringan luna dalam
waktu yang singkat dan dalam waktu 24 jam akan terjadi skeletonisasi.
f. Pembusukan Organ Dalam.
Perubahan warna muncul pada jaringan dan organ dalam tubuh walaupun
prosesnya lebih lama dari yang dipermukaan. Jika organ lebih lunak dan
banyak vascular maka akan membusuk lebih cepat. Warna merah
kecoklatan pada bagian dalam aorta dan pembuluh darah lain muncul
pada perubahan awal. Adanya hemolisis dan difusi darah akan mewarnai
sekeliling jaringan atau organ dan merubah warna organ tersebut menjadi
hitam. Organ menjadi lunak ,berminyak, empuk dan kemudian menjadi
masa semiliquid.
Awal Akhir
Laring dan trakhea Paru – paru
Lambung dan usus Jantung
Limpa Ginjal
Omentum dan mesenterium Oesofagus dan diafragma
Hati Kandung kencing
Otak Pembuluh darah
Uterus gravid Prostat dan uterus
Tabel 4. Susunan perubahan pembusukan pada organ dalam
17
a. Faktor Eksogen
1. Temperatur atmosfer.
Temperatur atmosfer lingkungan yang tinggi akan mempercepat
pembusukan. Pada umumnya, proses pembusukan berlangsung
optimal pada suhu 70 sampai 100 derajat Fahrenheit dan bila
temperatur dibawah 70 derajat Fahrenheit, proses menjadi lebih
lambat, walaupun enzim yang diproduksi bakteri terus berlangsung.
Tubuh yang sudah mati dapat diawetkan selama waktu tertentu dalam
lemari pendingin, salju, dan sebagainya. Pada beberapa kondisi
(khususnya pada bulan musim hujan), warna hijau ditemukan pada
mayat setelah 6 – 12 jam post mortem.
2. Adanya udara dan cahaya.
Udara sangat mempengaruhi temperatur dan kelembapan yang
mengakibatkan seperti hal diatas. Secara tidak langsung, lalat dan
serangga biasanya menghindari bagian tubuh yang terekspos sinar,
cenderung meletakan telurnya pada kelopak mata, lubang hidung, dan
sebagainya.
3. Terbenam dalam air.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi proses dekomposisi. Air yang diam
atau mengalir, air laut atau air berpolusi, suhu air, kedalaman air dan
lainnya dapat mempengaruhi pembusukan.
Pembusukan berlangsung lebih lambat di air dibandingkan di udara.
Rumus Casper menyatakan bahwa waktu pembusukan di udara diberi
nilai 1, jika di air bernilai 2, dan pada mayat yang terkubur bernilai 8.
4. Mengapung diatas air.
Biasanya tergantung dari produksi dan akumulasi gas di jaringan dan
rongga tubuh. Gaya gravitasi cadaver lebih besar dari air maka tubuh
akan cenderung tenggelam sampai adanya cukup gas sehingga
membuat tubuh mengapung. Maka dari itu, pembentukan gas akan
membantu tubuh untuk naik ke permukaan air. Beberapa faktor seperti
umur, jenis kelamin, pakaian, kondisi tubuh, musim, keadaan air dapat
mempengaruhi waktu mengapung yang berperan dalam proses
pembusukan dan pembentukan gas.
Penampakan warna dekomposisi pada permukaan tubuh menjadi
kacau dimana tubuh yang terendam dalam air memiliki postur tertentu
yaitu kepala dan wajah terletak lebih rendah dari bagian tubuh lainnya
karena kepala lebih berat dan padat. Bagian batang tubuh berada
paling atas dan anggota gerak tergantung secara pasif pada posisi yang
lebih rendah. Posisi ini menyebabkan darah banyak menuju kepala
dan mempercepat pembusukan.
18
Perut Bahu
Tungkai Lengan
Tabel 5. Perbedaan pembusukan dalam air dan pada udara
5. Terkubur dalam tanah.
Pada umumnya tubuh yang terkubur dalam tanah yang dalam akan
membusuk lebih lama daripada tubuh yang terkubur dalam tanah yang
dangkal. Pada tubuh yang terkubur pada tempat yang basah, daerah
rawa, tanah liat, maka pembusukan akan lebih cepat. Pembusukan
akan berlangsung lebih lama jika dikubur di tanah kering, tanah
kuburan pada dataran tinggi, atau kuburan yang dalam. Adanya zat
kimia disekitar tubuh, khususnya lemon, akan memperlambat
pembusukan.
Tubuh yang terkubur tanpa pakaian atau kafan pada tanah berpori
yang kaya bahan organik, akan menunjukkan pembusukan yang lebih
lama.
Waktu antara saat kematian dengan saat dikuburkan dan lingkungan
sekitar tubuh pada waktu ini akan mempengaruhi proses pembusukan.
Semakin lama tubuh berada di tanah sebelum dikuburkan, maka akan
mempercepat pembusukan khususnya bila tubuh diletakkan pada
udara yang hangat.
b. Faktor Endogen
1. Sebab kematian.
Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, pembusukan akan
berlangsung lebih lama daripada orang yang meninggal karena sakit.
Kematian karena gas gangren, sumbatan usus, bakteriemia /
septikemia, aborsi akan menunjukkan proses pembusukan yang lebih
cepat. Racun yang dapat memperlambat pembusukan yaitu potassium
sianida, barbiturat, fosfor, dhatura, strychnine, dan sebagainya. Pada
kasus strychnine, terjadi kejang yang lama dan berulang, proses
pembusukan akan dipercepat, dimana terjadi kejang dengan sedikit
kelelahan otot, pembusukan akan menjadi lebih lama. Keracunan
kronis oleh logam akan memperlambat pembusukan karena
memperlambat efek jaringan. Alkoholik kronik umumnya akan
mempercepat pembusukan.
Jika tubuh terurai saat kematian, anggota gerak akan menunjukkan
pembusukan yang lambat, batang tubuh akan membusuk seperti biasa.
2. Kondisi tubuh.
Kelembapan pada tubuh akan menunjang pembusukan. Cairan pada
tubuh manusia kira – kira dua per tiga dari berat badan. Maka dari itu
pada tubuh yang mengandung sedikit cairan seperti rambut, gigi,
tulang akan memperlambat pembusukan. Pada kasus dehidrasi akan
memperlambat pembusukan. Tubuh yang sangat kurus akan lebih
lambat membusuk dibandingkan dengan tubuh yang gemuk karena
jumlah cairan pada orang yang kurus lebih sedikit.
3. Pakaian pada tubuh.
19
Pada tubuh yang terpapar udara, pakaian dapat mempercepat
pembusukan dengan menjaga suhu tubuh tetap hangat. Pakaian yang
ketat dapat memperlambat pembusukan karena menekan bagian tubuh
sehingga darah sedikit yang terkumpul pada daerah yang tertekan.
4. Umur dan jenis kelamin.
Tubuh bayi yang baru lahir akan membusuk lebih lambat karena
masih steril. Jika bayi baru lahir tersebut mengalami trauma selama
atau setelah lahir atau sudah mendapat makanan setelah lahir, maka
akan membusuk lebih awal. Tubuh anak – anak membusuk lebih cepat
daripada orang tua, dimana pada orang tua akan membusuk lebih lama
karena mengandung cairan lebih sedikit.
Jenis kelamin tidak terlalu berpengaruh. Tubuh wanita memiliki lemak
yang lebih banyak yang akan mempertahankan panas lebih lama, yang
akan mempercepat proses pembusukan.
20
kondisi penguburan, dan barang – barang sekitar jenazah. Keuntungan adanya
adiposera ini :
- Tubuh korban akan mudah dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang
sangat lama sekali sampai ratusan tahun.
- Dapat pula untuk mengetahui sebab – sebab kematian jangka waktu
dekat seperti kecelakaan, namun dapat juga digunakan untuk waktu yang
lama.
- Tempat untuk pembuangan tubuh dapat diketahui.
- Tanda – tanda positif dari kematian dapat diketahui dari kematian sampai
beberapa minggu atau mungkin beberapa bulan.
Lemak tubuh pada waktu meninggal mengandung hanya sekitar 0,5% dari
asam lemak bebas namun sekitar empat minggu setelah kematian dapat
meningkat sampai 20% dan setelah 12 minggu dapat meningkat menjadi 70%
bahkan lebih. Pada saat ini adiposera dapat terlihat dengan jelas berwarna
putih keabuan menggantikan jaringan lunak. Pada awal saponifikasi, dimana
belum terlalu jelas terlihat pemeriksaan dapat dengan menggunakan analisa
asam palmitat.
Adiposera dapat diketemukan bercampur dengan dekomposisi yang lain
tergantung dari letak tubuh dan lingkungan yang bervarias, maka salah satu
tubuh dapat menjadi saponifikasi di bagian tubuh yang lain dapat menjadi
mumifikasi atau pembusukan.
2.13 Mumifikasi
Perubahan – perubahan yang terjadi pada tubuh akibat dekomposisi dapat
dihambat dan digantikan dengan mumifkasi. Mumifikasi secara harafiah
menggambarkan proses pembentukan “mumi”, sebuah kata yang diambil dari
bahasa Persia “mum” yang berarti lilin. Kata ini diambil dari catatan sejarah
Yunan kuni yang menggambarkan bangsa Persia, dalam penghormatan
terhadap bangsawannya, mengawetkan mereka dengan lilin. Mayat yang
mengalami mumifikasi akan tampak kering, berwarna coklat, kadang disertai
bercak warna putih, hijau atau hitam, dengan kulit yang tampak tertarik
terutama pada tonjolan tulang, seperti pada pipi, dagu, tepi iga, dan panggul.
Organ dalam umumnya mengalami dekomposisi menjadi jaringan padat
berwarna coklat kehitaman. Sekali mayat mengalami proses mumifikasi,
maka kondisinya tidak akan berubah, kecuali bila diserang oleh serangga.
Mumifikasi pada orang dewasa umumnya tidak terjadi pada seluruh bagian
tubuh. Pada umumnya mumifikasi terjadi pada sebagian tubuh, dan pada
bagian tubuh lain proses pembusukan terus berjalan. Menurut Knight,
mumifikasi dan adiposera kadang terjadi bersamaan karena hidrolisa lemak
membantu proses pengeringan mayat.
Mumi secara alami jarang terbentuk karena dibutuhkannya suatu kondisi yang
spesifik, namun proses ini menghasilkan mumi – mumi tertua yang dikenal
manusia. Mumi alami yang tertua, diperkirakan berasal dari tahun 7400SM.
Mumifikasi umumnya terjadi pada daerah dengan kelembapan yang rendah,
sirkulasi udara yang baik dan suhu yang hangat, namun dapat pula terjadi di
daerah dingin dengan kelembapan rendah. Ditempat yang bersuhu panas,
21
mumifikasi lebih mudah terjadi, bahkan hanya dengan mengubur dangkal
mayat dalam tanah berpasir. Faktor dalam tubuh mayat yang mendukung
terjadinya mumifikasi antara lain adalah dehidrasi premortal, habitus yang
kurus dan umur yang muda, dalam hal ini neonatus.
Kasus mumifikasi dengan preservasi anatomi dan topografi yang cukup baik
di Indonesia ditemukan pada Januari 1988 di desa Cibitung kabupaten Bekasi,
Jawa Barat. Kasus ini adalah temuan kedua di Indonesia, mayat ditemukan
dalam sebuat kamar tertutup dengan suhu kamar 32 – 34 derajat Celcius
dengan kelembapan 62 – 67%. Mayat nenek ini ditemukan setelah sang nenek
menurut keluarga menghilang tujuh bulan sebelumnya. Saat ditemukan, mata,
hidung, dan mulut sudah tidak ada. Sebagian pipi dan bibir tersisa kulit kering
berwarna kelabu. Leher kiri dan kanan terdapat kulit dan jaringan otot yang
mengering. Bagian depan masih utuh seluruhnya, berupa kulit dan otot yang
mengering, kaku dan keras. Pada bagian belakang hanya tulang iga saja yang
masih utuh. Rongga dada perut telah kosong seluruhnya. Lengan kanan
berupa kulit berwarna kelabu, telapak dan punggung tangan masih utuh dan
mengering. Lengan kiri mengering warna kuning kelabu dengan tangan kiri
tinggal tulang – tulang saja. Tungkai kanan dan kiri tampak sebagai kulit dan
otot yang telah kering berwarna kuning coklat dengan bercak kelabu. Secara
mikroskopis kulit masih menunjukkan gambarang yang dapat dikenali
sebagai kulit, otot tampak sebagai serabut yang sedikit bergelombang
berwarna eosinofilik dan homogen tanpa inti sel.
Mumifikasi sering terjadi pada bayi yang meninggal ketika baru lahir.
Permukaan tubuh yang lebih luas dibanding orang dewasa, sedikitnya bakteri
dalam tubuh dibanding orang dewasa membantu penundaan pembusukan
sampai terjadinya pengeringan jaringan tubuh. Pada orang dewasa secara
lengkap jarang terjadi, kecuali sengaja dibuat oleh manusia.
22
Karena sifat dari jaringan tubuh yang termumifikasi cenderung keras dan
rapuh, maka untuk dapat memeriksanya potongan kecil jaringan direndam
dalam sodium karbonat atau campuran alkohol, formalin dan sodium
carbonate. Pada proses mumifikasi tubuh yang lebih lengkap, maka untuk
dapat melakukan pemeriksaan dalam, mayat harus direndam dalam glycerin
15% selama beberapa saat.
Kepentingan forensik yang tak kalah penting pada mumifikasi adalah
identifikasi. Walau terjadi pengerutan namun struktur wajah, rambut, dan
beberapa kekhususan pada tubuh seperti tato dapat bertahan sampai bertahun
– tahun. Terperliharanya sebagian dari anatomi dan topografi jenasah pada
proses mumifikasi memungkinkan pemeriksaan radiologi yang lebih teliti.
Dengan pemeriksaan radiologi, jejas- jejas yang mungkin terlewatkan dalam
pemeriksaan mayat dan bedah mayat dapat ditunjukkan dengan jelas dan
dieksplorasi kembali lewat pemeriksaan bedah jenasah. Pemeriksaan CT scan
pada mumi juga dapat mengungkapkan jejas pada lokasi yang sulit dijangkau,
bahkan dengan pemeriksaan bedah mayat.
Proses mumifikasi juga memungkinkan dilakukannya pemeriksaan DNA,
baha pada jenasah yang berusia ratusan atau ribuan tahun. Laposan kulit luar
yang miskin akan inti sel mungkin tidak cukup baik diambil sebagai sampel,
namun tulang, akar rambut, organ dalam dan sisa cairan tubuh yang
mengering pada mumi dapat digunakan untuk pemeriksaan DNA. Yang harus
diingat dalam pemanfaatan mumi untuk kepentingan forensik bahwa pada
mumifikasi terjadi pengerutan kulit yang dapat menimbulkan artefak pada
kulit yang menyerupai luka / jejas terutama pada daerah pubis, daerah
disekiter leber, dan axilla.
23
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mun’im Idries. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama.
Binarupa Aksara. Hal. 54-77
Saukko, P; Knight, B . 2004. The Pathophysiology of Death in Knight’s Forensic
Pathology. 3th edition. Hodder Arnold. Page 52-90
Shepherd, R. 2003. Changes After Death in Simpson’s Forensic Medicine. 12 th
edition. Arnold. Page 37-48
Vij,K . 2008. Death and Its Medicolegal Aspects (Forensic Thanatology) in
Textbook of Forensic Medicine and Toxicology Principles and Practice. 4 th editon.
Elsivier. Page 101-133
24