Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s Palsy (BP) ialah suatu


kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang
tidak diketahui sebabnya. Sir Charles
Bell (1821) adalah orang yang pertama
meneliti beberapa penderita dengan
wajah asimetrik, sejak itu semua
kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya disebut Bell’s Palsy.
Pengamatan klinik, pemeriksaan
neurologik, laboratorium dan patologi
anatomi menunjukkan bahwa Bell’s
Palsy bukan penyakit tersendiri, tetapi
berhubungan erat dengan banyak faktor Gambar 1. Sir Charles Bell (1774-1842)
dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan
pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya
didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya
dengan cuaca dingin.
Diagnosis Bell’s Palsy dapat ditegakkan dengan adanya kelumpuhan n.
fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain
kelumpuhan n. fasialis perifer.1
Insiden penyakit ini antara 11-40 penderita per 100.000 penduduk per
tahun atau kira-kira 1 dari 60 orang pernah mengalami Bell’s Palsy sepanjang
hidupnya. Di Amerika, pertahun 1 dari 40.000 penduduknya pernah menderita
Bell’s Palsy.2 Di Belanda (1987), 1 penderita per 5000 orang dewasa lebih
banyak dijumpai pada pria, sedangkan pada anak tidak terdapat perbedaan
yang menyolok antara kedua jenis kelamin. Pada sebagian besar penderita
(70%) didapatkan sebelumnya riwayat pemaparan pada udara dingin atau
radang saluran napas bagian atas. 1 Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas Bell’s
Palsy bersama-sama.

1
BAB II
DEFINISI

Bell’s Palsy harus didefinisikan sebagai berikut: “Kelumpuhan fasialis


perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer
namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di
foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang
mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan”. Dalam definisi
tersebut, penekanan diadakan pada kejinakan penyakit dan pada proses
edema bagian nervus fasialis di sekitar foramen stilomastoideus. Mungkin
sekali edema tersebut merupakan gejala reaksi terhadap proses yang disebut
“masuk angin” (catch cold, exposed to chili), oleh karena pada kebanyakan
penderita dapat diperoleh data bahwa paresis fasialis timbul setelah duduk di
mobil dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau setelah bergadang. “Bell’s
Palsy” hampir selalu unilateral.3

Gambar 2. Wajah Bell's Palsy.


Sumber: http://www.med.yale.edu/caim/cnerves/cn7/cn7_1.html

2
BAB III
PATOFISIOLOGI

3.1 ANATOMI
N. fasialis bersifat somato-motorik, visero-motorik dan somato-
sensorik. Inti motorik fasialis terletak pada batang otak, menerima impuls dari
girus presentralis korteks motorik homo-lateral untuk otot-otot wajah bagian
atas dan kontralateral untuk otot-otot wajah bagian bawah.

Gambar 3. The facial nerve.


A, B, and C denote lesions of the facial nerve at the stylomastoid foramen, distal and proximal to
the geniculate ganglion, respectively. Green lines indicate the parasympathetic fibers, red line
indicates motor fibers, and purple lines indicate visceral afferent fibers (taste).
(Adapted from Carpenter, 1978.)

Serabut n. fasialis meninggalkan batang otak bersama n. oktavus dan n.


intermedius masuk ke dalam os petrosum melalui meatus akustikus internus,
tiba di kavum timpani untuk bergabung dengan ggl. genikulatum sebagai induk
sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari ganglion ini, n. fasialis memberi
cabangnya ke ggl. otikum dan ggl. pterigopalatinum yang menghantarkan
impuls sekreto-motorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis.
N. fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoideum
memberikan cabangnya untuk mempersarafi otot-otot wajah mulai dari m.
frontalis sampai dengan m. platisma.1

3
Vaskulerisasi
Dalam perjalanannya melalui os temporalis saraf ini dipasok oleh 3
arteri, yaitu:
1. Arteri serebeli inferior anterior.
Memasok saraf pada fossa posterior. Cabang-cabang pembuluh
darah ini, yaitu arteri auditori interna memasok nervus fasialis di
dalam kanalis auditori interna. Ujung dari cabang-cabang arteria ini
memberikan aliran darah pada saraf sampai sejauh ganglion
geniculatum.
2. Cabang petrosal dari arteria meningea media memasuki canalis
fasialis pada ganglion geniculatum dan bercang menjadi cabang-
cabang asendens dan desendens. Cabang desendens berjalan ke
distal bersama saraf ke foramen stilomastoideus, sedangkan cabang
asendens memasok daerah proksimal ganglion genikulatum.
3. Cabang stilomastoid dari arteria auricularis posterior memasuki
kanalis fasialis melalui foramen stilomastoideus dan segera
bercabang menjadi cabang asendens dan desendens. Cabang
asendens berjalan bersama nervus fasialis sampai ke batas ganglion
genikulatum. Cabang desendens memasok saraf ke bawah ke
foramen stilomastoideus dan bersamaan dengan nervus aurikularis
posterior.
Pada perjalanannya di ekstrakranial, nervus fasialis juga mendapatkan aliran
darah dari beberapa sumber, yaitu cabang-cabang stilomastoid, aurikularis
posterior, temporal superfisial, dan transversa dari arteria fasialis.

3.2 PENYEBAB
Meskipun penyebab dari Bell’s Palsy sendiri belum diketahui, tetapi
untuk proses terjadinya dibagi menjadi 2, yaitu:
1.Kongenital
- Sindrom Moebius
- Trauma Lahir (fraktur tengkorak)
2.Didapat
- Trauma

4
- Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis).
- Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll.).
- Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus).
- Infeksi di tempat lain (otitis media, herpes zoster dll.).
- Sindroma paralisis n. fasialis familial.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain: sesudah
bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetik.

5
BAB IV
MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinik Bell’s Palsy khas dengan memperhatikan riwayat


penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului
infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca
dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau
sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala
kelumpuhan otot wajah berupa :
- Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada
sisi yang sehat.
- Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang
lumpuh (lagoftalmus).
- Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola
mata berputar ke atas bila memejamkan mata (elevasi),
fenomena ini disebut Bell's Sign.
- Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar
pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang
menyertai antara lain: gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan
gangguan lakrimasi.

6
BAB V
DIAGNOSIS

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya


kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan
penyebab lain kelumpuhan n. fasialis perifer. Beberapa pemeriksaan
penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n.
fasialis adalah sebagai berikut:
1.Uji kepekaan saraf (nerve excitability test).
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan
setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA
menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan
kerusakan n. fasialis ireversibel.
2.Uji konduksi saraf (nerve conduction test).
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara
mengukur kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.
3.Elektromiografi.
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-
otot wajah.
4.Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah.
Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap
dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asam dan rasa
pahit (pil kina). Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi
yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian
depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa
kecap pada Bell’s Palsy menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi
khorda timpani atau proksimalnya.
5.Uji Schirmer.
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di
belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan.
Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter;
berkurang atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi n. fasialis

7
setinggi ggl. genikulatum.
Fascial Paralysis Recovery Profile (FPRP)
Menurut Adour, ada tiga kelompok otot yang dijadikan patokan, yaitu
muskulus frontalis, muskulus orbikularis okuli dan muskulus orbikularis oris.
Kontraksi ke-3 kelompok otot ini digunakan untuk mengetahui derajat
kelemahan otot muka pada umumnya dan untuk mengetahui derajat pulihnya
paralisis fasialis. Kembalinya fungsi fasial secara akurat diukur dengan satuan
25%, nilai tambahan diberikan tiap fungsi bertambah 25% pada tiga kelompok
otot tersebut. Skor yang didapatkan disebut sebagai Fascial Paralysis
Recovery Profile (FPRP).

Tabel Skor FPRP


0 0 – 25% 25 – 50% 50 – 75% 75 – 100%
Otot dahi 0 +1 +1 +2 +2
Otot mata 0 +1 +2 +3 +4
Otot mulut 0 +1 +2 +3 +4

Skor FPRP berkisar antara 0 sampai +10. Skor +5 menunjukkan


pengembalian fungsi otot muka secara keseluruhan sebesar 50% dan +7
menunjukkan pengembalian fungsi 70%.
Gerakan otot dahi ditentukan dengan mengukur secara tepat jarak
gerakan alis mata yang digerakkan ke atas secara volunter pada sisi yang
terkena, dan dibandingkan dengan jarak pada sisi normal. Gerakan mulut
ditentukan dengan mengukur jarak yang dapat dibuat waktu penderita
menggerakkan mulutnya ke lateral dan membandingkannya dengan jarak yang
didapatkan pada sisi normal. Pada evaluasi gerakan otot orbikularis okuli,
penderita dianjurkan untuk menutup mata saat pemeriksa memegang alis pada
posisi elevasi dan memegang kelopak mata bawah pada posisi eversi untuk
menghindari salah tafsir akibat gerakan bola mata.

8
BAB VI
DIAGNOSIS BANDING

Yang menjadi diagnosis banding Bell’s palsy adalah:


1. Semua paralisis n. fasialis perifer yang bukan Bell’s Palsy.
2.Kelumpuhan n. fasialis sentral yang mudah dikenal.
Bila dahi dikerutkan tidak terlihat asimetri, karena otot-otot dahi
mempunyai inervasi bilateral.
3.Herpes zooster otikus (Ramsay Hunt Syndrome).
Penyakit ini pertama kali dijelaskan oleh Ramsay Hunt pada tahun 1907
dengan gejala-gejala paralisis fasialis disertai gangguan pendengaran,
dizziness, dan erupsi herpetik sekitar daun telinga.
Sesudah periode prodromal ini (ditandai dengan malaise dan sedikit
demam), terjadi serangan sakit yang hebat di dalam telinga, kemudian
diikuti erupsi herpes di sekitar gendang pendengaran, meatus eksternus
dan telinga. Paralisis fasialis sering disertai oleh gangguan lakrimasi dan
salivasi, serta hilangnya rasa pengecapan pada sisi yang sama. Sering
disertai gejala nervus VIII, yaitu gangguan pendengaran, vertigo dan
tinitus. Perjalanan penyakit singkat, sembuh dalam beberapa hari
sampai minggu, tetapi rasa sakit dapat menetap sampai beberapa bulan
(neuralgia post herpetic).
4.Otitis media.
Otitis media akut maupun kronik dapat menyebabkan paralisis fasialis.
Pada otitis media akut terjadinya paresis fasialis karena adanya tekanan
edema dalam kanalis fasialis yang mungkin disebabkan deschisence
dari tulang. Pada otitis media kronik paresis fasialis terjadi karena
adanya tekanan kolesteatoma atau abses yang berkapsul di dalam
mastoid dan merusak kanalis fasialis atau daerah sekitarnya. Adanya
paresis fasialis pada otitis media kronik merupakan suatu isyarat
berbahaya akan terjadinya komplikasi intrakranial.
5.Tumor.
Paresis fasialis dapat disebabkan oleh tumor primer dan tumor
sekunder. Neuroma merupakan tumor primer yang sering menyebabkan

9
paresis fasialis. Sedangkan tumor sekunder di batang otak, os.
temporalis dan di wajah atau leher.
6.Trauma.
Trauma yang bisa menyebabkan paresis fasialis adalah trauma pada
tulang temporal, bisa berupa fraktur transversal dan longitudinal. Post
mastoidektomi timpanoplasti, atau pembedahan stapes bisa
menyebabkan paralisis nervus fasialis. Paralisis ini terjadi bisa karena
trauma atau edema setempat dari saraf fasialis.

10
BAB VII
PENATALAKSANAAN

1. Istirahat terutama pada keadaan akut.


2. Medikamentosa.
Prednison: pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus
Bell’s Palsy yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya
untuk mengurangi edema dan mempercepat reinervasi. Dosis yang
dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis
diturunkan bertahap selama 2 minggu.
3. Fisioterapi.
Sering dikerjakan bersama-sama dengan pemberian prednison, dapat
dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan
tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu:
mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan
faradisasi.
4. Operasi.
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena
dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intrakranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila:
- Tidak terdapat penyembuhan spontan.
- Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison.

11
BAB VIII
KOMPLIKASI

Adour membagi komplikasi Bell’s Palsy menjadi komplikasi dini dan


komplikasi lanjut. Yang dimaksud dengankomplikasi dini adalah gejala-gejala
akut sehubungan dengan gangguan fungsi nervus fasialis, yaitu: nyeri, epifora,
disgeusia, menurunnya lakrimasi dan hiperakusis. Komplikasi lanjut dari Bell’s
Palsy bisa didapatkan adanya paresis fasialis ringan maupun berat. Komplikasi
ini antara lain:
1. Fenomena air mata buaya (crocodile tear phenomena).
Yaitu keadaan dimana terjadi pengeluaran air mata saat penderita
mengunyah makanan. Ini biasanya terjadi beberapa bulan setelah onset
penyakit. Hal ini timbul oleh karena proses regenerasi serabut saraf
otonom yang salah arah, yang menimbulkan hubungan fisiologis antar
pleksus timpani yang mensarafi kelenjar ludah dan n. petrosus
superfasialis mayor yang mensarafi kelenjar lakrimalis. Letak kelainan
pada daerah sekitar ganglion genikuli.
2. Kontraktur otot-otot wajah.
Sesudah reinervasi sebagai akibat lesi degeneratif, sering ditemukan
menetap dari satu atau beberapa kelompok otot. Keadaan ini biasanya
menambah lipatan nasolabial. Kontraktur ini tidak tampak kalau wajah
dalam keadaan istirahat, akan tetapi menjadi tampak lebih jelas bila
wajah berkontraksi. Bila otot sisi yang lemah berkontraksi, maka lipatan
nasolabial jadi lebih dalam dan alis mata tampak lebih rendah
dibandingkan dengan sisi yang sehat.
3. Sinkinesis (abnormal associated movement).
Dalam usaha secara sadar untuk menutup mata, terdapat gerakan
pengangkatan sudut mulut, kontraksi otot platisma, atau pengerutan
dahi. Gerakan asosiasi ini diduga oleh karena regenerasi serabut saraf
mencapai serabut otot yang salah.
4. Spasme otot wajah klonik (Clonic facial spasm).
Kadang-kadang dapat timbul dalam beberapa bulan sampai 1-2 tahun
setelah permulaan Bell’s Palsy. Bila penyembuhan yang terjadi

12
inkomplit, spasme yang terjadi jarang sampai berat. Dapat juga timbul tic
yang merupakan kontraksi dari sejumlah otot wajah.
5. Ptosis alis.
Alis pada sisi yang sakit tampak lebih rendah dibanding sisi normal.
6. Bell’s Palsy rekuren.
Insidennya kira-kira 7% dari kasus Bell’s Palsy. Faktor predisposisinya
diduga karena penyempitan dari kanalis fasialis (falopii).

Untuk komplikasi ini, Adour memberikan skor minimum yang disebut


Facial Paralysis Recovery Index (FPRI). Pada FPRI diberikan nilai -1 untuk
tiap komplikasi (tabel 2). Jumlah total dari nilai minus ini dikurangkan pada nilai
FPRP. Skor tertinggi adalah +10 yang menunjukkan pemulihan sempurna
tanpa komplikasi. Nilai FPRP dan FPRI dapat berubah selama pengobatan dan
selama observasi.

Tabel 2. Angka minus pada tiap komplikasi untuk menetapkan FPRI.


Komplikasi Nilai
Komplikasi dini (sering) :
- Nyeri -1
- Epifora -1
- Ageusia -1
- Menurunnya lakrimasi -1
- Hiperakusis -1

Komplikasi lambat (sering) :


- Kontraktur -1
- Sinkinesis -1
- Air mata buaya -1
- Spasme wajah -1
- Ptosis alis -1

Komplikasi berat (jarang) :


- Ulkus kornea -4
- Facial sling -4
- Tarsorrhaphy -4

BAB IX
PROGNOSIS

13
Sekitar 80-90 % penderita Bell’s Palsy mengalami perbaikan pada
kekuatan otot-otot ekspresi muka. Jika terdapat tanda-tanda kesembuhan otot
wajah sebelum hari ke-18, maka kesembuhan sempurna atau hampir
sempurna diharapkan dapat terjadi.
Perbaikan kelainan yang komplit biasanya dimulai setelah 8 minggu dan
mencapai maksimal dalam 9 bulan sampai 1 tahun. Pada penderita dengan
kelainan inkomplit, perbaikan biasanya dimulai setelah 2 minggu. Kurang dari
15% penderita didapatkan gejala sisa. Hampir 80% mendapatkan
perbaikannya sampai 95% atau lebih.
Faktor-faktor yang meramalkan prognosis yang baik adalah kelainan
inkomplit, umur relatif muda ( kurang dari 60 tahun ), interval yang pendek
antara onset dan perbaikan pertama (initial improvement) dalam 2 minggu, dan
studi elektrodiagnostik yang menunjang. Faktor-faktor yang meramalkan
prognosis yang jelek adalah paralisis total, usia lanjut (lebih dari 60 tahun),
interval yang panjang antara onset dan perbaikan (sekitar 2 bulan), dan studi
elektrodiagnostik yang tidak menunjang.
Nilai peramalan sehubungan dengan paralisis nervus fasialis (nyeri
belakang telinga, fonofobia, hilangnya pengecapan, berkurangnya sekresi air
mata dan aliran saliva) adalah tidak jelas. Tetapi kelemahan pada fungsi-fungsi
ini dapat menunjukkan luasnya degenerasi motor akson.

BAB X
PENUTUP

14
10.1 KESIMPULAN
Bell's palsy adalah nama penyakit yang menyerang saraf wajah no 7,
sehingga menyebabkan kelumpuhan pada otot wajah disalah satu sisi. Ingat,
kelumpuhan hanya terjadi di satu wajah yang terkena. Ini yang
membedakannya dengan stroke. Ditandai dengan susahnya menggerakkan
otot wajah dibagian yang terserang, seperti mata tidak bisa menutup, tidak bisa
meniup, dsb. Penyebab kelumpuhan ini masih menjadi perdebatan. Beberapa
ahli menyatakan penyebabnya adalah karena terpapar angin dingin disalah
satu sisi wajah secara terus menerus, ada juga yang menyatakan hal itu
disebabkan oleh virus herpes yang menetap di tubuh dan aktif kembali karena
trauma, faktor lingkungan, stress, dll. Sebagian penderita bisa sembuh tanpa
pengobatan, tapi disarankan untuk menjalani terapi dan pengobatan agar bisa
segera sembuh.
Bell's Palsy diambil dari nama Sir Charles Bell, dokter dari abad 19 yang
pertama menggambarkan kondisi ini dan menghubungkan dengan kelainan
pada syaraf wajah. Meski namanya unik, penyakit ini akan mengganggu secara
estetika ataupun fungsi pada wajah. Artinya, muka yang terlihat cantik dan
bagus di depan kaca itu tidak terjadi dengan sendirinya. Karena, bila salah satu
saja syarafnya minta istirahat, maka proporsi wajah menjadi tidak seimbang.
Jika tidak ditangani maka akan terjadi kecacatan dengan muka penyok.

10.2 SARAN
Seperti disarankan oleh Dokter Syaraf agar Bell's Palsy tidak mengenai
anda, cara-cara yang bisa ditempuh adalah :
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk
mencegah angin mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin
menerpa wajah anda secara langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah
lain. Jika kipas angin terpasang di langit-langit, jangan tidur tepat di
bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian
kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam
hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan

15
syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan
pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir
yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan anda menderita Bell's
Palsy.
5. Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah
dengan air dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin
langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup. Takut dibilang "orang
aneh"? Pertimbangkan dengan biaya yang anda keluarkan untuk
pengobatan.
Pengobatan yang disarankan dokter adalah fisioterapi, di mana wajah
penderita akan dikompres dengan lampu sinar dan diberi kejutan listrik di
sekitar wajah. Namun anda bisa juga menggunakan alternatif pengobatan lain,
seperti akupunktur. Jangan mencampur pengobatan fisioterapi dan akupunktur
di waktu bersamaan.

DAFTAR PUSTAKA

Cermin Dunia Kedokteran. “BELL'S PALSY”. http://www.kalbe.co.id/Bell’s_Palsy. (Diakses 01


Februari 2009)

16
Beal MF, Hauser SL. “Trigeminal Neuralgia, Bell’s Palsy, and Other Cranial Nerve Disorders”.
Dalam Kasper DL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, Vol. II, 16 th edition. USA :
McGraw-Hill Companies, Inc, 2005; Bab 355: 2436-2437.

Barbieri RL, Repke JT. “Medical Disorders During Pregnancy”. Dalam Kasper DL, et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine, Vol. I, 16 th edition. USA : McGraw-Hill Companies,
Inc, 2005; Bab 6: 36.

Bell’s Palsy InfoSite. “Frequently Asked Questions”. http://www.bellspalsy.ws/. (Diakses 01


Februari 2009)

Cermin Dunia Kedokteran. “BELL'S PALSY”.


http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/21_Kapsul.pdf/21_Kapsul.html. (Diakses 01 Februari 2009)

Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2008.

Nara P, Lumbantobing SM. “Penyakit Unit Motor dan Sindrom Neurokutan”. Dalam Buku Ajar
Neurologi Anak. Jakarta: IDAI, 2000; Bab 11: 280-281

Sidharta, P.Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta: Dian Rakyat, 2008.

Sidharta, P. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat, 2008.

Wikipedia.“Bell’s Palsy”. http://www.en.wikipedia.org/wiki/Bell’s_palsy. (Diakses 29 Januari


2009)

World Health Organization (WHO). “Intranasal vaccines”.


http://www.who.int/entity/vaccine_safety/topics/influenza/intranasal/en/. (Diakses 01 Februari
2009)

17

Anda mungkin juga menyukai