Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Krisis tiroid (Thyroid Storm) adalah komplikasi serius dari tirotoksikosis

dengan angka kematian 20-60%. Merupakan kejadian yang jarang, tidak biasa dan

berat dari hipertiroidisme. Krisis tiroid mengacu pada kejadian mendadak yang

mengancam jiwa akibat peningkatan dari hormon tiroid sehingga terjadi

kemunduran fungsi organ. 1

Krisis tiroid adalah penyakit yang jarang terjadi, yaitu hanya terjadi

sekitar 1-2% pasien hipertiroidisme. Sedangkan insidensi keseluruhan

hipertiroidisme sendiri hanya berkisar antara 0,05-1,3% dimana kebanyakannya

bersifat subklinis. Namun, krisis tiroid yang tidak dikenali dan tidak ditangani

dapat berakibat sangat fatal. Angka kematian orang dewasa pada krisis tiroid

mencapai 10-20%. Bahkan beberapa laporan penelitian menyebutkan hingga

setinggi 75% dari populasi pasien yang dirawat inap. Dengan tirotoksikosis yang

terkendali dan penanganan dini krisis tiroid, angka kematian dapat diturunkan

hingga kurang dari 20%.2

Karena penyakit Graves merupakan penyebab hipertiroidisme terbanyak

dan merupakan penyakit autoimun yang juga mempengaruhi sistem organ lain,

melakukan anamnesis yang tepat sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Hal

ini penting karena diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan

pada gambaran laboratoris. 3 Hal lain yang penting diketahui adalah bahwa krisis

tiroid merupakan krisis fulminan yang memerlukan perawatan intensif dan

pengawasan terus-menerus. Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang

1
adekuat, prognosis biasanya akan baik. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman

yang tepat tentang krisis tiroid, terutama mengenai diagnosis dan

penatalaksaannya. 4

2
BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. NW

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 40 tahun

Alamat : Kec. Kwandang, Gorontalo Utara

No. RM : 017020

MRS Tanggal : 25 Mei 2018

I. ANAMNESIS

Dilakukan secara autoanamnesis di IGD RSUD dr. Zainal Umar Sidiki pada

tanggal 25 Mei 2018.

Keluhan Utama : Berdebar-debar

Keluhan tambahan : Mual, nyeri seluruh perut, berat badan menurun dan lebih

senang berada dalam suhu dingin, lemas, gemetaran, gelisah

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD dr. Zainal Umar Sidiki dengan keluhan

berdebar-debar sejak 1 hari SMRS. Pasien mengatakan keluhan muncul terus

menerus. Pasien mengaku sering mengalami keluhan berdebar-debar yang hilang

timbul sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu namun baru pertama kali mengalami

keluhan yang memberat seperti ini. Keluhan disertai dengan mual, nyeri seluruh

3
perut, berat badan menurun dan lebih senang berada dalam suhu dingin. Saat

pasien berdebar-debar, ia juga merasakan lemas, gemetaran, gelisah.. Keluhan

seperti demam, keringat berlebih, muntah dan BAB cair disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu.

Pasien memiliki riwayat sakit hipertiroid sejak 1 tahun yang lalu namun

tidak meminum obat dalam 3 bulan terakhir. Pasien juga memiliki riwayat

hipertensi sejak kurang lebih 3 tahun terakhir dan tidak teratur meminum obat.

Riwayat penyakit ginjal (-), riwayat DM (-), riwayat asma (-), riwayat alergi (-),

riwayat operasi tiroid (-).

Riwayat Kebiasaan

Riwayat merokok (-), konsumsi alkohol (-), konsumsi kopi (-)

Riwayat Keluarga.

Tidak diketahui riwayat keluarga dengan keluhan yang sama.

II. PEMERIKSAAN FISIK (dilakukan pada tanggal 25 Mei 2018)

Keadaan Umum

Kesan sakit : Tampak sakit sedang, agitasi

Kesadaran : Compos mentis

Berat Badan : 42 kg

Tinggi badan : 155 cm

BMI : 42 kg/ 1.55 m2 =  17.5 (Underweight)

Tanda Vital

TD : 150/100 mmHg

4
Nadi : 121 x/menit

RR : 22 x/menit

T : 37 ºC

SpO2 : 99%

Pemeriksaan Fisik Umum

o Kulit

1. Warna : sawo matang

2. Jaringan parut : tidak ada

3. Pertumbuhan rambut : normal dan merata

4. Suhu raba : hangat

5. Keringat : telapak tangan (+)

6. Kelembaban : lembab

7. Turgor : cukup

8. Ikterus : tidak ada

9. Edema : tidak ada

o Kepala

1. Bentuk : normocephali

2. Posisi : simetris

3. Penonjolan : tidak ada

o Mata

1. Exophtalmus : ada

2. Enophtalmus : tidak ada

3. Edema Kelopak : tidak ada

5
4. Konj. Anemis : tidak ada

5. Sklera ikterik : tidak ada

6. Tanda : Vigouroux Sign tidak ada

Stellwag Sign tidak ada

Von Graefe Sign tidak ada

Joffroy Sign ada

Mobius Sign ada

Dalrymple sign tidak ada

o Telinga

1. Pendengaran : baik

2. Darah : tidak ada

3. Cairan : tidak ada

o Mulut

1. Trismus : tidak ada

2. Lidah : tidak deviasi, tremor (+)

o Leher

1. Trakea : di tengah, tidak deviasi

2. Kelenjar tiroid : Tidak tampak pembesaran tiroid, Nyeri (-), tiroid

teraba membesar difuse, bruit (+)

3. Kelenjar limfe : tidak teraba

4. JVP : jugular venous pressure (JVP) : 5 ± 2 cm

o Paru- Paru

6
1. Inspeksi : gerakan dada simetris dalam keadaan statis dan dinamis,

retraksi (-)

2. Palpasi : fremitus vokal dan taktil simetris kanan dan kiri

3. Perkusi : sonor di hemitoraks kanan dan kiri

4. Auskultasi: suara nafas vesikuler (+/+) ronki basah halus (-/-)

wheezing (-/-)

 Jantung

1. Inspeksi : iktus kordis terlihat pada ICS V linea midclavicula sinistra

2. Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra

3. Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dextra.

Batas jantung kiri ICS V 1 cm lateral linea midclavicula

sinistra

Batas pinggang jantung ICS II linea parasternalis sinistra

4. Auskultasi : bunyi jantung S1-S2 ireguler, gallop (-), murmur (-).

 Abdomen

1. Inspeksi : datar, tidak ada sikatriks

2. Palpasi : supel, nyeri tekan (-)

 Hepar : tidak teraba pembesaran

 Lien : tidak teraba pembesaran

 Ginjal : tidak teraba pembesaran (-) / (-)

 Vesika Urinaria : tidak ada nyeri tekan

3. Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen

 Hepar : Batas atas di ICS VI linea midclavicula dextra

7
Batas bawah 1 jari di bawah arcus costa

Liver span ± 8 cm

 Lien : Castle sign (-)

 Ginjal : Nyeri ketok ginjal (-) / (-)

 Ascites : shifting dullness (-)

4. Auskultasi : bising usus 9x/menit

o Ekstremitas

Ekstremitas Atas Kanan Kiri

Tonus otot Normal Normal

Massa otot Normal Normal

Sendi Normal Normal

Gerakan Normal Normal

Kekuatan Normal Normal

Edema Tidak Ada Tidak Ada

Luka Tidak ada Tidak ada

Tremor Ada Ada

Ekstremitas Bawah Kanan Kiri

8
Tonus otot Normal Normal

Massa otot Normal Normal

Sendi Normal Normal

Gerakan Normal Normal

Kekuatan Normal Normal

Edema Tidak Ada Tidak Ada

Luka Tidak ada Tidak ada

Tremor Tidak Ada Tidak ada

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

o Pemeriksaan Elektrokardiografi 25/05/2018

9
Ritme : Atrial rhythm

Rate : 131 x/menit,iregular

Axis : Lead I (+), Leade avF (+), axis normal

Gelombang P : tidak teratur, banyak

PR interval : tidak dapat dihitung

QRS complex :

 Q patologis : tidak ada

 R wave progression : baik

 R di V1 dan S di V6 : 2 kotak besar

 R di V5 dan S di V1 : 37 kotak kecil (LVH)

 R bifasik : normal

 Lebar QRS < 0.12 sec

ST segment : normal

Gelombang T : normal

Kesimpulan : Atrial Fibrilasi, LVH

10
o Pemeriksaan Indeks Burch Wartofsky 25/05/2018

Disfungsi Pengaturan Panas Disfungsi Kardiovaskular

<37.2 °C 5 √ 99-109 x/menit 5

37.2-37.7 °C 10 110-119 x/menit 10

37.8-38.2 °C 15 120-129 x/menit 15 √

38,3-39.2 °C 20 130-139 x/menit 20

39,3-39.9 °C 25 >140 x/menit 25

≥40 °C 30

Efek Susunan Saraf Pusat Gagal Jantung

Tidak ada 0 Tidak ada 0 √

Ringan (Agitasi) 10 √ Ringan 5

Sedang (delirium, psikosis, 20 Sedang 10

letargi berat)

Berat (koma,kejang) 30 Berat 15

Fibrilasi Atrium

Tidak Ada 0

Ada 10 √

11
Riwayat Pencetus

Negatif 0 √

Positif 10

Disfungsi Gastrointestinal-Hepar

Tidak Ada 0

Ringan 10 √

(Diare/Nausea/Muntah/Nyeri >45 : Highly Suggestive

Perut) 25-44 :Suggestive of Impending

Berat (Ikterus tanpa sebab 20 Storm

yang jelas) 25 : Kemungkinan Kecil

Total Skor : 50 (Highly Suggestive)

o Pemeriksaan Laboratorium: tgl 25/05/2018

Hemoglobin : 15 g/dl

Leukosit : 6700 /ul

Trombosit : 309.000 /ul

Hematokrit : 43,5 %

Eritrosit : 5.4 /ul

MCV : 80.6/ul

MCH : 27.8 g/dL

12
MCHC : 34.5 g/dL

GDS : 101 mg/dl

Ureum : 29,1 mg/dl

SGOT : 28.1 µ/l

SGPT : 40.7 µ/l

AsamUrat : 3.3 mg/dL

Kesan : Normal

IV. RESUME

Pasien datang ke IGD RSUD dr. Ainal Umar Sidiki dengan keluhan

berdebar-debar sejak 1 hari SMRS. Pasien mengatakan keluhan muncul terus

menerus. Awalnya keluhan muncul hilang timbul sejak kurang lebih 1 tahun yang

lalu namun baru pertama kali mengalami keluhan yang memberat seperti ini.

Keluhan disertai dengan mual, nyeri seluruh perut, berat badan menurun dan lebih

senang berada dalam suhu dingin, lemas, gemetaran, gelisah. Pasien memiliki

riwayat sakit hipertiroid sejak 1 tahun yang lalu namun tidak meminum obat

dalam 3 bulan terakhir. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak kurang lebih

3 tahun terakhir dan tidak teratur meminum obat.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak gelisan dengan BMI

17.5. TTV didapatkan hasil tekanan darah 150/100 mmHg, nadi 121x/menit,

pernapasan 22 x/menit dan suhu 37oC. Pada pemeriksaan kepala didapatkan

Exophtalmus, Joffroy Sign (+), Mobius Sign (+), dan tremor lidah. Pada

pemeriksaan leher didapatkan tiroid teraba membesar diffuse disertai bruit. Pada

pemeriksaan jantung didapatkan suara jantung ireguler dan batas apeks jantung

13
terletak melebar di ICS V 1 cm lateral linea midclavicula sinistra. Pada

ekstremitas didapatkan tangan tremor dan berkeringat. Pada pemeriksaan EKG

didapatkan gambaran atrial fibrilasi serta LVH. Pemeriskaan skor Burch

Wartofsky menunjukan hasil 50 yang berarti highly suggestive.

V. DIAGNOSIS

Diagnosis Kerja: Krisis Tiroid

Diagnosis Banding : Feokromositoma

VI. PENATALAKSANAAN IGD

IVFD NaCl 0,9% 28 tpm

Injeksi Dexamethason 3 x 5 mg IV

Propiltiurasil 3x100 mg tab po

Propanolol 3x40 mg tab po

Asam Asetilsalisilat 1x80 mg tab po

Domperidon 3x10 mgtab po

Diazepam 3x5 mg tab po

VII. FOLLOW UP

Tanggal 26 Mei 2018

S : Berdebar-debar berkurang, gemetaran berkurang, nyeri kepala (+), nyeri

ulu hati (+), mual (-)

O : KU/KS: Sakit sedang/CM

14
TD: 114/75 mmHg HR: 72 x/menit

RR: 22 x/menit S: 36.30C

SpO2 : 98%

Kepala: CA-/-, SI-/-, exophtalmus (+), Joffroy Sign (+), Mobius Sign (+)

Leher : Tidak tampak pembesaran tiroid, Nyeri (-), tiroid teraba membesar

difuse, bruit (+)

Thorax:

Pulmo : Suara napas vesikuler, Rh-/-, Wh-/-

Cor : S1-S2 ireguler, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen: BU (+) N, supel, timpani, nyeri tekan epigastrium (+), hepar

tidak teraba, lien tidak teraba, ascites (-)

Ekstremitas: akral hangat, edema tungkai (-), tremor (+)

A : Krisis Tiroid

P : IVFD NaCl 0,9% 500 cc : RL 500 cc 14 tpm

Injeksi Dexamethason 3 x 5 mg IV

Propiltiurasil 3x100 mg tab po

Propanolol 3x40 mg tab po

Asam Asetilsalisilat 1x80 mg tab po

Domperidon 3x10 mgtab po

Diazepam 3x5 mg tab po

Tanggal 27 Mei 2018

15
S : Berdebar-debar berkurang, gemetaran berkurang, nyeri kepala (+), nyeri

ulu hati berkurang, mual (-)

O : KU/KS: Sakit sedang/CM

TD: 98/91 mmHg HR: 71 x/menit

RR: 20 x/menit S: 36.50C

SpO2 : 98%

Kepala: CA-/-, SI-/-, exophtalmus (+), Joffroy Sign (+), Mobius Sign (+)

Leher : Tidak tampak pembesaran tiroid, Nyeri (-), tiroid teraba membesar

difuse, bruit (+)

Thorax:

Pulmo : Suara napas vesikuler, Rh-/-, Wh-/-

Cor : S1-S2 ireguler, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen: BU (+) N, supel, timpani, nyeri tekan epigastrium (-), hepar

tidak teraba, lien tidak teraba, ascites (-)

Ekstremitas: akral hangat, edema tungkai (-), tremor (+)

A : Krisis Tiroid

P : IVFD NaCl 0,9% 500 cc : RL 500 cc 14 tpm

Injeksi Dexamethason 3 x 5 mg IV

Propiltiurasil 3x100 mg tab po

Propanolol 3x40 mg tab po

Asam Asetilsalisilat 1x80 mg tab po

16
Domperidon 3x10 mgtab po

Diazepam 3x5 mg tab po

Tanggal 28 Mei 2018

S : Berdebar-debar berkurang, gemetaran berkurang, nyeri kepala (+), nyeri

ulu hati berkurang, mual (-)

O : KU/KS: Sakit sedang/CM

TD: 115/64 mmHg HR: 51 x/menit

RR: 20 x/menit S: 36.30C

SpO2 : 98%

Kepala: CA-/-, SI-/-, exophtalmus (+), Joffroy Sign (+), Mobius Sign (+)

Leher : Tidak tampak pembesaran tiroid, Nyeri (-), tiroid teraba membesar

difuse, bruit (+)

Thorax:

Pulmo : Suara napas vesikuler, Rh-/-, Wh-/-

Cor : S1-S2 ireguler, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen: BU (+) N, supel, timpani, nyeri tekan epigastrium (-), hepar

tidak teraba, lien tidak teraba, ascites (-)

Ekstremitas: akral hangat, edema tungkai (-), tremor (+)

A : Krisis Tiroid

P : IVFD NaCl 0,9% 500 cc : RL 500 cc 14 tpm

Injeksi Dexamethason 3 x 5 mg IV

17
Injeksi Ranitidine 2 x 50 mg IV

Propiltiurasil 3x100 mg tab po

Propanolol 3x40 mg tab po

Asam Asetilsalisilat 1x80 mg tab po

Domperidon 3x10 mgtab po

Diazepam 3x5 mg tab po

18
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan

ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf,

dan sistem saluran cerna. Awalnya, timbul hipertiroidisme yang merupakan

kumpulan gejala akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan

atau tanpa kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat

berlebihan, terjadi kumpulan gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis.Krisis

tiroid merupakan keadaan dimana terjadi dekompensasi tubuh terhadap

tirotoksikosis tersebut. Tipikalnya terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis

yang tidak terobati atau tidak tuntas terobati yang dicetuskan oleh tindakan

operatif, infeksi, atau trauma.5

2. Epidemiologi

Dalam penelitian Nelson and Becker pada tahun 1969, ditemukan 21

kasus krisis tiroid pada 2.329 kasus tirotoksikosis (sekitar 1%). Penelitian lain,

yang mencakup kasus demam 38,3 C atau lebih pada periode pasca operasi,

melaporkan adanya insiden krisis tiroid sebanyak 10% dari pasien yang

dioperasi. Insiden krisis tiroid saat ini mungkin mencapai 0,2 kasus / 100.000
6
penduduk. Insiden krisis tiroid tercatat kurang dari 10% dari semua pasien

tirotoksikosis yang dirawat di rumah sakit, namun angka mortalitas dari krisis

19
tiroid ini mencapai 20- 30%. Penegakan diagnosis dini dan pengelolaan secara

tepat akan memberikan prognosis yang baik. 7

3. Etiologi

Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular toksik,

nodul toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain, karsinoma tiroid

folikular metastatik, dan tumor penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak

menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik).8

Penyakit graves sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang

penyebabnya tidak diketahui. Terdapat predisposisi familial kuat pada sekitar

15% pasien graves mempunyai keluarga dekat dengan kelainan yang sama dan

kira-kira 50% keluarga pasien dengan penyakit graves mempunyai

autoantibodi tiroid yang beredar dalam darah. Wanita terkena kira-kira 5 kali

lebih banyak dari pada pria. Penyakit ini terjadi pada segala umur dengan

insidensi puncak pada kelompok umur 20-40 tahun. 9

Meskipun tidak biasa terjadi, krisis tiroid juga dapat merupakan komplikasi

dari operasi tiroid. Kondisi ini diakibatkan oleh manipulasi kelenjar tiroid

selama operasi pada pasien hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi sebelum,

selama, atau sesudah operasi. Operasi umumnya hanya direkomendasikan

ketika pasien mengalami penyakit Graves dan strategi terapi lain telah gagal

atau ketika dicurigai adanya kanker tiroid.10

4. Patofisiologi

20
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing

hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior

menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang

memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini

menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama

oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4

dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif

secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding

globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi

dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid

ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari

anterior. 5

Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis

ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4

antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida,

dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama

pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh

autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena

peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak

ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan

pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,’5′-cyclic adenosine

monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga

merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.11

21
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon

hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan

banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis.

Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin

menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa

peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel

tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi

untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian.6 Diduga bahwa

hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine

monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan

kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien

tirotoksikosis.12

Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut

ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan

memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan

tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak

meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul.

Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang

sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan

kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin.

Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis

tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori

ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan

22
kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan

mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada

tirotoksikosis.13

Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat

patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat

terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar

hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat

ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat

pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive

iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi

jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada

keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai

akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.13

5. Diagnosis

5.1 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis dari krisis tiroid ditandai oleh empat fitur utama: 14

1. Demam

2. Sinus tachycardia atau variasi supraventricular arrhythmias

(paroxysmal atrial tachycardia, atrial flutter dan atrial fibrilasi), yang

sering disertai gagal jantung kongestif

3. Gejala sistem saraf pusat (agitasi, gelisah, kebingungan, delirium

dan koma)

23
4. Gastrointestinal (muntah, diare, obstruksi usus, ikterik tanpa sebab

jelas).

Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau gejala-gejala

seperti iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan kurang dengan berat

badan sangat turun, keringat berlebih dan intoleransi suhu, serta prestasi

sekolah yang menurun akibat penurunan rentang perhatian. Riwayat penyakit

sekarang yang umum dikeluhkan oleh pasien adalah demam, berkeringat

banyak, penurunan nafsu makan dan kehilangan berat badan. Keluhan saluran

cerna yang sering diutarakan oleh pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri

perut, dan jaundice. Sedangkan keluhan neurologik mencakup gejala-gejala

ansietas (paling banyak pada remaja tua), perubahan perilaku, kejang dan

koma. 13

5.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten

melebihi 38,5oC. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga

melebihi 41oC dan keringat berlebih. Tanda-tanda kardiovaskular yang

ditemukan antara lain hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau

hipotensi pada fase berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak

bersesuaian dengan demam. Tanda-tanda gagal jantung antara lain aritmia

(paling banyak supraventrikular, seperti fibrilasi atrium, tetapi takikardi

ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan tanda-tanda neurologik mencakup

agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda piramidal transien, tremor,

24
kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis mencakup tanda orbital dan

goiter.13

Tanda orbital tirotoksikosis :

1. Dalrymple : retracksi kelopak mata atas

2. Von Graefe : Palpebra superior tak dapat mengikuti gerak bola mata,

bila penderita melihat ke bawah

3. Enroth : bengkak kelopak mata

4. Gellinek sign : peningkatan pigmentasi kelopak mata

5. Kocher : peningkatan retraksi kelopak mata dengan fiksasi visual

6. Stellwag : jarang berkedip

7. Mobius : gangguan konvergensi

25
8. Joffroy : tidak ada kerutan dahi saat melirik ke atas

9. Vigoroux : bengkak kelopak mata

5.3 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada

gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid,

terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan

laboratorium atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya akan

ditemukan konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya

jika pasien belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak

akan didapat dengan cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan

segera. Temuan biasanya mencakup peningkatan kadar T3, T4 dan bentuk

bebasnya, peningkatan uptake resin T3, penurunan kadar TSH, dan

peningkatan uptake iodium 24 jam.

Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan tetapi

hal ini jarang terjadi. Tes fungsi hati umumnya menunjukkan kelainan yang

26
tidak spesifik, seperti peningkatan kadar serum untuk SGOT, SGPT, LDH,

kreatinin kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada analisis gas darah,

pengukuran kadar gas darah maupun elektrolit dan urinalisis dilakukan untuk

menilai dan memonitor penanganan jangka pendek.

Ultrasonografi tiroid, jika tersedia di ruang gawat darurat, mungkin

menunjukkan gambar khas dari penyakit Basedow atau gondok nodular

dengan karakteristik warna yang hiperaktif, yang cukup mudah dibedakan

dengan kelenjar normal.

Langkah-langkah diagnostik harus mencakup: (1) diagnosis

tirotoksikosis (riwayat hipertiroidisme sebelumnya, gambaran klinis

tiroksikosis dan, jika tersedia, pemeriksaan TH dan atau ultrasound tiroid); (2)

diagnosis krisis tiroid (dekompensasi organ, sistem skor Burch dan Wartofsky);

(3) peristiwa pencetus. 13

27
Skor Burch dan Wartofsky

6. Tatalaksana

Penatalaksanaan krisis tiroid perlu proses dalam beberapa langkah. Idealnya,

terapi yang diberikan harus menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer

hormon tiroid. Penanganan suportif yang agresif dilakukan kemudian untuk

menstabilkan homeostasis dan membalikkan dekompensasi multi organ.

Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengatasi

faktor pencetusnya yang kemudian diikuti oleh pengobatan definitif untuk

mencegah kekambuhan. Krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang

memerlukan perawatan intensif dan pengawasan terus-menerus.15

6.1 Penatalaksanaan: menghambat sintesis hormon tiroid

Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI)

digunakan untuk menghambat sintesis hormon tiroid. PTU juga menghambat

konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer dan lebih disukai daripada MMI

pada kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan MMI merupakan agen farmakoogik

28
yang umum digunakan pada keadaan hipertiroidisme. Keduanya menghambat

inkorporasi iodium ke TBG dalam waktu satu jam setelah diminum. Riwayat

hepatotoksisitas atau agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya

merupakan kontraindikasi kedua obat tersebut.11 PTU diindikasikan untun

hipertiroidisme yang disebabkab oleh penyakit Graves. Laporan penelitian

yang mendukungnya menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya

toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan dengan metimazol.

Kerusakan hati serius telah ditemukan pada penggunaan metimazol pada lima

kasus (tiga diantaranya meninggal). PTU sekarang dipertimbangkan sebagai

terapi obat lini kedua kecuali pada pasien yang alergi atau intoleran terhadap

metimazol atau untuk wanita dengan kehamilan trimester pertama. Penggunaan

metimazol selama kehamilan dilaporkan menyebabkan embriopati, termasuk

aplasia kutis, meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui.15

Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan tanda

kerusakan hati, terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi dimulai. Untuk

suspek kerusakan hati, hentikan bertahap terapi PTU dan uji kembali hasil

pemeriksaan kerusakan hati dan berikan perawatan suportif. PTU tidak boleh

digunakan pada pasien anak kecuali pasien alergi atau intoleran terhadap

metimazol dan tidak ada lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan edukasi

pada pasien agar menghubungi dokter jika terjadi gejala-gejala berikut:

kelelahan, kelemahan, nyeri perut, hilang nafsu makan, gatal, atau

menguningnya mata maupun kulit pasien.15

29
6.2 Penatalaksanaan: menghambat sekresi hormon tiroid

Setelah terapi anti-tiroid dimulai, hormon yang telah dilepaskan dapat

dihambat dengan sejumlah besar dosis iodium yang

menurunkan uptake iodium di kelenjar tiroid. Cairan lugol atau cairan jenuh

kalium iodida dapat digunakan untuk tujuan ini. Terapi iodium harus diberikan

setelah sekitar satu jam setelah pemberian PTU atau MMI. Perlu diketahui

bahwa iodium yang digunakan secara tunggal akan membantu meningkatkan

cadangan hormon tiroid dan dapat semakin meningkatkan status tirotoksik.

Bahan kontras yang teiodinasi untuk keperluan radiografi, yaitu natrium ipodat,

dapat diberikan untuk keperluan iodium dan untuk menghambat konversi T4

menjadi T3 di sirkulasi perifer. Kalium iodida dapat menurunkan aliran darah

ke kelenjar tiroid dan hanya digunakan sebelum operasi pada

tirotoksikosis.11 Pasien yang intoleran terhadap iodium dapat diobati dengan

litium yang juga mengganggu pelepasan hormon tiroid. Pasien yang tidak

dapat menggunakan PTU atau MMI juga dapat diobati dengan litium karena

penggunaan iodium tunggal dapat diperdebatkan. Litium menghambat

pelepasan hormon tiroid melalui pemberiannya. Plasmaferesis, pertukaran

plasma, transfusi tukar dengan dialisis peritoneal, dan perfusi

plasma charcoal adalah teknik lain yang digunakan untuk menghilangkan

hormon yang berlebih di sirkulasi darah. Namun, sekarang teknik-teknik ini

hanya digunakan pada pasien yang tidak merespon terhadap penanganan lini

awal. Preparat intravena natrium iodida (diberikan 1 g dengan infus pelan per

8-12 jam) telah ditarik dari pasaran.15

30
6.3 Penatalaksanaan: menghambat aksi perifer hormon tiroid

Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer hormon tiroid.

Propranolol menghambat reseptor beta-adrenergik dan mencegah konversi T4

menjadi T3. Obat ini menimbulkan perubahan dramatis pada manifestasi klinis

dan efektif dalam mengurangi gejala. Namun, propranolol menghasilkan

respon klinis yang diinginkan pada krisis tiroid hanya pada dosis yang besar.

Pemberian secara intravena memerlukan pengawasan berkesinambungan

terhadap irama jantung pasien.15

Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat yang

berhasil digunakan pada krisis tiroid. Agen-agen beta-blocker non-selektif,

seperti propranolol maupun esmolol, tidak dapat digunakan pada pasien dengan

gagal jantung kongestif, bronkospasme, atau riwayat asma. Untuk kasus-kasus

ini, dapat digunakan obat-obat seperti guanetidin atau reserpin. Pengobatan

dengan reserpin berhasil pada kasus-kasus krisis tiroid yang resisten terhadap

dosis besar propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan

pada dalam keadaan kolaps kardiovaskular atau syok.15

6.4 Penatalaksanaan: penanganan suportif

Terapi cairan dan elektrolit yang agresif diperlukan untuk mengatasi

dehidrasi dan hipotensi. Keadaan hipermetabolik yang berlebihan dengan

peningkatan transit usus dan takipnu akan membawa pada kehilangan cairan

yang cukup bermakna. Kebutuhan cairan dapat meningkat menjadi 3-5 L per

31
hari. Dengan demikian, pengawasan invasif disarankan pada pasien-pasien

lanjut usia dan dengan gagal jantung kongestif. Agen yang meningkatkan

tekanan darah dapat digunakan saat hipotensi menetap setelah penggantian

cairan yang adekuat. Berikan pulan cairan intravena yang mengandung glukosa

untuk mendukung kebutuhan gizi. Multivitamin, terutama vitamin B1, dapat

ditambahkan untuk mencegah ensefalopati Wernicke. Hipertermia diatasi

melalui aksi sentral dan perifer. Asetaminofen merupakan obat pilihan untuk

hal tersebut karena aspirin dapat menggantikan hormon tiroid untuk terikat

pada reseptornya dan malah meningkatkan beratnya krisis tiroid. Spons yang

dingin, es, dan alkohol dapat digunakan untuk menyerap panas secara perifer.

Oksigen yang dihumidifikasi dingin disarankan untuk pasien ini.15

Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan peningkatan

angka harapan hidup. Awalnya, glukokortikoid digunakan untuk mengobati

kemungkinan insufisiensi relatif akibat percepatan produksi dan degradasi pada

saat status hipermetabolik berlangsung. Namun, pasien mungkin mengalami

defisiensi autoimun tipe 2 dimana penyakit Graves disertai oleh insufisiensi

adrenal absolut. Glukokortikoid dapat menurunkanuptake iodium dan titer

antibodi yang terstimulasi oleh hormon tiroid disertai stabilisasi anyaman

vaskuler. Sebagai tambahan, deksametason dan hidrokortison dapat memiliki

efek menghambat konversi T4 menjadi T3. Dengan demikian, dosis

glukokortikoid, seperti deksametason dan hidrokortison, sekarang rutin

diberikan.15

32
Meskipun seringkali muncul pada pasien lanjut usia, dekompensasi jantung

juga dapat muncul pada pasien yang muda dan bahkan pada pasien tanpa

penyakit jantung sebelumnya. Pemberian digitalis diperlukan untuk

mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrium. Obat-obat

anti-koagulasi mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrium dan dapat diberikan

jika tidak ada kontraindikasi. Digoksin dapat digunakan pada dosis yang lebih

besar daripada dosis yang digunakan pada kondisi lain. Awasi secara ketat

kadar digoksin untuk mencegah keracunan. Seiring membaiknya keadaan

pasien, dosis digoksin dapat mulai diturunkan. Gagal jantung kongestif muncul

sebagai akibat gangguan kontraktilitas miokardium dan mungkin memerlukan

pengawasan dengan kateter Swan-Ganz.15

Keadaan hiperadrenergik telah dilaporkan pada pasien hipertiroid.

Hilangnya tonus vagal selama tirotoksikosis dapat memicu iskemia miokardial

transien dan pengawasan jangka panjang elektrokardiogram (EKG) dapat

meningkatkan deteksi takiaritmia dan iskemia miokardial tersebut. Blokade

saluran kalsium mungkin merupakan terapi yang lebih cocok dengan melawan

efek agonis kalsium yang terkait hormon tiroid pada miokardium dan

memperbaiki ketidakseimbangan simpatovagal.15

6.5 Penatalaksanaan: efek samping

Efek samping PTU yang pernah dilaporkan adalah perdarahan atau gusi

mudah berdarah, kerusakan hati (anoreksia, pruritus, nyeri perut kanan atas,

peningkatan kadar transaminase hingga tiga kali nilai normal), infeksi (terjadi

33
akibat agranulositosis), pruritus hingga dermatitis eksfoliatif, vaskulitis

maupun ulkus oral vaskulitik, dan pioderma gangrenosum. Meskipun termasuk

rekomendasi D, beberapa pendapat ahli masih merekomendasikan bahwa obat

ini harus tetap dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi penyakit Graves

selama kehamilan. Risiko kerusakan hati serius, seperti gagal hati dan

kematian, telah dilaporkan pada dewasa dan anak, terutama selama enam bulan

pertama terapi.11

7. Komplikasi

Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain

hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada

tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual atai diplopia akibat

oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan

curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot

proksimal.1 Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid

yang jarang terjadi. Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun yang

mengalami henti jantung satu jam setelah masuk rumah sakit dilakukan

pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang mengejutkan adalah kadar

plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat meningkat hingga

6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang atipik menunjukkan

keadaan normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu dipertimbangkan

untuk menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini

34
memerlukan penanganan kegawatdaruratan. Penting pula untuk menerapkan

prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus krisis tiroid yang atipik.15

8. Prognosis

Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian

keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi

terdapat laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor

pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis tiroid. Dengan

diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan

baik.5

9. Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang ketat

setelah diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik hanya

setelah dilakukan blokade hormon tiroid dan/atau beta-adrenergik. Krisis tiroid

setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi akibat: 1) penghentian obat

anti-tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian RAI dan ditahan

hingga 5-7 hari setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari

folikel yang rusak; dan 3) efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon

tiroid seringkali lebih tinggi sebelum terapi RAI daripada setelahnya, banyak

para ahli endokrinologi meyakini bahwa penghentian obat anti-tiroid

merupakan penyebab utama krisis tiroid. Satu pilihannya adalah menghentikan

obat anti-tiroid (termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum dilakukan terapi

35
RAI dan memulai kembali obat dalam 3 hari setelahnya. Pemberian kembali

obat anti-tiroid yang lebih dini setelah terapi RAI dapat menurunkan efikasi

terapi sehingga memerlukan dosis kedua. Perlu pula dipertimbangkan

pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif dilakukan pada pasien

yang berisiko mengalami hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan sindroma

McCune-Albright).13

36
BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Pasien Ny. NW usia 40 tahun datang dengan keluhan utama dada

berdebar-debar. Dada berdebar adalah abnormalitas detak jantung yang ditandai

dengan kontraksi otot pada dinding dada berupa detak keras, cepat, iregular dan

pause. Palpitasi terkait dengan keadaan sperti penyakit jantung koroner,

hipertiroidisme, asma, ansietas dan lain-lain. 16


Keluhan berdebar – debar atau

palpitasi didefinisikan sebagai sensasi "berdebar-debar" atau "getaran" intermiten

di dada. Palpitasi sendiri sering disebabkan oleh penyakit jantung (43%), psikiatri

(31%), lain-lain (10%), dan tidak diketahui (16%). Penyebab kardiovaskular dari

palpitasi adalah kontraksi atrium dan ventrikel prematur, aritmia, prolaps katup

mitral (dengan atau tanpa aritmia terkait), insufisiensi aorta, mioksia atrium,

emboli paru, dan lain – lain. Sedangkan denyut jantung tidak beraturan dan

palpitasi yang berkelanjutan dapat disebabkan oleh atrial fibrillation. Secara lebih

umum, keadaan kardiovaskular hipertimik yang disebabkan oleh stimulasi

katekolaminergik dari olahraga, stres, atau pheochromocytoma dapat

menyebabkan palpitasi.

Faktor lain yang meningkatkan kekuatan kontraksi miokard, termasuk

tembakau, kafein, aminofilin, atropin, tiroksin, kokain, dan amfetamin, dapat

menyebabkan palpitasi. Penyebab psikatri pun dapat dipertimbangkan meliputi

serangan panik atau gangguan, keadaan cemas, dan somatisasi, sendiri atau

37
kombinasi. Pasien dengan penyebab kejiwaan untuk palpitasi lebih sering

melaporkan durasi sensasi yang lebih lama (> 15 menit) dan kurang spesifik

gejala lain yang menyertainya daripada pasien dengan penyebab lain. Di antara

penyebab palpitasi yang lain adalah tirotoksikosis, obat-obatan dan etanol,

kontraksi otot skeletal spontan pada dinding dada, pheochromocytoma, dan

mastositosis sistemik. Pada pasien ini, dada berdebar yang dirasakan

kemungkinan akibat dari Atrial Fibrilasi yang tergambarkan dalam EKG.

Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin

termasuk akibat dari sifat hormone tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan

laju metabolisme tubuh yang diatas normal. Bahkan akibat proses metabolisme

yang menyimpang ini, terkadang penderita hipertiroidisme mengalami kesulitan

tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung tonus otot sebagai

akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus

dengan frekuensi 10-15 x/detik, sehingga penderita mengalami gemetar tangan

yang abnormal. Nadi yang takikardi atau diatas normal juga merupakan salah satu

efek hormon tiroid. Eksopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi

autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokuler,

akibatnya bola mata terdesak keluar. 17

38
Tiroiditis Nodul tiroid
Penyakit Graves (Antibody
toksik
reseptor TSH merangsang
aktivitas tiroid)

Sekresi hormon tiroid


yang berlebihan

Hipertiroidis
me

Hipermetabolis Gerakan kelopak


Aktivitas
me meningkat mata relative
simpatik
lambat terhadap
berlebihan
bola mata

Perubahan
Berat Ketidakseimb
konduksi listrik
Badan angan energy Infiltrasi limfosit,
jantung
dengan sel mast ke
kebutuhan jaringan orbital
tubuh dan otot mata

Kurang Perubahan Beban kerja


inform nutrisi jantung
asi kurang dari Kelelah meningkat
kebutuhan an Eksoftalmus
tubuh

Aritmia,
takikardia
Kurang Kerusakan
Pengetahu integritas
an jaringan

Resiko penurunan
curah jantung
39
Hasil EKG menunjukan adanya atrial fibrilasi dan LVH. Efek hormon

tiroid pada jantung dan pembuluh darah perifer meliputi penurunan resistensi

vaskular sistemik, peningkatan laju jantung, dan peningkatan kontraktilitas

ventrikel kiri. Jika hal ini dideteksi oleh ginjal, maka sistem renin angiotensin

aldosteron akan teraktivasi dan absorpsi natrium akan meningkat. T3 juga

berperan memproduksi eritropoetin yang akan meningkatkan eritrosit dan

menaikkan volume darah dan preload. Kondisi hipertiroid menyebabkan kenaikan

cardiac output 50% - 300% dibanding keadaan normal. Patogenesis AF pada

hipertiroid belum diketahui pasti dan bersifat multifaktorial. Pengaruh hormon

tiroid terhadap waktu aksi potensial otot jantung diduga berpeluang mencetuskan

aritmia jantung. Peningkatan kadar T3 menyebabkan durasi potensial aksi miosit

lebih pendek pada pasien hipertiroid; mempermudah reentry (masuknya kembali

gelombang eksitasi yang mengelilingi atrium) dan meningkatkan risiko AF. 18

Pada kasus ini diagnosis bandingnya adalah feokromositoma.

Feokromositoma adalah tumor langka yang menghasilkan katekolamin yang dapat

memicu hipertensi yang mengancam jiwa. Seseorang dengan feokromositoma

biasanya memiliki tiga gejala klasik yaitu sakit kepala, berkeringat, dan palpitasi

jantung dalam hubungan dengan tekanan darah tinggi. Kondisi lain yang mungkin

menyertai gejala klasik ini adalah kecemasan, mual, tremor, kelemahan, sakit

perut, dan penurunan berat badan. Penegakan diagnosisnya dengan mengukur

hormon seperti katekolamin dan metanephrines dalam urin 24 jam, dan

metanephrines juga dapat diukur dalam darah. Jika hasil menunjukan lebih besar

40
dari 2 kali normal, studi pencitraan biasanya dilakukan untuk melihat kelenjar

adrenal. 19

Pada pasien ini pemberian obat awal yang dilakukan adalah :

IVFD NaCl 0,9% 28 tpm

Injeksi Dexamethason 3 x 5 mg IV

Propiltiurasil 3x100 mg tab po

Propanolol 3x40 mg tab po

Asam Asetilsalisilat 1x80 mg tab po

Domperidon 3x10 mgtab po

Diazepam 3x5 mg tab po

Terapi cairan dan elektrolit yang agresif diperlukan untuk mengatasi dehidrasi

dan hipotensi. Keadaan hipermetabolik yang berlebihan dengan peningkatan

transit usus dan takipnu akan membawa pada kehilangan cairan yang cukup

bermakna. Kebutuhan cairan dapat meningkat menjadi 3-5 L per hari. Dengan

demikian, pengawasan invasif disarankan pada pasien-pasien lanjut usia dan

dengan gagal jantung kongestif. Agen yang meningkatkan tekanan darah dapat

digunakan saat hipotensi menetap setelah penggantian cairan yang adekuat.

Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan peningkatan

angka harapan hidup. Awalnya, glukokortikoid digunakan untuk mengobati

kemungkinan insufisiensi relatif akibat percepatan produksi dan degradasi pada

saat status hipermetabolik berlangsung. Namun, pasien mungkin mengalami

defisiensi autoimun tipe 2 dimana penyakit Graves disertai oleh insufisiensi

adrenal absolut. Glukokortikoid dapat menurunkanuptake iodium dan titer

41
antibodi yang terstimulasi oleh hormon tiroid disertai stabilisasi anyaman

vaskuler. Sebagai tambahan, deksametason dan hidrokortison dapat memiliki efek

menghambat konversi T4 menjadi T3. Dengan demikian, dosis glukokortikoid,

seperti deksametason dan hidrokortison, sekarang rutin diberikan dengan dosis

yang digunakan adalah 100 mg/8 jam secara intravena pada kasus krisis tiroid..

PTU digunakan untuk menghalangi produksi hormon tiroid.

Prophyltiouracil adalah derivat tiourasil yang bekerja dengan menurunkan hormon

tiroid yang di produksi oleh kelenjar tiroid. Efek samping yang terjadi adalah

agranulositosis dan anemia aplastik. PTU juga menghambat konversi T4 menjadi

T3 di sirkulasi perifer dan lebih disukai daripada MMI pada kasus-kasus krisis

tiroid. Adalah tidak rasional memasukkan methimazole 30 mg/6 jam atau PTU

200 mg/4 jam secara oral atau NGT. Keduanya bisa dilarutkan untuk digunakan

secara rectal dan PTU dapat diberikan secara intravena dengan diencerkan oleh

saline isotonis dibuat alkali (pH 9,25) dengan sodium hidroksida

Propanolol digunakan untuk mencegah konversi T4 menjadi bentuk aktif

T3 sehingga mengurangi jumlah hormon tiroid. Selain itu Propanolol juga

digunakan untuk mengatasi takikardi. Propranolol adalah obat pilihan untuk

melawan aksi perifer hormon tiroid. Obat ini menimbulkan perubahan dramatis

pada manifestasi klinis dan efektif dalam mengurangi gejala. Namun, propranolol

menghasilkan respon klinis yang diinginkan pada krisis tiroid hanya pada dosis

yang besar. Dosis yang diberikan adalah 1mg/menit sampai beberapa mg hingga

efek yang diinginkan tercapai atau 2-4mg/4jam secara intravena atau 60-

80mg/4jam secara oral atau melalui nasogastric tube (NGT). 20

42
Penggunaan antikoagulan masih diperdebatkan. Meskipun bukti masih

kurang, bila ada faktor risiko stroke, terapi antioagulan oral dianjurkan untuk

mencegah emboli sistemik. American Heart Association (AHA)

merekomendasikan aspirin 325 mg/hari untuk pasien AF risiko rendah dan

warfarin bagi pasien risiko tinggi yang dapat menerima antikoagulan dengan

aman. 21

43
BAB V

PENUTUP

Krisis tiroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis yang secara

mendadak menjadi hebat dan disertai antara lain adanya panas badan, delirium,

takikardi, dehidrasi berat dan dapat dicetuskan oleh antara lain: infeksi dan

tindakan pembedahan.

Prinsip pengelolaan krisis tiroid yakni mengendalikan tirotoksikosis dan

mengatasi komplikasi yang terjadi. Terapi yang direkomendasikan adalah terapi

dengan cara kerja menghambat sintesis hormon tiroid , menghambat sekresi

hormon tiroid , menghambat aksi perifer hormon tiroid serta melakukan

penanganan suportif . Sedangkan untuk mengatasi komplikasinya tergantung

kondisi penderita dan gejala yang ada. Tindakan harus secepatnya karena angka

kematian pada penderita ini cukup besar.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Margaret G, Rosman NP, Hadddow JE. Thyroid strom in an 11-years-old boy


managed by propanolol. Pediatrics 1874;53:920-922.
2. Roizen M, Becker CE. Thyroid strom. The Western Journal of Medicine
1971;115:5-9.
3. Sudoyo AW. Buku ajar penyakit dalam jilid II edisi IV. Jakarta Pusat 2007.
4. Chew SC, Leslie D. Clinical endocrinology and diabetes. Churchill
Livingstone Elseiver 2006:8.
5. Schraga ED. Hyperthyroidism , thyroid storm , and Graves disease. Available
at: http://emedicine.medscape.com/article/324556-print.
6. Akamizu T, Satoh T, Isozaki O, Suzuki A, Wakino S, Iburi T et al. 2012
Diagnostic criteria, clinical features, and incidence of thyroid storm based on
nationwide surveys. Thyroid 22: 661-679
7. Nayak B, Burman K. Thyrotoxicosis and Thyroid Storm. Endocrinol Metab
Clin N Am. 2006; 35:663-86.
8. Duggal J, Singh S, Kuchinic P, Butler P, Arora R. Utility of esmolol in
thyroid crisis. Can J Clin Pharmacol. 2006;13(3):e292-5.
9. Shahab A. Penyakit Graves (struma diffusa toksik) diagnosis dan
penatalaksanaannya. Bullletin PIKI4 : seri endokrinologi-metabolisme.
2002:9-18.
10. Sharma PK, Barr L, Rubin A. Complications of thyroid surgery. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/946738-print.
11. Yeung SJ, Habra M, Chiu C. Graves disease. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/234233-print.
12. Misra M, Singhal A, Campbell D. Thyroid storm. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/394932-print.
13. Blum M, Kranjac T, Park Cm, Engleman Rm. Thyroid storm after cardiac
angiography with iodinated contrast medium. Occurrence in a patient with a
previously euthyroid autonomous nodule of the thyroid. JAMA 1976; 235:
2324-2325.
14. Kuwajerwala NK, Goswami G, Abbarah T, Kanthimathinathan V, Chaturvedi
P. Thyroid , thyrotoxic storm following thyroidectomy. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/213213-print.
15. Izumi K, Kondo S, Okada T. A case of atypical thyroid storm with
hypoglycemia and lactic acidosis. Endocr J. 2009;56(6):747-52.
16. Perkeni, Penyakit Kelenjar Gondok, 1996

45
17. Anthony Fauci, Eugene Braunwald, Dennis Kasper, Stephen Hauser, Dan
Longo, J. Jameson, Joseph Loscalzo. Harrison's Principles of Internal
Medicine, 17th Edition, 17th edn., : Mcgraw-hill, 2008.
18. Klein I, Danzi S. Thyroid disease and the heart. Circulation 2007;116:1725-
35.
19. Sheps SG, Jiang NS, Klee GG, van Heerden JA. Recent developments in the
diagnosis and treatment of pheochromocytoma. Mayo Clin Proc. 1990 Jan.
65(1):88-95
20. Sawin CT, Geller A, Wolf PA, Belanger AJ, Baker E, Bacharach P, et al. Low
serum thyrotropin concentrations as a risk factor for atrial fibrillation in
older persons. NEJM. 2004;331:1249-52.
21. Eldar M, Canetti M, Rotstein Z, Boyko V, Gottlieb S, Kaplinsky E, et al.
Significance of paroxysmal atrial fibrillation complicating acute myocardial
infarction in the thrombolytic era. Circulation 2008; 97:965-70.
http://circ.ahajournals.org/content/97/10/965

46

Anda mungkin juga menyukai