Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

Visum Et Repertum

Cristomi Thenager (11.2016.040)


(11.2016.040)

Edison (11.2015.286)
(11.2015.286)

Wendy Yudija Limbong Allo (11.2016.075)

Pembimbing: dr. Mohammad Galih, SpF

Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Forensik dan Medikolegal
Rumah Sakit Bhayangkara Lampung
Periode 20 November  –  16
 16 Desember 2017
1. Definisi Asfiksia umum
Asfiksia berasal dari bahasa Yunani, yaitu terdiri dari “a” yang berarti “tidak”, dan
“sphinx” yang artinya “nadi”. Jadi secara harfiah, asfiksia diartikan sebagai “tidak ada
nadi” atau “tidak berdenyut”.
Asfiksia ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan,
mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan
karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan
oksigen dan terjadi kematian. Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau
hipoksia.
  Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya:
 Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
 Airlangga.2007.p:71-99
  Idries, Abdul Mun’im, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Bi narupa Aksara, Jakarta, Hal
170-190.

2. Etiologi Asfikisia secara umum


Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti
fibrosis paru.
 b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan
sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat molekuler
dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.
  Budiyanto. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1. Jakarta:
 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h55-70.
3. Kasus-kasus Asfiksia secara umum

4. Definisi Asfiksia mekanik


Mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki saluran pernapasan
oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik)
  Budiyanto. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1. Jakarta:
 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h55-70.

5. Etiologi Asfiksia secara mekanik


a. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation), pencekikan
(manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).
 b. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan (smothering)
dan penyumbatan (gagging & choking).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik).
d. Tenggelam (drowning) yaitu saluran napas terisi air.
  Budiyanto. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1. Jakarta:
 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h55-70.

6. Kasus-kasus Asfiksia secara mekanik


1. PEMBEKAPAN/SMOTHERING.
Tanda kekerasan yang ditemukan tergantung :jenis dan kekuatan benda yang
digunakan.
Kekerasan yang mungkin ditemukan:
 Luka lecet tekan/gores kuku pada hidung, pipi, dagu, bibir
 Luka memar bibir bagian dalam,gusi,lidah,kepala bagian belakang
2. GAGGING & CHOKING.
Sumbatan jalan nafas oleh benda asing
Gagging : orofaring
Choking : laringofaring
Sebab Kematian: Asfiksia dan Reflek vegal
3. PENCEKIKAN.
 Definisi
Pencekikan atau manual strangulation merupakan jenis strangulasi yang
selalu dikaitkan dengan pembunuhan adalah penekanan pada leher dengan tangan
atau lengan bawah, yang menyebabkan dinding saluran nafas bagian atas tertekan
dan terjadi penyempitan saluran nafas sehingga udara pernafasan tidak dapat
lewat.
Pencekikan dengan menggunakan tangan sendiri adalah tidak mungkin ,
karena adanya tekanan pada leher menyebabkan terjadinya kehilangan kesadaran
dan dengan sendirinya tekanan pada leher tersebut akan terhenti. Dengan
demikian penjeratan dengan tangan atau pencekikan selalu merupakan kasus
 pembunuhan.
Pencekikan atau manual strangulation merupakan cara membunuh yang
dipakai bila korbannya itu lebih lemah dari si pelaku, anak- anak atau orang tua
dan wanita yang bertubuh gemuk ; juga sering dilakukan pada kasus pembunuhan
anak.
 Mekanisme Kematian
Tekanan di dan di sekitar leher terkenal sebagai tindakan yang berpotensi
mematikan . Kematian dapat disebabkan setelah kompresi leher oleh salah satu
dari empat mekanisme atau dengan kombinasi dari dua atau lebih hal berikut:
 Obstruksi jalan napas
Obstruksi jalan napas dengan kompresi langsung dari laring atau trakea
atau oleh tekanan pada leher menaikan laring ke atas dan menyebabkan bagian
superior dari faring tersumbat oleh dasar lidah. Hal ini dapat dicapai dengan
tekanan dari lengan di bagian depan leher, kadang-kadang disebut "choke hold.”
 Oklusi pembuluh vena di leher.
Faktor ini hampir sepenuhnya bertanggung jawab atas kesan adanya tanda
“klasik” kongesti, sianosis , edema dan petechiae di atas garis konstriksi.
Tekanan rendah dalam sistem vena dan sifat tipis dari dinding vena
membuat oklusi vena lebih mudah dicapai dari oklusi arteri. Namun, kapasitas
cadangan yang besar dari sistem vena membuat tidak memungkinkan kematian
yang cepat bahkan jika oklusi lengkap dicapai, kecuali terdapat beberapa faktor
lainnya .
 Kompresi atau oklusi arteri karotis.
Ini lebih sulit dicapai daripada oklusi vena karena tekanan tinggi dalam
sistem arteri dan ketebalan dinding arteri. Namun, efek oklusi akan menjadi jelas
dan lebih cepat. Jika oklusi bilateral dari karotis tercapai, tidak sadarkan diri
hampir segera akan terjadi, oklusi karotis selama 4 menit atau lebih dapat
menyebabkan kerusakan otak.
 Refleks vagal terjadi sebagai akibat rangsangan pada nervus vagus pada
corpus caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan
eksterna yang akan menimbulkan bradikardi dan hipotensi. Refleks vagal
ini jarang terjadi.
Tiga cara melakukan pencekikan (manual strangulasi), yaitu :
1. Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.
2. Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
3. Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku
maka ini disebut mugging.
Gambaran Post Mortem Pencekikan
1. Kepala :
Perdarahan pinpoint, atau petechiae, umumnya terlihat dalam mata setelah
kompresi manual (pencekikan) leher. Petechiae mungkin di kedua bola mata, atau
kelopak, atau keduanya. Petechiae juga dapat ditemukan pada wajah, terutama
dahi, dan sekitar mata. Munculnya Petechiae disebabkan oleh peningkatan
tekanan pembuluh darah yang menyebabkan pembuluh kapiler pecah.
2. Leher
a. Bagian Luar
- Memar yang bentuknya bulat atau lonjong akibat tekanan jari-jari
 pelaku.Luka- luka memar pada kulit, bekas tekanan jari, merupakan
 petunjuk berharga untuk menentukan bagaimana posisi tangan pada saat
mencekik.
- Lecet berbentuk bulan sabit akibat kuku pelaku. Jika pencekikan
menggunakan satu tangan (misalnya tangan kanan) maka jejas kuku atau
memar pada leher bagian kiri korban akan lebih banyak karena tertekan
oleh empat jari sedangkan pada leher sebelah kanan hanya sedikit karena
tertekan oleh ibu jari saja.
 b. Bagian Dalam
- Resapan darah nampak lebih jelas dari pada strangulasi jenis lain, yaitu
 pada jaringan ikat dibawah kulit, dibelakang kerongkongan, dasar lidah
dan kelenjar tyroid.
- Fraktur dari tulang rawan hyoid yang tersering. Selain itu dapat pula
terajadi fraktur tulang thyroid, cricoid karena penekanan langsung pada
leher.
-Paru-Paru
Edema paru-paru terjadi jika noksia berlangsung lama. Bila penekanan
 pada leher terjadi secara intermiten maka pada mulut dan lubang hidung
akan terlihat adanya buih halus
4. PENJERATAN / STRANGULASI.
 Definisi
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang,
rantai, stagen, kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat
leher yang makin lama makin kuat, sehingga saluran nafas tertutup atau lilitan
tali, ikat pinggang, rantai, stagen, kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, yang
menjadi erat karena tarikan kedua ujungnya oleh orang lain.21 Berbeda dengan
gantung diri yang biasanya merupakan kasus bunuh diri, maka penjeratan
 biasanya adalah kasus pembunuhan. Pada peristiwa gantung, kekuatan jeratnya
 berasal dari berat tubuhnya, maka pada jeratan dengan tali kekuatan jeratnya
 berasal dari tarikan pada kedua ujungnya. Dengan kekuatan tersebut, pembuluh
darah balik atau jalan nafas dapat tersumbat. Tali yang dipakai sering disilangkan
dan sering dijumpai adanya simpul. Jeratan pada bagian depan leher hampir selalu
melewati membran yang menghubungkan tulang rawan hyoid dan tulang rawan
thyroid.
Jika bahan yang digunakan dari bahan yang lembek dan halus maka
 jeratan tersebut sering tidak meninggalkan jejas pada leher. Alat penjerat (tali,
kawat dan lain-lain) biasanya berasal dari pelaku; alat penjerat yang berasal dari
korban sendiri biasanya dasi stocking, selendang, atau kain yang dipakai. Jumlah
lilitan umumnya satu, dengan simpul mati. Terdapat 2 jenis simpul jerat, yaitu
simpul hidup (lingkar jerat dapat diperbesar atau diperkecil) dan simpul mati
(lingkar jerat tidak dapat diubah). Simpul harus diamankan dengan melakukan
 pengikatan dengan benang agar tidak berubah pada waktu men gangkat jerat.
 Mekanisme Kematian
Ada 3 mekanisme kematian pada jerat , yaitu25 :
1. Obstruksi jalan nafas
Hal ini dapat terjadi akibat kompresi langsung laring atau trakea
atau akibat dari tertariknya laring kea rah atas sehingga pangkal lidah
menutupi jalan napas. Pangkal lidah menutupi palatum mole dan langit-
langit mulut.
2. Oklusi pembuluh balik / vena di leher
Oklusi terhadap pembuluh darah vena lebih mudah terjadi
dibandingkan oklusi pembuluh darah arteri, dikarenakan lebih tipisnya
lapisan pembuluh darah vena. Tetapi kematian secara langsung akibat
oklusi dari pembuluh darah vena jarang terjadi, kecuali ada faktor lain
yang menambahkan.
3. Kompresi atau oklusi dari pembuluh darah arteri carotis.
Oklusi pembuluh darah arteri karotis lebih susah dicapai karena
tingginya tekanan aliran darah dan tebalnya lapisan pembuluh darah.
Tetapi apabila hal ini terjadi, dapat menyebabkan kematian yang secara
langsung. Menurut Saukko dan knight, dalam waktu 4 menit setelah
terjadinya oklusi pembuluh darah arteri carotis , tubuh akan mengalamai
kerusakan otak/ brain damage.
4. Stimulasi Vagal reflex
Ketika terjadinya rangsang tekanan dari luar yang langsung
mengenai nervus vagus akan menyebabkan terjadinya bradicardi, yang
akan berlanjut menjadi asistol, atau di beberapa kasus langsung menjadi
asistole.
Cara Kematian pada Kasus Jerat
Untuk menentukan cara kematian perlu diperiksa dengan teliti. Biasanya
 pada pembunuhan ditemukan lecet-lecet atau memar-memar disekitar jejas karena
korban berusaha melepas jeratan. Pada bunuh diri biasanya terdapat simpul atau
kalau tidak posisi tali disilangkan agar supaya jeratan dapat terkunci dan
 berlangsung terus. Dalam hal tali disilangkan tanpa simpul hendaknya
diperhatikan apakah tali itu kasar atau halus sebab jika tali tidak kasar maka
 jeratan akan mengendur jika orang yang melakukan bunuh diri sudah mulai tidak
sadar. Jeratan tali juga dapat terjadi karena kecelakaan, seperti misalnya pada bayi
yang terlilit oleh pakaiaannya sendiri atau pada buruh pabrik yang pakaiannya
tersangkut mesin dan menjerat lehernya sendiri.
Cara kematian pada kasus jerat diantaranya adalah:
1. Pembunuhan (paling sering) Pembunuhan pada kasus jeratan
(strangulation by ligature) dapat kita jumpai pada kejadian infanticide
dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat, dan
hukuman mati(zaman dahulu).
2. Kecelakaan Kecelakaan pada kasus jeratan (strangulation by ligature)
dapat kita temukan pada bayi yang terjerat oleh tali pakaian, pekerja yang
sering memakai selendang dan tertarik masuk ke mesin.
3. Bunuh diri Bunuh diri pada kasus jeratan (strangulation by ligature)
mereka lakukan dengan cara melilitkan tali secara berulang dimana satu
ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara jeratan dan leher mereka
masukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.25 Hal ini sangat
 jarang dan menyulitkan diagnosis. Pengikatan dilakukan sendiri oleh
korban dengan simpul hidup atau bahan yang dililitkan saja ,dengan
 jumlah lilitan lebih dari satu.
Gambaran Post Mortem Penjeratan
1. Pemeriksaan Luar Jenazah
Pada pemeriksaan luar hasil jerat didapatkan:
a. Leher
Jejas jerat
i. Tidak sejelas jejas gantung
ii. Arahnya horizontal
iii. Jejas biasanya terletak setinggi atau dibawah rawan gondok.
iv. Kedalamannya regular (sama) ,tetapi jika ada simpul atau tali
disilangkan maka jejas jerat pada tempat-tempat tersebut lebih
dalam atau lebih nyata.
v. Tinggi kedua ujung jejas jerat tidak sama.
vi. Jumlah lilitan umumnya satu dengan simpul mati.
vii. Pola jejas dapat dilihat dengan menempelkan transparent scotch
tape pada daerah jejas di leher, kemudian ditempelkan pada kaca
objek dan dilihat dengan mikroskop atau dengan sinar ultra violet.
Luka lecet
i. Dapat ditemukan luka lecet berbentuk bulan sabit yang disebabkan
oleh kuku, baik kuku sipenjerat atau kuku korban sewaktu
 berusaha melepaskan jeratan tersebut
 b. Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena
dan edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. Tetapi
apabila penyebabnya adalah reflex vagal, maka tanda-tanda diatas tidak
akan ditemukan.
 b. Lebam Mayat
Lokasi timbulnya lebam mayat tergantung dari posisi tubuh korban setelah
mati.
2. Pemeriksaan Dalam Jenazah
Pada pemeriksaan dalam akibat peristiwa jerat didapatkan :
a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur.
 b. Tanda-tanda Asfiksia
Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah,
Terdapat buih halus di mulut
Didapatkan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang
meninggi.
c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot
Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini
lebih sering dihubungkan dengan tindak kekerasan.
d. Pada pemeriksaan paru-paru sering ditemui edema paru.
e. Jarang terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid.
5. GANTUNG / HANGING.
 Definisi
Penggantungan adalah metode penjeratan leher dengan ikatan, dimana
memanfaatkan gravitasi terhadap berat badan tubuh atau bagian dari tubuh.
Seluruh atau sebagian tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu
 benda dengan permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga
daerah tersebut mengalami tekanan. Alat penjerat biasanya pasif, sedangkan berat
 badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher. Dengan definisi seperti
itu berarti pada peristiwa gantung tidak harus seluruh tubuh berada diatas lantai,
sebab dengan tekanan berkekuatan 10 pon pada leher sudah cukup untuk
menghentikan aliran darah di daerah itu. Oleh sebeb itu tindakan gantung diri
dapat dilakukan dengan sebagian tubuh tetap berada dilantai.
TIPE-TIPE PENGGANTUNGAN
Berdasarkan cara kematian:
a. Suicidal Hanging (Gantung Diri)
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai
 pada penggantungan, yaitu sekitar 90% dari seluruh kasus. Walaupun
demikian, pemeriksaan yang teliti harus dilakukan untuk mencegah
kemungkinan lain terutamanya pembunuhan.
 b. Accidental Hanging
Kejadian penggantungan akibat kecelakaan lebih banyak
ditemukan pada anak-anak utamanya pada umur antara 6-12 tahun. Tidak
ditemukan alasan untuk bunuh diri karena pada usia itu belum ada tilikan
dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengawasan
dari orang tua. Meskipun tidak menutup kemungkinan hal ini dapat terjadi
 pada orang dewasa yaitu ketika melampiaskan nafsu seksual yang
menyimpang (Autoerotic Hanging).
c. Homicidal Hanging (Pembunuhan)
Pembunuhan yang dilakukan dengan metode menggantung korban.
Biasanya dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang dewasa yang
kondisinya lemah baik oleh karena penyakit atau dibawah pengaruh obat,
alcohol, atau korban sedang tidur. Sering ditemukan kejadian
 penggantungan tetapi bukan kasus bunuh diri, namun kejadian diatur
sedemikian rupa hingga menyerupai kasus penggantungan bunuh diri.
Banyak alasan yang menyebabkan pembunuhan terjadi mulai dari masalah
sosial, masalah ekonomi, hingga masalah hubungan sosial
 Klasifikasi Gantung
Berdasarkan Titik Gantung:
a. Penggantungan tipikal
Dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di
samping leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada
saluran nafas dan arteri karotis paling besar pada t ipe ini.
 b. Penggantungan atipikal
Bila titik penggantungan terdapat di samping, sehingga leher
dalam posisi sangat miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan
hambatan. Sehingga korban segera tidak sadar
Berdasarkan Posisi Tubuh
a. Penggantungan Lengkap
Istilah penggantungan lengkap digunakan jika beban aktif adalah seluruh
 berat badan tubuh, yaitu terjadi pada orang yang menggantungkan diri
dengan kaki mengambang dari lantai.
 b. Penggantungan Parsial
Istilah penggantungan parsial digunakan jika beban berat badan tubuh
tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban
yang tergantung dengan posisi berlutut atau berbaring. Pada kasus
tersebut, berat badan tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat sehingga
disebut penggantungan parsial.
Cara Kematian Pada Kasus Gantung:
Cara kematian pada kasus gantung diantaranya adalah:
1. Bunuh diri
2. Pembunuhan
3. Kecelakaan
 Mekanisme Kematian
Penggantungan menyebabkan kematian dengan beberapa mekanisme yang bisa
 berlansung bersamaan. Pada setiap kasus penggantungan beberapa kondisi di
 bawah akan terjadi.
1. Arteri karotis tersumbat
2. Vena jugularis tersumbat
3. Memicu refleks karotis
4. Fraktur vertebra servikal
5. Menutupnya jalan nafas
Daripada kondisi di atas, dapat disimpulkan kematian pada korban penggantungan
yang terdiri dari empat penyebab yaitu:
1. Asfiksia
2. Iskemi otak
3. Refleks vagus
4. Kerusakan medulla oblongata
Kematian segera akibat dari penggantungan dapat muncul akibat dari beberapa
mekanisme. Penekanan pada ganglion saraf arteri karotis oleh tali yang melingkar
 pada leher korban dapat menyebabkan carotid body reflex (refleks vagus)
sehingga memicu perlambatan denyut jantung. Perlahan-perlahan terjadi aritmia
 jantung sehingga terakhir korban mati dengan cardiac arrest. Namun mekanisme
kematian ini jarang didapatkan karena untuk menimbulkan refleks karotis,
tekanan lansung yang kuat harus diberikan pada area khusus di mana carotid body
 berada. Hal ini sukar dipastikan. Sebagai tambahan refleks karotis juga dapat
dimunculkan biar pun tanpa penggantungan.
Tekanan pada vena jugularis juga bisa menyebabkan kematian korban
 penggantungan dengan mekanisme asfiksia. Kebanyakan kasus penggantungan
 bunuh diri mempunyai mekanisme kematian seperti ini. Seperti yang diketahui,
vena jugularis membawa darah dari otak ke jantung untuk sirkulasi. Pada
 penggantungan sering terjadi penekanan pada vena jugularis oleh tali yang
menggantung korban. Tekanan ini seolah-olah membuat jalan yang dilewati darah
untuk kembali ke jantung dari otak tersumbat. Obstruksi total maupun parsial
secara perlahan-lahan dapat menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak.
Darah tetap mengalir dari jantung ke otak tetapi darah dari otak tidak bisa
mengalir keluar. Akhirnya, terjadilah penumpukan darah di pembuluh darah otak.
Keadaan ini menyebabkan suplai oksigen ke otak berkurang dan korban
seterusnya tidak sadarkan diri. Kemudian, terjadilah depresi pusat nafas dan
korban mati akibat asfiksia. Tekanan yang diperlukan untuk terjadinya mekanisme
ini tidak penting tetapi durasi lamanya tekanan diberikan pada leher oleh tali yang
menggantung korban yang menyebabkan mekanisme tersebut. Ketidaksadaran
korban mengambil waktu yang lama sebelum terjadinya depresi pusat nafas.
Secara keseluruhan, mekanisme ini tidak menyakitkan sehingga disalahgunakan
oleh pria untuk memuaskan nafsu seksual mereka (autoerotic sexual asphyxia).
Pada mekanisme ini, korban akan menunjukkan gejala sianosis. Wajahnya
membiru dan sedikit membengkak. Muncul peteki di wajah dan mata akibat dari
 pecahnya kapiler darah karena tekanan yang lama. Didapatkan lidah yang
menjulur keluar pada pemeriksan luar.
Obstruksi arteri karotis terjadi akibat dari penekanan yang lebih besar. Hal ini
karena secara anatomis, arteri karotis berada lebih dalam dari vena jugularis. Oleh
hal yang demikian, obstruksi arteri karotis jarang ditemukan pada kasus bunuh
diri dengan penggantungan. Biasanya korban mati karena tekanan yang lebih
 besar, misalnya dicekik atau pada penjeratan. Pada pemeriksaan dalam turut
ditemukan jejas pada jaringan lunak sekitar arteri karotis akibat tekanan yang
 besar ini. Tekanan ini menyebabkan aliran darah ke otak tersumbat. Kurangnya
suplai darah ke otak menyebabkan korban tidak sadar diri dan depresi pusat nafas
sehingga kematian terjadi. Pada mekanisme ini, hanya ditemukan wajah yang
sianosis tetapi tidak ada peteki.
Fraktur vertebra servikal dapat menimbulkan kematian pada penggantungan
dengan mekanisme asfiksia atau dekapitasi. Kejadian ini biasa terjadi pada
hukuman gantung atau korban penggantungan yang dilepaskan dari tempat tinggi.
Sering terjadi fraktur atau cedera pada vertebra servikal 1 dan servikal 2 (aksis
dan atlas) atau lebih dikenali sebagai “hangman fracture”. Fraktur atau dislokasi
vertebra servikal akan menekan medulla oblongata sehingga terjadi depresi pusat
nafas dan korban meninggal karena henti nafas.
Asfiksia bisa juga terjadi akibat dari tertutupnya jalan nafas. Kondisi ini terjadi
setelah korban tidak sadar dan tidak ada usaha untuk bernafas. Akhirnya, korban
mati. Gambaran klasik asfiksia termasuk:
1. kongesti pada wajah
kulit tampak kemerahan pada wajah dan kepala akibat hambatan aliran
kembali vena ke jantung oleh kompresi leher
2. edema pada wajah
 pembengkakan jaringan akibat transudasi cairan dari vena akibat
 peningkatan vena hasil obstruksi aliran kembali vena ke jantung
3. sianosis pada wajah
warna biru pada kulit akibat adanya darah terdeoksigenasi dalam sistem
vena yang terkongesti serta kadang-kadang turut melibatkan sistem arteri.
4. petekie pada kulit wajah dan mata
 perdarahan halus sebesar ujung jarum lazim ditemukan di wajah dan
sekitar kelopak mata selain pada konjunktiva dan sklera akibat darah bocor
dari vena kecil yang mengalami peningkatan tekanan. Keadaan ini diduga
akibat hipoksia dinding pembuluh darah namun belum terbukti pasti.
Peteki bukan tanda diagnostik asfiksia karena dapat ditemukan pada
keadaan batuk atau bersin yang terlampau keras. Hal yang terkait peteki
wajah adalah peteki visceral yang disebut “Tardieu spots” yang
sebelumnya dianggap tanda khas asfiksia kini sudah terbukti bukan tanda
terjadinya obstruksi pernapasan.
Gambaran Post Mortem Kasus Gantung
1. Pemeriksaan pada kasus penekanan pada leher dan obstruksi saluran
 pernafasan:
a. Sianosis
Yang mudah dilihat pada pembuluh darah kapiler, seperti pada ujung-
ujung jari dan bibir dimana penilaiannya harus hati-hati oleh karena variabelnya
cukup besar. Setelah 24 jam post-mortal sianosis yang ada biasanya merupakan
 perubahan post-mortal, tidak adanya sianosis tidak berarti bahwa korban tidak
terjadi sianosis.
c. Kongesti
Kongesti sistemik dan kongesti pada paru-paru serta dilatasi jantung kanan
adalah merupakan tanda klasik pada kematian karena asfiksia.
d. Darah tetap cair
Merupakan salah satu indikasi adanya asfiksia, walaupun validitasnya
masih diperdebatkan dan sering diperdebatkan d engan aktifitas fibrinolisin.
e. Edema paru-paru
Paru-paru ditimbang untuk mengetahui beratnya, walaupun hanya
mempunyai arti sedikit didalam hal penentuan kematian karena obstruksi saluran
 pernafasan, dan sering dijumpai pada kasus-kasus yang lain.
f. Perdarahan berbintik (ptechial haemorrhages)
Yang mudah dilihat pada kulit dan alat-alat dalam, seperti pada
 permukaan jantung, permukaan paru-paru, daerah katup pangkal tenggorok
(epiglotis), biji mata dan kelopak mata. Perdarahan bintik-bintik ini disebabkan
karena terjadinya perubahan permeabilitas kapiler sebagai akibat langsung dari
hipoksia dan karena peningkatan tekanan intrakapiler.
g. Patahnya tulang lidah dan tulang rawan gondok
Tulang lidah dapat patah oleh karena mengalami tekanan atau kompresi
langsung dari samping (lateral), ataupun karena tekanan yang tidak langsung.
Tekanan yang langsung terjadi misalnya pada kasus pencekikan, sedangkan
tekanan yang tidak langsung dimunginkan oleh karena adanya tekanan kebawah
kesamping dari tulang rawan gondok atau tekanan pada daerah antara tulang lidah
dan tulang rawan gondok. Patahnya tulang lidah karena tekanan yang tidak
langsung tersebut dimungkinkan oleh karena tulang lidah terfiksasi dengan kuat
oleh otot-otot pada permukaan atas dan permukaan depan. Tulang rawan gondok
sering patah pada bagian cornusuperior, yang dimungkinkan karena adanya traksi
 pada jaringan ikat yang menghubungkan tulang lidah dan tulang rawan gondok
(thyrohyoid ligament)
Pemeriksaan Luar Pada Jenazah
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik,
tidak bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering
seperti kertas perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di
 pinggir jeratan. Bila lama tergantung, di bagian atas jeratan warna kulit akan
terlihat lebih gelap karena adanya lebam mayat.
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan.
Simpul terletak di bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati juga jejas
tekanan simpul di kulit. Bila bahan penggantung kecil dan keras (seperti kawat),
maka jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila bahan lembut dan lebar (seperti
selendang), maka jejas jeratan tidak begitu jelas. Jejas jeratan juga dapat
dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung, berat badan korban dan ketatnya
 jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher dibeliti beberapa kali secara
horizontal baru kemudian digantung, dalam kasus ini didapati beberapa jejas
 jeratan yang lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak
tersambung yang menunjukkan letak simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila
segera diturunkan tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab,
 bintik perdarahan Tardieu’s spot tidak begitu jelas, lidah terjulur dan kadang
tergigit, tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut,sianosis, kadang-kadang
ada tetesan urin, feses dan sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di
kaki dan tangan bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di dapati
di bagian depan atau belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan.
Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya darah.
 Pemeriksaan Dalam Pada Jenazah
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran
 pernafasancongested, demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat
Tardieu’s spot di permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah berwarna gelap
dan encer
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan
yang lain jarang
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah ( Red
line ) pada tunika intima dari arteri karotis interna.
 1.Budiyanto A,et al . Ilmu kedokteran Forensik. Ed:2 . Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
 Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 1992 hal: 60-1.
  Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Do kter dan Penegak Hu kum. Ed: 5. Badan
 Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang: 2007. Hal 107-24.
  Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Ed:1. Binarupa Aksara. Jakarta: 1997.Hal 193-4.
 Saukko P, Knight B. Knight’s Forensic Pathology.Edward Arnold Ltd.Great Britain: 2004.page
379-82.
 idris AM. Penggantungan. IN : Idries AM, Editor : Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1.
 Jakarta: Binarupa aksara; 1997. P202-207).
  Amir, A. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Ketiga. Medan: Bagian Forensik FK USU.
2008
  Dahlan Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Badan
 Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2012.
 Shephered R. Simpson’s forensic medicine. 12th ed. London: Blackwell Publishing; 2003. Page 99-
100
  Modi, J. P., 1988. Death from Asphyxia. In: Modi, J. P., 21st ed. Medical Jurispudence and
Toxicology. Bombay: Tripathi, 188-195.
  Mun’in Abdul, dkk. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. Sagung Seto,
 Jakarta, 2010.
  Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang:
2000.
  Iedris M, dr., Tjiptomartono A.L, dr., Asfiksia., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
 Penyidikan., Sagung Seto., Jakarta: 2008.
  Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Perama.. Binarupa Aksara, Jakarta ; 1997 ;
 Hal.194- 95.
  Erianto, Guntur Bumi Nasution, Rita Mawarni. MATI LEMAS OLEH KARENA PENCEKIKAN.
 Diakses dari [http://www.heartindo.com/asphixia] Diunduh pada tanggal 1 April 2015.
  Margaret M. Clinical Forensic Medicine (2nd ed). Deaths in Custody. 2005. 339 -340. Ney Jersey:
 Humana Press Inc

7. Perjalanan klinis fase-fase Asfiksia


Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis, yaitu:
1. Fase Dispnea
Pada stadium ini terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar
CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata,
sehingga gerakan pernafasan lebih cepat dan berat, denyut nadi lebih cepat,
tekanan darah meningkat serta sianosis.. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk
ke fase konvulsi. Lama durasi pada fase ini sekitar 4 menit.
2. Fase Konvulsi
Pada stadium ini kadar CO2 yang naik menimbulkan rangsangan susunan
saraf pusat sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa kejang
klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme
opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menjadi lebih lambat, dan
tekanan darah perlahan akan ikut menurun. Hal ini disebabkan adanya paralisis
 pada pusat saraf yang letaknya lebih tinggi. Lama durasi pada fase ini sekitar 2
menit.
3. Fase Apnea
Pada stadium ini depresi pusat pernafasan menjadi lebih hebat. Otot
 pernapasan menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin menurun,
 pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan
dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan
denyut nadi hampir tidak teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih
 berdenyut beberapa saat lagi. Dan terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi
 pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja secara mendadak. Lama durasi pada
fase ini sekitar 1 menit.
4. Fase Akhir
Pada stadium ini terjadi paralisis pusat pernapasan yang komplit, jantung
masih berdenyut saat postapneu. Pernafasan berhenti setelah kontraksi otomatis
otot pernafasan kecil pada leher.
 Sofwan D.Ilmu Kedokteran Forensik. Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2000

8. Tanda-tanda klinis Asfiksia


Pada jenazah yang meninggal dunia akibat asfiksia akan dapat ditemukan tanda-tanda
umum, yaitu:
1. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)
Tardieu’s spot merupakan gambaran bintik -bintik perdarahan yang terjadi
karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan
rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak
mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin,
konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung,
 paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium,
 peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan
intestinum.
2. Oedema
Kekurangan oksigen yang berlangsung lama akan mengakibatkan kerusakan
 pada pembuluh darah kapiler sehingga permeabilitasnya meningkat. Keadaan ini
akan menyebabkan timbulnya oedema, terutama oedema paru-paru.
3. Sianosis
Kurangnya oksigen akan menyebabkan darah menjadi lebih encer dan lebih
gelap. Warna kulit dan mukosa terlihat lebih gelap, demikian juga lebam mayat.
Perlu diketahui bahwa pada setiap proses kematian pada akhirnya akan terjadi
 juga keadaan anoksia jaringan. Oleh sebab itu keadaan sianosi dalam berbagai
tingkat dapat juga terjadi pada kematian yang tidak disebabkan karena asfiksia.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu
diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan
hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali
dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
4. Lebam mayat
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap, terbentuk lebih cepat, distribusi
luas, akibat kadar CO2 yang tinggi dan akibat fibrinolisin dalam darah sehingga
darah sukar membeku dan mudah mengalir.
5. Busa halus pada hidung dan mulut
Timbul akibat peningkatan aktivitas pernafasan pada fase dispneu yang
disertai sekresi selaput lendir bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat
dalam saluran sempit, menimbulkan busa yang kadang bercampur darah akibat
 pecahnya kapiler.
 Geserick G.,2010, Tardieu's spots and asphyxia--a literature study, Pubmed, Germany
 Sofwan D.Ilmu Kedokteran Forensik. Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2000

9. Patofisiologi Anoxia dan hipoksia

10. Pengertian hubungan Anoxia dengan Hipoxia , Hipoxia dengan Anoxia

Anda mungkin juga menyukai