“PITIRIASIS VERSIKOLOR”
Dosen Pembimbing :
dr. Fajar Waskito, M. Kes, Sp. KK (K)
Disusun Oleh :
Yessica Viona (42180244)
Julian Nathanael (42180245)
Inata Yefta (42180246)
Claudia Bella (42180247)
Egie Kurniawan (42180248)
I. LATAR BELAKANG
Pityriasis versikolor adalah penyakit yang sering timbul akibat jamur superficialis.
Penyakit ini timbul lebih banyak didaerah dengan tingkat kelembaban yang tinggi yaitu
negara-negara tropis seperti Indonesia. Dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang yang mengeluarkan banyak keringat ditambah tidak memperhatikan Hygiene
Personal (kebersihan diri ) , dapat dipastikan akan menjadi faktor pemicu terinfeksinya
penyakit panu ( Pityriasis Versicolor ). Pityriasis versicolor dapat menyerang masyarakat
tanpa memandang golongan umur tertentu. Dari segi usia ditemukan pada usia 16-40
tahun. Faktor pencetus misalnya pekerjaan dalam lingkungan basah, trauma, banyak
keringat, selain pajanan terhadap jamur lebih lama.
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bp. YA
Usia : 35 th
Jeniskelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Gamping kidul
Kunjungan ke klinik : 11 Juni 2019
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara auto anamnesis dengan pasien pada tanggal 11 Juni
2019 di Klinik kulit & kelamin RS Bethesda.
A. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan gatal pada bagian dada dan disertai adanya bintik-bintik
putih, tidak nyeri
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan timbul bintik-bintik putih yang gatal sejak 4 bulan yang
lalu, apabila digaruk keluar putih-putih seperti komedo. Awalnya bercak timbul
didada sebelah kiri lalu menjalar ke seluruh permukaan dada. Gatal diperparah
saat keadaan berkeringat. Pasien belum pernah mengobati keluhan tersebut.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan Serupa : (-) Penyakit Jantung : (-)
Hipertensi : (-) Diabetes Melitus : (-)
Asma : (-)
D. Life Style
Pasien sering berolahraga, bermain sepak bola. Setelah aktivitas bermain bola,
pasien jarang mengganti baju. Selain itu, pasien saat ini sedang bekerja diluar
pulau (Kalimantan) dan mengatakan bahwa menggunakan air sungai untuk
mandi.
E. Riwayat Operasi
Patah tulang
F. Riwayat Alergi
Tidak ada
G. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal yang sama.
H. Riwayat Pengobatan
Belum pernah diobati.
VII. TATALAKSANA
I. Antifungi
R/ Ketokonazol tab 200 mg No. XIV
S 1 dd tab 2 a.c (dihabiskan)
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam
A. Definisi
Pitiriasis versikolor adalah penyakit jamur superfisial kronik ringan yang
disebabkan oleh jamur malassezia, berupa bercak berskuama halus berwarna putih
dapat kemerahan maupun coklat sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan
kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka,
dan kulit kepala yang berambut. Pitiriasis versicolor disebut juga tinea versikolor,
kromofitosis, dermatomikosis, liver spots, tinea flava, pitiriasis versikolor flava dan
panu (Mansjoer et al, 2008).
B. Etiologi
Pitiriasis versikolor disebabkan oleh organisme normal pada kulit berupa jamur
lipofilik yang dahulu disebut sebagai Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale,
tetapi saat ini telah diklasifikasikan dalam satu genus Malassezia. Awalnya dianggap
hanya satu spesies, yakni Malassezia furfur, tetapi analisis genetik menunjukkan
berbagai spesies yang berbeda dan dengan teknik molekular saat ini telah diketahui 14
spesies yaitu M. furfur, M. sympoidalis, M. globosa, M. obtusa, M. restricta, M.
slooffiae, M. dermatis, M. japonica, M. yamotoensis, M. caprae, M. nana, M. equine,
M cuniculi, dan M. pachydermatis. Studi di Indonesia melaporkan identifikasi dan
isolasi Malassezia spp. dari PV di negara tropis dengan M. furfur sebagai spesies
terbanyak, diikuti dengan M. sympoidalis, dan M. globosa dan tidak terdapat
predisposisi usia, jenis kelamin, maupun lokasi anatomi lesi untuk spesies tertentu (Hay
& Asbee, 2010).
C. Faktor Resiko
Pitiriasis versikolor terjadi karena bentuk ragi yang saprofit pada kulit
berkembang menjadi bentuk miselium parasitik dan menimbulkan gejala klinis. Faktor
- faktor yang mempengaruhi proses tersebut antara lain lingkungan, kadar CO2 yang
meningkat pada kondisi oklusif, sebum pada dewasa muda, hiperhidrosis, penggunaan
kortikosteroid sistemik, penyakit Cushing, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi.
Meskipun penyebab dianggap berasal dari organisme yang normal di kulit, diduga ada
kemungkinan transmisi dari individu lain. Gejala yang dirasa seperti gatal yang muncul
pada lesi masih belum ada penjelasan yang signifikan, akan tetapi terdapat hipotesis
bahwa lingkungan yang lembab dan basah meningkatkan virulensi jamur sehingga
muncul rasa gatal segera setelah paparan sinar matahari, berkeringat, maupun mandi
(Mayser et al, 2008).
D. Gejala Klinis
Biasanya tidak ada keluhan (asimtomatis), tetapi dapat dijumpai gatal pada keluhan
pasien. Pasien yang menderita PV biasanya mengeluhkan bercak pigmentasi dengan
alasan kosmetik. Predileksi pitiriasis vesikolor yaitu pada tubuh bagian atas, lengan
atas, leher, abdomen, aksila, inguinal, paha, genitalia (Wolff K, Johnson RA, Suurmond
D, 2007).
Bentuk lesi tidak teratur, berbatas tegas sampai difus dengan ukuran lesi dapat milier,
lentikuler, numuler sampai plakat. Ada dua bentuk yang sering dijumpai (Boel T,
2003):
1. bentuk makuler: berupa bercak yang agak lebar, dengan skuama halus diatasnya,
dan tepi tidak meninggi.
2. bentuk folikuler: seperti tetesan air, sering timbul disekitar rambut.
Gambar 3. Pityriasis versicolor menunjukkan lesi hiperpigmentasi dalam lesi pada Ras
Kaukasia (kiri) dan hipopigmentasi dalam Ras Aborijin Australia (kanan).
Sumber (www.micologyonline.com), (A.D.A.M, www.about.com)
E. Patofisiologi
Crowson dan Magro menjelaskan bahwa pada varian pitiriasi versikolor bentuk
atrofi tidak dijumpai infiltrat eosinofil di dermis sehingga dapat ditafsirkan bahwa
proses imunitas lebih didominasi oleh limfosit Th-1 dan ditandai oleh aktivasi histiosit
dan peningkatan peran sitokin interferon-γ (IFN-γ). Aktivasi histiosit juga akan
meningkatkan produksi elastase sehingga mungkin dapat menjelaskan terjadinya
elastolisis pada kasus pityriasis versikolor yang disertai atrofi lesi. Faktor lain pada
respon imun yang diperantai oleh Th-1 adalah peningkatan produksi TNF-α yang akan
mengakibatkan apoptosis keratinosit dan rete ridge epidermis menjadi datar.
Malassezia juga mempengaruhi produksi sitokin proinflamasi oleh sel mononuklear.
Pada populasi Malassezia yang rendah, produksi IL-1β dan TNF-α cenderung terpacu,
sementara jika populasi tinggi produksi sitokin tersebut akan terhambat. TNF-α akan
menekan melanogenesis melalui hambatan jalur NF-kB dengan menekan aktivitas
promoter tirosinase. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa pada kasus PV dengan lesi
hipopigmentasi umumnya organisme hanya dijumpai di bagian superfisial stratum
korneum (Crowson & Magro, 2003).
Pitriacitrin yang mengabsorbsi sinar UV, sehingga berperan sebagai tabir surya.
Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh adanya
pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M. furfur. Pityriacitrin
memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan ultraviolet, sehingga
menyebabkan M. furfur lebih resisten terhadap sinar matahari.
Pityrialactone, yang berpendar (fluoresensi) di bawah sinar UV 366nm memberikan
warna kuning-kehijauan
Pityriarubins, yang menghambat respiratory burst neutrofil dan menghambat aktivitas
5-lipoksigenase
Malassezin, suatu agonis reseptor; aryl-hydrocarbon yang menyebabkan apoptosis
dalam melanosit, sehingga hipopigmentasi bertahan lama
Indirubin dan indolo[3,2-b] carbazole, yang menghambat maturasi sel dendritik dan
kemampuannya mempresentasikan antigen
Pada lesi hiperpigmentasi tampak peningkatan ukuran melanosom serta penebalan
stratum korneum. Faktor inflamasi diperkirakan sebagai stimulus melanositosis serta
organisme penyebab dalam jumlah besar turut berperan pada proses terjadinya
hiperpigmentasi. Pada studi in vitro terdapat indikasi bahwa Malassezia spp. dapat
memproduksi pigmen serupa melanin, tetapi secara in vivo pada lesi hiperpigmentasi hal ini
belum terbukti (Verawaty & Karmila, 2018).
Beberapa penelitian menunjukkan peran dari metabolit Malassezia yang memiliki
efek toksik pada melanosit, yaitu asam dikarboksilat dan lipoperoksidase. Pada pemeriksaan
ultrastruktural ditemukan pula kerusakan berat dari melanosit, bervariasi mulai melanosom
hingga gangguan degenerasi mitokondria. Salah satu asam dikarboksilat yang diproduksi
M. furfur adalah asam azeleat yang mungkin menyebabkan efek sitotoksik. Kerusakan dari
melanosit ini mungkin dapat menjelaskan mengapa repigmentasi membutuhkan waktu yang
lama dari bulan hingga tahun. Penelitian lain menunjukkan fakta bahwa skuama dari
pityriasis versikolor menghambat repigmentasi. Area sekitar pitiriasis versikolor setelah
terapi akan tetap hipopigmentasi untuk periode waktu tertentu. Dengan semakin
berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis perubahan pigmen pada pitiriasi
versicolor, maka proses repigmentasi mulai dipertimbangkan dengan menggunakan
beberapa agen terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxideliberating cream atau aplikasi
solusio cycloserine yang menghasilkan kesembuhan dengan repigmentasi cepat.
Weller, et al. mempelajari efek menguntungkan dari nitric oxide (NO) di kulit.
Peneliti ini menemukan bahwa nitric oxide diproduksi di permukaan kulit dan berfungsi
sebagai perlindungan terhadap infeksi jamur superfisial. Melanosit dan keratinosit
memproduksi nitric oxide sebagai respon sitokin inflamasi dan produksi nitric oxide pada
keratinosit dipicu oleh radiasi ultraviolet. Nitric oxide meningkatkan aktivitas tirosinase dan
melanogenesis sehingga mampu mempercepat proses repigmentasi pada pityriasis
versicolor (Kimdu & Garg, 2012)
F. Penegakan Diagnosis
1. Diagnosis ditegakkan dengan gejala klinis, penemuan klinis berupa makula, berbatas
tegas, bulat atau oval dengan ukuran yang bervariasi.
2. Mikroskopi langsung. Kerokan kulit diambil dari bercak pityriasis versicolor, atau
dengan menggunakan cellotape yang ditempel pada bercak. Setelah diambil diletakkan di
atas gelas objek kemudian ditetesi KOH 10-20% atau campuran 9 bagian KOH 10-20%
dengan 1 bagian tinta Parker blue black superchrome X akan lebih memperjelas pembacaan
karena memberikan tampilan warna biru yang cerah pada elemen-elemen jamur. Kemudian
dipanaskan sebentar diatas lampu bunsen untuk memfiksasi, dan dilihat di bawah
mikroskop dengan pembesaran 40 kali (Budimulja U, 2003).
- Hasil Positif: hifa pendek, lurus, bengkok (seperti huruf i.v.j) dan gerombolan
sporabudding yeast yang berbentuk bulat mirip seperti sphagetti with meatballs.
- Hasil Negatif: bila tidak ada lagi hifa, maka berarti bukan pityriasis versicolor walaupun
ditemukan spora.
3. Pemeriksaan dengan Wood's Lamp
Penyakit kulit yang disebabkan oleh golongan Malassezia dapat dideteksi dengan lampu
wood dimana akan timbul fluoresensi berwarna kuning keemasan.
G. Pengobatan
Agen Topikal. Karena koloni jamur ini pada permukaan kulit, maka pengobatan topikal
sangat efektif. Lotion atau sampo Selenium sulfide (2.5%) dioleskan pada bercak selama
10-15 menit, kemudian dicuci, digunakan selama satu minggu. Sampo ketokonazol
digunakan sama seperti penggunaan selenium sulfide. Krim Azole (ketoconazole,
econazole, micronazole, clotrimazole) dioleskan selama 2 minggu. Solusio Terbinafine 1%
solution dioleskan selama 7 hari (Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, 2007). Topikal
Terbinafine efektif pada pitriasis versikolor, dengan penggunaan satu atau dua kali sehari
selama dua minggu, terbukti dapat menyembuhkan dari penelitian terhadap lebih dari 80%
pasien pitiriasis versikolor, tinea pedis, tinea corporis/cruris (McClellan KJ,1999).
Terapi Sistemik. Ketokonazol termasuk kelas antijamur imidazoles. Ketokonazol bekerja
dengan memperlambat pertumbuhan jamur yang menyebabkan infeksi. Obat ini diminum
satu kali sehari. Sediaan tablet ketokonazol adalah 200 mg. Dosis Ketokonazol 400 mg
(diminum satu jam sebelum makan). Flukonazol 400 mg. Itrakonazol 400 mg (Wolff K,
Johnson RA, Suurmond D, 2007). Adapun efek samping ketokonazol adalah nausea,
dispepsia, sakit perut, dan diare.
DAFTAR PUSTAKA
Fitrie AA, 2004. Histologi dari Melanosit. Fakultas Kedokteran Bagian Histologi Universitas
Sumatera Utara. Diambil dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1929/1/histologi-alya2.pdf tanggal
akses 6 Juli 2011.
Hay, RJ.& Ashbee, HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. (2010). Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Oxford: WileyBlackwell; p. 36.10 –
36.12.
Mayser, PA., Lang, SK.& Hort, W. (2008). Pathogenicity of Malassezia Yeasts. In:
Brakhage AA, Zipfel PF. editors. The Mycota VI. 2nd ed. Berlin: Springer; p. 115-54.
Kimdu, RV. & Garg, A. (2012). Yeast Infection: Candidiasis, tinea (pityriasis)
versicolor, and Malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ and Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; p. 2298-311.