Anda di halaman 1dari 18

AMONIA

Disusun oleh :
Muhammad Soffiudin
NPM 1806150780

Pembimbing :
Dr. dr. Dewi S. Soemarko, MS, Sp.OK

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KERJA

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA – MARET 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah berjudul ”Amonia”, yang merupakan salah satu tugas
dalam bidang studi Toksikologi Industri, Semester II Program Studi Magister
Kedokteran Kerja.

Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis memperoleh bimbingan dan bantuan dari
Dr. dr. Dewi S. Soemarko, MS, Sp.OK. Penulis menyadari makalah ini belum dapat
dikatakan sebagai suatu karya tulis yang sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sehingga
makalah ini mampu memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membacanya.

Jakarta, Maret 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

BAB I ....................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................... 4
I.1. LATAR BELAKANG ................................................................................ 4
I.2. PERMASALAHAN.................................................................................... 4
I.3. TUJUAN .................................................................................................... 5
I.4. MANFAAT ................................................................................................ 5
BAB II ...................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................ 6
II.1. Sifat-sifat Fisikokimia ................................................................................. 6
II.2. Manfaat Amonia ......................................................................................... 7
II.3. Toksikokinetik Amonia............................................................................... 8
II.4. Toksikodinamik Amonia ........................................................................... 11
II.5. Biomarker Amonia ................................................................................... 14
II.6. Interaksi Amonia ...................................................................................... 14
II.7. Penanganan Pajanan Berlebih Amonia ...................................................... 15
II.8. Pengontrolan Amonia ............................................................................... 15
BAB III................................................................................................................... 17
KESIMPULAN ...................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 18

3
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Dengan semakin berkembangnya industri di dunia, semakin banyak pula


bahan kimia yang digunakan, tak terkecuali dengan amonia. Amonia merupakan
suatu bahan alamiah yang berasal dari makhluk hidup. Jadi dapat diproduksi oleh
tubuh manusia maupun oleh alam. Bahan ini banyak digunakan oleh pekerja seperti
petani, pemadam kebakaran, fotografer, pembuatan kertas, dan sebagainya. 1
Produksi amonia oleh pabrik di Amerika Serikat mencapai 9,5 juta ton (2001).
Hasil produksi yang didapatkan dari pengolahan amonia adalah pupuk, pestisida,
plastik, fiber sintesis, dan resin. Konsentrasi rata-rata amonia secara global di
atmosfer adalah 0,3-6 ppb dengan daerah industri dan agrikultural lebih tinggi (280-
88.000 ppb).
Sebagai suatu senyawa, amonia memiliki mekanisme mulai dari absorbsi,
distribusi, metabolisme, sampai ekskresi yang sesuai dengan cara masuknya kedalam
tubuh. Amonia dapat masuk ke tubuh melalui inhalasi, ingesti, kontak dengan mata
dan kulit. Karena sifatnya yang iritatif dan korosif, amonia memiliki dampak pada
tubuh meskipun secara alami tubuh kita membutuhkannya untuk membantu
metabolisme.2
Dengan mengetahui sifat-sifat amonia kita diharapkan dapat mengenali gejala
dan tanda akibat pajanan berlebihan amonia dan memberikan pertolongan pertama
terhadap efek yang ditimbulkannya.

I.2. PERMASALAHAN

Terdapatnya efek amonia terhadap tubuh

4
I.3. TUJUAN

1. Tujuan Umum
 Diketahui dan dipahaminya senyawa kimia amonia
2. Tujuan Khusus
 Diketahuinya dan dipahaminya definisi, sifat fisikokimia, manfaat
penanganan dan pengontrolan akibat pajanan amonia.
 Diketahui dan dipahaminya toksikokinetik dan toksikodinamik
amonia.

I.4. MANFAAT
Dapat mengetahui sifat-sifat amonia sehingga dapat melakukan upaya
preventif maupun kuratif akibat pajanan amonia.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Sifat-sifat Fisikokimia

Amonia merupakan suatu persenyawaan kimia yang dapat dibentuk oleh


tubuh manusia maupun alam yang tersusun dari satu bagian nitrogen dengan tiga
hidrogen. Amonia yang diproduksi oleh tubuh manusia diperkirakan mencapai 17
gram/hari, dimana 4 gram diproduksi di usus oleh bakteri usus yang masuk ke
sirkulasi portal dan dimetabolisme oleh hati menjadi urea. Kadar amonia pada orang
yang sehat adalah 0,7-2 mg/L. Sedangkan amonia yang diproduksi oleh tumbuhan
dan mikroorganisme diperkirakan mencapai 90-130 ton setiap tahunnya.1,2
Besar amonia di udara alam adalah 1 : 5 ppb, di air kurang dari 6 ppm,
sedangkan di tanah 1-5 ppm dan dapat meningkat sampai 2.000-3.000 ppm pada
penambahan pupuk namun dalam waktu 5 hari akan menurun sampai 2-850 ppm. Hal
ini disebabkan amonia yang ada di alam tidak akan bertahan lama karena akan
terdekomposisi secara alamiah. Di tanah atau air, amonia terserap cepat oleh tanaman
dan mikroorganisme. Di udara amonia akan hilang dalam 1 minggu.
Amonia dapat berbentuk gas atau anhidrous, namun dapat pula dikompresi
menjadi cairan (liquid) dibawah tekanan. Amonia mudah terlarut dalam air dan
disebut cairan amonia. Dalam air ini sebagian besar amonia berubah menjadi bentuk
ionik disebut ion ammonium (NH4+) yang tidak berbau.3,4,5
Karena titik didihnya -33oC, maka amonia harus disimpan dalam tempat yang
bertekanan tinggi atau suhu yang sangat rendah. Pada umumnya amonia bersifat basa
(pKb=4.75), namun dapat juga bertindak sebagai asam yang amat lemah (pKa=9.25).
Amonia termasuk bahan yang tidak stabil dan dapat bereaksi dengan florin, klorin,
HCl, HBr, nitrosil klorida, nitrogen dioksida, dan nitrogen triklorida. Hasil
dekomposisi amonia berupa hidrogen pada suhu sangat tinggi yaitu 1544 oF (840oC).

6
Amonia terbakar pada suhu yang sangat tinggi, yaitu 1274 oF (690oC). Untuk
memadamkan api prinsipnya adalah hentikan aliran gas. Air adalah media yang
sangat baik untuk memadamkan api karena amonia karena amonia larut dalam air dan
air dapat menyerap gas amonia yang lolos. 2,3
Parameter Nilai
Nama sistematis Amonia
Azana[1]
Nama lain Hidrogen nitrida
spiritus Hartshorn
Nitrosil
Vaporol [2]
Rumus molekul NH3
Massa molar 17.0306 g/mol[1]
Penampilan Gas tak berwarna, berbau tajam
Massa jenis dan fase 0,6942 g/L, gas.[3]
Kelarutan dalam air 89,9 g/100 ml pada 0°C.
Titik lebur -77,73 °C (195.42 K)
Titik didih -28oF (-33,3oC)
Tekanan uap 70oF
Densitas uap pada 60oF (Udara = 1) 0,62
Keasaman (pKa) 9,25
Kebasaan (pKb) 4,75
Bentuk molekul piramida segitiga
Momen dipol 1,42 D
Sudut ikatan 107,5°
TWA 25 ppm
STEL 35 ppm
LC50 2000ppm/4H

II.2. Manfaat Amonia

Amonia sangat penting bagi kehidupan dan dapat ditemukan di air, tanah,
maupun udara sebagai sumber nitrogen penting untuk tanaman maupun hewan.
Delapan puluh persen produksi amonia digunakan sebagai pupuk, selain itu dapat
pula digunakan sebagai pestisida, deterjen, fiber sintetis, dan plastik. Selain fungsi
tersebut, amonia juga berperan dalam pembentukan DNA, RNA, protein dan menjaga
keseimbangan asam basa jaringan.3

7
II.3. Toksikokinetik Amonia

Sebagai suatu senyawa kimia, amonia dapat masuk ke dalam tubuh melalui
saluran pernafasan, pencernaan (ingesti), kontak melalui kulit maupun mata.
a. Absorbsi
Sebagian besar amonia yang terinhalasi menetap di saluran nafas atas dan
tereliminasi melalui udara ekspirasi. Amonia yang menetap ini menyebabkan
iritasi nasal dan faring. Absorbsi melalui inhalasi sangat rendah pengaruhnya
terhadap darah karena tidak merubah Blood Urea Nitrogen (BUN), non protein
nitrogen, urea pada urin maupun amonia pada urin.
Selain secara inhalasi, amonia juga dapat terabsorbsi melalui ingesti
(saluran pencernaan). Amonia dapat diproduksi tubuh maupun berasal dari alam.
Amonia endogen diproduksi oleh bakteri di saluran pencernaan yang
mendegradasi nitrogen dari makanan (4.200 mg/hari) dan sistensis oleh colon.
Amonia ini diabsorbsi tubuh sebesar 4.150 mg/hari atau 99% dari total produksi.
Amonia yang terabsorbsi di saluran pencernaan akan mencapai sirkulasi tubuh
melalui metabolisme hepar yang kemudian diubah menjadi urea dan glutamin.
Absorbsi dengan cara ini berpengaruh besar terhadap perubahan di darah.
Belum banyak data yang membahas mengenai absorbsi amonia melalui
kulit dan mata. Hanya didapatkan sebuah laporan tentang kerusakan lokal
(terbakar dan iritasi). Amonia dapat terabsorbsi melalui mata secara difus dan
mengenai kornea, lensa, sistem drainase, dan retina, namun belum ada penelitian
mengenai efek sistemiknya. WHO (1986) menyimpulkan bahwa efek sistemik
akibat pajanan amonia melalui kulit dan mata tidaklah penting.1
b. Distribusi
Hanya sebagian kecil saja amonia yang terinhalasi kemudian terabsorbsi
kedalam sirkulasi sistemik. Retensi amonia awal pada saluran pernafasan bagian
atas dapat mencapai 80% atau lebih, akan tetapi setelah penyeimbangan (30
menit), 70-80% nya terekspirasi.
Melalui ingesti amonium memasuki sirkulasi portal dan disampaikan ke
hepar. Jumlah urea yang dikeluarkan dari hepar sebanding dengan jumlah yang

8
masuk saluran cerna. Sedangkan amonia yang tak terionisasi secara bebas
berdifusi, sedangkan amonium lebih banyak terdapat pada ekstraseluler. Akan
tetapi karena amonium sangat dinamis sehingga dapat masuk ke sirkulasi atau
cairan tubuh lain.
Belum ada data yang pasti mengenai distribusi amonia dalam sirkulasi
sistemik yang masuk melalui dermal.
c. Metabolisme
Belum ada data kuantitatif mengenai metabolisme amonia. Namun secara
umum amonia dimetabolisme menjadi urea dan glutamin terutama di hepar.
Nitrogen dilepaskan dari glutamin melalui sel jaringan dan digunakan untuk
sintesa protein. Masuknya garam amonium melalui saluran pencernaan
dikonversikan menjadi urea di hati, sedangkan rute masuk yang lain melalui
metabolisme glutamin dan protein jaringan. Metabolisme amonium asetat yang
masuk melalui intravena pada percobaan dengan hewan menunjukkan bahwa 90%
dari zat yang masuk dikonversikan menjadi glutamin dan urea dalam 30 menit.
Morimoto et al (1988) menemukan bahwa amonium klorida yang masuk melalui
intravena pada hewan yang dimetabolisme menjadi glutamin amida dan urea
mencapai kadar puncak dalam 5 menit dan turun secara bertahap 15-60 menit
setelah injeksi.

9
Gambar 1. Siklus glutamin

Gambar 2. Siklus urea dalam hepar

d. Eliminasi dan Ekskresi


Amonia yang terinhalasi sementara larut dalam mukosa saluran
pernafasan bagian atas dan kemudian dibuang kembali ke udara ekspirasi.

10
Pajanan amonia sebesar 500 ppm selama 10-27 menit akan diekskresikan 70-80%
nya melalui cara tersebut. Perbedaan jumlah amonia antara udara inspirasi dan
ekspirasi tersebut terabsorbsi melalui membran nasofaring menuju sirkulasi
sistemik. Ekskresi amonia melalui ginjal dalam bentuk urea dan komponen
amonium di urin, sebagai urea di feces dan komponen keringat. 1

II.4. Toksikodinamik Amonia

Manusia dapat terpajan amonia melalui pernafasan, makanan, minuman,


ataupun melalui kontak kulit. Sebagian besar cara masuknya adalah melalui udara
pernafasan. Karena sifatnya yang berbau menyengat dan mengiritasi, kita dapat
mengidentifikasinya pada kadar 50 ppm dimana belum menggangu kesehatan. Akan
tetapi bagi individu yang sensitif dan memiliki asma, kadar rendah pun telah
memberikan keluhan kesehatan.
Efek terpenting dari pajanan berlebihan amonia berkaitan dengan sifatnya
yang iritatif dan korosif. Dalam bentuk gas dapat menimbulkan rasa terbakar pada
saluran pernafasan, kulit, dan mata. Sedangkan amonia yang terlarut dalam air dapat
terionisasi menjadi amonium hidroksida yang menyebabkan nekrosis jaringan.
Amonia yang masuk melalui udara pernafasan akan berubah menjadi
amonium dan terbawa ke seluruh tubuh dalam hitungan detik. Apabila masuk melalui
makanan atau air, amonia akan masuk ke aliran darah dan ke seluruh tubuh. Akan
tetapi amonia yang masuk melalui makanan dan air dengan kadar 8,5-43 ppb tidak
membahayakan tubuh karena akan segera diubah menjadi zat lain yang tidak
berbahaya dan akan keluar melalui urin dalam beberapa hari. Namun apabila
konsentrasinya mencapai 16 ppm dapat berdampak bagi tubuh.
Selain sifatnya yang iritatif, amonia juga bersifat mutagenik yang telah
dibuktikan dalam tes terhadap bakteri maupun mamalia. Akan tetapi tidak didapatkan
efek reproduktif maupun teratogenik pada amonia.
a. Saluran Pernafasan

Inhalasi amonia yang bersifat korosif dan iritatif dapat merusak sistem saluran
pernafasan bagian atas dan jaringan mukosa. Besarnya kerusakan tergantung pada

11
konsentrasi yang terhirup, sehingga timbul gejala rasa terbakar, batuk, mengi, nafas
pendek, sakit kepala, dan mual. Kadar melebihi 50 ppm dapat menyebabkan iritasi
sedang pada hidung dan tenggorokan. Sedangkan pajanan akut dosis tinggi (500ppm)
meningkatkan volume respirasi permenit.1,2,3
Pajanan kronis amonia di udara dalam dosis rendah (<25ppm) mengakibatkan
efek kecil pada fungsi paru atau penurunan sensitivitas bau. Sedangkan inhalasi
dalam jumlah berlebih dapat berdampak pada saluran nafas atas (larynx dan bronkus)
sehingga menyebabkan “caustic-like burning” yang berakibat edema dan pneumonitis
kimia. Apabila masuk sampai paru-paru yang lebih dalam dapat terjadi edema paru.
Kedua kondisi tersebut dapat berakibat fatal.
Amonia juga dapat menyebabkan bronkitis kronis. Menurut The American
Thoracic Society (ATS) kriteria bronkitis kronis adalah batuk minimal 4x/hari, 4
hari/minggu, 3 bulan/tahun untuk dua tahun (produksi sputum pada sebagian besar
hari minimal tiga bulan). Gejala bronkitis kronis akibat amonia adalah batuk, sesak
nafas, batuk darah, gejala sumbatan, dan adanya produksi sputum. 1,6
b. Saluran Pencernaan
Berdasarkan penelitian, amonia bukan merupakan toksikan primer hati dan
ginjal. Peningkatan amonia secara sistemik (hiperamonemia) pada umumnya
disebabkan oleh ingesti amonia atau penyakit lain seperti sirosis hepatis, kegagalan
hati akut, dan defisiensi enzim siklus urea kongenital. Penyakit hati dapat
menurunkan metabolisme amonia yang berdampak peningkatan amonia dalam darah
dan otak yang dapat memberikan efek neurologis seperti kejang, koma, bahkan
sampai kematian.
Heifer (1971) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa individu yang
terpajan amonia gas dan cairan pada dosis letal dalam waktu singkat (<45 menit)
dapat menyebabkan nekrosis hemoragik hepar. Tidak didapatkan dosis toksik pada
pajanan kronis amonia karena tubuh memiliki mekanisme detoksifikasi dan ekskresi
bahan tersebut.1
Peningkatan kadar amonia dalam darah yang signifikan (hiperamonemia)
dapat mengakibatkan ensefalopati nonspesifik difus, kelemahan otot, penurunan

12
refleks, dan kehilangan kesadaran. Ensefalopati hepatikum terjadi akibat
terganggunya fungsi hepar sehingga tidak dapat memetabolisme amonia.
Hiperamonemia pada hewan terbukti dapat mengakibatkan udem serebri dan herniasi,
serta hipertensi intrakranial. Mekanisme ensefalopati ini belum jelas diketahui,
namun diperkirakan berkaitan dengan metabolisme glutamat di otak yang
mengakibatkan peningkatan aktivasi reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) yang
menyebabkan penurunan protein kinase C-mediated fosforilasi dari Na+/K+ ATPase
dan deplesi ATP. Penurunan ATP ini dapat memicu koma dan kematian. Hipotesa
lain berkaitan dengan gangguan neurotransmiter yang sangat penting dalam sistem
transpor aksonal (perubahan pada komponen TCA cycle-associated termasuk aseto
asetat, dan rasio NAD+/NADH, 2-oksoglutarat, dan 3-hidroksibutarat).1
c. Mata
Keparahan efek amonia terhadap mata meningkat dengan semakin tingginya
dosis maupun durasi kontak. Mata yang terkontaminasi amonia dapat mengalami
inflamasi, lakrimasi, pembengkakan pada kelopak mata, konjungtiva hiperemis,
pandangan kabur, buta sementara, abrasi, dan kerusakan kornea.
Konjungtivitis dapat timbul akibat kontak dengan amonia konsentrasi sedang.
Apabila kontak terjadi pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat mengakibatkan
pembengkakan mata dan lesi yang dapat berakibat kebutaan. 7
d. Kulit
Konsentrasi ringan amonia dapat menyebabkan dermatitis, sedangkan
konsentrasi yang lebih tinggi dapat menyebabkan “caustic-like dermal burns” dan
inflamasi. Pada dosis toksiknya pajanan amonia pada kulit dapat berakibat nekrosis
dan timbulnya jaringan parut.
Amonia yang mengenai bagian permukaan kulit akan bereaksi dengan lemak,
terabsorbsi ke lapisan yang lebih dalam dan menyebabkan kerusakan yang lebar.
Amonia yang larut dalam air meresap ke membran mukosa kulit dan membentuk
ammonium hidroksida yang menyebabkan lesi menyerupai luka bakar karena alkali
yang berdampak likuifikasi jaringan dan penetrasi ke jaringan yang lebih dalam.
Amonium hidroksida menyebabkan saponifikasi membran lipid sel dan berdampak
gangguan serta kematian sel. Selain itu cairan dalam sel akan diserap dan

13
mencetuskan reaksi inflamasi yang dapat memperparah kerusakan. Berat ringannya
kerusakan kulit sangat bergantung pada konsentrasi dan durasi pajanan. Kejadian ini
biasanya berkaitan dengan pekerjaan dan berakibat terbakar pada lapisan kutaneus,
pembengkakan, dan berbagai lesi sesuai derajat keparahannya. Luka bakar yang
timbul dapat parah sampai membutuhkan grafting, dan hilangnya lapisan epidermal
meningkatkan kehilangan cairan tubuh dan meningkatkan infeksi. 3
e. Genotoksisitas
Yadav, Kaushik (1997) pernah mengadakan suatu penelitian mengenai efek
genotoksik pada manusia dengan menganalisa sampel darah dari 22 pekerja yang
terpajan amonia pada pabrik pupuk dan 42 kontrol pekerja yang tidak terpajan
amonia. Hasilnya didapatkan bahwa pajanan amonia dapat meningkatkan frekuensi
aberasi kromosom dan perubahan sister kromatid, serta meningkatkan indeks
mitosis.1

II.5. Biomarker Amonia

Belum ada biomarker yang spesifik untuk mengukur pajanan amonia karena
sebagian besar amonia diproduksi oleh tubuh sendiri. Dari penelitian, setelah pajanan
rendah amonia secara inhalasi tidak ada perubahan pada parameter BUN, non protein
nitrogen, dan amonia pada urin. Pajanan amonia di tempat kerja (25 ppm) hanya
meningkatkan 10% kadar amonia dalam darah.
Biomarker efek amonia terbatas pada lokasi kontak, seperti iritasi saluran
pernafasan, udem paru, dan iritasi mata. Akan tetapi biomarker ini tidak spesifik
terhadap amonia karena dapat disebabkan oleh berbagai hal. Intinya adalah ada
hubungan antara dosis dengan respon. 1

II.6. Interaksi Amonia

Pajanan amonia dengan bahan yang dapat meningkatkan pH dapat


meningkatkan efek alkalosis amonia. Bahan yang meningkatkan pH saluran
pencernaan dapat meningkatkan efek iritasi lokal dan meningkatkan absorbsi. 1

14
II.7. Penanganan Pajanan Berlebih Amonia

Setiap pekerja harus dilengkapi dengan alat pernafasan sendiri-sendiri. Hal


terpenting yang harus dilakukan adalah pekerja yang terpapar namun masih sadar
harus dibawa ke tempat yang tidak terkontaminasi dan menghirup udara segar.
Sedangkan pekerja yang sudah tdak sadarkan diri harus dipindah ke tempat yang
tidak terkontaminasi, diberikan resusitasi dan oksigen. Jaga korban tetap hangat dan
tenang dan yakinkan mucus atau material tumpahan tidak mengobstruksi jalan nafas
dengan drainase posisi.
Apabila amonia dalam kadar berlebih mengenai kulit langkah yang harus
ditempuh adalah mengganti pakaian yang kerkontaminasi amonia secepat mungkin.
Siram daerah yang terkena dengan air, jangan menggunakan air panas.
Mata yang terkena amonia diirigasi terus dengan menggunakan air minimal
15 menit.. Irigasi mata harus diteruskan sampai pH sakus konjungtiva kurang dari
8,5. Pekerja yang memiliki kemungkinan paparan amonia tidak diperkenankan
menggunakan lensa kontak.

II.8. Pengontrolan Amonia

Cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi pajanan terhadap amonia adalah
dengan berhati-hati dalam menggunakan produk yang mengandung bahan amonia
dan menghindari tempat dimana produksi amonia dilakukan. Yakinkan ventilasi
cukup saat menggunakan pembersih yang mengandung amonia dan gunakan APD
yang sesuai. Inti dari pengontrolan amonia adalah tidak menggunakan bahan melebihi
batas maksimal yang diperkenankan.

a. Kontrol mekanik
Untuk mengurangi konsentrasi sampai batas yang diperkenankan dapat
digunakan ventilasi exhaust lokal.
b. APD
- Kacamata goggles yang tahan bahan kimia atau respirator full-face
- Sarung tangan yang terbuat dari bahan yang sesuai

15
- Untuk kondisi gawat darurat gunakan full face piece atau self-contained breathing
apparatus.
c. Lain-lain, berupa safety shoes, safety shower, eyewash "fountain".2,3,4

16
BAB III

KESIMPULAN

1. Amonia merupakan persenyawaan yang dapat dibentuk oleh tubuh maupun


alam.
2. Amonia banyak manfaatnya bagi kehidupan manusia dan alam.
3. Meskipun bermanfaat bagi manusia, namun apabila kadarnya melebihi ambang
batas, amonia dapat menyebabkan kerusakan pada saluran pernafasan,
pencernaan, kulit, dan mata.
4. Amonia mengalami absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi dalam tubuh.
5. Belum ada biomarker spesifik untuk menilai pajanan amonia.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Toxicological profile for ammonia. Sept, 2004 U.S. department of health and
human services. Available from : http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp126-
p.pdf
2. Boc gases ; material safety data sheets. Available from :
http://phyvirtual.nju.edu.cn/material/MSDS/G271.pdf
3. Amonia. Wikipedia ensiklopedia bebas. Available from :
http://id.wikipedia.org/wiki/Amonia
4. Soeripto. Higiene industri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; Sept 2008. p. 28-79.
5. ACGIH. Threshold limit values & biological exposure indices. Cincinnati ;
2008. p. 1-11.
6. Lu FC. Toksikolofi dasar asas, organ sasaran, dan penilaian risiko. 2 nd ed.
Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia ; 2006. p. 187-203.
7. Clayton DG, Clayton FE. Patty’s industrial hygiene & toxicology. Agst 1993.
4th ed. P. 756-63.

18

Anda mungkin juga menyukai