Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu kondisi kerusakan ginjal yang

terjadi selama 3 bulan atau lebih, yang didefinisikan sebagai abnormalitas

struktur atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi

glomerulus (LFG) yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau

kerusakan ginjal; termasuk ketidakseimbangan komposisi zat di dalam darah

atau urin serta ada atau tidaknya gangguan hasil pemeriksaan pencitraan

(Dep-Kes RI 2008). LFG yang kurang dari 60ml/menit/1,73 m² lebih dari 3

bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Dep-Kes RI 2008). Penyakit ginjal

kronik terdiri dari beberapa tahap, dimana tahap akhir dari penyakit ginjal

kronik disebut dengan penyakit ginjal tahap akhir (End State Renal

Disease/ESRD). ESRD ditunjukkan dengan ketidakmampuan ginjal dalam

mempertahankan homeostatis tubuh (Ignatavicius & Workman, 2006).

Insiden dan prevalensi penyakit ginjal kronik pada beberapa tahun terakhir

semakin meningkat. Dari berbagai penelitian pada beberapa negara penyaki

ginjal kronik mempunyai prevalensi 10-20% (Pit-Da 2010). Berdasarkan data

dari United Stated Renal Data System (URSDS) tahun 2005 diketahui bahwa

lebih dari 300.000 orang Amerika mengalami ESRD (Al-Arabi, 2006). Di

Amerika individu dengan ESRD terus bertambah dari 261,3 per 1000
2

penduduk pada tahun 1994 menjadi 348,6 per 1000 penduduk pada tahun

2004 (Kring & Crane, 2009). Individu dengan ESRD meningkat rata-rata

6,5% per tahun di Canada (Canadia Institute for Health Information/CIHI),

2005 dalam Harwood, et al, 2009). Di Indoneaia berdasarkan data tahunan

dari Perhimpunan Neprologi Indonesia (pernepri) tahun 2011 terdapat 12.500

pasien gagal ginjal kronik,lebih dari 53% nya dibawah 54 tahun. Saat ini

terdapat sekitar 400 orang dari sejuta penduduk Indonesia harus menjalani

terapi dengan ginjal pengganti sebagi akibat ginjalnya tidak berfungsi lagi

(ROL, 2015).Selain itu,dijawa tengah pasien dengan penyakit gagal ginjal

kronik mencapai 0,3% (RISKESDAS, 2013).

Terapi pengganti ginjal menjadi satu-satunya pilihan bagi klien dengan

penyakit ginjal tahap akhir untuk mempertahankan fungsi tubuh (Lemone &

Burke, 2008). Terapi pengganti ginjal dapat berupa transplantasi atau dialisis,

yang terdiri dari dialisis peritonial dan hemodialisis.Saat ini hemodialisis

merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan dan

jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat.Dari data USRDS

menyebutkan bahwa di Amerika Serikat lebih dari 65% klien dengan ESRD

mendapatkan terapi hemodialisis. Menurut data IRR bahwa di Indonesia saat

ini tindakan rutin hemodialisa pada tahun 2007 adalah 140 972 ribu pasien

dan terus menerus meningkat menjadi 694 007 ribu pada tahun 2013 (IRR,

2013).

Hemodialisa merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa

metabolisme berupa zat terlarut (solut) dan air yang berada dalam darah
3

melalui membran semipermeabel atau yang disebut dilalyzer (Thomas,2004;

Price & Wilson, 2005), dimana proses dialisis tergantung pada prinsip

fisiologis, yaitu difusi dan ultrafiltrasi. Tujuan utama dari hemodialisis adalah

mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan keseimbangan elektrolit yang

terjadi pada klien penyakit ginjal kronik (Kallenbach, et al, 2005).

Hemodialisa merupakan prosedur penyelamatan jiwa yang mahal.

Hemodialisa memungkinkan sebagian penderita hidup mendekati keadaan

yang normal meskipun menderita gagal ginjal.Namun sebagian pasien

lainnya memiliki prognosis yang tidak begitu optimistik : sebagai

contoh,pasien dengan kegagalan sistem organ yang multiple hanya

memperpanjang proses kematiannya jika diterapi dengan hemodialisa (Prince,

2005).

Dalam hal ini tindakan terapi hemodialisa pada penyakit gagal kronik

akan memerlukan waktu yang panjang yang tentunya harus ditentukan oleh

banyak faktor untuk mencapai kwalitas yang optimal. Di Amerika dan Afrika

kualitas hidup pasien gagal ginjal akan baik dan efektif jika pemenuhan

kepatuhan dialisis terjamin. Dan ini disebabkan oleh beberapa faktor ;

ketersediaan informasi, takut akan dialisis, jarak tempat dialisis, perbedaan

ras, tranportasi dan keyakinan pada Tuhan (Jean Babtiste, 2002). Kepatuhan

sangat diperlukan dalam keberhasilan pengobatan pada penyakit gagal ginjal

(Am J Kidney Dis, 2010). Menurut jurnal keperawatan soedirman tahun 2009

bahwa pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin di RSU
4

Panti Rapih 64,29% penderita gagal ginjal kronik tidah patuh dalam

mengurangi asupan cairan (Ikaristi, 2003).

Beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan terhadap terapi

hemodialisa adalah; Pengetahuan, Tingkat ekonomi, Sikap, Usia, Jarak, Nilai

dan keyakinan, Derajat penyakit, dan yang lebih penting adalah dukungan

sosial keluarga (Pitda- IPDI, 2010).

Nilai-nilai dan keyakinan individu dalam mengambil suatu keputusan

dalam hal ini untuk mendapatkan kesehatan yang optimal melalui terapi

hemodialisis merupakan keyakinan dasar yang digunakan oleh individu

tersebut untuk memotivasi dirinya selama menjalani terapi. Individu yang

pada awalnya sudah memiliki cara pandang yang negatif, tidak memiliki

keyakianan untuk hidup lebih baik cenderung tidak menjalani terapi dengan

sungguh, bahkan sering absen atau tidak mau datang lagi untuk menjalani

terapi hemodialis. Menurut penelitian Departements of Medicine and

psychology (Joann Spinale, Scott D. Cohen et al, 2008), bahwa tingkat

spiritual dan dukungan sosial sangat berpengaruh pada bertahan hidupnya

pasien gagal ginjal kronik.

Individu dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan

kondisi sakitnya dan gangguan dalam hidupnya. Seorang pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani cuci darah (hemodialisa) dalam kurun waktu yang

lama tentu membutuhkan dukungan sosial keluarga. Mereka biasanya

menghadapi masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan


5

pekerjaannya, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, depresi

akibat sakit yang kronis dan ketakutan terhadap kematian. Gaya hidup

terencana berhubungan dengan terapi dialisis dan pembatasan asupan

makanan serta cairan sering menghilangkan semangat hidup pasien dan

keluarganya. Sulit bagi pasien,pasangan dan keluarganya untuk

mengungkapkan rasa marah serta perasaan negatif. Keadaan ini mengarahkan

pasien dan keluarganya kepada sumber-sumber yang ada untuk mendapatkan

bantuan serta dukungan (Smeltzer dan Bare, 2002).

Dukungan sosial adalah sumber daya sosial dalam menghadapi suatu

peristiwa yang menekan dan perilaku menolong yang diberikan pada individu

yang membutuhkan dukungan. Dukungan yang dirasakan oleh individu

dalam kehidupannya membuat ia merasa dicintai, dihargai, dan diakui serta

membuat dirinya lebih berarti dan dapat mengoptimalkan potensi yang ada

pada dirinya(Smeltzer dan Bare, 2002). Dukungan sosial dapat berbentuk

dukungan material, harga diri, emosional maupun informasional. Dukungan

sosial sangat berpengaruh pada pasien gagal ginjal kronik untuk bertahan

hidup (Vittinghoff and McCulloch, 2007).

Studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Kota Salatiga didapatkan

dukungan sosial pada pasien gagal ginjal kronik selama ini sebagian besar

diberikan keluarga. Fenomena yang ada menggambarkan bahwa setiap pasien

yang melaksanakan terapi hemodialisis, didampingi oleh beberapa anggota

keluarga maupun orang terdekat dengan pasien. Walaupun tidak seluruh

anggota keluarga,tetapi secara bergantian atau anggota keluarga yang


6

memiliki waktu lebih terlihat selama pelaksanaan hemodialisa. Tentunya

dukungan keluarga tersebut memiliki dampak terhadap kepatuhan pasien

dalam melaksanaan terapi hemodialisa.

Di RSUD Kota Salatiga dalam tahun 2015 ini dari bulan Januari sampai

bulan Mei 400-450 tindakan hemodialisa dengan 40 pasien gagal ginjal

kronik, 5 orang melakukan terapi hemodialisa 1 kali dalam seminggu

dikarenakan jarak yang jauh dan tak ada yang mengantar. Sedangkan 35

orang melakukan tindakan hemodialisis 2 kali seminggu. Dalam studi

pendahuluan penulis bertemu dengan tiga orang pasien penyakit gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Kota Salatiga. Ketika penulis

mewawancarai ketiganya mengenai dukungan sosial terhadap kepatuhan

menjalani terapi hemodialisa hasilnya berbeda beda.Dari ketiganya didapat

permasalahan yaitu bosan terhadap tindakan hemodialisa, tempat tinggal yang

jauh, merasa membebani keluarga dan keadaan sosial ekonomi keluarga yang

kurang.

Dengan gambaran yang terjadi pada ketiga pasien tersebut menunjukkan

bahwa dukungan sosial ekonomi dan keluarga sangat berpengaruh pada

tingkat kepatuhan seseorang dalam menjalani terapi hemodialisa. Berdasar

fenomena tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan

judul “Analisis Faktor Dukungan Sosial Terhadap Kepatuhan Dalam

Menjalani Hemodialisa Rutin Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Unit

Hemodialisa RSUD Kota Salatiga.”


7

1.2 Rumusan Masalah

Jumlah pasien penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani bertambah

setiap tahunnya disebabkan karena pola hidupnya yang tidak sehat . Menurut

penelitian pada pasien di Afrika Amerika bahwa kepatuhan terapi

hemodialisa dipengarui oleh pendanaan,trannsportasi dan dukungan untuk

perawatan. Pada pasien-pasien di RSUD Salatiga masalah sosial ekonomi,

transportasi dan biaya berpengaruh pada kedisiplinan terapi hemodialisa.

Berdasar latar belakang dan fenomena yang ada saat ini terutama di unit

hemodialisa di RSUD Salatiga, maka peneliti tertarik untuk mengetahui

sejauh mana hubungan dukungan sosial dengan kepatuhan atau kedisiplinan

pasien dengan gagal ginjal dalam menjalani terapi hemodialisa di Unit

Hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1.Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan dukungan sosial dengan kepatuhan dalam

menjalani hemodialisa rutin pada pasien gagal ginjal kronik di unit

hemodialisa RSUD Kota Salatiga.


8

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi gambaran kepatuhan pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisa rutin di RSUD Kota Salatiga.

2. Mengidentifikasi gambaran dukungan emosional pada pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD Kota Salatiga.

3. Mengidentifikasi gambaran dukungan harga diri pada pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani terapi hemodalisa rutin di RSUD Kota

Salatiga.

4. Mengidentifikasi gambaran dukungan informasional pada pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani terapi hemodalisa rutin di RSUD Kota

Salatiga.

5. Mengidentifikasi gambaran dukungan materiil pada pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani terapi hemodalisa rutin di RSUD Kota Salatiga.

6. Menganalisis hubungan dukungan emosional dengan kepatuhan pada

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodalisa rutin di

RSUD Kota Salatiga.

7. Menganalisis hubungan dukungan harga diri dengan kepatuhan pada

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodalisa rutin di

RSUD Kota Salatiga.

8. Menganalisis hubungan dukungan informasional dengan kepatuhan

pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodalisa rutin

di RSUD Kota Salatiga.


9

9. Menganalisis hubungan dukungan materiil dengan kepatuhan pada

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodalisa rutin di

RSUD Kota Salatiga.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Penulis

1. Penulis dapat menambah pengetahuan tentang hubungan antara

dukungan sosial dengan kepatuhan pada pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis rutin.

2. Penulis berkesempatan untuk mengaplikasikan pengetahuan dan

keterampilan dalam melakukan penelitian

1.4.2. Bagi Perawat

1. Perawat dapat menambah pengetahuan tentang hubungan antara

dukungan sosial dengan kepatuhan pada pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis rutin.

2. Perawat dapat memberikan dukungan sosial yang sesuai untuk pasien

pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis rutin.

1.4.3. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk menambah materi di

perkuliahan dan penelitian yang berkaitan dengan analisis faktor


10

dukungan sosial dengan kepatuhan pasiaen gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis rutin.

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Gagal Ginjal Kronik

2.1.1. Pengertian

Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal

mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama

sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga

keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium

didalam darah atau produksi urine (Wilson, 2005).

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal atau penurunan

ginjal kurang dari 60% ginjal normal bersifat progresif dan irreversibel,

menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk membuang toksin dan produk

sisa dari darah serta tidak dapat berfungsi secara maksimal, dimana

kerusakan ginjal tersebut ditandai dengan albuminuria (>30 mg albumin

urine per gram dari creatin urine), Glomerular Filtration Rate (GFR)

<60ml/menit/1,73 m² dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan (KPIG XIV

Cikini, 2008, Smeltzer & Bare, 2011).


11

2.1.2. Penyebab

Penyakit gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh penyakit sistemik,

seperti diabetes melitus, glomerulonefritis kronik, pielonefritis, hipertensi

yang tidak dapat dikontrol, obstruksi traktus urinarius, lesi herediter,

seperti penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskuler; infeksi; medikasi;

atau agen toksik. Lingkungan dan agen berbahaya yang mempengaruhi

gagal ginjal kronik mencakup timah,kadmium, merkuri, dan kromium

(Smeltzer dan Bare, 2002).

2.1.3. Klasifikasi

Pengklasifikasian PGK didasarkan atas 2 hal, yaitu atas dasar derajat

(stage) dan atas dasar diagnosa etiologi (Suwitra, 2006) seperti berikut

ini:

2.1.3.1. Klasifikasi PGK berdasarkan derajat penyakit

Menurut National Kidney Foundation, PGK dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

Klasifikasi PGK berdasarkan derajat penyakit

Tabel 2.1.
12

GFR
Derajat Deskripsi Nama Lain
(ml/menit/1,73 m2)

Kerusakan ginjal dengan


I Resiko >90
GFR normal

Kerusakan ginjal dengan Chronic Renal


II 60-89
penurunan GFR ringan Insufisiensi (CRI)

Penurunan GFR tingkat CRI, Chronic Renal


III 30-59
sedang Failure (CRF)

IV Penurunan GFR tingkat berat CRF 15-29

End-Stage Renal
V Gagal Ginjal <15
Disease (ESDR)

Sumber (Black & Hawks, 2009; KPIG XIV Cikini, 2008)

2.1.3.2. Klasifikasi PGK berdasarkan diagnosis etiologi

Tabel 2.2.

Penyakit Tipe mayor (contoh)

Penyakit Ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diiabetes Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi

sistemik, obat, neoplasia), penyakit vaskuler

(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,

mikroangiopati), penyakit tubo lointersstitial

(ppielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan


13

obat), penyakit kistik (ginjal polikistik).

Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik, keracunan obat(siklosporin/

takrolimus), penyakit reccurent (glomerular),

transplant glomerulopathy

Sumber (Suwitra dalam Sudoyo, et al, 2006, KPIG XIV Cikini, 2008)

2.1.4. Patofisiologi gagal ginjal kronik

Pada pasien dengan gagal ginjal kronik tergantung penyakit yang

mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertropi struktural dan

fungsional nepron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi. Ignatavicius

dan Workman (2006) menyebutkan bahwa penyakit gagal ginjal kronik terjadi

secara progresif dan melalui beberapa tahapan, yaitu : berkurangnya cadangan

ginjal, insifisiensi ginjal, penyakit ginjal tahap akhir. Perjalanan penyakit gagal

ginjal kronik biasanya diawali dengan pengurangan cadangan ginjal yaitu fungsi

ginjal sekitar 3 – 50 %. Bekurangnya fungsi ginjal tanpa akumulasi sampah

metabolik dalam darah sebab nefron yang tidak rusak akan mengkompensasi

nefro yang rusak. Walaupun tidak ada manifestasi gagal ginjal pada tahap ini, jika

terjadi infeksi atau kelebihan (overload) cairan atau dehidrasi, fungsi renal pada

tahap ini dapat terus menurun.

Proses kegagalan ginjal selanjutnya masuk pada tahap insufisiensi ginjal. Sisa

akhir metabolisme mulai terakumulasi dalam darah sebab nefron sehat yang

tersisa tidak cukup untuk mengkompensasi nefron yang tidak berfungsi. Kadar
14

ureum nitrogen darah, kreatinin serum, asam urea dan fosfor mengalami

peningkatan sebanding dengan jumlah nefron yang rusak. Terapi medik

diperlukan dalam kondisi insufisiensi ginjal (Ignativicius & Workman, 2006 ;

Smeltzer at al, 2008). Apabila penanganan tidak adekuat, proses gagal ginjal

berlanjut hingga klien berada pada tahap akhir. Klien penyakit ginjal tahap akhir

sekitar 90% nefronnya hancur, dan GFR hanya 10% yang normal sehingga fungsi

ginjal normal tidak dapat dipertahankan. Ginjal tidak dapat mempertahankan

homeostasis sehingga terjadi peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam darah,

terjadi penimbunan cairan tubuh dan ketidak seimbangan elektrolit serta asam

basa (Ignativicius & Workman, 2006). Akibatnnya timbul berbagai manifestasi

klinik dan komplikasi pada seluruh sistem tubuh. Semakin banyak tertimbun sisa

akhir metabolisme, maka gejala akan semakin berat. Klien akan mengalami

kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari hari akibat timbulnya berbagai

manifestasi klinik tersebut (Ignativicius & Workman, 2006).

2.1.5. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan penyakit ginjal kronik adalah untuk mempertahankan

fungsi ginjal dan homeostasis. Penatalaksanaan dibagi menjadi dua tahap. Tahap

pertama adalah tindakan konservatif untuk memperlambat gangguan fungsi ginjal

progresif, pencegahan dan pengobatan kondisi komorbid, penyakit kardiovaskuler

dan komplikasi yang terjadi (Suwitra, 2006). Penanganan konservatif meliputi : 1)

Pencegahan dan pengobatan terhadap kondisi komorbid antara lain : gangguan

keseimbangan cairan, hipertensi, infeksi dan obstruksi traktus urinarius, obat-obat

nefrotoksid; 2) Menghambat perburukan fungsi ginjal / mengurangi hiperfiltrasi


15

glomerolus dengan diit, seperti pembatasan asupan protein, fosfat; 3) Terapi

farmakologis dan pencegahan serta pengobatan terhadap komplikasi, bertujuan

untuk mengurangi hipertensi intraglomerolus dan memperkecil resiko terhadap

penyakit kardiovaskuler seperti pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia,

anemia, hiperfosfatemia, asidosis, neuropati perifer, kelebihan cairan dan

keseimbangan elektrolit (Suwitra, 2006; Price & Wilson, 2008).

Tahap kedua dilakukan ketika tindakan konservatf tidak lagi efektif (Lemone &

Burke, 2008). Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal tahap akhir,

yang bertujuan untuk menghindari komplikasi dan memperpanjang usia pasien

(KPIG XIV Cikini, 2008). Ada 2 terapi pengganti ginjal yaitu: 1) dialysis

(Hemodialisa & Peritoneal Dialisis); 2) transplantasi ginjal. Hemodialisa

merupakan terapi ginjal yang paling banyak dilakukan didunia dan jumlahnya dari

tahun ke tahun terus meningkat (Shahgholian, et al, 2008).

2.2. Hemodialisa

Hemodialisis merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa

metabolisme berupa larutan (ureum, creatinin) dan air yang berada dalam

pembuluh darah melalui membran semipermeabel atau yang disebut dengan

Dialyser (Thomas, 2003). Sedangkan menurut Price & Wilson (2005)

Hemodialisis adalah proses dimana terjadi difusi partikel terlarut (solut) dan air

secara pasif melalui suatu kompartemen cair yaitu darah menuju kompartemen

cair lainnya yaitu cairan dialisat melewati membran semipermeabel dalam

dialiser.
16

Tujuan hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu mengendalikan

mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit yang

terjadi pada pasien penyakit ginjal tahap akhir (KPIG XIV Cikini, 2008).

2.2.1. Indikasi Hemodialisis

Hemodialisis diindikasikan pada klien dalam keadaan akut yang memerlukan

terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau klien

dengan penyakit ginjal tahap akhir yang membutuhkan terapi jangka

panjang/permanen (Smeltzer et al, 2008). Secara umum indikasi dilakukan

hemodialisis pada gagal ginjal kronis adalah: 1) LFG kurang dari15 ml/mnt; 2)

hiperkalemia; 3) asidosis; 4) kegagalan terapi konservatif; 5) kadar ureum lebih

dari 200 mg/dL dan kreatinin lebih dari 6 mEq/L; 6) kelebihan cairan; 7) anuria

berkepanjangan lebih dari 5 hari.

2.2.2. Komplikasi Klien Hemodialisa

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada klien yang menjalani hemodialisa.

Komplikasi dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu : komplikasi yang berhubungan

prosedur dialisis dan komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronik

(KPIG XIV Cikini, 2008). Komplikasi yang behubungan dengan prosedur dialisis

menurut KPIG XIV Cikini, 2008 adalah : 1) hipotensi; 2) headache (sakit kepala);

3) mual dan mutah; 4) sindrom disequilibrium; 5) demam dan menggigil; 6) kram

otot; 7) emboli udara; 8) hemolisis; 9) nyeri dada.

Komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronis adalah : penyakit

jantung, anemia, mual dan lelah, malnutrisi dan gangguan kulit.


17

2.3. Kepatuhan

2.3.1. Definisi Kepatuhan

Menurut kamus bahasa Indonesia (2003) istilah “kepatuhan” berarti tunduk

atau patuh pada ajaran atau aturan. Kepatuhan adalah melakukan sesuatu dengan

standar yang berlaku. Kepatuhan merupakan terjemahan dari adherence, yaitu

kepatuhan dan kesinambungan berobat yang melibatkan peran pasien, dokter atau

petugas kesehatan, pendamping dan ketersediaan obat. Kepatuhan adalah istilah

yang menggambarkan penggunaan obat antiretroviral sesuai dengan petunjuk

pada resep (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Smeltzer & Bare (2002), mengatakan bahwa kepatuhan dipengaruhi oleh faktor

internl dan faktor eksternal.

2.3.2.1. Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan

Faktor internal disini, tiada lain merupakan merupakan karakteristik pasien itu

sendiri. Karakteristik pasien merupakan ciri-ciri pribadi yang dimiliki seseorang

yang mengalami kondisi penyakit tertentu dalam melakukan perawatan terhadap

penyakitnya (Widayatun, 2000). Karakteristik pasien meliputi: variabel demografi

(umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa, dan tingkat pendidikan), kemampuan,

persepsi dan motivasi.

2.3.2.1.a. Variabel-variabel demografi


18

Menurut Emet (2004), variabel demografi berpengaruh terhadap kepatuhan.

Sebagai contoh secara geografi penduduk Amerika lebih cenderung taat

mengikuti anjuran dan peraturan dibidang kesehatan. Data demografi yang

mempengaruhi ketaatan misal: jenis kelamin wanita, ras kulit putih dan orang tua

terbukti memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi.

Latar belakang pendidikan akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam

melaksanakan kegiatan tertentu. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,

kepatuhan dalam pelaksanaan aturan kerja akan semakin baik (Emet, 2004).

2.3.2.1.b. Kemampuan

Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk menjalani berbagai

prosedur dalam upaya meningkatkan status kesehatannya. Dimensi kecerdasan

telah dijumpai sebagai peramal yang kuat dari kinerja, kemampuan intelektual

mempunyai peran yang besar dalam menjalani pengobatan, kemampuan fisik

memiliki makna yang penting untuk menerima program yang telah diputuskan

bersama dengan tenaga kesehatan (Muchlas, 1998).

Setiap orang memiliki kelebihan dan keterbatasan masing-masing dalam

menjalani program pengobatan, maka wajar-wajar saja kalau ada pasien yang

mampu secara rutin menjalani program, dan ada juga yang tidak dapat secara rutin

melaksanakannya. Demikian juga halnya dalam pelaksanaan protap terapi

hemodialisa, pasien yang memiliki kemampuan melaksanakan, akan cenderung

patuh untuk melaksanakan sesuai dengan yang telah digariskan dalam protap

tersebut (Arumi, 2002).


19

2.3.2.1.c. Persepsi

Persepsi tentang protap akan diterima oleh penginderaan secara selektif,

kemudian diberi makna secara selektif dan terakhir diingat secara selektif oleh

masing-masing pasien. Dengan demikian muncul pesepsi yang berbeda terhadap

protap yang telah dirancang, sehingga kepatuhan pasien dalam pelaksanaan protap

tersebut juga akan berbeda (Arumi, 2002).

2.3.2.1.d. Motivasi

Motivasi adalah rangsangan, dorongan dan ataupun pembangkit tenaga yang

dimiliki sesorang atau kelompok masyarakat yang mau berbuat dan bekerjasama

secara optimal melaksakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan (Azwar, 1996).

2.2.3.2. Faktor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan

2.2.3.2.a. Pola Komunikasi

Pola komunikasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan akan mempengaruhi

tingkat kepatuhan pasien dalam melaksanakan program pengobatan. Beberapa

aspek dalam komunikasi ini yang berpengaruh pada kepatuhan pasien adalah

kepuasan terhadap hubungan emosional antara pasien dengan tenaga kesehatan

(Arumi, 2002).

2.2.3.2.b. Keyakinan / nilai-nilai yang diterima


20

Emet (2004) mengatakan bahwa keyakinan-keyakinan tentang kesehatan atau

perawatan, ancaman yang dirasakan, pertimbangan mengenai hambatan atau

kerugian dan keuntungan dalam sisten pelayanan kesehatan mempengarui

kepatuhan pasien dalam melaksanakan program yang telah ditetapkan.

2.2.3.2.c. Dukungan Sosial

Menurut Emet (2004) bahwa dukungan sosial berpengaruh terhadap kepatuhan

seseorang. Variabel-variabel sosial mempengaruhi kepatuhan. Dukungan sosial

memainkan peran terutama yang berasal dari komunitas, petugas kesehatan,

maupun dukungan dari berbagai sumber daya yang ada disekelilingnya.

2.3.3. faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan (Notoatmojo, 2007) dibedakan

menjadi:

2.3.3.1. Pengetahuan

Menurut Notoatmojo (2007), menyatakan bahwa, pengetahuan adalah

merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indera manusia, yakni indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan

raba. Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang

memungkinkan seseorang dapat memecahkan masalah yang dihadapinya.

Pengetahuan tersebut diperoleh baik dari pengalaman langsung maupun melalui

pengalaman orang lain.


21

penelitian yang dilakukan Bart (2004) cit Notoatmojo (2007) dapat dikatakan

bahwa perilaku yang dilakuka Berdasarkan n atas dasar pengetahuan akan lebih

bertahan dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Jadi

pengetahuan sangat dibutuhkan agar masyarakat dapat mengetahui mengapa

mereka harus melakukansuatu tindakan sehingga perilaku masyarakat dapat lebih

mudah untuk diubah kearah yang lebih baik.

2.3.3.2. Sikap

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu

stimulus atau objek (Machfoedz & Suryani, 2009). Sikap adalah tanggapan atau

persepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya. Jadi sikap tidak dapat

langsung dilihat secara nyata, tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai perilaku yang

tertutup. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, tetapi merupakan

predisposisi tindakan. Allport (1954), seprti yang dikutip dari Notoatmojo (2007),

menjelaskan bahwa sikap terdiri atas 3 komponen pokok yaitu:

1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek

3) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang

utuh (total attitude). Penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan berpikir,

keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

2.3.3.3. Tindakan

Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan

nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam


22

bentuk nyata atau terbuka (Notoatmojo, 2007). Respon terhadap stimulus tersebut

sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah

dapat diamati atau dilihat dari orang lain. Oleh karena itu disebut juga over

behavior. Empat tingkatan tindakan adalah:

2.3.3.3.a Persepsi (Perception)

Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan tindakan

yang diambil.

2.3.3.3.b Respon Terpimpin (Guided Response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.

2.3.3.3.c Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.

2.3.3.3.d Adaptasi (Adaptation)

Suatu peaktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik,

artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran

tindakan tersebut.

2.3.3.4. Motivasi Dari Petugas Kesehatan

Istilah motivasi menunjuk suatu pernyataan yang kompleks dalam diri

organisme yang mengarahkan tingkah laku terhadap suatu tujuan (goal) dan

perangsang (incentive) (Purwanto, 2004). Motivasi dipandang sebagai


23

dorongan mental yang menggerakan dan mengarahkan perilaku manusia,

termasuk belajar (Dimyati & Mudjiono, 2010)

Motivasi dari petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat

mempengaruhi kepatuhan. Motivasi mereka terutama berguna saat pasien

menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebur merupakan hal penting.

Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku pasien dengan cara

menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien, dan

secara terus menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang

telah mampu berorientasi dengan program pengobatannya. Apabila petugas

kesehatan memberikan motivasi untuk melaksanakan terapi hemodialisa

maka pemenuhan kebutuhan cuci darah akan mudah tercapai.

2.3.4. Klasifikasi kepatuhan

Kepatuhan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

2.3.4.1. Kepatuhan Penuh (Total Complience), yaitu kepatuhan dalam

semua aspek. Misalnya dalam terapi hemodialisa, pasien mematuhi semua

yang berkaitan dengan petunjuk terapi hemodialisa.

2.3.4.2. Kepatuhan tidak penuh (Non Complience), yaitu kepatuhan

sebagian dari aspek yang diharapkan. Misalnya dalam terapi hemodialisa,

pasien mematuhi untuk melaksanakan terapi hemodialisa namun tidak

mematuhi untuk melaksanakan terapi hemodialisa secara rutin.

2.4. Dukungan Sosial

2.4.1. Pengertian
24

Dukungan sosial adalah bantuan psikologis dan nyata yang diberikan oleh

jaringan sosial (Carpenito, 2006). Menurut Smeltzer dan Bare (2002), dukungan

sosial didefinisikan sebagai rasa memiliki informasi terhadap seseorang atau

lebih. Dukungan sosial dianggap melemahkan dampak stres dan secara langsung

memperkokoh kesehatan mental individu dan keluarga. Dukungan sosial berfokus

pada sifat interaksi yang berlangsung dalam berbagi hubungan sosial sebagaimana

di evaluasi oleh individual. Kemudian dukungan sosial memasukkan juga evaluasi

individu atau keluarga, apakah interaksi tersebut bermanfaat dan sejauh mana

(Friedmann & Marylin, 2003). Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat

disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah bantuan psikologis yang diberikan

oleh sosial terhadap seseorang sebagai rasa memiliki. Dalam hal ini orang yang

merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena

diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.

Pendapat senada dikemukakan juga oleh Cobb (2006) yang mendefinisikan

dukungan sosial sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan atau

menolong orang dengan sikap menerima kondisinya, dukungan sosial tersebut

diperoleh dari individu maupun kelompok.

2.4.2. Bentuk Dukungan Sosial

Smeltzer dan Bare (2002) membagi dukungan sosial menjadi empat kategori,

meliputi:

2.4.2.1. Dukungan Emosional


25

Dukungan ini sering muncul dalam hubungan antara dua orang (seseorang

dengan orang lain) di kepercayaan mutual dan ketertarikan diekspresikan dengan

cara saling menolong untuk memenuhi kebutuhan bersama. Dukungan ini

membuat orang percaya bahwa dirinya diperhatikan atau dicintai. Keluarga

sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta

membantu penguasaan terhadap emosi. Dukungan emosional meliputi ungkapan

empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misalnya:

umpan balik, penegasan) (Friedmann & Marylinn, 2003; Smet, 2004).

2.4.2.2. Dukungan Harga Diri

Dukungan ini menyebabkan seseorang meraih bahwa dirinya dianggap atau

dihargai. Dukungan ini paling efektif saat ada pengumuman publik mengenai

betapa kedudukannya didalam kelompok cukup terpandang. Hal ini akan

menentukan perasaan harga diri. Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan

umpan balik membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai

sumber dan validator identitas anggota. Dukungan ini berupa penghargaan positif

kepada orang lain.

2.4.2.3 Dukungan Informasional

Dukungan ini membuat seseorang merasa bahwa dirinya merupakan bagaian

dari jaringan komunikasi dan saling ketergantungan. Informasi disebarkan oleh

jaringan, mereka semua memahami informasi tersebut, dan mereka semua

menyadari bahwa informasi tersebut telah disebarkan di antara mereka. Keluarga

berfungsi sebagai kolektor dan disemminator informasi tentang dunia. Mencakup


26

memberi nasihat, petunjuk, saran –saran atau umpan balik (Friedmann &

Marylinn, 2003; Smet, 2004).

2.4.2.4. Sumber Material

Sumber material adalah sumber dukungan eksternal lain yang meliputi barang

dan jasa yang dpat dibeli. Bagi individu yang mempunyai sumber finansial yang

memadai, mengatasi keterbatasan masalah lingkungan akan lebih mudah karena

perasaan ketidakberdayaan terhadap ancaman menjadi berkurang. Keluarga

merupakan sumber pertolongan praktis dan kongkrit. Baik berupa materi atau

pertolongan langsung.

2.4.3. Sumber-Sumber Dukungan Sosial

Sumber-sumber dukungan sosial banyak diperoleh individu dari lingkungan

sekitarnya. Namun perlu diketahui seberapa banyak sumber dukungan sosial ini

efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan sosial merupakan

aspek penting untuk diketahui dan dipahami. Menurut Rook dan Dooley (1985)

ada dua sumber dukungan sosial yaitu sumber artificial dan sumber natural.

Dukungan sosial yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam

kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada disekitarnya,

misalnya anggota keluarga. Dukungan sosial ini bersifat non formal. Sementara

itu yang dimaksud dengan dukungan sosial artificial adalah dukungan sosial yang

dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial

akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial (Watson, 2003).

2.4.4. Komponen-komponen dalam dukungan sosial


27

Para ahli berpendapat bahwa dukungan sosial dapat di bagi kedalam bebagai

komponen yang berbeda-beda. Misalnya Weiss (Cutrona dkk, 2004, dalam

Friedmann, 2003), mengemukakan adanya enam komponen dukungan sosial yang

disebut “The Sosial ProvisionScale”, dimana masing-masing komponen dapat

berdiri sendiri-sendiri namun satu sama lain saling berhubungan. Adapun

komponen-komponen tersebut adalah:

2.4.4.1. Kedekatan emosional (Emotional attachment)

Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan seseorang memperoleh

kedekatan emosional sehingga menimbulkan rasa aman bagi yang menerima.

Orang yang menerima dukunga sosial semacam ini merasa tentram, aman dan

damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang dan bahagia. Sumber dukungan

sosial semacam ini yang paling sering dan umum adalah diperoleh dari pasangan

hidup, atau anggota keluarga /teman dekat/sanak keluarga yang akrab dan

memiliki hubungan yang harmonis.

2.4.4.2. Integrasi Sosial (Social Integration)

Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan untuk memperoleh

perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya untuk berbagi minat,

perhatian serta melakukan kegiatan yang sifatnya rekreatif secara bersama-sama.

Sumber dukungan semacam ini memungkinkan mendapat rasa aman, nyaman,

serta memiliki dan dimiliki dalam kelompok. Adanya kepedulian oleh masyarakat

dan melakukan kegiatan bersama tanpa ada pamrih akan banyak memberikan

dukungan sosial.
28

2.4.4.3. Adanya pengakuan (Reanssurance of worth)

Pada dukungan sosial jenis ini didapatkan pengakuan atas kemampuan atau

keahlian serta mendapatkan penghargaan dari orang lain atau lembaga. Sumber

dukungan sosial semacam ini didapatkan dari keluarga ataupun dari masyarakat.

2.4.4.4. Ketergantungan yang dapat diandalkan (Reliable reliance)

Pada komponen ini didapatkan dukungan sosial berupa jaminan bahwa ada

orang yang dapat diandalkan bantuannya ketika membutuhkan bantuan tersebut.

Dukungan sosial ini berasal dari keluarga.

2.4.4.5. Bimbingan (Guidance)

Dukungan sosial jenis ini adalah berupa adanya hubungan kerja ataupun

hubungan sosial yang memungkinkan klien mendapatkan informasi, saran, atau

nasehat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan

yang dihadapi.

2.4.4.6. Kesempatan untuk mengasuh (Opportunity for nurturance)

Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonel akan perasaan dibutuhkan

oleh orang lain. Jenis dukungan sosial ini memungkinkan untuk memperoleh

perasaan bahwa orang lain membutuhkannya.

2.4.4.7. Efek dukungan sosial

Efek dukungan sosial menurut Carpenito(2006) akan dikelaskan dalam bagan

berikut:
29

Tipe dukungan Efek

1. Dukungan Mengkomunikasikan kekhawatiran, kepercayaan,

emosional perhatian, kesukaan atau cinta

2. Dukungan Mengkomunikasikan respek dan menguatkan harga

penghargaan diri

3. Dukungan Mengkomunikasikan nasihat dan informasi yang

informasional bermanfaat dan pemecahan masalah

4. Dukungan Memberikan bantuan ( disamping kognitif) atau alat-

instrumental alat nyata, misalnya uang atau bantuan terhadap tugas-

tugas rumah tangga

2.5. Keaslian Penelitian

Sejauh ini, peneliti belum menemukan atau membaca penelitian tentang

hubungan dukungan sosial dengan kepatuhan menjalani hemodialisa pada

penderita gagal ginjal kronik. Adapun penelitian yang terkait yaitu :

Nama Peneliti Ari Naning, 2003

Judul penelitian Hubungan Tingkat Pengetahuan Pasien Gagal Ginjal

Kronik Terhadap Rutinitas Menjalani Hemodialisa

Dirumah sakit Dr. Soepraoen Malang

Metode penelitian Observatif, dengan angket dan teknik analisis yang


30

digunakan adalah chi- square untuk uji kebebasan.

Hasil penelitian Adanya hubungan pengetahuan dengan rutinitas

menjalani hemodialisa

Nama Peneliti Nana Dian Subari, 2008

Judul penelitian Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan

Keaktifan Penderita Diabetes Melitus Dalam

Mengikuti Senam Diabetes di RS. Dr. Oen Solo Baru

Metode penelitian Kuantitatif non eksperimen yang menggunakan

metode deskriptif corelational dengan pendekatan

cross sectional

Hasil penelitian Adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan

keaktifan penderita diabetes melitus dalam mengikuti

senam

Nama Peneliti Vinami Yulian, 2008

Judul penelitian Hubungan antara suport sistem keluarga dengan

kepatuhan berobat klien rawat jalan di Rumah Sakit

Jiwa Daerah Surakarta

Metode penelitian Kuantitatif dengan desain Corelational, bersifat

deskriptif, dengan pendekatan cross sectional dan

restropective
31

Hasil penelitian Berdasarkan hasil uji Kendall’s tau dengan derajat

kemaknaaan p< 0,05 disimpulkan adanya hubungan

yang bermakna anatara suport sistem keluarga dengan

kepatuhan berobat klien rawat jalan di RS Jiwa

Daerah Surakarta dengan korelasi sedang

Nama Peneliti Ridwan Kamaludin, Eva Rahayu, 2009

Judul penelitian Analisis faktor faktor yang mempengaruhi kepatuhan

asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik dengan

hemodialisis di RSUD. Prof.Dr. Margono Purwokerto

Metode penelitian Metode Total Sampling

Hasil penelitian Faktor usia dan lama terapi HD tidak mempengaruhi

kepatuhan sedangkan faktor pendidikan, konsep diri,

pengetahuan, keterlibatan tenaga kesehatan

mempengaruhi kepatuhan dalam mengurangi asupan

cairan
32

2.6.Kerangka Teori

Faktor- faktor yang mempengaruhi


kepatuhan:
1. Faktor Internal
a. Variabel – variabel demografi
b. Kemampuan
c. Persepsi
d. Motivasi
2. Faktor Eksternal
a. Pola komunikasi
b. Keyakinan
c. Dukungan sosial
1) Dukungan Sosial
2) Dukungan harga diri Kepatuhan hemodialisa
3) Dukungan informasional
4) Dukungan material Kwalitas hidup

baik

Faktor-faktor yang mempengaruhi


kepatuhan:
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Tindakan
4. Motivasi dari petugas

2.7. Kerangka Konsep

DUKUNGAN SOSIAL

1. Dukungan Emosional
Kepatuhan
2. Dukungan Harga Diri
menjalani terapi
3. Dukungan Informasional
hemodialisa
4. Dukungan Material
33

2.8. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

Ho: Tidak ada hubungan antara dukungan sosial dengan kepatuhan pada
pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD
Kota Salatiga

Ha: Ada hubungan antara dukungan sosial dengan kepatuhan pada pasien
gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD Kota
Salatiga

Ho: Tidak ada hubungan antara emosional dengan kepatuhan pada pasien
gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD Kota
Salatiga

Ha: Ada hubungan antara emosional dengan kepatuhan pada pasien gagal
ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD Kota Salatiga

Ho: Tidak ada hubungan antara harga diri dengan kepatuhan pada pasien
gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD Kota
Salatiga

Ha: Ada hubungan antara harga diri dengan kepatuhan pada pasien gagal
ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD Kota Salatiga

Ho: Tidak ada hubungan antara informasional dengan kepatuhan pada pasien
gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD Kota
Salatiga

Ha: Ada hubungan antara informasional dengan kepatuhan pada pasien gagal
ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD Kota Salatiga

Ho: Tidak ada hubungan antara materiil dengan kepatuhan pada pasien gagal
ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD Kota Salatiga

Ha: Ada hubungan antara materiil dengan kepatuhan pada pasien gagal ginjal
kronis yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD Kota Salatiga
34

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Peneliti menggunakan jenis penelitian kwantitatif dengan desain korelasional

yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk mencari

hubungan antara 2 variabel yaitu dukungan sosial dengan kepatuhan

melaksanakan terapi hemodialisa (Sastroasmoro, 2009). Penelitian ini dilakukan

dengan dengan pendekatan cross sectional, yaitu penelitian yang dilakukan dalam

satu waktu tertentu.

Bagan Cross sectional

Faktor Resiko+

Efek (+) Efek (-)

Faktor Resiko-

Efek(+) Efek (-)

Ket. Faktor resiko: Dukungan Sosial


- Emosional
- Harga diri
- Informasional
- Materiil

Efek : Kepatuhan
35

3.2. Populasi dan Sampel

3.2.1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi

dalam penelitian ini adalah penderita gagal ginjal kronis yang menjalani

hemodialisa di RSUD Kota Salatiga tahun 2015 bulan Januari sejumlah 40 0rang.

3.2.2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006).

Peneliti menggunakan metode sampel total sampling yaitu penelitian yang

melibatkan seluruh populasi karena populasi kurang dari 100 orang (Notoatmojo,

2007). Sampel dalam penelitian ini sebanyak 40 orang. Kriteria inklusi merupakan

batasan ciri/karakter umum pada subyek penelitian, dikurangi karakter yang

masuk dalam kriteria eksklusi (Saryono, 2008). Kriteria inklusi dalam penelitian

ini, yaitu:

1. Menjalani hemodialisa rutin minimal 1 kali dalam seminggu.

2. Pasien kooperatif.

3. Umur 22-70 tahun.

4. Pendidikan minimal SD (Bisa baca tulis).

Kriteria eksklusi adalah sebagian subyek yang memenuhi kriteria inklusi, yang

harus dikeluarkan dari penelitian karena berbagai sebab yang dapat


36

mempengaruhi hasil penelitian sehingga terjadi bias (Sastroasmoro, 2009).

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu:

1. Pasien dengan kesadarannya menurun

3.3. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Kota Salatiga di ruang

Hemodialisa pada bulan September-Oktober tahun 2015.

3.4. Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran

Skala
Definis Alat Ukur Hasil Ukur
Variabel Pengukura
Operasional
n
Dukungan Dukungan Menggunaka
sosial sosial adalah n kuesioner
bantuan yang dengan 32
diberikan oleh item
orang lain yang pertanyaan
terdiri dari: jika jawaban
dukungan ya diberi
emosional, skor 1 dan
dukungan harga jawaban
diri, dukungan tidak diberi
informasional skor 0.
dan sumber
materi.
Sub variabel Dukungan Dukungan Nilai kemudian Ordinal
a. Dukungan untuk emosional dikategorikan
emosional kepercayaan diukur menjadi:
dan perhatian dengan item a. Baik 7-9
nomer 1 b. Cukup 4-6
sampai 9 c. Kurang 1-3

b. Dukungan Dukungan Dukungan Nilai kemudian Ordinal


harga diri dengan harga diri dikategorikan
komunikasi diukur menjadi:
untuk dengan item a. Baik 6-7
37

menguatkan nomer 10 b. Cukup 4-5


harga diri sampai 16 c. Kurang 1-3

c. Dukungan Dukungan Dukungan Nilai kemudian Ordinal


informasiona informasi yang informasiona dikategorikan
l. bermanfaat l diukur menjadi:
untuk dengan item a. Baik 7-9
pemecahan nomer17 b. Cukup 4-6
masalah sampai 25 c. Kurang 1-3

d. Dukungan Dukungan Material Nilai kemudian


material secara diukur dikategorikan
keuangan untuk dengan item menjadi:
kegiatan nomer 26 a. Baik 6-7
sampai32 b. Cukup 4-5
c. Kurang 1-3

Kepatuhan Perilaku yang Menggunaka Nilai kemudian Nominal


menggambarka n kuesioner dikategorikan
n melakukan yang terdiri Menjadi:
sesuatu dari 14 1. Patuh
kegiatan/tindak pertanyaan 2. Tidak patuh
an sesuai dengan
dengan yang pilihan
berlaku jawaban ya
dan tidak
38

3.5. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

3.5.1. Instrumen Penelitian

Menurut Saryono (2008), instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang

digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih

mudah dan hasilnya lebih baik (cermat , lengkap dan sistematis) sehingga lebih

mudah diolah. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan

untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang

pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 2006). Instrumen dalam

penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri dari 32 buah pertanyaan tentang

dukungan sosial, dan 14 kuesioner tentang kepatuhan menjalani program

hemodialisa.

Penulis membagi kuesioner menjadi 3 bagian pertanyaan, yaitu:

a. Pertanyaan A berisi tentang karakteristik responden

b. Pertanyaan B berisi tentang 32 pertanyaan dukungan sosial yang

terdiri dari 9 butir pertanyaan dukungan emosional, 7 butir

pertanyaan dukungan harga diri, 9 butir pertanyaan dukungan

informasional dan 7 butir pertanyaan dukungan material

c. Pertanyaan C berisi tentang kepatuhan yang terdiri dari 14 butir

pertanyaan.

Jenis kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data adalah

kuesioner tertutup, responden tinggal memilih jawaban yang

disediakan oleh peneliti. Responden tinggal memilih jawaban

dengan tanda check list pada alternatif jawaban yang telah


39

disediakan. Kuesioner menggunakan skala guttman yaitu skala

yang digunakan untuk jawaban yang tegas dan konsisten (ya-tidak)

(Sugiyono, 2009).

3.5.2. Uji Validitas dan Rehabilitas Instrumen

3.5.2.1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat

Kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen ( Arikunto, 2006 ). Peneliti

menguji kuesioner menggunakan rumus kolerasi product moment yaitu

dengan menghitung kolerasi antara masing-masing pernyataan dengan

skor total .

𝑵(𝜮𝑿𝒀)−(𝜮𝑿.𝜮𝒀)
𝒓= -
√[𝑵𝜮𝑿𝟐 ]−(𝜮𝑿)𝟐 ] [𝑵𝜮𝒀𝟐 −(𝜮𝒀)𝟐 ]

Keterangan :

r = koefisiensi korelasi

N = jumlah responden

X = skor pernyataan

Y = skor total pernyataan


40

Instrumen penelitian dinyatakan valid apabila didapatkan nilai r hitung

Lebih besar dari r tabel ( Sutanto, 2007). Uji validitas dilakukan di RST

Salatiga dengan 30 responden karena di RS tersebut jumlah mesin dan

jumlah pasien serta kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya hampir sama

dengan keadaan masyarakat serta keadaan dan karakteristiknya di unit

hemodialisa RSUD Kota Salatiga. Nilai r tabel pada n= 30 adalah 0,361.

Hasil uji validitas didapatkan sebagai berikut:

1) Pada variabel dukungan sosial yang terdiri dari sub variabel

dukungan emosional didapat nilai r hitng: 0,612-0,862, lebih besar

dari 0,361, sehingga seluruh instrumen dukungan emosional

dinyatakan valid.

2) Pada sub variabel dukungan harga diri didpat nilai r hitung: 0,398-

0,862, sehingga seluruh instrumen dukungan harga diri dinyatakan

valid.

3.5.2.2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk

digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut

sudah baik (Arikunto, 2006). Peneliti mencari reliabilitas internal yaitu

diperoleh dengan menganalisa data dari satu kali hasil pengetesan


41

(Arikunto, 2006). Peneliti menggunakan rumus Spearman-Brown,

yaitu:

𝟐𝒙𝒓₁ˎ₂₁ˎ₂
r₁₁ =
(𝟏+𝒓₁ˎ₂₁ˎ₂)

keterangan :

r₁₁ = reliabilitas instrumen

r₁ˎ₂₁ˎ₂ = rᵪᵧ yang disebutkan sebagai indekskolerasi antara

dua belahan instrumen.

Instrumen dikatakan reliabel jika memiliki r hitung lebih besar

dari nilai r tabel (Sutanto, 2007).

3.5.2.3. Cara pengumpulan data

Cara atau prosedur pengumpulan data:

a. Mengajukan permohonan ijin penelitian kepada instansi tempat

penelitian.

b. Memilih sampel pasien yang sesuai dengan kriteria penelitian.


42

c. Menjelaskan maksud, tujuan penelitian, manfaat, peran serta

responden selama penelitian menjadi jaminan kerahasiaan calon

responden.

d. Mengajukan permohonan persetujuan penelitian kepada responden

yaitu pasien.

e. Setelah responden menyetujui, selanjutnya diminta untuk

menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi responden

penelitian antara bulan september sampai oktober 2015.

f. Setelah bersedia untuk menjadi responden, kemudian responden

pasien mengisi kuesioner antara bulan september sampai oktober

2015.

g. Hasil pengisian kuesioner dan penelitian lembar observasi

dikumpulkan pada peneliti.

h. Peneliti mengecek kelengkapan kuesioner dan lembar obsevasi.

i. Hasil kuesioner dan lembar observasi yang lengkap dilakukan

pengolahan data dan dianalisis.

3.6. Tehnik Pengolahan dan Analisa Data

3.6.1. Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan dari kuesioner yang telah diisi responden dan

observasi kemudian diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut:

3.6.1.1. Editing
43

Editing adalah mengoreksi lembar observasi apakah terdapat yang

tidak lengkap pengisiannya. Jika ditemukan yang tidak lengkap akan

dilakukan konfirmasi lagi kepada responden, tetapi jika responden

tidak bersedia, maka data tidak dipergunakan.

3.6.1.2. Coding

Tehnik ini dilakukan dengan memberi tanda pada masing-masing

jawaban dengan kode berupa angka yaitu pada variabel dukungan

sosial, kode 1 diberikan pada dukungan sosial kurang, kode 2

diberikan untuk dukungan sosial cukup, kode 3 diberikan untuk

dukungan sosial baik. Sedangkan pada variabel kepatuhan, kode

1diberikan pada kategori patuh, dan kode 2 diberikan pda kategori

tidak patuh.

3.6.1.3. Tabulating

Sebelum data dikelompokkan menurut kategori yang telah

ditentukan, selanjutnya data ditabulasikan dengan melakukan

penentuan data, sehingga diperoleh frekuensi dari masing-masing

variabel penelitian. Kemudian memindahkan data ke dalam tabel-tabel

yang sesuai denga kriteria.

3.6.2. Analisa Data

3.6.2.1. Analisa Univariat


44

Dalam analisa univariat data-data akan disajikan dengan tabel

frekuensi (Hastono, 2007), sehingga tergambar fenomena variabel

dukungan sosial dan kepatuhan menjalani hemodialisa. Setelah

data primer dimasukkan dalam tabel tabulasi kemudian

dimasukkan kedalam tabel distribusi frekuensi dengan rumus:

𝑋
P= 100%
𝑁

P = Proporsi

X = Jumlah masing-masing jawaban

N = Jumlah skor total

3.6.2.2. Bivariat Analisa

3.6.2.2.a. Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan

antara 2 variabel. Uji statistik korelasional dalam penelitian ini adalah

uji kai kuadrat (chi-square) dengan alasan uji kai kuadrat dilakukan

pada 2 variabel yang memiliki jenis data kategorik. Rumus uji Kai

Kuadrat adalah:

(ƒ˳—ƒℎ)²
X² = ∑
ƒ

Keterangan:

X² : chi square
45

ƒo : frekuensi yang diobsevasi atau diperoleh melalui pengamatan

atau perlakuan.

ƒh : frekuensi yang diharapkan.

Untuk uji kai kuadrat digunakan derajat kepercayaan (Confident

Interval 95%), dan batas kemaknaan alfa 5% (0,05), bila diperoleh

p < 0,05, berarti secara statistik ada hubungan yang signifikan

antara variabel independen dengan variabel dependen (Sabri &

Hastono, 2010). Uji komparatif tabel 3xk dengan syarat nilai

harapan (experted count) ≥ 5, namun jika nilai harapan < 5

menggunakan uji alternatif yaitu uji Kolmogorov Smirnov

3.7. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, masalah etika dalam penelitian

keperawatan merupakan masalah yang sangat penting mengingat masalah

keperawatan akan berhubungan langsung dengan manusia, maka peneliti

menjaminhak asasi responden dalam penelitian ini. Etika dalam penelitian

keperawatan meliputi :

3.7.1. Informed Consent

Tujuannya agar responden mengetahui maksud dan tujuan

penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika subyek

bersedia menjadi responden, maka harus menandatangani lembar


46

persetujuan menjadi responden. Jika subyek menolak menjadi responden

maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya.

3.7.2. Anonimity

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan

memberi nama responden kepada lembar pengumpulan data (kuesioner)

yang diisi oleh responden. Lembar tersebut hanya diberi kode tertentu.

3.7.3. Confidentiality

Peneliti menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik informasi

maupun masalah-masalah lainnya, semua informasi yang telah dikumpulkan

di jamin kerahasiaannya oleh peneliti.


47

Anda mungkin juga menyukai