Anda di halaman 1dari 89

i

LAPORAN PKL PELAYANAN GIZI MASYARAKAT DI


DINAS KESEHATAN KABUPATEN SUKOHARJO

Oleh :
KELOMPOK
Dwi Nurheni (2015030068)
Irvan Budi S (2015030074)
Nanda Ayu D (2015030083)
Nosi Aprilia R (2015030085)
Rizki Romodhona F (2015030097)
Veny Andesta (2015030100)

PRODI STUDI S1 GIZI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019

i
ii

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Praktek Kerja Lapangan Pelayanan Gizi Masyarakat (PKL-PGM)


di Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo.

Disusun Oleh:
Dwi Nurheni (2015030068)
Irvan Budi S (2015030074)
Nanda Ayu D (2015030083)
Nosi Aprilia R (2015030085)
Rizki Romodhona F (2015030097)
Veny Andesta (2015030100)

Diterima dan Disahkan pada :


Hari :
Tanggal :

Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II

Nurma Budi Ariyati, S.Gz., M.Gizi Dewi Pertiwi DK, S.Gz.,M.Gizi


NIP. 198510132009032005 NIDN.0611018602

Kepala Dinas Kesehatan


Kabupaten Sukoharjo

dr. Yunia Wahdiyati


Nip.19750607 200604 2 020

ii
iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulisan laporan yang berjudul “Laporan
PKL Pelayanan Gizi Masyarakat di Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo” dapat
terselesaikan dengan baik. Laporan ini tersusun berkat bimbingan dan bantuan
dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Maria Agustuniati, S. ST., M. Kes., selaku Pembimbing Lapang I yang telah
meluangkan waktu dan bimbingan serta arahan dalam penyusunan laporan.
2. Nurma Budi Ariyati, S.Gz., M.Gizi., selaku Pembimbing Lapang II yang telah
meluangkan waktu dan bimbingan serta arahan dalam penyusunan laporan.
3. Dewi Pertiwi DK, S.Gz., M.Gizi., selaku Pembimbing Akademik I yang telah
meluangkan waktu dan bimbingan serta arahan dalam penyusunan laporan.
4. Dodik Luthfianto, S.Pd., M.Si., selaku Pembimbing Akademik II yang telah
meluangkan waktu untuk dan bimbingan serta arahan dalam penyusunan
laporan.
5. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam
penyusunan laporan yang tidak bisa penulis sebutkan semuanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari
sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan laporan ini.
Sukoharjo, Maret 2019
Penulis

iii
iv

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR TABEL vii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah 1
B. Tujuan 2
1. Tujuan Umum 2
2. Tujuan Khusus 2
C. Manfaat 3
1. Bagi Mahasiswa 3
2. Bagi Perguruan Tinggi 3
3. Bagi Dinas Kesehatan 3
D. Ruang Lingkup PKL 3
1. Lokasi PKL 3
2. Jadwal pelaksanaan 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
A. Masalah Gizi Nasional 4
B. Model Perencanaan Program Gizi Masyarakat 10
C. Strategi dan Kebijakan Program Pangan dan Gizi 25
D. Program UPGK dan Penanggulangan Masalah Gizi Nasional 34
E. Program Gizi Institusi (UPGI) 35
F. Sistem Monitoring dan Evaluasi Program Gizi Masyarakat 37
BAB III METODE PENGAMBILAN DATA 40
A. Lokasi dan Waktu 40
B. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 41

iv
v

A. Gambaran Umum Dinas Kesehatan 41


1. Visi dan Misi Dinas Kesehatan 41
2. Letak Geografis dan Demografis 44
3. Ketenagaan 45
4. Jenis Pelayanan dan Kesehatan 54
B. Analisis Situasi Di Dinas Kesehatan 55
1. Keadaan dan Kondisi Geografis 55
2. Keadaan Penduduk 56
C. Identifikasi Masalah Gizi di Dinas Kesehatan 57
D. Prioritas Masalah Gizi di Dinas Kesehatan 67
E. Alternatif Pemecahan Masalah Gizi di Dinas Kesehatan 67
F. Penentuan Prioritas Alternatif Pemecahan Masalah 69
1. Analisis Pohon Analisis Masalah 69
2. Analisis Pohon Analisis Tujuan 70
3. Analisis Pohon Alternatif Pemecahan Masalah 71
4. Pembahasan ASI Eksklusif 72
G. Plan Of Action (Rencana Kegiatan) 74
BAB V PENUTUP 78
A. Kesimpulan 78
B. Saran 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

v
vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Jumlah Balita Pada Bulan Oktober,................................................................57


Gambar 2. Presentase kasus balita gizi buruk yang mendapat perawatan........................57
Gambar 3. Persentase Balita yang Ditimbang Berat Badannya........................................58
Gambar 4. Persentase Balita Gizi Kurang/Kurus.............................................................59
Gambar 5. Persentase Balita Gizi Buruk/Sangat Kurus....................................................59
Gambar 6. Presentase Bayi Usia 6 Bulan Mendapat........................................................60
Gambar 7. Persentase Balita Mendapatkan Vitamin A.....................................................61
Gambar 8. Persentase Ibu Hamil Mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) 90 Tablet........62
Gambar 9. Persentase ibu Nifas Yang Mendapatkan Kapsul Vitamin A...........................62
Gambar 10. Persentase Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronik (KEK).............................63
Gambar 11. Persentase Ibu Hamil Anemia.......................................................................63
Gambar 12. Prevalensi Balita Gizi Lebih.........................................................................64
Gambar 13. Prevalensi Balita Gizi Buruk BB/U..............................................................64
Gambar 14. Prevalensi Balita BGM.................................................................................65
Gambar 15. Ibu Hamil Anemia........................................................................................65
Gambar 16. Asi Eksklusif Usia 0-6 Bulan........................................................................66
Gambar 17. Asi Eksklusif balita usia >6 Bulan................................................................66
Gambar 18. Prioritas Masalah Gizi di Dinas Kesehatan...................................................67

vi
vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indikator Pembinaan Gizi Masyarakat Tahun 2015-2019........................33


Tabel 2. Jumlah Tenaga Kesehatan Dinas Kesehatan Sukoharjo...........................54

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah


Masalah gizi di Indonesia pada hakikatnya merupakan masalah
kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan
dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Timbulnya
masalah gizi bisa disebabkan oleh berbagai faktor, oleh karena itu
pendekatan penanggulanggannya harus melibatkan berbagai sektor terkait
seperti Dinas Kesehatan, Puskesmas, dan tenaga medis lainnya.
Berdasarkan perkembangan masalah gizi, menurut data Riskesdas pada
tahun 2018 prevalensi status gizi balita buruk berdasarkan BB/U secara
nasional sebesar 3.8%, status gizi kurang 11.4%, status gizi baik 82% dan
status gizi lebih 2,7%. Prevalensi status gizi balita di Jawa Tengah
berdasarkan BB/U sebanyak 3.5% balita mengalami gizi buruk, 11.5%
balita gizi kurang, 83% balita gizi baik dan 2.1% balita gizi lebih. Wanita
hamil berusia 15-49 tahun yang memiliki risiko mengalami KEK (Kurang
Energi Kronik) secara nasional sebesar 17.3% dan di Jawa Tengah sebesar
20% (Riskesdas, 2018).
Kebijakan Indonesia sehat pada tahun 2010 menetapkan 3 pilar
utama yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat dan pelayanan kesehatan
bermutu adil dan merata. Dalam tatanan otonomi daerah, visi Indonesia
Sehat pada tahun 2010 akan dapat dicapai bila tercapai secara keseluruhan
kabupaten atau kota sehat. Oleh karena itu, selain harus dikembangkan
sistem kesehatan kabupaten atau kota yang termasuk kedalam subsistem
dari sistem kesehatan nasional, harus ditetapkan pula kegiatan minimal
yang harus dilaksanakan oleh kabupaten atau kota. (Aksono, 2008)
Pelayanan Gizi Masyarakat (PGM) merupakan suatu pelayanan
yang berkaitan dengan keadaan gizi dalam suatu masyarakat atau populasi.
Pelayanan gizi di masyarakat telah terprogram oleh Dinas Kesehatan
disesuaikan dengan masalah gizi masyarakat setempat sehingga
permasalahan gizi dapat ditangani dengan tepat. Program pelayanan gizi

1
2

masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas


pelayanan gizi yang berguna dan berhasil guna serta terintergrasi dengan
pelayanan gizi khususnya di Dinas Kesehatan. Seorang ahli gizi di Dinas
Kesehatan harus mampu melakukan asuhan gizi untuk kelompok
masyarakat sehingga perlu latihan dan praktek manajemen program gizi
seperti mengidentifikasi, merencanakan, menganalisis, mengintervensi,
mengevaluasi dan memonitoring serta memberikan timbal balik dari
evaluasi tersebut. Pelaksanaan program gizi diawali dengan pengumpulan
data dasar dan faktor-faktor masalah gizi yang terjadi di masyarakat
sehingga alternatif pemecahan masalah akan tepat sesuai sasaran.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan pengalaman kerja di Dinas Kesehatan dan mampu
mengindentifikasi masalah gizi serta menentukan cara pemecahan
masalah gizi di lingkungan Dinas Kesehatan.
2. Tujuan Khusus
Dalam PKL pelayanan gizi masyarakat diharapkan peserta didik:
a. Mampu memahami dan menjelaskan struktur organisasi, fungsi dan
tanggung jawab serta tugas Dinas Kesehatan, khususnya seksi gizi
dalam melakukan pelayanan gizi di masyarakat.
b. Mampu melakukan analisis situasi tentang masalah gizi di Dinas
Kesehatan.
c. Mampu mengindetifikasi masalah gizi di Dinas Kesehatan.
d. Mampu menentukan prioritas masalah gizi di Dinas Kesehatan.
e. Mampu menentukan alternatif pemecahan masalah gizi di Dinas
Kesehatan.
f. Mampu menentukan prioritas alternatif pemecahan masalah gizi di
Dinas Kesehatan.
g. Mampu membuat Plan Of Action (Rencana Kegiatan) dari alternatif
pemecahan masalah yang dipilih.

C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa mendapat ilmu dari lapangan dan membandingkan
ilmu yang diperoleh dengan dunia kerja yang sesungguhnya. Sehingga
dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi kompetisi pendidikan.
3

2. Bagi Perguruan Tinggi


Perguruan Tinggi dalam hal ini Jurusan S1 Gizi Stikes PKU
Muhammadiyah Surakarta memperoleh manfaat dunia kerja melalui
informasi yang diperoleh dari lapangan. Sehingga dapat
melakukan penyesuaian materi perkuliahan terhadap tuntutan dunia
kerja yang pada akhirnya dapat menghasilkan sarjana yang lebih
kompetitif.
3. Bagi Dinas Kesehatan
Memberikan informasi pada Dinas Kesehatan mengenai
permasalahan gizi dari lingkungan sekitar Dinas Kesehatan Kabupaten
Sukoharjo.
D. Ruang Lingkup PKL
1. Lokasi PKL
PKL-PGM ini dilaksanakan di Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo.
2. Jadwal pelaksanaan
PKL-PGM ini di laksanakan pada tanggal 04-23 Maret 2019.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Masalah Gizi Nasional


Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat
kesehatan, kecerdasan, dan produktifitas kerja yang tinggi. Ketiga hal
teRSebut dipengaruhi oleh keadaan gizi. Permasalahan gizi yang masih
terjadi di Indonesia merupakan salah satu permasalahan utama dalam
pembangunan manusia. Sebagai salah satu negara dengan jumlah
penduduk yang beraneka ragam, Indonesia dihadapkan oleh dinamika
persoalan gizi buruk, meskipun proses pembangunan di Indonesia telah
mampu mengatasi persoalan gizi. Berdasarkan data statistik masih terdapat
banyak persoalan yang perlu diselesaikan terutama yang menyangkut
persoalan balita gizi kurang. Secara bertahap, Indonesia telah berhasil
menurunkan prevalensi balita gizi kurang selama dua dasawarsa terakhir,
Indonesia berhasil menurunkan prevalensi balita gizi kurang dari 31%
pada tahun 1989 menjadi 18,4% pada tahun 2007.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat lebih
dari 8 juta anak Indonesia mengalami gizi kurang. Prevalensi rata-rata
Indonesia masih rendah di dunia dan berada pada posisi buruk. Indonesia
masih menjadi penyumbang angka anak pendek dan kurang gizi di dunia,
dengan jumlah total mencapai 165 juta. Anak kurang gizi dapat dilihat dari
ukuran badan yang pendek dan berat badan yang rendah (Aningtias, 2014).
Status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi makanan. Status
gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-
zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan
secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Kekurangan zat-zat gizi
esensial pada tubuh akan menyebabkan status gizi kurang/ buruk
(Almatsier, 2013).
Gizi kurang dan gizi buruk merupakan masalah yang perlu
mendapat perhatian karena dapat menimbulkan the lost generation atau

4
5

rendahnya sumber daya manusia di masa depan. Kualitas bangsa di masa


depan akan sangat dipengaruhi keadaan atau status gizi pada saat ini
terutama pada balita. Akibat yang ditimbulkan dari gizi buruk dan gizi
kurang bagi balita akan memengaruhi kualitas kehidupannya kelak
(Prasetyawati, 2012).
Masalah gizi yang terjadi di Dinas Kesehatan Sukoharjo adalah
masalah ASI eksklusif yang belum terealisasikan secara baik, gizi lebih
pada balita berdasarkan BB/U, gizi kurang pada balita berdasarkan BB/U,
Ibu hamil yang menderita anemia dan balita yang berada dibawah garis
merah. Adapun masalah-masalah gizi teRSebut dijelaskan sebagai berikut:
1. ASI eksklusif
ASI (Air Susu Ibu) adalah istilah untuk cairan putih yang
dihasilkan oleh kelenjar payudara wanita melalui proses laktasi. ASI
terdiri dari berbagai komponen gizi dan non gizi. Komposisi ASI tidak
sama selama periode menyusui, pada akhir menyusui kadar lemak 4–5
kali dan kadar protein 1,5 kali lebih tinggi daripada awal menyusui dan
juga terjadi variasi dari hari ke hari selama periode laktasi.
Keberhasilan laktasi dipengaruhi oleh kondisi sebelum dan saat
kehamilan. Kondisi sebelum kehamilan ditentukan oleh perkembangan
payudara saat lahir dan saat pubertas. Pada saat kehamilan yaitu
trimester II payudara mengalami pembesaran karena petumbuhan dan
diferensiasi dari lobuloalveolar dan sel epitel payudara (Proverawati,
2009).
Pemberian ASI atau menyusui adalah proses alami yang
dilakukan oleh seorang ibu terhadap bayinya yang baru lahir, sedangkan
pemberian ASI eksklusif sendiri adalah pemberian air susu ibu kepada
bayinya yang baru lahir selama 6 bulan pertama tanpa memberikan
makanan atau minuman lain, termasuk air putih, kecuali obat-obatan
dan vitamin atau mineral tetes, termasuk ASI perah. (Depkes, 2006).
Pentingnya pemberian ASI eksklusif pada bayi disebabkan karena ASI
eksklusif merupakan cara terbaik bagi peningkatan kualitas sumber
daya manusia (SDM) sejak dini. Rendahnya pemberian ASI merupakan
6

ancaman bagi tumbuh kembang anak yang akan berpengaruh pada


pertumbuhan dan perkembangan kualitas SDM secara umum, sebesar
80% perkembangan otak anak dimulai sejak dalam kandungan sampai
usia 3 tahun yang dikenal dengan periode emas, sehingga sangat
penting untuk mendapatkan ASI yang mengandung protein,
karbohidrat, lemak dan mineral yang dibutuhkan bayi, oleh karena itu
diperlukan pemberian ASI ekslusif selama enam bulan dan dapat
dilanjutkan hingga dua tahun (Budiharja, 2011).
Angka terealisasikannya keberhasilan ASI eksklusif di Dinas
Kesehatan Sukoharjo masih belum sempurna dikarenakan dari 12
Puskesmas yang ada di wilayah Dinas Kesehatan Sukoharjo terdapat 8
Puskesmas yang persentase ASI eksklusif masih rendah dan belum
mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi.
2. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan individu atau kelompok yang
ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat gizi lain
yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur
secara antropometri. Untuk mengetahui status gizi seseorang, suatu
kelompok atau suatu masyarakat perlu dilaksanakan pengukuran-
pengukuran untuk menilai berbagai tingkatan gizi (Suyatno, 2009).
Balita mengalami periode perkembangan fisik dan mental yang pesat
yang dapat mempengaruhi status gizi balita. Perlunya perhatian lebih
dalam tumbuh kembang diusia balita didasarkan fakta bahwa kurang
gizi yang terjadi pada masa ini bersifat irreversible (tidak dapat pulih).
Makanan seimbang pada usia ini perlu diterapkan karena akan
mempengaruhi kualitas pada usia dewasa sampai lanjut usia (Irianto,
2014).
Faktor yang mempengaruhi terjadinya status gizi kurang pada
balita adalah sosial ekonomi orang tua dalam hal pekerjaan orang tua,
keadaan lingkungan sekitarnya, ketidaktahuan orang tua tentang
pemberian gizi yang baik untuk anak, persepsi orang tua melalui
stimulus yang diterima dan didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki
7

kemudian untuk monitoring pertumbuhan balita dan mengambil


langkah penanggulangan status gizi balita (Novitasari, 2012; Devi,
2010).
Gizi lebih merupakan kondisi tubuh mengalami kelebihan lemak
tubuh dan berat badan yang dimiliki melebihi berat badan normal. Gizi
lebih pada balita berumur 1 sampai 5 tahun dapat ditentukan
menggunakan perhitungan berat badan ideal yaitu berat badan menurut
umur balita, jika hasilnya diatas 20% maka balita dapat dikatakan gizi
lebih, ini dapat dilihat dari hasil penimbangan yang di lakukan pada
saat posyandu diliat pada KMS (Rufia, 2014). Faktor tidak langsung
yang dapat menyebabkan gizi lebih pada balita adalah pengetahuan
ibu. Pengetahuan ibu mengenai gizi dan pangan sehat, dan cara ibu
memilih, mengolah dan menyiapkan pangan dengan benar.
Pengetahuan tentang gizi merupakan faktor penentu kesehatan
seseorang, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi juga berperan dalam
besaran masalah gizi di Indonesia (Kemenkes, 2013).
3. Anemia pada Ibu Hamil
Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah sel darah merah di bawah nilai normal. Anemia
adalah keadaan dimana kadar hemoglobin, hematokrit, dan sel darah
merah lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi
salah satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat
mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut. Anemia adalah suatu
keadaan terjadinya kekurangan baik jumlah maupun ukuran eritrosit
atau banyaknya hemoglobin sehingga pertukaran oksigen dan
karbondioksida antara darah dan sel jaringan terbatasi. Anemia
defisiensi besi adalah suatu keadaan/kondisi sebagai akibat
ketidakmampuan sistem eritropoiesis dalam mempertahankan kadar
Hb normal, sebagai akibat kekurangan konsumsi satu atau lebih zat
gizi (Arisman, 2014).
Menurut Proverawati dan Asfuah (2013), anemia dalam
kehamilan didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin kurang
8

dari 11 g/dl selama masa kehamilan pada trismester I dan III, dan pada
trimester II apabila kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dl. Pada masa
kehamilan darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim
disebut hidremia atau hipervolemia. Akan tetapi bertambahnya sel
darah yang kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma darah
akan mengakibatkan terjadinya pengenceran darah. Perbandingan
tersebut adalah sebagai berikut: plasma 30%, sel darah 18%, dan
hemoglobin 19%. Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah
dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam
kehamilan antara 32 dan 36 minggu.
Anemia pada kehamilan didefinisikan sebagai konsentrasi
hemoglobin (Hb) <11,0 g/dl, anemia mempengaruhi lebih dari 56 juta
wanita diseluruh dunia, dua pertiga dari mereka berasal dari Asia,
Menurut Soekirman (2012), masalah anemia merupakan masalah gizi
mikro terbesar dan tersulit di seluruh dunia. Sebagian besar hasil
penelitian membuktikan bahwa anemia pada ibu hamil meningkatkan
risiko melahirkan bayi dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). Zat
besi diperlukan untuk pembentukan energi, pengangkutan oksigen
darah serta penyusunan neurotransmitter dan DNA. Bayi yang lahir
dari ibu yang anemia akan mengalami defisiensi besi dengan akibat
disfungsi otak dan gangguan perbanyakan jumlah sel otak. Anemia gizi
besi pada ibu hamil berakibat luas, antara lain risiko berat bayi yang
dilahirkan rendah, pendarahan ibu, infeksi setelah lahir dan partus
lama (IPB, 2013). Manifestasi dari masalah gizi makro pada ibu hamil
KEK adalah bayi BBLR.
Menurut Ansari, et al (2016), anemia mempengaruhi hampir
dua pertiga dari wanita hamil di negara-negara berkembang dan
memberikan kontribusi untuk morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi
berat badan lahir rendah (BBLR). Anemia pada ibu hamil dapat
menyebabkan bayi lahir dengan BBLR (Zaluchu, 2007).
4. Berat Badan di Bawah Garis Merah (BGM)
9

Bawah Garis Merah (BGM) adalah keadaan kurang gizi tingkat


berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.
Keadaan anak balita yang mengalami gangguan pertumbuhan akibat
kekurangan gizi sehingga pada saat ditimbang berat badan anak balita
di bawah garis merah pada KMS atau status gizi buruk (BB/U <-3 SD)
atau adanya tanda-tanda klinis, sedangkan menurut Departemen
Kesehatan RI (2005), anak balita BGM adalah anak balita yang saat
ditimbang berat badannya di bawah garis merah pada Kartu Menuju
Sehat (KMS).
KMS adalah kartu yang memuat kurva pertumbuhan anak balita
berdasarkan indeks antropometri Berat Badan menurut Umur (BB/U)
yang berfungsi sebagai alat bantu untuk memantau kesehatan dan
pertumbuhan anak balita. Catatan pada KMS dapat menunjukkan
status gizi balita. Balita dengan pemenuhan gizi yang cukup memiliki
berat badan yang berada pada daerah berwarna hijau, sedangkan warna
kuning menujukkan status gizi kurang, dan jika berada di Bawah Garis
Merah (BGM) menunjukkan status gizi buruk (Sulistiyoningsih, 2011).
KMS di Indonesia telah digunakan sejak tahun 1970 sebagai sarana
utama kegiatan pemantauan pertumbuhan. Pemantauan pertumbuhan
adalah serangkaian kegiatan yang terdiri dari penilaian pertumbuhan
anak secara teratur melalui penimbangan berat badan setiap bulan,
pengisian KMS, menentukan status pertumbuhan berdasarkan hasil
penimbangan berat badan, dan menindaklanjuti setiap kasus gangguan
pertumbuhan. Tindak lanjut hasil pemantauan pertumbuhan biasanya
berupa konseling, pemberian makanan tambahan, pemberian
suplementasi gizi dan rujukan (Kemenkes RI, 2010).
B. Model Perencanaan Program Gizi Masyarakat
1. Menganalisis masalah
Menganalisis masalah adalah suatu aspek untuk mengetahui
dimensi masalah yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah,
mengetahui pentingnya dan untuk memberikan penekanan yang
10

memadai. Analisis masalah melibatkan beberapa jenis kegiatan,


bergantung pada kesulitan yang ditunjukkan dalam pertanyaan
masalahnya, analisis sebab dan akibat tentang kesulitan yang dihadapi,
pemeriksaan asumsi yang dibuat kajian terhadap data penelitian yang
tersedia, atau mengamankan data pendahuluan untuk mengklarifikasi
persoalan serta untuk mengubah perspektif orang-orang yang terlibat
dalam penelitian mengenai permasalahan yang terjadi. Kegiatan-
kegiatan ini dapat dilakukan melalui diskusi di antara para peserta
penelitian dan fasilitatornya (Madya, 2007).
2. Menentukan prioritas masalah
Penentuan prioritas masalah merupakan tahap kedua setelah
dilakukan analisis masalah, terdapat beberapa metode yang dapat
digunakan untuk menentukan prioritas masalah kesehatan yaitu
metode matematik, metode delbeque, metode delphi dan metode
estimasi beban kerugian akibat sakit (disease burden) (Douglas dan
Suzanne, 2007).
a. Metode Matematika
Metode ini dikenal juga sebagai metode PAHO (Pan
American Health Organization) karena digunakan dan
dikembangkan di wilayah Amerika Latin. Metode ini
menggunakan beberapa kriteria untuk menentukan prioritas
masalah kesehatan disuatu wilayah berdasarkan luasnya masalah
(magnitude), beratnya kerugian yang timbul (severity), tersedianya
sumber daya untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut
(vulnerability), kepedulian/dukungan politis dan dukungan
masyarakat (community and political concern), dan ketersediaan
data (affordability) (Douglas dan Suzanne, 2007).
Magnitude masalah menunjukkan jumlah penduduk yang
terkena masalah atau penyakit tersebut. Hal ini ditunjukan oleh
angka prevalensi atau insiden penyakit, semakin banyak penduduk
yang terkena atau semakin tinggi prevalensi, maka semakin tinggi
prioritas yang diberikan pada penyakit tersebut. Severity adalah
besar kerugian yang ditimbulkan. Severity bisa dilihat dari jumlah
11

disability days atau disability years atau disesase burden yang


ditimbulkan oleh penyakit bersangkutan. Vulnerability juga bisa
dinilai dari tersedianya infrastruktur untuk melaksanakan program
seperti misalnya ketersediaan tenaga dan peralatan. Affordability
menunjukkan ketersediaan dana yang tersedia. Dalam penerapan
metode ini untuk prioritas masalah kesehatan, maka masing-
masing kriteria tersebut diberi skor dengan nilai ordinal, misalnya
antara angka 1 menyatakan terendah sampai angka 5 menyatakan
tertinggi. Pemberian skor ini dilakukan oleh panel expert yang
memahami masalah kesehatan dalam forum curah pendapat (brain
storming). Setelah diberi skor, masing-masing penyakit dihitung
nilai skor akhirnya yaitu perkalian antara nilai skor masing-masing
kriteria untuk penyakit tersebut. Perkalian ini dilakukan agar
perbedaan nilai skor akhir antara masalah menjadi sangat kontras,
sehingga terhindar keraguan manakala perbedaan skor tersebut
terlalu tipis (Douglas dan Suzanne, 2007).
Ada beberapa kelemahan dan kritikan terhadap metode
matematika yaitu penentuan nilai skor sebetulnya didasarkan pada
penilaian kualitatif atau keilmuan oleh para pakar yang bisa saja
tidak objektif, masih kurang spesifiknya kriteria penentuan pakar
teRSebut. Kelebihan metode ini adalah mudah dilakukan dan bisa
dilakukan dalam waktu relatif cepat, dapat memasukkan beberapa
kriteria penting sekaligus pertimbangan penentuan prioritas
(Symond, 2013).
b. Metode Delbeque dan Delphi
Metode delbeque adalah metode kualitatif dimana prioritas
masalah penyakit ditentukan secara kualitatif oleh panel expert.
Metode adalah suatu mekanisme untuk mencapai suatu
konsekuensi. Metode ini dilakukan dengan cara memberikan
informasi kepada sekelompok pakar mengenai masalah penyakit
yang perlu ditetapkan prioritasnya termasuk data kuantitatif yang
ada untuk masing-masing penyakit tersebut. Dalam penentuan
12

prioritas masalah kesehatan disuatu wilayah pada dasarnya


kelompok pakar melalui langkah-langkah sebagai berikut:
(Symond, 2013).
1) Penetapan kriteria yang disepakati beRSama oleh para pakar
2) Memberikan bobot masalah
3) Menentukan skoring setiap masalah, dengan demikian dapat
ditentukan masalah yang menjadi peringkat prioritas tertinggi.
Penetapan kriteria berdasarkan kegawatan permasalahan
menurut pendapat para pakar dengan contoh kriteria masalah
kesehatan berupa tingginya penyebaran/penularan, luasnya daerah,
lamanya sakit, mengurangi penghasilan penduduk, dan lain
sebagainya sesuai kesepakatan para pakar (Hanlon dan Picken,
2005). Para expert kemudian menuliskan urutan prioritas masalah
dalam kertas tertutup kemudian dilakukan perhitungan suara. Hasil
perhitungan ini disampaikan kembali kepada para expert kemudian
dilakukan penilaian ulang oleh para expert dengan cara yang sama.
Berdasarkan penilaian ulang ini diharapkan akan terjadi kesamaan
pendapat, sehingga diperoleh suatu konsekuensii tentang penyakit
atau masalah yang perlu diprioritaskan. Kelemahan cara ini adalah
sifatnya yang lebih kualitatif dibandingkan dengan metode
matematik. Kelebihannya adalah mudah dan dapat dilakukan
dengan cepat. Penilaian prioritas secara tertutup dilakukan untuk
memberi kebebasan kepada masing-masing pakar untuk memberi
nilai, tanpa terpengaruh oleh hubungan yang ada antara para pakar
tersebut (Symond, 2013).
Metode lain yang hampir sama dengan Delbeque adalah
metoda Delphi. Dalam metoda Delphi sejumlah pakar (panel
expert) melakukan diskusi terbuka dan mendalam mengenai
masalah yang dihadapi dan masing-masing mengajukan
pendapatnya tentang masalah yang dijadikan prioritas. Diskusi
berlanjut hingga mencapai kesepakatan (konsekuensi) mengenai
masalah kesehatan yang menjadi prioritas. Kelemahan cara ini
13

adalah waktunya yang relatif lebih lama dibandingkan dengan


metoda delbeque serta kemungkinan pakar yang dominan
mempengaruhi pakar yang tidak dominan. Kelebihannya metode
ini memungkinkan hasil yang mendalam oleh masing-masing
pakar yang terlibat (Symond, 2013).
c. Metode Estimasi Beban Kerugian (Disease Burden)
Metode estimasi beban kerugian dari segi teknik
perhitungannya lebih canggih dan sulit, karena memerlukan data
dan perhitungan hari produktif yang hilang yang disebabkan oleh
masing-masing masalah. Metode ini jarang dilakukan di tingkat
kabupaten atau kota di era desentralisasi program kesehatan
(Hanlon, 2005).
d. Metode penetapan prioritas masalah kesehatan berdasarkan
pencapaian program tahunan
Metode penetapan prioritas masalah kesehatan berdasarkan
pencapaian program tahunan yang dilakukan adalah dengan
membandingkan antara target yang ditetapkan dari setiap program
dengan hasil pencapaian dalam suatu kurun waktu 1 tahun.
Penetapan prioritas masalah kesehatan seperti ini sering digunakan
oleh pemegang atau pelaksana program kesehatan ditingkat
Puskesmas dan Tingkat Kabupaten/Kota pada era desentralisasi
saat ini (Hanlon, 2005).
3. Menentukan alternatif pemecahan masalah
Terdapat 2 metode yang lazim digunakan dalam penetapan
prioritas alternatif pemecahan masalah untuk intervensi dalam
penetapan pilihan bentuk intevensi yaitu metode analisis pembiayaan
yang lebih dikenal cara efektifitas dan efisiensi dan metode Hanlon
(Symond, 2013).
a. Metode Analisis Pembiayaan (cost analysis)
Metode ini digunakan dengan memperhitungkan efektifitas
dan efisiensi dalam penetapan pilihan jenis intervensi yang
dilakukan dengan menggunakan rumus penetapan prioritas
kegiatan sebagai berikut:
14

Prioritas (P) =

Keterangan:
M = Magnitude (besarnya masalah yang dihadapi)
I = Important (pentingnya jalan keluar menyelesaikan
masalah)
V = Vunerability (ketepatan jalan keluar untuk masalah)
C = Cost (biaya yang dikeluarkan) dimana kriterianya
ditetapkan:
Nilai 1 = Biaya sangat murah
Nilai 2 = Biaya murah
Nilai 3 = Biaya cukup murah
Nilai 4 = Biaya mahal
Nilai 5 = Biaya sangat mahal
b. Metode Hanlon
Metode ini digunakan dalam penetapan altematif prioritas
jenis intervensi yang akan dilakukan menggunakan 4 kriteria yaitu
kelompok kriteria 1 yang besamya masalah (magnitude), kelompok
kriteria 2 merupakan kelompok dengan tingkat kegawatan masalah
(emergency/seriousness), kelompok kriteria 3 yaitu kemudahan
penanggulangan masalah (causability), dan kelompok kriteria 4
yaitu dapat atau tidaknya program dilaksanakan menggunakan
istilah PEARL faktor (Hanlon dan Picken, 2005).
Metode Hanlon dalam proses awalnya menggunakan
pendapat anggota secara curah pendapat (brain storming) untuk
menentukan nilai dan bobot. Berdasarkan masing-masing
kelompok kriteria diperoleh nilai dengan jalan melakukan scoring
dengan skala tertentu, kemudian kelompok kriteria tersebut
dimasukkan kedalam formula dan semakin tinggi nilai hasil yang
diperoleh maka hasil tersebut yang menjadi prioritas jenis program
yang didahulukan (menjadi prioritas intervensi) (Hanlon dan
15

Picken, 2005).
Langkah-langkah untuk melaksanakan metode Hanlon sebagai
berikut (Hanlon dan Picken, 2005):
1) Menetapkan kriteria kelompok 1: besarnya masalah
(magnitude)
Anggota kelompok merumuskan faktor apa saja yang
digunakan untuk menentukan besarnya masalah, misalnya
besarnya %tasi prevalensi penduduk yang menderita langsung
karena penyakit tersebut, besarnya pengeluaran biaya yang
diperlukan perorang rata-rata perbulan untuk mengatasi
masalah kesehatan tersebut, besarnya kerugian yang diderita
2) Menetapkan kriteria kelompok II: kegawatan
(emergensy/seriousness)
Pada langkah ini kelompok menentukan tingkat
kegawatan misalnya dengan melihat faktor-faktor seperti
tingkat kegawatannya, kecenderungannya, dan tingkat
keganasannya. Berdasarkan 3 faktor ini anggota menentukan
nilai dengan skala 0-10.
3) Menetapkan kriteria kelompok III: kemudahan penanggulangan
Setiap anggota katakanlah jumlah anggota 6 orang
memberikan nilai antara 1-5 berdasarkan prakiraan kemudahan
penanggulangan masing-masing masalah. Angka 1 berarti
bahwa masalah tersebut sulit ditanggulangi dan angka 5 berarti
bahwa masalah tersebut mudah dipecahkan. Kelompok
menentukan kriteria berdasarkan kemampuan dan tersedianya
sumber daya untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan
kriteria sebagai berikut (Symond, 2013):
1 = Amat sulit
2 = Sulit
3 = Cukup sulit/cukup mudah
4 = Mudah
5 = Sangat mudah
4) Menetapkan kriteria kelompok kriteria IV yaitu PEARL faktor
16

Kelompok kriteria IV terdiri dari beberapa faktor yang


saling menentukan dapat atau tidaknya suatu program
dilaksanakan dan faktor tersebut meliputi:
P = Kesesuaian (appropriateness)
E = Ekonomis (economicfeasibility)
A = Dapat diterima (acceptability)
R = Sumber daya teRSedia (resourcesavailability)
L = Legalitas terjamin (legality)
Setiap masalah harus diuji dengan faktor PEARL yang
bertujuan untuk menjamin terlaksananya program dengan
baik. Jawaban hanya dua yaitu ya atau tidak. Jawaban ya nilai
1 dan jawaban tidak nilainya 0. Pengujian dengan cara
aklamasi atau voting maka tiap faktor dapat diperoleh angka 1
atau 0 untuk masing-masing masalah. Dengan mengalikan
angka dalam kolom PEARL diperoleh nilai PEARL masalah C
bernilai 0 dari hasil perhitungan. Hal ini disebabkan faktor
ersedianya sumber daya masih tanda tanya. Menetapkan nilai
prioritas total setelah nilai rata-rata kelompok I, II, III, dan IV
ditetapkan maka nilai rata-rata tersebut dimasukan dalam tabel
untuk penetapan skor tertinggi. Skor tertinggi pada setiap
pemecahan masalah akan menjadi prioritas untuk intervensi
program
c. Metode USG (Urgency, Seriousness, Growth)
Metode USG adalah salah satu cara menetapkan urutan
prioritas masalah dengan metode teknik scoring. Proses metode
USG dilaksanakan dengan memperhatikan tingkat kegawatan dari
masalah, keseriusan masalah yang dihadapi, serta kemungkinan
berkembangnya masalah tersebut semakin besar (Depkes RI,
2002). Metode USG dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Urgency adalah seberapa mendesak masalah tersebut harus
dibahas dikaitkan dengan waktu yang teRSedia serta seberapa
keras tekanan waktu tersebut untuk memecahkan masalah
yang menyebabkan masalah tersebut.
17

2) Seriousness adalah seberapa serius masalah tersebut perlu


dibahas dan dikaitkan dengan akibat yang timbul dengan
penundaan pemecahan masalah yang menimbulkan masalah
tersebut atau akibat yang menimbulkan masalah lain apabila
penyebab masalah tidak dipecahkan. Dalam keadaan yang
sama, suatu masalah yang dapat menimbulkan masalah lain
adalah lebih serius jika dibandingkan dengan suatu masalah
lain yang berdiri sendiri.
3) Growth adalah seberapa kemungkinan-kemungkinannya
masalah tersebut menjadi berkembang kemudian dikaitkan
kemungkinan masalah penyebab masalah akan semakin
memburuk apabila diabaikan.
Ada beberapa peRSiapan yang harus dilakukan dalam
penentuan prioritas masalah dengan metode USG antara lain
(Depkes RI, 2002):
1) Persiapan gugus tugas
Sebelum memulai pertemuan perlu dilaksanakan
pembagian pekerjaan atau gugus tugas. Susunan petugas untuk
metode teknik scoring dengan metode USG, yaitu pimpinan
USG, petugas pencatat flipchart, petugas scoring dan ranking,
peRSonil yang bertugas sebagai notulis.
2) Persiapan ruang pertemuan
Ruang pertemuan yang akan digunakan sebaiknya
menggunakan ruangan yang cukup luas dan nyaman. Meja dan
tempat duduk diatur setengah lingkaran atau seperti huruf U
yang terbuka ujungnya atau meja bundar (round table),
dimana pada ujung meja yang terbuka ditempatkan flipchart
atau papan tulis atau white board.
3) Persiapan peralatan atau sarana
Sarana atau peralatan yang diperlukan dalam proses
kegiatan ini adalah daftar hadir, kertas flipchart, papan tulis
atau whiteboard lengkap dengan alat tulisnya, dan kalkulator.
18

4) Peserta sebelum melakukan pemilihan atau seleksi untuk


peserta
Beberapa hal yang perlu dijelaskan oleh pimpinan
pelaksanaan metode USG yaitu peserta yang akan bergabung
dalam kelompok USG, adalah karena kemampuan peserta
untuk melakukan analisis dan mempunyai kemampuan untuk
menyelesaikan masalah, menekankan pentingnya tugas
kelompok, menekankan pentingnya sumbangan pikiran setiap
peserta, memberikan petunjuk kegunaan hasil pertemuan,
memberikan sambutan yang bersifat hangat dan ramah,
selanjutnya menentukan siapa yang akan diundang atau
dilibatkan dalam pertemuan untuk melakukan proses metode
USG. Proses metode USG ini membutuhkan peserta berkisar
antara 7-10 peserta.
5) Data yang dibutuhkan
Data atau informasi yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan metode USG yakni hasil analisa situasi, informasi
tentang sumber daya yang dimiliki, dokumen-dokumen
mengenai perundang-undangan, peraturan, serta kebijakan
pemerintah yang berlaku.
Proses penentuan prioritas dalam metode USG ini
dimulai dengan membuat daftar masalah sebagai berikut
(Depkes RI, 2002):
1) Memulai dengan satu masalah terlebih dahulu untuk
diselesaikan dan urutkan dari U (Urgency), S (Serious) dan
G (Growth).
2) Menentukan range untuk setiap kriteria baik U, S, G sesuai
kesepakatan (apabila dibuat rentang 1-5).
3) Menentukan suara terbanyak dari peserta diskusi untuk
mengisi tiap kolom.
4) Mengalikan hasil tiap-tiap kolom (U, S, G) dan hasilnya
tuliskan pada hasil total.
5) Melanjutkan pada masalah kedua dan seterusnya.
19

Metode USG memiliki beberapa kelebihan antara lain


(Depkes RI, 2002):
1) Pandangan orang banyak dengan kemampuan sama
sehingga dapat dipertanggung-jawabkan.
2) Diyakini bahwa hasil prioritas dapat memberikan hasil
yang objektif.
3) Identifikasi dapat dilanjutkan, terutama untuk penyelesaian
dalam bentuk penyelasaian dengan pengelolaan manajemen
atau tidak.
Metode USG memiliki beberapa kekurangan antara lain
(Depkes RI, 2002):
1) Dengan metode USG lebih banyak berdasar asumsi dengan
suatu keterbatasan tertentu yang melemahkan eksistensi
permasalahan.
2) Apabila asumsi yang disepakati lebih banyak dengan
keterbatasan, maka hasilnya akan bersifat lebih subjektif.
d. Metode CARL (Capability, Accessability, Readiness, and
Leverage)
Metode CARL merupakan suatu teknik atau cara yang
digunakan untuk menentukan prioritas masalah jika data yang
teRSedia adalah data kualitatif. Metode ini dilakukan dengan
menentukan skor atas kriteria tertentu, seperti kemampuan
(capability), kemudahan (accessibility), kesiapan (readiness), serta
pengungkit (leverage). Semakin besar skor maka semakin besar
masalahnya, sehingga semakin tinggi letaknya pada urutan
prioritas. Metode CARL digunakan dalam menetapkan prioritas
masalah dilakukan apabila pengelola program menghadapi
hambatan keterbatasan dalam menyelesaikan masalah. Penggunaan
metode ini menekankan pada kemampuan pengelola program
(Supriyanto dan Damayanti, 2007).
Metode CARL juga didasarkan pada serangkaian kriteria
yang harus diberi skor 0-10. Kriteria CARL tersebut mempunyai
arti sebagai berikut (Supriyanto dan Damayanti, 2007):
20

C = Capability yaitu ketersediaan sumber daya (dana, sarana,


dan prasarana
A = Accesibility yaitu kemudahan, masalah yang ada mudah
diatasi atau tidak. Kemudahan dapat didasarkan pada
ketersediaan metode/cara/teknologi serta penunjang
seperti peraturan.
R = Readiness yaitu kesiapan dari tenaga pelaksana maupun
kesiapan sasaran, seperti keahlian atau kemampuan dan
motivasi
L = Leverage yaitu seberapa besar pengaruh kriteria yang
satu dengan yang lain dalam pemecahan masalah yang
dibahas.
Setelah masalah atau alternatif pemecahan masalah
diidentifikasi, kemudian dibuat tabel kriteria CARL dan diisi
skornya. Bila ada beberapa pendapat tentang nilai skor yang diambil
adalah rata-rata. Nilai total merupakan hasil perkalian C x A x R x
L. Nilai total merupakan hasil perkalian C x A x R x L, urutan
ranking atau prioritas adalah nilai tertinggi sampai nilai terendah.
Metode CARL memiliki beberapa kelebihan seperti dengan
masalah (solusi) yang relatif banyak bisa ditentukan peringkat
atas masing-masing masalah sehingga bisa diperoleh prioritas
masalah. Kekurangan metode CARL yaitu penentuan skor sangat
subjektif sehingga sulit untuk distandarisasi, penilaian atas masing-
masing kriteria terhadap yang di skor perlu kesepakatan agar
diperoleh hasil yang maksimal dalam penentuan peringkat,
objektifitas hasil peringkat masalah (solusi) kurang bisa
dipertanggungjawabkan karena penentuan skor atas kriteria yang
ada (Supriyanto dan Damayanti, 2007).
e. Metode PSCM (Prevalensi, Seriousness, Community Concern,
Manageability)
Metode ini menggunakan 4 macam kriteria, yaitu (Buzan,
2008):
21

1) Prevalensi, yakni berapa banyak penduduk yang terkena


masalah (penyakit) tersebut.
2) Seriousness, yakni sejauh mana dampak yang ditimbulkan
penyakit tersebut atau tingginya angka morbiditas atau
mortalitas serta kecenderungannya.
3) Community concern, yakni sejauh mana masyarakat
menganggap masalah tersebut penting atau dapat juga disebut
perhatian atau kepentingan masyarakat dan pemerintah atau
instansi terkait terhadap masalah tersebut.
4) Manageability, yakni sejauh mana kita memiliki kemampuan
untuk mengatasinya dengan keteRSediaan sumber daya
(tenaga, dana, sarana dan metode/cara).
Berdasarkan cara ini masing-masing kriteria diberi scoring,
kemudian masing-masing skor dikalikan. Hasil perkalian ini
dibandingkan antara masalah-masalah yang dinilai. Masalah-
masalah dengan skor tertinggi, akan mendapat prioritas yang tinggi
pula. Skor dari kriteia P, S, C, dan M dapat diperoleh dengan cara
berikut ini (Buzan, 2008):
1) Pada kriteria P diatas skornya didapatkan dari rumus berikut:
P = 5 - A/O
Keterangan:
P = besarnya kelompok atau staf yang terkena masalah
A = jumlah aset
O = jumlah pengguna
Skor:
1 = Jumlah individu/masyarakat yang terkena sangat sedikit
2 = Jumlah individu/masyarakat yang terkena sedikit
3 = Jumlah individu/masyarakat yang terkena cukup besar
4 = Jumlah individu/masyarakat yang terkena sangat besar
2) Pada kriteria S skor didapatkan dari tingkat keseriusan atau
kegawatan suatu masalah.
Skor:
1 = masalah yang ditimbulkan tidak berat
2 = masalah yang ditimbulkan cukup berat Jumlah
3 = masalah yang ditimbulkan berat
4 = masalah yang ditimbulkan sangat berat
3) Pada kriteria C merupakan dampak masalah terhadap
perusahan atau instansi terkait.
Skor:
22

1 = tidak mendapat perhatian masyarakat


2 = kurang mendapat perhatian masyarakat
3 = cukup mendapat perhatian masyarakat
4 = sangat mendapat perhatian masyarakat
4) Kriteria M dimaksudkan sebagai ketersediaan teknisi atau
ketersediaan perangkat.
Skor :
1 = tidak dapat dikelola dan diatasi
2 = cukup dikelola dan diatasi
3 = dapat dikelola dan diatasi
4 = sangat dapat dikelola dan diatasi
4. Menentukan prioritas alternatif pemecahan masalah
Alternatif pemecahan masalah adalah pilihan yang terdiri dari
beberapa rumusan yang dapat dijadikan sebagai sebuah solusi bagi
permasalahan yang tengah dihadapi. Alternatif pemecahan masalah
seringkali disebut dengan alternatif solusi. Menurut Denas (2013),
langkah-langkah yang harus dilakukan dalam membuat sebuah
alternatif penyelesaian masalah adalah sebaga berikut:
a) Pengenalan dan pemahaman terhadap permasalahan yang terjadi
b) Penentuan sejumlah solusi penyelesaian yang akan digunakan
sebagai alternatif
c) Pemilihan kriteria yang akan digunakan di dalam melakukan
evaluasi terhadap solusi alternatif penyelesaian
d) Melakukan evaluasi solusi alternatif yang telah dipilih
e) Pemilihan terhadap solusi alternatif yang telah terpilih
f) Pelaksanaan solusi alternatif yang telah dipilih
g) Melakukan evaluasi terhadap solusi akhir yang dilakukan untuk
mendapatkan sebuah solusi yang memuaskan. Tujuan evaluasi
alternatif pemecahan masalah adalah untuk mengukur sampai
sejauh mana solusi tersebut bisa memberikan efek positif atau
negatif bagi suatu masalah.
5. Pembuatan POA
Planning of Action merupakan kumpulan aktivitas kegiatan dan
pembagian tugas diantara para pelaku atau penanggungjawab suatu
program. Planning of Action merupakan penghubung antara “tataran
konsep” atau cetak biru dengan kumpulan kegiatan dalam jangka
panjang, menengah, maupun jangka pendek. Perencanaan (planning)
23

adalah fungsi dasar manajemen, karena organizing, staffing, directing,


dan controlling harus terlebih dahulu direncanakan (Hasibuan, 2007).
Langkah-langkah menyusun perencanaan adalah sebagai
berikut:
a) Menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan. Perencanaan dimulai
dengan keputusan tentang keinginan atau kebutuhan organisasi
atau kelompok kerja. Tanpa rumusan tujuan yang jelas, organisasi
akan menggunakan sumber daya secara tidak efektif.
b) Merumuskan keadaan saat ini. Tujuan dan rencana menyangkut
waktu akan datang. Setelah menganalisa keadaan, rencana dapat
dirumuskan untuk menggambarkan rencana kegiatan lebih lanjut.
Tahap kedua ini memerlukan informasi yang didapatkan melalui
komunikasi dalam organisasi.
c) Mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan. Semua
kekuatan dan kelemahan serta kemudahan dan hambatan perlu
diidentifikasikan untuk mengukur kemampuan organisasi dalam
mencapai tujuan.
d) Mengembangkan rencana atau serangkaian kegiatan. Tahap
terakhir dalam proses perencanaan meliputi pengembangan
berbagai alternatif kegiatan untuk pencapaian tujuan, penilaian dan
pemilihan alternatif-alternatif terbaik (Handoko, 2003).
Langkah selanjutnya dalam pembuatan POA adalah perencanaan,
perencanaan sangat penting karena tanpa perencanaan ataupun rencana
berarti tidak ada tujuan yang ingin dicapai. Rencana adalah dasar
pengendalian karenatanpa adanya rencana pengendalian tidak dapat
digunakan (Hasibuan, 2007). Perencanaan memerlukan syarat-syarat
perencanaan yang baik. Dalam perencanaan perlu merumuskan
masalah yang akan direncanakan dengan sejelas-jelasnya. Perencanaan
juga harus didasarkan pada informasi, data dan fakta. Kemudian
memutuskan suatu keputusan yang menjadi rencana. Jika perencanaan
dilakukan dengan baik maka akan dihasilkan suatu rencana yang baik
pula (Hasibuan, 2007). Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk
menilai efektifitas perencanaan yaitu sebagai berikut:
24

a) Kegunaan bagi manajemen dalam pelaksanaan fungsinya, suatu


rencana harus fleksibel, stabil, berkesinambungan dan sederhana.
b) Ketepatan dan objektifitas untuk mengetahui apakah jelas, ringkas,
nyata dan akurat.
c) Ruang lingkup, perencanaan perlu memperhatikan kelengkapan,
kepaduan, dan konsistensi.
d) Efektifitas biaya, efektifitas biaya perencanaan menyangkut waktu
dan usaha.
e) Akuntabilitas perencanaan
f) Ketepatan waktu
C. Strategi dan Kebijakan Program Pangan dan Gizi
Strategi dan kebijakan program pangan dan gizi secara nasional
adalah penanganan masalah gizi yang memerlukan upaya komprehensif
dan terkoordinasi, mulai proses produksi pangan beragam, pengolahan,
distribusi hingga konsumsi yang cukup nilai gizinya dan aman
dikonsumsi. Kerjasama lintas bidang dan lintas program terutama
pertanian, perdagangan, perindustrian, transportasi, pendidikan, agama,
kependudukan, perlindungan anak, ekonomi, kesehatan, pengawasan
pangan dan budaya sangat penting dalam rangka sinkronisasi dan
integrasi kebijakan perbaikan status gizi masyarakat. Kesepakatan yang
telah dicapai pada beberapa pertemuan di tingkat dunia untuk
mempercepat pencapaian MDGs telah direspons dengan komitmen
nasional untuk menyediakan sumber daya terutama untuk sektor prioritas
seperti pendidikan dan kesehatan, penambahan lapangan kerja dan
mengurangi kesenjangan antara keluarga kaya dan keluarga miskin
melalui program distribusi pangan keluarga miskin, program keluarga
harapan, program memandirikan masyarakat dan pemberian subsidi
kebutuhan pokok untuk masyarakat miskin.
a. Kebijakan
Peningkatan status gizi masyarakat terutama ibu dan anak
melalui ketersediaan, akses, konsumsi dan keamanan pangan,
perilaku hidup beRSih dan sehat termasuk sadar gizi, sejalan dengan
25

penguatan mekanisme koordinasi lintas bidang dan lintas program


serta kemitraan.
b. Strategi
1) Perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu pra-hamil, ibu
hamil dan anak melalui peningkatkan ketersediaan dan
jangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan difokuskan pada
intervensi gizi efektif pada ibu pra-hamil, ibu hamil, bayi, dan
anak baduta.
2) Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam melalui
peningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang
difokuskan pada keluarga rawan pangan dan miskin.
3) Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan melalui
peningkatkan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan
pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk
industri rumah tangga (PIRT) tersertifikasi.
4) Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui
peningkatkan pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan
formal serta non formal terutama dalam perubahan perilaku atau
budaya konsumsi pangan yang difokuskan pada
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya
lokal, perilaku hidup bersih dan sehat, serta merevitalisasi
posyandu.
5) Penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui penguatan
kelembagaan pangan dan gizi di tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten dan kota yang mempunyai kewenangan merumuskan
kebijakan dan program bidang pangan dan gizi, termasuk
sumber daya serta penelitian dan pengembangan.
Untuk menyusun kebijakan dan strategi yang tajam bagi setiap
kelompok strata sesuai dengan permasalahan yang dihadapi suatu
wilayah Provinsi maka perlu dilakukan stratifikasi Provinsi berdasarkan
indikator disparitas tingkat kemiskinan, status gizi anak balita dan asupan
kalori yang memenuhi angka kecukupan gizi di tingkat provinsi.
Stratifikasi kabupaten dan kota berdasarkan indikator pencapaian MDGs
26

untuk memudahkan listing indikator kinerja utama yang memandu


kegiatan inovatif yang terfokus pada prioritas masalah.
Berikut kebijakan, strategi, dan nama provinsi dari masing-
masing strata:
a. Strata 1 : Provinsi dengan prevalensi anak balita pendek < 32 % dan
proporsi jumlah penduduk dengan rata-rata asupan kalori <1.400
Kkal/orang/hari sebesar < 14,47 %
1) Kebijakan : Melanjutkan penurunan prevalensi kurang gizi pada
ibu dan anak dan mempertahankan tingkat konsumsi
masyarakat, agar berkontribusi terhadap percepatan pencapaian
MDGs.
2) Strategi:
a) Peningkatan aksesibilitas pangan dengan mengembangkan
pemetaan kabupaten dan kota berdasarkan indikator
prevalensi pendek anak balita dan asupan kalori < 1.400
Kkal/orang/hari untuk prioritas penanganan wilayah.
b) Penguatan kelembagaan pangan dan gizi dengan
harmonisasi Rencana Aksi Pangan dan Gizi di tingkat
kabupaten dan kota untuk mencapai target MDGs.
c) Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
melalui peningkatan akses informasi dan edukasi tentang
PHBS bidang pangan dan gizi kepada individu, keluarga,
dan masyarakat terutama untuk menanggulangi gizi lebih
dan penyakit tidak menular terkait gizi.
d) Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan
dengan menjaga mutu dan keamanan pangan termasuk
makanan jajanan, produk industri rumah tangga (PIRT), dan
air minum
e) Perbaikan gizi masyarakat dengan mengukur panjang/tinggi
badan semua anak baduta setiap 6 bulan selama bulan
distribusi kapsul vitamin A.
b. Strata 2 : provinsi dengan prevalensi anak balita pendek < 32 % dan
proporsi jumlah penduduk dengan rata-rata asupan kalori <1.400
Kkal/orang/hari sebesar > 14,47 %
27

1) Kebijakan: Melanjutkan penurunan prevalensi kurang gizi pada


ibu dan anak dan meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat
terutama di daerah sangat rawan pangan.
2) Strategi:
a) Penguatan kelembagaan pangan dan gizi dengan
meningkatkan sumber daya termasuk anggaran dan SDM
bidang pangan.
b) Peningkatan aksesibilitas pangan dengan:
- Meningkatkan aksesibilitas pangan beragam untuk
memenuhi asupan kalori minimal 2000 Kkal/orang/hari
terutama bagi rumah tangga miskin, daerah terpencil
dan daerah perbatasan.
- Mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan
berbasis sumber daya lokal yang bermutu dan aman.
c) Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan
dengan meningkatkan kesadaran tentang keamanan pangan
d) Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat untuk
mencapai kemandirian keluarga khususnya remaja dan
perempuan dalam berperilaku hidup bersih dan sehat
termasuk sadar gizi.
e) Perbaikan gizi masyarakat dengan memfokuskan pelayanan
berkelanjutan pada ibu pra-hamil, ibu hamil dan anak
baduta dengan intervensi paket pelayanan kesehatan dan
gizi.
c. Strata 3: provinsi dengan prevalensi anak balita pendek > 32 % dan
proporsi jumlah penduduk dengan rata-rata asupan kalori < 1.400
Kkal/orang/hari sebesar < 14,47%.
1) Kebijakan: Mempercepat penurunan prevalensi kurang gizi pada
ibu dan anak dan mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat
untuk mencapai asupan kalori 2000 Kkal/orang/hari.
2) Strategi:
a) Penguatan kelembagaan pangan dan gizi dengan
- Mengembangkan peta SDM terkait gizi termasuk D3
gizi dan petugas kesehatan lain untuk identifikasi
28

kesenjangan deskripsi pekerjaan dan kompetensi


petugas.
- Menjamin implementasi SPM bidang kesehatan dan
bidang pangan.
b) Perbaikan gizi masyarakat dengan mengembangkan
kebijakan dan strategi untuk kegiatan aksi yang menjangkau
semua perempuan pra-hamil dan ibu hamil dengan paket
pelayanan kesehatan reproduksi dan gizi, termasuk program
penanggulangan WUS KEK dan anemia, dan peningkatan
program keluarga berencana serta dengan mendorong
pengembangan dan penerapan kebijakan sehat terkait
pangan dan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif (0-6
bulan) dan makanan pendamping ASI (6-24 bulan) berbasis
sumberdaya pangan lokal, pemasaran makanan formula
untuk anak, dan konsumsi garam beryodium.
c) Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
dengan mengutakan gerakan pemberdayaan masyarakat
untuk mendukung PHBS bidang pangan dan gizi melalui
peningkatan kemitraan lintas sektor, swasta, dan peran serta
organisasi sosial kemasyarakatan
d) Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan
dengan meningkatkan kesadaran tentang keamanan pangan
e) Peningkatan aksesibilitas pangan dengan mengembangkan
pemetaan kabupaten dan kota berdasarkan indikator
prevalensi pendek anak balita dan asupan kalori < 1.400
d. Strata 4: provinsi dengan prevalensi anak balita pendek > 32 % dan
proporsi jumlah penduduk dengan rata-rata asupan kalori < 1.400
Kkal/orang/hari sebesar > 14,475%.
1) Kebijakan : Mempercepat penurunan prevalensi gizi kurang
pada ibu dan anak dan peningkatan ketersediaan dan
aksesibilitas pangan yang beragam untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi masyarakat.
2) Strategi:
a) Penguatan kelembagaan pangan dan gizi dengan:
29

- Meningkatkan kemitraan dan kerjasama multi-sektor


dalam badan pangan dan gizi tingkat provinsi yang
efektif dan badan yang bersifat paralel di tingkat
kabupaten dan kota.
- Memantau dengan intensif implementasi program
terkait dengan pengentasan kemiskinan termasuk
meningkatkan anggaran yang mampu mengungkit
kinerja utama kabupaten dan kota.
- Pemutakhiran deskripsi pekerjaan untuk SDM terkait
pangan dan gizi di semua tingkat (provinsi, kabupaten
dan kota, kecamatan dan desa/kelurahan) untuk
memenuhi kebutuhan tenaga sesuai dengan arah
program pangan dan gizi, termasuk memberikan
insentif kepada petugas yang bekerja di area penduduk
yang tak terlayani.
- Peningkatan advokasi dan sosialisasi pengembangan
kebijakan sehat mendukung pangan dan gizi di semua
jenjang administrasi.
b) Perbaikan gizi masyarakat dengan meningkatkan
ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan
berkelanjutan pada ibu dan anak sejak janin dalam
kandungan, persalinan, neonatal, bayi dan anak baduta
dengan paket intervensi gizi efektif.
c) Peningkatan aksesibilitas pangan dengan meningkatkan
aksesibilitas pangan yang beragam, aman, dan bergizi
seimbang untuk memenuhi asupan kalori minimal 2.000
Kkal/orang/hari terutama bagi rumah tangga miskin, daerah
terpencil dan daerah perbatasan.
d) Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
dengan meningkatkan pemberdayaan perempuan dan
keluarga dalam menerapkan PHBS temasuk sadar gizi.
e) Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan
dengan meningkatkan kesadaran tentang keamanan pangan.
30

Berdasarkan analisis situasi pangan dan gizi pada tingkat


nasional maupun regional, serta perumusan kebijakan dan strategi
pangan dan gizi tingkat nasional dan provinsi, maka disusun matriks
rencana aksi pangan dan gizi yang berisikan tentang program dan
kegiatan, indikator, serta target tahunan beserta alokasi anggaran
indikatif dari berbagai sektor yang akan terlibat dalam implementasi
rencana aksi di tingkat nasional yaitu Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Pendidikan Nasional, Kementerian PPN/Bappenas, dan Badan POM.
Penyusunan program dan kegiatan didasarkan atas pendekatan 5 pilar
pangan dan gizi yaitu gizi masyarakat, aksesibilitas pangan, mutu dan
keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan sehat, serta kelembagaan
pangan dan gizi (Bappenas, 2011).
Dasar-dasar hukum mengenai Kebijakan Program Gizi
meliputi:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009
Tentang Kesehatan.
b. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010
– 2014.
c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2010
Tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010 – 2014.
d. Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat tahun 2010 – 2014 dan
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2010 – 2015.
e. Rencana Pembangunan di bidang kesehatan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia pada periode 2015-2019 adalah
Program Indonesia Sehat.
Rencana Strategis Program Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA
(Kesehatan Ibu dan Anak) Tahun 2015-2019. Rencana Strategis (Renstra)
Kementerian Kesehatan 2015-2019 ini disusun untuk menjadi acuan dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian upaya Kementerian Kesehatan
dalam kurun waktu lima tahun ke depan (Kemenkes RI, 2014). Manfaat
31

dan Tujuan strategi dan kebijakan program pangan dan gizi dimaksudkan
sebagai acuan bagi pelaksana program di lingkup Direktorat Jenderal Bina
Gizi dan KIA dalam melaksanakan kegiatannya. Tujuan yang ingin dicapai
adalah tercapainya peningkatan status kesehatan masyarakat melalui
terselenggaranya kegiatan di lingkup Direktorat Jenderal Bina Gizi dan
KIA untuk mencapai indikator kinerja program yaitu %tase persalinan di
fasilitas pelayanan kesehatan dan persentase ibu hamil Kurang Energi
Kronik (KEK). Sasaran pokok RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional) tahun 2015-2019 adalah :
a. Meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak
b. Meningkatnya pengendalian penyakit
c. Meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan
terutama didaerah terpencil, tertinggal dan perbatasan.
d. Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal melalui Kartu
Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional) Kesehatan.
Tabel 1. Indikator Pembinaan Gizi Masyarakat Tahun 2015-2019
Target
Sasaran Indikator 2015 2016 2017 2018 2019
(%) (%) (%) (%) (%)
Meningkatnya Persentase Ibu hamil 13 50 65 80 95
Pelayanan KEK yang mendapat
Gizi makanan tambahan
Masyarakat Persentase Ibu hamil 82 85 90 95 98
yang mendapat Tablet
Tambah Darah (TTD)
Persentase bayi kurang 39 42 44 47 50
dari 6 bulan yang
mendapat Asi
eksklusif
Persentase bayi baru 38 41 44 47 50
lahir mendapat Inisiasi
Menyusu Dini (IMD)
Persentase balita kurus 70 75 80 85 90
yang mendapat
makanan tambahan
Persentase remaja 10 15 20 25 30
putri yang mendapat
Tablet Tambah Darah
(TTD)
32

Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat dan Kemenkes RI (2014)


D. Program UPGK dan Penanggulangan Masalah Gizi Nasional
Salah satu upaya di dalam meningkatkan kesehatan masyarakat
terutama dari aspek gizi masyarakat adalah melalui Usaha Perbaikan Gizi
Keluarga (UPGK). Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) merupakan
gerakan sadar gizi atau yang lebih dikenal dengan KADARZI (Keluarga
Sadar Gizi) yang mengarah pada upaya masyarakat terutama di desa agar
mencukupi kebutuhan gizinya melalui pemanfaatan keanekaragaman
pangan sesuai kebutuhan gizinya sesuai dengan kemampuan ekonomi
keluarga dan keadaan lingkungan setempat. Usaha Perbaikan Gizi
Keluarga (UPGK) kegiatannya dilaksanakan di Posyandu dengan tujuan
menuju keluarga kecil, bahagia, sehat dan sejahtera. UPGK di jalankan
sepenuhnya dengan bantuan kader. Kegiatannya berupa penyuluhan gizi
dengan menggunakan pesan-pesan gizi sederhana, pelayanan gizi dan
pemanfaatan lahan pekarangan yang dapat dilakukan oleh masyarakat
(Depkes RI, 2006).
Hakikatnya UPGK adalah upaya merubah tingkah laku anggota
keluarga dan masyarakat yang dilaksanakan melalui alih teknologi gizi.
Dengan adanya beberapa faktor penentu pemecahan masalah gizi melalui
program UPGK tidak hanya dilakukan oleh sektor kesehatan saja tetapi
dari berbagai sudut sehingga program UPGK merupakan salah satu paket
kerja sama lintas sektoral. Kegiatan UPGK pada dasarnya dilakukan
sendiri oleh masyarakat dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga
menjadi milik masyarakat untuk mengatasi masalah gizi serta
meningkatkan status gizi (Depkes RI, 2006).

Menurut Rumniati (2012) secara rinci Usaha Perbaikan Gizi


Keluarga adalah sebagai berikut :
1. Merupakan usaha keluarga atau masyarakat untuk memperbaiki gizi
pada semua anggota keluarga/masyarakat.
2. Dilaksanakan oleh keluarga atau masyarakat dengan kader sebagai
penggerak masyarakat dan petugas beberapa sektor sebagai
pembimbing dan pembina.
33

3. Merupakan bagian dari kehidupan keluarga sehari-hari dan bagian


integral dari pembangunan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
4. Secara operasional ialah rangkaian kegiatan yang saling mendukung
untuk melaksanakan alih teknologi sederhana pada keluarga atau
masyarakat.
E. Program Gizi Institusi (UPGI)
Usaha perbaikan gizi institusi (UPGI) adalah upaya peningkatan
keadaan gizi kelompok masyarakat tertentu yang berada di suatu lembaga
atau institusi, seperti sekolah, pusat pelatihan olahraga, Rumah Sakit,
pabrik, perusahaan, lembaga pemasyarakatan, dan panti perawatan.
Dengan ditingkatkannya keadaan gizi kelompok masyarakat ini,
diharapkan dapat memacu peningkatan produktivitas kerja buruh, prestasi
belajar dan olahraga, mempercepat proses penyembuhan, serta
meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan kelompok masyarakat
tersebut. Kegiatannya terdiri atas pelatihan tenaga penyelenggara
makanan, bimbingan dan pengawasan terhadap institusi yang
menyelenggarakan pelayanan makanan bagi orang banyak. Kegiatan ini
dilaksanakan secara terpadu oleh tenaga-tenaga gizi, kesehatan,
ketenagakerjaan, pendidikan, dan pengurus serta penyelenggara institusi
yang bersangkutan (Depkes, 2011).

Manfaat upaya perbaikan gizi institusi adalah sebagai berikut :


1. UPGI di Sekolah
Prioritas ditujukan untuk meningkatkan keadaan gizi anak-anak
SD dari keluarga miskin terutama di perdesaan tertinggal. Anak-anak
SD ini umumnya menderita kurang energi dan protein serta menderita
anemia gizi besi. Kegiatannya berupa pemberian bantuan pemerintah
untuk memberikan makanan tambahan bermutu gizi di sekolah.
Penyelenggaraannya dilaksanakan dengan peran serta orang tua, guru,
dan masyarakat setempat. Pemberian makanan tambahan diharapkan
dapat meningkatkan daya tangkap anak-anak terhadap pelajaran dan
34

mengurangi ketidakhadirannya di sekolah. Kegiatan UPGI merupakan


bagian dari usaha kesehatan sekolah yang memberikan bimbingan dan
pengawasan warung sekolah. Tujuannya agar warung sekolah
menjajakan makanan yang bermutu gizi dan bersih serta aman dari
bahaya pencemaran penyakit (Depkes, 2015).
2. UPGI bagian Olahraga
Kegiatan UPGI di bagian olahraga yang pertama adalah
memberikan pengetahuan tentang gizi kepada para olahragawan
melalui pusat pelatihan, atau pada acara lainnya. Dengan pengetahuan
gizi yang cukup, diharapkan para olahragawan memiliki sikap disiplin
untuk mematuhi pengaturan gizi pada makanannya sehari-hari sebagai
bagian upaya pencapaian prestasi. Kegiatan kedua adalah, menetapkan
standar persyaratan gizi penyelenggaraan makanan di pusat pelatihan
dan asrama olahragawan, memberikan pelatihan kepada tenaga
penyelenggara makanan olahragawan, serta memberikan bimbingan
dan pengawasan (Depkes, 2011).
3. Kegiatan UPGI di Rumah Sakit (RS)
Kegiatan UPGI di RS sebagai upaya pengobatan dan
penyembuhan penderita yang dirawat di Rumah Sakit. Kegiatan
penyelenggaraan makanan di Rumah Sakit didasarkan atas norma gizi
dietetik yang memperhatikan kebutuhan diet menurut penyakit,
memperhatikan syarat pembiayaan yang layak sesuai dengan
kemampuan masyarakat dan serasi dengan budaya masyarakat
setempat (Depkes, 2011).
4. UPGI di Pabrik dan Perusahaan
Kegiatan UPGI di Pabrik dan Perusahaan memberikan perhatian
pada pentingnya pemberian makanan kepada buruh dan karyawan di
tempat kerja, sebagai bagian dari upaya meningkatkan produktivitas
kerja. Kegiatannya berupa pemberian pelatihan tenaga, bimbingan, dan
pengawasan.
5. UPGI di institusi lain
Kegiatan UPGI di institusi lainnya merupakan kegiatan UPGI
yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan, panti perawatan anak dan
lanjut usia terlantar dan sebagainya. UPGI di institusi lain menekankan
35

pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi demi kesehatan dan


kesejahteraan penghuni. Kegiatan yang dilakukan berupa pelatihan
tenaga, bimbingan, dan pengawasan (Depkes, 2011).
F. Sistem Monitoring dan Evaluasi Program Gizi Masyarakat
1. Monitoring
Monitoring adalah proses pengumpulan dan analisis informasi
(berdasarkan indikator yang telah ditetapkan) secara sistematik dan
berkelanjutan tentang kegiatan atau program, sehingga dapat dilakukan
tindakan koreksi untuk menyempurnakan kegiatan/program
selanjutnya. Rencana program yang telah ditetapkan serta monitoring
yang baik dapat menentukan keberhasilan untuk mencapai tujuan.
Pada umumnya, perencanaan dan monitoring merupakan fungsi yang
penting dalam manajemen. Dalam kegiatan monitoring tidak dilakukan
penilaian seperti halnya evaluasi, tetapi hanya mengamati dan
mencatat, apabila terjadi ketidaksesuaian antara kegiatan dengan yang
direncanakan, maka dilakukan koreksi. Sebaliknya apabila terjadi
ketidaksesuaian sebab tersebut dalam praktiknya, kegiatan monitoring
diidentikan dengan evaluasi proses dari suatu program (Solihin, 2008).
Menurut Solihin (2008), monitoring memiliki tujuan sebagai berikut:
a) Mengkaji kegiatan yang telah dilaksanakan apakah sudah sesuai
dengan rencana.
b) Mengidentifikasi masalah yang muncul sehingga dapat langsung
diatasi.
c) Menilai apakah pola kerja dan manajemen yang digunakan sudah
tepat untuk mencapai tujuan.
d) Mengetahui kaitan antara kegiatan dan tujuan untuk mengetahui
ukuran kemajuan.
e) Menyesuaikan kegiatan dengan lingkungan yang berubah tanpa
menyimpang dari tujuan.
Langkah-langkah dalam monitoring menurut Solihin (2008)
adalah sebagai berikut:
a) Perencanaan
1) Merancang sistem monitoring yang spesifik : apa yang akan
dimonitor, mengapa, dan untuk siapa (user).
36

2) Menentukan ruang lingkup monitoring: luasnya area, apakah


bersifat klinis, atau pelayanan (service), siapa yang terlibat,
dan beberapa lama monitoring akan dilakukan.
3) Memilih dan menentukan indikator: menentukan batasan
sasaran kelompok, misalnya balita.
4) Menentukan sumber-sumber informasi, menentukan metode
pengumpulan data, misalnya metode observasi, interview
petugas, survei untuk cakupan, atau pengobatan di rumah.
b) Implementasi
1) Memilih menentukan proses supervise dan prosesnya.
2) Tabulasi data dan analisis data: membandingkan temuan atau
pencapaian dengan perencanaan.
3) Temuan dalam monitoring: apakah ada penyimpangan, apabila
ada perlu diidentifikasi penyebabnya.
4) Menggali penyebab dan mengambil tindakan perbaikan.
Rencana monitoring perlu disusun jangka pendek untuk
menjamin bahwa tindakan dilaksanakan sesuai dengan rencana
dan memberi efek sesuai dengan harapan.
c) Menentukan kelanjutan monitoring
Kegiatan monitoring dirancang untuk memperoleh hasil
kinerja saat ini atau jangka pendek untuk manungajer. Ketika
program memberikan perubahan yang signifikan, maka
kelangsungan program akan mendapatkan perhatian. Penilaian
secara periodik penting dilakukan untuk mempertimbangkan
kapan indikator atau frekuensi monitoring dikurangi, atau pada
bagian mana yang perlu direncanakan lagi dan dilanjutkan.
2. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses penilaian pencapaian tujuan dan
mengungkapkan masalah kinerja program untuk memberikan umpan balik
bagi peningkatan kualitas kinerja program. Evaluasi program merupakan
evaluasi terhadap kinerja dari suatu program, dimana diketahui bahwa
program adalah sebagai kumpulan kegiatan nyata, sistematis, dan terpadu
yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa instansi pemerintah ataupun
dalam rangka kerja sama dengan masyarakat guna mencapai sasaran dan
tujuan yang telah ditetapkan (Solihin, 2008). Evaluasi program gizi
37

dilakukan untuk menilai kemajuan kegiatan dan hasil yang dicapai dalam
upaya peningkatan gizi masyarakat yang dilakukan oleh masing-masing
wilayah/daerah (Depkes, 2008).
Menurut Mubarak (2009), langkah-langkah dalam evaluasi sebagai
berikut:
a) Menentukan tujuan evaluasi
b) Menentukan bagian apa dari program yang akan dievaluasi
c) Mengumpulkan data awal (baseline data)
d) Mempelajari tujuan program
e) Menentukan tolak ukur (indikator)
f) Menentukan cara atau metode menilai, alat penilaian, dan sumber
datanya
g) Mengumpulkan data
h) Mengolah dan menyimpulkan data yang didapat
i) Umpan balik (feedback) dan saran-saran untuk program berikutnya.
Tujuan evaluasi menurut Minijaya (2004) adalah :
a) Memperbaiki kebijakan pelaksanan dan perencanaan program yang
akan datang
b) Memperbaiki alokasi sumber daya
c) Memperbaiki pelaksaan suatu kegiatan yang sedang berjalan
d) Untuk mengadakan perencanaan kembali yang lebih baik terhadap
suatu program
BAB III
METODE PENGAMBILAN DATA

A. Lokasi dan Waktu


1. Lokasi
Lokasi yang digunakan sebagai tempat kegiatan PKL Pelayanan
Gizi Masyarakat adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo.
2. Waktu PKL Pelayanan Gizi Masyarakat dilaksanakan selama 3 minggu
yaitu tanggal 4 – 23 Maret 2019.
B. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer didapatkan dengan cara melakukan wawancara
dengan pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo mengenai
program-program kesehatan khususnya gizi yang sudah dilaksanakan.
2. Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dari data profil Dinas Kesehatan
Kabupaten Sukoharjo Tahun 2017 dan Laporan Gizi tahun 2018 pada
bulan Oktober, November dan Desember.

40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Dinas Kesehatan


1. Visi dan Misi Dinas Kesehatan
a. Visi
Untuk mencapai sasaran pembangunan kesehatan pada
akhir 2021 telah ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD). Kabupaten Sukoharjo 2016-2021
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo
Nomer 10 Tahun 2016. Dengan mempertimbangkan perkembangan
dan berbagai kecenderungan masalah kesehatan kedepan,
mempertimbangkan Visi dan Misi Pemerintah Kabupaten
Sukoharjo telah ditetapkan Visi Dinas Kesehatan Kabupaten
Sukoharjo yaitu:
“Terwujudnya Pelayanan Kesehatan Paripurna Menuju
Masyarakat yang Sehat, Sejahtera, dan Mandiri”.
Paripurna dimaknai sebagai isu kesehatan yang meliputi upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diperankan oleh
semua pelaku kesehatan Kabupaten Sukoharjo baik eksekutif,
legislatif, yudikatif, dunia usaha dan atau lembaga non pemerintah
serta masyarakat secara professional dan bertanggung jawab
termasuk penyediaan sumber daya kesehatan.
Dalam pernyataan visi tersebut terdapat empat keinginan
yang akan diwujudkan yaitu:
1) Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan sebagai bagian
dari upaya pembangunan kesehatan untuk mewujudkan
masyarakat yang sehat dan sejahtera.
2) Membentuk tata kehidupan masyarakat yang berperilaku hidup
beRSih dan sehat dengan mengembangkan pemberdayaan
masyarakat, menuju kemandirian.
3) Meningkatkan pengendalian penyakit dengan upaya
pencegahan penyakit menular dan tidak menular serta
mewujudkan kualitas kehatan lingkungan.

41
42

4) Mewujudkan kualitas sumber daya kesehtan yang profesional.


b. Misi
Dalam rangka mewujudkan visi Dinas Kabupaten
Sukoharjo tahun 2016-2021 telah ditetapkan 4 (empat) misi yaitu:
a) Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan sebagai bagian
dari upaya pembangunan kesehatan untuk mewujudkan
masyarakat yang sehat dan sejahtera
Salah satu tanggung jawab seluruh jajaran kesehatan
adalah menjamin tersedianya pelayanan kesehatan yang
berkualitas, merata, terjangkau oleh setiap individu, keluarga
dan masyarakat luas. Pelayanan kesehatan yang berkualitas,
merata dan terjangkau dimaksud diselenggarakan bersama
oleh pemerintah dan masyarakat, termasuk swasta.
Masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan paripurna dengan sebaik-baiknya tanpa
membedakan kesenjangan sosial, ekonomi, maupun geografis,
untuk itu penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus
bermutu, merata, terjangkau, berkesinambungan, dan
berkeadilan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah,
masyarakat, dan swasta. Pelayanan kesehatan baik dasar
maupun rujukan yang bermutu, merata dan terjangkau akan
terpenuhi apabila keteRSediaan obat dan perbekalan kesehatan
juga bermutu, merata dan terjangkau.
b) Membentuk tata kehidupan masyarakat yang berperilaku
hidup bersih dan sehat dengan mengembangkan
pemberdayaan masyarakat menuju kemandiriaan
Pembangunan kesehatan harus diselenggarakan dengan
menggalang kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan
dunia usaha serta lembaga terkait, dengan mendayagunakan
potensi yang dimiliki. Kemitraan diwujudkan dalam suatu
jejaring agar diperoleh sinergisme yang mantap. Untuk itulah
diperukan adanya penggerakan kemitaraan dan peran serta
masyarakat dalam mewujudkan kemandiriaan masyarakat
43

untuk hidup sehat. Kesehatan adalah tanggung jawab bersama


dari setiap individu, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
swasta. Apapun yang akan dilakukan pemerintah dalam
pembangunan kesehatan, tidak akan ada artinya bila tidak
disertai kesadaran setiap individu, keluarga, dan masyarakat
untuk meningkatkan dan menjaga kesehtannya masing-masing
secara mandiri. Upaya pemerintah untuk terus memperluas
cakupan pembangunan kesehatan dan meningkatkan
kualitasnya harus disertai upaya mendorong kemandirian
individu, keluarga dan masyarakat luas untuk hidup sehat.
c) Meningkatkan pengendalian penyakit dengan upaya
pencegahan penyakit menular dan tidak menular serta
mewujudkan kualitas kesehatan lingkungan
Perluasan cakupan akses masyarakat dalam
memperoleh pelayanan kesehatan terkait penyakit menular
terutama di daerah-daerah yang berada di perbatasan untuk
menjamin upaya memutus rantai penularan. Untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan penanggulanagan
penyakit, dibutuhkan strategi inovatif dengan memberikan
otoritas pada petugas kesehatan masyarakat, terutama hak
akses pengamatan faktor risiko dan penyakit serta penentuan
langkah penanggulanngannya.
Untuk penyakit tidak menular maka perlu melakukan
deteksi dini secara proaktif mengunjungi masyarakat karena
tiga per empat penderita tidak tahu jika dirinya menderita
penyakit tidak menular. Disamping itu perlu mendorong
Kabupaten yang memiliki kebijakan PHBS dalam upaya
menanggulangi penyakit penyakit tidak menular.
Penyusunan regulasi daerah dapat menggerakkan
sektor lain di daerah untuk berperan aktif dalam pelaksanaan
kegiatan kegiatan lingkungan seperti peningkatan ketersediaan
sanitasi dan air minum yang layak serta tatanan kawasan yang
44

sehat serta wirausaha sanitasi. Peningkatan peran Puskesmas


dalam pencapaian kecamatan atau kabupaten stop buang air
besar sembarangan membutuhkan peran dan keterlibatan
masyarakat.
d) Mewujudkan kualitas sumber daya kesehtan yang profesional
Semakin ketatnya persaingan global termasuk tenaga
kesehatan, diperlukan memutuskan tenaga kesehatan yang
terampil, dan kompeten (cakap, berkuasa untuk
menentukan/memutuskan sesuai kewenangan) sehingga
mampu bersaing dengan tenaga kesehatan asing, baik yang
akan bekerja di Institusi pelayanan kesehatan dalam negeri
maupun luar negeri, diperlukan upaya meningkatkan mutu
sumber daya manusia kesehatan melali regulasi dibidang
kesehatan dan pengembagan profesionalisme. Pendidikan dan
pelatihan untuk sumber daya kesehatan di Dinas Kesehatan
cukup, jumlah peserta, pelatih, penyelenggaraan pelatihan dan
tempat latihan (sarana, prasarana).
2. Letak Geografis dan Demografis
Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo berada di wilayah
Kabupaten Sukoharjo dimana kabupaten Sukoharjo merupakan salah
satu kabupaten lingkungan karasidenanan Surakarta, letaknya
berbatasan langsung dengan 6 kabupaten/kota yaitu di sebelah utara
berbatasan dengan kota Surakarta dan kabupaten Karanganyar, sebelah
selatan berbatasan dengan kabupaten Gunung Kidul atau (DIY) dan
kabupaten Wonogiri, serta di sebelah barat merupakan berbatasan
dengan kabupaten Klaten dan Boyolali.
Luas wilayah Kabupaten Sukoharjo tercatat 466,66 Ha yang
merupakan 1,43% dari luas Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten
Sukoharjo terdiri dari 12 Kecamatan dan 167 Desa/Kelurahan.
Kecamatan terluas adalah Kecamatan Polokarto dengan luas 62,18 km2
(13,32%) dan wilayah terkecil Kecamatan Kartasura dengan luas 19,23
km2 (4,12%).
45

Topografi Kabupaten Sukoharjo terdiri dari wilayah daratan,


sebagai berikut:
a) Sebagian besar merupakan daerah datar dan hanya sebagian kecil
yang merupakan daerah miring dan bergelombang.
b) Berdasarkan kemiringan tanah 48,7% memiliki kemiringan antara
2-15%, 76,4% terletak pada ketinggian 100-500 m dari permukaan
air laut.
c) Sejak dibangun dan berfungsinya Bendungan Gajah Mungkur di
Kabupaten Wonogiri, hampir seluruh wilayah di Kabupaten
Sukoharjo cocok sebagai lahan pertanian. Hal ini menyebabkan
Sukoharjo merupakan salah satu lumbung padi Provinsi Jawa
Tengah.
Letak daerah Kabupaten Sukoharjo apabila ditinjau dari posisi
koordinat adalah sebagai berikut:
a) Bagian Ujung Sebelah Timur: 110-57’ 33.70” LS
b) Bagian Ujung Sebelah Barat: 110-42’ 6.79” LS
c) Bagian Ujung Sebelah Utara: 7-32’ 17.00” BT
d) Bagian Ujung Sebelah Selatan: 7 49’ 32.00” BT
Sumber: Pertanahan Nasional Kabupaten Sukoharjo
3. Ketenagaan
a. Struktur Ketenagaan
1) Kepala Dinas
2) Sekretaris
3) Sub Bag Umum Kepegawaian
4) Sub Bag Perencanaan
5) Sub Bag Keuangan
6) Bidang Kesmas
a) Seksi Keluarga dan Gizi
b) Seksi Promkes dan Pemberdayaan
c) Seksi Kesehatan Lingkungan, Kerja dan Olahraga
7) Bidang Pencegahan dan pengendalian penyakit
a) Seksi Surveilans dan Imunisasi
b) Seksi Pp Penyakit Menular
c) Seksi Pp Penyakit Tidak Menular dan Kes Jiwa
8) Bidang Pelayanan Kesehatan
a) Seksi Pelayanan Kes Primer dan Tradisional
b) Seksi Pelayanan Kesehatan Rujukan
c) Seksi Akreditasi dan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan
9) Bidang Sumber Daya Kesehatan
a) Seksi Farmasi, Alkes dan Perbekes
46

b) Seksi Perizinan Pelayanan Kesehatan


c) Seksi Sumber Daya Manusia Kesehatan
b. Sistem pelayanan
1) Kepala Dinas
Tugas kepala dinas membantu Bupati melaksanakan
urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan, merumusan
kebijakan teknis di bidang kesehatan. Fungsi dari kepala dinas
kesehagtan adalah melaksanakan kebijakan dibidang kesehatan,
melaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang kesehatan,
melaksanaan administrasi Dinas Kesehatan, mengendalian
penyelenggaraan tugas UPTD dan melaksanaan fungsi lain
yang diberikan oleh Bupati terkait dengan tugas dan fungsinya.

2) Sekretaris
Tugas sekretaris adalah melaksanakan perumusan
konsep dan pelaksanaan kebijakan, pengkoordinasian,
pemantauan, evaluasi, pelaporan meliputi keuangan, hukum,
informasi, kehumasan, keorganisasian dan ketatalaksanaan,
pembinaan ketatausahaan, kearsipan, kerumahtanggaan,
kepegawaian, pengelolaan dan pematauan saham aset, dan
pelayanan administrasi di lingkungan Dinas Kesehatan.
Fungsi dari sekretaris adalah pengkoordinasian
penyusunan kebijakan, rencana, program, kegiatan, dan
anggaran di lingkungan Dinas Kesehatan. Melakukan
pembinaan dan pemberian dukungan administrasi yang
meliputi keuangan, hukum, hubungan masyarakat,
ketatausahaan, kearsipan, kerumahtanggaan, dan pelayanan
administrasi di lingkungan Dinas Kesehatan. Melakukan
pengkoordinasian, pembinaan dan penataan organisasi dan tata
laksana di lingkungan Dinas Kesehatan. Pengkoordinasian dan
penyusunan peraturan perundang-undangan serta pelaksanaan
advokasi hukum di lingkungan Dinas Kesehatan.
Pengkoordinasian pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern
47

Pemerintah (SPIP) dan pengelolaan informasi dan


dokumentasi. Penyelenggaraan dan penatausahaan aset dan
pelayanan pengadaan barang/jasa di lingkungan Dinas
Kesehatan. Sebagai pelaksanaan monitoring, evaluasi dan
pelaporan sesuai dengan lingkup tugasnya. Pengelolaan
kepegawaian di lingkungan Dinas Kesehatan. Sebagai
pelaksanaan fungsi kedinasan lain yang diberikan oleh
pimpinan sesuai dengan fungsinya.
3) Sub Bag Umum Kepegawaian
Tugas dan fungsi sub bag umum kepegawaian adalah
melakukan penyiapan bahan perumusan, pengkoordinasian,
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta pelaporan yang
meliputi pembinaan ketatausahaan, hukum, kehumasan,
keorganisasian dan ketatalaksanaan, kerumahtanggaan,
kearsipan, kepegawaian, pengelolaan dan penatausahaan aset
dan pelayanan administrasi di lingkungan Dinas Kesehatan.
4) Sub Bag Perencanaan
Sub bagian Perencanaan memiliki tugas melaksanakan
penyiapan bahan perumusan, pengkoordinasian, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi serta pelaporan di bidang perencanaan,
data, informasi, dan program kerja di lingkungan Dinas
Kesehatan
5) Sub Bag Keuangan
Sub bag keuangan memiliki tugas melaksanakan
penyiapan bahan perumusan, pengkoordinasian, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi serta pelaporan di bidang pengelolaan
keuangan di lingkungan Dinas Kesehatan.
6) Bidang Kesmas
Bidang Kesmas memiliki tugas melaksanakan perumusan
konsep dan pelaksanaan kebijakan, pengkoordinasian,
pemantauan, evaluasi serta pelaporan meliputi promosi
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, kesehatan keluarga
dan gizi masyarakat serta kesehatan lingkungan, kesehatan
kerja dan olah raga. Untuk melaksanakan tugas bidang
48

kesehatan masyarakat memiliki fungsi merumusan petunjuk


teknis kegiatan promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat, kesehatan keluarga dan gizi masyarakat serta
kesehatan lingkungan, kesehatan kerja dan olah raga.
Melakukan pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan promosi
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, kesehatan keluarga
dan gizi masyarakat serta kesehatan lingkungan, kesehatan
kerja dan olah raga. Pembinaan dan penyelenggaraan kegiatan
promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, kesehatan
keluarga dan gizi masyarakat serta kesehatan lingkungan,
kesehatan kerja dan olahraga. Pemantauaan dan pengendalian
kegiatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat,
kesehatan keluarga dan gizi masyarakat serta kesehatan
lingkungan, kesehatan kerja dan olah raga dan pelaksanaan
fungsi kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan sesuai
dengan fungsinya.
a) Seksi keluarga dan gizi memiliki tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan, perencanaan,
pengkoordinasian, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta
pelaporan yang meliputi layanan kesehatan kesehatan ibu
hamil, ibu bersalin, bayi, balita, usia pendidikan dasar, usia
produktif dan lansia, dan layanan gizi masyarakat.
b) Seksi Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
memiliki tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan,
perencanaan, pengkoordinasian, pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi serta pelaporan yang meliputi layanan penguatan
kapasitas masyarakat, layanan pengelolaan dan pelaksanaan
promosi kesehatan, layanan pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat dalam penggunaan obat dan obat tradisional
yang aman, berkhasiat dan bermutu, dan layanan
pembinaan terhadap pelaku usaha jamu racikan dan jamu
gendong.
49

c) Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan


Olahraga memiliki tugas melaksanakan penyiapan bahan
perumusan, perencanaan, pengkoordinasian, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi serta pelaporan yang meliputi
layanan kesehatan lingkungan berupa sarana sanitasi dasar
dan institusi sehat, upaya kesehatan kerja dan olah raga.

7) Bidang Pencegahan dan pengendalian penyakit


Tugas yang dimiliki oleh bidang pencegahan dan
pengendalian penyakit meliputi perumusan konsep dan
pelaksanaan kebijakan, pengkoordinasian, pemantauan,
evaluasi serta pelaporan yang meliputi surveilans, imunisasi,
pencegahan dan pengendalian penyakit menular, pencegahan
dan pengendalian penyakit tidak menular serta kesehatan jiwa.
Bidang pencegahan dan pengendalian penyakit memiliki
fungsi dalam perumusan petunjuk teknis surveilans, imunisasi,
pencegahan dan pengendalian penyakit menular, pencegahan
dan pengendalian penyakit tidak menular dan kesehatan jiwa.
Pengkoordinasian kegiatan surveilans, imunisasi, pencegahan
dan pengendalian penyakit menular, pencegahan dan
pengendalian penyakit tidak menular dan kesehatan jiwa.
Pembinaan dan penyelenggaraan kegiatan bidang surveilans,
immunisasi, pencegahan dan pengendalian penyakit menular,
pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular dan
kesehatan jiwa. Pemantauan dan pengendalian kegiatan
surveilans, immunisasi, pencegahan dan pengendalian penyakit
menular, pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular
dan kesehatan jiwa dan pelaksanaan fungsi kedinasan lain yang
diberikan oleh pimpinan sesuai dengan fungsinya.
a) Seksi Surveilans dan Imunisasi memiliki tugas
melaksanakan penyiapan bahan perumusan, perencanaan,
pengkoordinasian, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta
pelaporan yang meliputi layanan surveilans kesehatan,
50

layanan respon Kejadian Luar Biasa (KLB) dan wabah,


layanan kekarantinaan kesehatan dan immunisasi.
b) Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
memiliki tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan,
perencanaan, pengkoordinasian, pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi serta pelaporan yang meliputi layanan
penanggulangan penyakit menular langsung (TB, HIV,
ISPA, dan lain-lain), dan penanggulangan penyakit
bersumber binatang (DBD, Cikungunya, Leptospirosis dan
lain-lain).
c) Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak
Menular dan Kesehatan Jiwa memiliki tugas melaksanakan
penyiapan bahan perumusan, perencanaan,
pengkoordinasian, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta
pelaporan yang meliputi layanan penanggulangan penyakit
tidak menular (hipertensi, diabetes melitus, jantung, dan
lain-lain), dan layanan kesehatan jiwa dan NAPZA.
8) Bidang Pelayanan Kesehatan
Bidang pelayanan kesehatan memiliki tugas dalam
perumusan konsep dan pelaksanaan kebijakan,
pengkoordinasian, pemantauan, evaluasi serta pelaporan
yang meliputi pelayanan kesehatan primer dan tradisional,
pelayanan kesehatan rujukan, akreditasi dan pembiayaan
pelayanan kesehatan. Untuk melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud bidang pelayanan kesehatan memiliki fungsi
perumusan petunjuk teknis pelayanan kesehatan primer dan
tradisional, pelayanan kesehatan rujukan, akreditasi dan
Pembiayaan pelayanan kesehatan. Pengkoordinasian kegiatan
pelayanan kesehatan primer dan tradisional, pelayanan
kesehatan rujukan, akreditasi dan pelayanan kesehatan.
Pembinaan dan penyelenggaraan kegiatan bidang pelayanan
kesehatan primer dan tradisional, pelayanan kesehatan rujukan,
51

akreditasi dan pelayanan kesehatan. Pemantauan dan


pengendalian kegiatan pelayanan kesehatan primer dan
tradisional, pelayanan kesehatan rujukan, akreditasi dan
pelayanan kesehatan dan pelaksanaan fungsi kedinasan lain
yang diberikan oleh pimpinan sesuai dengan fungsinya.
a) Seksi Pelayanan Kes Primer dan Tradisional memiliki
tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan,
perencanaan, pengkoordinasian, pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi serta pelaporan yang meliputi layanan rawat jalan
tingkat pertama dan rawat inap tingkat pertama, layanan
penanggulangan krisis kesehatan, layanan regionalisasi
pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan tradisional
ramuan dan ketrampilan.
b) Seksi Pelayanan Kesehatan Rujukan memiliki tugas
melaksanakan penyiapan bahan perumusan, perencanaan,
pengkoordinasian, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi
serta pelaporan yang meliputi pelayanan rawat jalan
tingkat lanjutan dan rawat inap tingkat lanjutan.
c) Seksi Akreditasi dan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan
memiliki tugas melaksanakan penyiapan bahan
perumusan, perencanaan, pengkoordinasian, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi serta pelaporan yang meliputi
akreditasi/peningkatan mutu fasilitas pelayanan kesehatan
dan pembiayaan pelayanan kesehatan.
9) Bidang Sumber Daya Kesehatan
Tugas yang dimiliki oleh bidang sumber daya kesehatan
adalah perumusan konsep dan pelaksanaan kebijakan,
pengkoordinasian, pemantauan, evaluasi serta pelaporan
yang meliputi farmasi, makanan dan minuman, alat kesehatan
dan perbekalan kesehatan, pelayanan perizinan kesehatan,
pelayanan kesehatan rumah tangga, dan sumber daya manusia
kesehatan. Bidang sumber daya kesehatan memiliki fungsi
melakukan perumusan petunjuk teknis farmasi, makanan dan
52

minuman, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan, pelayanan


perizinan kesehatan dan pelayanan kesehatan rumah tangga,
sumber daya manusia kesehatan. Pengkoordinasian kegiatan
farmasi, makanan dan minuman, alat kesehatan dan perbekalan
kesehatan, pelayanan perizinan kesehatan dan pelayanan
kesehatan rumah tangga, sumber daya manusia kesehatan.
Pembinaan dan penyelenggaraan kegiatan bidang farmasi,
makanan dan minuman, alat kesehatan dan perbekalan
kesehatan, pelayanan perizinan kesehatan dan pelayanan
kesehatan rumah tangga, sumber daya manusia kesehatan.
Pemantauan dan pengendalian kegiatan farmasi, makanan dan
minuman, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan, pelayanan
perizinan kesehatan dan pelayanan kesehatan rumah tangga,
sumber daya manusia kesehatan dan pelaksanaan fungsi
kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan sesuai dengan
fungsinya.
a) Seksi Farmasi, Makanan dan Minuman, Alat Kesehatan dan
Perbekalan Kesehatan memiliki tugas melaksanakan
persiapan bahan perumusan, perencanaan,
pengkoordinasian, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta
pelaporan yang meliputi layanan kefarmasian sesuai standar
dan kompetensi pelayanan kefarmasian, layanan
pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat pelayanan
kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP),
Pengawasan produk makanan minuman industri rumah
tangga, farmasi, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan,
toko obat, toko alat kesehatan dan optikal, pengawasan
berupa pemberian peringatan, pembinaan dan tindak lanjut
sesuai peraturan yang berlaku.
b) Seksi Pelayanan Perizinan Kesehatan dan Pelayanan
Kesehatan memiliki tugas melaksanakan penyiapan bahan
perumusan, perencanaan, pengkoordinasian, pelaksanaan,
53

pemantauan, evaluasi serta pelaporan yang meliputi


layanan penerbitan izin FKTP, izin klinik utama, izin
Rumah Sakit kelas C dan D dan fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat daerah, layanan penerbitan izin apotek,
toko obat, toko alat kesehatan dan optikal, layanan
penerbitan izin Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT),
layanan penerbitan sertifikat produksi alat kesehatan kelas
1 (satu) tertentu dan PKRT kelas 1 (satu) tertentu
perusahaan rumah tangga dan layanan penerbitan izin
produksi makanan dan minuman pada industri rumah
tangga.
c) Seksi Sumber Daya Manusia Kesehatan sebagaimana
memiliki tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan,
pengkoordinasian, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta
pelaporan yang meliputi penerbitan izin praktek dan izin
kerja tenaga kesehatan, perencanaan dan pengembangan
SDM kesehatan untuk UKM dan UKP
c. Jumlah tenaga kesehatan
Tabel 2. Jumlah Tenaga Kesehatan Dinas Kesehatan Sukoharjo
No Nama Jumlah (%)
1 Bidan/ Perawat 1852 38,98
2 Pendukung Kesehatan 1276 26,86
3 Medis 546 11,49
4 Tenaga Kefarmasian 482 10,15
5 Tenaga Medis 306 6,44
6 Keterapian Fisik 87 1,83
7 Gizi 79 1,66
8 Kesmas dan Kesling 65 1,37
9 Kesehatan Lainnya 58 1,22
Jumlah 4751 100
Sumber: Profil Dinas Kesehatan Sukoharjo (2017).
4. Jenis Pelayanan dan Kesehatan
a. Kesehatan Dasar
Jumlah Puskesmas yang ada diwilayah Dinas Kesehatan
Sukoharjo terdapat 12 Puskesmas dengan rincian 10 Puskesmas
rawat inap dan 2 Puskesmas rawat jalan. Terdapat 57 Puskesmas
54

pembantu yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan


Sukoharjo dan terdapat 28 Puskesmas keliling.
b. Kesehatan Kunjungan
Rumah Sakit yang berada di wilayah Dinas Kesehatan
Sukoharjo sebanyak 9 Rumah Sakit dengan 1 Rumah Sakit umum
milik pemerintah, 6 Rumah Sakit umum milik swasta. Terdapat 2
Rumah Sakit khusus milik swasta yang berada di wilayah kerja
Dinas Kesehatan Sukoharjo yaitu Rumah Sakit Ortopedi Prof.
Dr.R. Soeharso dan Rumah Sakit. Karima Utama.
B. Analisis Situasi Di Dinas Kesehatan
1. Keadaan dan Kondisi Geografis
Dinas Kesehatan kabupaten Sukoharjo berada di wilayah
Kabupaten Sukoharjo dimana kabupaten Sukoharjo merupakan salah
satu kabupaten lingkungan karasidenanan Surakarta, letaknya
berbatasan langsung dengan 6 kabupaten/kota yaitu di sebelah utara
berbatasan dengan kota Surakarta dan kabupaten Karanganyar, sebelah
selatan berbatasan dengan kabupaten Gunung Kidul atau (DIY) dan
kabupaten Wonogiri, serta di sebelah barat merupakan berbatasan
dengan kabupaten Klaten dan Boyolali.
Luas wilayah Kabupaten Sukoharjo tercatat 466,66 Ha yang
merupakan 1,43% dari luas Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten
Sukoharjo terdiri dari 12 Kecamatan dan 167 Desa/Kelurahan.
Kecamatan terluas adalah Kecamatan Polokarto dengan luas 62,18 km2
(13,32%) dan wilayah terkecil Kecamatan Kartasura dengan luas 19,23
km2 (4,12%).
Topografi Kabupaten Sukoharjo terdiri dari wilayah daratan,
sebagai berikut:
a) Sebagian besar merupakan daerah datar dan hanya sebagian kecil
yang merupakan daerah miring dan bergelombang.
b) Berdasarkan kemiringan tanah 48,7% memiliki kemiringan antara
2-15%, 76,4% terletak pada ketinggian 100-500 m dari permukaan
air laut.
c) Sejak dibangun dan berfungsinya Bendungan Gajah Mungkur di
Kabupaten Wonogiri, hampir seluruh wilayah di Kabupaten
55

Sukoharjo cocok sebagai lahan pertanian. Hal ini yang mnyebabkan


Sukoharjo merupakan salah satu lumbung padi Provinsi Jawa
Tengah.
Letak daerah Kabupaten Sukoharjo apabila ditinjau dari posisi
koordinat adalah sebagai berikut:
a) Bagian Ujung Sebelah Timur: 110-57’ 33.70” LS
b) Bagian Ujung Sebelah Barat: 110-42’ 6.79” LS
c) Bagian Ujung Sebelah Utara: 7-32’ 17.00” BT
d) Bagian Ujung Sebelah Selatan: 7 49’ 32.00” BT
Sumber: Pertanahan Nasional Kabupaten Sukoharjo
2. Keadaan Penduduk
Jumlah balita yang berada di wilayah Dinas Kesehatan
Sukoharjo pada bulan Oktober, November, dan Desember tahun 2018
sebanyak 175.007 balita yang tersebar di 12 Puskesmas yang berada
di kecamatan Weru, Bulu, Tawangsari, Nguter, Sukoharjo, Bendosari,
Polakarto, Mojolaban, Grogol, Baki, Gatak, dan Kartasura. Distribusi
balita disajikan pada tabel 1 sebagai berikut:

Gambar 1. Jumlah Balita Pada Bulan Oktober,


November dan Desember di Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo
56

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo 2018


Berdasarkan tabel 1 terlihat jumlah balita terbanyak di
Puskesmas Grogol yaitu 25.366 balita dan yang paling sedikit berada
di posyandu Bulu sebanyak 5.356 balita.
C. Identifikasi Masalah Gizi di Dinas Kesehatan
1. Capaian program gizi Dinas Kesehatan Sukoharjo
a. Persentase kasus balita gizi buruk yang mendapat perawatan
Gambar 2. Presentase kasus balita gizi buruk yang
mendapat perawatan

Berdasarkan gambar 2 diketahui sebagian besar kasus


balita gizi buruk yang terjadi di masing-masing Puskesmas
wilayah Dinas kesehatan Sukoharjo pada tahun 2018 telah
57

ditangani dengan baik dibuktikan dengan sebagian besar


persentase kasus yang mendapatkan perawatan sebesar 100%.
b. Persentase balita yang ditimbang berat badannya
Gambar 3. Persentase Balita yang Ditimbang Berat Badannya

Berdasarkan gambar 3, sebagian besar balita di masing-


masing Puskesmas wilayah Dinas kesehatan Sukoharjo pada tahun
2018 ditimbang berat badannya, dibuktikan dengan sebagian besar
persentase balita yang berat badannya ditimbang sebesar 90%.

c. Persentase balita gizi kurang/kurus


Gambar 4. Persentase Balita Gizi Kurang/Kurus
58

Berdasarkan gambar 4, masalah gizi kurang masih menjadi


masalah di Dinas Kesehatan Sukoharjo hal ini dibuktikan dengan
tingginya persentase jumlah balita gizi kurang yang terjadi di
beberapa wilayah Puskesmas Kecamatan wilayah Dinas kesehatan
Sukoharjo pada tahun 2018.
d. Persentase balita gizi buruk/sangat kurus
Gambar 5. Persentase Balita Gizi Buruk/Sangat Kurus

Berdasarkan gambar 5, masalah gizi buruk masih menjadi


masalah di Dinas Kesehatan Sukoharjo hal ini dibuktikan dengan
persentase jumlah balita gizi kurang yang terjadi di beberapa
wilayah Puskesmas Kecamatan wilayah Dinas kesehatan
Sukoharjo pada tahun 2018.
59

e. Persentase bayi usia 6 bulan mendapat Asi eksklusif


Gambar 6. Presentase Bayi Usia 6 Bulan Mendapat
Asi Eksklusif

Berdasarkan gambar 6, persentase balita yang


mendapatkan Asi eksklusif pada tahun 2018 belum terrealisasikan
secara sempurna hal ini terlihat masih terdapat Puskesmas yang
memiliki persentase Asi eksklusif rendah pada tahun 2018 yang
terjadi di 8 Puskesmas Dinas Kesehatan Sukoharjo.

f. Persentase balita 6-59 bulan mendapat kapsul vitamin A


Gambar 7. Persentase Balita Mendapatkan Vitamin A
60

Berdasarkan gambar 7, persentase pemberian vitamin A


pada tahun 2018 di Dinas Kesehatan Sukoharjo sudah
terrealisasikan secara sempurna.

g. Persentase ibu hamil mendapat tablet tambah darah (TTD) 90


tablet
Gambar 8. Persentase Ibu Hamil Mendapat Tablet Tambah Darah
(TTD) 90 Tablet
61

Berdasarkan gambar 8, persentase pemberian TTD pada


ibu hamil pada tahun 2018 di Dinas Kesehatan Sukoharjo sudah
terrealisasikan secara sempurna dan selalu meningkat.
h. Persentase ibu nifas yang mendapat kapsul vitamin A
Gambar 9. Persentase ibu Nifas Yang Mendapatkan Kapsul
Vitamin A

Berdasarkan gambar 9, persentase ibu Nifas Yang


Mendapatkan Kapsul Vitamin A pada tahun 2018 di Dinas
Kesehatan Sukoharjo selalu meningkat disetiap bulan.
i. Persentase ibu hamil kekurangan energi kronik (KEK)
Gambar 10. Persentase Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronik
(KEK)
62

Berdasarkan gambar 10, persentase Ibu Hamil KEK pada


tahun 2018 di Dinas Kesehatan Sukoharjo didominasi di wilayah
Puskesmas Polokarto.
j. Persentase ibu hamil anemia
Gambar 11. Persentase Ibu Hamil Anemia

Berdasarkan gambar 11, persentase Ibu Hamil Anemia


pada tahun 2018 di Dinas Kesehatan Sukoharjo didominasi di
wilayah Puskesmas Mojolaban.
2. Pencapaian Program Gizi Dinas Kesehatan Sukoharjo Bulan Oktober,
November dan Desember.
a. Persentase balita dengan gizi lebih berdasarkan BB/U pada 3
bulan terakhir di tahun 2018 sebesar 12,8% yang didominasi di
wilayah Puskesmas kecamatan Mojolaban dan Bendosari.
63

Gambar 12. Prevalensi Balita Gizi Lebih


Berdasarkan BB/U

b. Persentase balita dengan gizi buruk berdasarkan BB/U pada 3


bulan terakhir di tahun 2018 sebesar 5,71% yang didominasi di
wilayah Puskesmas kecamatan Bendosari, Mojolaban dan Gatak.
Gambar 13. Prevalensi Balita Gizi Buruk BB/U

c. Persentase balita yang berada di bawah garis merah berdasarkan


KMS pada 3 bulan terakhir di tahun 2018 sebesar 4,82% yang
didominasi di wilayah Puskesmas kecamatan Nguter, Bendosari
dan Mojolaban.
Gambar 14. Prevalensi Balita BGM
64

d. Persentase ibu hamil dengan anemia pada 3 bulan terakhir di


tahun 2018 sebesar 78,22% yang didominasi di Puskesmas
Mojolaban dan Weru.
Gambar 15. Ibu Hamil Anemia

e. Persentase pencapaian Asi eksklusif balita pada usia 0-6 bulan


pada 3 bulan terakhir di tahun 2018 yang mendapatkan ASI
eksklusif sebesar 48,28% dan 51,72% balita tidak mendapatkan
ASI eksklusif. Pencapaian Asi eksklusif rendah didominasi di
wilayah Puskesmas Weru, Tawangsari, Bendosari, Polokarto,
Mojolaban, Gatak, Baki, dan Kartasura.
Gambar 16. Asi Eksklusif Usia 0-6 Bulan
65

f. Persentase balita usia < 6 bulan pada 3 bulan terakhir di tahun


2018 dengan ASI eksklusif pada 3 bulan terakhir di tahun 2018
yang mendapatkan ASI eksklusif sebesar 79,58% dan 20,42%
balita tidak mendapatkan ASI eksklusif dan didominasi wilayah
Puskesmas Gatak.
Gambar 17. Asi Eksklusif balita usia >6 Bulan

D. Prioritas Masalah Gizi di Dinas Kesehatan


Gambar 18. Prioritas Masalah Gizi di Dinas Kesehatan
Aspek Masalah C A R L Skor Peringkat

Cakupan bumil anemia 8 5 6 7 1680 4

Prevalensi balita yang mengalami gizi 7 6 7 7 2058 3


buruk
Prevalensi balita yang mengalami gizi 7 7 7 7 2401 2
lebih
66

Kenaikan jumlah balita yang berada di 6 7 5 6 1260 5


BGM
ASI eksklusif 0-6 bulan 9 8 8 8 4608 1

ASI eksklusif < 6 bulan 5 5 6 7 1050 6

E. Alternatif Pemecahan Masalah Gizi di Dinas Kesehatan


1. Intervensi Gizi Sensitif
a. Pemberdayaan perempuan yaitu dengan melakukan sosialisasi dan
pemberdayaan agar wawasan tentang pernikahan, kehamilan,
reproduksi, menyusui dan segala hal yang berhubungan dengan
keluarga sudah dikantongi calon ibu.
b. Pendidikan dan KIE Gizi
c. Pendidikan dan KIE Kesehatan
2. Intervensi Spesifik
a. Pendidikan/penyuluhan mengenai pentingnya ASI eksklusif bagi
bayi yang bertujuan memberikan kesadaran terhadap peserta
penyuluhan supaya mau mengetahui pentingnya asi ekslusif serta
mampu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan/penyuluhan ini membahas mengenai pengertian Asi
eksklusif, fungsi ASI eksklusif, dan keuntungan menerapkan ASI
eksklusif dalam kehidupan sehari-hari.
b. Pendidikan/penyuluhan serta demo masak mengenai bahaya
anemia yang terjadi pada ibu hamil serta pengaturan pola makan
yang baik bagi ibu selama masa kehamilan dan meningkatkan
kreatifitas dalam pengolahan bahan makanan.
c. Pendidikan/penyuluhan mengenai gizi seimbang guna menurunkan
persentase kejadian malnutrisi dan menurunkan persentase balita
yang berada dibawah garis merah serta meningkatkan
keanekaragaman asupan pangan yang memiliki niai gizi tinggi
serta seimbang.
d. Pembuatan media kesehatan berupa leaflet yang bertujuan untuk
Memberikan informasi dan meningkatkan pemahaman dan
memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya
ASI ekslusif untuk bayi usia 0-6 bulan.
1) Pemberian PMT untuk ibu menyusui
67

2) Mengadakan demo masak untuk membuat PMT ibu menyusui


yang bisa memperlancar pengeluaran ASI (sasaran : kader
posyandu dan ibu menyusui)

F. Penentuan Prioritas Alternatif Pemecahan Masalah


1. Analisis Pohon Analisis Masalah

Target pencapaian ASI Eksklusif tidak


optimal

Cakupan ASI Eksklusif rendah

Kesadaran Ibu Kinerja Tenaga Peran kader yang


masih rendah Kesehatan yang kurang optimal
kurang optimal

Jumlah tenaga kesehatan di Kinerja kader yang


bidang gizi masih kurang kurang

Motivasi kader
yang kurang
68

Pengetahuan Rasa percaya diri Dukungan keluarga


tentang ASI yang kurang dan lingkungan
Eksklusif yang kurang
kurang

2. Analisis Pohon Analisis Tujuan

Target pencapaian ASI Eksklusif tercapai secara optimal

Cakupan ASI Eksklusif meningkat

Kesadaran Ibu Kinerja Tenaga Kesehatan Peran kader yang


meningkat yang optimal optimal

Jumlah tenaga kesehatan di


bidang gizi cukup Kinerja kader yang
baik

Motivasi kader yang


cukup

Pengetahuan tentang Rasa percaya diri Dukungan keluarga dan


ASI Eksklusif meningkat lingkungan cukup
meningkat
69

3. Analisis Pohon Alternatif Pemecahan Masalah

Tercapainya target pencapaian ASI


Eksklusif secara optimal

Tercapainya Cakupan ASI eksklusif


meningkat

Kesadaran Ibu mengenai manfaat dan


pentingnya ASI Eksklusif meningkat

Pengetahuan mengenai manfaat dan


pentingnya ASI Eksklusif meningkat

Pemberian Penyuluhan dan Mengadakan demo Pendidikan Pemberdayaan


media konseling gizi masak untuk dan KIE gizi perempuan (sosialisasi
pendidikan mengenai membuat PMT ibu dan tentang pernikahan,
seperti pentingnya ASI menyusui yang kesehatan kehamilan, reproduksi,
leaflet Eksklusif dan bisa memperlancar menyusui , dan segala
manfaaatnya pengeluaran ASI hal yang berhubungan
dengan keluarga untuk
bekal calon ibu )
70

4. Pembahasan ASI Eksklusif


a. Definisi Asi Eksklusif
ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu / ASI saja pada
bayi usia 6 bulan, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula,
air teh, air putih, air jeruk, serta tanpa padat seperti pisang, bubur
susu, biskuit dan bubur nasi (Angga, 2016).
b. Manfaat ASI
Menurut Angga (2016) ASI mempunyai beberapa manfaat yaitu
(Angga, 2016):
1) Manfaat ASI bagi Ibu
a. Memperkuat ikatan batin dan kasih sayang antara ibu dan
bayi
b. Mempercepat berhentinya pendarahan setelah melahirkan
c. Mempercepat pengembalian bentuk dan ukuran rahim
d. Menjarangkan kehamilan atau sebagai alat KB alami
e. Mengurangi kemungkinan terjadinya kanker payudara
f. Menghemat pengeluaran uang karena ASI gratis
2) Manfaat pemberian ASI bagi Bayi
a. Sebagai makanan terbaik yang mudah dicerna dan sesuai
dengan pencernaan bayi
b. Memberikan kekebalan tubuh alami bagi bayi dan
mencegah infeksi
c. Mencegah terjadinya alergi pada bayi
d. Menunjang perkembangan rahang, gigi dan gusi bayi
dikemudian hari
e. Pertumbuhan dan perkembangan lebih optimal dan
mencerdaskan otak bayi
c. Perawatan Payudara saat Hamil
71

Merawat payudara merupakan hal penting dilakukan saat


hamil supaya air susu bisa diproduksi dengan lancar. Berikut teknik
memijat payudara yang tepat (Angga, 2016):
1) Hangatkan payudara dengan handuk hangat selama 2 menit, 4-
5 kali.
2) Memulai pemijatan di area sekitar puting dengan cara memijat
perlahan keatas dan kebawah.
3) Pijat dengan perlahan ke arah atas dan bawah dari kanan ke
kiri (5-6 kali untuk setiap payudara).
4) Pijat bentuk melingkar dan sprial ke arah areola (3-4 kali untuk
setiap payudara).
5) Pijat melingkar mengikuti bundaran payudara (5-6 kali untuk
setiap payudara).
d. Tekhnik Menyusui yang Tepat
Tanda posisi yang tepat saat menyusui adalah sebagai berikut
(Angga, 2016):
1) Kepala ibu dan bayi dalam satu garis lurus
2) Seluruh badan bayi ditopang
3) Bayi dipegang dekat dengan badan ibu
4) Bayi mendekat pada payudara ibu
72

G. Plan Of Action (Rencana Kegiatan)


1. Pendidikan/Penyuluhan

Kegiatan Tujuan Materi Sasaran Kerjasama Metode Lokasi


Lintas
Penyuluhan Setelah dilakukan 1) Pengertian Ibu Mahasiswa dan Ceramah Posyandu
mengenai penyuluhan diharapkan ASI ekslusif menyusui/ Petugas dan
pentingnya ASI semua ibu menyusui/ 2) Fungsi ASI kader kesehatan dan diskusi
ekslusif bagi bayi kader posyandu ekslusif. posyandu posyandu.
penyuluhan sadar, mau, 3) Keuntungan
dan mampu, menerapkan
mengetahui pentingnya ASI ekslusif
ASI ekslusif dan bayi 0-6 bulan.
mampu
mengaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
73

2. Demo Pembuatan Menu Memperlancar ASI

Kegiatan Tujuan Materi Sasaran Kerjasama Metode Lokasi


Lintas
Demo pemilihan 1. Meningkatkan 1. Menu sehat Ibu Mahasiswa Demonstrasi Posyandu
dan pengolahan pemahaman dan untuk ibu menyusui dan petugas
bahan makanan 2. kreatifitas menyusui /kader kesehatan
yang baik untuk masyarakat 2. Kandungan posyandu
ibu menyusui dalam zat gizi
pengolahan
bahan makanan
untuk ibu
menyusui,
74

3. Pembuatan Media Kesehatan


75

Kegiatan Tujuan Materi Sasaran Kerjasama Metode Lokasi


Lintas
Pembuatan Memberikan 1) Pengertian Ibu menyusui Mahasiswa Promosi Posyandu
media informasi. ASI ekslusif. dan kader dan petugas kesehatan
leaflet Meningkatkan 2) Fungsi ASI posyandu kesehatan.
pemahaman dan ekslusif.
memberikan 3) Keuntungan
informasi kepada Ibu menerapkan
menyusui dan kader ASI ekslusif
posyandu mengenai bayi 0-6
pentingnya ASI bulan.
ekslusif untuk bayi
usia 0-6 bulan.

4. Pendidikan dan Komunikasi Edukasi Gizi Kesehatan serta Pemberdayaan Perempuan


76

Kegiatan Tujuan Materi Sasaran Kerjasama Metode Lokasi


Lintas
Pendidikan dini Membangun dan 1) Pengertian remaja Remaja, Mahasiswa dan Ceramah Posyandu
generasi sehat menciptakan generasi dan keluarga sehat calon Petugas dan
sehat untuk 2) Bahaya pergaulan pengantin, kesehatan dan diskusi
menciptakan kehidupan bebas ibu hamil, posyandu.
di masa depan yang 3) Sosialisasi tentang ibu
lebih baik dan mampu pernikahan, menyusui,
mengaplikasikan dalam kehamilan, suami.
kehidupan di masa reproduksi,
depan menyusui , dan
segala hal yang
berhubungan
dengan keluarga
untuk bekal calon
ibu
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Struktur organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo terdiri dari
kepala dinas, sekretaris yang membawahi sub bagian perencanaan dan
keuangan serta sub bagian umum dan kepegawaian, bidang kesehatan
masyarakat membawahi seksi kesehatan keluarga dan gizi masyarakat,
seksi promosi dan pemberdayaan masyarakat serta seksi kesehatan
lingkungan, kesehatan kerja dan olahraga, bidang pencegahan dan
pengendalian penyakit membawahi seksi surveilans dan imunisasi,
seksi pencegahan dan pengendalian penyakit menular, seksi
pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular dan kesehatan
jiwa, bidang pelayanan dan sumber daya kesehatan membawahi seksi
pelayanan dan pembiayaan kesehatan, seksi farmasi makanan,
minuman, alat kesehatan dan peralatan kesehatan rumah tangga, seksi
sumber daya manusia dan sertifikasi kesehatan.
2. Masalah gizi yang terjadi di kabupaten Sukoharjo terdiri dari 5 hal
yaitu ibu hamil anemia, ibu hamil KEK, ASI eksklusif, status gizi
balita dan balita bawah garis merah.
3. Identifikasi masalah gizi di Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo
terdiri dari status gizi balita berdasarkan BB/U, balita yang berada di
bawah garis merah, ibu hamil dengan anemia, ASI eksklusif.
4. Prioritas masalah yang terdapat di Dinas Kesehatan Kabupaten
Sukoharjo adalah ASI eksklusif.
5. Alternatif pemecahan masalah gizi di Dinas Kesehatan Kabupaten
Sukoharjo adalah melakukan pemberian makanan tambahan bagi ibu
hamil KEK, pemberian tablet tambah darah bagi ibu hamil, ASI
eksklusif, IMD, pemberian makanan tambahan, sosialisasi,
meningkatkan pengetahuan kader dan kelas ibu hamil.
6. Model perencanaan program gizi masyarakat adalah berdasarkan
capaian atau cakupan program gizi tahun sebelumnya yang masih
rendah, yang dievaluasi penyebabnya dan diajukan anggarannya.

77
78

7. Strategi dan kebijakan perencanaan program pangan gizi terdiri dari


pembinaan perbaikan gizi masyarakat (ibu hamil KEK, pemberian
tablet tambah darah bagi ibu hamil, ASI eksklusif, IMD, pemberian
makanan tambahan), sosialisasi, pemeriksaan Hb, meningkatkan
pengetahuan kader dan kelas ibu hamil.
8. Kegiatan Program UPGK di Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo
pada upaya penanggulangan masalah gizi antara lain persentase balita
bawah garis merah (BGM), cakupan pemberian TTD, gangguan akibat
kekurangan yodium (GAKY), cakupan ASI eksklusif rendah, cakupan
ibu hamil KEK, cakupan berat badan bayi lahir rendah dan cakupan
IMD.
9. Kegiatan program Gizi Institusi (UPGI) di Dinas Kesehatan Kabupaten
Sukoharjo terdiri dari UPGI di sekolah, UPGI di Pabrik, dan posyandu
lansia.
10. Sistem monitoring dan evaluasi program gizi masyarakat dilaksanakan
dengan :
a) Pertemuan PWS gizi (Pemantauan Wilayah Setempat) sebanyak 2
kali setahun dengan metode presentasi dan diskusi yang
dilaksanakan oleh Kasie Kesga Gizi dengan sasaran petugas gizi
puskesmas agar cakupan indikator program gizi secara terus
menerus dapat dipantau dan dapat dilakukan tindak lanjut secara
tepat dan tepat terhadap wilayah yang cakupan indikator program
gizinya masih rendah.
b) Bimtek program gizi ke 12 puskesmas sebanyak 1 kali dengan
metode diskusi dan pengisian check list yang dilaksanakan oleh
Kasie Kesga Gizi dengan sasaran petugas gizi puskesmas agar
pelaksanaan program gizi secara teknis dan administratif dapat
terpantau.
c) Pemantauan pelaksanaan progam pil pintar dan outlet TTD mandiri
di sekolah wilayah kabupaten Sukoharjo sebanyak 2 kali dengan
metode kunjungan lapangan yang dilaksanakan oleh Kasie Kesga
Gizi dengan sasaran guru UKS dan siswa putri.
79

d) Pemantauan PMT difabel di 8 sanggar sebanyak 1 kali dengan


metode kunjungan pada saat pelaksanaan pemberian makanan
tambahan dan penyuluhan kepada sasaran yang dilaksanakan oleh
Kasie Kesga Gizi di 8 sanggar dengan sasaran balita peserta
sanggar difabel.
e) Perjalanan ke luar daerah ke Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah sebanyak 2 kali yang dilaksanakan oleh Kasie Kesga Gizi
dengan metode diskusi dan sasarannya adalah Seksi Kesga Gizi
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dengan agenda kegiatan
koordinasi dan konsultasi dengan tim gizi Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah agar perbaikan gizi masyarakat di tingkat
kabupaten sesuai dengan juklak juknis provinsi.
B. Saran
Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo Program gizi yang ada
telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo sesuai yang
direncakan dan sudah berjalan dengan baik, namun untuk kegiatan
pemberian makanan tambahan anak difabel belum merata, dan masih
terbatas pada sanggar inklusi saja, sehingga perlu dilakukan pemerataan
pemberian makanan tambahan lagi seperti di Sekolah Luar Biasa (SLB)
dan kunjungan langsung kerumah anak difabel.
DAFTAR PUSTAKA

Adriana, D. 2011. Tumbuh Kembang Dan Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta :
Salemba Medika.

Almatsier, S. 2013. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Angga. 2016. Manajemen Laktasi. Online. http://gizi.fk.ub.ac.id/manajemen-


laktasi/. Diakses pada 18 Maret 2019.

Ansari, NB,. Badruddin SH,. Karmaliani R,. Harris H,. Jehan I,. Pasha O,. Moss
N,. McClure EM,. Goldenberg R.L. 2008. Anemia Prevalence And Risk
Factors In Pregnant Women In An Urban Area of Pakistan. Food and
Nutrition Bulletin, vol. 29(2). The United Nations University.

Aries, M. D. 2006. Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Status Gizi Buruk dan
Biaya Penanggulangannya pada Balita di Berbagai Provinsi Di
Indonesia. Jurnal Gizi dan Pangan.1(2):26-33.

Arisman. 2014. Gizi da/am Daur Kehidupan. Jakarta: EGG.

As’ad. 2013. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Jakarta:EGC.

Bappenas. 2007. Laporan Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2007. Jakarta:


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Bappenas. 2007. Peta jalan percepatan pencapaian tujuan pembangunan


milenium di Indonesia. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional.

Biro Perencanaan Departemen Kesehatan RI dan Fakultas Kesehatan Masyarakat


UniveRSitas Indonesia. 2002. Perencanaan dan Penganggaran Terpadu
(Integrated Health Planning and Budgetting), Penentuan Prioritas
Masalah Kesehatan (Modul – 05). Jakarta: Depkes RI.

Budiharja. 2011. Peningkatan Pemberian ASI Eksklusif Bagi Bayi Dalam


Mendukung MDGs.

Buzan, T. 2008. Buku Pintar Mind Map. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Denas Symond. 2013. Penentuan Prioritas Masalah Kesehatan Dan Prioritas Jenis
Intervensi Kegiatan Dalam Pelayanan Kesehatan di Suatu
Wilayah.Yogyakarta : Graha Ilmu

Departemen Gizi dan Kesehatan FKM UI. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: Rajawali Press.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pengertian Balita Bawah Garis Merah (BGM).
Jakarta.

Depkes RI. 2008. Pedoman Pemantauan Status Gizi (PSG) dan Keluarga Sadar
Gizi (Kadarzi). Jakarta: Depkes RI.

Depkes. 2007.Program Perbaikan Gizi Makro. Dapertemen Kesehatan Republik


Indonesia.

Devi, M. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi


Balita Di Pedesaan. Jurnal Teknologi dan Kejuruan. Vol. 33(2).
Direktorat Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah 2014-2019. Jakarta 2014.

Direktorat Gizi Masyarakat. Kemenkes RI. 2014. Pedoman Surveilans Gizi.


Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Fritschel, H., Tera C., John W.H., and Andrew M. 2014. Global Nutrition Report
2 Actions and Accountability to Accelerate the World’s Progress on
Nutrition. Washington, DC : International Food Policy Research Institute.
Hasan, Y. Saputra, W. 2008. Ketahanan Pangan dan Kemiskinan: Implementasi
dan Kebijakan Penyesuaian. Jurnal Ipteks Terapan. 2(1):146-168.

Hasibuan, M.S.P. 2007. Manajemen, Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta:


bumi Aksara.

Irianto, K. 2014. Gizi Seimbang dalam Kesehatan Reproduksi. Bandung: Alfabet.

Kemenkes RI. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan


Kementerian Kesehatan RI. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kemenkes RI. 2013. Pusat Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Kemenkes RI. 2014. Modul Pelatihan Surveilans Gizi. Jakarta: Direktorat Bina
Kemenkes RI. 2014. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2014-2019.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pemantauan Status Gizi
Dilakukan di Seluruh kabupaten/Kota di Indonesia. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.

Marut, U.D. 2007. Aspek Sosial Ekonomi dan Kaitannya dengan Masalah Gizi
Kurang di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan
Pangan. 2(3):36 43.

Mubarak, W. I dan Chayatin, N. 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori dan


Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.

Muninjaya, A. A. 2004. Manajemen Kesehatan edisi ke-2. Jakarta : EGC.

Nadya, SuwaRSih. 2007. Teori dan Tehnik Penelitian Tindakan. Bandung:


Alfabeta

Novitasari, DA. 2012. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk pada Balita yang
Dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Skripsi. Program Pendidikan
Sarjana Kedokteran UniveRSitas Diponegoro.

Profil Dinas Kesehatan Sukoharjo. 2017

Proverawati, A dan Wati, E.K. 2011. Ilmu Gizi untuk Keperawatan dan Gizi
Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika.

Proverawati, A.A.S. 2009. Buku Ajar Gizi dan Kebidanan. Nuha Medika,
Yogyakarta.

Riset Kesehatan Dasar. 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.


Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Rufia. 2014. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Variasi Makanan dengan Status
Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mandiangin Kota Bukittinggi
Tahun 2014. Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi. 5(2).

Solihin, D. 2008. Dasar-Dasar Monitoring dan Evaluasi Perencanaan


Pembangunan. Bogor: Bappenas.

Sulaiman A. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019.


Jakarta:Kementerian Pertanian.

Sulistiyoningsih, H. 2011. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Supariasa, IDN., Bakri, B., Pajar, I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran.

Supriyanto dan Damayanti. 2007. Perencanaan dan Evaluasi. Surabaya:


Universitas Airlangga Press.

Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di
Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Program dan Abstrak. Jakarta,
Indonesia: LIPI.

Zaluchu, Fotarisman. 2007. Faktor Sosio-Psikologi Masyarakat yang


Berhubungan dengan Anemia Ibu Hamil di Kota Tanjung Balai, Sumatra
Utara. Skripsi. Medan: Universitas Sumatra Utara
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai