Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudah berlangsung sejak lama
dan hingga kini masih terus digunakan oleh bangsa Indonesia dalam
mengatasi masalah kesehatan. Menurut World Health Organization (WHO)
bahwa 80% penduduk negara berkembang menggunakan obat tradisional
sebagai pemeliharaan kesehatan dan 85% pengobatan tradisional dalam
prakteknya menggunakan tanaman obat. Faktor pendukung terjadinya
peningkatan pengobatan tradisional dalam upaya pemeliharaan kesehatan
yaitu mahalnya harga obat sintetik karna sebagian bahan bakunya masih
impor (Badan POM RI, 2010).

Mengikuti perkembangan waktu saat ini, masyarakat mulai beralih


menggunakan pengobatan herbal dalam penyembuhan penyakit yang di
derita. Hal tersebut disebabkan karna adanya peningkatan kepercayaan
terhadap status kesehatan masyarakat. Salah satu tumbuhan yang telah lama
digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan obat-obatan adalah putri
malu (Mimosa pudica Linn). Putri malu (Mimosa pudica Linn) adalah jenis
tumbuhan yang berasal dari famili Fabaceae yang telah dikenal luas sehingga
mempunyai beberapa nama daerah, misalnya: Rebah bangun (Melayu); Jukut
barangan (Sunda); Ki Sirepan (Jawa); Rebha lo-malowan (Madura) (Badan
POM RI, 2013).

Masyarakat Indonesia memanfaatkan putri malu (Mimosa pudica Linn)


untuk mengobati berbagai penyakit seperti insomnia, radang mata akut,
kencing batu, panas tinggi pada anak-anak, cacingan, peradangan saluran
napas (bronchitis) dan herpes. Sedangkan bijinya mengandung mimosin yaitu
senyawa asam amino yang dapat menyebabkan rambut rontok. Bagian akar
tanamannya dapat dimanfaatkan untuk pengobatan asam urat, bronkitis
(radang saluran nafas), asma, batuk berdahak, dan malaria (Dalimartha, 2000)
pemakaian putri malu (Mimosa pudica Linn) dalam dosis tinggi bisa
mengakibatkan keracunan dan muntah-muntah.
1
2

Asam urat merupakan penyakit metabolisme yang berhubungan dengan


tidak normalnya jumlah asam dalam tubuh, sehingga kristal asam urat
mengendap pada sendi dan ginjal, hal ini menyebabkan peradangan serta
radang sendi. Asam urat merupakan produk akhir penguraian purin manusia.
Pada metabolisme purin, xantin dan hipoxantin dioksidasi menjadi asam urat
oleh enzim xantin oksidase. Ini menunjukkan bahwa produksi berlebih asam
urat atau pengurangan eksresi asam urat dapat menimbulkan hiperurisemia
(Hayani, 2011).

Asam urat merupakan salah satu penyakit metabolik (metabolic syndrom)


yang terkait dengan pola makan diet tinggi purin dan minuman beralkohol.
Penimbunan kristal monosodium urat (MSU) pada sendi dan jaringan lunak
merupakan pemicu utama terjadinya peradangan atau inflamasi pada gout
artritis (Nuki dan Simkin, 2006). Artritis gout adalah jenis artritis terbanyak
ketiga setelah osteoartritis dan kelompok rematik luar sendi (gangguan pada
komponen penunjang sendi, peradangan, penggunaan berlebihan)
(Nainggolan, 2009). Penyakit ini mengganggu kualitas hidup penderitanya.
Peningkatan kadar asam urat dalam darah (hiperurisemia) merupakan faktor
utama terjadinya artritis gout (Roddy dan Doherty, 2010). Masalah akan
timbul jika terbentuk kristal-kristal monosodium urat (MSU) pada sendi-sendi
dan jaringan sekitarnya. Kristal-kristal berbentuk seperti jarum ini
mengakibatkan reaksi peradangan yang jika berlanjut akan menimbulkan
nyeri hebat yang sering menyertai serangan artritis gout (Carter, 2006).
Adapun maksud percobaan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pengaruh hasil fraksinasi ekstrak etanol putri malu (Mimosa pudica Linn)
terhadap kadar asam urat serum darah mencit putih jantan.
3

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang menjadi inti

penelitian ini adalah:

Bagaimana pengaruh hasil fraksinasi ekstrak etanol putri malu (Mimosa

pudica Linn) terhadap kadar asam urat serum darah mencit putih jantan?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui pengaruh fraksinasi ekstrak etanol putri malu (Mimosa
pudica Linn) terhadap kadar asam urat serum darah mencit putih jantan.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi peneliti sendiri, Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah wawasan khususnya dunia kesehatan tentang fraksinasi ekstrak
etanol putri malu (Mimosa pudica Linn) terhadap kadar asam urat serum
darah mencit putih jantan dan dapat menambah wawasan dibidang ilmu
kefarmasian terutama pengembangan dan penelitian obat baru.
2. Bagi masyarakat dapat menginformasikan bahwasanya putri malu sangat
berguna dan bernilai sebagai bahan ekonomis.
3. Untuk mengaplikasi ilmu yang di dapat di Universitas Mohammad Natsir
Bukittinggi
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tinjauan Botani Tanaman Putri Malu (Mimosa pudica Linn)


2.1.1. Klasifikasi Tanaman Putri Malu (Mimosa pucida Linn) (Jayani, 2007).

Gambar 1. Putri Malu (Mimosa pucida Linn)


Kingdom : Plantae
Divisio : Spermtophyta
Classis : Angioospermae
Ordo : Rosales
Suku : Mimosaceae
Familia : Mimosaceae
Genus : Mimosa
Spesies : Mimosa Pudica Linn
Nama Daerah dan Asing : Di indonesia adalah putri malu (indonesia);
sihirput, sikerput (Batak); padang getap (Bali); daun kaget-kaget
(Manado); rebah bangun (Minangkabau); kucingan (Jawa); rondo kagit
(Sunda); todusan (Madura). Sedangkan untuk nama asing tumbuhan putri
malu di berbagai negara yakni han xiu cau (China); makahiya (Filipina);
malu-malu (Malaysia); mai yarap (Thailand); mori vivi (Hindu Barat);
mac co (Vietnam) dan shame plant, sensitive plant (Inggris)
2.1.2. Habitat
Tumbuhan putri malu (Mimosa pudica Linn) membutuhkan
kondisi lingkungan yang sesuai untuk dapat tumbuh dengan baik.
Tanaman ini dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropis seperti
Indonesia dengan ketinggian 1 - 1200 m di atas permukaan laut. Putri
5

malu (Mimosa pudica Linn) biasanya tumbuh merambat atau kadang


berbentuk seperti semak dengan tinggi antara 0,3 - 1,5 m. Putri malu
(Mimosa pudica Linn) biasa tumbuh liar di pinggir jalan atau di
tempat-tempat terbuka yang terkena sinar matahari (Faridah, 2007)

2.1.3. Morfologi
Tumbuhan putri malu (Mimosa pudica Linn) memiliki morfologi
sebagai berikut:

a. Akar
Tumbuhan putri malu memiliki akar tunggang berwarna
putih kekuningan. Diameter akar tidak labih dari 1 - 5 mm. Akar
mimosa memiliki bau yang khas yakni menyerupai buah jengkol
b. Batang
Putri malu memiliki batang berbentuk bulat, berbulu, dan
berduri tajam. Bagian batang putri malu terdapat bulu halus dan
tipis berwarna putih dengan panjang sekitar 1 - 2 mm. Batang
muda berwarna hijau mencolok dan batang tua berwarna merah
c. Daun
Bentuk daun menyirip dan bertepi rata. Daun berbentuk
kecil tersusun secara majemuk, berbentuk lonjong serta letak daun
berhadapan. Warna daun hijau namun ada juga yang berwarna
kemerah-merahan. Warna daun bagian bawah dari putri malu
(Mimosa pudica Linn) berwarna lebih pucat. Bila tersentuh, daun
putri malu akan segera menguncup atau menutup. Pada tangkai
daun terdapat duri-duri kecil
d. Bunga
Bunga berbentuk bulat seperti bola, warnanya merah muda
dan bertangkai serta bentuk bunga berambut. Putik berwarna
kuning dan tangkai bunga berbulu halus. Pada saat matahari
tenggelam, bunga akan menutup seakan layu dan mati, tapi jika
terkena sinar matahari lagi maka bunga itu akan kembali mekar
6

e. Buah
Buah dari putri malu menyerupai buah kedelai dalam
ukuran kecil. Pada buah putri malu, terdapat bulu-bulu halus
berwarna merah, namun hanya terdapat pada bagian tertentu saja.
Tangkai buah memiliki panjang tangkai sekitar 3 - 4 cm dengan
diameter 1 - 2 mm. Pada satu tangkai buah, terdapat 10 - 20 buah
dengan pangkal buah melekat pada ujung tangkai. Ketika buah
telah masak, buah tersebut akan pecah sehingga bijinya akan jatuh
dan menyebar ke segala arah. Biji ini nantinya akan tumbuh
menjadi tunas baru. Buah yang mentah maupun telah masak
berwarna hijau (Dalimartha, 2008).

2.2. Ekstraksi dan Ekstrak


2.2.1 Defenisi Ekstrak
Ekstrak adalah sedian kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok diluar pengaruh dari
sinar matahari langsung (Farmakope Herbal Indonesia, 2009).
Cara pembuatan ekstrak diawali dengan proses penyarian. Penyarian
simplisia dilakukan dengan cara maserasi, perkolasi, atau penyeduhan
dengan air mendidih. Penyarian dengan campuran etanol dan air dapat
dilakukan dengan cara maserasi atau perkolasi (Farmakope Herbal
Indonesia, 2009).
2.2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperoleh
kandungan senyawa kimia dari jariangan tumbuhan maupun hewan.
Cairan penyari dapat berupa air, etanol, dan campuran air (Farmakope
Herbal Indonesia, 2009). Ekstraksi adalah kegiataan penarikan kandungan
kimia yang dapat larut dengan pelarut cair.
Ekstraksi pelarut yaitu metode pemisahan komponen dari suatu
campuran menggunakan suatu pelarut yang bertujuan untuk menarik zat
aktif dalam sampel. Pelarut yang digunakan didasarkan pada kemampuan
7

melarutkan zat aktif dalam jumlah yang maksimum, sehingga terbentuklah


ekstrak (hasil ekstraksi yang mengandung berbagai komponen kimia).
Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan
perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur
(Susanty F, 2016).
Proses pembuatan ekstrak yang baik menurut (Depkes RI, 2000) harus
melewati beberapa tahapan proses, yaitu sebagai berikut:
1. Pembuatan serbuk simplisia
2. Pemilihan cairan pelarut
3. Separasi dan pemurnian
4. Pemekatan / penguapan
5. Pengeringan ekstrak
6. Rendemen

2.2.3 Metode Ekstraksi


Ekstraksi adalah proses pemisahan satu atau lebih komponen dari

suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solven) sebagai

separating agent. Ekstraksi cair-cair (liquid extraction, solvent extraction):

solute dipisahkan dari cairan pembawa (diluen) menggunakan solven cair.

Campuran diluen dan solven ini adalah heterogen (immiscible, tidak saling

campur), jika dipisahkan terdapat 2 fase, yaitu fase diluen (rafinat) dan

fase solven (ekstrak).

Fase rafinat = fase residu, berisi diluen dan sisa solut.

Fase ekstrak = fase yang berisi solut dan solven.

Pemilihan solven menjadi sangat penting, dipilih solven yang memiliki

sifat antara lain:

a. Solut mempunyai kelarutan yang besar dalam solven, tetapi solven

sedikit atau tidak melarutkan diluen;


8

b. Tidak mudah menguap pada saat ekstraksi;

c. Mudah dipisahkan dari solut, sehingga dapat dipergunakan kembali;

d. Tersedia dan tidak mahal.

Gambar 2. Ekstraksi (adaptasi dari www.google.co.id)

Adapun beberapa metode ekstraksi yang telah dijelaskan dalam


parameter standar umum ekstraksi, (Depkes RI, 2000) yaitu meliputi cara
dingin dan cara panas.
Cara dingin:
1. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi
termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi
pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukanyang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi adalah
dilakukan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan
maserat pertama dan seterusnya.
2. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan
bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh
ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1- 5 kali bahan.
9

Cara panas:
1. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya
dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali
sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
2. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi
ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan
adanya pendingin balik.
3. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu
secara umum dilakukan pada temperatur 40 - 50°C.
4. Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas
air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur
terukur 96-98°C) selama waktu tertentu (15 - 20 menit).
5. Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (~30°C) dan
temperatur sampai titik didih air.

2.3 Fraksinasi
Fraksinasi merupakan metode pemisahan campuran menjadi beberapa fraksi
yang berbeda susunannya. Fraksinasi diperlukan untuk memisahkan golongan
utama lainnya. Fraksinasi merupakan suatu prosedur pemisahan senyawa
berdasarkan perbedaan kepolarannya. Metode pemisahan yang banyak dilakukan
adalah metode estraksi cair-cair dan kromatografi (Hardjono Sastrohamidjojo,
1996).

2.4 Asam Urat


2.4.1 Pengertian Asam Urat
Penyakit asam urat atau biasa dikenal sebagai gout arthritis merupakan
suatau penyakit yang diakibatkan karena penimbunan kristal monosodium
urat di dalam tubuh. Asam urat merupakan hasil metabolisme akhir dari purin
10

yaitu salah satu komponen asam nukleat yang terdapat dalam inti sel tubuh.
Penyebab penumpukan kristal di daerah persendian diakibatkan kandungan
purinnya dapat meningkatkan kadar urat dalam darah antara 0,5-0,75 g/ml
purin yang dikonsumsi (Bahteramas, 2018).

Gambar 3. Struktur asam urat


Penyakit asam urat atau penyakit gout merupakan penyakit yang muncul

akibat zat purin yang berlebih dalam tubuh. Zat purin ini sebenarnya dapat di

olah tubuh menjadi asam urat. Menurut WHO (2015) Di dunia prevalensi

penyakit asam urat mengalami kenaikan jumlah penderita hingga dua kali

lipat antara tahun 1990- 2010. Pada orang dewasa di Amerika Serikat

penyakit gout mengalami peningkatan dan mempengaruhi 8.3 juta (4%) orang

Amerika. Penyakit asam urat diperkirakan terjadi pada 840 orang dari setiap

100.000 orang. Prevalensi penyakit asam urat di Indonesia terjadi pada usia di

bawah 34 tahun sebesar 32% dan di atas 34 tahun sebesar 68% (Bahteramas,

2018).

2.4.2. Epidemiologi
Asam urat menyebar secara merata di seluruh dunia. Prevalensi bervariasi
antara negara yang kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan
lingkungan, diet, serta genetik. Di Inggris dari tahun 2000 sampai 2007
kejadian artritis gout 2,68 per 1000 penduduk, dengan perbandingan 4,42
penderita pria dan 1,32 penderita wanita dan meningkat siring bertambahnya
11

usia. Di Italia kejadian asam urat meningkat dari 6,7 per 1000 penduduk pada
tahun 2005 menjadi 9,1 per 1000 penduduk pada tahun 2009 .
Sedangkan jumlah kejadian artritis gout di indonesia masih belum jelas
karena data yang masih sedikit. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki
berbagai macam jenis etnis dan kebudayaan, jadi sangat memungkinkan jika
In- donesia memiliki lebih banyak variasi jumlah kejadian artritis gout
(Talarima et aL, 2012). Pada tahun 2009 di Maluku Tengah ditemukan 132
kasus, dan terbanyak ada di Kota Masohi berjumlah 54 kasus. Prevalensi
artritis gout di Desa Sembiran, Bali sekitar 18,9%, sedangkan di Kota Denpasar
sekitar 18,2%. Tingginya prevalensi artritis gout di masyarakat Bali berkaitan
dengan kebiasaan makan makanan tinggi purin seperti lawar babi yang diolah
dari daging babi, betutu ayam/itik, pepes ayam/babi, sate babi, dan babi
guling (Wid yanto, 2017) .

2.4.3. Etiologi
Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi,
obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat serum asam urat
lebih tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang
artritis gout. Perkembangan artritis gout sebelum usia 30 tahun lebih banyak
terjadi pada pria dibandingkan wanita. Namun angka kejadian artritis gout
menjadi sama antara kedua jenis kelamin setelah usia 60 tahun. Prevalensi
artritis gout pada pria meningkat dengan bertambahnya usia dan mencapai
puncak antara usia 75 dan 84 tahun.
Wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah menopause,
kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan penurunan level
estrogen karena estrogen memiliki efek urikosurik, hal ini menyebabkan
artritis gout jarang pada wanita muda. Pertambahan usia merupakan faktor
resiko penting pada pria dan wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan banyak
faktor, seperti peningkatan kadar asam urat serum (penyebab yang paling
sering adalah karena adanya penurunan fungsi ginjal), peningkatan
pemakaian obat diuretik, dan obat lain yang dapat meningkatkan kadar asam
urat serum.
12

Penggunaan obat diuretik merupakan faktor resiko yang signifikan untuk


perkembangan artritis gout. Obat diuretik dapat menyebabkan peningkatan
reabsorpsi asam urat dalam ginjal, sehingga menyebabkan hiperurisemia.
Dosis rendah aspirin, umumnya diresepkan untuk kardioprotektif, juga
meningkatkan kadar asam urat sedikit pada pasien usia lanjut. Hiperurisemia
juga terdeteksi pada pasien yang memakai pirazinamid, etambutol, dan niasin.
Obesitas dan indeks massa tubuh berkontribusi secara signifikan dengan
resiko artritis gout. Resiko artritis gout sangat rendah untuk pria dengan
indeks massa tubuh antara 21 dan 22 tetapi meningkat tiga kali lipat untuk
pria yang indeks massa tubuh 35 atau lebih besar (Widyanto, 2017). Obesitas
berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin. Insu- lin diduga meningkatkan
reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui urate anion exchanger transporter-1
(URAT1) atau melalui sodium dependent anion cotransporter pada brush
border yang terletak pada membran ginjal bagian tubulus proksimal. Dengan
adanya resistensi insulin akan mengakibatkan gangguan pada proses
fosforilasi oksidatif sehingga kadar adenosin tubuh meningkat. Peningkatan
konsentrasi adenosin mengakibatkan terjadinya retensi sodium, asam urat dan
air oleh ginjal.
Konsumsi tinggi alkohol dan diet kaya daging serta makanan laut
(terutama kerang dan beberapa ikan laut lain) meningkatkan resiko artritis
gout. Sayuran yang banyak mengandung purin, yang sebelumnya dieliminasi
dalam diet rendah purin, tidak ditemukan memiliki hubungan terjadinya
hiperurisemia dan tidak meningkatkan resiko artritis gout (Widyanto, 2017).
Mekanisme biologi yang menjelaskan hubungan antara konsumsi alkohol
dengan resiko terjadinya serangan gout yakni, alkohol dapat mempercepat
proses pemecahan adenosin trifosfat dan produksi asam urat. Metabolisme
etanol menjadi acetyl CoA menjadi adenin nukleotida meningkatkan
terbentuknya adenosin monofosfat yang merupakan prekursor pembentuk
asam urat. Alkohol juga dapat meningkatkan asam laktat pada darah yang
menghambat eksresi asam urat. Alasan lain yang menjelaskan hubungan
alkohol dengan artritis gout adalah alkohol memiliki kandungan purin yang
tinggi sehingga mengakibatkan over produksi asam urat dalam tubuh.
13

Asam urat merupakan produk akhir dari metabolisme purin. Dalam


keadaan normalnya, 90% dari hasil metabolit nukleotida adenine, guanine,
dan hipoxantin akan digunakan kembali sehingga akan terbentuk kembali
masing-masing menjadi adenosine monophosphate (AMP), inosine
monophosphate (IMP), dan guanine monophosphate (GMP) oleh adenine
phosphoribosyl transferase (APRT) dan hipoxantin guanine phosphoribosyl
transferase (HGPRT). Hanya sisanya yang akan diubah menjadi xantin dan
selanjutnya akan diubah menjadi asam urat oleh enzim xantin oksidase
(Widyanto, 2017)

2.5 Allopurinol

Gambar 4. Struktur kimia Allupurinol

2.5.1. Pengertian
Obat hipourisemik pilihan untuk gout kronik adalah allopurinol. Selain
mengontrol gejala, obat ini juga melindungi fungsi ginjal. Allopurinol
menurunkan produksi asam urat dengan cara menghambat enzim xantin
oksidase. Allopurinol tidak aktif tetapi 60‐70% obat ini mengalami konversi
di hati menjadi metabolit aktif oksipurinol. Waktu paruh allopurinol berkisar
antara 2 jam dan oksipurinol 12‐30 jam pada pasien dengan fungsi
ginjal normal. Oksipurinol diekskresikan melalui ginjal bersama dengan
allopurinol dan ribosida allopurinol, metabolit utama ke dua (Johnstone,
2005).

2.5.2. Dosis
Pada pasien dengan fungsi ginjal normal dosis awal allopurinol tidak boleh
melebihi 300 mg/24 jam. Pada praktisnya, kebanyakan pasien mulai dengan
dosis 100 mg/hari dan dosis dititrasi sesuai kebutuhan. Dosis pemeliharaan
14

umumnya 100‐600 mg/hari dan dosis 300 mg/hari menurunkan urat


serum menjadi normal pada 85% pasien. Respon terhadap allopurinol dapat
dilihat sebagai penurunan kadar urat dalam serum pada 2 hari setelah terapi
dimulai dan maksimum setelah 7‐10 hari. Kadar urat dalam serum harus
dicek setelah 2‐3 minggu penggunaan allopurinol untuk meyakinkan turunnya
kadar urat (Johnstone, 2005).
Allopurinol dapat memperpanjang durasi serangan akut atau
mengakibatkan serangan lain sehingga allopurinol hanya diberikan jika
serangan akut telah mereda terlebih dahulu. Resiko induksi serangan akut
dapat dikurangi dengan pemberian bersama NSAID atau kolkisin (1,5
mg/hari) untuk 3 bulan pertama sebagai terapi kronik (Johnstone, 2005)

2.5.3. Efek Samping


Efek samping dijumpai pada 3‐5% pasien sebagai reaksi
alergi/hipersensitivitas. Sindrom toksisitas allopurinol termasuk ruam,
demam, perburukan insufisiensi ginjal, vaskulitis dan kematian. Sindrom ini
lebih banyak dijumpai pada pasien lanjut usia dengan insufisiensi ginjal
dan pada pasien yang juga menggunakan diuretik tiazid. Erupsi kulit adalah
efek samping yang paling sering, lainnya adalah hepatotoksik, nefritis
interstisial akut dan demam. Reaksi alergi ini akan reda jika obat
dihentikan. Jika terapi dilanjutkan, dapat terjadi dermatitis eksfoliatif berat,
abnormalitas hematologi, hepatomegali, jaundice, nekrosis hepatik dan
kerusakan ginjal (Johnstone, 2005).
Banyak pasien dengan reaksi yang berat mengalami penurunan fungsi
ginjal jika dosis allopurinol terlalu tinggi. Sindrom biasanya muncul dalam 2
bulan pertama terapi, tapi bisa juga setelah itu. Pasien dengan
hipersensitivitas minor dapat diberikan terapi desensitisasi di mana dosis
allopurinol ditingkatkan secara bertahap dalam 3‐4 minggu (Johnstone,
2005).
Allopurinol biasanya ditoleransi dengan baik, Efek samping yang
terjadi pada 2% pasien biasanya disebabkan karena dosis yang tidak tepat
terutama pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal. Fungsi ginjal harus dicek
15

sebelum terapi allopurinol mulai diberikan dan dosis disesuaikan (Johnstone,


2005).

2.6. Metode Pemeriksaan Kadar Asam Urat Darah


2.6.1. Tes Strip Asam Urat

Gambar 5. EasyTouch
Alat ini merupakan alat yang digunakan untuk memonitir tingkat asam urat
dalam darah. Tes ini spesifik untuk aam urat dengan menggunakan oksidasi
aam urat dan berdasarkan pada kemajuan teknologi biologi sensor (Sukaina,
2013).

2.6.2 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

Gambar 6. High Performance Liquid Chromatography


Metode HPLC menggunakan pertukaran ion atau reversed-phase column
yang digunakan untuk memisahkan dan mengukur asam urat. The column
effluent dilihat dengan panjang gelombang 293 nm untuk melihat eluting
asam urat (Nasrul, 2012).

2.6.3 Serum darah dan plasma


Serum merupakan bagian yang ada di dalam darah serta memiliki
komposisi pembuatannya sama dengan pembuatan plasma darah. Namun
serum darah tidak termasuk memiliki fungsi dalam membekukan darah
16

sedangkan plasma darah merupakan bagian di atas yang berair. Jiuka ingin
mengamati keberadaan plasma darah bisa dilakukan dengan cara mengambil
sampel darah dan kemudian didiamkan hingga terjadi endapan dalam darah
2.7 Tinjauan Hewan coba
Hewan coba yang umum digunakan dalam penelitian farmakologi adalah tikus
putih dan mencit. Pada penelitian ini digunakan hewan coba mencit putih jantan.
Mencit (Mus musculus L) termasuk mamalia pengerat (rodensia) yang cepat
berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya
cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik.
Mencit yang sering digunakan dalam penelitian di laboratorium merupakan hasil
perkawinan tikus putih “inbreed’ maupun “outbreed”. Drai hasil perkawinan
sampai genersai 20 akan dihasilkan strain-strain murni dari mencit (Akbar, 2010).
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:

Gambar 7. Mencit putih


Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo :Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus

Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,
berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang
untuk pemeliharaan mencit (Mus musculus L.) harus senantiasa bersih,
kering dan jauh dari kebisingan. Suhu ruangan pemeliharaan juga harus
17

dijaga kisarannya antara 18-19oC serta kelembaban udara antara 30-70%


(Akbar, 2010).
Mencit betina dewasa dengan umur 35-60 hari memiliki berat badan 18-35
g. Lama hidupnya 1-2 bulan, dapat mencapai 3 tahun. Masa reproduksi
mencit betina berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina ataupun jantan dapat
dikawinkan pada umur 8 minggu. Lama kebuntingan 19-20 hari. Jumlah
anak mencit rata-rata 6-15 ekor dengan berat lahir antara 0,5-1,5 g (Akbar,
2010).
Mencit sering digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan hewan
tersebut memiliki beberapa keuntungannya yaitu daur estrusnya teratur dan
dapat dideteksi, periode kebuntingannya relatif singkat, dan mempunyai anak
yang bnayak serta terdapat keselarasan pertumbuhan dengan kondisi manusia
(Akbar, 2010).
18

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian, Alat, Bahan dan Hewan coba


3.1.1 Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik pre
and post test control group design.
3.1.2 Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Universitas
Mohammad Natsir Bukittinggi dan Laboratorium LLDikti Wilayah X.
3.1.3 Bahan
Hati ayam, allopurinol (kimia farma), etanol 96%, N-heksan,
etilasetat, aqua destilata, makanan standar mencit, serta Na-CMC
3.1.4 Sampel penelitian
Sampel Putri Malu (Mimosa pucida Linn) identifikasi tumbuhan
dilakukan di Herbarium ANDA Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas.
3.1.5. Tempat pengambilan sampel
Sampel diperoleh dari Sungai pua kabupaten Agam sebanyak 1Kg
3.1.6. Alat
Rotary evaporator (Ika®rv10), strip test, waterbath (Memert®),
timbangan analitik (Precisa®), botol maserasi, pipet tetes, blender, gelas
ukur, erlemeyer, jarum oral, lumpang, stamfer, kaca arloji, kertas tisu, serbet,
timbangan hewan, kandang, corong, corong pisah, gunting bedah, kapas,
kertas saring, spatel, sudip, beaker glass, spuit, pinset.

3.1.6. Hewan uji


Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih
jantan dengan berat 20-30 gram yang berumur 2-3 bulan sebanyak 36 ekor
(Depkes RI, 1979).

16
19

a. Persiapan Hewan Percobaan


Hewan diaklimatisasi selama 7 hari untuk membiasakan hewan
pada kondisi percobaan dan diberi makanan standar dan minuman yang
cukup. Hewan diaklimatisasi selama 7 hari sebelum diberi perlakuan.
Hewan dinyatakan sehat apabila selisih berat badan sebelum dan sesudah
diadaptasikan tidak lebih dari 10% dan secara visual menunjukkan
perilaku normal (HG Vogel, 2008)

b. Pembuatan Induktor hati ayam


Induktor (penginduksi) yang digunakan untuk membuat mencit
hiperurisemia adalah jus hati ayam dengan dosis 100mg/KgBB mencit.

c. Perlakuan Hewan Percobaan dan Perencanaan Dosis


Mencit jantan sebanyak 36 ekor dikelompokan secara acak menjadi
6 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 6 ekor mencit. Perlakuan hewan
percobaan terdiri dari kelompok normal yang diberi Na CMC 0,5% dan
kelompok yang kedua diberikan ekstrak herba putri malu dengan dosis
100 mg/kgBB diberikan secara oral. Sediaan diberikan setiap hari selama
21 hari.

d. Pembanding
Pembanding yang digunakan adalah allupurinol dengan dosis 10mg/kgBB.

e. Pembuatan sediaan
Herba putri malu (Mimosa pudica Linn) direndam dengan etanol
96% dibiarkan selama 24 jam. Diperoleh maserat yang dipisahkan dengan
menggunakan kain flannel. Ampas maserasi pertama dimaserat lagi
menggunakan pelarut baru, lalu maserat dikumpulkan dan dirotary hingga
diperoleh ekstrak kental etanol
20

1. Fraksi ekstrak herba putri malu (Mimosa pudica Linn)


Ekstrak herba putri malu (Mimosa pudica Linn) dilarutkan dengan air
(1:5) lalu dimasukkan kedalam corong pisah, fraksinasi dengan pelarut n-heksan
(2:1) secara berulang hingga diperoleh fraksi terakhir n-heksan yang sudah tak
berwarna lagi. Semua fraksi n-heksan diuapkan pelarutnya dengan rotary
evaporator sehingga diperoleh fraksi non polar herba putri malu. Selanjutnya fase
air difraksinasi dengan etil asetat (2:1) secara berulang seperti yang dijelaskan
diatas sehingga diperoleh fraksi kental semi polar. Pada penelitian ini selanjutnya
digunakan fraksi semi polar.
Bahan uji yang digunakan adalah fraksi herba putri malu yang
didispersikan dalam air suling dengan bantuan Na-CMC 0,5% sebagai
pensuspensi. Berat fraksi kental yang akan didispersikan ditimbang berdasarkan
dosis yang direncanakan. Begitu juga dengan allopurinol sebagai pembanding (B,
Tahir et, al, 2008)-(AW Ningdyah et. aL, 2015).
a. Uji Pendahuluan
Penentuan Pengaruh Variasi dosis jus hati ayam sebagai induktor
hiperurisemia. Uji pengaruh variasi dosis hati ayam pada mencit
hiperurisemia dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian dosis jus hati
ayam yang dapat menaikan kadar asam urat di dalam darah. Hewan uji 12
ekor dikelompokkan menjadi 4 kelompok, terdiri dari 3 ekor mencit.

Tabel 1
Kelompok uji pengaruh variasi dosis rebusan putri malu sebagai induktor
Hiperurisemia
No Kelompok Perlakuan Dosis Perlakuan
1 Kontrol negatif Diberi makanan biasa
2 Jus hati ayam Diberi 50mg/kgBB
3 Jus hati ayam Diberi 100mg/kgBB
4 Jus hati ayam Diberi 200mg/kgBB
21

b. Penentuan aktifitas hasil fraksinasi ekstrak etanol herba putri malu


(Mimosa pudica Linn)
Dilakukan untuk mengetahui bagian fraksi yang memiliki aktivitas
terbaik dalam menurunkan kadar asam urat dalam darah hewan percobaan.
Hewan uji 18 ekor dikelompokkan menjadi 6 kelompok, terdiri dari 3 ekor
mencit dan diperlakukan seperti terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 2.
Uji penentuan aktifitas fraksi terbaik herba putri malu
No Kelompok Perlakuan Dosis
1 Kontrol Negatif Hanya diberi larutan (Na-CMC
0,5%)
2 Kontrol Positif Hanya diberi penginduksi
3 Hiperurisemia + allupurinol Diberi indikator jus hati ayam dan
allupurinol 100 mg/kgBB
4 Hiperurisemia + fraksi heksan putri Diberi indikator jus hati ayam dan
malu fraksi heksan dosis 100 mg/kgBB
5 Hiperurisemia + fraksi etil asetat Diberi indikator jus hati ayam dan
putri malu fraksi etil asetat dosis 100
mg/kgBB
6 Hiperurisemia + fraksi sisa air putri Diberi indikator jus hati ayam dan
malu fraksi sisa air dosis 100 mg/kgBB
Pada uji ini dilakukan upaya peningkatan kadar asam urat darah dengan
menginduksi mencit dengan hati ayam 100 mg/kgBB. Setelah penginduksian
tersebut, kadar asam urat darah mencit dikontrol dan diukur pada hari ke-7
pemberian dosis fraksi untuk meyakinkan bahwa hati ayam dengan dosis tersebut
menyebabkan hiperurisemia. Selesai perlakuan, semua mencit diistirahatkan di
dalam kandang masing-masing dan diberi makan dan minum.
Pada hari ke-7 dilakukan perlakuan berdasarkan kelompoknya masing-
masing setiap hari dan hati ayam tetap diberikan juga pada semua kelompok
kecuali kelompok normal. Pengukuran kadar asam urat darah selanjutnya pada
hari ke-7, ke-14 dan ke-21.
22

c. Cara Pengambilan Darah


Sebelum pengambilan darah, mencit dimasukkan ke dalam kandang kecil
sedemikian rupa hingga tidak dapat bergerak. Selanjutnya ekor mencit
dibersihkan dengan alkohol 70%. Kemudian ujung ekor mencit digunting kurang
lebih 0,2 cm dari ujung ekor, agar darah keluar dilakukan pemijatan perlahan
pada ekor.

d. Pengukuran Kadar Asam Urat


Pengukuran kadar asam urat dalam darah dilakukan dengan menggunakan
alat tes strip asam urat

e. Uji Statistik Terhadap Kadar Asam Urat Darah


Data yang diperoleh diolah secata statistic dengan menggunakan SPSS.
Dimana kadar asam urat darah hari pertama untuk semua kelompok uji diuji
homogenitasnya dan uji kenormalannya.
23

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Dari penelitian yang telah dilakukan maka di dapatkan lah sebuat data yang
sebagai berikut:

Tabel 3

Kadar asam urat rata-rata dari seluruh kelompok uji pada masing-masing

waktu (mg/dL)

Kadar Asam Urat Rata-Rata ± SD (mg/dL)


Na-CMC Positif Allupurinol N- Etil Aqua
Heksan asetat dest
Waktu
Hari 7 2,500 ± 5,446 ± 5,200 ± 5,250 ± 5,286 ± 5,166 ±
0,3808 0,2368 0,1581 0,1500 0,1499 0,1322
Hari 14 2,460 ± 7,020 ± 5,200 ± 5,560 ± 4,220 ± 5,140 ±
0,1140 0,1304 0,2345 0,1140 0,2280 0,1673
Hari 21 2,380 ± 7,540 ± 5,540 ± 6,600 ± 3,660 ± 7,200 ±
0,1924 0,1140 0,1140 0,1581 0,2074 0,1581
Dari penelitian yang telah dilakukan di dapatkan fraksi yang terbaik yaitu
fraksi Etil asetat. Yang dimana etil asetat mampu menurunkan kadar asam urat
terhadap mencit, Untuk menginduksi asam urat dapat digunakan hati ayam,
melinjo, kacang-kacangan dan kalium oksonat. Dimana pada penelitian ini
digunakan hati ayam sebagai penginduksi. Dengan frekuensi 1x sehari untuk
menginduksi asam urat pada hewan percobaan. Didapatkan pada aktifitas putri
malu menunjukkan kadar asam urat terbaik didalam darah fraksi etil asetat siap
digunakan uji lanjut patologi diabetes, kolesterol
4.2 Pembahasan
Sebanyak 1 Kg putri malu yang telah dikeringkan dengan metoda kering
angin dan diekstraksi dengan etanol 96% sebanyak 12 L menghasilkan ekstrak
kental 17 gram. Rendemen yang diperoleh adalah 17%. Hasil rendemen yang
didapatkan diatas nilai rendemen yang tertera di farmakope herbal indonesia
adalah 15,4% (Depkes RI, 2008). Sebanyak 15 gram ekstrak kental putri malu
difraksinasi berturut-turut dengan menggunakan n-heksan, etil asetat dan sisa air.
24

Jumlah fraksi kental yang di dapatkan n-heksan 10,28 gram, etil asetat 10,63 gram
dan sisa air 96,65.
Tanaman ini di ambil di daerah sungai pua kabupaten agam tanaman ini
tumbuh liar seperti rumput-rumput yang lain, kabupaten agam mempunyai kondisi
topografi yang cukup bervariasi mulai dari dataran tinggi hingga dataran yang
relatif rendah, dengan ketinggian berkisaran antara 0-2.891 meter dari permukaan
laut. Pada tinjauan kandungan metabolit sekunder, diketahui bahwa tumbuhan
yang memiliki aktivitas antioksidan bepeluang memiliki aktifitas xantin oksidase
inhibitor (Y. S. Song et. aL, 2003). Yang dapat di manfaatkan untuk menurunkan
kadar asam urat dalam dengan cara menghambat kerja enzim xantin oksida,
sehingga pembentukan kadar asam urat dapat dirintangi didalam darah. Pada
penelitian yang telah dilakukan oleh (Suwariany, 2006) di dapatkan hasil bahwa
tumbuhan putri malu diketahui memiliki aktifitas antioksidan dan menujukkan
hasil positif terhadap golongan flavonoid, tanin dan polifenol memiliki aktifitas
sebagai antioksidan.
Kuersetin merupakan senyawa spesifik yang termasuk kedalam golongan
flavonoid yang telah diketahui memiliki aktifitas sebagai xantin oksidase inhibitor
yang dapat menurunkan kadar asam urat. Selain kuersetin pada hasil isolasi rutin
juga memiliki aktifitas xantin oksidase yang dapat menurunkan kadar asam urat
didalam darah (J Huang et. aL, 2011).Sebelum dilakukan proses ekstraksi sampel
dirajang terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk memperluas bidang permukaan
sampel dan memudah pelarut untuk masuk ke dalam membran sel dan akan lebih
banyak senyawa yang dapat ditarik oleh pelarut. Digunakan sampel putri malu
yang telah dicuci bersih dan dirajang sebanyak 1 kg yang segera dilakukan proses
maserasi. Proses selanjutnya putri malu diekstraksi dengan cara maserasi.
Maserasi merupakan proses penyaringan dengan merendam simplisia didalam
pelarut organik hingga pelarut akan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat
yang terkandung didalamnya akan terlarut (MF daud et. aL, 2011). Cara maserasi
dipilih karna merupakan cara yang paling sederhana dan tidak memerlukan
peralatan khusus serta suhu yang digunakan relatif rendah, sehingga dapat
mencegah penguraian senyawa yang tidak tahan panas atau zat yang belum
diketahui apakah zat tersebut tahan panas atau tidak. Proses maserasi sampel putri
25

malu dilakukan dengan menggunkan etanol 96% sebagai pelarut agar dapat
menarik zat-zat berkhasiat yang terdapat dalam simplisia yangdigunakan dan
lebih bersifat universal serta kemampuannya untuk mendapatkan protein dan
menghambat kerja enzim, sehingga dapat terhindar dari proses hidrolisis dan
oksidasi. Etanol 96% juga lebih dipilih pada proses maserasi dari bahan basah
yang memerlukan pembahasan terhadap simplisia sehingga lebih optimal
dibandingkan etanol 70% karna sampel yang digunakan adalah sampel basah.
Digunakan sebnauak 14 liter 96% untuk proses maserasi. (E Kumalasarri et al,
2011; J Harborne et. aL, 2009).
Proses maserasi sampel dilakukan didalam botol gelap dan terlindung dari
cahaya dan ditutup untuk menghindari pengaruh oksidasi. Sampel dimaserasi 24
jam, selama 6 jam pertama sampel diaduk aduk lalu sampel didiamkan untuk 18
jam selanjutnya, dilakukan 3 kali pengulangan pada tahapan ini ( Depkes
RI,2008). Pengadukan bertujuan agar pelarut bisa berulang ulang masuk kedalam
sampel yang telah dipotong dan diharapkan terjadi keseimbangan konsentrasi
bahan ekstrak aktif yang lebih cepat kedalam pelarut. Keadaan didalam selama
maserasi bisa menyebabkan turunnya perpindahan zat aktif. Setelah meserasi
dilakukan, maserat disaring dan pelarutnya diuapkan dengan rotary evaporator
dengan tujuan untuk mengurangi tekanan udara pada permukaan sehingga
menurunkan tekanan uap pelarut dan selanjutnya akan menurunkan titik didih
pelarut tersebut hal ini dapat mengurangi kemungkinan terurainya zat aktif yang
tidak tahan pemanasan terdapat dalam ekstrak tesebutdari putri malu sebnyak 17
gram dengan rendemen 17%. Jumalah ekstrak kental yang didapatkan memenuhi
pesyaratan yang tetera pada farmakope herbal indonesia adalah tidak kurang dari
15,7% ( Depkes RI 2008), ( J Harbone et. aL, 2009)
Selanjutnya ekstrak etanol yang telah di dapatkan segera dilakukan proses
fraksinasi untuk memisahkan senyawa senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya
diantaranya adalah senyawa bersifat polar, semipolar dan nonpolar. Selanjutnya
ekstrak kental etanol difraksi untuk mendapatkan senyawa aktif yang bersifat
polar, semipolar dan nonpolar. Pada prinsipnya seyawa polar diekstrasi dengan
pelarut polar sedangkan senyawa nonpolar diekstrasi dengan pelarut nonpolar
pelarut yang bersifat polar akan melarutkan komponen yang bersifat polar dan
26

nonpolar akan melarutkan senyawa yang disebut like this solve like (J Harbone et.
aL,2009), ( L Marina et. aL, 2013). Sebanyak 15 gram ekstrak etanol dilakukan
proses fraksinasi secara bertahap dengan pelarut air, n-heksan dan etil asetat
dalam corong pisah untuk memisahkan kandungan kimia yang bersifat nonpolar
semua fraksi yang diperoleh kemudian diuapkan dengan rotary evaporator sampai
kental sehingga didapatkan fraksi kental n-heksan 10,28 gram, etil asetat 10,63
dan sisa air 96,65.
Digunakan mencit putih jantan sebagai hewan percobaan dalam rangkaian
penelitian ini sebanyak 36 ekor yang berumur 3-4 bulan dengan berat badan 20-
30gram. Dilakukan aklimatisasi terhadap semua hewan coba selama 1 minggu,
agar semua hewan coba dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Mencit
yang dipilih pada penelitian adalah mencit yang sehat dengan ciri-ciri
menunjukkan tingkah laku yang normal dan mata jernih bersinar. Selama
pemeliharaan mencit diberi makan dan minum yang cukup (Malole, 1989).
Pengambilan sampel darah mencit dilakukan 2 jam setelah induksi hiperurisemia
diberikan (Muhtadi A et. aL, 2013). Untuk menginduksi asam urat dapat
digunakan hati ayam, melinjo, kacang-kacangan dam kalium oksanat. Pada uji
pendahuluan penelitian ini, digunakan hati ayam dengan dosis 100mg/kgBB
dengan frekuensi 1 kali sehai untuk menginduksi asam urat pada hewan
percobaan. Uji pendahuluan ini dilakukan selama 21 hari untuk penentu jenis
fraksi terbaik yang digunakan pada penelitian ini. Di dapatkan pada aktifitas fraksi
etil asetat putri malu menujukkan penurunan kadar asam urat terbaik dalam darat
penelitian ini, sehingga fraksi etil asetat siap digunakan sebagai uji lanjut terhadap
uji variasi dosis terhadap kondisi hiperurisemia dan kondisi patologi diabetes.
Pada uji pendahuluan ini, didapatkan hasil nilai penurunan asam urat terbaik
pada fraksi etil asetat. Hasil analisis stastitik didapatkan nilai homogenitas
(P>0,05) maka dilakukan uji anova. Didapatkan efek terbaik fraksi etil asetat
(P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan. Kadar asam urat terdapat pada fraksi
semi polar. Sebagai penginduksi, digunakan hati ayam dengan dosis
100mg/kgBB. Dari hasil yang didapatkan dosis 0,5mL/20gramBB dapat
meninkatkan kadar asam urat dialam darah dan digunakan sebagai induktor hati
ayam. Kadar asam urat mulai naik pada hewan percobaan setelah 4 hari
27

pemberian jus hati ayam pemberian fraksi dilakukan mulai hari naiknya asam urat
ini pada hari ke 8.
Asam urat merupakan produk akhir dari metabolisme purin pada manusia
(Glantzounis et. aL, 2005). Pada uji aktivitas hiperurisemia fraksi etil asetat puti
malu terhadap penurunan kadar asam urat dalam darah pada hewan dibagi dalam
beberapa kelompok. Selain itu ada kelompok pembagian yang diberikan
allupurinol dengan dosis 10 mg/kgBB. Didapatkan nilai homogenitas (<0,05)
yang menyatakan sebaan nilai yang diperoleh tidak homogen, sehingga dilakukan
uji lanjut non parametik kruskaal wallis. Didapatkan hasil statistika bahwa pada
variasi lama pemberian diperoleh nilai yang signifikan (P<0,05) yang ditunjukkan
pada hari ke 21 dan pada variasi pemberian dosis dipoeroleh nilai signifikan
(P<0,05) yang ditunjukkan pada dosis 100mg/kgBB. Pada hasil tersebut
dimungkinkan bahwa pada fraksi etil asetat putri malu mengandung senyawa yang
beraktifitas menurunkan kadar aam urat didalam darah. Namun untuk kajian yang
lebih mendalam. Fraksi etil asetat terhadap penurunan kadar asam urat didalam
darah.

Tabel 4

Test of normality

Perlakuan Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk


Statistic Df Sig Statistic Df Sig
Na-CMC ,146 15 ,200 ,958 15 ,656
Positif ,264 15 ,006 ,843 15 ,014
Allupurinol ,154 15 ,200 ,930 15 ,272
N-Heksan ,234 15 ,027 ,859 15 ,023
Etil asetat ,173 15 ,200 ,907 15 ,123
Aquadest ,334 15 ,000 ,722 15 ,000
28

Tabel 5

Case processing summary

Perlakuan Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Na-CMC 15 100,0% 0 0,0% 15 100,0%
Positif 15 100,0% 0 0,0% 15 100,0%
Allupurinol 15 100,0% 0 0,0% 15 100,0%
N-Heksan 15 100,0% 0 0,0% 15 100,0%
Etil Asetat 15 100,0% 0 0,0% 15 100,0%
Aquadest 15 100,0% 0 0,0% 15 100,0%

Tabel 6
OneWay
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic Df Df2 Sig
16.207 5 84 .000

Tabel 7
Anova
Sum of df Mean F Sig.
Squares Square
Between 166.306 5 33.261 68.923 .000
Groups
Within 40.537 84 .483
Groups
Total 206.844 89
29

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Fraksi etil asetat memberikan aktifitas terbaik untuk menurunkan kadar
asam urat pada mencit putih jantan serta dengan pembeian variasi dosis dan lama
pemberian pada kelompok hipeurisemia, didapatkan dosis 100mg/kgBB dengan
lama pemberian 21 hari merupakan hasil terbaik untuk menurunkan kadar asam
urat didalam darah.

5.2 Saran
1. Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk ujin lanjut untuk fraksi etil asetat
dengan berbagai perbandingan dosis
2. Di lakukan uji patologi diabetes, kolesterol dan penyakit lainnya bagaimana
perbandingan dengan asam urat di butuhkan dosis yang banyak atau sedikit.
30

Lampiran 1. Skema kerja ekstraksi

Skema Pembuatan Ekstrak Etanol Putri Malu


(mimosa pudica linn)
Putri Malu

 Sampel dicuci bersih


 Keringanginkan

Putri malu ditimbang sebanyak 1 Kg

Ditambahkan etanol 96%,lalu diaduk 6 jam lalu dibiarkan 18 jam


(F.herbal indo 2008)

Hasil Maserat Ampas

 Diuapkan dengan
rotary evaporator

Ekstrak Kental
31

Lampiran 2. Skema kerja fraksinasi

PEMBUATAN FRAKSI ETANOL

Putri malu
Ekstrak etanol 96%

Maserasi dengan etanol 96%

Rotary evaporator
Fraksinsi den
Dipotong-potong dan Heksan
di masukkan kedalam
botol maserasi

Fraksinasi dengan
etil asetat

Fraksi etil asetat


Residuetanol Fraksi N-Heksan

Fraksi aquadest

Pemeriksaan
Karakteristik fraksi
32

Lampiran 3. Skema kerja uji aktifitas asam urat


33

Lampiran 4. Skema kerja hasil fraksinasi dari ekstrak etanol putri malu

Skema Kerja Hasil Fraksinasi dari Ekstrak Etanol Putri Malu


(mimosa pudica linn)
Kelompok kontrol Kelompok kontrol Hiperurisemia+ allup Hiperurisemia+ fraksi Hiperurisemia+ fraksi Hiperu
negatif positif urinol heksan putri malu etil asetat putri malu fraksi si
m

Diberi indikator jus Diberi indikator jus Diberi in


Hanya diberi Diberi indikator jus
Hanya diberi hati ayam dan hati ayam dan fraksi hati ayam
larutan Na-CMC hati ayam dan fraksi
penginduksi allopurinol etil asetat sisa a
0,5% heksan 100Mg/KgBB
100mg/KgBB 100Mg/KgBB 100M

Dilakukan penginduksi mencit dengan hati ayam 100MG/KgBB

Kadar asam urat dikontrol dan diukur pada hari ke-7


34

Lampiran 5. Hasil identifikasi tanaman putri malu


35

DAFTAR PUSTAKA

A. W. Ningdyah, A. H. Alimuddin, and A. Jayuska, “Uji Toksisitas Dengan


Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) Terhadap Hasil Fraksinasi
Ekstrak Buah Tampoi (Baccaurea macrocarpa),” J. Kim. Khatulistiwa, vol. 4,
no. 1, pp. 75–83, 2015.

Akbar, B. (2010). Tumbuhan Dengan Senyawa Aktif Yang Berpotensi Sebagai


Bahan Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press UIN, (1), 1–59.
https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
B. Tahir, C. Saleh, and S. P. Pasaribu, “Uji Fitokimia, Toksisitas Dan Aktivitas
Antioksidan Alami Daun Tumbuhan Kelakai (Stenochlaena palustris)
Dengan Metode DPPH,” in Prosiding Seminar Nasional Kimia 2013, 2013,
pp. 141–146
Badan POM RI, 2010, Acuan Sediaan Herbal, Vol. 5, Edisi I, Direktorat Obat
Asli Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia,Jakarta, hal 30-31.

Bahteramas, 2018. (2018). Jimkesmas in Bahteramas General Hospital of


Southeast Sulawesi Province in 2017, 3(2), 1–13.
Carter, MA 2006, Gout dalam Patofosiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, EGC, Jakarta pp. 1402-1405

Dalimartha Setiawan. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Bogor : Trobus


Agriwidya.

Dalimartha Setiawan. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Bogor : Trobus


Agriwidya.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979), Farmakope Indonesia edisi


III. Jakarta

Departemen Kesehatan, Farmakope Herbal Indonesia, Edisi 1. Jakarta:


Departemen Kesehatan, 2008
Depkes RI, 2000. (2000). Parameter Standart Umum Ekstraksi Tanaman Obat.
36

E. Kumalasari and N. Sulistyani, “Aktivitas Antifungi Ekstrak Etanol Batang


Binahong (Anredera Cordifolia (Tenore) Steen.) Terhadap Candida Albicans
Serta Skrining Fitokimia,” J. Ilm. Kefarmasian, vol. 1, no. 2, pp. 51–62,
2011.
F. M. Sholihah, “Diagnosis and Treatment Gout Arthritis,” J Major., vol. 3, no. 7,
pp. 39–45, 2014
Faridah, J., 2007, Putri Malu, http://eprints.undip.ac.id/view/year/2009.html.
Diakses tanggal 25 oktober 2018.

Farmakope Herbal Indonesia, 2008. (2009). Farmakope Herbal Indonesia Edisi 1.


Gunawan et. al, 2004. (2004). Farmakognosi.

H. G. Vogel, Drug Discovery and Evaluation: Pharmacological Assays, Third.,


vol. 53. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2008.
Hardjono Sastrohamidjojo. (1996). Sintesis Bahan Alam, 243.

J. . Harborne, Metode Fitokimia, Penentun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan,


2nd ed., no. 2. Bandung: ITB, 1987.
J. Huang, S. Wang, M. Zhu, J. Chen, and X. Zhu, “Effects of Genistein , Apigenin
, Quercetin , Rutin and Astilbin on serum uric acid levels and xanthine
oxidase activities in normal and hyperuricemic mice,” Food Chem. Toxicol.,
vol. 49, no. 9, pp. 1943–1947, 2011.
Jayani, Y., 2007, Morfologi, Anatomi, dan Fisiologi Mimosa pudica, Tanaman
Obat Indonesia,http://toiusd. bmultiply.com/ journal/ item/279/ Morfologi_
Anatomi_ dan_ Fisiologi_ Mimosa_ pudica_L. Diakses tanggal 29 oktober
2018.

Johnstone, A. (2005). GOUT Farmakologi Serangan akut Penanganan


menggunakan obat. Annete Johnstone, 1–7.

L. Mariana, Y. Andayani, and R. Gunawan, “Analisis Senyawa Flavonoid Hasil


Fraksinasi Ekstrak Diklorometana Daun Keluwih (Artocarpus camansi),”
vol. 6, no. 2, pp. 50–55, 2013.
M. F. Daud, E. Sadiyah, and E. Rismawati, “Pengaruh Perbedaan Metode
Ekstraksi Terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji
37

(Psidium guajava. L),” Pros. SNaPP2011 Sains, Teknol. dan Kesehat., pp.
55–62, 2011.
Muhtadi, A. Suhendi, N. W., and E. Sutrisna, “Potensi Daun Salam (Syzigium
Polyanthum Walp.) Dan Biji Jinten Hitam (Nigella Sativa Linn) Sebagai
Kandidat Obat Herbal Terstandar Asam Urat,” J. Chem. Inf. Model., vol. 53,
no. 9, pp. 1689–1699, 2013.
Nainggolan, O 2009, Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia,
Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 59, No 12, pp. 589

Nasrul, E. (2012). Hiperurisemia pada Pra Diabetes. Jurnal Kesehatan Andalas,


1(2), 86–91.

Nuki G, Simkin PA. 2006, A Concise History of Gout and Hyperuricemia and
Their Treatment, Arthritis Research and Therapy, diakses 4 Agustus 2013,
http://arthritisresearch.com/content/8/S1/S1

Roddy, E dan Doherty, M 2010, Epidemiology of Gout, Arthritis Research and Therapy,
diakses 4 Agustus 2013, http://arthritisresearch.com/content/12/6/223

Sukaina, I. R. A. (2013). Fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan program studi


farmasi jakarta september 2013, (September).

Susanty F. (2016). Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Refluks terhadap


Kadar Fenolik dari Ekstrak Tongkol Jagung (Zea mays L.). Konversi, 5(2),
87–93.

Widyanto, F. W. (2017). Arthritis Gout dan Perkembangannya. Saintika Medika,


10(2), 145–152.
Y. S. Song, S. H. Kim, J. H. Sa, C. Jin, C. J. Lim, and E. H. Park, “Anti-
angiogenic, antioxidant and xanthine oxidase inhibition activities of the
mushroom Phellinus linteus,” J. Ethnopharmacol., vol. 88, no. 1, pp. 113–
116, 2003.

Anda mungkin juga menyukai