Anda di halaman 1dari 61

1

SKENARIO 5
BAB Hitam

Seorang laki-laki berusia 52 tahun dibawa keluarganya ke Instalasi Gawat Darurat RS


dengan keluhan BAB berwarna hitam sejak 2 hari yang lalu 3-4x/hari. Keluhan disertai nyeri di
daerah ulu hati, mual, muntah dan penurunan nafsu makan. Menurut keluarga pasien, pasien
memiliki riwayat penyakit sendi sehingga sering meminum obat piroxicam dan allopurinol. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 90/70 mmHg, pernafasan 20x/menit, nadi
92x/menit, dan suhu 37,2oC. Pada pemeriksaan didapatkan konjungtiva anemis, pemeriksaan
abdomen didapatkan nyeri tekan (+) pada daerah epigastrum. Dokter segera melakukan
penatalaksaan pada pasien tersebut.

STEP 1
1. Piroxicam adalah obat antiinflamasi non-steroid yang di gunakan untuk mengatasi
peradangan pada sendi.
2. Allopurinol adalah obat yang digunakan untuk menurunkan kadar asam urat dalam darah.

STEP 2
1. Mengapa pasien mengalami BAB berwarna hitam?
2. Mengapa pasien mengeluhkan nyeri ulu hati, mual, muntah, dan penurunan nafsu makan?
3. Apa hubungan riwayat konsumsi obat dengan keluhan pasien?
4. Mengapa pada pemeriksaan fisik di dapatkan konjungtiva anemis, nyeri tekan
epigastrium dan hipotensi pada pasien tersebut?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus tersebut?

STEP 3
1. Pasien mengalami BAB hitam karena :
 Karena terdapatnya perdarahan pada upper GI trac, yang mana bisa terjadinya
kelainan pada lambung, esofagus dan sebagian atas duodenum
 NSID menyebabkan HCL dalam lambung terganggu, sehingga dapat
menyebabkan mukosa teriritasi dan terjadinya perdarahan pada mukosa
2

2. Patogenesis terjadinya nyeri ulu hati, mual, muntah, dan penurunan nafsu makan:
 Nyeri ulu hati :
NSID sawar mukosa lambung terganggu iritasi
merangsang nosiseptor yang ada di lambung nyeri epigantrium
 Mual, muntah, penurunan nafsu makan
Obat-obatan pengaktifan CTZ impuls ke med. Oblongata
Otot abdomen atau diafragma kontraksi refluks
mual, muntah, penurunan nafsu makan
3. Hubungan konsumsi obat dengan keluhan pasien
 NSID menghambat sintesis prostaglandin dan menginhibisi
Cixlooksigenasi (COX) mukosa lambung teriritasi
4. Pathogenesis konjungtiva anemis, nyeri tekan epigastrium dan hipotensi
Produksi asam lambung meningkat iritasi pada mukosa tubuh berkompensasi:
conjungtiva anemis, Hemoglobin menurn
5. Penatalaksanaan
 Cek A, B, C
 Resusitasi cairan
 Pasang NGT, ukur perdarahan
 Bilas lambung
 Endoskopi
 H2 Bloker / PPI

STEP 4
Patogenesis
 BAB hitam:
NSID

Sawar mukosa lambung terganggu

Produksi HCL terus berlanjut

Mukosa lambung teriritasi


3

Terus berlanjut jadi luka (ulkus)

Terjadi perdarhan pada lambung

Darah tercampur dengan HCL

Darah di oksidasi

Darah masuk dengan kimus menuju saluran cerna bawah

Darah menyatu dengan fese

Feses jadi hitam (melena)


 Riwayat obat NSID
NSID

Menghambat prostaglandin

Menginhibisi pelindung mukosa lambung melalui COX mukosa lambung

COX 1
Bekerja pada lambung, trombosit sel endotelial pembuluh darah dan
mempertahankan mukosa lambung
COX 2
Untuk rangsang inflamasi

Maka kalau COX 1 terinhibisi maka protektor mukosa lambung tidak ada

Terpapar HCL terus menerus

Perdarahan
4

MIND MAP

Faktor resiko

Etiologi Patofisiologi

Perdarahan GI Trac

Komplikasi
Penatalaksanaan

Penegakan
diagnosis

STEP 5
1. Kegawat daruratan abdomen
A. Upper GI Bleeding
1) Peptic ulcer disease
2) Erosive gastritis
3) Erosive esophagitis
4) Esofagheal farises / gastritic
5) Malory weisst tears
6) Aortoenteric fistula
7) Hemobilia
8) Dieulafoye’s lession
B. Lower GI Bleeding
1) Diverticular
2) Colitis
3) Fistula ani
5

4) IBD
5) Ca colon
6) Angiodysplasia
7) Anorectal fissura
8) Hemorroid
STEP 6 (Belajar Mandiri)

STEP 7
A. Upper GI Bleeding
1. Peptic ulcer disease

1. Tukak Peptik
- Definisi
Tukak peptik (peptic ulcer disease) adalah lesi pada lambung atau duodenum
yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif (sekresi asam lambung,
pepsin, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori) dengan faktor defensif/ faktor pelindung
mukosa (produksi prostagladin, gastric mucus, bikarbonat, dan aliran darah mukosa).
Tukak peptik merupakan keadaan kontinuitas mukosa lambung terputus dan
meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah
epitel disebut erosi. Walaupun seringkali dianggap juga sebagai tukak (misalnya tukak
karena stres).4

- Etiologi
Etiologi yang pasti belum diketahui. Ada dua pendapat yang ekstrim, apakah
penyakit ini adalah suatu kelainan setempat atau merupakan bagian dari suatu kelainan
sistemik dimana tukak hanya merupakan tanda/ gejala. Tukak peptik terjadi karena
pengeluaran asam-pepsin oleh H. Pylory, NSAID atau faktor- faktor lain yang
menyebabkan ketidakseimbangan pertahanan mukosal lambung. Lokasi tukak
menghubungkan dengan jumlah faktor- faktor etiologi. Tukak dapat terjadi di perut
bagian manapun seperti bagian distal, antrum dan duodenum.4
- Patogenesis
Telah diduga bahwa obat-obatan tertentu seperti aspirin, alkohol, indomestasin,
fenilbutazon dan kotikostreroid mempunyai efek langsung terhadap mukosa lambung dan
6

menimbulkan tukak. Obat-obatan lain seperti kafein, akan meningkatkan pembentukan


asam. Stress emosi dapat juga memegang peranan dalam patogenesis tukak peptik,
agaknya dengan meningkatkan pembentukan asam sebagai akibat perangsangan vagus.
Sejumlah penyakit tampaknya disertai pembentukan tukak peptik yaitu sirosis hati akibat
alkohol, pankreatitis kronik, penyakit paru kronik, hiperaratirioidisme dan sindrom
Zollinger-Ellison.4
Peningkatan sekresi asam-cairan peptik dapat turut berperan terhadap ulcerasi.
Pada kebanyakan orang yang menderita ulkus peptikum dibagian awal duodenum, jumlah
sekresi asam lambung lebih besar dari normal, sering sebanyak dua kali normal.
Walaupun setengah dari peningkatan asam ini mungkin disebabkan infeksi bakteri,
percobaan pada hewan ditambah bukti adanya perangsangan berlebihan sekresi asam
lambung oleh saraf pada manusia yang menderita ulkus peptikum mengarah kepada
sekresi cairan lambung yang berlebihan untuk alasan apa saja (sebagai contoh, pada
gangguan fisik) yang sering merupakan penyebab utama ulkus peptikum. Belakangan ini,
bukti-bukti menunjukkan bakteri Helicobacter pylori (dahulu disebut Campylobacter
pylori), mungkin merupakan agen penyebab dari tukak peptik. Kolonisasi bakteri ini
telah dilaporkan pada sejumlah besar penderita yang mengalami tukak duodenum atau
lambung serta pada beberapa bentuk gastritis akut pada kronik. Organisme ini melekat
pada epitel lambung dan merusak lapisan mukosa perlindungan dan meninggalkan
daerah-daerah epitel yang rusak.4
- Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah suatu hasil gram- negatif, spiral dengan flagela
multipel lebih menyukai lingkungan mikroaerofilik. Helicobacter pylori tidak menyerang
jaringan. Organisme menghuni dalam gel lendir yang melapisi sel epitelial, dengan
bagian kecil dari Helicobacter pylori melekat langsung pada sel epitelial. Kebanyakan
orang yang terinfeksi Helicobacter pylori mempunyai neutrofil- neutrofil dalam lamina
propia dan kelenjar epitel dan suatu peningkatan dalam sel radang kronik pada lamina
propia. Kolonisasi Helicobacter pylori dalam duodenum terbatas pada daerah metaplasia
lambung dan ditemukan dala m epitelium pasien dengan ulkus duodeni. Kuman
Helicobacter pylori bersifat mikroaerofilik dan hidup di lingkungan yang unik, di bawah
mukus dinding lambung yang bersuasana asam. Kuman ini mempunyai enzim urease
7

yang dapat memecah ureum menjadi amonia yang bersifat basa, sehingga tercipta
lingkungan memungkinkan kuman ini bertahan hidup.4
Terdapat hubungan timbal balik antara infeksi Helicobacter pylori, gastritis dengan asam
lambung. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan
sekresi asam lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada
antrum akan menstimulasi sekresi gastrin, yang selanjutnya akan merangsang sel
pariental untuk meningkatkan sekresi asam lambung.4
Gambaran klinis utama tukak peptik adalah kronik dan nyeri epigastrium. Nyeri
biasanya timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau pada malam hari sewaktu lambung
kosong. Nyeri ini seringkali digambarkan sebagai teriris, terbakar atau rasa tidak enak.
Remisi dan eksaserbasi merupakan ciri yang begitu khas sehingga nyeri di abdomen atas
yang persisten. Pola nyeri- makan- hilang ini dapat saja tidak khas pada tukak lambung.
Bahkan pada beberapa penderita tukak lambung makanan dapat memperberat nyeri.
Biasanya penderita tukak lambung akan mengalami penurunan berat badan. Sedangkan
penderita tukak duodenum biasanya memiliki berat badan yang tetap.4
Penderita tukak peptik sering mengeluh mual, muntah dan regurgitasi. Timbulnya
muntah terutama pada tukak yang masih aktif, sering dijumpai pada penderita tukak
lambung daripada tukak duodenum, terutama yang letaknya di antrum atau pilorus. Rasa
mual disertai di pilorus atau duodenum. Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut
kembung, perut merasa selalu penuh atau lekas kenyang, timbulnya konstipasi sebagai
akibat instabilitas neromuskuler dari kolon.4
Penderita tukak peptik terutama pada tukak duodenum mungkin dalam mulutnya
merasa dengan cepat terisi oleh cairan terutama cairan saliva tanpa ada rasa. Keluhan ini
diketahui sebagai water brash. Sedang pada lain pihak kemungkinan juga terjadi
regurgitasi pada cairan lambung dengan rasa yang pahit . Secara umum pasien tukak
gaster mengeluh dispepsia. Dispepsia adalah suatu sindrom atau kumpulan
8

keluhan beberapa penyakit saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati,
sendawa atau terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang.4
- Diagnosis
Kriteria terpenting pada diagnosis tukak duodenum adalah nyeri khas yang hilang
oleh makanan. Anamnesis tidak begitu informatif seperti pada penderita tukak lambung,
sebab gejala tidak enak pada epigastrum lebih sering timbul. Biasanya tidak mungkin
untuk membedakan antara tukak lambung dan duodenum hanya dari anamnesis saja.4
Diagnosis tukak peptik biasanya dipastikan dengan pemeriksaan barium
radiogram. Bila radiografi barium tidak berhasil membuktikan adanya tukak dalam
lambung atau duodenum tetapi gejala-gejala tetap ada, maka ada indikasi untuk
melakukan pemeriksaan endoskopi. Peneraan kadar serum gastrin dapat dilakukan jika
diduga ada karsinoma lambung atau sindrom Zo lliger-Ellison.4
Diagnosis tukak gaster ditegakkan berdasarkan pengamatan klinis, hasil
pemeriksaan radiologi dan endoskopi, disertai biopsi untuk pemeriksaan histopatologi,
tes CLO (Campylobacter Like Organism), dan biakan kuman Helicobacter pylori. Secara
klinis pasien mengeluh nyeri ulu hati kadang-kadang menjalar ke pinggang disertai mual
dan muntah.4
- Penatalaksanaan Tukak Peptik
Tujuan pengobatan tukak peptik adalah menghilangkan keluhan/ gejala penderita,
menyembuhkan tukak, mencegah relaps/ kekambuhan dan mencegah komplikasi. Secara
garis besar pengobatan tukak peptik adalah eradikasi kuman H. Pylori serta pengobatan/
pencegahan gastropati NSAID. Pada saat ini, penekanan pengobatan ditujukan pada
peran luas infeksi Helicobacter pylori sebagai penyebab ulkus peptikum. Eradikasi
Helicobacter pylori infeksi dapat dilakukan pengobatan antibiotik yang sesuai. Penderita
ulkus harus menghentikan pengobatan dengan NSAID atau apabila hal ini tidak dapat
dilakukan pemberian agonis prostaglandin yang berkerja lama, misalnya misoprostol.4
Dalam memberikan terapi terhadap tukak peptik akut pada umumnya serupa
dengan penderita tukak peptik kronik. Bila ditemukan penderita dengan keluhan berat,
maka sebaiknya dirawat di rumah sakit, serta perlu istirahat untuk beberapa minggu.4
9

Penderita dengan keluhan ringan umumnya dapat dilakukan dengan


berobat jalan . Secara garis besar pengelolaan penderita dengan tukak
peptik adalah sebagai berikut:
a. Non – Farmakologi
1) Istirahat
Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila
kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap.
Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap walaupun
mekanismenya belum jelas, kemungkinan olehbertambahnya jam istirahat,
berkurangnya refluks empedu, stress dan penggunaan analgesik. Stress dan
kecemasan memegang peran dalam peningkatan asam lambung dan
penyakit tukak.4
2) Diet
Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung
susu tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus akan
merangsang pengeluaran asam. Cabai, makanan merangsang, makanan
mengandung asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien
tukak dan dispepsia non tukak, walaupun belum dapat dibuktikan
keterkaitannya.4
b. Farmakologi
1) Antagonis Reseptor H2
Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin dan reseptor digantikan
dengan obat-obat ini, maka asam tidak akan dihasilkan. Efek samping obat
golongan ini yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit pada otot dan konstipasi .
Obat Dosis Frekuensi

Simetidin Per oral 300 mg atau 4x sehari


400 mg 2x sehari
800 mg 1x sehari
IV 300 mg 4x sehari
Ranitidin Per oral 150 mg atau 2x sehari
300 mg 1x sehari
IV 50 mg 3-4x sehari
10

Famotidin Per oral 20 mg atau 2x sehari


40 mg 1x sehari
IV 20 mg 1x sehari

Nizatidin Per oral 150 mg atau 2x sehari


300 mg 1x sehari

Tabel 1.1 : Obat-obat Antagonis Reseptor H2.4


2) PPI (Proton Pump Inhibitor)
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim KH ATPase
yang akan memecah KH ATP akan menghasilkan energi yang digunakan
untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli serta pariental ke dalam lumen
lambung. Panjang dapat menimbulkan kenaikan gastin darah dan dapat
menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada manusia belum
terbukti gangguan keamanannya pada pemakaian jangka panjang.4
Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati dan dieliminasi di
ginjal. Dengan pengecualian penderita disfungsi hati berat, tanpa
penyesuaian dosis pada penyakit liver dan penyakit ginjal. Dosis
Omeprazol 20-40 mg/hr, Lansoprazol 15-30 mg/hr, Rabeprazol 20 mg/hr,
Pantoprazol 40 mg/hr dan Esomeprazol 20-40 mg/hari.4
Inhibitor pompa proton memiliki efek yang sangat besar terhadap
produksi asam. Omeprazol juga secara selektif menghambat karbonat
anhidrase mukosa lambung, yang kemungkinan turut berkontribusi
terhadap sifat suspensi asamnya. Efek samping obat golongan ini jarang,
meliputi sakit kepala, diare, konstipasi, muntah, dan ruam merah pada
kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya menghindari penggunaan PPI.4
3) Sulkrafat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis
protein mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap
terjadinya erosi dan ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh
polisakarida bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh
11

pepsin, sulkrafat juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni


stimulasi produksi lokal prostagladin dan faktor pertumbuhan epidermal.
Dosis sulkrafat 1gram 4x sehari atau 2gram 2x sehari. Efek samping yang
sering dilaporkan adalah konstipasi, mual dan mulut kering.4
4) Koloid Bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama protein
pada dasar tukak dan melindungi terhadap rangsangan pepsin dan asam. Dosis
obat 2 x 2 tablet sehari. Efek samping, berwarna kehitaman sehingga timbul
keraguan dengan pendarahan.4
5) Antasida
Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan
nyeri dan obat dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung
secara lokal. Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan
diare sedangkan aluminium menyebabkan konstipasi. Kombinasi
keduanya saling menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan
konstipasi. Dosis: 3 x 1 tablet, 4 x 30 cc (3 kali sehari malam dan sebelum
tidur). Efek samping diare, berinteraksi dengan obat digitalis, barbiturat,
salisilat, dan kinidin.4
Tabel 1.2 : Regimen Terapi Tripel Eradikasi H. Pylory.4

Obat 1 Obat 2 Obat 3

Klaritromisin 500 Amoksisilin 1g 2x sehari


Proton pump inhibitor, meliputi mg atau
(Omeprazol 20 mg 2x sehari
atau 2x sehari 500 mg 2x metronidazol 500 mg 2x
lansoprazol 30 mg 2x sehari
atau sehari. sehari.
pantoprazol 40 mg 2x sehari
atau
esomeprazol 40 mg 1x sehari
atau
12

rabeprazol 20 mg 1x sehari).

Tabel 1.3 : Terapi Obat Untuk Penyembuhan Tukak Peptik4

Obat Mengobati tukak Terapi pemeliharaan tukak


lambung dan lambung dan duodenum
duodenum (mg/dosis) (mg/dosis)
Penghambat pompa
proton
Omeprazol 20-40 20-40
Lansoprazol 15-30 15-30
Rabeprazol 20 20
Pantoprazol 40 40
Esomeprazol 20-40 20-40
H2-RA
Simetidin 300 (4kali sehari) 400-800
400 (2kali sehari)
800

2. Erosive Gastritis
 Definisi
Gastritis erosif mencakup peradangan akibat cedera superfisial di
mukosa, erosi mukosa, atau tukak dangkal akibat berbagai gangguan
atau iritan. Kasus dari gastritis erosif jarang terjadi dan pencetus
pastinya tidak diketahui. (1)(2)
 Faktor Resiko
Faktor resiko dari luar biasanya menyebab perparahan dari gastritis
erosif, seperti mengonsumsi alkohol, terutama etanol, obat-obatan
13

OAINS, dan makanan iritan lambung seperti makanan pedas, das


sebagainya.
Faktor resiko lain antara lain:
1. Hipersekresi asam
2. Anoksia lambung
3. Penurunan pH intramukosa
4. Stres
5. Mediator jaringan
6. Perbaruan epitel
7. Gangguan.(1)(2)
 Manifestasi Klinis
ManIfestasi klinis yang dirasakan nyaris sama dengan gastritis lainnya,
namun yang membedakan yaitu adanya perdarahan yang tidak lazim lewat
saluran cerna, turunnya berat badan dan anemia. Manifestasi yang lain
yaitu:
1. Nausea
2. Vomitus
3. Nyeri ulu hati yang sukar dijelaskan
4. Nyeri saat mengonsumsi iritan/pencetus
5. Anoreksia.(1)(2)
 Patogenesis
Gastritis erosive biasanya di hubungkan dengan penyakit yang
serius atau penggunaan berbagai obat. Stres, etnaol dan OAINS
menganggu mukosa pelindung gaster yang mengakibatkan lebih rentan
dengan kadar asam dan menganggu COX dan Prostaglandin. Adanya
ketidakseimbgan pada COX1 dan COX2 menyebabkan PGE2 tidak stabil
dan meyebabkan peningkatan, sekresi mucus, regenerasi sel, asam
lambung, dan aliran darah. (1)(2)
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang merupakan golden standard untuk
kasus gastritis erosif yaitu dengan melakukan endoskopi. Dari semua
14

kasus, endoskopi dapat melihat 70-80% dari semua kasus gastritis


erosif. (1)(2)

Gambar 1.1 : Pemeriksaan endoskopi.4


 Tatalaksana
Tatalaksana dari gastritis erosive yaitu dengan menghentikan
konsumsi iritan dan OAINS begitu juga perubahan gaya hidup seperti
makan tepat waktu dan tidak berubah-ubah, tidak terburu-buru saat
makan dan mengendalikan stress.1
Untuk terapi medikamentosa, dapat diberikan mukoprotektor dan
antasida.
 PPI rabendazole 20mg tiap 12 jam, MgOH 400mg tablet kunyah
3x1 sebelum makan.
atau
 PPI lansoprazole 30 mg/omeprazole 20mg tiap 12 jam, MgOH
400mg tablet kunyah 3x1 sebelum makan.1

3. Erosive Esofagitis
Definisi
15

Gastritis atau lebih dikenal sebagai magh berasal dari bahasa yunani yaitu
gastro, yang berarti perut/ lambung dan itis yang berarti inflamasi atau
peradangan. Secara sederhana definisi gastritis adalah proses inflamasi pada
mukosa dan submukosa lambung.
Gastritis erosif atau ulserasi duodenum adalah kondisi lambung dimana
terjadi erosi atau ulserasi lambung atau duodenum yang telah mencapai
sistem pembuluh darah lambung atau duodenum; dapat terjadi secara akut
atau kronis.4
Faktor Risiko
a. Lanjut usia
Lanjut usia meningkatkan resiko gastritis disebabkan karena
dinding mukosa lambung semakin menipis akibat usia tua dan pada
usia tua lebih mudah untuk terinfeksi helicobacter pyllori atau
penyakit autoimun daripada usia muda.4
Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya
satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri. Respon
dewasa tua terhadap nyeri berbeda beda, sebagian dewasa tua
cenderung mengabaikan nyeri dalam waktu yang lama sebelum
melaporkan atau mencari perawatan kesehatan karena sebagian dari
mereka menganggap nyeri sebagai bagian dari proes penuaan yang
normal, sebagian orang dewasa lain tidak mencari bantuan perawatan
kesehatan karena merasa takut nyeri tersebut manandakan penyakit
yang serius.4
b. Jenis Kelamin
Penyakit gastritis lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding
laki-laki. Hal ini didukung oleh data distribusi penyakit sistem cerna
pasien rawat inap menurut golongan sakit di Indonesia tahun 2006,
gastritis berada pada urutan ke-5 dengan jumlah penderita laki laki
13.529 orang dan perempuan 19.506 orang, sedangkan data distribusi
penyakit sistem cerna pasien rawat jalan menurut golongan sebab sakit
di Indonesia tahun 2006 adalah berada pada posisi ke- 5 dengan
jumlah penderita laki-laki57.045 orang dan perempuan 70.873 orang.4
16

c. Stres fisik
Stres fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau
infeksi berat dapat menyebabkan gastritis, ulkus serta pendarahan pada
lambung. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah termasuk
pada saluran pencernaan sehingga menyebabkan gangguan pada
produksi mukus dan fungsi sel epitel lambung.
d. Stres Psikologis
Efek stress pada saluran pencernaan antara lain menurunkan saliva
sehingga mulut menjadi kering; menyebabkan kontraksi yang tidak
terkontrol pada otot esophagus sehingga menyebabkan sulit untuk
menelan; peningkatan asam lambung, konstriksi pembuluh darah di
saluran pencernaan dan penurunan produksi mukus yang melindungi
dinding saluran pencernaan sehingga menyebabkan iritasi dan luka
pada dinding lambung dan perubahan motilitas usus yang dapat
meningkat sehingga menyebabkan diare atau menurun sehingga
menyebabkan konstipasi. Konstipasi biasanya terjadi pada individu
yang mengalami depresi sedangkan diare biasanya terjadi pada
individu yang berada pada kondisi panik. Hasil penelitian tersbut
menunjukan bahwa stres memiliki pengaruh yang negatif terhadap
saluran pencernaan antara lain dapat menyebabkan individu
mengalami luka (ulcer) pada saluran pencernaan termasuk pada
lambung yang disebut dengan penyakit gastritis.4
 Etiologi
Adapun beberapa etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya gastritis
erosif adalah sebagai berikut:
a. Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) seperti aspirin,
ibuprofen,naproxen dan piroxicam dapat menyebabkan peradangan
pada lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas
melindungi dinding lambung. Jika pemakaian obat - obat tersebut
hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah lambung akan
kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau
17

pemakaian yang berlebihan dapat mengakibatkan gastritis dan peptic


ulcer.3 Beberapa penelitian juga telah dilakukan di RSCM untuk melihat
efek samping dari penggunaan obat rematik antara lain pemeriksaan
endoskopi pada pasien yang telah menggunakan aspirin selama lebih dari
2 bulan. Penelitian tersebut menunjukan bahwa terjadi kerusakan pada
struktur saluran cerna bagian atas yaitu 66,7% pasien, hampir 30 %
pengguna aspirin tersebut mengalami tukak pada saluran cerna bagian
atas, dan yang menarik adalah 25 % pasien pengguna aspirin tersebut tidak
merasakan apa apa walaupun sudah mengalami tukak pada lambung.3
b. Penggunaan zat korosif, alcohol dan kokain secara berlebihan
Alkohol dan kokain dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada
dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap
asam lambung walaupun pada kondisi normal sehingga dapat
menyebabkan perdarahan.3
 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya gastritis dan tukak peptik ialah bila
terdapat ketidakseimbangan faktor ofensif (penyerang) dan faktor
defensive (pertahanan) pada mukosa gastroduodenal, yakni peningkatan
faktor ofensif dan atau penurunan kapasitas defensif mukosa. Faktor
ofensif tersebut meliputi asam lambung, pepsin, asam empedu, enzim
pankreas, infeksi Helicobacter pyllori yang bersifat gram-negatif,
OAINS (obat anti inflamasi non steroid), alkohol, dan radikal bebas.
Sedangkan sistem pertahanan atau faktor defensif mukosa
gastroduodenal terdiri dari 3 lapis yakni elemen preepitelial, epitelial, dan
subepitelial.3
Elemen preepitelial sebagai lapis pertahanan pertama adalah
berupa lapisan mucus bicarbonate yang merupakan penghalang
fisikokimiawi terhadap berbagai bahan kimia termasuk ion hidrogen.
Mukus tersusun dari lipid, glikoprotein, dan air sebanyak 95%. Fungsi
mukus ini menghalangi difusi ion dan molekul, misalnya pepsin.
Bikarbonat yang disekresi sel epitel permukaan membentuk gradasi pH di
lapisan mukus. Stimulasi sekresi bikarbonat oleh kalsium, prostaglandin,
18

asam, dan rangsang cholinergik. Prostaglandin adalah metabolit asam


arakhidonat dan menduduki peran sentral dalam pertahanan epitelial yaitu
mengatur sekresi mukus dan bikarbonat, menghambat sekresi sel parietal,
mempertahankan sirkulasi mukosa, dan restitusi sel.3
Lapis pertahanan kedua adalah sel epitel itu sendiri. Aktifitas
pertahanannya meliputi produksi mukus, bikarbonat, transportasi ion
untuk mempertahankan pH, dan membuat ikatan antar sel. Bila pertahanan
preepitelial bisa dilewati akan segera terjadi restitusi, sel sekeliling
mukosa yang rusak terjadi migrasi dan mengganti sel-sel epitel yang
rusak. Proses ini tidak tergantung pada pembelahan sel, membutuhkan
sirkulasi darah yang utuh, dan pH sekitar yang alkali. Pada umumnya sel
epitel yang rusak akan sembuh dan mengalami regenerasi selama 3 sampai
5 hari Bila kerusakan mukosa luas dan tidak teratasi dengan proses
restitusi akan diatasi dengan proliferasi sel epitel.3
Lapisan pertahanan ketiga adalah aliran darah dan lekosit.
Komponen terpenting lapis pertahanan ini ialah mikrosirkulasi subepitelial
yang adekuat. Sirkulasi darah ke epitel sangat diperlukan untuk
mempertahankan keutuhan dan kelangsungan hidup sel epitel dengan
memasok oksigen, mikronutrien, dan membuang produk metabolisme
yang toksik sehingga sel epitel dapat berfungsi dengan baik untuk
melindungi mukosa lambung.3
 Diagnosis
Penderita perdarahan saluran makan bagian atas yang perlu
diperhatikan adalah keadaan umum, kesadaran, nadi, tekanan darah,
tanda-tanda anemia dan gejala-gejala hipovolemik agar dengan segera
diketahui keadaan yang lebih serius seperti adanya rejatan atau
kegagalan fungsi hati. Disamping itu dicari tanda-tanda hipertensi
portal dan sirosis hepatis, seperti spider naevi, ginekomasti, eritema
palmaris, caput medusae, adanya kolateral, asites, hepatosplenomegali
dan edema tungkai untuk menyingkirkan diagnosis banding lain.3
Untuk menegakkan diagnosa gastritis, dilakukan dengan
berbagai macam tes, diantaranya:
19

1. Darah rutin
Digunakan untuk mengetahui apakah pasien mengalami anemia
agar segera mendapatkan terapi lanjut.5
2. Rontgen
Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung
yang dapat dilihat dengan sinar X. Biasanya akan diminta menelan
cairan barium terlebih dahulu sebelum dilakukan rontgen. Cairan
ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika
di rontgen.5
3. Endoskopi
Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung
yang mungkin tidak dapat dilihat dengan sinar X. Tes ini dilakukan
dengan cara memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel
(endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam esophagus,
lambung dan bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih
dahulu dimatirasakan (anestesi), sebelum endoskop dimasukkan
untuk memastikan pasien merasa nyaman menjalani tes ini. Jika
ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat mencurigakan,
dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari jaringan
tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk
diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30
menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini
selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi
menghilang, kurang lebih satu atau dua jam.5
 Terapi
Tujuan terapi adalah:
1. Menghilangkan keluhan/symptom
2. Menyembuhkan/memperbaiki kerusakan lambung
3. Mencegah kekambuhan
4. Mencegah Komplikasi.3

Adapun terapi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:


Non Medikamentosa :
20

a. Edukasi terhadap pasien beserta keluarga mengenai penyakit yang


dialami sehingga dapat menghindarkan dari penyebab awal
terjadinya gastritis erosif
b. Pasien dianjurkan untuk beristirahat.
c. Diberikan makanan halus, dalam porsi kecil, dan cukup cairan.3

Medikamentosa:
a. Penyebab OAINS
1. Jika mungkin menghentikan pemakaian OAINS, walaupun
biasanya tidak memungkinkan pada penyakit seperti RA
ataupun OA.
2. Penggunaan preparat OAINS (prodrug, OAINS terikat pada
bahan lain seperti Nitrit Oxide
3. Pemberian obat spesifik COX-2 inhibitor walaupun hal ini
tidak 100% mencegah efek samping pada gastroduodenal
b. Penyebab non-OAINS
1. Antasida : untuk menetralisir asam cukup diberikan 120-240
mEq/hari dalam dosis terbagi
2. H2 Receptor Antagonist (H2RA)
Obat ini berperan menghambat pengaruh histamine sebagai
mediator untuk sekresi asam melalui reseptor histamine-2 pada
sel parietal. Beberapa jenis preparat yang dapat digunakan
adalah:
Ranitidin 2 x 150 mg/hari
Famotidin 2 x 20 mg/hari
3. PPI
Dapat diberikan sekali sehari atau dua kali sehari. Adapun
sediaan yang tersedia adalah: Omeprazole 20 mg, rabeprazol 10
mg, pantoprazol 40mg, lanzoprazol 30mg.
4. Obat lain seperti sucralfat 2 x 2 gr/hari atau 4 x 1 gr sehari
berfungsi untuk menghindari iritasi.pengaruh asam-pepsin dan
garam empedu.3
c. Mengatasi perdarahan
21

Untuk mengatasi perdarahan dapat diberikan beberapa obat berikut


ini:
1. Injeksi Kalnex
Digunakan untuk menghentikan perdarahan pada gastritis erosif.
Diberikan 50 mg injeksi. Sehari 1-2 ampul (5-10 mL)
disuntikkan secara intravenous atau intramuskular, dibagi dalam
1-2 dosis. Pada waktu atau setelah operasi, bila diperlukan dapat
diberikan intravenous sebanyak 2-10 ampul (10-50 mL) dengan
cara infus.
2. Injeksi Vitamin K
Membantu menyembuhkan luka. Inflamasi, infeksi, dan sebagai
hemostatik. Dapat diberikan oral ataupun intravena. Sediaan
tablet 10 mg (4xsehari) atau injeksi 10 mg (4 x sehari).3

4. Dieulafoy’s Lession
- Definisi
Dieulafoy’s Lession merupakan kondisi medis yang ditandai
dengan munculnya arteriol besar pada dinding saluran cerna bagian
submukosa yang menonjol dan dapat menimbulkan perdarahan. Kelainan
ini dinamakan sesuai dengan ahli bedah kebangsaan Perancis bernama
Paul Georges Dieulafoy, yang menjelaskan kondisi ini pada studinya
“Exulceratio simplex” pada tahun 1898. Studi tersebut menyebutkan
bahwa kelainan ini mungkin disebabkan oleh stadium awal tukak
lambung.4
Dieulafoy’s Lession juga disebut “arteri kaliber persisten” atau
“aneurisme” pembuluh darah gaster. Namun, tidak seperti aneurisme lain,
kelainan ini lebih disebabkan oleh malformasi perkembangan daripada
perubahan degeneratif. Lebih dari 100 tahun sejak Dieulafoy
mempublikasikan penelitiannya, terdapat lebih dari 280 kasus yang telah
dipublikasikan di seluruh dunia.4
 Etiologi
22

Pada awalnya Dieulafoy’s Lession dipikirkan timbul karena didapat


dan merupakan bagian aneurisme. Laporan patologis gagal untuk
menghubungkan lesi ini dengan aneurisme, aterosklerosis, arteritis, atau
inflamasi. Walaupun etiologi Dieulafoy’s Lession sampai saat ini masih
belum jelas, terdapat profil pasien yang diteliti dari beberapa studi kasus.
Dieulafoy’s Lession terjadi dua kali lipat lebih sering pada laki-laki
dibanding perempuan dan dapat timbul pada kelompok usia manapun.
Namun, kondisi ini lebih sering terjadi pada orang-orang lanjut usia.
Komorditas ada pada 90% pasien, paling sering adalah disfungsi
kardiopulmonal dan gagal ginjal kronis. Namun, hanya sedikit sumber
literatur yang mendukung teori ini.4
 Teori Ruptur Spontan
Beberapa mekanisme telah dipikirkan sebagai penyebab ruptur dan
perdarahan masif. Satu teori menilai pulsasi pada pembuluh darah
submukosa yang besar menyebabkan kerusakan epitel. Hal ini kemudian
menyebabkan iskemia terlokalisasi dan pajanan terhadap isi usus yang
pada akhirnya menyebabkan erosi dan ruptur. Teori lain menyebutkan isi
lambung dan trombosis pada arteri menyebabkan nekrosis lebih lanjut.4
Isi padat pada usus besar dan rektum dapat berperan terhadap
perkembangan ulserasi mukosa yang berada di atas arteriol submukosa,
yang melebar secara abnormal diikuti dengan ruptur dan perdarahan.
Selain itu, atrofi mukosa yang berhubungan dengan usia lanjut dinilai
dapat berkontribusi pada proses tersebut. Penggunaan nonsteroidal anti-
inflammatory drugs (NSAID) atau alkohol dengan cedera mukosa lanjutan
juga dipikirkan. Namun, tidak ada bukti konsisten yang mendukung
hubungan ini. Ketika patogenesis pasti masih belum diketahui, dapat
disimpulkan bahwa terdapat erosi mukosa atau cedera iskemik. Kondisi
tersebut mungkin berhubungan dengan peningkatan usia atau penyakit
kardiovaskuler. Peningkatan usia dan penyakit kardiovaskuler dinilai dapat
melemahkan bagian mukosa dan arteriol yang rentan untuk mengalami.4
 Patofisiologi
23

Dieulafoy’s Lession pada dasarnya merupakan pembuluh darah yang


normal secara histologis, namun memiliki diameter abnormal. Diameter
tersebut memiliki lebar yang konsisten sebesar 1-3 mm. Pembuluh darah
tersebut memiliki bentuk yang berkelok pada submukosa dan memiliki ciri
khas lesi yang menonjol melalui bagian mukosa dengan ukuran 2-5 mm
dan memiliki nekrosis fibrinoid pada dasarnya.4
Lambung merupakan lokasi tersering mengalami Dieulafoy’s Lession.
Kelainan mukosa terjadi paling umum pada kurvatura minor dengan 80-
95% lesi ini terletak dalam jarak 6 cm dari batas gastroesofageal
(gastroesophageal junction). Sekitar sepertiga lesi merupakan ekstragaster,
paling banyak pada duodenum diikuti kolon. juga diketahui dapat timbul
di esofagus, usus halus, rektum, dan lubang anus. LD juga ditemukan di
luar saluran cerna, misalnya pada bronkus. Miko dan Thornazy4
mempelajari 24 spesimen patologis dan menyatakan diameter rata-rata
arteri yang patologis adalah 1,8 (0,39) mm, sementara arteri normal pada
submukosa memiliki diameter rata-rata 1,02 (0,17) mm dan arteri pada
level muskularis mukosa memiliki diameter 0,1 (0,01) mm. Hal ini
membuktikan bahwa arteri patologis memiliki ukuran lebih besar secara
signifikan dibandingkan arteri normal pada level mukosa dibandingkan
submukosa.4
Arteri dan vena pada lambung normal menembus dinding otot ke
submukosa dengan ukuran yang semakin mengecil dan membentuk
pleksus mukosa untuk kemudian menembus muscularis mukosa menjadi
kapiler mukosa. Pada kurvatura minor lambung, arteri submukosa berasal
dari rantai arteri kanan dan kiri dan kemudian mengalir secara oblik untuk
mencapai mukosa tanpa pembentukan pleksus submukosa. Banyak peneliti
yang menemukan bahwa arteri patologis ini memiliki struktur dinding
yang normal, tidak ada bukti histologis yang mengarah ke aneurisme,
arteriosklerosis atau vaskulitis sehingga dipikirkan kemungkinan penyebab
kongenital daripada keadaan yang didapat.4
 Tanda dan Gejala Klinis
24

Pada Dieulafoy’s Lession terjadi perdarahan masif akut yang


sering berulang dan dapat timbul dalam bentuk hematemesis, melena, atau
perdarahan segar dari rektum atau hematoschezia. Selain itu, Dieulafoy’s
Lession juga dapat ditandai dengan perdarahan saluran cerna tanpa rasa
nyeri dan intermiten. Lokasi paling umum ditemukan di lambung,
terutama pada kurvatura minor. Sebanyak 80-95% lesi terletak pada
lambung bagian proximal jarak ±6 cm dari pertemuan
gastroesofageal/gastroesofageal junction. Sebanyak 44% perdarahan
berbentuk melena dan 30% berupa hematemesis.4
 Pemeriksaan Penunjang
Endoskopi saluran cerna efektif dalam mendiagnosis lebih dari 70%
pasien. Pada sumber lain dikatakan bahwa efektivitasnya mencapai >90%
pada pasien. Namun, endoskopi mungkin diperlukan sampai beberapa kali
(2-3 kali) untuk menegakkan diagnosis. Sebab, endoskopi pertama
seringkali tidak berhasil, terutama disebabkan oleh perdarahan yang
berlebihan ataupun intermiten (44%) atau ukuran lesi yang halus (56%).5
Kriteria diagnostik per endoskopis untuk Dieulafoy’s Lession
dikomposisikan menjadi tiga kategori. Kategori pertama yaitu semprotan
arteri aktif atau aliran darah mikropulsasi dari kelainan mukosa <3 mm,
atau dari mukosa normal di sekelilingnya. Kedua, visualisasi pembuluh
darah yang menonjol dengan atau tanpa perdarahan, dengan defek mukosa
atau melalui mukosa normal sekelilingnya. Ketiga, adanya tampilan
bekuan darah yang masih segar, menempel pada bagian defek mukosa atau
mukosa yang terlihat normal.5
Ada beberapa pemeriksaan penunjang lain yang dapat menjadi pilihan
selain endoskopi, yaitu angiografi dan scan darah merah. Pemeriksaan
penunjang tersebut dilakukan jika endoskopi gagal ataupun memiliki
kontraindikasi.5

 Tatalaksana
Tidak ada konsensus khusus untuk tata laksana Dieulafoy’s
Lession. Pilihan tata laksana bergantung dari bentuk lesi, lokasi lesi, dan
25

ahli yang ada. Metode endoskopi adalah pilihan pengobatan pada lesi yang
mudah untuk dicapai. Tingkat keberhasilannya pun dilaporkan mencapai
lebih dari 90%.4
Prosedur hemostasis per endoskopi dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kelompok, yaitu: 1) termalelektrokoagulasi dan koagulasi argon
plasma; 2) injeksi regional-injeksi epinefrin lokal dan skleroterapi serta;
dan 3) mekanik-menggunakan teknik ikatan dan klip hemostasis. Setiap
teknik memiliki keuntungan dan kerugian yang berhubungan dengan
mekanisme hemostasis dan teknik prosedur. Selain itu, setiap teknik juga
memiliki tingkat kesuksesan yang bervariasi. Namun demikian, beberapa
literatur menyebutkan bahwa metode endoskopi mekanik lebih efektif dan
memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi untuk menghentikan perdarahan
jika dibandingkan injeksi dan metode termal. Selain itu, juga diketahui
bahwa terapi endoskopi yang dikombinasikan memiliki risiko perdarahan
ulang yang lebih rendah dibandingkan dengan tata laksana endoskopi
tunggal.4
Selain itu, teknik ultrasonografi endoskopi (EUS) untuk menilai
pembuluh darah yang mengalami kelainan juga diketahui dapat dilakukan.
EUS dapat membantu mendeteksi pembuluh darah yang abnormal pada
submukosa. EUS juga dapat mengonfirmasi ablasi dari Dieulafoy’s
Lession setelah terapi injeksi atau ligasi dengan memastikan aliran darah
telah berhenti.4
Angiografi dan Embolisasi Angiografi dapat digunakan untuk
mengembolisasi Dieulafoy’s Lession yang berdarah aktif. Hal ini penting
untuk menatalaksana lesi apabila metode endoskopik gagal dilaksanakan.
Namun, embolisasi memiliki risiko iskemia ke area yang disuplai oleh
arteri yang berhubungan. Jika lesi yang berdarah disuplai oleh pembuluh
darah multipel kolateral, embolisasi ekstensif mungkin diperlukan. Namun
demikian, prosedur ini terkadang menjadi pilihan yang tidak tepat karena
risiko iskemia yang lebih luas. Tata laksana perdarahan aktif Dieulafoy’s
Lession dengan embolisasi menjadi pilihan jika ditemukan kondisi berikut:
1) kegagalan terapi endoskopik; 2) perdarahan saluran cerna bawah atau
26

lesi yang sulit untuk dicapai dengan terapi endoskopi, dan 3) kandidat
yang buruk untuk tata laksana pembedahan.4
 Pembedahan
Pembedahan reseksi dahulu menjadi tata laksana lini pertama dari
Dieulafoy’s Lession yang umumnya dilakukan dengan gastrotomi dan
reseksi luas atau gastrektomi. Namun demikian, teknik tersebut saat ini
telah digantikan oleh perkembangan yang pesat dari teknik endoskopik.
Pembedahan reseksi saat ini berperan pada 5% kasus yang refrakter
terhadap tata laksana metode endoskopik atau angiografi. Prosedur
pembedahan yang dilakukan berupa reseksi dari lokasi lesi yang
mengalami perdarahan. Reseksi masih menjadi pilihan pada beberapa
keadaan, terutama pada keadaan lesi terpajan feses yang keras, maupun
risiko perdarahan ulang tinggi.4
Pembedahan Minimal Invasif Saat ini pembedahan dengan teknik
laparoskopik telah banyak dilakukan. Pembedahan laparoskopik menjadi
pilihan yang lebih baik sebab tindakannya minimal invasif. Namun,
keberhasilan reseksi laparoskopik bergantung lokalisasi yang akurat dari
perdarahan.4
Terdapat beberapa laporan kasus yang menjelaskan bahwa reseksi
laparoskopik perdarahan Dieulafoy’s Lession pada jejunum dan lambung
yang sukses mengikuti lokasi yang dibuat pre operatif dan intra operatif.
Reseksi laparoskopik transgaster dari Dieulafoy’s Lession, termasuk
gastrotomi anterior dan reseksi lesi tanpa memerlukan endoskopi telah
banyak dilakukan. Namun, dalam prosedur ini juga masuk gastrostomi
yang tidak diperlukan.4
 Prognosis
Perkembangan pesat di bidang endoskopi telah meningkatkan
keberhasilan deteksi LD dan secara signifikan mengurangi mortalitas dari
80% menjadi 8,6%. Perkembangan pada prognosis juga dapat dijelaskan
dengan meningkatnya penggunaan endoskopi daripada intervensi bedah
untuk mengontrol perdarahan yang dilaporkan efektif pada lebih dari 90%
pasien. Luis, dkk.7 melaporkan bahwa keluaran dari perdarahan saluran
27

cerna akibat LD lebih baik daripada perdarahan akut yang disebabkan


ulkus gaster atau duodenum.4
5. Mallory Weist Tears
- Definisi
Sindrom Mallory Weiss adalah suatu kondisi yang ditandai dengan
robekan pada selaput lendir, yang terletak di bagian bawah kerongkongan.
Robekan tersebut biasanya linear dan muncul di persimpangan yang
menghubungkan esofagus dan lambung. Robekan tersebut rentan terhadap
perdarahan.1
 Etiologi
Robekan Mallory Weiss dapat terjadi karena batuk atau muntah
berat yang intens atau kronis. Begitu juga dengan cegukan dan ketegangan
pada saluran pencernaan bagian atas. Kondisi ini biasanya dipicu oleh:
1) Alkoholisme.
2) Trauma tumpul.
3) Kejang epilepsi.
4) Gangguan makan, seperti bulimia.
5) Keracunan makanan.
6) Hiperemesis gravidarum atau morning sickness parah, yang
menyebabkan mual dan muntah pada saat kehamilan.1
 Faktor Resiko :
1) Usia 40-60tahun
2) Hernia hiatus
3) Cegukan berat atau berlangsung lama
4) Gastritis
5) Batuk terus-menerus
6) Kejang
7) Sering mengangkat beban berat
8) Menerima resusitasi jantung paru
9) Penggunaan aspirin atau obat-obatan golongan antiinflamasi
nonsteroid.1
 Gejala Sindrom Mallory Weiss
28

1) Muntah darah dengan warna merah cerah.


2) Feses berdarah.
3) Darah segar mengalir melalui anus.
4) Sakit perut.
5) Pingsan
6) Pusing
7) Lemas
8) Sesak napas1

 Pemeriksaan Penunjang :
1. Esophagogastroduodenoscopy (EGD),
untuk melihat penyebab luka atau perdarahan yang terjadi.
2. Hitung jumlah darah lengkap (CBC),
untuk menentukan apakah pasien memiliki kadar hematokrit
rendah.
3. Pengukuran jumlah trombosit, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial teraktivasi, serta kadar urea nitrogen,
kreatinin, dan elektrolit.1
 Penatalaksanaan :
Pengobatan Sindrom Mallory-Weiss
Sebagian besar kasus sindrom Mallory-Weiss akan sembuh dengan
sendirinya. Namun, jika perdarahan yang terjadi tergolong parah dan
telah berlangsung lama, maka perlu dilakukan tindakan lanjutan.
Tindakan tersebut meliputi:
1). Konsumsi obat-obatan
Karena robekan pada saluran cerna bagian atas disebabkan
oleh muntah yang berlangsung secara terus menerus, maka
beberapa obat-obatan seperti famotidine atau lansoprazole
dapat digunakan untuk mengurangi produksi asam di dalam
lambung, sehingga meredakan muntah. Namun, risiko dan
manfaatnya masih diperdebatkan.1
2). Terapi endoskopi.
29

Selain untuk pemeriksaan, endoskopi juga dapat dilakukan


untuk mengatasi robekan pada saluran cerna bagian atas
penyebab perdarahan. Prosedur ini dilakukan untuk membantu
tindakan menghentikan perdarahan dan menutup robekan.1
3). Operasi.
Operasi dapat dilakukan ketika tindakan medis lain tidak
menghentikan perdarahan yang terjadi. Operasi bertujuan untuk
menjahit robekan yang ada sehingga perdarahan dapat segera
berhenti. Salah satu teknik operasi yang dilakukan adalah
laparoskopi, yaitu tindakan dengan menyayat kulit sebesar
lubang kunci.1
 Pencegahan Sindrom Mallory-Weiss
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya robekan
pada kerogkongan adalah:
1) Perbanyak minum air putih.
2) Hati-hati terhadap makanan yang berpotensi melukai
saluran cerna bagian atas, seperti kacang, kerupuk, dan
makan-makanan bercitarasa pedas.
3) Jika menggunakan obat, lakukan pemeriksaan rutin.
4) Hindari penggunaan aspirin atau obat-obatan golongan
antiinflamasi nonsteroid.
5) Istirahat yang cukup.
6) Hindari konsumsi alkohol.1
 Komplikasi
Jika perdarahan yang terjadi tidak segera ditangani, hal tersebut
dapat menyebabkan komplikasi seperti anemia, syok hipovolemik ,
hipoksia, bahkan kematian. Selain itu, tindakan medis yang diambil
juga memiliki risiko tersendiri.1

6. Aortik Enterik Fistula (AEF)


Definisi
30

Fistula aortoenterika adalah hubungan antara aorta dan usus, lambung,


atau esofageus. Terdapat kehilangan darah yang signifikan ke dalam usus yang
mengakibatkan tinja berdarah dan kematian. Ini biasanya sekunder untuk
perbaikan aneurisma aorta perut. Bagian ketiga atau keempat dari duodenum
adalah situs yang paling umum untuk fistula aortoenterik, diikuti oleh jejunum
dan ileum. Terdapat 2 tipe, yaitu;
1. AEF Primer: Pembentukan fistula yang spontan tanpa adanya material
prostetik aorta.
2. AEF Sekunder: Fistula yang berada pada/ adanya material prostetik aorta.
AEF Primer
Kasus dari AEF primer sangant jarang, diteumakn oleh Sir Ashley Cooper
pada tahun 1817, yang terlapor hanya sekitar 200 kasus dari semua.
Biasanya terjadi dalam keadaan aorta aneurisma yang besar berbatasan di
abdomen dengan formasi fistula berulang/ banyak.
Faktor Resiko:
1. Aterosklerosis (Merupakan faktor paling besar di Amerika)
2. Inflammatory aortitides (IF): Infeksi jamur, Syphilis, Tuberculosis,
Penyakit vaskular.1

AEF Sekunder
AEF Sekunder disebabkan oleh fistula yang berada
pada/adanya material prostetik aorta. Lebih sering daripada yang primer.
Terjadi disebabkan oleh perkembagan pseudo aneurisma di garis jahitan
proximal aorta atau efek dari trauma antara abdomen garis jahitan/sutura.
Diklasifikasikan berdasarkan dari anatomi dan karakteristik
patofisiologinya. Terdapat tiga tipe, yaitu:
1. Direct Fistula: Fistula yang secara langsung berada di garis sutura.
2. Indirek Fistula: Fistula yang menyebabkan atau dengan tanda
aneurisma palsu.
3. Paraprostetik: Erosi pada dinding intestinal yang disebabkan oleh
material prosthetis.
Distribusi anatomi pada kejadian AEF sekunder yaitu sekitar ¾
dari duodenum (80% kasus, berada di retroperitoneal dan tersentuh
31

langsung oleh aorta abdomen), Jejenum dan ileum (10% kasus),


Epigastrium (10% kasus)
Faktor Resiko
1. Aneurisma Aorta Abdomen
2. Aneurisma Aorta Abdomen demgan cangkok prostetik
3. Stent Aorta Endovaskular
4. Infeksi dari cangkok prostetik aorta
5. Paparan radiasi
6. Penyakit gastrointestinal: Ulkus peptik, pakreatitis, choletiti,
divercular.
7. Invasi Tumor
8. Trauma
9. Perforasi dari luar
 Patogenesis

Gambar 1.2 : Patogenesis Aortik Enterik Fistula.1


Infeksi aorta dapat menyebabkan aneurisma, pseudoanerisma, saccular
aneurysm dan pre-aneurisma yang menyebabkan ruptur, infeksi aneurisma
lobar dan akhirnya Fistula Aorta Enterik.1
 Manifestasi Klinis
Dua tanda tanda yang sering muncul yaitu perdarahan gastrointestinal
yang atas maupun yang bawah. Terajdinya tanda Herald Bleeding Sign,
yaitu awal perdarahan yang ditandai dengan melena atau hematokezia
dengan perubahan hemodinamik kecil. Seterusnya dilanjutkan dengan
perdarahan hebat. Perdarahan ini disebabkan oleh saat pengumpalan
32

mengisi fistula dengan kontraksi kecil di abdomen. Perdarahan dapat


berlangsung beberapa hari setelah diagnosis awal. Saat pengumapalan lisis
dan tekanan aorta meningkat meyebabkan perdarahan hebat.
Manifestasi lain yang muncul, yaitu:
1. Hematemesis, melena atau hematokezia
2. Nyeri dan kram abdomen atas.
3. Nyeri punggung
4. Pemeriksaan fisik palpasi didapatkan aorta abdomen anerisma dan
suara perut meningkat.
Jika pasien didapatkan suspek AEF atau dengan riwayat bedah aorta
abdomen dengan perdaraham dapat dievaluasi sebagai AEF. Pemeriksaan
seperti endoskopi dan dilanjutkan dengan CT-Scan.
Endoskopi merupakan prosedur pilihan dan paling cepat untuk
menentukan AEF. Dari pemeriksaan dan kasus, 90% AEF dapat
ditemukan oleh endoskopi dan dapat menangkis kemungkianan
perdarahan akut saluran cerna.1

Gambar 1.2 : Ulserasi pada dinding posterior dari duodenum dengan


cangkok aorta prostetik dengan endoskopi.1
33

Gambar 1.3 : Panah hitam: Menunjukan pseudoanerisma dan


kalsifikasi dari dinding aneurisma. Panah putih: Media kontras
memasuki kedalam kolon.1
 Tatalaksana
Intervensi operasi invasis diwajibkan utnuk keselamatan pasien dan
memperbaik prognosis.
Operasi termasuk:
1. Menghentikan perdarahan.
2. Mengangkat dan menyingkirkan cangkok aorta buatan.
3. Memastikan sirkulasi perifer melalui extra-aortic bypass.
4. Memperbaiki (jika lebar <3 cm) atau menyingkirkan lesi usus.1

Pemberian antibiotik intravena (Penicilin G 15,000 unit atau Erythromicin


5ml, 10.000 unit) digunakan sebagai terapi tambahan mencegah infeksi.
Progosis
2. Prognosis kurang baik
3. Mortalitas 100% jika tidak ada tindakan intervensi
4. Mortalitas 60-90% jika ada tindakan intervensi
5. Adanya amputasi kaki jika infeksi menyebar (9% kasus)
6. Adanya timbul infeksi kembali (15% kasus).1

7. Hemobilia
- Etiologi
34

Hemobilia dapat terjadi disebabkan, karena adanya trauma tumpul


dan penetrasi ke hati. Dan penyabab lainnya berupa batu empedu dan
varises empedu serta dikarenakan adanya parasit didalam batu empedu
misalnya yang disebabkan oleh parasit Ascaris Lumbricoides (cacing
gelang).2
 Tanda dan Gejala
 Kolik billier
 Hematemesis melena
 Penegakan Diagnosa
 Anamnesis
Anamnesis yang didapatkan berupa nyeri pada bagian perut
dan bab yang berwarna hitam.

 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang di dapatkan tidak usus akan tetapi adanya
nyeri tekan bila dilakukan palpasi superficial pada seluruh lapang
perut.
 Pemeriksaan penunjang
Dilakukannya pemeriksaan angiografi untuk ditemukannya lokasi
pendarahan pada traktus gastrointestinal.2

8. Erosif Esofagitis
 Definisi
Esofagitis adalah peradangan pada lapisan kerongkongan. Esofagus atau
kerongkongan merupakan organ berbentuk pipa yang menyalurkan makanan
dari mulut ke lambung.2
 Etiologi
Esofagitis korosif paling sering ditimbulkan oleh tertelannya zat
pembersih rumah tangga, biasanya oleh anak-anak. Zat yang paling
merusak adalah natrium hidroksida, atau lye, yang menyebabkan lisisnya
jaringan serta seringkali menembus dinding esofagus. Cairan pembersih
saluran dapat merusak esofagus atau menimbulkan lesi gastrik yang
serupa. Zat tertentu tidak hanya membakar terhadap esofagus tetapi
35

mempunyai akibat sistemik berat, seperti gagal ginjal. . Anak di bawah 5


tahun dilaporkan sering tertelan zat yang bersifat korosif akibat
ketidaksengajaan dan kelalaian. Sedangkan pada remaja dan dewasa
dilaporkan kasus cukup sering pada remaja sebagai percobaan bunuh diri.
Diperkirakan, 70% dari kasus esofagitis korosif adalah disebabkan oleh
basa dengan natrium hidroksida merupakan kasus yang paling sering
ditemukan.2
Kira-kira 20% kasus esofagitis korosif lainnya adalah disebabkan
oleh asam seperti hidroklorida, sulfurik, oksalik dan nitrit. Pembersih
toilet, pembersih selokan, dan penghapus karatan merupakan beberapa
produk yang mengandungi asam di antara 8-65%. Asam biasanya
mempunyai rasa pahit yang menyebabkan anak-anak tidak mengkonsumsi
dengan banyak.2
- Patofisiologi
1. Basa kuat menyebabkan terjadinya nekrosis mencair (liquifactum
necrosis). Secara histologik dinding esofagus sampai lapisan otot
seolah-olah mencair. Basa yang dalam bentuk kristal biasanya
menyebabkan luka bakar linear se dangkan basa dalam bentuk cairan
menyebabkan luka bakar sirkular.
2. Asam kuat yang tertelan akan menyebabkan nekrosis menggumpal
(coagulation necrosis). Secara histologik dinding esofagus sampai
lapisan otot seolah-olah menggumpal.
3. Zat organik misalnya lisol dan karbol biasanya tidak menyebabkan
kelainan yang hebat, hanya terjadi edema di mukosa atau submukosa.
4. Asam kuat menyebabkan kerusakan pada lambung lebih berat
dibandingkan dengan kerusakan esofagus, sedangkan basa kuat
menimbulkan kerusakan di esofagus lebih berat dari pada lambung.2
-
Manifestasi Klinis
Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat korosif tergantung pada
jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah, lamanya kontak dengan
dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak dan dimuntahkan atau tidak.
36

Gejala klinik esofagitis kronik dibagi menjadi 5 bentuk klinis berdasarkan


beratnya luka bakar yang ditemukan yaitu:
1. Esofagitis korosif tanpa ulserasi
Pasien mengalami gangguan menelan yang ringan. Pada esofagoskopi
tampak mukosa yang hiperemis tanpa disertai ulserasi.
2. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan
Pasien mengeluh disfagia ringan. Pada esofagoskopi tampak ulkus yang
tidak dalam yang mengenai mukosa esofagus saja.
3. Esofagitis korosif dengan ulserasi sedang
Ulkus sudah mengenai lapisan otot biasanya ditemukan satu ulkus atau
lebih (multipel).

4. Esofagitis korosif dengan ulserasi berat tanpa komplikasi


Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang letaknya
dalam, dan telah mengenai seluruh lapisan esofagus. Keadaan ini jika
dibiarkan akan menimbulkan striktur esofagus.
5. Esofagitis korosif ulseratif berat dengan komplikasi
Terdapat perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis
dan peritonitis. Kadang-kadang ditemukan tanda-tanda obstruksi jalan
nafas atas dan gangguan keseimbangan asam dan basa.2
Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi
dalam 3 fase, yaitu fase akut, fase laten (intermediate), dan fase kronik
(obstruktif).
Fase Akut
Keadaan ini berlansung 1-3 hari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan luka
bakar di daerah mulut, bibir, faring dan kadang-kadang disertai perdarahan. Gejala
yang ditemukan pada pasien ialah disfagia hebat, odinofagia, serta suhu badan
yang meningkat.
37

Gejala klinis akibat tertelan zat organik dapat berupa perasaan terbakar di
saluran cerna bagian atas, mual, muntah, erosi pada mukosa, kejang otot,
kegagalan sirkulasi, dan pernafasan.
Fase Laten
Berlansung selama 2-6 minggu. Pada fase ini keluhan pasien berkurang,
suhu badan menurun. Pasien merasa ia telah sembuh, sudah dapat menelan
dengan baik akan tetapi prosesnya sebetulnya masih berjalan terus dengan
pembentukan jaringan parut (sikatriks).
Fase Kronis
Setelah 1-3 tahun akan terjadi disfagia lagi oleh karena telah terbentuk
jaringan parut, sehingga terjadi striktur esofagus. Tempat tersering terbakar adalah
tingkat krikofaringeus dan kardia. Terbakarnya pada bagian bawah esofagus
disertai refluks.2

- Diagnosis
1. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis ditegakkan dengan adanya riwayat tertelan
zat korosif atau zat organik, serta ditunjukkan dengan keluhan utama
pasien rasa terbakar pada daerah kerongkongan, rasa nyeri yang hebat
didalam mulut dan regio substernal, serta bisa juga mengeluhkan susah
menelan dan hipersaliva. Sedangkan demam dan perdarahan dapat terjadi
serta sering diiringi dengan muntah.4
2. Pemeriksaan Fisik
Selain penegakan diagnosis dari autoanamnesis atau alloanamnesis
yang cermat serta diperlukan bukti-buki yang diperoleh ditempat kejadian.
Masuknya zat korosif melalui mulut dapat diketahui dengan bau mulut
ataupun muntahan. Adanya luka bakar keputihan pada mukosa mulut atau
keabuan pada bibir dan dagu menunjukkan akibat bahan kaustik atau
korosif baik yang bersifat asam kuat maupun basa kuat. Perbedaaan pada
dampak luka bakarnya yaitu nekrosis koagulatif akibat paparan asam kuat
38

sedangkan basa kuat mengakibatkan nekrosis likuitaktif. Kerusakan


korosif hebat akibat basa (basa) kuat pada esofagus lebih berat
dibandingkan akibat asam kuat, kerusakan terbesar bila PH > 12, akan
tetapi tergantung juga konsentrasi bahan tersebut.4
3. Pemeriksaan penunjang
Untuk menegakkan diagnosis, selain berdasarkan hasil
anamnesis serta gambaran keluhan dan gejala seperti yang
diuraikan di atas juga diperlukan pemeriksaan penunjang, seperti
pemeriksaan laboratorium, radiologik, esofagoskopi.
o Pemeriksaan laboratorium
Peranan pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila
terdapat tanda-tanda gangguan elektrolit, diperlukan pemeriksaan
elektrolit darah.
o Pemeriksaan radiologik
Foto Rontgen toraks postero-anterior dan lateral perlu dilakukan
mendeteksi adanya mediastinitis atau aspirasi pneumonia.
Pemeriksaan Rontgen esofagus dengan kontras barium
(esofagogram) tidak banyak menunjukkan kelainan pada stadium
akut. Esofagus mungkin terlihat normal. Jika ada kecurigaan akan
adanya perforasi akut esofagus atau lambung serta rupture esofagus
akibat trauma tindakan, esofagogram perlu dibuat. Esofagogram
perlu dibuat setelah minggu kedua untuk melihat ada tidaknya
striktur esofagus dan dapat diulang setelah 2 bulan dievaluasi.4
Pada kasus esofagitis korosif zat asam, penelitian telah dilakukan
oleh Muhletaler dan didapatkan hasil 6-50% penderita
memperlihatkan adanya striktur, sebagian lain memperlihatkan
edema dan ulserasi mukosa esophagus dengan atau tanpa
pendarahan esophagus pada rontgen esofagogram.4
4. Penatalaksanaan
Tujuan pemberian terapi pada esofagitis korosif adalah
untuk mencegah pembentukan striktur. Terapi esofagitis korosif
dibedakan antara tertelan zat korosif dan zat organik. Terapi
39

esofagitis korosif akibat tertelan zat korosif dibagi dalam fase akut
dan fase kronis. Pada fase akut dilakukan perawatan umum dan
terapi khusus berupa terapi medik dan esofagoskopi.4
o Perawatan umum
Perawatan umum dilakukan dengan cara memperbaiki keadaan
umum pasien, menjaga keseimbangan elektrolit, serta menjaga
jalan nafas. Jika terdapat gangguan keseimbangan elektrolit
diberikan infuse aminofusin 600 2 botol, glukosa 10% 2 botol,
NaCl 0,9 % + KCl 5 meq/liter 1 botol.4
Perlindungan selaput lendir esofagus bila muntah dapat diberikan
susu atau putih telur. Jika zat korosif yang tertelan diketahui
jenisnya dan terjadi sebelum 6 jam, dapat dilakukan netralisasi
(bila zat korosif basa kuat diberi susu atau air, dan bila asam kuat
diberi antasida). 4

o Terapi medik
Protokol pengobatan secara medis pada fase awal kasus ini
masih terbatas pada penggunaan steroid, antibiotik serta
penggunaan zat penetral (antidotum) dari agen penyebab.
Antibiotika diberikan selama 2-3 minggu atau 5 hari bebas demam
jika diberikan dengan steroid. Antibiotik dapat dilanjutkan selama
4-8 minggu dengan harapan telah terjadinya reepitalisasi, sesuai
dengan derajat luka esofagus jika diberikan tanpa steroid.
Antibiotik tidak akan mencegah pembentukan striktur, tetapi akan
membantu mengoptimalkan proses penyembuhan. Biasanya
diberikan penisilin dosis tinggi 1-1,2 juta unit/hari.4
Kortikosteroid diberikan untuk mencegah pembentukan
striktur. Pemberian steroid pada grade 2 dan grade 3 telah terbukti
akan mengurangi kemungkinan terbentuknya striktur esofagus.
Kortikosteroid harus diberikan sejak hari pertama dengan dosis
200-300 mg sampai hari ketiga. Setelah itu dosis diturunkan
40

perlahan-lahan tiap 2 hari (tappering off). Dosis yang


dipertahankan (maintenance dose) ialah 2x50 mg perhari. Steroid,
idealnya dilanjutkan sampai seluruh reaksi inflamasi menghilang
dan telah terjadi reepitalisasi sempurna selama kurang lebih 1-3
bulan, tergantung pada derajat luka. Pasien dengan terapi steroid
ini harus di follow up secara berkala terutama pada 2 bulan
pertama karena hampir 80% kasus akan mengalami gejala klinis
striktur esofagus. Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa
nyeri. Morfin dapat diberikan, jika pasien sangat kesakitan.4
B. Lower GI Bleeding
1. Diverculitis
- Definisi
Diverkulitis akut merupakan inflamasi yang disebabkan oleh mikro-
perforasi divertikulum (tonjolan pada mukosa atau submukosa).
Diverkulitis dapat timbul pada 10-20% pasien divertikulosis yang
merupakan istilah untuk menggambarkan tonjolan pada mukosa atau
submukosa yang tidak mengalami inflamasi.4

Gambar 1.4 : Diverculitis.4


 Etiologi dan Faktor resiko
i. Kelainan struktur atau dinding usus dan motilitas usus
ii. Menahan BAB
iii. Kurang makan makanan berserat dan minum air putih.4
 Penyakit Diverkular diklasifikasikan menjadi:
a. Asymptomatic diverticulosis, sering ditemukan pada pasien yang
sedang menjalani pemeriksaan pada penyakit lain.
41

b. Acute diverculitis, inflamasi yang disebabkan oleh mikro-perforasi


divertikulum (tonjolan pada mukosa atau submukosa). Diverkulitis
dapat timbul pada pasien divertikulosis yang merupakan istilah untuk
menggambarkan tonjolan pada mukosa atau submukosa yang tidak
mengalami inflamasi.
c. Symptomatic uncomplicated diverticular disease (SUDD),
divertikulosis kronik dengan nyeri perut yang kronik tanpa gejala akut
dari diverkulitis.4
 Patofisiologi

Jarang Sering Kurang


makan menahan minum air

Feses keras

↑ Tekanan
intrakolon
dan

Gerakan
motiliats

Terbentuk
divertikulu

Berulang

Inflamasi

DIVERTICULITI
S
Gambar 1.5 : Patofisiologi Divertulitis.4
42

 Penegakan Diagnosis
a) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
b) Nyeri perut kiri bawah
c) fever
d) chills
e) nausea
f) vomiting
g) BAB berdarah
 Pemeriksaan Fisik
Nyeri tekan diabdomen bagian bawah, terutama bawah kanan
 Pemeriksaan Penunjang
perforasi.
1. Radiologi Abdomen
Gambaran yang sering ditemukan: dilatasi usus halus atau usus
besar, obstruksi usus, densitas jaringan lunak.
2. CT Scan Kolonoskopi
Merupakan gold standard divertikulitis akut dan dapat
menentukan stadium suatu penyakit. Akan terlihat jaringan
lemak yang mengalami inflamasi dan divertikulum yang
Inflamasi, perubahan dinding usus.

Gambar 1.6 : Single-contrast barium enema.5


43

 Penatalaksanaan

Gambar 1.7 : Treatment for diverticular disease.3

2. Fisura Dan Fistula Anorektal


Ø Fisura Anorektal
Fisura anal adalah robekan atau ulserasi longitudinal dalam kanal
analisis.fisura biasanya disebabkan oleh trauma akibat pasase feses yang besar
dan keras atau pengencanan kanal anal yang menetap,akibat stres atau
ansietas(menimbulkan konstipasi).penyebab lain mencakup kelahiran,trauma dan
penggunaan lakstif yang berlebihan.4
Ø Fistula Anorektal
Fistula anal adalah saluran tipis,tubuler,fibrosayang meluas kedalam
saluran anal dari lubang yang terletak disamping anus.fistula biasanya adalah
akibat infeksi.fistula juga dapat terjadi akibat trauma,fisura atau enteritis
regional.4
44

A. Etiologi Fisura & Fistula anorektal


Ø Fisura anorektal
Biasanya disebabkan oleh cedera karena buang air besar yang keras dan besar.
Fissura menyebabkan otot melingkar (Sfingter) dari anus mengalami kejang dan
hal ini akan menyulitkan penyembuhan.4
Ø Fistula anorektal
Fistula berawal dari kelenjar dalam dinding anus atau rektum.
kadang-kadang fistula merupakan akibat dari pengeluaran nanah Pada Abses
Anorektal. Tetapi lebih sering, penyebabnya tidak dapat diketahui.
Fistula pada anak-anak biasanya merupakan cacat bawaan, dimana
fistulatertentu lebih sering ditemukan pada anak laki-laki.Fistula yang
menghubungkan rektum dan vagina bisa merupakan akibat dari;-terapi sinar X-
kanker -penyakit Crohn-cedera pada ibu selama proses persalinan.4
Fistula Yang Menghubungkan Rektum Dan Vagina Bisa Merupakan Akibat
Dari:
- Terapi Sinar X
- Kanker
- Penyakit Crohn
- Cedera Pada Ibu Selama Proses Persalinan.4
B. Manifestasi Klinis
Ø Fissura anorektal
o Nyeri Dan Perdarahan Selama Atau Segera Setelah Buangair Besar.Rasa Nyeri
Akan Berlangsung Selama Beberapa Menit Sampai Beberapa Jam Dankemudian
Menghilang Sampai Saat Buang Air Besar Berikutnya.
o Rasa terbakar
o Perdarahan.4
Ø Fistula anorektal
o Fistula bisa terasa sangat nyeri atau bisa mengeluarkan nanah.Pus atau feses dapat
bocor secara konstan dari lubang kutaneus.
o Pasase flatus atau feses dari vagina atau kandung kemih, tergantung pada saluran
fistula. Fistula yang tidak teratasi dapat menyebabkan infeksi sistemik disertai
gejala yang berhubungan.4
45

C. Patofisiologi
Ø Anal Fissure
Celah anal atau ulkus terjadi ketika epitel anus atas sfingter internal menjadi
gundul atau abraded. Menjengkelkan diare bangku dan pengetatan anus sfingter
kanal dengan peningkatan ketegangan yang frekunsi anal penyebab retakan.
Faktor lain yang mungkin didapati kepada perkembangan mereka termasuk
trauma persalinan, kebiasaan menggunakan obat pencahar, luka oleh benda asing,
dan anal seks. Peradangan kronis dan infeksi dari jaringan sekitarnya menyertai
fisura anal.4
Diagnosis fisura anal dibuat pada pemeriksaan digital lembut lubang anus dan
anoscopy menggunakan anoscope kecil. Perawatan biasanya konservatif, yang
melibatkan perubahan dietary untuk meningkatkan asupan serat dan tinja massal,
dirunut dari asupan cairan dan laksatif pembentuk bulk. Sebuah agen topikal
seperti krim hidrokortison dapat diresepkan. Intervensi bedah dengan
sphincterotomy internal, sebuah sayatan ke sfingter internal untuk meningkatkan
terdiame, dianggap ketika retakan tidak sembuh-sembuh dengan intervensi
medis.4
Ø Fistula
Sebuah Fistula adalah sebuah terowongan atau saluran tubelike dengan
bukaan di kedua ujungnya. Fistula anorektal memiliki satu bukaan pada anus
dengan yang lain perianal biasanya ditemukan pada kulit. Sebagian besar terjadi
secara spontan atau sebagai akibat dari drainase abses anorektal penyakit Crohn
adalah faktor predisposisi untuk pembangunan Fistula juga. Manifestasi utama
dari sebuah fistula anorektal adalah intermiten atau konstan drainase atau kotoran,
yang mungkin bernanah.4
Hal ini dapat disertai gatal lokal kelembutan, dan rasa sakit yang berhubungan
dengan buang air besar. Anoscopic digital dan pemeriksaan dengan lembut probin
dari saluran fistula digunakan untuk menetapkan diagnosis.4
Meskipun menyembuhkan beberapa fistula mungkin secara spontan,
pengobatan pilihan adalah fistulolomy. Kematian utama pembukaan fistula akan
dihapus, dan saluran dibuka untuk memungkinkan ini untuk menyembuhkan oleh
46

niat sekunder, dari dalam ke luar jika sfingter yang terlibat, dua-tahap operasi
dapat dilakukan untuk memelihara otot dan mencegah inkontinensia tinja.
Klasifikasi fistula:
a. Intersphinteric fistula
Berawal dalam ruang di antara muskulus sfingter eksterna dan interna dan
bermuara berdekatan dengan lubang anus.
b. Transphinteric fistula
Berawal dalam ruang di antara muskulus sfingter eksterna dan interna, kemudian
melewati muskulus sfingter eksterna dan bermuara sepanjang satu atau dua inchi
di luar lubang anus, membentuk huruf ‘U’ dalam tubuh, dengan lubang eksternal
berada di kedua belah lubang anus (fistula horseshoe)
c. Suprasphinteric fistula
Berawal dari ruangan diantara muskulus sfingter eksterna dan interna yang
membelah ke atas muskulus pubrektalis lalu turun di antara puborektal dan
muskulus levator ani lalu muncul satu atau dua inchi di luar anus.
d. Ekstrasphinteric fistula
Berawal dari rektum atau colon sigmoid dan memanjang ke bawah, melewati
muskulus levator ani dan berakhir di sekitar anus. Fistula ini biasa disebabkan
oleh abses appendiceal, abses diverticular, atau Crohn’s Disease.4
E. Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis dapat dilakukan dengan inspeksi,palpasi, dan / atau pemeriksaan
proctoscopic oleh Dokter Spesialis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan di daerah anus, dimanaditemukan satu atau lebih pembukaan fistula
atau teraba adanya fistula di bawah permukaan.Sebuah alat penguji bisa
dimasukan untuk menentukan kedalaman danarahnya. Ujung dalamnya bisa
ditentukan lokasinya dengan melihat melalui anoskopyang dimasukkan ke dalam
rektum.Pemeriksaan dengan sigmoidoskop akan membantu menentukan
penyebabnya(apakah kanker, penyakit Crohn atau kelainan lainnya).4
47

F. Pemeriksaan Penunjang
Ø Radiologi Penyidikan
Ini tidak dilakukan untuk evaluasi fistula rutin. Mereka dapat membantuketika
pembukaan utama adalah sulit untuk mengidentifikasi atau dalam kasus
fistula berulang atau berganda untuk mengidentifikasi saluran sekunder atau
bukaan primer. FistulographyIni melibatkan penyuntikan kontras melalui
pembukaan eksternal, yang diikutidengan gambar x-ray untuk garis besar saja
pada saluran fistula.4
Ø MRI
Temuan menunjukkan konkordansi 80-90% dengan temuan operasi ketika
mengamati kursus saluran primer dan sekunder ekstensi. CT scan lebih membantu
dalam pengaturan penyakit radang perirectaldaripada di pengaturan fistula kecil
karena lebih baik untuk menggambarkan kantongcairan yang memerlukan
drainase daripada fistula kecil. Barium seriHal ini berguna untuk pasien dengan
fistula beberapa atau penyakit berulanguntuk membantu menyingkirkan penyakit
inflamasi usus.4
G. Penatalaksanaan
Ø Fisura
kebanyakan fisura ini akan sembuh bila diatasi dengan tindakan
konservatif,yang mencakup memberikan pelunak feses dan agen
bulk,meningkatkan masukan cairan,rendam duduk,dan
supositoriaemolien.kombinasi supositoria anestetik dengan kortikosteroid
membantu menghilangkan ketidaknyamanan.dilatasi anal dibawah ansietasia
mungkin diperlukan.4
Apabila fistula tidak berespons terhadap tindakan konservatif,pembedahan di
indikasikan.beberapa tipe prosedur dapat dilakukan :pada beberapa kasus,sfingter
anal dilebarkan dan fisura di eksisi;sedang yang lainnya sebagian dari sfingter
eksternal dipisahkan.tindakan ini menghasilkan paralisis sfingter eksternal,dengan
akibat hilangnya spasme,sehingga memungkinkan ulkus untuk sembuh.4
48

Ø Fistula
Pembedahan selalu di anjurkan karena beberapa fistula sembuh secara
spontan.fistulektomi (eksisi saluran fistula) adalah prosedur bedah yang
dianjurkan.usus bawah dievakuasi secara seksama dengan enema yang di
programkan.4
Selama pembedahan,saluran sinus didentifikasi dengan menginjeksi saluran
dengan larutan biru metilen.fistula didiseksi ke luar atau dibiarkan terbuka,dan
insisi lubang rektalnya mengarah keluar.luka diberi tampon dengan kasa.4

3. Hemorrhoid
Hemorrhoid adalah varikositis akibat pelebaran (dilatasi) pleksus vena
hemorrhoidalis interna. Mekanisme terjadinya hemorrhoid belum diketahui
secara jelas. Hemorrhoid berhubungan dengan konstipasi kronis disertai
penarikan feces. Pleksus vena hemorrhoidalis interna terletak pada rongga
submukosa di atas valvula morgagni. Kanalis anal memisahkannya dari pleksus
vena hemorrhoidalis eksterna, tetapi kedua rongga berhubungan di bawah
kanalis anal, yang submukosanya melekat pada jaringan yang mendasarinya
untuk membentuk depresi inter hemorrhoidalis. Hemorrhoid sangat umum dan
berhubungan dengan peningkatan tekanan hidrostatik pada system porta,
seperti selama kehamilan, mengejan waktu berdefekasi, atau dengan sirosis
hepatis. Pada sirosis hepatic terjadi anatomosis normal antara system vena
sistemik dan portal pada daerah anus mengalami pelebaran. Kejadian ini biasa
terjadi pada hipertensi portal.4
Hipertensi portal menyebabkan peningkatan tekanan darah (>7 mmHg)
dalam vena portal hepatica, dengan peningkatan darah tersebut berakibat
terjadinya pelebaran pembuluh darah vena di daerah anus. Hemorrhoides atau
wasir merupakan salah satu dari gangguan sirkulasi darah. Gangguan tersebut
dapat berupa pelebaran (dilatasi) vena yang disebut venectasia atau varises
daerah anus dan perianus yang disebabkan oleh bendungan dalam susunan
pembuluh vena. Hemorrhoid disebabkan oleh obstipasi yang menahun dan
uterus gravidus, selain itu terjadi bendungan sentral seperti bendungan susunan
49

portal pada cirrhosis hati, herediter atau penyakit jantung kongestif, juga
pembesaran prostat pada pria tua, atau tumor pada rectum.4
- Faktor Risiko:
1. Keturunan
2. Anatomi
3. Pekerjaan
4. Umur
5. Endokrin
6. Mekanis
7. Fisiologis
8. Radang.4
Ternyata faktor risiko hemorrhoid banyak, sehingga sukar bagi kita untuk
menentukan penyebab yang tepat bagi tiap kasus. Menurut asalnya
hemorrhoid dibagi dalam:
1. Hemorrhoid Interna
2. Hemorrhoid Eksterna dan dapat dibagi lagi menurut keadaan patologis
dan klinisnya, misalnya meradang, trombosis atau terjepit.
Hemorrhoid Interna Pleksus hemorrhoidalis interna dapat membesar,
apabila membesar terdapat peningkatan yang berhubungan dalam massa
jaringan yang mendukungnya, dan terjadi pembengkakan vena. Pembengkakan
vena pada pleksus hemorrhoidalis interna disebut dengan hemorrhoid interna
Hemorrhoid interna jika varises yang terletak pada submukosa terjadi
proksimal terhadap otot sphincter anus.4
Hemorrhoid interna merupakan bantalan vaskuler di dalam jaringan
submukosa pada rectum sebelah bawah. Hemorrhoid interna sering terdapat
pada tiga posisi primer, yaitu kanan depan, kanan belakang, dan kiri lateral.
Hemorrhoid yang kecil-kecil terdapat diantara ketiga letak primer tersebut.
Hemorrhoid interna letaknya proksimal dari linea pectinea dan diliputi oleh
lapisan epitel dari mukosa, yang merupakan benjolan vena hemorrhoidalis
interna. Pada penderita dalam posisi litotomi terdapat paling banyak pada jam
dan yang oleh Miles disebut: three primary haemorrhoidalis areas.
50

Trombosis hemorrhoid juga terjadi di pleksus hemorrhoidalis interna.


Trombosis akut pleksus hemorrhoidalis interna adalah keadaan yang tidak
menyenangkan. Pasien mengalami nyeri mendadak yang parah, yang diikuti
penonjolan area trombosis. Berdasarkan gejala yang terjadi, terdapat empat
tingkat hemorrhoid interna, yaitu;
Tingkat I : perdarahan pasca defekasi dan pada anoskopi terlihat
permukaan dari benjolan hemorrhoid.
Tingkat II : perdarahan atau tanpa perdarahan, tetapi sesudah
defekasi terjadi prolaps hemorrhoid yang dapat masuk sendiri.
Tingkat III : perdarahan atau tanpa perdarahan sesudah defekasi dengan
prolaps hemorrhoid yang tidak dapat masuk sendiri, harus didorong dengan
jari.
Tingkat IV : hemorrhoid yang terjepit dan sesudah reposisi akan keluar
lagi. Hemorrhoid Eksterna Pleksus hemorrhoid eksterna, apabila terjadi
pembengkakan maka disebut hemorrhoid eksterna. Letaknya distal dari linea
pectinea dan diliputi oleh kulit biasa di dalam jaringan di bawah epitel anus,
yang berupa benjolan karena dilatasi vena hemorrhoidalis.4
Ada 3 bentuk yang sering dijumpai:
1. Bentuk hemorrhoid biasa tapi letaknya distal linea pectinea.
2. Bentuk trombosis atau benjolan hemorrhoid yang terjepit.
3. Bentuk skin tags. Biasanya benjolan ini keluar dari anus kalau
penderita disuruh mengedan, tapi dapat dimasukkan kembali
dengan cara menekan benjolan dengan jari.
Rasa nyeri pada perabaan menandakan adanya trombosis, yang biasanya
disertai penyulit seperti infeksi, abses perianal atau koreng. Ini harus dibedakan
dengan hemorrhoid eksterna yang prolaps dan terjepit, terutama kalau ada
edema besar menutupinya. Sedangkan penderita skin tags tidak mempunyai
keluhan, kecuali kalau ada infeksi. Hemorrhoid eksterna trombotik disebabkan
oleh pecahnya venula anal. Lebih tepat disebut hematom perianal.
Pembengkakan seperti buah cery yang telah masak, yang dijumpai pada salah
satu sisi muara anus. Tidak diragukan lagi bahwa, seperti hematom, akan
mengalami resolusi menurut waktu. Trombosis hemorrhoid adalah kejadian
51

yang biasa terjadi dan dapat dijumpai timbul pada pleksus analis eksternus di
bawah tunika mukosa epitel gepeng, di dalam pleksus hemorrhoidalis utama
dalam tela submukosa kanalis analis atau keduanya. Trombosis analis
eksternus pada hemorrhoid biasa terjadi dan sering terlihat pada pasien yang
tak mempunyai stigmata hemorrhoid lain. Sebabnya tidak diketahui, mungkin
karena tekanan vena yang tinggi, yang timbul selama usaha mengejan
berlebihan, yang menyebabkan distensi dan stasis di dalam vena. Pasien
memperlihatkan pembengkakan akuta pada pinggir anus yang sangat nyeri.4
Klasifikasi Derajat Hemoroid
Derajat I : Hemoroid (+), prolaps (keluar dari dubur) (-).
Derajat II : Prolaps waktu mengejan, yang masuk lagi secara spontan.
Derajat III : Prolaps yang perlu dimasukkan secara manual.
Derajat IV : Prolaps yang tidak dapat dimasukkan kembali.
Gejala dan Tanda Hemorrhoid Dalam praktiknya, sebagian besar pasien
tanpa gejala. Pasien diketahui menderita hemoroid secara kebetulan pada
waktu pemeriksaan untuk gangguan saluran cerna bagian bawah yang lain
waktu endoskopi/kolonoskopi (teropong usus besar). Pasien sering mengeluh
menderita hemorrhoid atau wasir tanpa ada hubungan dengan gejala rectum
atau anus yang khusus. Nyeri yang hebat jarang sekali ada hubungan dengan
hemorrhoid interna dan hanya timbul pada hemorrhoid eksterna yang
mengalami trombosis. Gejala yang paling sering ditemukan adalah perdarahan
lewat dubur, nyeri, pembengkakan atau penonjolan di daerah dubur, sekret atau
keluar cairan melalui dubur, rasa tidak puas waktu buang air besar, dan rasa
tidak nyaman di daerah pantat.4
Terapi dan Pencegahan Hemorrhoid Terapi Hemorrhoid Hemorrhoid
merupakan sesuatu yang fisiologis, maka terapi yang dilakukan hanya untuk
menghilangkan keluhan, bukan untuk menghilangkan pleksus hemorrhoidalis.
Pada hemorrhoid derajat I dan II terapi yang diberikan berupa terapi lokal dan
himbauan tentang perubahan pola makan. Dianjurkan untuk banyak
mengonsumsi sayur-sayuran dan buah yang banyak mengandung air. Hal ini
untuk memperlancar buang air besar sehingga tidak perlu mengejan secara
berlebihan. Pemberian obat melalui anus (suppositoria) dan salep anus
52

diketahui tidak mempunyai efek yang berarti kecuali sebagai efek anestetik dan
astringen. Selain itu dilakukan juga skleroterapi, yaitu penyuntikan larutan
kimia yang marengsang dengan menimbulkan peradangan steril yang pada
akhirnya menimbulkan jaringan parut. Untuk pasien derajat III dan IV, terapi
yang dipilih adalah terapi bedah yaitu dengan hemoroidektomi. Terapi ini bisa
juga dilakukan untuk pasien yang sering mengalami perdarahan berulang,
sehingga dapat sebabkan anemia, ataupun untuk pasien yang sudah mengalami
keluhan-keluhan tersebut bertahun-tahun. Dalam hal ini dilakukan pemotongan
pada jaringan yang benar-benar berlebihan agar tidak mengganggu fungsi
normal anus. Ada berbagai macam tindakan operasi. Ada yang mengikat
pangkal hemoroid dengan gelang karet agar hemoroidnya nekrosis dan terlepas
sendiri. Ada yang menyuntikkan sklerosing agen agar timbul jaringan parut.
Bisa juga dengan fotokoagulasi inframerah, elektrokoagulasi dengan arus
listrik, atau pengangkatan langsung hemoroid dengan memotongnya dengan
pisau bedah. Hemorrhoid interna dan hemorrhoid eksterna di diagnosa dengan
membuat inspeksi, pemeriksaan digital, melihat langsung melalui anoskop atau
proktoskop. Karena lesi demikian sangat umum, harus tidak dianggap sebagai
penyebab perdarahan rectal atau anemia hipokromik kronik sampai
pemeriksaan seksama telah dibuat terhadap saluran makanan yang lebih
proksimal. Kehilangan darah akut dapat terjadi pada hemorrhoid interna.
Anemia kronik atau darah samar dalam feses dengan adanya hemorrhoid besar
namun tidak jelas berdarah, memerlukan pencarian untuk polip, kanker atau
ulkus.4
4. Inflamatory Bowel Disease
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi kronik yang
melibatkan saluran cerna, bersifat remisi dan relaps/kambuhan, dengan penyebab
past nya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari
3 jenis, yaitu Kolitis Ulseratif (KU, Ulcerative Colitis), Penyakit Crohn (PC,
Crohn’s Disease), dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka
dimasukkan dalam kategori Indeterminate Colitis. Hal ini untuk secara praktis
membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya yang telah diketahui
penyebabnya seperti infeksi, iskemia, dan radiasi.1
53

A. Etio-patogenesis
Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun
penjelasannya yang memadai mengenai pola distribusinya. Teori adanya
peningkatan permeabilitas epitel usus, terdapatnya antineutrophil cytoplasmic
autoantibodies, peran nitric oxide, dan riwayat infeksi (terutama Mycobacterium
paratuberculosis) banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi masalah adalah hal
apa yang mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya kompleks, antara
interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk antigen (termasuk permeabilitas
usus) dan kemungkinan disregulasi mekanisme imun pasien IBD. Secara umum
diprakirakan bahwa proses pathogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin,
produk bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang rentan
dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi
kaskade proses inflamasi pada dinding usus. Merokok akan meningkatkan resiko
terjadinya PC tapi bersifat protektif terhadap timbulnya KU. 1

Gambar 1.7 Patofisiologi IBD.1

B. Gambaran Klinik
Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan
manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstra
intestinal seperti artkrinis, uveitis, pyoderma gangrenosum, eritema nodosum dan
54

kolangitis. Disamping itu tentunya disertai dengan gambaran keadaan sistemik


yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti gangguan nutrisi.
Gambaran klinis KU relatif lebih seragam dibandingkan gambaran klinis pada PC.
Hal ini disebabkan distribusi anatomik saluran cerna yang terlibat pada KU adalah
kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi yaitu dapat melibatkan atau terjadi
pada semua segmen saluran cerna, mulai dari mulut sampai anorektal.1
Perjalanan klinik IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi ini
dapat sisebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi spontan.
Dengan sifat perjalanan klinik IBD yang kronik-eksaserbasi-remisi, diusahakan
suatu kriteria klinik sebagai gambaran aktifitas penyakit untuk keperluan
pedoman keberhasilan pengobatan maupun menetapkan fase remisi. Secara umum
Disease Activity Index (DAI) yang didasarkan pada frekuensi diare, ada tidaknya
pendarahan per-anum, penilaian kondisi mukosa kolon pada pemeriksaan
endoskopi, dan penilaian keadaan umum, dapat dipakai untuk maksud tersebut.1
 Kolitis Ulseratif (KU)
Inflamasi pada KU terbatas pada lapisan mukosa kolon saja.
Rektum hampir selalu terlibat 9proktitis ulseratif) dan progresivitas
menjalar kea rah proksimal. Sepertiga kasus KU hanya melibatkan rektum
dan sigmoid (proctosigmoiditis), sebagian besar kasus melibatkan rektum
sampai dengan fleksura lienalis (left side colitis). Sebagian kecil terjadi
pada seluruh bagian kolon (pancolitis).1
Derajat klinik KU dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan,
berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia
yang terjadi dan laju tetap endap darah . Perjalanan penyakit KU dapat di
mulai dengan serangn pertama berat ataupun dimulai ringan yang
bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan
pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terliibat. Lesi mukosa
bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa.1
 Penyakit Crohn (PC)
Pada PC, proses inflamasi bersifat transmural, jadi melibatkan
semua lapisan dinding usus, sehingga meningkatkan resiko perforsi
maupun dalam proses kelanjutannya menimbulkan proses fibrosis,
55

fistulasi, abses dan striktur. Berbeada dengan KU, PC dapat terjadi pada
semua bagian saluran cerna. Lebih kurang 35% terjadi di ileo-caecal, 28%
di usus halus, 32% hanya melibatkan kolon, 1-4 % berada di
gastroduodenal dan lebih kurang 18% berlokasi di perianal.1
Pada PC selain gejala umum diatas adanya fistula merupakan hal
yang karakteristik (termasuk perianal). Nyeri perut relative lebih
mencolok. Hal ini disebabkan oleh sifat lesi, yang transmural sehingga
dapat menimbulkan fistula dan obstruksi serta berdampak pada timbulnya
bacterial overgrowt. Secara Endokospik penilaian aktivitas penyakit KU
relative mudah dengan menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa dan
luasnya bagian usus yang terlibat. Tetapi pada PC hal tersebut lebih sulit,
terlebih bila ada keterlibatan usus halus (tidak terjangkau oleh teknik
pemeriksaan kolonoskopi), sehingga dipakai kriteria yang spesifik
(Crohn’s Disease Activity Index) yang didasari oleh adanya penilaian
demam, data laboratorium, manifestasi ekstraintestinal, frekuensi diare ,
nyeri abdomen, fistulasi, penurunan berat badan, terabanya masa
intraabdomen dan rasa sehat pasien.1

Gambar 1.8 : Gambaran klinik IBD.1


56

 Pemeriksaan Penunjang

Data laboratorium PC dan KU. Data laboratorium lebih banyak


berperan untuk menilai derajat aktifitas penyakit dan dampaknya pada
status nutrisi pasien . penurunan kadar Hemoglobin, Hematokrit dan besi
serum dapat mengammbarkan derajat kehilangan darah lewat saluran
cerna. Tingginya laju endap darah dan C reactive Protein yang positif
menggambarkan aktifitas inflamasi, serta rendahnya kadar albumin
mencerminkan status nutrisinya yang rendah. Spesimen feses dapat
diperiksa untuk menilai ada tidaknya bakteri patogen atau parasit.1
Endoskopi
Pada dasarnya KU merupakan penyakit yang melibatkan mukosa
kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan
menyebar/progresif ke proksimal. Data dari beberapa Rumah Sakit di
Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi KU adalah 80% pada rektum dan
rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan
seluruh kolon (pan-colitis). Sedangkan PC bersifat teransmural, segmental
dan dapat terjadi pada saluran cerna bagian atas, usus halus ataupun
kolon.1

Gambar 1.9 : Gambaran Endoskopi IBD.1


57

Radiologi
Teknik pemeriksaan radiologi kontras ganda merupakan
pemeriksaan diagnostic pada IBD yang saling melengkapi dengan
endoskopi. Barium kontras ganda dapat memperlihatkan lesi striktur,
fistulasi, mukosa yang ireguler, gambaran ulkus dan polip, ataupun
perubahan distensibilitas lumen kolon berupa penebalan dinding usus dan
hilangnya haustrae.
Pemeriksaan rodiologik merupakan kontraindikasi pada KU berat
karena dapat mencetuskan medakolon toksik. Foto polos abdomen secara
sederhana dapat mendeteksi adanya dilatasi toksik yanitu tampak lumen
usus yang melebar tanpa material feses didalamnya.1
Histopatologi
Gambaran khas untuk KU adalah adanya abses kripti, distorsi
kripti, infiltrsi sel mononukleus dan polimorfonuklear di lamina propria.
Sedangkan pada PC adanya granuloma tuberkuloid (terdapat pada 20-40%
kasus) merupakan hal yang karakteristik disamping adanya infiltrasi sel
makrofag dan limfosit di lamina propria serta ulserasi yang dalam.1

 Tatalaksana
Antibiotik
Metronidazole (1 – 1,5 g/hari) atau Ciprofloxacin (2x 500 mg/hari)
cukup banyak diteliti dan cukup banyak bermanfaat pada PC dalam
menurunkan derajat aktifitas penyakitnya pada keadaan aktif. Sedangkan
pada KU jarang digunakan antibiotik sebagai terapi terhadap agen
proinflamasinya.1
Obat Golongan Kortikosteroid
Sampai saat ini obat golongan glukokortikoid merupakan obat
pilihan untuk PC (untuk semua derjat) dan KU derajat sedang dan berat.
Pada umumnya pilihan jatuh pada prednisone, metilprednisolon (bentuk
preparat peroral) atau steroid enema. Pada keadaan berat , diberikan
kortikosteroid parenteral. Untuk memperoleh tujuan konsentrasi steroid
yang tinggi pada dinding usus dengan efek sistemik (dan efek
sampingnya) yang rendah, saat ini telah dikembangkan obat golongan
58

glukokortikoid non-sistemik, yaitu budesonide, dalam pengobatan IBD.


Budesonide terutama bekerja pada ileum dan kolon kanan. Tersedia dalam
bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema. Dosis rata-rata steroid
yang banyak digunakan untuk mencapai fase remisi adalah setara dengan
40-60 mg prednisone, yang kemudian dilakukan tapering dose setelah
remisi tercapai dalam waktu 8-12 minggu.1

Obat Golongan Asam Salisilat


Obat yang sudah lama dan mapan dipakai dalam pengobatan IBD
adalah preparat sulfasalazine yang merupakan gabungan sulpiridin dan
aminosalisilat dalam ikatan azo. Preparat ini akan dipecah di dalam usus
menjadi sulfapiridin dan 5-acetil salicylic acid (5-ASA). Telah diketahui
bahwa yang bekerja sebagai agen anti inflamasi adalah 5-ASA ini. Saat ini
telah ada preparatnya. Dosis rata-rata 5-ASA untuk mencapai remisi
adalah 2-4 gram perhari, yang kemudian dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan seseuai dengan kondisi pasien. obat 5-ASA tersedia dalam
bentuk oral, suppositoria maupun enema.1

Obat Golongan Imunosupresif


Obat ini dipakai bila 5-ASA dan kortikosteroid gagal mencapai
remisi. Obat golongan ini seperti;6-mercaptuporin (6-MP), azathioprine,
siklosporin, methotrexate dan obat golongan Anti-Tumor Necroting Factor
(TNF). Azathioprine dan 6-MP adalah analog purin yang efektif untuk
mencapai dan mempertahankan remisi pada PC serta dapat
menyembuhkan fistulasi dan meminimalisasi penggunaan steroid.
Terbatas hanya untuk kasus moderat dan berat. Efek samping yang serius
adalah lekopenia. Dosia standar azathioprine 2-2,5 mg/kg/hari dan 6-MP
1-1,5 mg/kg/hari. Efektifiitas azathioprine dan 6-MP pada KU belum
banyak diteliti.1

Terapi Bedah
Peran terapi bedah, pengobatan konservatif atau medikamentosa
gagal atau terjadinya komplikasi (pendarahan, obstruksi ataupun
megakolon toksik). Pada KU, operasi dilakukan bila terjadi perjalanan
59

penyakit yang berat dan tidak dapat diatasi dengan medikamentosis atau
terdapat efek samping obat yang terlalu berat, terjadinya perforasi,
peritonitis, sepsis, pendarahan masif, serta timbulnya tanda displasia berat
atau kanker. Sedangkan pada PC, operasi banyak ditujukan pada
komplikasi abses, fistula, perforasi dan obstruksi.1
 Algoritma Terapi
 Kolitis Ulseratif

Gambar 1.10 : Algoritma Terapi Kolitis Ulseratif.1


60

 Penyakit Crohn

Gambar 1.11 :Algoritma Penyakit Chorn.1

- Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi;
 Perforasi usus yang terlibat
 Terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis
 Megakolon toksik (terutam pada KU)
 Pendarahan
 Degenerasi maligna
PC sering menimbulkan komplikasi akibat adanya lesi penetrasi dan stenosis
yang menimbulkan perforasi, abses, fistulasi dan obsruksi gastrointestinal.
Keterlibatan usus halus juga dapat berdampak pada malabsorpsi yang
menimbulkan anemia. Predileksi PC pada ileo-caecal juga dapat mengganggu
proses re-absoprsi empedu. Kanker kolorektal merupakan risiko jangka panjang
pada KU.1
61

Daftar Pustaka
1. McPhee, Ganong. Patofisiologi Penyakit. Edisi 5. Jakarta:EGC;
2017
2. Isselbacher, et al. Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 13, Vol. 4. Jakarta: EGC; 2018
3. Tanto C, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 6 Vol. 2. Jakarta:
Media Asclepius; 2016
4. Setiati S. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid
II. Jakarta : Interna Publishing. 2016
5. Sjamsuhidajat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC, 2010.

Anda mungkin juga menyukai