Referat Amfetamin PDF
Referat Amfetamin PDF
PENDAHULUAN
Page | 1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan toksikologi secara umum?
2. Apa yang dimaksud dengan amfetamin?
3. Bagaimana cara amfetamin mempengaruhi tubuh manusia?
4. Bagaimana peran toksikologi forensik terhadap keracunan amfetamin?
5. Bagaimana aspek medikolegal dari penggunaan narkotika, dan khususnya
amfetamin sebagai psikotropika?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan toksikologi secara umum.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan amfetamin.
3. Mengetahui bagaimana cara amfetamin mempengaruhi tubuh manusia.
4. Mengetahui bagaimana toksikologi forensik terhadap kasus keracunan
amfetamin.
5. Mengetahui bagaimana aspek medikolegal dari penggunaan narkotika, dan
khususnya amfetamin sebagai psikotropika.
1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi toksikologi secara umum.
2. Memberikan informasi bahaya penyalahgunaan amfetamin.
3. Memberikan informasi mengenai prevalensi pengguna amfetamin di
Indonesia.
4. Memberikan informasi bagaimana peran toksikologi forensik terhadap
keracunan amfetamin.
5. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai bahaya penggunaan
amfetamin.
Page | 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Page | 4
Tidak semua kasus yang ditemukan perlu melakukan toksikologi forensik. Kasus-
kasus tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan besar. Kasus-kasus tersebut antara
lain:
a) Kematian akibat keracunan, yang meliputi: kematian mendadak, kematian di penjara,
kematian pada kebakaran, dan kematian medis yang disebabkan oleh efek samping
obat atau kesalahan penanganan medis.
b) Kecelakaan fatal maupun tidak fatal, yang dapat mengancam keselamatan nyawa
sendiri ataupun orang lain, yang umumnya diakibatkan oleh pengaruh obat-obatan,
alkohol, atau pun narkoba.
c) Penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait dengan akibat
pemakaian obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan berbahaya lainnya,
yang tidak memenuhi standar kesehatan (kasus-kasus forensik farmasi).1
Page | 5
Bau.
Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa yang kiranya ditelan
oleh korban. Segera setelah pemeriksa berada di samping mayat ia harus menekan
dada mayat untuk menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari
lubang-lubang hidung dan mulut.
Segera.
Pemeriksa harus segera berada di samping mayat sesegera mungkin dan
pemeriksa juga harus menekan dada mayat dan menentukan apakah ada suatu bau
yang tidak biasa keluar dari lubang hidung dan mulut.
Pakaian.
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang disebabkan oleh tercecernya
racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak berwarna coklat karena
asam sulfat atau kuning karena asam nitrat.
Lebam mayat.
Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai makna, karena warna
lebam mayat pada dasarnya adalah manifestasi warna darah yang tampak pada
kulit.
Perubahan warna kulit.
Pada hiperpigmentasi atau melanosis dan keratosis pada telapak tangan dan kaki
pada keracunan arsen kronik. Kulit berwarna kelabu kebirubiruan akibat
keracunan perak (Ag) kronik (deposisi perak dalam jaringan ikat dan korium
kulit). Kulit akan berwarna kuning pada keracunan tembaga (Cu) dan fosforakibat
hemolisis juga pada keracunan insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi
gangguan fungsi hati.
Kuku.
Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal yang tidak teratur.
Pada keracunan Talium kronik ditemukan kelainan trofik pada kuku.
Rambut.
Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium, arsen, air raksa dan
boraks. Metode pemeriksaan pada rambut adalh dengan ekstrak dan pretreatment.
Sklera.
Tampak ikterik pada keracunan zat hepatotoksik seperti fosfor, karbon
tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dicoumarol atau akibat bisa ular.
Page | 6
2.1.3 Pengambilan Sampel pada Toksikologi Forensik
Memastikan dimana racun itu berada, didasarkan dari anamnesa dan tanda klinis yang
dijumpai pada pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam. Pada korban yang meninggal,
diperlukan informasi sisa racun dan dicocokkan dengan kelainan yang dijumpai pada jenazah.
Selanjutnya menentukan sampel yang perlu diambil untuk pemeriksaan toksikologi,
disesuaikan dengan jenis racun yang masuk kedalam tubuh.13
Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap pada waktu autopsi
daripada kemudian harus mengadakan penggalian kubur untuk mengambil bahan-bahan yang
diperlukan dan melakukan analisis toksikologik atas jaringan yang sudah busuk atau sudah
diawetkan.
Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-
banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatolgik. Secara
umum sampel yang harus diambil adalah:13
o Lambung dan isinya
o Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada pada usus
setiap jarak sekitar 60 cm
o Darah, Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah kanan
dan sebelah kiri masing-masing sebnayak 50 ml. Darah tepi sebanyak 30-50 ml,
diambil dari vena iliaka komunis bukan darah dari vena porta. Pada korban yang
masih hidup, darah adalah bahan yang terpenting, diambil 2 contoh darah masing-
masing 5 ml, yang pertama diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa pengawet.
o Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
o Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat khususnya atau bila
urine tidak tersedia.
o Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida,
dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan
untuk meretensi racun walaupun telah mengalami pembususkan.
o Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan melalui
urin, khususnya pada tes penyaring untuk keracunan narkotika, alkohol dan stimulan.
o Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
o Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot, lemak di
bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak.
Page | 7
Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam jenuh pada
sampel padat atau organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na sitrat digunakan untuk sampel
cair. Sedangkan natrium benzoate dan phenyl mercuric nitrate khusus untuk pengawet urine.
Selain pengambilan sampel melalui autopsi secara diseksi, terdapat teknik lain dalam melihat
kelainan tanpa melakukan diseksi. Alat–alat untuk diagnosa seperti endoskopi dan MRI dapat
digunakan untuk melihat kelainan internal tanpa melakukan diseksi pada tubuh korban. Akan
tetapi, diseksi tetap menjadi pilihan utama dalam tindakan.13
2.2 Amfetamin
2.2.1 Struktur Kimia dan Farmakonetik
Amfetamin merupakan suatu senyawa sintetik analog dengan epinefrin dan
merupakan suatu agonis ketekolamin tak langsung. Struktur kimia penting yang berkaitan
dengan efek farmakologis biokimia amfetamin yaitu tidak digantinya cincin fenil kelompok
alfa metil, dua rantai karbon diantara cincin fenil dan nitrogen serta kelompok amino utama.
Manipulasi dari struktur dasar molekul amfetamin bertujuan untuk menurunkan efek yang
tidak diinginkan dan menonjolkan efek yang diinginkan. Perbaikan atau modifikasi struktur
kimia akan menonjolkan atau melemahkan variasi aksi dari amfetamin dan komponen
sejenisnya.14
Subsitusi gugus methil pada ion hidrogen dalam gugus amino menghasilkan
metamfetamin yang mempunyai efek stimulasi sentral terhadap susunan saraf pusat dan
sangat potensial untuk disalahgunakan. Analog amfetamin dihasilkan dengan merubah cincin
fenil atau etilamin pada rantai lain. Penambahan gugus metil terhadap rantai alfa karbonik
menghasilkan fenteramin yang mempunyai aktivitas anoreksi. Penggantian rantai lain pada
gugus siklik seperti metilfenidat menimbulkan efek stimulasi susunan saraf pusat dan
menurunkan efek kardiovaskuler. Menempatkan satu atau lebih gugus metoksi pada cincin
fenil menghasilkan obat dengan efek halusinogen misalnya meskalin. Serbuk metamfetamin
dapat digunakan secara suntikan, inhalasi, dihisap atau dihirup. Sedangkan MDMA biasanya
dikonsumsi secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul.14
Amfetamin sangat baik diabsorbsi melalui permukaan mukosa dari saluran cerna,
nasofaring, cabang trakheobronkhus dan vagina. Penggunaan intravena akan langsung
mencapai otak dalam beberapa detik, pada penggunaan yang dihirup pertama kali
dikondensasi di paru-paru dan secara cepat diabsorbsi kedalam pembuluh darah. Kadar
plasma puncak setelah penggunaan oral terjadi 1-3 jam, hal ini bervariasi tergantung pada
aktivitas fisik dan jumlah makanan dalam lambung Amfetamin mengalami degradasi luas
Page | 8
dalam hati dengan menghasilkan sejumlah metabolit, beberapa diantaranya masih
mempunyai aktifitas farmakologi. Bentuk yang tidak dirubah dan metabolitnya akan
diekskresi melalui urine. Metabolisme amfetamin hati terjadi melalui beberapa cara, antara
lain:14
Aromatik hidroksilasi
Pada proses ini akan dihasilkan fenolik amin yang kemudian akan diekskresi melalui
urine atau berkonjugasi dulu dengan sulfat sebelum diekskresi. Para hidroksi
amfetamin yang merupakan metabolit inti dari proses ini secara biologi mempunyai
efek tiga kali lebih kuat dalam menginhibisi uptake noradrenalin dibandingkan
dengan amfetamin
Beta hidroksilasi
Proses ini dilakukan oleh enzim dopamin beta hidroksilase yang merubah dopamin
menjadi norepinefrin dan hal ini rupanya terbatas untuk senyawa amine utama. Bila
cincin metabolit hidroksilasi (misalnya p-hidroksilasi amfetamin) mengalami beta
hidroksilasi akan dihasilkan p-hidroksilasi norefedrin dan dapat diserap kedalam
ujung-ujung saraf norepinefrin dan kemungkinan dapat bereaksi sebagai
neurotransmiter palsu dengan demikian akan meningkatkan efek amfetamin.
Page | 9
Dopamin
Amfetamin menghambat re-uptake dan secara langsung melepaskan dopamin yang
baru disintesa. Pada penelitian didapatkan bahwa isomer dekstro dan levo amfetamin
mempunyai potensi yang sama dalam menghambat up take dopaminergik dari sinaps
otonom di hipothalamus dan korpus striatum tikus.
Norepinefrin
Amfetamin memblok re uptake norepinefrin dan juga menyebabkan pelepasan
norepinefrin baru, penambahan atau pengurangan karbon diantara cincin fenil dan
nitrogen melemahkan efek amfetamin pada pelepasan re uptake norepinefrin.
Serotonin
Secara umum, amfetamin tidak mempunyai efek yang kuat pada sistem
serotoninergik. Menurut Fletscher p-chloro-N-metilamfetamin mengosongkan kadar 5
hidroksi triptopfan (5-HT) dan 4 hidroksi indolasetik acid (5-HIAA), sementara kadar
norepinefrin dan dopamin tidak berubah. Hasil yang sama dilaporkan juga oleh Fuller
dan Molloy, Moller Nielsen dan Dubnick bahwa devirat amfetamin dengan elektron
kuat yang menarik penggantian pada cincin fenil akan mempengaruhi sistim
serotoninergik.
Aktivitas susunan saraf pusat terjadi melalui kedua jaras adrenergik dan dopaminergik
dalam otak dan masing-masing menimbulkan aktivitas lokomortor serta kepribadian
stereotopik. Stimulasi pada pusat motorik di daerah media otak depan (medial forebrain)
menyebabkan peningkatan dari kadar norepinefrin dalam sinaps dan menimbulkan euforia
serta meningkatkan libido. Stimulasi pada ascending reticular activating system (ARAS)
menimbulkan peningkatan aktivitas motorik dan menurunkan rasa lelah. Stimulasi pada
sistim dopaminergik pada otak menimbulkan gejala yang mirip dengan skizofrenia dari
psikosa amphetamine.14
Page | 10
2.2.3 Patofisiologi
Penggunaan amfetamin kronis dan dosis tinggi menimbulkan perubahan toksik
secara patofisiologi. Efek toksik penggunaan amfetamin kronis dengan dosis tinggi terhadap:
14
a. Otak
Penggunaan amfetamin secara kronis dengan dosis tinggi akan menginduksi
perubahan toksik pada sistim monoaminergik pusat. Seiden dan kawan-kawan
melakukan penelitian pada kera dengan menyuntikkan sebanyak 8 kali/hari (dosis 3-
6,5 mg/kg) selama 3-6 bulan. Setelah 24 jam pemberian dosis terakhir
memperlihatkan kekosongan norepinefrin pada semua bagian otak (pons, medula,
otak tengah, hipothalamus dan korteks frontal). Setelah 3-6 bulan suntikan terakhir,
norepinefrin masih tetap rendah di otak tengah dan korteks frontal. Sedangkan pada
hipothalamus dan pons kadar norepinefrin sudah meningkat. Kadar dopamin
terdepresi hanya pada darah, bagian otak lain tidak terpengaruh. Kondisi toksik
amfetamin ini juga mempengaruhi sistim serotoninergik, hal ini diperlihatkan dengan
perubahan aktivitas triptophan hidroksilase terutama pada penggunaan fenfluramin.
Rumbaugh melaporkan pada pemakaian amfetamin kronis dengan dosis tinggi
mempengaruhi vaskularisasi otak. Penelitian pada kera yang diberi injeksi
metamfetamin selama 1 tahun menunjukkan perubahan yang luas dari arteriola kecil
dan pembuluh kapiler. Selanjutnya dapat terjadi hilangnya sel neuron dan
berkembangnya sel-sel glia, satelit dan nekrohemorrhage pada serebelum dan
hypothalamus.
b. Perifer
Efek yang menonjol adalah terhadap kerja jantung. Katekolamin
mempengaruhi sensitivitas miokardium pada stimulus ektopik, karena itu akan
menambah resiko dari aritmia jantung yang fatal. Efek perifer yang lain adalah
terhadap pengaruh suhu (thermo-regulation). Amfetamin mempengaruhi pengaturan
suhu secara sentral di otak oleh peningkatan aktivitas hipothalamus anterior.
Penyebab kematian yang besar pada toksisitas amfetamin disebabkan oleh
hiperpireksia.
Mekanisme toksisitas dari amfetamin terutama melalui aktivitas sistim saraf
simpatis melalui situmulasi susunan saraf pusat, pengeluaran katekholamin perifer,
inhibisi re-uptake katekholamine atau inhibisi dari monoamin aksidase. Dosis toksik
Page | 11
biasanya hanya sedikit diatas dosis biasa. Amfetamin juga merupakan obat/zat yang
sering disalahgunakan.
Efek amfetamin yang berhubungan dengan penyalahguaan dapat dibedakan
dalam 2 fase: 14
1. Fase awal
Selama fase ini efek akut dari amfetamin ditentukan oleh efek
farmakologinya (pelepasan dopamin) dan akan menimbulkan:
o Euforia
o Energi yang meningkat
o Menambah kemampuan bekerja dan interaksi sosial Efek ini timbul sesaat
setelah mengkonsumsi
2. Fase konsolidasi
Konsumsi yang lama dan intermiten, membuat individu akan
meningkatkan dosis untuk mendapatkan efek yang lebih besar. Pada pemakaian
yang terus-menerus individu akan meningkatkan frekuensi dan dosis zat untuk
merasakan flash atau rush dari penggunaan amfetamin. Selama masa transisi
penggunaan dosis tinggi, individu menggunakan amfetamin yang bereaksi cepat,
yaitu secara intravena atau dihisap. Pada fase ini individu mulai binge, yaitu
pemakaian zat secara berulang-ulang sesuai frekuensi perubahan mood. Binge ini
dapat berlangsung dalam 12-18 jam tetapi dapat lebih panjang lagi mencapai 2
sampai 3 atau bahkan 7 hari.14
Page | 14
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan intoksikasi amfetamin15
a. Bila suhu badan naik, berikan kompres dingin, minum air dingin, atau selimut
hipotermik.
b. Bila kejang, berikan diazepam 10-30mg per oral atau parenteral; atau klordiazepoksid
10-25mg per oral secara perlahan-lahan dan dapat diulang setiap 15-20 menit.
c. Bila tekanan darah naik, berikan obat anti hipertensi.
d. Bila terjadi takikardi, berikan bet-blocker, seperti propranolol, yang sekaligus juga
untuk menurunkan tekanan darah.
e. Untuk mempercepat ekskresi amfetamin, lakukan asidifikasi air seni dengan memberi
amonium klorida 500 mg per oral setiap 3-4 jam.
f. Bila timbul gejala psikosis atau agitasi, beri haloperidol 3 kali 2-5 mg.
Penatalaksanaan putus amfetamin:15
a. Rawat di tempat yang tenang dan biarkan pasien tidur dan makan sepuasnya.
b. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya depresi dengan ide bunuh diri.
c. Dapat diberikan anti depresi.
Page | 15
metamfetamin. Oleh sebab itu hasil dari reaksi immunoassay harus diuji lagi dengan uji
pemastian (tes konfirmatori).16
Page | 18
- Penemuan pada ginjal: pada ginjal amfetamin mengakibatkan myoglobunuric tubular
nekrosis. Sedangkan metamfetamin dapat menyebakan proliferative glomeronefritis
akibat dari suatu sistemik necrotizing vasculitis. Biasanya terjadi bila amfetamin
digunakan secara intravena. Merupakan keadaan yang jarang terjadi, dan timbul bila
terjadi overdosis. Yang paling sering adalah derivate metamfetamin.19
- Tes urin pengguna MDMA akan memperlihatkan hasil positif pada amphetamine
(metode umum) dan metamfetamin (metode tes yang baru dan lebih jarang
digunakan). Periode deteksi amfetamin dipengaruhi beberapa factor seperti pH dan
status hidrasi.19
- Tes rambut : analisis rambut juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi amfetamin
dan derifatnya, namun penggunaannya tidak direkomendasikan. Tes rambut secara
umum memerlukan sekitar 1.5 inci dari rambut. Ini menyediakan periode deteksi
sekitar 90 hari. Jika rambut seseorang kurang dari 1.5 inci, periode deteksinya akan
lebih pendek.19
Page | 19
Alat dan Bahan
Alat:
1. Strip
2. Wadah penampung
Bahan: Urin
Cara Kerja:19
1. Meletakkan bahan dan alat di suhu ruang.
2. Mengeluarkan strip tes dari bungkus.
3. Mencelupkan strip ke sampel urin.
4. Ketinggian urin harus mencapai garis maksimum yang tertera pada strip.
5. 5.Menahan strip pada urin hingga warna kemerahan muncul, disudut bagian bawah
membrane tes kira kira 10 detik.
6. Mengangkat strip di tempat yang bersih dan kering .Membaca hasil selama 3-8 menit
setelahnya.
Sampel negatif amfetamin ditandai dengan munculnya 2 garis pink atau ungu.
Sedangkan jika hasil positif akan muncul 1 garis pink atau ungu. Jika pada tes region tidak
muncul garis, maka ini mengindikasikan level obat-obatan diatas level sensitivitas.19
Page | 20
b. Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
c. Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ke-tentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan;
atau
e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan
I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah).
3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping
dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar
Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 60
1) Barangsiapa :
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak
terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Page | 21
3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal
12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat
(1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal
14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 61
1) Barangsiapa :
a. mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16,
atau
b. mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan ekspor atau
surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
c. melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi
dengan surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) atau Pasal 22 ayat (4); dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
2) Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang
bertanggung jawab atas pengangkutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (1) atau Pasal 22 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 62
Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Page | 22
Pasal 63
1) Barangsiapa:
a. melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen pengangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
b. melakukan perubahan negara tujuan ekspor yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
c. melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
2) Barangsiapa :
a. tidak mencantumkan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ; atau
b. mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); atau
c. mengiklankan psikotropika selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1); atau
d. melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) atau Pasal 53 ayat (3); dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 64
Barangsiapa :
a. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani pengobatan
dan/atau perawatan pada fasilitas rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37;
atau
b. menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah).
Pasal 65
Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika
secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana
Page | 23
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).
Pasal 66
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat
terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 67
1) Kepada warga negara asing yang melakukan tindak pidana psikotropika dan telah
selesai menjalani hukuman pidana dengan putusan pengadilan sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dilakukan pengusiran
keluar wilayah negara Republik Indonesia.
2) Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat kembali ke Indonesia
setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan putusan pengadilan.
Pasal 68
Tindak pidana di bidang psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang ini adalah
kejahatan.
Pasal 69
Percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana psikotropika sebagaimana diatur
alam undang-undang ini dipidana sama dengan jika tindak pidana tersebut dilakukan.
Pasal 70
Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62,
Pasal 63, dan Pasal 64 dilakukan oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak
pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang
berlaku untuk tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha.
Page | 24
Pasal 71
1) Barangsiapa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan,
membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, atau Pasal
63 dipidana sebagai permufakatan jahat.
2) Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan ditambah
sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.
Pasal 72
Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang belum berumur
18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang yang di bawah pengampuan atau
ketika melakukan tindak pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya
atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga
pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.
Intoksikasi Amphetamine
Pasal yang menerangkan tentang intoksikasi ( keracunan ) MDMA adalah pasal 133 (1)
KUHP, yang berbunyi : Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya; pengertian atau batasan dari racun itu sendiri
tidak dijelaskan, dengan demikian dipakai pengertian racun yang telah disepakati oleh para
ahli. Pengertian yang paling banyak dianut adalah “ racun ialah suatu zat yang bekerja pada
tubuh secara kimiawi dan secara faali, yang dalam dosis toksik, selalu menyebabkan
gangguan fungsi tubuh, hal mana dapat berakhir dengan penyakit atau kematian”.21
Page | 25
Ilustrasi Kasus22
Pada 23 Maret 2015, seorang lelaki 42 tahun datang ke instalasi gawat darurat karena
dehidrasi. Ambulan didatangkan berdasarkan panggilan tetangganya yang mendengar suara
tangisan minta tolong. Pada pemeriksaan fisik saat kedatangan, pasien sadar penuh tetapi
tanpa kontak verbal yang logis dan respon pupil terhadap cahaya yang lambat. Suhu badan
pasien 39,8 C. Frekuensi jantung 160x/menit regular. Tekanan darah pasien adalah 110/80
mmHg. Pada pemeriksaan elektrokardiografi pertama tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan
EKG kedua dilakukan 1,5 jam sejak kedatangan, didapatkan elevasi segmen ST di lead V3-
V5. Kelainan tersebut diidentifikasi dengan dilakukannya pemeriksaan laboratorium darah
sebagai berikut:
Pemeriksaan Darah Hasil
Ureum 64 mg/dl
Kreatinin 1,96 mg/dl
CRP 9,5 mg/l
% saturasi oksigen 74,6%
CK-MB 131,4 ng/ml
Troponin T 204,4 ng/l 5575 ng/l
Na 144 mmol/l
K 3,4 mmol/l
Pada pemeriksaan radiologi mencakup CT-scan kepala dan foto rontgen X-Ray thorax
tidak didapatkan adanya kelainan. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penunjang maka
pasien didiagnosis dengan infark miokard akut anterolateral. Berdasarkan hasil konsultasi
dengan telepon pasien dikirim ke bagian hemodinamik untuk terapi lebih lanjut mencakup
angiografi koroner dan bila perlu dilakukan angioplasti.
Page | 26
Gambar 1. Rekaman EKG. Atrial fibrilasi dengan frekuensi 100x/menit. RBBB, elevasi segmen ST di lead V3-
V5.22
Pada saat pasien sampai di rumah sakit selanjutnya pasien dalam kondisi kritis. Pasien
tidak sadarkan diri, meskipun telah diberikan infus secara kontinyu dengan Levonor dan
Dobutamin tekanan darah pasien tidak terdeteksi. Pada EKG didapatkan elevasi segmen ST
pada anterolateral. Setelah pasien dikirim ke bagian cardiac intensive care unit pada 9.50 am
pasien mengalami gagal napas diikuti dengan henti jantung. Resusitasi dilakukan dan pasien
diintubasi diikuti dengan bantuan ventilasi mekanis. Pemijatan jantung luar dilakukan dan
infus dopamin diteruskan. Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan hipokinesis
menyeluruh dari ventrikel jantung kiri dengan kontraksi jantung kanan yang turun. Dilakukan
Page | 27
EKG selanjutnya dan didapatkan AV blok derajat 3. Lalu dilakukan pemeriksaan
laboratorium darah dengan hasil sebagai berikut.
Page | 28
Gambar 2. Nekrosis serat miokardial (pewarnaan H&E) 22
Page | 29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang membahas seputar efek merugikan
berbagai efek samping yang merugikan dari berbagai agen kimiawi terhadap semua sistem
makhluk hidup. Toksikologi forensik adalah ilmu yang mempelajari tentang racun dan
pengidentifikasian bahan racun yang diduga ada dalam organ atau jaringan tubuh dan cairan
korban. Menurut Society of Forensic Toxicologist, Inc. (SOFT), bidang kerja toksikologi
forensik meliputi analisis dan evaluasi racun penyebab kematian, analisis ada/tidaknya
kandungan alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau nafas yang dapat
mengakibatkan perubahan perilaku dan analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus
penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat terlarang lainnya.
Amfetamin merupakan suatu senyawa sintetik analog dengan epinefrin dan
merupakan suatu agonis ketekolamin tak langsung. Amfetamin merupakan psikotropika
golongan II, yang mempunyai potensi kuat dalam menyebabkan ketergantungan. Amfetamin
mempunyai efek simpatomimetik tak langsung dengan aktivitas sentral maupun perifer.
Amfetamin juga mempunyai efek menghalangi re-uptake dari katekolamin oleh neuron
presinap dan menginhibisi aktivitas monoamin aksidase, sehingga konsentrasi dari
neurotransmitter cenderung meningkat dalam sinaps. Mekanisme kerja amfetamin pada
susunan saraf pusat dipengaruhi oleh pelepasan biogenik amine yaitu dopamin, norepinefrin
dan serotonis atau ketiganya dari tempat penyimpanan pada presinaps yang terletak pada
akhiran saraf. Efek yang dihasilkan dapat melibatkan neurotransmitter atau sistem
monoamine oxidase (MAO) pada ujung presinaps saraf.
Forensik klinik berperan dalam penyalahgunaan amfetamin yaitu dengan
pemeriksaan-pemeriksaan yang mendukung analisis kadar amfetamin dalam tubuh seperti
teknik immunoassay, kromatografi lapisan tipis, tes konfirmasi, temuan dalam otopsi, dan
pemeriksaan amfetamin dengan metode one step amfetamin test (urine) – visual screening
immunoassay.
Undang-undang narkotika terbaru adalah No. 35/2009. UU ini menggantikan
peraturan narkotika sebelumnya, yakni UU No. 22 Tahun 1997. Sedangkan undang-undang
psikotropika hingga sekarang belum ada yang baru, sehingga peraturannya masih mengacu
pada undang undang nomor 5 tahun 1997, pasal 59 sampai 72.
Page | 30
3.2 Saran
Dengan diketahuinya toksikologi secara umum dan efek amfetamin pada tubuh
berserta aspek medikolegalnya secara khusus bagi tubuh diharapkan dapat mendukung
berkurangnya penggunaan psikotropika khususnya amfetamin. Namun masih banyak
kekurangan dalam karya tulis ini yang diharapkan adanya penulis lain yang melanjutkan
karya tulis ini sehingga dapat mengembangkan ilmu, terutama dalam hal data serta tindak
lanjut preventif, kuratif, rehabilitatif serta aspek hokum yang terus berkembang.
Page | 31
DAFTAR PUSTAKA
Page | 32
15. Joewana S. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif:
penyalahgunaan napza/narkoba. Ed 2. Bab 12: Amfetamin. H- 136-8. Jakarta: EGC;
2005.
16. Wirasuta MAG. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan Analisis.
Jakarta: Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences; 2008; 1(1):47-55.
17. Stephen BG. Investigation of death from drug abuse. In: Spitz WU, Spitz DJ.Spitz and
Fisher’s Medicolegal Investigation of Death. 4 th ed. Charles Thomas Publisher
LTD;USA.
18. Kalant H. 2001. The Pharmacology and Toxicology of ”ecstasy” (MDMA)and Related
Drug. CMAJ[serial online] Oct 2, 2001; 165(7):917-28.Available from : URL
:http://www.cmaj.ca
19. Leikin JB, Watson WA. 2004. Interpretationn of Analytical Result inForensic
Toxycology. In: Dart RC (editor). Medical Toxicology. 3th edition.Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
20. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.
Diunduh dari: http://e-pharm.depkes.go.id/front/pdf/UU51997.pdf, 4 November 2016.
21. Idries AM. Keracunan. Dalam: Pedoman ilmu kedokteran forensik. Edisi 1. Jakarta:
Binarupa Aksara; 1997. h. 329 – 46.
22. Smedra A, Szustowski S, Berent J. Amphetamine-related myocardial infarction in a 42-
year old man. Arch Med Sad Kryminol 2015; 65 (3): 173-81.
Page | 33