Anda di halaman 1dari 5

Seminar Nasional Biologi II tahun 2015

Bioindikator Kualitas Perairan

Tri Retnaningsih Soeprobowati

Jurusan Biologi, FSM Universitas Diponegoro (UNDIP)


Jl. Prof. Soedarto SH, Kampus UNDIP Tembalang Semarang 50275
E-mail: trsoeprobowati@live.undip.ac.id

ABSTRAK
Bioindikator adalah organisme yang mampu mengindikasikan lokasi, status, dan kualitas lingkungan. Namun,
dalam perkembangannya bioindicator lebih banyak digunakan dalam kajian lingkungan. Oleh karena itu maka
bioindikator dapat pada level individu, populasi, atau komunitas. Organisme yang memiliki potensi sebagai
bioindkator kualitas lingkungan, harus memiliki persyaratan antara lain kedudukannya sebagai produsen primer
sehingga mempunyai peranan sangat penting dalam rantai makanan; siklus hidup pendek; cepat bereproduksi;
dapat dijumpai hampir di semua habitat sehingga mampu merekam perubahan ekologinya; distribusi luas dengan
populasi yang bervariasi; mampu merefleksikan perubahan kualitas lingkungan karena banyak spesiesnya yang
sensitif terhadap perubahan lingkungan sehingga cepat meresponnya; mudah dalam pengambilan dan preparasi
sampel; rendahnya biaya sampling dan analisis; banyak referensi untuk identifikasi. Diatom adalah mikroalga yang
banyak dijumpai pada hampir semua perairan yang memiliki persyaratan sebagai bioindikator kualitas air. Diatom
sangat handal digunakan sebagai bioindikator kualitas perairan dan dapat dipergunakan untuk rekonstruksi
perubahan kualitas air. Berdasarkan komunitas diatom untuk rekonstruksi dan prediksi perubahan kulitas air di
Danau Rawapening yang dilakukan tahun 2010, maka pH Danau Rawapening cenderung basa seiring
pertambahan waktu. Berdasarkan hasil analisis kualitas air di tahun 2015, maka kecenderungan kenaikan pH
Danau Rawapening terbukti dengan pH yang lebih basa di tahun 2015.

Key words: bioindikator, kualitas air, pH, diatom, Rawapening

1. PENDAHULUAN

Ekosistem mengalami perubahan sebagai dinamika dalam menuju kesetimbangannya. Perubahan tersebut
dapat diindikasikan secara fisik, kimia maupun biologi. Pada 24 Desember 1999 terdapat awan gempa yang
diabadikan dalam foto di Mauritius. Fenomena yang sama, awan cirrius pada petang hari di atas langit Yogyakarta
pada Rabu 12 Juli 2006. Sebelum bencana terjadi, sebagian masyarakat Yogayakarta juga melihat ikan yang
meloncat dari kolam, bahkan dari sumur. Masyarakat memaknai sebagai isyarat alam akan terjadinya bencana.
Di banyak daerah, hewan tertentu juga dipercaya masyarakat memberi pertanda alam. Misalnya kehadiran
burung gagak di atas daerah tertentu, mengindikasikan adanya kematian. Alam, dengan bahasanya sebenarnya
berkomunikasi dan memberi isyarat. Organisme yang mampu mengindikasikan lokasi, status dan kualitas
lingkungan disebut sebagai bioindikator. (Tandjung, 2003). Dalam perkembangannya, yang lebih banyak dibahas
adalah bioindikator kualitas lingkungan, sehingga istilah bioindikator digunakan untuk jenis atau sekelompok
organisme yang karena kehadiran atau kemelimpahannya dapat mencerminkan kualitas lingkungan. Oleh karena
itu maka bioindikator ini dapat dalam level individu, jenis, populasi atau komunitas (Jamil, 2001). Dengan demikian
maka bioindikator dapat didefinisikan sebagai organism atau kelompok organism yang keberadaannya atau
perilakunya mencerminkan kondisi lingkungan, sehingga dapat digunakan sebagai indikator kualitas lingkungan.
Bioindikator berbeda dengan biomarker, biomarker merupakan respon biologi terhadap suatu zat kimia di
lingkungan pada tingkatan individu atau dibawahnya, meliputi biokimia, fisiologis, histoligis, morfologis, dan tingkah
laku (Koci, 2012). Biomarker adalah bagian dari suatu organisme yang secara fisiologis hingga molekuler yang
menggambarkan suatu dampak perubahan lingkungan dan atau polusi pada suatu lingkungan.
Dua persyaratan utama suatu organisme dapat digunakan sebagai bioindikator yaitu harus sensitif terhadap
perubahan lingkungan baik abiotik maupun biotik dan respon dalam menanggapi perubahan tersebut harus dapat
diprediksi sehingga memungkinkan peneliti untuk menarik kesimpulan secara kausal (Reid et al., 1995). Ada 3 tipe
indikator menurut Cairn et al. (1993 dalam Jamil, 2001 ), yaitu indikator pemenuhan (compliance indicator) yang
didesain untuk mengetahui restorasi kualitas ketercapaian; indikator diagnostik (diagnostic indicator) untuk
investigasi penyebab gangguan); dan indikator pemeringat awal (early warning indicator) untuk memberi pertanda

Pemanfaatan Sumberdaya Hayati dan Peningkatan Kualitas Lingkungan


6
Seminar Nasional Biologi II tahun 2015

adanya gangguan sebelum indikator lain terpengaruh. Persyaratan umum yang harus dimiliki suatu organisme
yang digunakan sebagai bioindikator antara lain takson yangtelah diketahui secara detail dan taksonominya jelas
dan mudah untuk di identifikasi, memiliki respon yang baik terhadap perubahan lingkungan, melimpah, mudah di
survei; distribusi luas dalam ruang dan waktu; dan berkorelasi kuat dengan komunitas keseluruhan atau tidak
berkorelasi kuat dengan factor tekanan (Hordkinson & Jackson 2005). Organism perairan yang memiliki
persyaratan tersebut antara lain, fitoplankton, fitobenthos, zoobentos. Keunggulan fitoplankton sebagai bioindikator
kualitas perairan karena peranannya sebagai produser primer, sehingga sangat menentukan tingkatan tropik
diatasnya. Fitoplankton merupakan bioindikator yang bagus untuk eutrofikasi (Soeprobowati & Suedy, 2010).
Makrobentos memiliki keunggulan untuk pendugaan kualitas air karena banyak spesies makrobentos yang bersifat
sessile sehingga sangat cocok untuk penilaian pengaruh antropegenik pada tempat yang spesifik, mampu
mengintegrasikan perubahan variasi lingkungan dalam waktu relative singkat, identifikasi mudah, respon stress
pada toleransi yang berbeda terhadap pencemaran, sampling mudah dan murah, distribusi luas, sumber makanan
ikan, dan kemmapuan akumulasi (Cheesmann, 2003). Makroinvertebrata lebih baik sebagai indikator yang
integratif dari gangguan daerah tangkapan (Sonneman, et al., 2001). distribusi hewan makroinvertebrata lebih
dipengaruhi oleh lebar kanal, pH dan konduktivitas (Soininen & Kononen, 2004).
Chironomid merupakan aspek biotis yang mampu membantu penundaan pendangkalan danau, khususnya
di Waduk Sempor Kebumen. Nutrien yang berpengaruh terhadap kemelimpahan larva Chironomidae adalah kadar
total nitrogen dan total fosfor sedimen serta total nitrogen perairan. Berdasarkan transparansi, rasio N-P dan
kehadiran genus angota Chironomidae, maka Waduk Sempor tergolong mesotrofik (Hadisusanto, 2006).
Perubahan lingkungan perairan yang terjadi di suatu ekosistem dapat dikaji melalui kegiatan rekonstruksi.
Rekonstruksi adalah kegiatan reka ulang kondisi masa lalu berdasarkan penunjuk organisme yang tersimpan
dalam lapisan sedimen, sehingga mencerminkan kondisi lingkungan pada saat organisme tersebut diendapkan.
Bioindikator untuk rekonstruksi harus organisme yang memiliki dinding sel yang tidak terdegradasi pada saat
organisme tersebut telah mati dan diendapkan. Diatom memiliki potensi tersebut, dinding selnya tersusun dari
silika sehingga terawetkan selama proses deposisi. Diatom merupakan alga dominan di hampir semua ekosistem
perairan tawar, dengan kontribusi 20-25% produksi primer, dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
siklus silika dan karbon (Mann, 1999; Smol, 2008). Kolonisasi diatom pada habitat baru cukup cepat. Saat ini
diketahui lebih dari 260 genus diatom hidup dengan lebih dari 100.000 jenis (Round et.al., 2000). Taksa yang
berbeda memiliki toleransi terhadap variabel lingkungan yang berbeda pula. Oleh karena itu, kumpulan jenis
diatom dapat secara efektif digunakan untuk pendugaan lingkungan perairan di masa lampau (John, 2000). Saat
ini, pengembangan diatom lebih banyak pada aplikasi pendugaan lingkungan masa lampau (Smol, 2008).
Pemanfaatan diatom sebagai bioindikator lingkungan tidak hanya dalam pengelolaan lingkungan tetapi juga
menyangkut kebijakan yang harus ditetapkan terkait dengan masalah lingkungan (Newman & Zillioux, 2006). Pada
pertemuan pertama International Society of Environmental Bioindicators yang dilakukan bersamaan dengan
Thirteenth International Conference on Environmental Bioindicators yang dilakukan di Praha, 6 – 10 Juni 2005
dicapai kesepakatan bahwa dibutuhkan kerjasama internasional dalam hal riset tentang bioindikator lingkungan.
Perkembangan penelitian diatom sedemikian pesatnya, dimulai tahun 1703 ketika mikroskop ditemukan,
hingga ketika Battarbee (1986) mengemukakan potensi diatom sebagai bioindikator kualitas lingkungan. Hal ini
seiring dengan perkembangan aplikasi analisis statistik multivariat untuk analisis paleorekonstruksi (Smol, 1990).
Taksa diatom tertentu memerlukan kondisi lingkungan dan toleransi yang berlainan terhadap variasi kualitas air.
Penelitian diatom saat ini lebih fokus pada aplikasinya untuk pendugaan kondisi lingkungan masa lampau (Smol,
2008).
Diatom merupakan bioindikator kualitas perairan yang potensial (John, 2000), karena:
- kedudukannya sebagai produsen primer sehingga mempunyai peranan sangat penting dalam rantai
makanan;
- siklus hidup pendek;
- cepat bereproduksi;
- dapat dijumpai hampir di semua substrat sehingga mampu merekam perubahan habitatnya;
- distribusi luas dengan populasi yang bervariasi;
- mampu merefleksikan perubahan kualitas air karena banyak spesiesnya yang sensitif terhadap perubahan
lingkungan sehingga cepat meresponnya;
- mudah dalam pengambilan dan preparasi sampel;
- rendahnya biaya sampling dan analisis;
- banyak referensi untuk identifikasi

Pemanfaatan Sumberdaya Hayati dan Peningkatan Kualitas Lingkungan


7
Seminar Nasional Biologi II tahun 2015

Hustedt (1937-1939 dalam Gell et al., 1999) membuat sistem pengklasifikasian pH berdasarkan tolernasi
ekologis diatom menjadi 5 kelompok yaitu alkalibiontik, alkalifilous, circumnetral, asidofilous, dan asidobiontik.
Contoh diatom yang termasuk pada masing-masing kategori seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengelompokan diatom berdasarkan derajat keasaman (modifikasi dari Sonneman et al., 2000)

Alkalibiontik: 7-11 Alkalifilus: >11 Asidofilus: <4 Asidobiontik: 4-7

Diatoma vulgar, Fragilaria inflata Eunothia paludosa, Pinnularia subcapitata


Ephitemia Ctenophora pulchela Eunotia veneris Eunotia exigua
Melosira meniliformi, Cocconeis pediculus
Gyrosigma Navicula miniona
acuminatum Navicula Amphora ovalis
pygmae, Surirella ovata
Stephanodiscus Navicula rostellata
astre, Rhopaloidea Gyrosigma spenceri
gibba

Berdasarkan toleransi ekologis diatom terhadap salinitas, Van Dam et al, (1994) membedakan menjadi 4
kategori, yaitu fresh dengan salinitas kurang dari 0,2%; fresh brackish dengan salinitas kurang dari 0,9%; brackish
fresh dengan salinitas 0,9 – 1,8%; dan brackish dengan salinitas 1,8 – 9%. Contoh 3 kelompok diatom pada
kisaran salinitas yang berbeda tersaji dalam Tabel 2.
Banyak penelitian telah dilakukan terhadap pemanfaatan diatom sebagai indikator status trofik perairan,
perubahan pH dan salinitas. Bahkan telah pula dilakukan pemanfaatan diatom untuk merekonstruksi lingkungan
perairan masa lalu di USA (Pyle et al., 1998), Swedia (Biggler & Hall, 2002); Finlandia (Soininen, & Könönen,
2004); Mexico (Siqueiros-Beltrones et al., 2005); Australia (Gell et al., 2005, Fluin et al., 2009); dan Canada
(Koster et al., 2004; Pienitz et al., 2006).

Tabel 2. Pengelompokan diatom berdasarkan salinitas (modifikasi dari Gell et al., 1999)

Polihalobus: >30 Mesohalobus: 0,2 – 30 Oligohalobus: 0-0,02

Navicula abrupta Navicula gracili, Synedra ulna


N. concellata, Coscinodiscus lacustris Fragillaria
N. crucifera Achnanthes brevipes Diatomae elongatum
N. dissipata Melosira jurgensii Melosira varians
Odontellarhombus Rhopaloidea gibberulla Meridion circulare
Paralia sulcata Cocconeis disculus
Skeletonema costatum
Melosira westii
Odontella aurita

Kajian ini bertujuan untuk untuk membuktikan hasil rekonstruksi perubahan lingkungan oleh diatom yang
dilakukan tahun 2010 dengan kualitas lingkungan tahun 2015.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan hasil rekonstruksi pH Danau Rawapening (Soeprobowati et
al., 2012) dengan pH Danau Rawapening tahun 2015. Pengukuran pH dilakukan pada 15 Juni dan 12 Agustus
2015 di 17 lokasi di Danau Rawapening, pada tiap lokasi dilakukan pengukuran sebanyak 3 kali ulangan.

Pemanfaatan Sumberdaya Hayati dan Peningkatan Kualitas Lingkungan


8
Seminar Nasional Biologi II tahun 2015

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kehadiran spesies Luticola goeppertiana, Navicula radiosa, Gomphonema parvulum, G. truncatum,


Nitzschia umbonata, L. mutica, Eunotia pectinalis var pectinalis, E.pectinalis var undulata sejak 1967 – 1982 (Zona
1 dan 2) di lokasi Asinan mengindikasikan perairan dalam kondisi basa. pH Danau Rawapening berfluktuasi. Zona
4 (1990-2008) merupakan zona paling atas, didominasi oleh A. ambigua, A. granulata dan S. acus. Populasi A.
distans menurun jika dibandingkan dengan pada zona 3. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak tahun 1990 hingga
2008 pH Danau Rawapening bervariasi antara 6,5 – 9 (Sonneman et al. 2000). Curah hujan relatif lebih tinggi
namun dengan konduktivitas yang relatif menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pada lokasi Asinan, A. granulata dominan pada kedalaman permukaan hingga 40 cm dan umur 26 tahun
(sejak 1982) mengindikasikan bahwa kandungan total fosfor lebih tinggi (20 – 1.000 µg/L) dengan pH lebih basa,
kemudian mulai tahun 1990 menunjukkan penurunan konsentrasi. Menurut Sonneman et al. (2000), A. granulata
mendominasi perairan jika kondisi perairan tersebut basa dan lingkungan yang turbulen.
Secara alami, danau cenderung semakin asam seiring pertambahan waktu. Namun, berdasarkan
rekonstruksi yang dilakukan, terdapat kecenderungan kenaikan pH perairan Danau Rawapening. Hal ini dapat
terjadi oleh 2 hal, yaitu dekomposisi bahan organik oleh mikroba di dasar danau atau berkaitan dengan
pemanfaatan kapur untuk pembuatan pupuk organik dari eceng gondok. Ketika hujan turun, maka zat kapur
tersebut akan tercuci dan masuk ke danau.
Pada penelitiannya di tahun 1979, Goltenboth menyampaikan bahwa pH berkisar antara 7,2 – 7,6. Pada
tahun 1999 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan – Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UNDIP mendapatkan
pH berkisar antara 7,5 – 8,8. Pada penelitiannya di tahun 2003, Wibowo (2004) mendapatkan pH berkisar antara
6,5 – 7,7. Pada penelitian di tahun 2004 dan 2005 ini pH di sungai (inlet) dan Danau Rawapening cenderung
netral, kecuali di sumber mata air, Bukit Cinta dan pulau terapung dengan pH tertinggi 9,52 di sumber mata air
(Soeprobowati et al., 2005). Pada tahun 2008, pH Danau Rawapening lebih basa lebih dari 11.
Pada pengukuran pH tahun 2015, maka diperoleh hasil pH cenderung basa di lapisan permukaan air,
namun di tengah dan dasar perairarbatn pH cenderung lebih rendah. Hal ini mendukung hasil rekonstruksi pH yang
cenderung basa seiring pertambahan waktu (Gambar 1). Terlepas dari masih terbatasnya data set diatom
Indonesia, namun dari satu kasus ini terbukti kehandalan diatom untuk rekonstruksi perubahan pH perairan. pH
perairan sangat penting dalam mendukung proses fisiologis organism, demikan halnya dalam proses kimiawi
toksisitas logam berat.

Gambar 1. pH danau Rawapening 15 Juni dan 12 Agustus 2015

4. SIMPULAN

Diatom cukup handal dalam rekonstruksi perubahan pH perairan. pH Danau Rawapening cenderung bersifat
basa seiring perubahan waktu.

Pemanfaatan Sumberdaya Hayati dan Peningkatan Kualitas Lingkungan


9
Seminar Nasional Biologi II tahun 2015

REFERENCES

[1] Bapedalda (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) – PPLH Undip (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas
Diponegoro, 1999. Pengembangan Indeks Mutu Lingkungan dan Indikator Biologi. Lembaga Penelitian Undip, Semarang.
[2] Biggler, C. and R.I.Hall. 2002. Diatoms as indicators of climatic and limnological change in Swedish Lapland: 100-lake
calibration set and its validation for paleoecological reconstructions. Paleolimnology 27: 97 – 115
[3] Cheesmann B. 2003. Signal 2.iv – A System for Macroinvertebrate (Water Bgfs) In Australia Rivers. Canberra Australia:
Departement of The Environment Heritage GPO Box 787.
[4] Fluin J.; Tibby, J. And Gell, P. 2009. The palaeolimnological record from lake Cullulleraine,lower Murray River (south-east
Australia): implications for understanding riverine histories: Paleolimnogy DOI 10.1007/s10933-009-9333-8
[5] Gell, P..; J.A. Sonneman; M.A. Reid; M.A. Ilman; and A.J. Sincock. 1999. An illustrated key to common diatom genera from
Southern Australia. CRC for Freshwater Ecology, Thurgoona, NSW.
[6] Gell, P.; J. Tibby; J. Fluin; P. Leahy; M. Reid; K. Adamson; S. Bulpin; A. MacGregor; P. Wallbrink; G. Hancock; and B.
Walsh. 2005. Accesing limnological change and variability using fossil diatom assemblages, South-East Australia. River
Research Application 21: 257-269.
[7] Goltenboth, F. 1979. Preliminary final report. The Rawapening Project. Satya Wacana Christian University, Salatiga.
[8] Goltenboth, F. and K.H. Timotius. 1994. Danau Rawapening di Jawa Tengah, Indonesia. Satya Wacana University Press,
Salatiga.
[9] Hadisusanto, S. 2006. Distribusi dan kemelimpahan larva benthonikChironomidae (Diptera):hubungannya dengan jeluk dan
nutrient di Waduk Sempor, Kebumen, Jawa Tengah. Disertasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
[10] Hordkinson ID, Jackson JK. 2005. Terrestrial and Aquatic Invertebrates as Bioindicators for Environmental Monitoring, with
Particular Reference to Mountain Ecosystems. Environ Manag Vol. 35 (5) : 649–666.
[11] Jamil, K. 2001. Bioindicator and biomarkers of environmental pollution and risk assessment. Science Publishers, USA.
[12] John, J. 2000. A Guide to Diatoms as Indicators of Urban Stream Health LWRRDC Occasional Paper 14/99 (Urban Sub
Program, Report No.7).
[13] Koster, D.; J.M. Racca; and R. Pienitz. 2004. Diatom-based inference models and reconstructions revisited: methods and
transformation. Journal of Paleolimnology 32: 233 – 246.
[14] Mann, D.G. 1999. The species concept in diatoms. Phycologia 38 (6): 437-495.
[15] Newman, J.R. and E.J. Zillioux. 2006. Summary Thirteenth international conference on Environmental bioindicators, first
annual meeting of the new international society of environmental bioindicaors. Journal of Environmental Bioindicator 1: 110-
111.
[16] Pienitz, R.; K. Robergem; and W.F. Vincent. 2006. Three hundred years of human-induced change in an urban lake:
paleolimnological analysis of Lac Saint-Augustin, Quebec City, Canada. Canadian J. of Botany 84: 303-320.
[17] Pyle, L.; S.R. Cooper; and J.K. Huvane. 1998. Diatom Paleoecology Pass Key Core 37, Everglades National Park, Florida
Bay. Open-File Report 98-522, USGS (US geological Survey.
[18] Reid, M.A.; C. Tibby; D. Penny; and P.A. Gell. 1995. The use of diatoms to assess past and present water quality. Australia
J. of Ecology 20: 57-64.
ed
[19] Round, F.E; R.M. Crawford; and D.G. Mann. 2000. The Diatoms: Biology and Morphology of the Genera. 2 . Cambridge
University Press, UK.
[20] Siqueiros-Beltrones, F.O. Lo´pez-Fuerte; and I. Ga´rate-Liza´rraga. 2005. Structure of Diatom Assemblages Living on Prop
Roots of the Red Mangrove (Rhizophora mangle) from the West Coast of Baja California Sur, Mexico. Pacific Science 59
(1):79–96.
[21] Smol, J.P. 1990. Paleolimnology: recent advances and future challanges. Me.Ist. Ital. Idrobilogy 47: 253-276.
[22] Smol, J.P. 2008. Pollution of Lakes and Rivers A Paleoenvironmental Perspective. 2nd ed. Blackwell Publishing, USA.
[23] Soeprobowati, T.R; W.A. Rahmanto; J.W. Hidayat; and K. Baskoro. 2005. Diatoms and present Condition of Rawapening
Lake. International Seminar on Environmental Chemistry and Toxicology, April 2005, INJECT Yogyakarta.
[24] Soininen, J. & K. Kononen. 2004. Comparative study of monitoring South-Finnish rivers and streams using diatom and
macroinvertebrate community structure. Aquatic. Ecology 38: 63-75.
[25] Sonneman, J.A.; Sincock, A.; Fluin, J.; Reid, M.; Newall, P.; Tibby, J.; and Gell, P. 2000. An illustrated guide to common
stream diatom species from temperate Australia. Cooperative Research Centre for freshwater Ecology, Albury.
[26] Sonneman, J.A.; C.J. Walsh; P.F. Breen; and A.K. Sharpe. 2001. Effects of urbanization on streams of Melbourne region,
Victoria, Australia.II. benthic diatom communities. Freshwater Biology 46: 553-565.
[27] Tandjung, S. D. 2003. Ilmu Lingkungan. Cetakan ke-4. Laboratorium Ekologi, Fakultas Biologi , Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
[28] Van Dam. H.; Mertens, A.; and Sinkeldam, J. 1994. A coded checklist and ecological indicator values of freshwater diatoms
from the Netherlands. Netherlands Journal of Aquatic Ecology 28(1): 117-133
[29] Wibowo, H. 2004. Tingkat eutrofikasi Rawapening dalam kerangka kajian produktivitas primer plankton. Thesis Magister
Ilmu Lingkungan. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

Pemanfaatan Sumberdaya Hayati dan Peningkatan Kualitas Lingkungan


10

Anda mungkin juga menyukai