Anda di halaman 1dari 3

Budayakan Tabayyun, Cegah Bahaya Hoax dan Adu Domba

Tabayyun secara bahasa memiliki arti mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar
keadaannya. Sedangkan secara istilah adalah meneliti dan meyeleksi berita, tidak tergesa-gesa
dalam memutuskan masalah baik dalam hal hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas-jelas
benar permasalahannya.

Tabayyun adalah akhlaq mulia yang merupakan prinsip penting dalam menjaga kemurnian ajaran
Islam dan keharmonisan dalam pergaulan. Hadits-hadits Rasulullaah saw dapat diteliti
keshahihannnya antara lain karena para ulama menerapkan prinsip tabayyun ini. Begitu pula dalam
kehidupan sosial masyarakat, seseorang akan selamat dari salah faham atau permusuhan bahkan
pertumpahan darah antar sesamanya karena ia melakukan tabayyun dengan baik. Oleh karena itu,
pantaslah Allaah swt memerintahkan kepada orang yang beriman agar selalu tabayyun dalam
menghadapi berita yang disampaikan kepadanya agar tidak meyesal di kemudian hari,” Hai orang-
orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu” (QS. Al-Hujurat:
Ayat 6) (Iqbal Nurhadi: 2011).

Waspada itu Penting!

Perjalanan panjang sejarah peradaban, baik skala dunia maupun sekala yang lebih sempin,
Nusantara misalnya. Adu domba adalah senjata yang paling ampuh yang digunakan untuk memecah
bealah, memicu konflik, bahkan menghancurkan peradaban ataupun pemerintahan. Baik
pemerintahan yang sudah lama berjaya maupun yang baru berusia dini. Adu domba adalah
“permainan” yang tidak boleh main-main dalam menghadapinya. Oleh karena itulah kewaspadaan
menjadi sangat penting, bahkan menjadi suatu keharusan yang tidak dapat diabaikan begitu saja.

Adu domba, “permainan” ini sangat beragam terik dan strateginya, mulai memperselisihkan sesama
teman, bersengketa antar tetangga, memporak poranda rumah tangga hingga menyulut perang
saudara. Jadi tak heran jika sebuah pemerintahan baik kerajaan, dinasti, kesultanan atau apapun
bentuknya, dapat porak poranda hanya karena perselisihan sesama penghuni rumah tangga
pemerintahan tersebut akibat adu domba. Tentu keberadaan Indonesia yang usia kemerdekaannya
hampir satu abad ini tidak ada jaminan untuk tetap utuh- seutuh utuhnya jika kita tidak mewaspadai
dan mencegah adanya adu domba.

Tabayyun agar tidak salah paham

Keberlangsungan hidup suatu negagara yang harmoni, pastinya akan rusak jika sesama warganya
saling menghujat dan menyalahkan. Hal inilah yang beberapa tahun terakhir terjadi. Sesama ummat
Islam di Indonesia misalnya, saling bersitegang sehingga hubungan sesama ummat muslim seringkali
memanas. Faktornya adalah ketidak sepahaman yang kemudian dijadikan alasan untuk menyalahkan
yang lainnya. Situasi atau ruang-ruang seperti inilah yang kemudian dijadikan modal utama oleh
mereka yang hobinya “bermain” adu domba.

Mencegah terjadinya perselisihan akibat adu domba tentu tidak mudah, mengingat adu domba
dapat dilakukan melalui banyak hal dan terencana secara sistematis. Oleh karena itu membudayakan
tabayyun adalah salah satu jawaban yang paling sederhana untuk dapat dilakukan dalam mencegah
akibat buruk adu domba, apa lagi di era millenial yang sarat akan membanjirnya isu-isu dan
informasi hoax, baik secara lisan-ke lisan maupun lewat hebatnya teknologi di dunia maya.

Selain tabayyun, hal paling pokok yang perlu dilakukan adalah mengedukasi segenap penerus bangsa
ini agar tidak terperangkap di dalam laku adu domba atau justru menjadi pelaku di dalamnya akibat
ketidak tahuan atau kesengajaan. Edukasi bahaya adu doba misalnya, atau balasan bagi mereka yang
suka mengadu domba, baik berupa hukuman sosial maupun hukum yang ada dalam agama-agama.

Dengan kekuatan membudaya tabayyun (antusian menggali kebenaran) dan pemahaman yang
kenprehensip terhadap suatu persoalan yang ada, maka harapan yang paling mudah di capai adalah
keharmonisan jangka panjang yang tak akan tertukarkan dengan sedikit perselisihanpun, jika
demikian tentu romantisme dalam kewarga negaraan akan membuahkan masa depan Indonesia
yang kokoh persatuan dan bijaksana multikulturalismenya.

Hoax dalam Al-Quran: Tafsir Q.S. al-Ĥujurāt Ayat 6


Era digital seperti saat ini, kita tidak bisa terhindar dari berita bohong atau hoax. Bagaimanakah al-
qur’an mengomentari soal hoax? Simak tafsiran QS. Al-Hujurat ayat 6.

Salah satu persoalan sosial yang muncul beriringan dengan kemajuan dan perkembangan media
sosial- seperti: facebook, twitter, whatsapps dan sebagainya- adalah hoax. Dalam bahasa Indonesia,
hoax merupakan istilah/ kata serapan yang semakna dengan “berita bohong”. Hoax yang biasa
diartikan sebagai upaya memperdaya banyak orang dengan sebuah berita bohong (deceive
somebody with a hoax); memperdaya beberapa/ sekumpulan orang dengan membuat mereka
percaya pada sesuatu berita yang telah dipalsukan.

Selanjutnya, bagaimana tuntunan Al-Quran al-Karim terkait dengan hoax? Terdapat beberapa ayat
yang menyinggungnya secara langsung maupun tidak langsung. Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 6 merupakan
salah satu ayat yang secara eksplisit memberikan tuntunan kita dalam menyikapi terhadap hoax.

‫على فَتُصبِ ُحوا بِ َجهالَةَ قَوماَ تُصيبُوا أَنَ فَتَبَيَّنُوا بِنَبَإَ فاسِقَ جا َء ُكمَ إِنَ آ َمنُوا الَّذينََ أَيُّ َها يا‬
َ ‫( نادِمينََ فَعَلتُمَ ما‬6)

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. al-
Ĥujurāt/ 49: 6).

Menurut Jawad Mugniah dalam at-Tafsīr al-Mubīn, ayat ini menunjukan dengan jelas tentang
haramnya mengambil berita dari orang fasik tanpa melakukan klarifikasi (tabayyun) kebenarannya.
Pengambilan berita dari orang fasik dikhawatirkan akan membahayakan bagi orang lain. Dalam
istilah ushul fiqh, ayat ini juga menunjukan larangan untuk mengikuti tata cara orang-orang fasik.

Bersandar pada ayat ini, sebagian ulama juga berargumen kewajiban untuk mengambil berita dari
orang yang terpercaya (tsiqah), tanpa harus melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Oleh karenanya,
dalam kajian ilmu hadis, sebuah kabar hadis aĥad yang terpercaya (tsiqah)- hadis yang diriwayatkan
hanya satu orang, tidak secara mutawātir sebagaimana ayat-ayat Al-Quran- dapat diterima dan bisa
dijadikan sebagai argumen.

Ayat ini juga mengajarkan untuk mengenali tanda-tanda orang fasik? Fa-sa-qa atau fasik-
sebagaimana disebutkan oleh Ibn Fāris dalm Maqāyis– adalah keluar dari jalur keta’atan. Demikian
juga al-Mushtafawī dalam at-Tahqīq fī Kalimāt al-Qur’ān menjelaskannya sebagai keluarnya sesuatu
dari hal-hal yang disepakati, baik secara agama, akal maupun hukum natural. Tandasnya, merujuk
pada ayat-ayat Al-Quran maka yang dimaksud sebagai orang fasik adalah orang yang keluar dari
ketentuan akal sehat, adab sopan santun dan agama.

Berangkat dari medan kosakata fa-sa-qa/ kefasikan tersebut maka medan semantiknya sangat luas.
Oleh karenanya, sangat sulit menentukan seseorang yang belum kita kenali kredibilitasnya sebagai
orang jujur.

Melalui Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 6, Allah swt memberikan tuntunan kepada kita agar bersikap hati-hati,
tidak gegabah dan tidak tergesa-gesa dalam menerima sebuah berita, khususnya jika berita tersebut
datang dari seorang yang sudah dikenali kefasikannya. Ayat ini juga mengisyaratkan agar kita selalu
melakukan klarifikasi/ tabayyun saat menerima berita dari orang yang tidak kita kenali.

Ayat ini memberikan tuntunan kepada kita agar lebih berhati-hati dalam menerima maupun
menyampaikan sebuah berita, apalagi berita tersebut menyalahi beberapa ketentuan yang sudah
berlaku/ telah disepakati seperti ketentuan akal sehat, adab sopan santun maupun agama. Tuntunan
agama agar kita menjadi orang yang lebih cerdas dalam bersikap. Berusaha untuk menyampaikan
berita yang benar, bukan bohong/ hoax. Implikasi dari kesalahan dalam menerima maupun
menyampaikan berita adalah menimbulkan dampak negatif, yakni: merusak sebuah tatanan
masyarakat. “… Agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Hal ini selaras dengan pesan-pesan yang terkandung dalam Q.S. al-Aĥzāb/ 33: 70-71. Yakni, segala
kebenaran baik dalam sikap dan tutur kata- terliput di dalamnya kabar yang benar- akan lebih dekat
kepada ketakwaan. Takwa merupakan penyokong kebenaran dalam berucap dan bertutur kata.
Ucapan dan tutur kata yang benar akan menjadi salah satu sebab kebaikan tindakan. Selanjutnya,
tindakan yang baik akan menjadi faktor/ sebab diampuninya sebuah kesalahan/ dosa-dosa kita.

‫ّللاَ اتَّقُوا آ َمنُوا الَّذينََ أَيُّ َها يا‬ َ (70) َ‫ّللا يُطِ َِع َمنَ ََو ذُنُوبَ ُكمَ لَ ُكمَ يَغفِرَ ََو أَعمالَ ُكمَ لَ ُكمَ يُصلِح‬
ََّ ‫سديداَ قَولَ قُولُوا ََو‬ َََّ ‫سولَ َهُ ََو‬
ُ ‫عظيماَ فَوزاَ فازََ فَقَدَ َر‬
َ
(71)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang
benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-
dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar”. (Q.S. al-Aĥzāb/ 33: 70-71).

Anda mungkin juga menyukai