MASALAH GIZI Bayi N Balita
MASALAH GIZI Bayi N Balita
Sekitar 37,3 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, separo dari total rumah
tangga mengonsumsi makanan kurang dari kebutuhan sehari-hari, lima juta balita berstatus
gizi kurang, dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap berbagai masalah kurang
gizi.
Itulah sebagian gambaran tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang perlu mendapat
perhatian sungguh-sungguh untuk diatasi. Apalagi Indonesia sudah terikat dengan
kesepakatan global untuk mencapai Millennium Development Goals (MDG's) dengan
mengurangi jumlah penduduk yang miskin dan kelaparan serta menurunkan angka kematian
balita menjadi tinggal separo dari keadaan pada tahun 2000.
Perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia menunjukkan bahwa kualitas sumber daya
manusia terbukti sangat menentukan kemajuan dan keberhasilan pembangunan suatu negara-
bangsa. Terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu sumber daya manusia
yang sehat, cerdas, dan produktif ditentukan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang
sangat esensial adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang bergizi.
Permintaan pangan yang tumbuh lebih cepat dari produksinya akan terus berlanjut.
Akibatnya, akan terjadi kesenjangan antara kebutuhan dan produksi pangan domestik yang
makin lebar. Penyebab utama kesenjangan itu adalah adanya pertumbuhan penduduk yang
masih relatif tinggi, yaitu 1,49 persen per tahun, dengan jumlah besar dan penyebaran yang
tidak merata.
Dampak lain dari masalah kependudukan ini adalah meningkatnya kompetisi
pemanfaatan sumber daya lahan dan air disertai dengan penurunan kualitas sumber daya
tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kapasitas produksi pangan nasional dapat terhambat
pertumbuhannya.
Rendahnya konsumsi pangan atau tidak seimbangnya gizi makanan yang dikonsumsi
mengakibatkan terganggunya pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, lemahnya daya tahan
tubuh terhadap serangan penyakit, serta menurunnya aktivitas dan produktivitas kerja.
Pada bayi dan anak balita, kekurangan gizi dapat mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan
tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi
dan balita, dengan demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Oleh karena itu pangan dengan jumlah dan mutu yang memadai harus selalu tersedia
dan dapat diakses oleh semua orang pada setiap saat. Bahasan tersebut menggambarkan
betapa eratnya kaitan antara gizi masyarakat dan pembangunan pertanian. Keterkaitan
tersebut secara lebih jelas dirumuskan dalam pengertian ketahanan pangan (food security)
yaitu tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dan dapat dijangkau oleh
semua orang untuk hidup sehat, aktif, dan produktif.
Masalah gizi adalah gangguan kesehatan seseorang atau masyarakat yang disebabkan
oleh tidak seimbangnya pemenuhan kebutuhannya akan zat gizi yang diperoleh dari
makanan. Masalah gizi yang dalam bahasa Inggris disebut malnutrition, dibagi dalam dua
kelompok yaitu masalah gizi-kurang (under nutrition) dan masalah gizi-lebih (over nutrition),
baik berupa masalah gizi-makro ataupun gizi-mikro.
Gangguan kesehatan akibat masalah gizi-makro dapat berbentuk status gizi buruk,
gizi kurang, atau gizi lebih. Sedang gangguan kesehatan akibat masalah gizi mikro hanya
dikenal sebutan dalam bentuk gizi kurang zat gizi mikro tertentu, seperti kurang zat besi,
kurang zat yodium, dan kurang vitamin A.
Masalah gizi makro, terutama Masalah kurang energi dan protein (KEP), telah
mendominasi perhatian para pakar Masalah gizi selama puluhan tahun. Pada tahun 1980-an
data dari lapangan di banyak negara menunjukkan bahwa Masalah gizi utama bukan kurang
protein, tetapi lebih banyak karena kurang energi atau kombinasi kurang energi dan protein.
Bayi sampai anak berusia lima tahun, yang lazim disebut balita, dalam ilmu gizi
dikelompokkan sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk
KEP.
Berdasarkan data Susenas, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita telah berhasil
diturunkan dari 35,57 persen tahun 1992 menjadi 24,66 persen pada tahun 2000.
Namun, terdapat kecenderung peningkatan kembali prevalensi pada tahun-tahun
berikutnya. Selain itu, jika melihat pertumbuhan jumlah penduduk dan proporsi balita pada
dari tahun ke tahun, sebenarnya jumiah balita penderita gizi buruk dan kurang cenderung
meningkat.
Kronisnya Masalah gizi buruk dan kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula
dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting <-2 SD). Masih sekitar 30-40
persen anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek. Tingginya prevalensi gizi buruk dan
kurang pada balita, berdampak juga pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk
sekolah. Pada tahun 1994 prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9 tahun
adalah 39,8 persen dan hanya berkurang sebanyak 3,7 persen, yaitu menjadi 36,1 persen pada
tahun 1999.
Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah Masalah gizi mikro, terutama untuk
kurang vitamin A, kurang yodium, dan kurang zat besi. Meskipun berdasarkan hasil survei
nasional tahun 1992 Indonesia dinyatakan telah bebas dari xerophthalmia, masih 50 persen
dari balita mempunyai serum retinol <20 mcg/100 ml, yang berarti memiliki risiko tinggi
untuk munculnya kembali kasus xeropthalmia. Sementara prevalensi gangguan akibat kurang
yodium (GAKY) pada anak usia sekolah di Indonesia adalah 30 persen pada tahun 1980 dan
menurun menjadi 9,8 persen pada tahun 1998.
Walaupun terjadi penurunan yang cukup berarti, GAKY masih dianggap masalah
kesehatan masyarakat, karena secara umum prevalensi masih di atas 5 persen dan bervariasi
antar wilayah, dimana masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30
persen.
Diperkirakan sekitar 18,16 juta penduduk hidup di wilayah endemik sedang dan berat;
dan 39,24 juta penduduk hidup di wilayah endemis ringan. Masalah berikutnya adalah
anemia gizi akibat kurang zat besi. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil adalah 50,9 persen pada tahun 1995
dan turun menjadi 40 persen pada tahun 2001, sedangkan pada wanita usia subur 15-44 tahun
masing-masing sebesar 39,5 persen pada tahun 1995 dan 27,9 persen pada 2001. Prevalensi
anemia gizi berdasarkan SKRT 2001 menunjukkan bahwa 61,3 persen bayi < 6 bulan, 64,8
persen bayi 6-11 bulan, dan 58 persen anak 12-23 bulan menderita anemia gizi.
Terdapat dua faktor yang terkait langsung dengan masalah gizi khususnya gizi buruk
atau kurang, yaitu intake zat gizi yang bersumber dari makanan dan infeksi penyakit (lihat
Gambar 3). Kedua faktor yang saling mempengaruhi tersebut terkait dengan berbagai fakto
penyebab tidak langsung yaitu ketahanan dan keamanan pangan, perilaku gizi, kesehatan
badan dan sanitasi lingkungan.
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu utama upaya peningkatan status gizi
masyarakat yang paling erat kaitannya dengan pembangunan pertanian. Situasi produksi
pangan dalam negeri serta ekspor dan impor pangan akan menentukan ketersediaan pangan
yang selanjutnya akan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan di tingkat wilayah.
Sementara ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, akan ditentukan pula oleh daya
daya beli masyarakat terhadap pangan
Seperti yang tersaji dalam Gambar 5, ketahanan pangan sebagai isu penting dalam
pembangunan pertanian menuntut kemampuan masyarakat dalam menyediakan kebutuhan
pangan yang diperlukan secara sustainable (ketersediaan pangan) dan juga menuntut kondisi
yang memudahkan masyarakat memperolehnya dengan harga yang terjangkau khususnya
bagi masyarakat lapisan bawah (sesuai daya beli masyarakat).
Menyeimbangkan antara ketersediaan pangan dan sesuai dengan daya beli masyarakat
dengan meminimalkan ketergantungan akan impor menjadi hal yang cukup sulit dilaksanakan
saat ini. Pada kenyataannya, beberapa produk pangan penting seperti beras dan gula, produksi
dalam negeri dirasa masih kalah dengan produk impor karena tidak terjangkau oleh daya beli
masyarakat kita.
Kebijakan yang ada pun tidak memberi kondisi yang kondusif bagi petani sebagai
produsen, untuk dapat meningkatkan produktivitasnya maupun mengembangkan diversifikasi
pertanian guna mengembangkan keragaman pangan.
Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh
tubuh.
Perubahan Status mental
Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa
sakit, rontok
Wajah membulat dan sembab
Pandangan mata sayu
Pembesaran hati
Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi
coklat kehitaman dan terkelupas
3. Tipe, Marasmik-Kwashiorkor
Merupakan gabungan beberapa gejala klinik Kwashiorkor – Marasmus
Penyakit Penyerta / Penyulit pada Anak Gizi Buruk
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, anak yang berada dalam status gizi buruk,
umumnya sangat rentan terhadap penyakit. Seperti lingkaran setan, penyakit-penyakit
tersebut justru menambah rendahnya status gizi anak. Penyakit-penyakit tersebut adalah:
ISPA
Diare persisten
Cacingan
Tuberkulosis
Malaria
HIV / AIDS
Edema (gejala cardinal, tanpa edema tidak dapat ditegakkan diagnosis kwashiorkor) karena
hipoalbuminemia
Pertumbuhan terlambat
Cengeng, apatis
Berkurangnya jaringan lemak sub kutan
Perubahan rambut (tipis, lurus, jarang, mudah dicabut tanpa rasa sakit, kemerahan karena
gangguan melanogenesis), kalau terjadi akut kelainan rambut idak ada
Pigmentasi kulit (pellagroid dermatosis)
Moon-face
Anemia. (30 gejala klinis yang kadang-kadang ada. Flaky-paint rash, hepatomegali (karena
infiltrasi lemak), gejala defisiensi vitamin yang menyertai, gejala/tanda penyakit infeksi yang
menyertai
Marasmus.
1. Gejala klinis yang selalu ada
Pertumbuhan yang sangat lambat
Lemak subkutan yang hampir tidak ada (sel lemak masih ada) sehingga kulit anak keriput,
wajah seperti orang tua, perut tampak buncit
Jaringan otot mengecil
Tidak ada edema, BB
Tanda-tanda lain yang menyertai adalah muka bulat, rambut tipis, kulit pecah,
mengelupas dan terlihat sengsara. Secara langsung gizi buruk disebabkan terus rendahnya
konsumsi energi protein, juga mikronurien dan makanan sehari-hari dalam jangka waktu
yang lama.
Bila anak menderita gizi buruk tidak segera ditangani, amat berisko tinggi dan berakhir
dengan kematian, sehingga akan menyebabkan meningkatnya
OBESITAS
Obesitas kini menjadi epidemi, bahkan sejak umur balita. Dan itu menjadi masalah,
karena berat badan berlebih berarti menyimpan bom waktu untuk meledaknya sejumlah
penyakit di kemudian hari. Sebenarnya, Hipocrates (460-359 SM) yang lebih dikenal
sebagai bapak ilmu pengetahuan, sejak jauh hari telah menyatakan bahwa orang gemuk
lebih cepat meninggal.
Selain tidak enak dipandang, obesitas juga menyimpan banyak sisi negatif. Tubuh
jadi cepat lelah, pernapasan terganggu, bahkan henti napas waktu tidur. Dan yang lebih seram
lagi, kelewat gemuk bikin tubuh rawan dihinggapi penyakit seperti diabetes, tekanan darah
tinggi, kolesterol tinggi, penyakit jantung, serta radang sendi. Obesitas tidak hanya
dihubungkan dengan penyakit fisik, namun juga dengan masalah kejiwaan, terutama
kecemasan. Masalah psikososial juga dialami oleh anak-anak yang obese.
Penyebab Obesitas
Secara sederhana, obesitas berarti keadaan penumpukan lemak yang berlebihan di
jaringan adiposa. Keadaan ini timbul akibat pengaturan makan yang tidak baik, gaya
hidup kurang gerak, dan faktor keturunan (genetik).
Kelebihan energi makanan yang kita konsumsi secara kumulatif akan ditimbun
sebagai cadangan energi berupa lemak tubuh. Ketidak-seimbangan antara energi yang masuk
dan yang digunakan tubuh membuat berat badan bertambah.
Peranan genetik dalam kejadian obesitas terbukti dari adanya risiko obesitas sekitar 2 -3 kali
lebih tinggi pada individu dengan riwayat keluarga obesitas
Obesitas atau kegemukan bukan saja melanda orang dewasa. Statistik menunjukkan
bahwa di banyak negeri, obesitas juga melanda anak-anak sampai taraf yang
memprihatinkan. Kurangnya pengetahuan orang-tua atau pandangan yang mengatakan anak
bertubuh gemuk atau gendut adalah anak yang sehat dan menggemaskan dapat memperparah
kondisi ini. Mengapa obesitas atau kelebihan berat badan berbahaya? Lalu bagaimana
mengatasinya?
Penyebab Obesitas
Faktor genetik
Merupakan faktor keturunan dari orang-tua yang sulit dihindari. Bila ayah atau ibu memiliki
kelebihan berat badan, hal ini dapat diturunkan pada anak.
Maraknya restoran cepat saji merupakan salah satu faktor penyebab. Anak-anak sebagian
besar menyukai makanan cepat saji atau fast food bahkan banyak anak yang akan makan
dengan lahap dan menambah porsi bila makan makanan cepat saji. Padahal makanan seperti
ini umumnya mengandung lemak dan gula yang tinggi yang menyebabkan obesitas. Orang-
tua yang sibuk sering menggunakan makanan cepat saji yang praktis dihidangkan untuk
diberikan pada anak mereka, walaupun kandungan gizinya buruk untuk anak. Makanan cepat
saji meski rasanya nikmat namun tidak memiliki kandungan gizi untuk pertumbuhan dan
perkembangan anak. Itu sebabnya makanan cepat saji sering disebut dengan istilah junk food
atau makanan sampah. Selain itu, kesukaan anak-anak pada makanan ringan dalam kemasan
atau makanan manis menjadi hal yang patut diperhatikan.
Minuman ringan
Sama seperti makanan cepat saji, minuman ringan (soft drink) terbukti memiliki kandungan
gula yang tinggi sehingga berat badan akan cepat bertambah bila mengkonsumsi minuman
ini. Rasa yang nikmat dan menyegarkan menjadikan anak-anak sangat menggemari minuman
ini.
Masa anak-anak identik dengan masa bermain. Dulu, permainan anak umumnya adalah
permainan fisik yang mengharuskan anak berlari, melompat atau gerakan lainnya. Tetapi, hal
itu telah tergantikan dengan game elektronik, komputer, Internet, atau televisi yang cukup
dilakukan dengan hanya duduk di depannya tanpa harus bergerak. Hal inilah yang
menyebabkan anak kurang melakukan gerak badan sehingga menyebabkan kelebihan berat
badan.
● Kurang Vitamin A (KVA) pada anak-anak yang berada di daerah pengungsian dapat
menyebabkan mereka rentan terhadap berbagai penyakti infeksi, sehingga mudah sakit.
● Anak yang menderita kurang vitamin A, bila terserang campak, diare atau penyakit infeksi
lain, penyakit tersebut akan bertambah parah dan dapat mengakibatkan kematian. Infeksi
akan menghambat kemampuan tubuh untuk menyerap zat-zat gizi dan pada saat yang sama
akan mengikis habis simpanan vitamin A dalam tubuh.
● Kekurangan vitamin A untuk jangka waktu lama juga akan mengkibatkan terjadinya
gangguan pada mata, dan bila anak tidak segera mendapat vitamin A akan mengakibatkan
kebutaan.
● Bayi-bayi yang tidak mendapat ASI mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita KVA,
karena ASI merupakan sumber vitamin A yang baik.
Dalam keadaan darurat, dimana makanan sumber alami menjadi sangat terbatas, suplementasi
kapsul vitamin A menjadi sangat penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadp
penyakit.
Kapsul vitamin A dosis tinggi aman diberikan dengan jarak minimal satu bulan. Walaupun
demikian, bila ternyata anak mengkonsumsi kapsul vitamin A dengan selang waktu kurang
dari satu bulan, biasanya tidak akan terjadi keracunan pada anak. Jika ditemukan anak
mengkonsumsi lebih dari satu kapsul dalam kurun waktu satu bulan, segera laporkan pada
petugas kesehatan.
E. PEMECAHAN MASALAH GIZI
Masalah gizi buruk, tidak dapat diselesaikan sendiri oleh sektor kesehatan. Gizi Buruk
merupakan dampak dari berbagai macam penyebab. Seperti rendahnya tingkat pendidikan,
kemiskinan, ketersediaan pangan, transportasi, adat istiadat (sosial budaya), dan sebagainya.
Oleh karena itu, pemecahannyapun harus secara komprehensip.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
PHBS ( Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ) dapat merupakan titik pangkal bagi
terciptanya lingkungan sehat dan hilangnya pengganggu kesehatan. Hal ini dikarenakan
dalam praktiknya kedua hal tersebut diupayakan melalui perilaku manusia. Lingkungan akan
menjadi sehat, jika manusia mau berperilaku hidup bersih dan sehat. Pengganggu kesehatan
juga akan dihilangkan jika manusia mau berperilaku untuk mengupayakannya. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa penyebab utama timbulnya masalah-masalah gizi dalam bidang
kesehatan adalah masalah perilaku. Misalnya untuk mencegah terjadinya kekurangan Protein
pada balita, maka perilaku ibu dalam memberi makan balitanya harus diubah, sehingga
menjadi pola makan dengan gizi seimbang. Perilaku keluarga dalam memanfaatkan
pekarangan juga harus diubah, sehingga pekarangan menjadi taman gizi.
Menurut Prof. Ali, untuk membedakan balita kurang gizi dan gizi buruk dapat dilakukan
dengan cara berikut. Gizi kurang adalah bila berat badan menurut umur yang dihitung
menurut Skor Z nilainya kurang dari -2, dan gizi buruk bila Skor Z kurang dari -3. Artinya
gizi buruk kondisinya lebih parah daripada gizi kurang.
Balita penderita gizi kurang berpenampilan kurus, rambut kemerahan (pirang), perut
kadang-kadang buncit, wajah moon face karena oedema (bengkak) atau monkey face
(keriput), anak cengeng, kurang responsif. Bila kurang gizi berlangsung lama akan
berpengaruh pada kecerdasannya.
Penyebab utama kurang gizi pada balita adalah kemiskinan sehingga akses pangan
anak terganggu. Penyebab lain adalah infeksi (diare), ketidaktahuan orang tua karena kurang
pendidikan sehingga pengetahuan gizi rendah, atau faktor tabu makanan dimana makanan
bergizi ditabukan dan tak boleh dikonsumsi anak balita.
Kurang gizi pada balita dapat berdampak terhadap pertumbuhan fisik maupun
mentalnya. Anak kelihatan pendek, kurus dibandingkan teman-temannya sebaya yang lebih
sehat. Ketika memasuki usia sekolah tidak bisa berprestasi menonjol karena kecerdasannya
terganggu.
Untuk mengatasi kasus kurang gizi memerlukan peranan dari keluarga, praktisi
kesehatan, maupun pemerintah. Pemerintah harus meningkatkan kualitas Posyandu, jangan
hanya sekedar untuk penimbangan dan vaksinasi, tapi harus diperbaiki dalam hal penyuluhan
gizi dan kualitas pemberian makanan tambahan, pemerintah harus dapat meningkatkan
kesejahteraan rakyat agar akses pangan tidak terganggu.
Para ibu khususnya harus memiliki kesabaran bila anaknya mengalami problema
makan, dan lebih memperhatikan asupan makanan sehari-hari bagi anaknya. Anak-anak harus
terhindar dari penyakit infeksi seperti diare ataupun ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas).
Semua nutrisi penting bagi anak dalam usia pertumbuhan. Prof. Ali berpesan untuk
memperhatikan asupan sayur dan pangan hewani (lauk pauk), konsumsi susu tetap
dipertahankan, jangan terlalu banyak makanan cemilan (junk food) yang akan menyebabkan
anak kurang nafsu makan. Perhatikan juga asupan empat sehat lima sempurna dengan
kuantitas yang cukup.
SARAN
Bawalah anak Anda ke Posyandu untuk bisa memantau Berat badan anak setiap bulan.