Anda di halaman 1dari 7

A.

Pengertian Ijtihad
Pada dasarnya, kata ijtihad artinya berusaha sungguh-sungguh. Kata ijtihad hampir sama
dengan kata jihad yang artinya berjuang. Tetapi, kedua istilah tersebut berkembang membentuk
konsep sendiri-sendiri.
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid, sedangkan orang yang jihad dan
mujahadah disebut mujahid. Karena ke tiga akar kata tersebut sama maka tafsiran maknanya
tergantung konteks ayat Al-qur’an. Kata ijtihad dapat berarti al-thaqah (kemampuan, kekuatan)
atau berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dikatakan demikian, karena lapangan ijtihad
adalah masalah-masalah yang sukar dan berat. Orang yang mampu melakukan ijtihad adalah
orang yang benar-benar pakar. Berkaitan dengan itu, isu pintu ijtihad tertutup karena semakin
banyak orang yang sembarangan dalam ijtihad, walaupun sebenarnya tidak ada yang menutup
pintu ijtihad.
Sehubungan dengan beratnya lapangan ijtihad, al-ghazali menekankan bahwa, ijtihad
hanya berlaku pada upaya-upaya yang sulit dilakukan, sedangkan pekerjaan yang ringan tidak
dapat dikatakan ijtihad. Demikian juga al-saukany mengatakan bahwa ijtihad yaitu pengarahan
kemampuan dalam aktifitas-aktifitas yang berat atau sukar.
Jadi, ijtihad adalah mengarahkan segenap kemampuan intelektual dan spiritual untuk
mengeluarkan hukum yang ada dalam Al-qur’an atau as-sunnah, sehingga hukum tersebut dapat
diterapkan dalam lapangan kehidupan manusia sebagai solusi atas persoalan-persoalan umat.
Sukar tidaknya masalah yang dihadapi tergantung kepada tinggi rendahnya kualitas intelektual
dan spiritual seorang mujtahid. Jadi, bukan maslahnya yang sukar dan berat sebagaimana
dikemukakan al-ghazali dan al-syaukani di atas, tetapi kualitas mujtahidnya.
Di lihat dari pelaksanaannya, ijtihad dapat di bagi atas dua macam, yaitu ijtihad fardi dan
ijtihad jama’i. Ijtihad fardi merupakan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid secara pribadi.
Sedangkan, ijtihad jama’i adalah ijtihad yang di lakukan oleh para mujtahid secara kelompok.
Namun pada hakikatnya ijtihad jama’i tersebut tetap dilakukan oleh akal orang perorang, hanya
saja dalam merumuskan satu masalah secara bekerjasama.

B. Dasar hukum dibolehkannya berijtihad

Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah, Al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad
adalah sebagai berikut .
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan Kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah),karena (membela)orang-orang
yang khianat.” (Q.S. Al-Nisa(4):105)

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir.”(Q.S Al-Rum (30):21).
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antarannya hadis ‘Amr bin al-‘Ash yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad bersabda :
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad,kemudian dia benar maka ia
mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka
ia mendapatkan satu pahala” (Muslim,II,t.th:62)

C. Orang-orang yang dibolehkan berijtihad

Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istiinbath (mengeluarkan
hukum dari sumber hukum syariat) dan tathbiq (penerapan hukum).
Rukun ijtihad:
 Al-waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan
nas.
 Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad
dengan syarat-syarat tertentu.
 Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (takhlifi)
 Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (nadiyah syafari al-umari,
t.th:199-200)

Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad AL-Ghazali syarat-syarat mujtahid ada
dua :
 Mengetahui syariat-syariat yang ada serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga dapat
mendahulukan yang seharusnya didahulukan & mengakhiri sesuatu yang seharusnya diakhiri.
 Adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.
Menurut Fakkhr Al-Din Muhammad bin Umar bin Al-Husain al-Razi (1988:496-7), syarat-
syarat mujtahid adalah:
 Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.
 Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya.
 Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau
larangan.
 Mengetahui keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau tidak.

Menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H: 90-1), syarat-syarat mujtahid ada tiga.
 Memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah), yaitu dlaruriyyat yang mencakup
pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs), pemeliharaan akal
(hifzh al-aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan pemeliharaan harta (hifzh al-
mal);hajiyyat, dan tahsiniyyat.
 Mampu melakukan penetapan hukum.
 Memahami bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.

Berbeda degan syarat-syarat terdahulu, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani
menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut :
 Mengetahui Al-Qur’an dan al-Sunnah yang bertalian dengan masalah-masalah hukum. Jumlah
ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an sekitar 500 ayat.
 Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atu berpendapat yang menyalahi ijmak ulama.
 Mengetahui bahasa Arab karena Al-Qur’an dan al-sunnah disusun dalam bahasa Arab.
Mengetahui ilmu Ushul Fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid karena
membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
Dengan demikian, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid itu cukup
banyak. Maka menurut Muhaimin dkk, sesuai dengan syarat-syarat yang dimilikinya, mujtahid
itu terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan-tingkatan itu adalah mujtahid
muthlaq danmujtahid madzhab. Mujtahid Muthlaq ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-
hukum agama dari sumbernya. Di samping itu, ia pun mampu menerapkan dasar-dasar pokok
sebagai landasan ijtihad. Mujtahid mutlaq terbagai menjadi dua tingkatan.
Pertama, mujtahid muthlaq mustaqil, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya
menggunakan metode dan dasar-dasar yang ia susun sendiri. Ia tidak taklid kepada mujtahid
lainnya, dan bahkan metode dan dasar-dasar yang ia susun menjadi mazhab tersendiri. Yang
termasuk mazhab ini, umpamanya, empat tokoh mazhab fiqh terkenal seperti Abu Hanifah,
Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali.
Kedua, mujtahid muthlaq muntasib, yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat muthlaq
mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode sendiri. Mujtahid kelompok ini tidak taklid kepada
imamnya tanpa dalil dan keterangan, ia menggunakan keterangan imamnya untuk meneliti dalil-
dalil dan sumber-sumber pengambilannya. Contohnya, Al-Mujani dari mazhab Syafi’i dan Al-
Hasan bin Ziyad dari mazhab Hanafi. Mujtahid Fi Al-Mazhab ialah mujtahid yang mampu
mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak dan atau belum dikeluarkan oleh mazhabnya
dengan cara menggunakan metode yang telah disusun oleh mazhabnya itu. Contohnya, Abu
Ja’far Al-Thahtawi dalam mazhab Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua :
 Mujtahid takhrij.
 Mujtahid tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid fatwa.

D. Hal-hal yang boleh di ijtihadkan

Masalah-masalah yang ditunjuk oleh nash yang zhanniyatul wurud (kemunculannya perlu
penelitian lebih lanjut) dan zhanniyatud dilalah (makna dan ketetapan hukumnya tidak jelas dan
tegas).

Masalah Zhanniyah terbagi menjadi 3 macam, yaitu :

a) Hasil analisa para theolog

Yaitu maslah yang tidak berkaitan dengan akidah keimanan seseorang. Karena hal itu
membutuhkan pemikiran. Dan ilmu yang membutuhkan pemikiran bukanlah bidang ijtihad.

b) Aspek amaliyah yang zhanni


Yaitu masalah yang belum ditentukan kadar dan kriterianya dalam nash. Contohnya :
apakah batas batas menyusui yang dapat menimbulkan mahram.

c) Sebagian kaidah-kaidah zhanni

Yaitu masalah qiyas. Sebagian ulama memeganginya karena qiyas merupakan norma
hukum tersendiri.

2. ) Masalah-masalah yang tidak ada nashnya sama sekali.

Sedangkan bagi masalah yang telah ditetapkan oleh dalil sharih (jelas dan tegas)
yangqat’iyyatud wurud (kemunculannya tidak perlu penelitian lebih lanjut) dan qath’iyyatud
dilalah (makna dan ketetapan hukumnya sudah jelas dan tegas), maka tidak ada jalan untuk
diijtihadi. Kita berkewajiban melaksanakan petunjuk nash tersebut. Misalnya jumlah hukum
cambuk seratus kali dalam firman Allah
‫اُمائَةَُ َج ْل َد ٍُة‬
ِ ‫ٍُم ْنه َم‬
ِ ‫احد‬ َ ‫الزانِيُفَاجْ ِلدواُكل‬
ِ ‫َُّو‬ َّ ‫الزانِيَةُُ َو‬
َّ
Perempuan dan laki-laki yang berzina cambuklah masing-masing dari keduanya seratus
kali. Q.s. An-Nur:2

E. Cara berijtihad

Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukan sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain. Diantara metode atau cara berijtihad adalah:
a. Ijma’, adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada
suatu tempat disuatu masa.
b. Qiyas, adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-
Qur’an dan As-Sunah dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al-Qur’an dan sunnah
Rasul karena persamaan illat-Nya.
Contoh : Larangan meniru khamr yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat
90. Yang menyebabkan minuman itu dilarang adalah illat-Nya yakni memabukkan. Sebab
minuman yang memabukan, dari apapun ia dibuat, hukumnya sama dengan khamr yaitu
dilarang untuk diminum. Dan untuk menghindari akibat buruk meminum minuman yang
memabukkan itu, maka dengan qiyas pula ditetapkan semua minuman yang memabukkan,
apapun namanya, dilarang diminum dan diperjual belikan untuk umum.
c. Istidlal, adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan.
Contoh : Menarik kesimpulan dari adat-istiadat dan hukum agama yang diwahyukan
sebelum islam.
d. Masalin Al-Mursalah, adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat
ketentuannya baik di dalam Al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan
pertimabangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
Contoh : Pembenaran pemungutan pajak penghasilan untuk kemaslahatan, yang sama
sekali tidak disinggung di dalam Al-Qur’an dan As Sunnah Rasul.
e. Istishan, adalah cara menentukan hukum dengan cara menyimpang dari ketentuan yang
sudah ada demi keadilan dan kepentingan social. Istishan adalah suatu cara untuk mengambil
keputusan yang tepat menurut suatu keadaan.
Contohnya : Pencabutan hak milik sesorang atas tanah untuk pelebaran jalan, pembuatan
irigasi untuk mengairi sawah-sawah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial.
f. Istisab, adalah menetapkan hukum suatu hel menurut keadaan yang terjadi sebelumnya,
sampai ada dalil yang mengubahnya.
Contoh : A mengadakan perjanjian utang-piutang dengan B menurut A utangnya telah
dibayar kembali, tanpa menunjukan bukti atau saksi. Dalam kasus ini bedasarkan istisab
dapat ditetapkan bahwa A masih belum membayar utangnya dan perjanjian itu masih tetap
berlaku selama belum ada bukti yang menyatakan bahwa perjanian utang-piutang tersebut
telah berakhir.
g. Adat-Istiadat atau ‘Urf, adalh yang tidak bertentangan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap
terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Contoh : Melamar wanita dengan memberikan sebuah tanda (pengikat), pembayaran
mahar secara tunai atau utang atas persetujuankedua belah pihak, dan lain-lain.
Syari’ah

Dra. Andi soraya bugaib, MA

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Nama : Ulmi anggraeni / 03420150035

Nurfath anisa Suharto / 03420150036

Riska / 03420150040

Andiska hi pandang s. / 03420150043

Dian novianti / 03420150044

FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR

Anda mungkin juga menyukai