Anda di halaman 1dari 17

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Restless Legs Sydrome (RLS) atau sindroma kaki gelisah merupakan penyakit
umum yang sering dijumpai namun sering dilihat sebagai penyebab dari insomnia.RLS
sering disamakan dengan “anxiety” atau kecemasan karena sebagian besar pasien
mengeluhkan rasa gelisah ketika dia mau tidur. Diagnosis dari RLS juga sering keliru
oleh karena cara penggambaran yang berbeda dari setiap penderitanya. Kebanyakan
dari penderitanya tidak menggunakan istilah “gelisah” dalam penggambaran rasa
ketidaknyamanan pada kaki mereka. Contoh beberapa perasaan yang mereka alami
pada kaki mereka, seperti rasa berdenyut, tertekan, geli, pegal, keram, terbakar, nyeri.
1

Penjelasan mengenai hubungan RLS dengan gangguan tidur terjadi pada tahun
1672 oleh seorang dokter asal Inggris yang bernama Sir Thomas Willis 2. Pada abad ke
19 dan 20 beberapa orang juga memberi nama pada kelainan tersebut, seperti “anxietas
tibiarum” oleh Wittmaack 3, “leg jitters” oleh Allison 4. Karl Axel Ekbom adalah orang
yang pertama kali memberikan penjelasan rinci mengenai ciri dari kelainan ini, dan
menamainya dengan “asthenia crurum paraesthetica” 5. Pada tahun 1945 Ekbom
memberikan istilah baru, yaitu “Restless Legs Syndrome” untuk membedakan dengan
kelainan lainnya. Selain itu dia juga melaporkan bahwa RLS dapat diturunkan dalam
keluarga dan mudah terjadi pada wanita hamil dan anemia. Karena jasanya yang sudah
memberikan penjelasan yang terperinci mengenai kelainan ini, maka kelainan ini
disebut juga dengan “Ekbom Syndrome” 6.

3
4

BAB II

TInjauan Pustaka

2.1 . Definisi

RLS adalah kelainan neurologis yang dikarakteristikkan dengan adanya dorongan


yang sangat untuk menggerakkan ekstremitas yang berhubungan dengan parestesia, yang
terjadi pada sebagian atau seluruh kaki, yang dapat berkurang dengan pergerakan, dan yang
biasanya terjadi saat istirahat atau pada malam hari, yang nantinya dapat menyebabkan
timbulnya gangguan tidur.7

Nama lain dari RLS adalah:

 Anxietas tibiarum

 Leg jitters

 Asthenia crurum paraesthetica

 Focal akathisia of the legs

 Ekbom syndrome 7

2.2 Epidemiologi

RLS banyak terjadi pada 1-10% dari populasi umum.7 Lebih banyak terjadi pada
perempuan daripada laki-laki1,3. Perbandingan laki-laki dan permpuan adalah 2:1.8,9 Risiko
untuk terjadinya RLS semakin meningkat dengan semakin bertambahnya usia.7-9 50%
orang dengan RLS memiliki first degree relative yang juga menderita RLS 9 Populasi yang
berisiko tinggi terjadinya RLS adalah ibu hamil, pasien dengan defisiensi besi, pasien
dengan end-stage renal disease, pasien sering melakukan hemodialisis atau donor darah,
anak dengan ADHD (attention defisit hyperactivity disorder) 7-9

2.3 Etiologi

Penyebab pasti dari RLS belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, ditemukan bahwa RLS
berhubungan dengan genetik, defisiensi besi atau asam folat, defisiensi dopamin, dan
tingginya hormon estradiol.7-9

4
5

2.4 Diagnosis Banding


- Gangguan dari sistem saraf perifer seperti neuropati perifer

- Sindroma iritasi nerve root atau kompresi dari nervus perifer.

- Gangguan sistem vaskular seperti arterial peripheral disease.

- Gangguan psikiatri, seperti anxietas disorders, attention deficit hyperactivity


disorder(ADHD)7

- Gangguan tidur, seperti periodic limb movements in sleep (PLM)

- Obat-obatan: Antipsychotic-induced akathisia, Anti-depressants and antipsychotic


induced RLS. 7,8

Tabel 1. Diagnosis Banding RLS dengan Penyakit Lainnya.9

No Diagnosis Banding Karakteristik


1. Neuropati Perifer - Tidak ada perubahan pada cicardian
- Tidak terdapat PLMS
- Konduksi saraf normal
- Tidak ada perbaikan dengan pergerakan
2. Akathisia - Tidak mengikuti pola cicardian
- Tidak terdapat paresthesia
- Membaik dengan pengunaan dopamine blocker
3. Peripheral Vascular - Memburuk dengan pergerakan dan membaik
Disease dengan istirahat
- Pada pemeriksaan fisik terdapat perubahan pada
pembuluh darah dan kulit
4. Nocturnal leg cramps - Unilateral, fokal, terdapat onset yang parah secara
mendadak
5. Painful Legs and moving - Tidak ada keinginan yang sangat untuk
toes menggerakkan kaki
- Gejalanya tidak memburuk saat istirahat dan tidak
membaik dengan adanya pergerakan
- Tidak ada perubahan cicardian

5
6

2.5 Manifestasi klinis


- Keinginan yang amat sangat untuk menggerakkan kaki karena adanya sensasi yang
tidak nyaman, yang dapat berkurang dengan pergerakan dan biasanya terjadi pasa saat
istirahat atau malam hari. Kebanyakan orang dengan RLS dapat menjelaskan gejala-
gejala ini dengan sangat terperinci.

- Keluhan tipikal yang umum dan dan membuat pasien dengan RLS datang mecari
pengobaan adalah adanya gangguan tidur (insomnia)

- Keluhan dapat membaik jika diberikan terapi dengan levodopa. 7-9

- Meningkatnya sensitifitas terhadap rasa nyeri

Definisi RLS pada saat ini juga tidak mengikutsertakan adanya komponen nyeri pada
gejala sensoris dari RLS. Akan tetapi, sensasi nyeri dapat merupakan bagian dari RLS.
Dan ada penelitian yang mengemukakan bahwa terdapat 56-85% pasien dengan RLS
yang mendeskripsikan simptom yang mereka alami sebagai rasa nyeri. Pasien dengan
RLS juga diduga mengalami peningkatan sensitivitas dari nyeri, sebagai contohnya
static mechanical hyperalgesia. Menariknya, rasa nyeri ini berkurang dengan
pengobatan levodopa jangka panjang (1 tahun) namun tidak dengan jangka pendek.
Akan tetapi, sensitivitas terhadap rasa nyeri juga berhubungan dengan kualitas tidur
yang jelek dan depresi. Gejala rasa nyeri pada orang dengan RLS dapat membaik jika
diberikan opiodergic-agent.7

2.6 Diagnosis

Kriteria Diagnostik RLS (2003) 10

1) Kriteria Diagnostik Esensial RLS (dewasa)

o Keinginan yang sangat untuk menggerakkan kaki, bisanya diikuti atau


disebabkan oleh sensasi yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan pada
kaki.

o Keinginan yang sangat untuk menggerakkan atau sensasi yang tidak


menyenangkan yang dimulai atau menjadi lebih parah pada waktu istirahat atau
tidak beraktivitas seperti berbaring atau duduk.

6
7

o Keinginan yang sangat untuk menggerakkan atau sensasi yang tidak


menyenangkan yang terjadi sebagian atau seluruhnya yang dapat membaik
dengan pergerakakan, seperti berjalan atau melakukan perenggangan tubuh,
sekurang-kurangnya selama aktivitas dilakukan.

o Keinginan yang sangat untuk menggerakkan atau sensasi yang tidak


menyenangkan yang memburuk pada waktu malam hari daripada waktu siang
hari atau hanya terjadi pada waktu malam hari.

2) Manifestasi Klinis yang berhubungan dengan RLS

o Riwayat Keluarga

Prevalensi dari RLS diantara keluarga tingkat pertama dari orang yang
memiliki RLS adalah 3-5 kali lebih bedsar daripada orang tanpa RLS

o Berespon dengan terapi dopaminergik

Hampir semua irang dengan RLS memperlihatkan sekurang-kurang


respon positif pada terapi awal dengan menggunakan L-dopa atau
dopamine-receptor agonist yang dosisnya jauh lebih rendah daripada
dosis biasa yang digunakan pada pasien dengan parkinson.

o Periodic limb movement (PLM)

Periodic Limb Movement in Sleep (PLMS) terjadi [ada 85% orang


dengan RLS. Akan tetapi, PLMS juga umumnya terjadi pada kelainan
lainnya dan pada orang-orang tua. PLMS lebih tidak umum terjadi
dikalangan anak-anak daripada orang dewasa.

3) Karateristik Lain yang berhubungan dengan RLS

o Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakitnya bervariasi. Akan tetapi, ada pola tertentu yang


dapat diidentifikasi yang dapat membantu untuk mendiagnosis. Ketika
onset terjadi pada usia kurang dari 50 tahun, gejala awalnya sering
tersembunyi. Ketika onset pada usia lebih dari 50 tahun, maka gejala
awalnya muncul secara mendadak dan lebih parah. Pada beberapa

7
8

pasien, RLS dapat terjadi secara intermiten dan dapat menghilang


sendiri selama bertahun-tahun.

o Gangguan tidur

Gangguan tidur merupakan alasan utama pasien datang mencari


pengobatan. Oleh karena itu, ini harus dipertimbangan pada rencana
terapi yang akan dilakukan.

o Terapi medis dan pemeriks aan fisik

Umumnya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan umum dan tidak


berhubungan dengan diagnosis kecuali kondisi-kondisi komorbid atau
secara sekunder menyebabkan RLS. Kadar besi harus diperiksa karena
menurunnya cadangan besi merupakan faktor risiko potensial yang
signifikan yang dapat diobati. Adanya neuropati perifer dan radikulopati
seharusnya juga dipertimbangkan karena kondisi-kondisi ini mungkin
dapat berhubungan dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda.

Untuk mendiagnosis RLS pada anak, harus ada 4 kriteria esensial dari orang dewasa
yang dipenuhi yang didapatkan secara autoanamnesis atau setidaknya terdapat 2
kriteria berikut ini:

1) Gangguan tidur

2) Saudara atau orang tua yang secara biologis memiliki RLS

3) Terdapat lebih dari 5 periodik bergeraknya PLM per jam pada waktu tidur

4) Dideteksi oleh polysomnography.7

 Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah serum ferittin, vitamin B12,
elektrolit, dan fungsi renal.7 Pasien dengan kadar serum ferritin yang kurang dari 50
ng/mL, saturasi zat besi yang kurang dari 16%, atau saturasi tranferrin kurang dari 50%
dapat didiagnosis sebagai iron-deficiency associated RLS.9 konsentrasi serum ferritin
yang kurang dari 50ng/mL dihubungkan dengan adanya menurunya efisiensi dari tidur,
meningkatnya pergerakan kaki sewaktu tidur, dan RLS.

 Pemeriksaan Penunjang

8
9

o Nerve conduction velocities dan electromyogram

Dilakukan jika terdapat manifestasi klinis yang tidak khas dan menyerupai
neuropati perifer.7

o Polysomnography

Biasanya dilakukan pada pasien pada pasien yang memiliki gangguan


tidur lainnya seperti Sleep Breathing Related Disorder (SBRD) atau jika
ingin mengukur derajat gangguan tidur yang terjadi pada pasien.

2.7 Patofisiologi

Patogenesis dari RLS sampai saat ini masih belum diketahui. Kebanyakan hipotesa
berpusat pada dopamin dan besi. Beberapa bukti lainnya juga menghubungkan dengan sistem
opiod, mekanisme spinal cord, hormon seks steroid, neuropati perifer, atau kelainan vaskular.

a. Defisiensi Zat Besi

Ada bukti yang menyatakan peranan besi dalam RLS, kebanyakan karena
terdapatnya defisit besi pada kasus RLS sekunder (contohnya end stage renal disease,
kehamilan, anemia defisiensi besi, dan ADHD). 7-9

Konsentrasi besi dalam darah mengikuti cicardian rhythm, konsenterasi besi


dalam darah akan menjadi lebih rendah 50-60% pada malam hari dibandingkan pada
siang hari. Kadar besi yang rendah pada waktu malam ini berhubungan dengan
munculnya atau memburuknya gejala RLS pada waktu malam. Saat kadar besi dalam
darah mencapai kadar terendah, disinilah terjadi gejala RLS yang paling maksimal.9

Penelitian yang menggunakan pengukuran cairan serebrospinal, MRI, dan


materi otopsi untuk menentukan status besi pada orang dengan RLS menyimpulkan
adanya kekurangan zat besi pada otak pasien dengan RLS. Lebih menariknya lagi, besi
adalah kofaktor dari tyrosine hydroxylase, yang merupakan enzim yang digunakan
untuk sintesis dopamin. Oleh karena itu, besi diperlukan untuk sintesis dopamin dan
defisiensi dari besi dapat menyebabkan gangguan dari produksi dopamin.7

b. Defisiensi Dopamine

9
10

Respon positif dari pengobatan dengan mengunakan dopamin dosis rendah dan
memburuknya gejala dengan dopamine release blocker (metoclopramide dan pimozise)
menegaskan adanya peran penting dopamin dalam patofisiologi dari RLS.1 Akan tetapi
peranan dopamin ini juga diragukan karena pada pemeriksaan functional neuroimaging
of nigrostriatal dopaminergic dysfunction pada pasien dengan RLS idiopatik
ditemukan bahwa secara keseluruhan pasien dengan RLS tidak memiliki defisiensi
dopamine. Fakta ini juga didukung dengan hasil pemeriksaan patologi yang
menyatakan bahwa tidak ditemukan sel dopaminergic yang hilang pada bagian tersebut.
7

Sistem dari dopamin merupakan cicardian expression. Kadar dari dopamine


akan meningkat pada pagi hari dan mencapai kadar yang terendah pada tengah malam.
Ini menjelaskan mengapa gejala dari RLS muncul atau lebih memburuk pada malam
hari dan respon neuroendrokrin orang dengan RLS terhadap pemberian levodopa lebih
bermakna jika diberikan pada malam hari dibandingan pagi hari.7,9

c. Opiate-system

Terlibatnya sistem opiate dalam RLS dikemukan berdasarkan bukti yang


adanya efektifitas pengobatan opiate pada pasien dengan RLS. Pemberian naloxone
kepada pasien yang diterapi dengan opiate akan mengakibatkan reaktifitas dari gejala
RLS. Akan tetapi efek ini tidak konsisten terjadi pada pasien yang diobati dengan
menggunakan dopaminergic-agent. Pemberian naloxone pada pasien yang tidak
diterapi dengan opiate juga tidak menunjukkan adanya perburukan dari gejala RLS.7

d. Sistem Medula Spinalis

Keterlibatan medula spinalis pada patofisiologi dari RLS dikemukan dari fakta
bahwa adanya gejala sensoris dan motoris yang terjadi secara bilateral dan terlokalisasi
secara segmental pada kebanyakan kasus. Ada dugaan bahwa impuls sensorik dari
perifer ke korteks sensorik dipengaruhi oleh ketinggian dari medula spinalis yang
terkena. Ada beberapa laporan kasus yang menyatakan adanya hubungan antara RLS
dengan kelainan pada spinal seperti lumbosacral radiculopathy, borrelia induced
myelitis, transverse myelitis, vascular injury of the spinal cord, traumatic lesion or
cervical spondylotic myelopathy. Kebanyakan penyakit kelainan spinal ini juga
memberikan respon positif pada terapi dopamin. Akan tetapi, belum ada bukti yang

10
11

dapat menegaskan adanya hubungan ini karena kelainan spinal lebih berhubungan
dengan timbulnya PML. Pada kelainan spinal yang murni seperti syringomyleia atau
syringobulbia ditemukan bahwa 62% pasien memiliki gejala PLM namun tidak satupun
dari mereka memiliki gejala RLS.7

e. RLS pada wanita hamil

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa RLS lebih sering terjadi pada


perempuan dan risiko ini akan meningkat sesuai dengan jumlah kehamilan yang
dialaminya.1 Kira-kira 25% dari wanita yang hamil pernah mengalami RLS dengan
prevalensi paling tinggi pada trimester akhir.1,3 Etiologi dari dari RLS pada wanita
hamil diduga karena adanya defisiensi dari besi dan asam folat dan perubahan hormonal
yang terjadi pada waktu kehamilan.7

Pada wanita hamil, kebutuhan besi meningkat menjadi 3-4 kali lipat dan
kebutuhan asam folat meningkat menjadi 8-10 kali lipat. Defisiensi dari kadar besi dan
asam folat ditemukan pada wanita hamil dengan RLS dan gejala ini membaik
membaiknya pada saat kadar besi dan asam folat kembali normal yaitu setelah
melahirkan.9

Pada wanita hamil, kadar hormon estrogen, progesteron, dan prolaktin juga
akan meningkat dalam plasma darah. Diketahui juga bahwa pada kehamilan minggu
ke-35 sampai ke minggu ke-12 post partum terjadi peningkatan estradiol pada wanita
hamil dengan RLS. Pada saat inilah wanita hamil tersebut mengalami gejala RLS.
Setelah melahirkan, kadar estradiol akan kembali normal dalam darah yang diikuti
dengan menghilangnya gejala RLS.7

Pengaruh hormonal ini juga diteliti pada kelompok transeksual yang diterapi
dengan terapi hormonal. Pada kelompok transeksual male-to-female yang diterapi
dengan estrogen dilaporkan memiliki prevalensi timbulnya gejala RLS yang tinggi
dibandingkan dengan kelompok transeksual female-to-male yang diterapi dengan
hormon testorsteron.7

f. Sistem Saraf

11
12

Neuropati perifer juga dikaitkan sebagai penyebab sekunder dari RLS. Akan tetapi,
hubungan antara neuropati perifer dan RLS sangatlah kompleks dan masih dalam
penelitian. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah karena terganggunya basic
perceptual level of sensory yang dapat mengakibatkan terjadinya hipersensitisasi dari
jalus sensoris yang dapat menimbulkan terjadinya RLS. Walaupun sebagian besar
orang dengan RLS akan menujuknya adanya abnormalitas ketika diperiksa dengan
menggunakan elektrophysiological ataupun alat lainnya, keabnormalan ini bukanlah
merupakan penyebab yang mecetuskan terjadinya RLS. Kebanyakan pasien yang
memiliki neuropati yang berat juga tidak timbul gejala RLS.

g. Sistem Vaskularisasi

Pembuluh darah dilibatkan dalam terjadinya RLS karena kebanyakan orang dengan
RLS akan memberikan respon yang positif terhadap terapi dengan vasodilative agent
seperti carbachol dan tolazoline. Akan tetapi, penelitian dengan duplex utrasonography
menyatakan bahwa gejala RLS tidak berhubungan dengan venous reflux dan gangguan
vaskular. Seperti neuropati perifer, gangguan dari vaskular juga dapat menyebabkan
terganggunya sistem-sistem lainnya termasuk kerusakan sistem saraf perifer. PLMS
dan RLS juga dihipotesiskan berhubungan dengan terjadinya penyakit jantung,
hipertensi, dan strok.7

h. Genetik

- Kebanyakan dari RLS adalah idiopatik dan first degree relative yang menderita RLS
pada keluarganya. RLS dinyatakan diturunkan secara autosomal dominan. Beberapa
lokus yang berhubungan dengan RLS ditemukan pada kromosom 12q, 14q, 9p, 2q,16p,
dan 20p.1 50% orang dengan RLS memiliki first degree relative yang juga menderita
RLS.9

2.8 Tatalaksana

RLS merupakan kelainan jangka panjang sehingga harus dipikirkan jika adanya lost
of effectiveness, efek samping, dan augmentasi yang mungkin timbul. Terapi RLS diberikan
secara individual berdasarkan dengan manifestasi klinis yang ditimbulkan, tingkat
keparahannya, dan sifat gejala yang biasanya timbul pada malam hari. Pengobatan RLS untuk
saat ini bukan untuk menyembuhkan tetapi hanya menghilangkan gejala dalam jangka waktu
lama. Terapi saat ini yang sering diberikan adalah dengan levodopa, opioid, dan

12
13

benzodiazepine dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi evidence base and clinical
guidline menempatkan dopamine agonist sebagai lini pertama pengobatan dari gejala RLS
yang terjadi sehari-hari.6,10

Keparahan dari RLS dapat berbeda-beda pada setiap subjek dan dapat dibedakan
dengan frekuensi dan intensitas gejala yang terjadi di sistem sensorimotorik, lamanya
terjadinya simptom selama 24 jam, dan gangguan tidur yang ditimbulkan seperti insomnia.
Perlu diingat bahwa insomnia dapat terjadi secara sekunder karena RLS sehingga
memerlukan terapi yang spesifik dan bisa juga dikarenakan pengobatan yang digunakan
untuk mengobati RLS seperti levodopa atau dopamine agonist. 6,10

Pedoman tatalaksana RLS terdapat pada Restless Legs Syndrome Task Force of the
Standards of Practice Committe og the American Academy Sleep Medicine (AASM) pada
tahun 2008. 6,10

Pasien dengan RLS dibagi menjadi 3 kelompok:

- Pasien dengan gejala yang intermiten

- Pasien dengan gejala yang berlangsung setiap hari

- Pasien dengan gejala yang sulit diatasi dengan pengobatan standar.10

A. Terapi non-farmakologi

Tujuan utama dari terapi farmakologi adalah untuk meningkatkan kualitas tidur.
Pasien harus dimotivasi untuk tidur dan bangun dalam jadwal yang teratur. Lingkungan
untuk tidur diusahakan tetap tenang dan nyaman serta menghindari aktivitas yang
berlebihan selama berjam-jam sebelum tidur.

Pasien dengan RLS juga dianjurkan untuk menjalankan gaya hidup yang sehat
dengan makanan yang seimbang dan aktivitas fisik yang adekuat. Penggunaan kafein,
nikotin, dan alkohol harus dihindari karena dapat memperburuk RLS. Pengunaan obat-
obatan anti-depresan (SSRIs atau tertrasiklin), antihistamin, dopamine blocking agent
6,10
(neuroleptic atau metoclopramide) juga dapat memperburuk gejala RLS. Jika
gejala muncul pada saat istirahat maka pasien disarankan untuk melakukan aktivitas
ringan seperti bermain video games, menjahit, atau mengambar.10

B. Terapi farmakologi

13
14

Terapi non-farmakologi saja tidak akan berhasil mengobati pasien RLS dengan derajat
sedang sampai berat. Pasien-pasien ini memerlukan terapi farmakologi untuk mengatasi
gejala yang mereka alami. 6,10

 Interminten symptoms

Pasien yang gejalanya terjadi secara interminten dapat di atasi dengan


menggunakan obat-obat yang hanya diminum ketika gejala RLS muncul. Obat-
obatan yang dianjurkan adalah:

 Carbidopa/levodopa, dosis: 25-100 mg, diminum sebelum tidur

 Low potency opioid or opioid receptor agonist seperti:

o Codein, dosis: 30-60 mg

o Propoxyphene hydrocloride, dosis: 65-130 mg

o Tramadol, dosis: 50-100mg

 Benzodiazephine, contohnya Triazolam, dosis: 0,125-0,5 mg.6,10

 Levodopa digunakan secara terbatas augmentasi dan rebound


phenomena yang ditemukan pada 50-85% pasien yang diterapi dengan
levodopa jangka panjang. Augmentasi didefinisikan sebagai
memburuknya gejala RLS, termasuk earlier onset dan intesitas yang
semakin meningkat. Pasien harus diberitahu tentang fenomena ini dan
apabila terjadi maka obat tersebut harus diganti dengan obat jenis lain.

 Dopamine agonist lebih disukai karena dapat memiliki risiko terjadinya


augmentasi yang lebih rendah. Akan tetapi, dopamine agonist memiliki
waktu paruh yang lebih panjang sehingga tidak begitu bermanfaat jika
9,10
dipakai pada waktu gejala sudah terjadi. Augmenatasi masih dapat
terjadi pada pasien yang menggunakan dopamine agonist. Efek samping
dopamine agonist seperti lemas, mual, edema perifer, dan rasa pusing
dilaporkan terjadi pada 57% pasien yang menggunakannya dalam
jangka waktu 6 bulan.9

14
15

 selama 5-7 bulan juga dapat menimbulkan efek samping Opioid dapat
memperparah kondisi ada pasien yang memiliki Sleep Related
Breathing Disorder (SRBD) dan hanya digunakan pada pasien yang
terbukti tidak memiliki SRBD.7

 Daily symptoms

Pasien dengan gejala RLS yang terjadi setiap harinya harus meminum
obat secara rutin setiap harinya. Terapi lini pertama dari daily RLS symptom
adalah dopamine agonist. Non-ergot dopamine agonist lebih disenangi karena
efeknya lebih menguntungkan. Obat non-ergot dopamine agonist yang sering
digunakan adalah pramipexole (0,125-2 mg/hari) atau ropinirole (0,125-
4mg/hari). Proses augmentasi jarang terjadi pada obat-obatan ini. Akan tetapi
efek augmentasi dapat terjadi pada penggunaan promipexole jangka panjang.10

Obat alternatif lainnya yang dapat digunakan adalah anti-convulsant


(seperti gabapentin) dan low potency opioid. Efek augmentasi jarang terjadi
pada penggunaan jangka pendek, namun efek ini harus diperhatikan pada
penggunaan jangka panjang. 10

 Refractory RLS symptoms

Pasien dengan gejala yang refrakter memerlukan pengantian pengobatan. Bisa


digunakan dopamine agonist jenis lain, opioid, atau anti-convulsant. Bisa juga
digunakan tambahan obat kedua seperti benzodiazepine, gabapentin, atau
opioid. Pada RLS derajat berat dapat digunakan opioid kuat seperti methadone
(5-40 mg/hari) dan telah dibuktikan bermanfaat. 7-10

Terapi Zat besi

Pasien dengan RLS harus diperiksa kadar besinya. Jika kadar besinya kurang
maka perlu diberikan penambahan zat besi. 1,4 Penambahan zat besi pada oasien dengan
RLS terbukti tidak efektif jika kadar besi diatas 50 ng/mL. Tidak ada standar baku untuk
terapi besi pada pasien dengan RLS, akan tetapi ada panduan yang menyarankan
diberikannya 50-65 mg elemen besi bersama dengan 200 mg vitamin C pada saat perut
kosong setiap 1-3 kali sehari tergantung dari defisiensi besi yang dialami. Tujuan dari
terapi penambahan besi adalah untuk mencapai kadar besi diatas 60 ng/mL. Pada kadar

15
16

besi Pemeriksaan besi ini harus diulang setiap 3 bulan. Saturasi dari transferrin harus
selalu diperhatikan dan tidak boleh meningkat melebihi 45% untuk mencegah
terjadinya hemokromatosis. 9

Penambahan besi dapat dilakukan melalui oral ataupun intravena. Penambahan


besi secara oral adalah dengan memberikan 200 mg ferrous sulfate sebanyak 3 kali
sehari setiap harinya selama 8-20 minggu. Hasilnya adalah meningkatnya kada serum
ferritin 10-69 ng/mL. Penambahan besi secara intravena dapat dilakukan melalui
infusion. Setiap infusion (ferrous sucrose) yang mengandung 100 mg besi akan
menaikkan kadar ferritin kurang lebih 10 ng/mL. Formulasi iron-dextran telah
dilaporkan dapat menimbulkan anaphilaxis. Formulasi terbaru yang lebih aman untuk
digunakan adalah iron-soaium ferric gluconate complex. Terapi penambahan besi
secara intravena hanya bertahan untuk jangka pendek (kira-kira 5-6 bulan) setelah itu
gejalanya akan muncul kembali. Penambahan besi secara intravena memperlihatkan
efek yang lebih efektif dalam menghilangkan gejala daripada dengan terapi oral. Terapi
besi (ferrous sulfate, ferrous gluconate) memiliki efek samping pada sistem
gastrointestinal seperti rasa mual sehingga terapi ini sering kali tidak efektif.9

Terapi Asam Folat

Dosis asam folat yang dibutuhkan pada pasien dengan RLS bervariasi mulai dari 5-30
mg perharinya. Tujuannya adalah mencapai kadar asam folat dalam serum yang normal
yanitu 10-12 ng/mL. Dengan adanya penurunan dari dosis, gejala RLS akan kembali
muncul dalam 2-7 minggu. 9

2.9 Prognosis

RLS umumnya adalah kondisi yang terjadi seumur hidup. Terapi yang ada saat ini dapat
menghilangkan atau mengurangi gejala yang dirasakan dan meningkatkan efektifitas dari tidur.
Simptom ini biasanya memburuk seiring dengan bertambahnya usia. Ada beberapa individu
yang dapat mengalami fase remisi. Akan tetapi, gejala ini akan kembali setelah selama
beberapa hari, minggu, atau bulan.

16
17

Prognosis dari RLS dapat diklasifikasikan menurut etiologinya:

- RLS primer
 Keparahan dan frekuensi dari gejala biasanya akan meningkat seiring dengan
berjalannya waktu.
 Pada individu yang onset terjadinya RLS setelah 45 tahun, progesivitas
yang terjadi akan lebih cepat
 Pada individu yang onset terjadinya RLS kurang dari 45 tahun
progesivitasnya lebih tersembunyi.
- RLS sekunder
 Gejala yang dialami biasanya akan menghilang jika faktor penyebabnya
dihilangkan
 Pada wanita hamil, RLS biasanya akan menghilang beberapa minggu
setelah dia melahirkan.11

BAB III

KESIMPULAN

17
18

RLS adalah kelainan neurologis yang dikarakteristikkan dengan adanya dorongan


yang sangat untuk menggerakkan ekstremitas yang berhubungan dengan parestesia, yang
terjadi pada sebagian atau seluruh kaki, yang dapat berkurang dengan pergerakan, dan yang
biasanya terjadi saat istirahat atau pada malam hari, yang nantinya dapat menyebabkan
timbulnya gangguan tidur. RLS merupakan penyakit yang sering dijumpai dan memiliki
angka morbiditas sekitar 1-10% dari populasi umumnya, lebih sering terjadi pada wanita,
dan risikonya akan meningkat seiring bertambahnya usia. Populasi yang berisiko menderita
RLS adalah wanita hamil, pasien dengan defisiensi besi atau asam folat, pasien dengan end-
stage renal failure, ADHD. Penyebab dari RLS masih belum diketahui dengan pasti. Fakta-
fakta yang ada menunjukkan bahwa RLS berhubungan dengan defisiensi besi atau asam
folat, defisiensi dopamin, meningkatnya hormon kortisol, gangguan di sistem opiate, saraf,
dan pembuluh darah. RLS sering salah didiagnosiskan dengan penyakit lainnya padahal
RLS memiliki manifestasi klinis yang sangat khas. RLS dapat diobati secara non-
farmakologi dan farmakologi. Sayangnya, pengobatan-pengobatan yang saat ini dilakukan
hanya untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi gejala yang dialami sehingga
penderita RLS harus meminum obat tersebut seumur hidupnya.

18
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Buchholz DW, Sleep Disorder, 5th edition, Missouri: Mosby, Johnson, and Griffin,
1997; 12-3
2. Gamaldo CE, Earley CJ, Restless Legs Syndrome: a clinical update, Chest, 2016; 130:
1596-1604
3. Allen RP, Picchietti D, Hening WA, et al., Restless Legs Sydrom: diagnostic criteria,
special consideration, and epidemiology. A report from the restless legs syndrome
diagnosis and epidemiology workshop at the National Institute of Health, Sleep Med,
2013;4:101-19
4. Garcia-Borreguero D, Larrosa O, de la Llave Y, at al., Correlation between rating scales
and sleep laboratory measurement in restless legs syndrome, Sleep Med, 2014;5:561-
5.
5. Kohnen R, Allen Rp, Benes H, et al., Assesment of restless legs syndrome.
Methodological approaches for use in practice and clinical trials, Mov Disord, 2007;in
press, electonically published May 29, 2007.
6. Ondo WG, Restless Legs Syndrome.In: Jankovic J, Tolosa E (eds), Parkinson’s Disease
and Movement Disorder, 5th edition, Philadelphia: Lippincott, Williams, and Wilkins,
2007; 409-20.
7. Fulda S. Restless Legs Syndrome: Diagnosis, Treatment and Pathophysiology. 2010
8. Sommer, David B and Mark Stacy. 2007. Epidemiology and Pathophysiology of
Restless Legs Syndrome. US Neurological Disease. 2016
9. Restless Legs Stndrome: Pathophysiology and the Role of Iron Folate. Alternative
Medicine Review . 2017; 12 (2).: 101-110
10. Symvoulakis E, Dimitrios Anyfantakis, Christos Lionis. Restless Legs Syndrome:
Literature Review. Sao Paulo Med. 2010; 128 (3): 167-170
11. National institute of neurological disorder and stroke. Restless Legs Syndrome Fact
Sheet

19

Anda mungkin juga menyukai