Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG LAKI-LAKI 10 TAHUN DENGAN OCULO

DEXTRA KONJUNGTIVITIS ALERGI TIPE VERNAL

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kepaniteraan Senior


Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji kasus : dr. A.Rizal Fanany, Sp.M


Pembimbing : dr. Elly Rahmawati
Dibacakan oleh : Mochammad Rizal Fatoni
Dibacakan tanggal : 5 Juli 2019

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Mochammad Rizal Fatoni


NIM : 22010118220170
JudulLaporan : Seorang Laki-Laki 10 Tahun Dengan Oculo Dextra
Konjungtivitis Alergi Tipe Vernal
Penguji : dr. A. Rizal Fanany, Sp.M
Pembimbing : dr. Elly Rahmawati

Semarang, 5 Juli 2019

Pembimbing Penguji Kasus

dr. Elly Rahmawati dr. A. Rizal Fanany, Sp.M


BAB I
PENDAHULUAN

Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi


pada konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan
eksudasi.1 Di Indonesia konjungtivitis menduduki peringkat 10 besar penyakit
rawat jalan terbanyak pada tahun 2009. Dari 135.749 pasien yang berkunjung
ke poli mata, 73% adalah kasus konjungtivitis.2
Konjungtivitis dapat menyerang seluruh kelompok umur dapat bersifat
akut maupun kronis, serta disebabkan oleh berbagai faktor baik eksogen
maupun endogen. Faktor eksogen meliputi bakteri, virus, jamur, maupun zat
kimiawi irritatif, seperti asam, basa, asap, angin, sinar ultraviolet hingga
iatrogenik. Faktor endogen penyebab konjungtivitis berupa reaksi
hipersensitivitas, baik humoral maupun selular, serta reaksi autoimun.1
Konjungtivitis vernal dikenal sebagai “konjungtivitis musiman”,
merupakan konjungtivitis akibat reaksi hipersensirivitas yang mengenai kedua
mata dan bersifat rekuren. Mengenai pasien usia muda antara 3 – 25 tahun.
Penyebaran konjungtivitis vernal merata di dunia, terdapat sekitar 0,1% hingga
0,5% pasien dengan masalah tersebut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada
iklim panas.1,2
Pada laporan kasus ini akan membahas tentang seorang laki-laki 10
tahun dengan diagnosis OD Konjungtivitis Alergi Tipe Atopik.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : An. MFP


Usia : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. CM : 65xxxx
Alamat : Semarang
Pekerjaan : Pelajar kelas 5 SD

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan pada hari Sabtu, 22 Juni 2019 pukul 13.00 WIB
di Poliklinik Mata Rumah Sakit William Booth

Keluhan Utama : Mata kanan gatal


Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak ± 3 hari yang lalu pasien mengeluh mata kanan gatal. Pasien juga
mengeluh mata merah dan mengeluarkan air mata terus menerus (nerocos).
Pasien mengaku keluhan sudah dirasakan sejak 1 tahun lalu, namun hilang
timbul. Keluhan timbul setelah pasien beraktivitas seharian di luar rumah
terutama olahraga sepak bola di tanah lapang. Keluhan berkurang saat pasien
beristirahat dalam rumah. Pada saat pasien bangun tidur, mata terasa lengket
dan terdapat kotoran mata warna keputihan, mata nyeri (-/-), silau (-/-),
pandangan kabur (-/-). Keluhan nyeri telan (-) dan demam (-). Ibu pasien
memberikan obat tetes mata yang dibeli di apotek, namun keluhan tidak
membaik. Kemudian oleh keluarga, pasien dibawa ke poliklinik mata Rumah
Sakit William Booth

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat keluhan yang sama sejak 1 tahun yang lalu, namun hilang
timbul
 Riwayat alergi makanan disangkal, alergi debu, bulu binatang, dingin,
panas tidak diketahui
 Riwayat menggunakan kacamata
 Riwayat trauma disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Riwayat alergi pada keluarga (ayah kandung) : alergi debu (mata gatal
dan merah)

Riwayat Sosial Ekonomi:


 Pasien sebagai pelajar tingal bersama kedua orang tyua
 Pasien berobat menggunakan BPJS non PBI
 Kesan ekonomi cukup

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Fisik (22 Juni 2019)


Status Praesens
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15
Tanda Vital : TD: 120/70 mmHg, RR: 18x/menit

Nadi: 80x/menit, Suhu: 37 oC

Kepala : Pembesaran kelenjar preaurikuler -/-


Thorax : Tidak ada kelainan
Abdomen : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Tidak ada kelainan
- Eversi palpebra = Hiperemis (+) Papil (+)

Injeksi
konjungtiva
Status Opthamologi
Mata Kanan Mata Kiri
6/6 Tajam Penglihatan 6/6
Tidak dilakukan Koreksi Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Pemeriksaan warna Tidak dilakukan
(-) Parase/paralysis (-)
Sikatrik (-) Supercilia Sikatrik (-)
Hipo/hiperpigmentasi (-) Hipo/hiperpigmentasi (-)
Trichiasis (-), distichiasis (-) Cilia Trichiasis (-), distichiasis (-)
Edema (-), spasme (-) Palpebra superior Edema (-), spasme(-)
Edema (-), spasme (-) Palpebra inferior Edema (-), spasme (-)
Hiperemis (+), folikel (-) Konjungtiva Hiperemis (-), folikel (-)
Eversi : hiperemis (+), palpebralis Eversi : hiperemis (-),
papil (+) papil (-)
Injeksi konjungtiva (+), Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (-),
sekret mukoid (+) minimal secret mukoid (-)
Tidak ada kelainan Sklera Tidak ada kelainan
Jernih Kornea Jernih
Kedalaman cukup Camera oculi Kedalaman cukup
anterior
Kripte (+), sinekia (-) Iris Kripte (+), sinekia (-)
Bulat, sentral, reguler, Ø Pupil Bulat, sentral, reguler, Ø
3mm, RP (+) N 3mm, RP (+) N
Jernih Lensa Jernih
(+) cemerlang Fundus reflex (+) cemerlang
Tidak dilakukan Corpus vitreum Tidak dilakukan
T(Digital) normal Tensio oculi T(Digital) normal
Tidak dilakukan Sistem canalis Tidak dilakukan
lacrimalis
IV. RESUME

Seorang laki-laki berumur 10 tahun datang ke RS William Booth


dengan keluhan sejak ± 3 hari yang mata kanan pruritus, hiperemis (+) dan
lakrimasi (+), serta terdapat sekret mucoid (+) minimal dan lengket pada saat
pasien bangun tidur. Keluhan sudah dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, namun
hilang timbul. Keluhan timbul setelah pasien beraktivitas di luar rumah
terutama olahraga sepak bola di tanah lapang . Keluhan berkurang jika pasien
beristirhat di dalam rumah. Riwayat demam (-), batuk pilek (-) dan nyeri telan
(-). Keluhan mata nyeri (-/-), silau (-/-), pandangan kabur (-/-). Riwayat alergi
terhadap makanan disangkal, alergi terhadap debu, bulu binatang, dingin, panas
tidak diketahui. Ayah pasien ada riwayat alergi debu dengan manifestasi mata
pruritus dan hiperemis

Pemeriksaan Fisik :
Status presens dalam batas normal, pembesaran kelenjar preaurikuler (-)

Status Opthamologi
Pasien dengan Visus OD: 6/6 OS :6/6. Pada pemeriksaan ditemukan
konjungtiva palpebra OD hiperemis (+) dan eversi ditemukan papil (+). Pada
konjungtiva bulbi OD ditemukan adanya injeksi konjungtiva (+) dan sekret
mukoid. Segmen anterior lain dalam batas normal.

V. DIAGNOSIS BANDING

 OD Konjungtivitis Alergi Tipe Vernal


 OD Konjungtivitis Alergi Tipe Atopik
 OD Konjungtivitis Alergi Tipe Seasonal
 OD Konjungtivitis Alergi Tipe Gaint Papil
VI. DIAGNOSA KLINIS
 OD Konjungtivitis Alergi Tipe Vernal

VII. TATALAKSANA
 Antihistamin topikal (Olopatadine HCl 3 kali sehari 1 tetes OD)
 Antihistamin oral (Cetirizine 1 kali sehari 5 mg)
 Tetes mata buatan (artificial tears) 4 x gtt 1 OD
 Kompres dengan menggunakan air dingin saat pagi dan sore hari
pada mata kanan selama 15 – 20 menit
 Kontrol 1 minggu kemudian

PROGNOSIS
OD OS
Quo ad visam Ad bonam Ad bonam
Quo ad sanam Dubia Ad bonam Dubia Ad bonam
Quo ad vitam Ad bonam
Quo ad cosmeticam Ad bonam

VIII. SARAN

Kontrol 1 minggu kemudian untuk evaluasi kondisi pasien.


Eye hygiene

IX. EDUKASI

 Menjelaskan kepada pasien bahwa keluhan yang terjadi disebabkan


oleh karena adanya peradangan pada selaput bening yang melapisi
bagian depan mata pasien dan bersifat rekuren.
 Menjelaskan pada pasien bahwa kemungkinan penyebab
peradangan pada selaput bening bola mata pasien adalah karena
adanya alergi tertentu. Dan pasien harus mencari tahu penyebab
dari alergi sebagai pemicu reaksi peradangan pada selaput bening
bola mata untuk memutus dan menghentikan penyakit yang dialami
pasien.
 Menjelaskan pada pasien untuk selalu menjaga kebersihan mata
dan tangan. Pasien dianjurkan untuk mencuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan mata, serta sebelum memberi obat topikal.
 Menjelaskan pasien mengenai cara melakukan kompres dingin
yaitu dengan kapas atau tisu bersih yang diberi air dingin lalu
ditempelkan pada kedua kelopak mata kanan selama masing-
masing 15-20 menit pagi dan sore hari.
 Menjelaskan pasien untuk tidak menggosok atau mengucek mata
agar tidak terjadi cedera pada mata berkelanjutan.
 Menjelaskan kepada pasien untuk kontrol kembali 1 minggu guna
evaluasi keadaan pasien.
BAB III
DISKUSI

3.1 Anatomi Konjungtiva


Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis dan transparan yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat
ke tarsus. Konjungtiva dibagi tiga bagian yaitu konjungtiva palpebra,
konjungtiva bulbar dan konjungtiva forniks.
Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam palpebra, dibagi lagi
menjadi tiga bagian yaitu marginal, tarsal dan orbital. Bagian marginal
terletak di tepi palpebra hingga 2 mm ke dalam palpebra, bagian tarsal
melekat di tarsal plate, sedangkan bagian orbital terletak di antara
konjungtiva tarsal dan forniks. Di konjungtiva palpebra terdapat kelenjar
henle dan sel goblet yang memproduksi musin.
Konjungtiva bulbar melapisi bagian anterior bola mata dan
dipisahkan dengan sklera anterior oleh jaringan episklera. Konjungtiva
yang berbatasan dengan kornea disebut limbal konjungtiva.
Konjungtiva forniks merupakan penghubung konjungtiva palpebra
dengan konjungtiva bulbar. Daerah tersebut memiliki kelenjar lakrimal
aksesoris yaitu kelenjar krause dan wolfring yang menghasilkan komponen
akuos air mata.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar
dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.1
Anatomi Konjungtiva3

3.2 Histologi Konjungtiva


Konjungtiva terdiri atas tiga lapisan yang secara histologi berbeda,
yaitu lapisan epitelium, adenoid, dan fibrosa.
Lapisan epitelium merupakan lapisan terluar konjungtiva dengan
struktur yang bervariasi di setiap regio. Epitel konjungtiva marginal terdiri
atas lima lapis sel epitel gepeng berlapis dan pada konjungtiva tarsal terdiri
atas dua lapis sel epitel silindris dan gepeng. Konjungtiva forniks dan
bulbar terdiri atas tiga lapis sel epitel yaitu sel silindris, sel polihedral, dan
sel kuboid, sedangkan konjungtiva limbal terdiri atas berlapis-lapis sel
gepeng.4
Lapisan adenoid merupakan lapisan limfoid yang berfungsi dalam
respons imun di permukaan mata. Lapisan itu disebut conjunctiva-
associated lymphoid tissue (CALT); terdiri atas limfosit dan leukosit yang
dapat berinteraksi dengan mukosa sel epitel melalui sinyal resiprokal yang
dimediasi oleh growth factor, sitokin dan neuropeptida.4
Lapisan fibrosa terdiri atas jaringan kolagen dan fibrosa serta
pembuluh darah dari konjungtiva. Konjungtiva palpebra diperdarahi oleh
pembuluh darah palpebra, sedangkan konjungtiva bulbar memperoleh
darah dari arteri siliaris anterior. Persarafan sensorik konjungtiva berasal
dari cabang nervus kranialis V.4

A. Lapisan konjungtiva, B. Bagian konjungtiva4


3.3 Konjungtivitis
Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput
lendir yang menutupi belakang kelopak mata dan bola mata dalam bentuk
akut maupun kronis. Penyebab konjungtivitis antara lain disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur, klamidia, alergi, toksik, maupun iritasi.2
3.3.1 Gambaran Klinis Konjungtivitis
Mata berair merupakan keluhan yang sering ditemukan pada
kelainan mata. Sekresi air mata diakibatkan oleh adanya sensasi benda
asing, sensasi terbakar atau tergores, atau oleh rasa gatalnya. Transudasi
ringan juga timbul dari pembuluh- pembuluh yang hiperemik dan
menambah jumlah air mata tersebut.
Tanda penting konjungtivitis adalah hiperemi konjungtiva bulbi
(injeksi konjungtiva), lakrimasi, eksudat dengan sekret yang lebih nyata di
pagi hari, pseudoptosis, hipertrofi papil, folikel (hipertrofi lapis limfoid
troma), kemosis (edem stroma konjungtiva), pseudomembranosa dan
membran, granuloma, dan limfadenopati pre-aurikuler.2
Hiperemia terjadi akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva
yang terjadi pada peradangan akut. Kemerahan terutama didapatkan di
daerah forniks dan makin berkurang ke arah limbus karena dilatasi
pernbuluh-pembuluh darah konjungtiva posterior (Dilatasi perilimbus atau
hiperemia siliaris mengesankan adanya radang kornea atau struktur yang
lebih dalam).
Sekret atau eksudat berasal dari eksudasi sel-sel radang. Sekret
hanya dapat dikeluarkan oleh epitel yang mempunyai sel lendir atau pada
sel goblet konjungtiva. Bila terdapat keluhan sekret yang berlebihan pada
penderita hal ini menunjukkan ada kelainan pada konjungtiva. Jumlah
sekret konjungtiva akan lebih banyak sewaktu bangun pagi. Kualitas dan
sifat alamiah eksudat (mukoid, purulen, berair, atau berdarah) tergantung
dari etiologinya.
Bila terdapat suatu kelainan pada kelopak mata sehingga
mengakibatkan kelopak tidak mudah bergerak atau diangkat maka keadaan
ini disebut pseudoptosis. Keadaan ini dijumpai pada beberapa jenis
konjungtivitis berat, misalnya trakoma dan keratokonjungtivitis epidemika.
Biasanya sebagai reaksi konjungtivitis akibat virus berupa
terbentuknya folikel pada konjungtiva. Folikel cobble stone dapat
ditemukan pada konjungtivitis vernal merupakan penimbunan cairan dan
sel limfoid di bawah konjungtiva. Terlihat sebagai benjolan yang besarnya
kira-kira 1 mm. Folikel terlihat lebih banyak di daerah forniks karena
daerah ini banyak mengandung jaringan limfoid.
Pseudomembran adalah hasil proses eksudatif dan hanya berbeda
derajatnya. Pseudomembran adalah pengentalan diatas permukaan epitel,
bila diangkat epitel tetap utuh dan tidak akan berdarah. Membran adalah
pengentalan yang meliputi seluruh epitel dan jika diangkat akan
meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah.
Limfadenopati preaurikuler terdapat pada konjungtivitis herpes
simplek primer, keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis inklusi dan
trakoma.
Perbedaan jenis-jenis konjungtivitis1
Temuan Klinis Viral Bakteri Alergika
dan Siotologi
Gatal Minimal Minimal Hebat
Hiperemia Generalisata Generalisata Generalisata
Mata berair Banyak Sedang Sedang
Eksudasi Minimal Banyak Minimal
Discharge Serous Purulen/ Mukous
Mukopurulen
Adenopati Sering Jarang Tidak ada
preaurikular
Pseudomembran Kadang – Kadang - Tidak ada
kadang kadang
Kemosis Kadang – Ada Ada
kadang
Hipertrofi Papila Tidak ada Kadang - Ada
kadang
Pada kerokan dan Monosit Bakteri, PMN Eosinofil
eksudat yang
dipulas
Sakit tenggorokan Kadang- Kadang-kadang Tidak pernah
dan demam yang kadang
menyertai
3.4 Konjungtivitis Alergi
3.4.1 Definisi dan Etiologi
Konjungtivitis alergi merupakan respon inflamasi di konjungtiva
sebagai bagian dari reaksi atopik sistemik terhadap alergen.
Penyebab konjungtivitis alergi paling sering adalah alergen
musiman seperti serbuk sari dan spora jamur. Alergen indoor juga sering
menyebabkan konjungtivitis alergi seperti debu tungau dan bulu hewan
peliharaan. Selain itu, allergen outdoor juga dapat menyebabkan
konjungtivitis alergi, seperti aeroallergen (agen alergi yang dibawa oleh
udara).

3.4.2 Klasifikasi, Gejala, dan Tanda Konjungtivitis Alergi 7

a. Seasonal Allergic Conjunctivitis (SAC)

 bentuk alergi okuler subakut yang paling banyak terjadi.

 sering terjadi pada masa anak anak atau dewasa muda.

 mekanisme terjadinya SAC berhubungan dengan reaksi


hipersensitivitas tipe I yang diperantarai IgE. Alergen
memasuki tear film dan kontak dengan sel mast konjungtiva
sehingga menghasilkan antibodi IgE spesifik alergen.

 gambaran klinis berupa gatal, konjungtiva hiperemis, edema


palpebra, kemosis dan sekret mukoid.

b. Vernal Keratoconjunctivitis (VKC)

 reaksi alergi inflamasi kronik bilateral pada kornea dan

konjungtiva yang diperantarai reaksi hipersensitivitas tipe I dan

IV.
 sering terjadi pada anak laki laki dengan riwayat atopik

individu atau keluarga.

 meningkat pada musim hangat atau daerah tropis.

 Eksaserbasi dan episode akut pada VKC dipicu oleh paparan

alergen dan stimulus non spesifik seperti angin, cahaya dan

debu.

 gambaran klinisnya berupa gatal, blefarospasme, fotofobia,

pandangan kabur, sekret mukoid yang banyak.

 Klasifikasi VKC adalah sebagai berikut:

o VKC palpebral/ tarsal

Pada umumnya terjadi di konjungtiva palpebra.

Gambaran khas adalah papil hipertrofi yang difus,

ireguler dan cobblestone appearance di tarsus superior

dengan mukus diantaranya (pada kasus yang sudah

berat), hiperemis konjungtiva dan kemosis.

VKC palpebral/ tarsal


dengan papil cobblestone

o
o VKC limbal

Banyak ditemukan pada pasien Asia dan Afrika

prevalensinya lebih banyak di wilayah dengan iklim

yang panas. Gambaran klinis pada VKC adalah multipel

papil dan infiltrat gelatin kuning keabuan pada limbus

(yellow-Trantas Dots) dan biasanya terdapat di limbus

superior. Dots ini terlihat saat penyakit aktif dan

menunjukkan keparahan penyakit

A. VKC limbal dengan gambaran membran gelatin


B. Yellow Horner Trantas Dots

c. Atopic Keratoconjunctivitis (AKC)

 penyakit inflamasi kronik bilateral pada konjungtiva yang

jarang ditemukan.

 Pada umumnya terjadi saat dewasa dan berlanjut hingga dekade

5 dengan puncaknya pada usia 30-50 tahun.


 Mekanisme terjadinya AKC merupakan reaksi hipersensitivitas

tipe IV yang dipicu alergen lingkungan atau paparan makanan,

dapat terjadi sepanjang tahun dan semakin memburuk pada

musim dingin.

 Manifestasi klinis AKC menyerupai VKC dengan beberapa

perbedaan diantaranya:

• terjadi sepanjang tahun dan jarang terjadi eksaserbasi

musiman

• Usia pasien AKC lebih tua

• Papil berukuran lebih kecil atau medium dan banyak

ditemukan di konjungtiva palpebra inferior

• Sering terdapat edema konjungtiva dengan fibrosis subepitel

• Vaskularisasi kornea lebih ekstensif dan terdapat opasifikasi

akibat penyakit epitel kronik

• Pada pemeriksaan spesimen sitologi konjungtiva ditemukan

lebih sedikit eosinofil dan jarang deganulasi

• Sering terjadi skar konjungtiva dengan pembentukan

simblefaron

• Kadang terbentuk opasitas lensa subkapsular posterior


• Pada kornea terjadi erosi pungtata, defek epitel persisten,

keratokonus dan peningkatan insidensi infeksi Staphylococcus

dan Herpes Simplex

A. AKC dengan papil dan edema


B. AKC dengan vaskularisasi kornea dan scarring

d. Giant Papillary Conjunctivitis (GPC)

 reaksi inflamasi yang tidak diperantarai IgE dan disebabkan

oleh iritasi mekanik dan hipersensitivitas tipe lambat.

 Pada air mata pasien tidak ditemukan peningkatan histamin dan

IgE.

 Reaksi ini dipicu oleh penggunaan lensa kontak, prostesis

okuler, jahitan korneokonjungtiva dan scleral buckling yang

menonjol.

 GPC memiliki kesamaan dengan VKC dalam hal morfologi

giant papil namun tidak mengenai kornea.


 Sering terjadi pada pasien muda, tidak berhubungan dengan

jenis kelamin namun adanya riwayat atopi dapat menjadi faktor

predisposisi.

 Gejala yang sering terjadi adalah pseudoptosis, mata merah dan

iritasi, sekret mukoid, pandangan kabur, mata berair dan silau.

 Gambaran khas GPC bila terdapat giant papil dengan diameter

>0,3mm, satu atau memenuhi tarsus disertai hiperemis

konjungtiva, infiltrat limbus, Trantas dots, dan penebalan

konjungtiva.

Giant Papillary Conjunctivitis (GPC)

3.4.3 Patogenesis Konjungtivitis Alergi Tipe Vernal


Patogenesis terjadinya kelainan ini belum diketahui secara jelas,
tapi terutama dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas pada mata.
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan dasar utama terjadinya proses
inflamasi. Pemeriksaan histopatologik dari lesi di konjungtiva
menunjukkan peningkatan sel mast, eosinofil dan limfosit pada subepitel
dan epitel. Dalam perjalanan penyakitnya, infiltrasi sel dan penumpukan
kolagen akan membentuk papil raksasa. Penemuan ini menjelaskan bahwa
konjungtivitis vernal bukan murni disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
tipe I fase cepat, melainkan merupakan kombinasi tipe I dan IV. Bonini
dkk, menemukan bahwa hiperreaktivitas non spesifik juga mempunyai
peran dalam konjungtivitis vernal. Faktor lain yang berperan adalah
aktivitas mediator non IgE oleh sel mast. Reaksi hipersensitivitas tipe I
dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE spesifik terhadap antigen bila
seseorang terpapar pada antigen tersebut. Antibodi IgE berperan sebagai
homositotropik yang mudah berikatan dengan sel mast dan sel basofil.
Ikatan antigen dengan antibodi IgE ini pada permukaan sel mast dan
basofil akan menyebabkan terjadinya degranulasi dan dilepaskannya
mediator-mediator kimia seperti histamin, slow reacting substance of
anaphylaxis, bradikinin, serotonin, eosinophil chemotactic factor, dan
faktor-faktor agregasi trombosit. Histamin adalah mediator yang berperan
penting, yang mengakibatkan efek vasodilatasi, eksudasi dan hipersekresi
pada mata. Keadaan ini ditandai dengan gejala seperti mata gatal, merah,
edema, berair, rasa seperti terbakar dan terdapat sekret yg bersifat mukoid.
Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat mempunyai
karakteristik, yaitu dengan adanya ikatan antara antigen dengan IgE pada
permukaan sel mast, maka mediator kimia yang terbentuk kemudian akan
dilepaskan seperti histamin, leukotrien C4 dan derivat-derivat eosinophil
yang dapat menyebabkan inflamasi di jaringan konjungtiva. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV, terjadi karena sel limfosit T yang telah
tersensitisasi bereaksi secara spesifik dengan suatu antigen tertentu,
sehingga menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi infiltrasi limfosit
dan monosit (makrofag) serta menimbulkan indurasi jaringan pada daerah
tersebut. Setelah paparan dengan alergen, jaringan konjungtiva akan
diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, eosinofil dan basofil. Bila penyakit
semakin berat, banyak sel limfosit akan terakumulasi dan terjadi sintesis
kolagen baru sehingga timbul nodul-nodul yang besar pada lempeng tarsal.
Aktivasi sel mast tidak hanya disebabkan oleh ikatan alergen IgE, tetapi
dapat juga disebabkan oleh anafilatoksin, IL-3 dan IL-5 yang dikeluarkan
oleh sel limfosit. Selanjutnya mediator tersebut dapat secara langsung
mengaktivasi sel mast tanpa melalui ikatan alergen IgE. Reaksi
hiperreaktivitas konjungtiva selain disebabkan oleh rangsangan spesifik,
dapat pula disebabkan oleh rangsangan non spesifik, misal rangsangan
panas sinar matahari, dan angin.5,6

3.4.4 Diagnosis Konjungtivitis Alergi Tipe Vernal


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis
dan laboratorium.

a. Pada anamnesis, pasien mengalami keluhan mata gatal, merah, berair, dan
memiliki riwayat keluhan yang sama sebelumnya.

b. Pemeriksaan pada palpebral di temukan edema, hipertrofi papiler, cobble


stone dan giant’s papillae (pada kasus yang sudah berat). Pada limbus
ditemukan Horner- Tratan dots.

c. Hasil pemeriksaan laboratorium atau kerakan konjungtiva atau getah mata


didapatkan sel – sel eosinofil

Algoritma penanganan konjungtivitis


3.4.5 Komplikasi
Komplikasi yang timbul dapat diakibatkan oleh perjalanan
penyakitnya atau efek samping pengobatan yang diberikan. Bila proses
penyakit meluas ke kornea, dapat terjadi parut kornea, astigmatisme,
keratokonus, dan kebutaan. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang
dapat menyebabkan glaukoma, katarak dan infeksi bakteri sekunder.
3.4.6 Tatalaksana
Tatalaksana konjungtivitis vernal berdasarkan beratnya gejala dan
tanda penyakit, yaitu
1. Terapi utama: berupa penghindaran terhadap alergen penyebab.
2. Terapi topikal okuler
 Antihistamin topikal menghambat reseptor histamin sehingga gatal
dan hiperemis berkurang. Bila keluhan hanya muncul di mata maka
antihistamin topikal lebih diprioritaskan daripada obat oral.
Kombinasi antihistamin oral dan topikal dapat meningkatkan
efikasi.

 Vasokonstriktor/ dekongestan merupakan α adrenergik agonis dan


bermanfaat untuk menghilangkan hiperemis akibat vasodilatasi
konjungtiva.

 Mast cell stabilizer. Cara kerja: menghambat degranulasi sel mast


sehingga pelepasan mediator dan aktivasi jalur asam arakidonat
terhambat. Obat ini tidak menghilangkan keluhan yang telah ada
namun untuk profilaksis. Obat ini harus diberikan setiap 6-8 jam
selama minimal 2 minggu.

 NSAID. Cara kerja: menghambat jalur siklooksigenase yang


mensintesis prostaglandin dan tromboksan. Obat jenis ini telah
terbukti efikasinya dalam mengatasi hiperemis dan pruritus
konjungtiva.
 Kortikosteroid. Cara kerja: menghalangi sintesis protein
intraseluler dan menghambat enzim fosfolipase A2 yang
bertanggung jawab dalam pembentukan asam arakidonat. Selain itu
juga menghambat produksi sitokin dan migrasi sel radang

3. Terapi sistemik
Pengobatan antihistamin sistemik bermanfaat untuk menambah
efektivitas pengobatan topikal. Pemberian aspirin dan indometasin
(golongan antiinflamasi non-steroid) yang bekerja sebagai
penghambat enzim siklooksigenase dilaporkan dapat mengurangi
gejala konjungtivitis vernal. Kortikosteroid sistemik diberikan bila ada
indikasi khusus yaitu inflamasi berat pada kornea dan konjungtiva,
bertujuan mencegah kerusakan jaringan.
4. Terapi suportif
- Desensitisasi dengan alergen inhalan
- Kompres dingin pada mata
- Tetes mata artifisial dapat melarutkan alergen dan berguna untuk
mencuci mata
- Klimatoterapi seperti pendingin udara di rumah atau pindah ke
tempat berhawa dingin.

3.5 Analisis Kasus

Pasien tersebut didiagnosis sebagai OD Konjungtivitis Alergi Tipe Vernal


didasarkan pada
A. Anamnesis
1) Didapatkan mata gatal kanan, disertai merah dan berair terus
menerus (nerocos), serta terasa lengket dan terdapat kotoran saat
pasien bangun tidur.

2) Keluhan dirasakan hilang timbul dan timbul setelah pasien


beraktivitas seharian di luar rumah terutama sepak bola di tanah
lapang.

3) Pasien pernah mengalami keluhan serupa sejak 1 tahun lalu

4) Tidak ada keluhan pandangan mata kabur, demam, batuk, pilek,


ataupun nyeri telan.

5) Riwayat ayah kandung pasien alergi debu

B. Pemeriksaan fisik pada kasus ini didapatkan:


1. Visus OD : 6/6 OS: 6/6
2. Konjungtiva palpebra OD : hiperemis (+), papil (+)
3. Konjungtiva bulbi OD : injeksi konjungtiva (+), sekret mukoid (+)
4. Segmen anterior yang lain dalam batas normal.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut ditemukan adanya gejala
dan tanda yang mengarah pada diagnosis Konjungtivitis vernal sesuai dengan
tinjauan pustaka.
Pada kasus ini pasien diberikan tatalaksana sesuai dengan tinjauan
pustaka, yaitu:
 Antihistamin topikal (Olopatadine HCl 3 kali sehari 1 tetes OD)
 Antihistamin oral (Cetirizine 1 kali sehari 5 mg)
 Tetes mata buatan (artificial tears) 4 x gtt 1 OD
 Kompres dengan menggunakan air dingin saat pagi dan sore hari
selama 15 – 20 menit
 Kontrol 1 minggu kemudian

Pada pasien ini diberikan antihistamin topical dan sistemik karena gatal
yang dikeluhkan pasien sudah sangat mengganggu dan juga dapat meningkatkan
efikasi. Selain itu pasien juga diberikan tetes mata buatan untuk melarutkan
alergen dan berguna untuk mencuci mata. Pasien ini tidak diberikan
vasokonstriktor dan kortikosteroid karena tanda hipermis dan peradangan yang
ditemukan masih dalam tingkat ringan dan diharapkan dapat membaik dengan
kompres dingin.
Pasien ini memiliki diagnosis banding konjungtivitis alergi tipe atopik
dikarenakan keluhan pasien dengan AKC terjadi sepanjang tahun dan semakin
memburuk pada musim dingin. Usia pasien AKC lebih tua. Ditemukan edema
konjungtiva dan vaskularisasi kornea lebih ekstensif. Sedangkan gejala pasien
timbul apabila dipicu oleh debu atau kondisi panas. Diagnosis banding
konjungtivitis alergi tipe seasonal juga disingkirkan dikarenakan gejala SAC
timbul pada musim-musim tertentu. Diagnosis banding konjungtivitis alergi tipe
gaint papil juga bisa disingkirkan karena GPC reaksinya dipicu oleh penggunaan
lensa kontak, prostesis okuler, jahitan korneokonjungtiva dan scleral buckling
yang menonjol. Papil yang ditemukan juga berukuran sangat besar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan P, P Whitcher J. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. 17th ed.

Susanto D, editor. Jakarta; 2008.

2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014.

3. Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy. 6th Edition. Jakarta: EGC,

2014.

4. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford

American handbook of ophthalmology. New York: Oxford University

Press; 2011.

5 Widyastuti SB, Siregar SP. Konjungtivitis Vernalis. Sari Pediatr.

2004;5(4):160–4.

6 Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer.

Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2014.

7. American Academy of Ophthalmology. 2016. Extenal Eye Disease.

Anda mungkin juga menyukai