Anda di halaman 1dari 24

BABI

PENDAHULUAN
Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta yang belum
lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest
placenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang
dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early postpartum hemorrhage)
atau perdarahan post partum lambat (late postpartum hemorrhage) yang biasanya
terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan.
Sebab-sebabnya plasenta belum lahir bisa oleh karena:
a). plasenta belum lepas dari dinding uterus; atau
b). plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan; jika lepas
sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena:
a. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva);
b. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis
menembus desidua sampai miometrium- sampai di bawah
peritoneum (plasenta akreta-perkreta).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah
uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).

1
BAB II
STATUS PASIEN

ANAMNESIS PASIEN

 Nama : NY H
 Umur : 26 tahun
 No RM : 05 22 35
 Agama : Islam
 Alamat : DS. K Terumbu, K Batee, ABDYA

ANAMNESA PENYAKIT
• Keluhan Utama : Plasenta masih tertinggal di dalam rahim
• Telaah :
 Os datang ke IGD berdasarkan rujukan dari bidan dengan plasenta tidak
lahir +/- 1 jam, pasien melahir anak pertama
 hari Kamis , tanggal 28 Juni 2018 pukul 16.15 WIB.
• Riwayat Penyakit Terdahulu : (-)
• RPO : (-)

RIWAYAT PERSALINAN
 G1A0P1
STATUS PRESENT
Pemeriksaan Fisik
• KU : Sedang
• Kesadaran : CM
• Tanda Vital :
• TD : 110/70 mmHg
• HR : 80 x/menit
• RR : 20 x/menit
• Temp : 36,5 ºC

2
Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala
• Rambut : Kebersihan cukup, rontok (-)
• Wajah : Pucat (-), sianosis (-), cloasma gravidarum (-)
• Mata : Conjutiva A nemis(+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
• THT : Dbn
• Mulut : Dbn
• Leher : Dbn
Thorax
• Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, retraksi (-), mammae dbn
• Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
• Perkus : Sonor pada semua lapangan paru
• Auskultasi :
• Pulmo : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
• Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
• Abdomen : Cembung, membesar asimetris, linea nigra (+), striae
albicans (+)
• Genitalia Eks : Labia mayora/minora simetris,
• Ekstremitas : Simetris (+), akral dingin (-/-), edema (-/-)
Pemeriksaan Obstetri
 Pemeriksaan luar : TFU : 3 jari di atas pusat
 Pemeriksaan dalam Inspekulo : Tidak dilakukan
 Vaginal Touche: Tidak dilakukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Darah rutin
 Hb : 9 ,4 gr/dl
 Ht : 29,9 %
 Eritrosit : 3,67 106/mm3
 Leukosit : 15,900 103/mm3
 Trombosit : 183.000 103/mm3
 Golongan Darah : B+
 Kimia darah

3
 GDS : 107 mg/dl
 Urine rutin : Tidak dilakukan

DIAGNOSA SEMENTARA
Perdarahan Post Partum e.c retensio plasenta, P1A0 post partus spontan + Anemia
ringan

RENCANA TINDAKAN
 Konsul : dr Taufik Sp.OG
 Tatalaksana dari IGD
 Observasi KU, TTV, dan perdarahan
 Oksigenasi
 IVFD RL 20 gtt/I
 Rawat

Follow up hari 1
Tanggal Follow up Ket.

29/06/18 S : Os mengeluhkan pusing


O : K/U : sedang, TD : 120/80 mmHg, HR : 80x/i
RR : 22x/i, T : 36,2ºC
TFU : 1 jari dibawah pusar
Kontraksi Uterus : Baik
Hb : 8,1 g/dl
A : Post kuretase a/i e.c retensio plasenta hari ke-1, P1A0 post
partus spontan hari ke-2 + anemia sedang
P : - IVFD RL 20 gtt/i - PCT 3 x1 - inj Vit C 3 x1
- metiylergometrin 3 x1 - Ceftriaxone 1 gr/ hari

4
Follow up hari 2
Tanggal Follow up Ket.

30/06/18 S : Os mengeluhkan pusing


O : K/U : sedang, TD : 110/80 mmHg, HR : 80x/i
RR : 24 x/i, T : 36,2ºC
TFU : 1 jari dibawah pusar
Kontraksi Uterus : Baik
Hb : 8,4 g/dl
A : Post kuretase a/i e.c retensio plasenta hari ke-1I, P1A0
post partus spontan hari ke-3 + anemia sedang
P : - IVFD RL 20 gtt/i - PCT 3 x1 - inj Vit C 3 x1 -
metiylergometrin 3 x1 - Ceftriaxone 1 gr/ hari
- TRANFUSI 1 kolf PRC

Follow up hari 3
Tanggal Follow up Ket.

30/06/18 S : Os mengeluhkan pusing


O : K/U : sedang, TD : 110/80 mmHg, HR : 80x/i
RR : 24 x/i, T : 36,2ºC
TFU : 1 jari dibawah pusar
Kontraksi Uterus : Baik
A : Post kuretase a/i e.c retensio plasenta hari ke-3,
P1A0 post partus spontan hari ke-4 + anemia sedang
P : - IVFD RL 20 gtt/i - PCT 3 x1 - inj Vit C
3 x1
- metiylergometrin 3 x1 - Cefadroxil 2x1

5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Defenisi
Retensio plasenta adalah tertahan atau belum lahirnya palsenta hingga
melebihi 30 menit setelah bayi lahir . 1,
Retensio plasenta adalah lepas plasenta tidak bersamaan sehingga sebagian
masih melekat pada tempat implantsi, menyebabkan terganggunya retraksi dan
kontraksi otot uterus, sehingga sebagian pembuluh darah tetapi terbuka serta
menimbulkan perdarahan. Retensio plasenta yaitu plasenta dianggap retensi bila
belum dilahirkan dalam batas waktutertentu setelah bayi lahir (dalam waktu 30
menit setelah penatalasanaan aktif). 2,3,4

3.2 Etiologi
Etiologi dasar meliputi:
1) Faktor maternal
a) Gravida berusia lanjut
b) multiparitas
2) Faktor uterus
a) Bekas sectio caesaria, sering plasenta tertanam pada jaringan cicatrix
uterus
b) Bekas pembedahan uterus
c) Anorrali dan uterus
d) Tidak efektif kontraksi uterus
e) Pembentukan contraction ring
f) Bekas curetage uterus, yang terutama dilakukan setelah abortus
g) Bekas pengeluaran plasenta secara maual
h) Bekas ondometritis
3) Faktor plasenta
a) Plasenta previa
b) Implantasi cornual
c) Plasenta akreta

6
d) Kelainan bentuk plasenta

3.3 . Insiden
Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%–60%)
kematian ibu melahirkan di Indonesia. Insidens perdarahan pasca persalinan
akibat retensio plasenta dilaporkan berkisar 16%–17% Di RSU H. Damanhuri
Barabai, selama 3 tahun (1997–1999) didapatkan 146 kasus rujukan perdarahan
pasca persalinan akibat retensio plasenta. Dari sejumlah kasus tersebut, terdapat
satu kasus (0,68%) berakhir dengan kematian ibu.

3.4. Anatomi dan Fisiologi


 Anatomi
Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15 sampai
20 cm dan tebal lebih kurang 2.5 cm. beratnya rata-rata 500 gram. Tali-pusat
berhubungan dengan plasenta biasanya di tengah (insertio sentralis). Umumnya
plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang
amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Bila diteliti benar, maka plasenta
sebenarnya berasal dari sebagian besar dari bagian janin, yaitu vili koriales yang
berasal dari korion, dan sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari desidua
basalis. 1,2,3,4
Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral arteries yang
berada di desidua basalis. Pada sistole darah disemprotkan dengan tekanan 70-80
mmHg seperti air mancur ke dalam ruang interviller sampai mencapai chorionic
plate, pangkal dari kotiledon-kotiledon janin. Darah tersebut membasahi semua
vili koriales dan kembali perlahan-lahan dengan tekanan 8 mmHg ke vena-vena di
desidua. 1,2,3,
Plasenta berfungsi: sebagai alat yang memberi makanan pada janin,
mengeluarkan sisa metabolisme janin, memberi zat asam dan mengeluarkan CO2,
membentuk hormon, serta penyalur berbagai antibodi ke janin. Penyebab pasti
tertundanya pelepasan plasenta dari implantasinya tidak selalu dapat dijelaskan,
tetapi sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan
kontraksi uterus. Walaupun sangat jarang, hal tersebut dapat disebabkan karena

7
plasenta melekat erat ke tempat implantasi, akibatnya satu atau lebih kotiledon
melekat erat ke desidua basalis bahkan sampai ke miometrium, keadaan ini
disebut plasenta akreta. 1,2,3,
Walaupun plasenta yang terlalu melekat jarang dijumpai, namun memiliki
makna klinis yang cukup penting karena morbiditas dan mortalitas yang
ditimbulkan oleh perdarahan berat, perforasi usus, dan infeksi. Insiden plasenta
akreta, inkreta dan perkreta telah meningkat karena meningkatnya angka seksio
sesarea.
Penyebab retensio plasenta:
1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena uterus kurang kuat
untuk melepaskan plasenta atau plasenta melekat dan tumbuh lebih dalam.
Menurut tingkat perlekatannya:
a. Plasenta adhesiva: plasenta yang melekat pada desidua endometrium
lebih dalam.
b. Plasenta inkreta: vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus
desidua endometrium sampai ke miometrium.
c. Plasenta akreta: vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai
ke serosa
d. Plasenta perkreta: vili khorialis tumbuh menembus serosa atau
peritoneum dinding rahim.

Gambar : Kelainan perlekatan plasenta pada dinding uterus

8
2. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum disebabkan
adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan
penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta
inkarserata). Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih
atau rektum penuh. Oleh karena itu keduanya harus dikosongkan.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila
sebagian plasenta sudah lepas sebagian maka akan terjadi perdarahan. Ini
merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya.

Fisiologi Kala III Persalinan


Partus kala III disebut pula kala uri tidak kalah penting dari kala I dan kala
II, karena kelalaian dalam memimpin kala III dapat mengakibatkan kematian
karena perdarahan. Kala uri dimulai sejak bayi lahir lengkap sampai plasenta lahir
lengkap. Didapat dua tingkat pada kelahiran plasenta:1,2,3

1. Lepasnya plasenta dari implantasinya pada dinding uterus (fase separasi)


2. Pengeluaran plasenta dari dalam kavum uteri (fase ekspulsi)
Setelah bayi lahir, uterus masih mengadakan kontraksi yang
mengakibatkan penciutan permukaan kavum uteri, tempat implantasi plasenta.
Akibatnya plasenta akan lepas dari tempat implantasinya. Pelepasan ini dapat
dimulai dari tengah (Schultze), atau dari pinggir (Mathews-Dunchan), atau
serempak dari tengah dan pinggir. Cara yang pertama ditandai oleh makin panjang
keluarnya tali pusat dari vagina tanpa adanya perdarahan pervaginam, sedangkan
cara yang kedua ditandai oleh adanya perdarahan dari vagina apabila plasenta
mulai lepas. Umumnya perdarahan tidak melebihi 400 ml. :1,2,3

9
Gambar : Metode pelepasan plasenta

Usaha untuk mengeluarkan plasenta sebelum plasenta terlepas dari


insersinya akan sia-sia dan bahkan mungkin berbahaya (inversio uteri), maka
penting untuk mengetahui tanda-tanda pelepasan plasenta sebagai berikut: :1,2,3

- Uterus menjadi globuler, dan biasanya lebih kencang (tanda ini terlihat
lebih awal)
- Sering ada pancaran darah yang mendadak
- Uterus naik di abdomen karena plasenta yang telah lepas, berjalan turun
masuk ke segmen bawah uterus dan vagina, sehinnga masa plasenta
tersebut mendorong uterus ke atas
- Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina, yang menunjukkan bahwa
plasenta lepas.
Pada keadaan normal, plasenta akan lahir dalam waktu ± 6 – 15 menit
setelah anak lahir lengkap. Untuk mengetahui apakah plasenta telah lepas dari
tempat implantasinya, dipakai beberapa perasat antara lain: :1,2,3

1. Perasat Kustner. Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit demi


sedikit tali pusat. Tangan kiri menekan daerah di atas simfisis. Bila tali
pusat ini masuk dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding
uterus bila tetap atau tidak masuk kembali ke dalam vagina, berarti

10
plasenta lepas dari dinding uterus. Perasat ini hendaknya dilakukan secara
hati-hati. Apabila hanya sebagian plasenta lepas, perdarahan banyak akan
dapat terjadi.
2. Perasat Strassmann. Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali
pusat. Tangan kiri mengetok-ngetok fundus uteri. Bila terasa getaran pada
tali pusat yang diregangkan, berarti plasenta belum lepas dari dinding
uterus.
3. Perasat Klein. wanita yang bersalin tersebut diminta untuk mengedan. Tali
pusat tampak turun ke bawah. Bila mengedannya dihentikan dan tali pusat
masuk kembali ke dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding
uterus.
Apabila plasenta telah lepas spontan, harusnya dilihat bahwa uterus
berkontraksi baik, dengan dibantu oleh tekanan abdominal atau mengedan maka
timbul tekanan yang cukup untuk mendorong uri dilahirkan secara spontan. 20%
kelahiran uri dapat terjadi secara spontan sedangkan selebihnya memerlukan
pertolongan dengan tekanan ringan pada fundus uteri, plasenta mudah dapat
dilahirkan. Pendekatan tersebut diatas disebut penatalaksanaan fisiologis. :1,2,3

Gambar : Pertolongan Pengeluaran Uri Dengan Tekanan Ringan Pada Fundus


Uteri Pada Penatalaksanaan Fisiologis Kala Iii

Setelah plasenta lahir, harus diteliti benar, apakah kotiledon-kotiledon


lengkap atau masih ada yang tertinggal dalam kavum uteri. Selanjutnya harus pula
diperhatikan apakah korpus uteri berkontraksi baik. Harus dilakukan massage

11
ringan pada korpus uteri untuk memperbaiki kontraksi uterus. Apabila kontraksi
uterus kurang baik, dapat diberikan uterotonika seperti pitosin dan metergin,
terutama pada partus lama, grandemultipara, gemelli, hidramnion, dan sebagainya.
Bila semuanya telah berjalan lancar dan baik, maka periksa luka episiotomi,
dijahit dan diperbaiki. :1,2,3

4. Perasat Crede. Dengan cara memijat uterus seperti memeras jeruk agar
supaya plasenta lepas dari dinding uterus, hanya dapat digunakan bila
terpaksa misalnya terjadi perdarahan.

Panatalaksanaan Aktif Kala Iii


Pada kala III ini dilakukan manajemen aktif kala III yang bertujuan untuk
menghasilkan kontraksi uterus yang lebih efektif sehingga dapat memperpendek
waktu kala III dan mengurangi kehilangan darah dibandingkan dengan
penatalaksanaan fisiologis. :1,2,3

Managemen aktif kala III terdiri atas 3 langkah utama Yaitu: :1,2,3

1. Pemberian injeksi oksitosin


- Beri tahu ibu bahwa ia akan disuntik
- Berikan 10 IU oksitosin IM paling lambat 2 menit setelah bayi lahir
pada 1/3 bawah paha luar
- Jika oksitosin tidak ada, lakukan rangsangan puting susu atau susukan
bayi untuk menghasilkan oksitosin alamiyah.
2. Melakukan Peregangan Tali pusat Terkendali (PTT)
- Berdiri di samping ibu
- Pindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-10 cm dari vulva.
- Satu tangan di korpus uteri di atas simfisis pubis untuk mengetahui
kontraksi uterus dan sekaligus menahan uterus saat dilakukan
peregangan tali pusat. Tangan mendorong korpus uteri kearah
dorsokranial selama timbul kontraksi.
- Tangan yang lain meregang tali pusat di depan vulva
- Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu adanya kontraksi kuat

12
- Selama kontraksi, lakukan tarikan terkendali pada tali pusat yang
terus-menerus, dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus ke
arah bawah. Lakukan penekanan korpus uteri ke arah bawah dan
kranial sehingga plasenta terlepas dari tempat implantasinya.

- Setelah plasenta terasa lepas, minta ibu untuk mengedan sehingga


plasenta tampak di introitus vagina. Keluarkan plasenta dengan
gerakan ke bawah dan ke atas sesuai jalan lahir. Pegang plasenta dan
putar searah jarum jam untuk mengeluarkan selaput ketuban. Periksa
apakah plasenta lahir lengkap atau tidak.
- Bila plasenta tidak turun setelah 30-40 detik dimulainya peregangan
tali pusat dan tidak ada tanda-tanda lepasnya plasenta, jangan teruskan
penegangan, tunggu kontraksi berikutnya, bila timbul kontraksi ulangi
langkah-langkah di atas.
- Jika plasenta belum lahir dalam 15 menit, berikan oksitosin 10 IU IM,
dosis ke dua. Kosongkan vesika urinaria bila penuh. Ulangi langkah-
langkah diatas. Bila dalam 30 menit plasenta belum juga lahir, lakukan
rujukan segera.
3. Rangsangan taktil fundus uteri
- Letakkan tangan kanan pada fundus uteri
- Lakukan gerakan melingkar pada fundus uteri untuk merangsang
kontraksi uterus. Beritahukan ibu bahwa tindakan ini mungkin

13
membuat ibu merasa tidak nyaman. Minta ibu untuk menarik nafas
dalam, perlahan dan bersikap tenang
- Bila dalam 15 detik tidak timbul kontraksi lakukan penatalaksanaan
atonia uteri
- Periksa kontraksi uterus tiap 15 menit sekali pada jam pertama dan 20-
30 menit sekali pada jam kedua setelah melahirkan.

3.4. Patogenesis
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan
retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah
berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan
lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal
secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil.
Pengecian mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan
plasenta. 1,2,3,4.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak
dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang
ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi
jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat
di uterus berada di antara serat-serat oto miometrium yang saling bersilangan.
Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini
mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti. 1,2,3,4
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan
ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme
kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu: 1,2,3
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat
plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta
melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang
terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta

14
disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus
yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan
tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta
bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil
darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa
perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan
sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya
fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89%
plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.

Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang


mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus
meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke
vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang. 1,2,3,4
Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang
diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian
bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi
ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam
posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan.
Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala
tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan mengklovasi
uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta : 1,2,3,4


1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik
dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
2. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta
previa; implantasi di cornu; dan adanya plasenta akreta.
3. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan

15
kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat
waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan
plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi
uterus.

3.5 Gambaran Klinis


a. Waktu hamil 2,3,4
1) Kebanyakan pasien memiliki kehamilan yang normal
2) Insiden perdarahan antepartum meningkat, tetapi keadaan ini
biasanya menyertai plasenta previa
3) Terjadi persainan prematur, tetapi kalau hanya ditimbulkan oleh
perdarahan
4) Kadang terjadi ruptur uteri
b. Persalinan kala I dan II
Hampir pada semua kasus proses ini berjalan normal
c. Persalinan kala III. 2,3,4
1) Retresio plasenta menjadi ciri utama
2) Perdarahan post partum, jumlahnya perdarahan tergantung pada derajat
perlekatan plasenta, seringkali perdarahan ditimbulkan oleh Dokter
kebidanan ketika ia mencoba untuk mengeluarkan plasenta secara manual
3) Komplikasi yang seriun tetapi jsrsng dijumpai yaitu invertio uteri, keadaan
ini dapat tejadi spontan, tapi biasanya diakibatkan oleh usaha-usaha untuk
mengeluarkan plasenta
4) Ruptura uteri, biasanya terjadi saat berusaha mengeluarkan plasenta

Untuk mengetahu gejala:


a. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta
informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas,
serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum
sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul
perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.

16
b. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.

3.6. Pemeriksaan Penunjang


a. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan
hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit.
Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
b. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time
(PT) dan activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang
sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini
penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.

3.7. Diagnosa Banding


Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat pada
miometrium tanpa garis pembelahan fisiologis melalui garis spons desidua.

3.8 Penatalaksanaan
Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta dilakukan
apabila plasenta belum lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi lahir terlebih lagi
apabila disertai perdarahan. Dapat dicoba dulu perasat menurut Crede. Tindakan
ini sekarang tidak banyak dianjurkan karena kemungkinan terjadinya inversio
uteri dan tekanan yang keras pada uterus dapat pula menyebabkan perlukaan pada
otot uterus dan rasa nyeri keras dengan kemungkinan syok. Para ahli mengatakan
bahwa perasat ini dapat menimbulkan pelepasan tromboplastin atau fibrinolis
okinase yang mengakibatkan koagulopati. Akan tetapi dengan teknik yang
sempurna dan tanpa paksaan, hal tersebut dapat dihindarkan. 2,3,4

Perasat crede dimaksudkan untuk melahirkan plasenta yang belum terlepas


dengan ekspresi. Perasat ini dapat dilakukan jika kontraksi uterus baik dan vesika
urinaria kosong. Pelaksanaannya dengan cara memegang fundus uteri dengan
tangan kanan sehingga ibu jarit erletak pada permukaan depan uterus sedangkan
jari lainnya pada fundus dan permukaan belakang, bila ibu gemuk hal ini tidak
dapat dilaksanakan dan sebaiknya langsung dikeluarkan secara manual. Setelah

17
uterus berkontraksi baik, maka uterus di tekan ke arah jalan lahir. Gerakan jari
seperti memeras jeruk. Perasat crede tidak dilakukan jika uterus tidak berkontraksi
baik karena dapat menimbulkan inversio uteri. 2,3,4

Salah satu cara lain untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara
Brandt. Dengan salah satu tangan, penolong memegang tali pusat dekat vulva.
Tangan yang lain diletakkan pada dinding perut di atas simfisis sehingga
permukaan palmar jari-jari tangan terletak di permukaan depan rahim, kira-kira
pada perbatasan segmen bawah rahim. Dengan melakukan tekanan ke arah
dorsokranial, maka badan rahim akan terangkat. Apabila plasenta telah lepas,
maka tali pusat tidak akan tertarik ke atas. Kemudian tekanan di atas simfisis di
arahkan ke arah dorsokranial, ke arah vulva. Pada saat ini dilakukan tarikan ringan
pada tali pusat untuk membantu mengeluarkan plasenta. Yang selalu tidak dapat
dicegah ialah bahwa plasenta tidak dapat dilahirkan seluruhnya, melainkan
sebagian masih ketinggalan yang harus dikeluarkan dengan tangan. 2,3,4

Pengeluaran plasenta dengan tangan atau pelepasan plasenta secara


manual (manual plasenta) kini dianggap cara yang paling baik. Dengan tangan kiri
menahan fundus uteri supaya uterus jangan naik ke atas, tangan kanan
dimasukkan ke dalam kavum uteri. Dengan mengikuti tali pusat, tangan itu
sampai di plasenta dan mencari pinggir plasenta. Kemudian jari-jari tangan itu
dimasukkan antara pinggir plasenta dan dinding uterus. Biasanya tanpa kesulitan
plasenta sedikit demi sedikit dapat dilepaskan dari dinding uterus untuk kemudian
dilahirkan. Sebaiknya sebelum tindakan pelepasan plasenta secara manual
dilaksanakan, sebaiknya pasang infus garam fisiologis. Walaupun orang takuta
bahwa pelepasan plasenta secara manual meningkatkan insidensi infeksi, namun
tidak boleh dilupakan bahwa perasat ini justru bermaksud untuk menghemat darah
dan dengan demikian menurunkan kejadian infeksi. 2,3,4

18
A B

Gambar : Pelepasan plasenta secara manual. A: tangan kanan masuk ke


kavum uteri dengan menyusuri tali pusat. B: jari-jari tangan itu dimasukkan antara
pinggir plasenta dan dinding uterus. C: setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta
dipegang dan ditarik dan dikeluarkan perlahan-lahan.

Banyak kesulitan dialami dalam pelepasan plasenta pada plasenta akreta.


Plasenta hanya dapat dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perdarahan
serta perforasi mengancam. Apabila berhubungan dengan kesulitan-kesulitan
tersebut di atas akhirnya diagnosis plasenta akreta dibuat, sebaiknya usaha
mengeluarkan plasenta secara bimanuil dihentikan, lalu dilakukan histerektomi.
2,3,4

Pada plasenta yang sudah lepas, akan tetapi terhalang untuk dilahirkan
karena lingkaran konstriksi (inkarserasio plasenta) tangan kiri penolong
dimasukkan ke dalam vagina dibantu oleh anestesia umum melonggarkan
konstriksi. Dengan tangan tersebut sebagai petunjuk dimasukkan cunam ovum
melalui lingkaran konstriksi untuk memegang plasenta, dan perlahan-lahan
plasenta sedikit demi sedikit ditarik ke bawah melalui tempat sempit itu. 2,3,4

19
Setelah melakukan tindakan pelepasan plasenta, dilakukan eksplorasi
kavum uteri sehingga diyakinkan tidak ada jaringan plasenta yang tertinggal.
Sebagian dokter cenderung mengusap kavum uteri dengan spons/kassa, apabila
hal ini dilakukan, perlu dipastikan bahwa spons/kassa ridak tertinggal di uterus
atau vagina. 2,3,4

Setelah plasenta lahir fundus uteri harus selalu dipalpasi untuk


memastikan bahwa uterus berkontraksi dengan baik. Apabila uterus tidak keras,
maka masase fundus diindikasikan. Biasanya oksitosin diberikan 20 IU dalam
1000 ml ringer laktat atau normal salin dengan kecepatan tetesan sekitar 10 tetes/
menit ditambah dengan masase uterus akan menimbulkan kontraksi yang efektif.
Apabila oksitosin yang diberikan secara infus cepat tidak efektif, beberapa dokter
memberikan turunan ergot (metilergonvin) 0,2mg intravena atau intramuskuler.
Obat ini dapat merangsang uterus berkontraksi cukup kuat untuk menghentikan
perdarahan. Obat ini dikontraindikasikan pada wanita dengan preeklamsia karena
dapat menyebabkan hipertensi yang berbahaya. 2,3,4

20
Retensio Plasenta

Penanganan Umum:

1. Infuse tranfusi darah


2. Pertimbangan untuk referral RSU C

Perdarahan banyak Perdarahan sedikit:


300 – 400 cc 1. Anemia dan syok
2. Perlekatan plasenta

Plasenta manual

Berhasil baik: Plasenta Rest: Plasenta melekat:


Observasi: 1. Kuretase tumpul 1. Akreta
2. Utero-vaginal 2. Inkreta
1. Keadaan umum
tampon 3. Perkreta
2. Perdarahan
3. masase 4. adhesiva
3. Obat profilaktik
 Vitamin
 Fe preparat
 Antibiotika
 Uterotonika Perdarahan terus: Histerektomi
Pertimbangan:
1. Tampon basah 1. Keadaan umum
2. Atonia uteri 2. Umur penderita
3. Paritas penderita
Ligasi arteri
hipogastrika

Gambar 1. Penatalaksanan Retensio Plasenta

3.9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:2,3,4
1. Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan.
2. Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan
3. Sepsis

21
4. Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki
anak selanjutnya.

3.10 Prognosis
Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan
sebelumnya serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat
sangat penting.

22
BAB IV
KESIMPULAN

Istilah retensio plasenta (retained placenta) dipergunakan jika plasenta


belum lahir ½ jam sesudah anak lahir. Retensio plasenta kemungkinan terjadi
karena plasenta terperangkap oleh cervix yang menutup sebagian atau karena
plasenta masih melekat pada dinding uterus serta penyebab trsering yaitu
kontraksi uterus yang tidak adekuat.
Penyebab dari disfungsi kontraksi uterus ini belum diketahui pasti.
Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi, baik
karena penetrasi berlebihan dari trofoblas maupun desidua basalis yang sedikit
(tipis) atau tidak ada sama sekali dan kelainan perkembangan lapisan fibrinoid
secara parsial atau total, sehingga tidak terdapat garis pemisah fisiologis melalui
lapisan spongiosa desidua. Akibatnya, satu atau lebih kotiledon melekat erat ke
desidua basalis yang cacat atau bahkan ke miometrium. Patofisiologi retensio
plasenta ini juga bisa berarti plasenta telah terpisah akan tetapi masih tertinggal
akibat ketegangan tali plasenta atau leher rahim yang tertutup. Faktor ini dapat
muncul akibat kesalahan penanganan kala III persalinan dan manipulasi yang
berlebihan.
Penanganan retensio plasenta meliputi perasat Crede, manual plasenta,
kuretase, tindakan bedah (ligasi arteri hipogastrika, embolisasi arteri uterina, dan
histerektomi), terapi konservatif, transfusi darah, serta pemberian uterotonika dan
antibiotik.
Pencegahan resiko retensio plasenta adalah dengan cara mempercepat
proses separasi dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika segera
setelah bayi lahir dan melakukan manajemen aktif kala III.
Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan sebelumnya
serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Mochtar R. Toksemia Gravidarum. In: Sinopsis Obstetri, Obstetri


Fisiologi, Obstetri Patologi, Jilid I, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta; 1998:
2. Manila B. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta:2002.
3. Panitia Standar Terapi Bagian Obgin FK-USU/RSU Dr. Pirngadi Medan.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri Ginekologi, Medan, 1991
4. Bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan FK – Univ. Padjajaran Bandung,
Ilmu Kebidanan Patologi,
5. Pritchard, MacDonald, Gant. Ilmu Kebidanan Williams, Edisi 17,
Universitas Airlangga, Surabaya, 1991
.

24

Anda mungkin juga menyukai